Anda di halaman 1dari 20

TINJUAN ANALISIS REPUTASI DAN MORALITAS INDIVIDU

TERHADAP KEPATUHAN PAJAK

(BPJS KESEHATAN CABANG KOTA MAKASSAR)

PROPOSAL PENELITIAN

PINTA AULIA PUTRI


NIM: 105731116820

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI BISNIS
UNIVERSITAS MUHAMMADYAH MAKASSAR
2023
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Salah satu pemasukan negara yang paling besar ialah berasal dari
pajak. Undang Undang Nomor 16 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 1: Pajak
adalah kontribusi wajib oleh negara yang terutang kepada orang pribadi
atau badan yang sifatnya memaksa sesuai dengan Undang-Undang,
dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan dipergunakan
untuk keperluan negara bagi kemakmuran rakyat. Menurut Pandiangan
(2014) pajak ialah iuran rakyat kepada kas negara yang bisa dipaksakan
yang terutang oleh Wajib Pajak sesuai dengan peraturan yang ada, dan
digunakan untuk pengeluaran-pengeluaran umum negara berhubungan
dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintah.

Menurut pengamat ekonomi dari Institute For Development


Economicsand Finance (INDEF) menyebutkan bahwa suatu negara
dikatakan mandiri jika negara tersebut tidak bergantung pada negara yang
lainnya, memiliki karakter dan jati diri yang kuat, serta ketahanan ekonomi
yang kuat dalam menghadapi setiap krisis yang ada (Ningsih &Pusposari,
2015). Pajak sebagai sumber pendanaan utama di Indonesia dijadikan
sasaran utama dalam melakukan pembangunan nasional.

Suatu perusahaan, baik yang berbentuk perseorangan maupun


badan hukum memerlukan suatu proses akuntansi yang teratur dan logis
dengan tujuan untuk menyediakan informasi keuangan yang diperlukan
oleh pihak internal maupun eksternal perusahaan. Salah satu pihak
eksternal perusahaan yang berkepentingan akan laporan keuangan
perusahaan adalah pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak
untuk menentukan besarnya pajak yang terutang dan pajak yang dipungut
dan disetor ke kas negara diantaranya adalah Pajak Penghasilan (PPh),
yaitu pajak yang dikenakan terhadap setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima oleh diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari
indonesia maupun dari luar indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi
atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan
nama dan dalam bentuk apapun. PPh yang dikenakan atas pertambahan
kemampuan ekonomi merupakan penyeimbang yang signifikan bagi
penerimaan negara selain Pajak Pertambahan Nilai. Bagi negara, pajak
merupakan salah satu sumber penerimaan penting yang akan digunakan
untuk membiayai pengeluaran negara baik pengeluaran rutin, maupun
pengeluaran pembangunan.

Alokasi BPJS tersebut dikarenakan efektif per Januari 2014 ini, PT


Jamsostek resmi berubah menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) Ketenagakerjaan dan PT.Askes (Persero) berubah menjadi BPJS
Kesehatan. Sesuai perundangan tentang sistem jaminan sosial nasional
(SJSN) tersebut, mengamanahkan agar negara memenuhi hak
konstitusional setiap orang atas jaminan sosial dan untuk memberikan
jaminan sosial yang menyeluruh bagi rakyat Indonesia. Berdasarkan Nota
Kesepahaman yang ditanda tangani oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) Kesehatan dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo)
dan disaksikan oleh Dewan Jaminan Kesehatan Nasional, sepakat agar
pemberi kerja wajib mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta program
Jaminan Kesehatan Nasional paling lambat 1 januari 2015. Serta
berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 109 Tahun
2013, mulai tanggal 1 Juli 2015 Pemberi kerja wajib mendaftarkan
pekerjanya kepada BPJS Ketenagakerjaan untuk mengikuti program
jaminan kecelakaan kerja, program jaminan hari tua, program jaminan
pensiun, dan program jaminan kematian secara bertahap. Ada sanksi
yang dikenakan apabila perusahaan tidak mendaftarkan karyawannya ke
BPJS. Perusahaan bisa dikenakan sanksi administratif dalam bentuk
teguran tertulis, denda, atau tidak mendapatkan pelayanan publik.

