Anda di halaman 1dari 15

PENGGANTIAN BIAYA PENGOBATAN TERUTANG PPh 21 ATAU TIDAK ?

Abstrak
Dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Badan maupun Wajib
Pajak Orang Pribadi yang melakukan usaha, salah satu unsur biaya yang cukup besar
adalah biaya bagi karyawan. Biaya ini dalam rangka hubungan antara pemberi kerja
dan karyawan. Namun ternyata setiap biaya yang berhubungan dengan karyawan
mempunyai dampak dapat dikurangkan atau tidak dapat dikurangkan dari
Penghasilan. Umumnya jika biaya tersebut dapat dikurangkan sebagai biaya akan
dilakukan pemungutan/pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 oleh Pemberi Kerja .
Salah satu jenis biaya tersebut adalah biaya pengobatan. Biaya pengobatan ini dapat
berupa biaya pengobatan yang diberikan langsung oleh pemberi kerja kepada
karyawan ataupun berupa penggantian biaya pengobatan (reimbursement). Ternyata
perlakukan biaya pengobatan bagi karyawan dengan cara memberikan penggantian
biaya pengobatan mempunyai efek munculnya Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus
ditanggung karyawan bersangkutan. Bagi sebagian karyawan hal ini dianggap
menimbulkan ketidakadilan , karena disaat orang mengalami penderitaan masih harus
dibebani kewajiban membayar pajak atas penggantian uang pengobatan yang diterima.
Untuk itu diperlukan adanya kesamaan pandangan antara karyawan dan pemberi kerja
dalam hal membaca dan mengerti Undang-Undang Pajak Penghasilan yang
berhubungan dengan penggantian biaya pengobatan.
Kata kunci: penggantian, pengobatan.
Latar Belakang Masalah
Teman saya bernama Leo (bukan nama sebenarnya) merupakan karyawan sebuah
perusahaan di Jakarta (sebut saja PT ABC) menceritakan pengalamannya ketika ia
sakit dan beberapa hari tidak masuk kerja. Ia berobat kepada dokter spesialis serta
membeli obat di apotik yang berada dekat rumahnya. Leo memperoleh kuitansi yang
berasal dari dokter dan dari apotik. Berdasarkan kebijakan perusahaan yang
memberikan penggantian atas biaya berobat, Leo lalu menyerahkan kuitansi tersebut
kepada bagian kepegawaian perusahaan dan diteruskan kepada bagian keuangan
dengan harapan untuk menerima penggantian atas kuitansi tersebut.
Penggantian tersebut diterima Leo bersamaan dengan gaji pada akhir bulan. Betapa
kecewanya Leo, ketika mengetahui bahwa uang penggantian yang ia terima jumlahnya
lebih kecil dari jumlah yang ada pada kuitansi, begitu juga gaji bulanan yang
diterimanya berkurang karena telah dipotong akibat tidak masuk kantor ketika ia sakit.
Ia bertanya kepada pegawai bagian keuangan, mengapa demikian? Pegawai tersebut
menjawab bahwa terhadap uang sebagai penggantian biaya pengobatan tersebut telah
dipotong Pajak Penghasilan pasal 21 oleh perusahaan. Dengan nada kecewa Leo
berkata dalam hati: Dimanakah keadilan di negara ini, sudah jatuh masih ditimpa
tangga lagi, bagaimana mungkin orang sakit disuruh membayar pajak, orang sakit akan
semakin sakit. Berdasarkan pengalaman tersebut, Leo bertanya kepada saya
bagaimana perlakukan penggantian biaya pengobatan menurut aturan
perpajakan.Tulisan ini akan membahas apa yang dinyatakan oleh Undang-Undang
Pajak Penghasilan serta aturan turunannya terhadap penggantian biaya pengobatan
tersebut.