Menjadi peserta BPJS Kesehatan di dalam perusahaan maupun


personal sama saja yaitu merupakan kewajiban sebagai warga negara.
Hal tersebut sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU No. 24 tahun
2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). BPJS
Kesehatan Perusahaan pada dasarnya sama dengan BPJS Kesehatan
individu, hanya saja pembayaran iurannya diambil dari perhitungan gaji si
karyawan. Perusahaan memiliki wewenang untuk melakukan potongan
terhadap gaji karyawan terkait iuran yang harus dibayarkan dengan
besaran persentase tertentu.

Namun, dengan munculnya BPJS maka muncul juga peraturan


baru yang mengatur. Peraturan baru ini berdampak pada praktek
jaminan asuransi dan kesehatan karyawan di suatu perusahaan. Untuk
BPJS Ketenagakerjaan, bila sebelumnya karyawan sudah terdaftar di
Jamsostek maka tidak perlu mendaftar ulang. Dari informasi yang penulis
terima secara otomatis Jamsostek akan melimpahkan informasi
perusahaan mengenai karyawan kepada BPJS Ketenagakerjaan.
Bahkan kartu Jamsostek yang ada sekarang pun masih dianggap
berlaku.Namun, Untuk BPJS Kesehatan, jika sebelumnya perusahaan
bisa memilih tidak ikut asuransi kesehatan Jamsostek, dengan catatan
perusahaan bisa memberikan jaminan kesehatan lebih baik. Namun
sekarang tidak bisa, perusahaan tetap harus mendaftarkan karyawan ke
BPJS Kesehatan. Dengan adanya kewajiban mengikuti program BPJS
ini, maka muncul pula iuran yang harus dibayarkan perusahaan. Iuran
atas BPJS Kesehatan ini bukanlah jumlah yang sedikt karena besarnya
iuran BPJS Kesehatan adalah persentase dari upah (gaji pokok dan
tunjangan tetap).
Berapa sebenarnya besaran potongan dari gaji karyawan yang
dibayarkan untuk iuran BPJS Kesehatan?Banyak karyawan yang marah
karena merasa gajinya dipotong terlalu banyak untuk urusan BPJS,
padahal tidak demikian.Besaran iuran BPJS Kesehatan perusahaan
sebesar 5%, berdasarkan tarif Pekerja Penerima Upah yang bekerja di
badan swasta. Tapi tenang, 5% tidak semuanya dibebankan kepada
karyawan. Karyawan penerima upah hanya perlu membayar iuran
sebesar 1% saja, sedangkan sisa 4% dibayarkan oleh perusahaan.Jika
dibagi kembali, 5% itu tidak semuanya hanya untuk 1 karyawan saja,
melainkan dibagi-bagi untuk 5 anggota keluarga lain seperti suami atau
istri dan maksimal tiga orang anak. Jika kebetulan karyawan memiliki
tanggungan lebih dari 5, maka akan dikenakan tambahan iuran 1% untuk
setiap orangnya.

Berdasarkan update terbaru dari Peraturan Presiden Republik


Indonesia Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Peraturan
Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan pasal 32 ayat
1,ketentuan maksimal gaji karyawan yang dikenakan iuran BPJS
Kesehatan adalah Rp12.000.000 setiap bulannya. Itu artinya, jika gaji si
karyawan lebih dari Rp12.000.000 maka presentase 5% tetap dikalikan
dengan nominal Rp12.000.000. Pada dasarnya, iuran BPJS Kesehatan ini
merupakan salah satu dari komponen penting dalam penghitungan
potongan gaji karyawan, PPh Pasal 21. Penting bagi pemberi kerja
untuk mengetahui penghitungan PPh 21 yang akurat.