Pembahasan
Terhadap permasalahan di atas, secara umum dibagi atas 2 pihak yang berperan.
Pihak pertama adalah pihak yang menerima penggantian biaya pengobatan (Sdr Leo
sebagai pegawai).Apakah penggantian tersebut dianggap sebagai penghasilan yang
merupakan objek pajak penghasilan?
Pihak kedua adalah pihak perusahaan (PT ABC) yang memberikan uang penggantian
obat. Apakah penggantian pengobatan tersebut dapat sebagai pengurang penghasilan
bruto (deductible expense) atau merupakan pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan
dari penghasilan bruto(deductible expense)?
Penghasilan Dan Pengurangan Penghasilan
Penghasilan
Obyek Pajak Penghasilan adalah penghasilan. Pengertian penghasilan diatur pada
pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan
(selanjutnya disebut Undang-Undang PPh)yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Pengertian penghasilan dalam Undang-Undang PPh tidak memperhatikan adanya
penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan
ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut
bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan
pembangunan (melalui pajak). Yang termasuk dalam tambahan kemampuan ekonomis
diantaranya adalah :

a.

penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus,
gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan
lain dalam Undang-undang PPh (pasal 4 ayat 1 huruf a).

Imbalan atau penggantian yang dikecualikan dari objek pajak penghasilan diantaranya
seperti yang diatur pada Pasal 4 ayat 3 huruf d yaitu: penggantian atau imbalan
sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk
natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan

oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib
Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15Undang-Undang PPh.Penggantian atau imbalan dalam
bentuk natura atau kenikmatan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa
merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima bukan dalam bentuk
uang. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura seperti beras, gula dan
sebagainya, dan imbalan dalam bentuk kenikmatan, seperti penggunaan mobil, rumah,
dan fasilitas pengobatan bukan objek pajak penghasilan(penjelasan pasal 4 ayat 3
huruf d).Sehingga penggantian atau imbalan yang dibayarkan dalam bentuk
uangmerupakan obyek pajak penghasilan.

Pengurangan Penghasilan
Pengertian dan batasan yang dapat dijadikan pengurangan penghasilan bruto
sehubungan dengan hubungan pekerjaan (pemberi kerja dan pegawainya) diatur pada
pasal 6 ayat (1) angka 2 beserta penjelasannya.
Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha
tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan termasuk :

a.

biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha
antara lain :
1.
2.

........
biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,
honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang.

Pengeluaran-pengeluaran sehubungan dengan pekerjaan yang boleh dikurangkan dari


penghasilan bruto harus dilakukan dalam bentuk uang. Pengeluaran yang dilakukan
dalam bentuk natura atau kenikmatan, misalnya fasilitas menempati rumah dengan
cuma-cuma, tidak boleh dibebankan sebagai biaya, dan bagi pihak yang
menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan. Namun terdapat

pengeluaran dalam bentuk natura atau kenikmatan tertentu sebagaimana diatur dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf e, boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pihak yang
menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan.
Pemberian natura dan kenikmatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
pemberi kerja dan bukan merupakan penghasilan pegawai yang menerimanya
sesuai Pasal 9 ayat (1) huruf e tersebut adalah:

a.

penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan
berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu dalam rangka
menunjang kebijaksanaan pemerintah untuk mendorong pembangunan di
daerah terpencil;

b.

pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan


pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut
mengharuskannya, seperti pakaian dan peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian
seragam petugas keamanan (satpam), antar jemput karyawan serta penginapan
untuk awak kapal dan yang sejenisnya; dan

c.

pemberian atau penyediaan makanan dan atau minuman bagi seluruh pegawai yang
berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan.

Fasilitas pengobatan yang diberikan oleh perusahaan kepada pegawainya, secara


umum dapat dicontohkan sebagai berikut:
1. Fasilitas Pengobatan Dengan Memberikan Tunjangan Pengobatan Kepada Pegawai
Dan Mengambilnya Kembali
Setiap bulan dengan jumlah yang sama, pegawai diberikan tunjangan pengobatan
berupa uang yang dimasukkan dalam penghasilan karyawan sebesar perkiraan biaya
pengobatan yang sudah dihitung dan ditetapkan oleh pemberi kerja untuk tiap pegawai
selama satu tahun. Tunjangan pengobatan ini kemudian oleh perusahaan dipotong
kembali dari penghasilan karyawan. Jika pegawai sakit, oleh perusahaan disarankan
untuk berobat kepada dokter/klinik/rumah sakit yang telah ditunjuk/telah membuat
perjanjian kerjasama dengan perusahaan. Selanjutnya secara berkala perusahaan
akan membayar kepada dokter/klinik/rumah sakit. Uang untuk pembayaran
dokter/klinik/rumah sakit tersebut berasal dari tunjangan pengobatan yang telah
dimasukkan dalam daftar penghasilan karyawan dan kemudian diambil kembali oleh

perusahaan (dengan cara dipotong dari penghasilan karyawan). Tunjangan pengobatan


yang diambil kembali oleh perusahaan tersebut jumlahnya berkurang karena telah
dipotong Pajak Penghasilan pasal 21 oleh perusahaan.
2. Fasilitas Pengobatan berupa Pemberian Tunjangan Pengobatan Kepada Pegawai
Setiap bulan dengan jumlah yang sama, pegawai diberikan tunjangan pengobatan
berupa uang yang dijadikan sebagai unsur penghasilan karyawan sebesar perkiraan
biaya pengobatan yang sudah ditetapkan oleh pemberi kerja untuk tiap pegawai selama
satu tahun. Pegawai bebas menggunakan uang tersebut. Jika pegawai sakit, biaya
pengobatannya ditanggung sendiri oleh pegawai.
3. Fasilitas Pengobatan Ditanggung Perusahaan
Perusahaan menyediakan ruangan untuk dokter dan pasien di kantor, serta membiayai
tenaga dokter dan menyediakan obat-obatan yang diperlukan. Pegawai yang sakit
mendapat fasilitas pengobatan cuma-cuma dari perusahaan. Fasilitas pengobatan ini
juga dapat dilakukan dengan cara perusahaan menentukan dokter/klinik/rumah sakit
tempat pegawai untuk berobat. Dan pada akhir bulan dokter/klinik/rumah sakit tersebut
mengirimkan tagihan kepada perusahaan. Perusahaan membayar tagihan tersebut
langsung kepada dokter/klinik/rumah sakit tanpa membebankannya pada pegawai.
4. Perusahaan Memberikan Fasilitas Penggantian Biaya Pengobatan
Perusahaan memberikan fasilitas pengobatan dengan cara menanggung secara
terbatas atau seluruhnya biaya berobat pegawai. Pegawai yang sakit berobat kepada
dokter/klinik/rumah sakit yang telah ditunjuk perusahaan ataupun dengan cara
membebaskan pegawai yang sakit untuk memilih sendiri dokter/klinik/rumah sakit.
Pegawai kemudian memberikan kuitansi dan bukti pendukung biaya pengobatan
kepada perusahaan. Perusahaan memberikan penggantian berupa uang kepada
karyawan. Penggantian pengobatan tersebut dapat dibayarkan langsung kepada
pegawai atau dimasukkan dalam slip gaji bulanan pegawai.
5. Perusahaan Membayarkan Premi Asuransi Kesehatan Pegawai Kepada Perusahaan
Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PT Jamsostek) Atau Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS)
Perusahaan mendaftarkan pegawainya pada Perusahaan Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(PT Jamsostek) atau Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Setiap bulan
perusahaan membayar premi kesehatan kepada PT Jamsostek atau BPJS berdasarkan
persentase tertentu dari gaji. Jika pegawai sakit, biaya pengobatan akan ditanggung
oleh PT Jamsostek atau BPJS.

Perlakuan perpajakan terhadap pemberian fasilitas pengobatan didasarkan pada


prinsip Undang-Undang PPh "deductibility-taxability" yaitu jika pada pihak pemberi kerja
pemberian tersebut boleh dikurangkan sebagai biaya, maka pada pihak karyawan
merupakan penghasilan yang dikenakan pajak. Sebaliknya, jika pada pihak karyawan
pemberian tersebut bukan merupakan penghasilan, maka pada pihak pemberi kerja
tidak dapat dikurangkan sebagai biaya. Perlakuan Pajak Penghasilan terhadap
pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan (fringe benefits) adalah bagi pemberi
kerja tidak boleh dikurangkan sebagai biaya, dan pihak karyawan yang menerima
dibebaskan dari pengenaan Pajak Penghasilan, karena sudah dikenakan pada pemberi
kerja, kecuali terhadap ketentuan yang telah diatur pada Pasal 9 ayat (1) huruf e.
Ketentuan perpajakan terhadap fasilitas pengobatan yang diberikan pemberi kerja
berdasarkan pada contoh di atas adalah:
1.