Sebagai pemberi kerja, ada banyak yang wajib untuk diketahui,


mulai dari cara mendaftarkan karyawan, menghitung jumlah iuran yang
harus dibayarkan, sampai dengan sanksi jika tidak mendaftarkan
karyawan sebagai anggota BPJS Kesehatan perusahaan. Pada dasarnya,
iuran BPJS Kesehatan ini merupakan salah satu dari komponen penting
dalam penghitungan potongan gaji karyawan, PPh Pasal 21. Penting bagi
pemberi kerja untuk mengetahui penghitungan PPh 21 yang akurat.Serta
apa sanksinya jika perusahaan tidak mendaftarkan karyawannya? Seperti
tertuang dalam UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) pasal 17, tiap pemberi kerja yang tidak melakukan
kewajibannya akan dikenai sanksi administratif, yang meliputi teguran
tertulis, denda, dan/atau tidak mendapat pelayanan publik tertentu.Lalu,
dalam pasal 55 disebutkan bahwa pemberi kerja yang tidak melakukan
kewajibannya dalam memungut, membayar, dan menyetor iuran BPJS
Kesehatan maka bisa dikenakan pidana penjara paling lama 8 tahun atau
pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000.Tidak sulit untuk
memahami apa itu BPJS Kesehatan. Yang paling penting adalah
mengetahui besaran iurannya, yaitu sebanyak 5% yang mana 4%
ditanggung oleh perusahaan dan 1% ditanggung oleh karyawan.
1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang disampaikan tersebut, maka


rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana implementasi
pembebanan biaya fasilitas kesehatan (BPJS Kesehatan) karyawan
serta dampaknya terhadap Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pajak
Penghasilan bagi staf dan karyawan BPJS Kesehatan Cabang Makassar?

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang hendak dicapai
dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui simulasi atas implementasi pembebanan biaya
fasilitas kesehatan (BPJS Kesehatan) seta dampaknya terhadap
Pajak Penghasilan Pasal 21.
2. Mengetahui simulasi atas implementasi pembebanan biaya
fasilitas kesehatan (BPJS Kesehatan) serta dampaknya terhadap
Pajak Penghasilan Badan.
3. Mengetahui Reputasi dan moralitas setiap individu badan
ansuransi jaminan kesehatan nasional.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan


mengenai implementasi pembebanan biaya fasilitas kesehatan
(BPJS Kesehatan) karyawan serta dampaknya terhadap Pajak
Penghasilan Pasal 21 dan Pajak Penghasilan Badan

2. Manfaat praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat


bagi Kantor Pelayanan Pajak, sebagai bahan masukan dan
pertimbangan dalam memahami pengaruh sistem perpajakan,
keadilan, tarif pajak, dan diskriminasi terhadap tindakan
penggelapan pajak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

Landasan teori digunakan sebagai landasan atau tuntunan dalam


pemecahan masalah penelitian. Penelitian ini menggunakan beberapa
landasan teori yang berhubungan dengan masalah yang dirumuskan.

2.1.1 Pengertian Pajak


Menurut Pasal 1 Undang - Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang
oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Menurut Suandy (2016 : 1), pajak adalah salah satu sumber
penerimaan penting yang akan digunakan untuk membiayai pengeluaran
negara.

Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa pajak yaitu


iuran kepada negara yang dipungut oleh negara baik pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah berdasarkan undangundang serta
aturan pelaksanaannya yang dalam pembayarannnya tidak dapat
ditunjukkan adanya kontrasepsi individual oleh pemerintah dan
diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah.

2.1.2 Fungsi Pajak


Pajak memiliki fungsi yang sangat strategis bagi berlangsungnya
pembangunan suatu negara. Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2016 :
4), pajak antara lain memiliki fungsi sebagai berikut : Fungsi
Penerimaan,Fungsi Mengatur,Fungsi Resdritibusi,Fungsi Demokrasi