Terhadap contoh 1,2,4 dan 5 merupakan obyek pajak penghasilan bagi


pegawai yang menerimanya (dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21) dan bagi
pemberi kerja dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan bruto (deductible
expense). Fasilitas pengobatan ini merupakan penghasilan bagi pegawai karena
diterima dalam bentuk uang.

2.

Terhadap contoh 3 bukan objek pajak penghasilan bagi pegawai yang


menerimanya sehingga tidak dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dan bagi pemberi
kerja tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (non deductible expense).
Fasilitas pengobatan ini berbentuk natura serta tidak masuk dalam natura atau
kenikmatan yang dikecualikan menurut Pasal 9 ayat (1) huruf e.

Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, terhadap biaya penggantian pengobatan Sdr Leo
merupakan objek Pajak Penghasilan dan dipotong Pajak Penghasilan pasal 21 oleh PT
ABC karena Sdr. Leo menerima uang dari pemberi kerja sebagai penggantian
pengobatan. Jika perusahaan tidak ingin membebani pegawainya atas biaya
pengobatan pegawai, perusahaan dapat memilih contoh nomor 3 di atas yaitu fasilitas
pengobatan ditanggung perusahaan. Dalam hal ini pegawai yang berobat tidak perlu
membayar biaya dokter dan biaya obatnya, tetapi yang membayarnya adalah bagian
keuangan perusahaan secara langsung kepada dokter/klinik/rumah sakit yang dituju.
Bagi pegawai, biaya pengobatan tersebut bukan merupakan penghasilan yang
merupakan objek pajak penghasilan, bagi perusahaan biaya pengobatan tersebut tidak
dapat dikurangkan sebagai pengurang penghasilan bruto (non deductible expense).

BIAYA PERJALANAN (LUMPSUMP ATAU REIMBURSEMENT)BUKAN OBJEK PPH 21

Abstrak
Adanya kebingungan bagi pemberi kerja dan bagi pegawai/karyawan atas perlakukan perpajakan
khususnya Pajak Penghasilan Pasal 21 terhadap Biaya Perjalanan Dinas yang dibayar dengan cara
lumpsum (di awal perjalanan dinas), dengan cara reimbursement/penggantian maupun dengan cara
pemberian uang muka. Biaya Perjalanan Dinas yang terdiri dari tiga komponen biaya yaitu Biaya
Transportasi, Biaya Akomodasi dan Uang Saku seharusnya dibayarkan kepada pegawai berdasarkan
Standar Biaya. Penghitungan Standar Biaya tersebut seharusnya dihitung secara detail dan menerapkan
prinsip kewajaran sehingga setiap pegawai/karyawan yang melakukan perjalanan dinas tidak sampai
harus rugi (nombok) namun juga tidak juga membuatnya menjadi lebih berkelebihan uang yang
membuatnya mempunyai kemampuan ekonomis seperti yang dinyatakan pada definisi objek pajak
penghasilan (pasal 4 Undang-Undang Pajak Penghasilan).
Dalam pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Pajak Penghasilan, pembayaran oleh pemberi kerja sehubungan
dengan

biaya

perjalanan

dinas dianggap

bukan

sebagai

imbalan

berkenaan

dengan

pekerjaan. Perlakuan tidak mengenakan Pajak Penghasilan Pasal 21 terhadap Biaya Perjalanan
Dinas bagi pegawai pemerintah telah diatur pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262/PMK.03/2010
tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI,
Anggota Polri, dan Pensiunannya Atas Penghasilan Yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan Dan
Belanja Negara Atau Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah. Maka seharusnya pengaturan yang
sama juga berlaku bagi pegawai swasta yaitu terhadap Biaya Perjalanan Dinas bukan objek Pajak
Penghasilan Pasal 21 dan bagi perusahaan, biaya tersebut dapat dijadikan sebagai pengurang
penghasilan bruto.
Kata kunci: biaya perjalanan dinas, lumpsum, reimbursement, penggantian, objek PPh 21.
Latar Belakang

Perjalanan dinas merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan oleh pegawai dalam sebuah
perusahaan, bahkan hal ini juga terjadi pada instansi pemerintah. Seorang pegawai yang ditugaskan
untuk ke luar kantor, ke luar kota bahkan ke luar negeri pastilah membutuhkan biaya.
Logikanya adalah pegawai yang melakukan perjalanan dinas seharusnya tidak membuat dirinya menjadi
rugi yang disebabkan biaya yang dikeluarkannya untuk perjalanan dinas lebih besar dibandingkan
dengan uang yang diterima untuk perjalanan dinas tersebut. Atau dalam istilah umum disebut nombok.
Teknis pengeluaran biaya perjalanan dinas ini berbeda-beda bagi tiap perusahaan. Namun bagi instansi
pemerintah yang melakukan perjalanan dinas telah diatur mekanisme biaya dan pembayarannya melalui
Peraturan Menteri.Beberapa perusahaan memberikan uang untuk biaya perjalanan dinas diawal/saat
pegawai akan berangkat untuk dinas, hal ini sering disebut lumpsum. Namun ada juga perusahaan yang
menggunakan
sistem
pembayaran
biaya
perjalanan
dinas
dengan
cara reimbursement (penggantian) atau dengan dengan memberikan uang muka berdasarkan bukti
bukti pengeluaran yang diserahkan pegawai. Yang menjadi permasalahan terutama bagi pegawai yang
melakukan perjalanan dinas adalah apakah biaya perjalanan dinas tersebut merupakan objek Pajak
Penghasilan Pasal 21 atau tidak.
Pembahasan
Pengertian Dan Unsur-Unsur Biaya Perjalanan Dinas.
Untuk memudahkan pembahasan, penulis menjelaskan apa saja yang menjadi komponen biaya
perjalanan dinas. Penulis mengambil contoh peraturan yang menjelaskan komponenbiaya perjalanan
dinas yaitu Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 113/PMK.05/2012 tentang
Perjalanan Dinas Dalam Negeri Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, Dan Pegawai Tidak Tetap
(selanjutnya disebut PMK 113/PMK.05/2012). Menurut penulis, objek pajak penghasilan tidak
membedakan apakah pegawai tersebut pegawai negeri sipil ataupun pegawai swasta.
Setiap Perjalanan Dinas oleh pegawai dilakukan berdasarkan perintah atasan yang tertuang dalamSurat
Tugas. Perjalanan Dinas ini meliputi: Perjalanan Dinas Jabatan dan Perjalanan Dinas Pindah.
Perjalanan Dinas Jabatan digolongkan menjadi:
a.

Perjalanan Dinas Jabatan yang melewati batas Kota; dan

b.

Perjalanan Dinas Jabatan yang dilaksanakan di dalam Kota.

c.
Komponen Perjalanan Dinas Jabatan adalah:
a. uang harian;
b. biaya transpor;
c.

biaya penginapan;

d. uang representasi;
e. sewa kendaraan dalam Kota; dan/atau

f.

biaya menjemput/mengantar jenazah.

Komponen Biaya Perjalanan Dinas Pindah adalah:


a. biaya transpor pegawai;
b. biaya transpor keluarga;
c.

biaya pengepakan dan angkutan barang; dan/atau

d. uang harian.
Uang harian terdiri atas:
i. uang makan;
ii. uang transpor lokal; dan
iii. uang saku.
Biaya transpor terdiri atas:
i. perjalanan dinas dari Tempat Kedudukan sampai Tempat Tujuan keberangkatan dan

kepulangan termasuk biaya ke terminal bus/stasiun/bandara/pelabuhan keberangkatan;


ii. retribusi yang dipungut di terminal bus/stasiun/bandara/pelabuhan keberangkatan dan

kepulangan.
Biaya penginapan merupakan biaya yang diperlukan untuk menginap:
i. di hotel; atau
ii. di tempat menginap lainnya.
Uang representasi merupakan uang yang dapat diberikan kepada Pejabat Negara, dan dibayarkan
secara lumpsum dan merupakan batas tertinggi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
mengenai Standar Biaya.
Cara pembayarannya Biaya Perjalanan Dinas:
1.

Dengan cara lumpsum yaitu: Pembayaran sekaligus di awal uang perjalanan dinas
berdasarkan yang telah dihitung terlebih dahulu (pre-calculated amount).

2.

Dengan cara reimbursement/penggantian yaitu: penggantian biaya yang telah


dikeluarkan pegawai berdasarkan bukti-bukti.

3.

Dengan cara pemberian uang muka.

Apakah biaya perjalanan dinas merupakan objek pajak penghasilan?


Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (selanjutnya
disingkat dengan Undang-Undang PPh) menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian
yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah
kekayaan Wajib Pajak tersebut.
Pengertian penghasilan dalam Undang-Undang ini tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber
tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis.
Objek Pajak Penghasilan sehubungan dengan yang diterima pegawai dari pemberi kerja menurut pasal 4
ayat 1 huruf (a) Undang-Undang PPh adalah penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan
atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus,
gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undangundang ini. Pada bagian penjelasannya ditambahkan bahwa semua pembayaran atau imbalan
sehubungan dengan pekerjaan, seperti upah, gaji, premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang
dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya adalah Objek Pajak.Pengertian imbalan
dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk natura yang pada hakekatnya merupakan
penghasilan.
Dengan kata lain pasal 4 ayat 1 huruf a dan penjelasannya menyatakan bahwa jumlah yang diterima
atau diperolehpegawai berkaitan erat dengan semua pembayaranyang dibayar oleh pemberi kerja.
Objek pajak penghasilan dalam pembagian Undang-Undang PPh berada pada Bab IV yang meliputi
jumlah yang diterima yang disebut penghasilan (pasal 4 dan 5) dan jumlah yang mengurangkan
penghasilan disebut biaya (pasal 6).
Pasal 6 ayat 1 menyatakan Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan
bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk:

a.biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara
lain:
1.biaya pembelian bahan;

2.biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus,

gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang;


3.bunga, sewa, dan royalti;
4.biaya perjalanan;
5.biaya pengolahan limbah;
6.premi asuransi;
7.biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri

Keuangan;
8.biaya administrasi; dan
9.pajak kecuali Pajak Penghasilan

Biaya-biaya yang dimaksud dalam ayat ini lazim disebut biaya sehari-hari yang boleh dibebankan pada
tahun pengeluaran. Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran-pengeluaran tersebutharus
mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha atau kegiatanuntuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak.Dengan
demikian
pengeluaran-pengeluaran
untuk
mendapatkan,
menagih,
dan
memelihara
penghasilan yang bukan merupakan objek pajak, tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha di atas ternyata
berada pada nomor yang berbeda antara biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah,
gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang (nomora.2),
dengan biaya perjalanan (nomor a.4).
Jadi Biaya Perjalanan yang dimaksud pada pasal 6 ayat 1 huruf a angka 4 Undang-Undang PPh
adalah biaya perjalanan dinas. Pembayaran oleh pemberi kerja sehubungan dengan biaya perjalanan
dinas dianggap bukan sebagai imbalan berkenaan dengan pekerjaan.
Karena bukan merupakan imbalan pekerjaan, maka seharusnya biaya perjalanan dinas bukan
merupakan objek Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi pegawai penerimanya.
Pemerintah telah mengeluarkan ketentuan perpajakan terhadap penghasilan pegawai yaitu Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan,
Penyetoran Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan/Atau Pajak Penghasilan Pasal 26
Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi (selanjutnya disingkat dengan Per
Dirjen Pajak No-31/2012) beserta lampirannya.
Menurut Per Dirjen Pajak No.31/PJ/2012 pasal 1 poin 2 dinyatakan bahwa Pajak Penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi Subjek

Pajak dalam negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21, adalah pajak atas penghasilanberupa gaji,
upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan
dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam
negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pada Lampiran Per
Dirjen No. 31/PJ/2012 berisi batasan-batasan dan contoh-contoh penghitungan Pajak Penghasilan pasal
21 yang diterima oleh Orang Pribadi namun pada Lampiran tersebut tidak terdapat contoh
penghitungan pajak penghasilan pasal 21 terhadap biaya perjalanan dinas yang diterima pegawai.
Perlakuan Pajak Penghasilan terhadap Biaya Perjalanan Dinas bagi Pegawai Pemerintah.
Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21 Bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota Polri, dan Pensiunannya Atas
Penghasilan Yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Atau Anggaran
Pendapatan Dan Belanja Daerah selanjutnya disebut PMK No.262/PMK.03/2010.
Pasal 2 dan Pasal 3 PMK No.262/PMK.03/2010 menjelaskan Penghasilan Yang Dikenai PPh Pasal 21.
Pasal 2
1.

PPh Pasal 21 yang terutang atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban
APBN atau APBD ditanggung oleh Pemerintah atas beban APBN atau APBD.

2.

Penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD sebagaimana
dimaksud pada ayat 1) meliputi penghasilan tetap dan teratur bagi:
a.

Pejabat Negara, untuk:

1.

gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan; atau
2.

b.

imbalan tetap sejenisnya,


PNS, Anggota TNI, dan Anggota POLRI, untuk gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap

dan teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
dan
c.

Pensiunan, untuk uang pensiun dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap
bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

ii. Termasuk dalam pengertian gaji, uang pensiun, dan tunjangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat 2)
adalah gaji, uang pensiun, dan tunjangan ke-13 (ketiga belas).
Pasal 3
Atas penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 2) berupa honorarium
atau imbalan lain dengan nama apa pun yang menjadi beban APBN atau APBD, dipotong PPh Pasal 21
dan bersifat final, tidak termasuk biaya perjalanan dinas.

Dari kedua peraturan tersebut yaitu PMK No.113/PMK.05/2012 dan PMK No.262/PMK.03/2010
menetapkan bahwa biaya perjalanan dinas bukanlah merupakan penghasilan yang dikenai PPh
Pasal 21.
Penulis melihat bahwa kunci dari kedua peraturan ini adalah penghitungan Standar Biaya. Pemerintah
diasumsikan telah menghitung Standar Biaya dengan sangat ketat dengan memperhatikan berbagai
faktor biaya di daerah yang menjadi tempat dilakukannya perjalanan dinas. Standar Biaya perjalanan
dinas ini tidak sama untuk tiap daerah. Asumsi penulis adalah bahwa siapapun pegawai yang melakukan
perjalanan dinas, diasumsikan akan membelanjakan uang yang diterima dari Bendaharawan Negara
sehingga tidak ada sisa uang yang dapat dijadikan sebagai tambahan kemampuan ekonomis pegawai
yang bersangkutan.Standar Biaya perjalanan dinas ini tidak sama untuk tiap daerah. Kementerian
Keuangan telah menghitung secara wajar dan sedetail mungkin standar biaya untuk tiap daerah agar
siapapun yang melakukan perjalanan dinas tidak sampai harus rugi namun juga tidak membuatnya
berkelebihan uang/mempunyai kemampuan ekonomis.
Perlakuan Pajak Penghasilan terhadap Biaya Perjalanan Dinas bagi Pegawai Swasta.
Tiap-tiap perusahaan mempunyai aturan dan standar biaya dalam menetapkan besaran biaya perjalanan
dinas. Jika dibandingkan dengan unsur-unsur biaya perjalanan dinas pada pegawai pemerintah (PMK
113/PMK.05/2012), secara umum pada perusahaan swasta juga biaya perjalanan dinas dapat dibagi atas
tiga komponen:

1.

Biaya Transportasi (tiket keberangkatan dan kepulangan)

2.

Biaya Akomodasi (hotel/penginapan, penyewaan kenderaan, pengepakan barang)

3.

Uang Saku (uang makan harian, transport lokal, biaya komunikasi).

Cara pembayarannya:

1.

Dengan cara lumpsum yaitu: Pembayaran sekaligus di awal uang perjalanan dinas
berdasarkan yang telah dihitung terlebih dahulu (pre-calculated amount).

2.

Dengan cara reimbursement/ penggantian yaitu dengan cara penggantian biaya yang
telah dikeluarkan pegawai berdasarkan bukti-bukti.

3.

Dengan cara pemberian uang muka.

Pastilah setiap perusahaan sudah menghitung standar biaya bagi komponen biaya di atas. Standar biaya
tersebut dihitung dengan menerapkan prinsip kewajaran, sehingga siapapun yang melakukan perjalanan
dinas tidak sampai harus rugi namun juga tidak juga membuatnya menjadi berkelebihan uang. Bukti-bukti
pengeluaran sangat penting untuk setiap komponen biaya di atas. Biaya transportasi dan biaya
akomodasi pasti mempunyai bukti pengeluaran yang gampang diperoleh. Tetapi untuk komponen Uang
Saku bukti biayanya sulit diperoleh. Perusahaan dapat menerapkan beberapa cara.

1.

Pengembalian uang sisa.


Jika sistim pembayaran Biaya Perjalanan Dinas dengan cara lumpsum, setiap pegawai yang pulang
dari perjalanan dinas dapat membuatkan perincian biaya yang telah dikeluarkan secara wajar dan
mengembalikan uang sisanya.

2. Sistim penggantian biaya/reimbursement.


Jika sistim pemberian uang perjalanan dinas dengan cara reimbursement/penggantian atau dengan
cara pemberian uang muka, maka setiap pegawai yang pulang dari perjalanan dinas dapat
membuatkan perincian biaya yang telah dikeluarkannya secara wajar dan perusahaan memberikan
penggantian biaya.
Berdasarkan sistem pembayaran diatas dapat diperkirakan bahwa setiap pegawai yang melakukan
perjalanan dinas tidak akan berkelebihan uang yang membuatnya mempunyai kemampuan
ekonomis seperti yang dinyatakan pada definisi objek pajak penghasilan (pasal 4 Undang-Undang Pajak
Penghasilan). Jika perusahaan menerapkan cara tidak memerlukan bukti pengeluaran atas komponen
Uang Saku tersebut, maka seharusnya perusahaan sudah menghitung dengan cara yang sangat detail
dan wajar semua pengeluaran yang akan dijadikan sebagai komponen Uang Saku tersebut, sehingga
Uang Saku tersebut dianggap habis saat pegawai melakukan perjalanan dinas.
Jika perusahaan mengeluarkan uang untuk Biaya Perjalanan Dinas dengan cara di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa pegawai tersebut tidak akan berkelebihan uang yang membuatnya mempunyai
kemampuan ekonomis. Sehingga seharusnya terhadap Biaya Perjalanan Dinas bukanlah merupakan
Objek Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi karyawan/pegawai yang menerimanya karena menurut pasal
6 ayat 1 Undang-Undang PPh, pembayaran oleh pemberi kerja sehubungan dengan biaya perjalanan
dinas dianggap bukan sebagai imbalan berkenaan dengan pekerjaan dan terhadap biaya yang
dikeluarkan oleh perusahaan dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan bruto (pasal 6 ayat 1
Undang-Undang Pajak Penghasilan).
Kesimpulan:

Biaya Perjalanan Dinas yang terdiri dari tiga komponen biaya yaitu Biaya Transportasi, Biaya Akomodasi
dan Uang Saku dapat dibayarkan kepada pegawai yang melakukan perjalanan dinas dengan cara
lumpsum (pembayaran di awal), reimbursement/penggantian, ataupun dengan cara pemberian uang
muka seharusnya tidak membuat pegawai menjadi berkelebihan uang yang membuatnya mempunyai
kemampuan ekonomis seperti yang dinyatakan pada definisi objek pajak penghasilan (pasal 4 UndangUndang Pajak Penghasilan). Instansi Pemerintah/Perusahaan seyogyanya mengeluarkan Surat Tugas
bagi pegawai yang ditugaskan dan sebagai bentuk pertanggungjawaban tugasnya pegawai tersebut
membuat laporan yang disertai dengan dan rincian biaya yang dikeluarkan serta jika perusahaan
menerapkan sistim pengembalian uang sisa, maka pegawai tersebut harus mengembalikan sisa uang
perjalanan yang diterima di muka.
Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang PPh, pembayaran oleh pemberi kerja sehubungan dengan Biaya
Perjalanan Dinas dianggap bukan sebagai imbalan berkenaan dengan pekerjaan dan Biaya
Perjalanan Dinas dianggap tidak memberikan tambahan kemampuan ekonomis bagi pegawai / karyawan,
maka terhadap biaya ini tidak merupakan objek pajak penghasilan bagi yang menerimanya. Perlakuan
tidak mengenakan Pajak Penghasilan Pasal 21 terhadap Biaya Perjalanan Dinas bagi pegawai
pemerintah telah diatur pada PMK Nomor 262/PMK.03/2010, maka seharusnya pengaturan yang sama
juga berlaku bagi pegawai swasta yaitu terhadap Biaya Perjalanan Dinasbukan objek Pajak
Penghasilan Pasal 21 dan bagi perusahaan, biaya tersebut dapat dijadikan sebagai pengurang
penghasilan bruto.

Anda mungkin juga menyukai