2.1.3 Tarif Pajak


Tarif pajak merupakan persentase yang harus dibayarkan oleh
Wajib Pajk dalam hal pemenuhan kewajiban perpajakannya sebagai
warga Negara (Mardiasmo, 2016). Salah satu syarat pemungutan pajak
adalah keadilan, baik keadilan dalam prinsip maupun dalam
pelaksanaannya. Pemerintah dapat menciptakan keseimbangan sosial
dengan adanya keadilan, sehingga kesejahteraan masyarakat dapat
tercapai. Oleh karena itu, penetapan tarif pajak harus berdasarkan pada
keadilan karena pungutan pajak yang dilakukan di Indonesia
menggunakan tarif pajak. Penentuan mengenai pajak yang terutang
sangat ditentukan oleh tarif pajak.
1. Tarif PPh untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri menurut
pasal 17 ayat (1) huruf a UndangUndang Pajak Penghasilan,
yaitu :

No. Lapisan Penghasilan Kena Tarif Pajak


Pajak
1 Sampai dengan Rp 5% (lima persen)
50.000.000
diatas Rp 50.000.000 sampai
2 dengan Rp 250.000.000 15% (lima belas persen)
diatas Rp 250.000.000 25% (dua puluh lima persen)
sampai dengan Rp
3 500.000.000
4 diatas Rp 500.000.000 30% (tiga puluh persen)

2. Tarif PPh untuk Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan bentuk
usaha tetap (pasal 17 ayat (1) huruf b UndangUndang Pajak
Penghasilan) adalah 28 persen. Tarif tersebut menjadi 25 persen
berlaku mulai Tahun Pajak 2010 (pasal 17 ayat (2a) Undang-
Undang Pajak Penghasilan). Tarif Pajak untuk Wajib Pajak
badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang
paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan
saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia
dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh
tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif untuk
Wajib Pajak Badan pada umumnya.

2.1.4 Wajib Pajak


Dalam pasal 1 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (UU KUP), disebutkan bahwa Wajib Pajak (WP) adalah
orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan
pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan.Badan
adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakankesatuan baik
yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang
meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya,
badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama
dan dalam bentuk apapun, firma,kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial
politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya
termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
Wajib Pajak Badan berupa BUT dipisahkan dari Wajib Pajak Badan.
Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh :

1. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau


berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh
tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau

2. Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di


Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia.
2.1.5 Pajak Penghasilan
Menurut UU Nomor 36 Tahun 2008, Pajak Penghasilan (PPh)
adalah pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak atau
Penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam satu tahun
pajak.

2.1.6 Menghitung Pajak Penghasilan


Menurut Resmi (2016 : 117), pajak penghasilan yang terutang
dengan mengalikan tarif tertentu terhadap dasar pengenaan pajak.Dalam
pembahasan Pajak Penghasilan, dasar pengenaan pajak biasa disebut
dengan Penghasilan Kena Pajak. Jadi, penghasilan kena pajak
merupakan dasar penghitungan untuk menentukan besarnya PPh yang
terutang. Secara umum, pajak penghasilan yang terutang dihitung dengan
formula sebagai berikut.
PPh Terutang = Tarif Pajak x Penghasilan Kena Pajak

2.1.7 Penghasilan Kena Pajak (PKP)


Secara umum, besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib
Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap ditentukan berdasarkan
penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan.
Penghasilan bruto yang dimaksud adalah penghasilan sesuai
dengan Pasal 4 ayat (1) UU PPh tidak termasuk penghasilan yang
dikenakan PPh bersifat final sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2)
dan penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak. Biaya yang
dimaksud adalah biaya-biaya atau pengeluaran sesuai dengan Pasal 6
ayat (1) UU PPh. Biaya/pengeluaran dalam perpajakan dibedakan
menjadi biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto yang
diatur dalam Pasal 6 ayat (1) atau dinamakan deductible expense dan
biaya yang tidak dapat dikurangkan yang diatur dalam Pasal 9 ayat (1)
UU PPh atau dinamakan non deductible expenses. Termasuk sebagai
pengurang penghasilan bruto adalah kompensasi kerugian tahun
sebelumnya dan penghasilan tidak kena pajak bagi Wajib Pajak orang
pribadi.

2.1.8 Pajak Penghasilan Badan


Pajak Penghasilan Badan secara umum dapat diartikan pajak yang
dikenakan atas penghasilan Wajib Pajak Badan, dalam hal ini yaitu laba
perusahaan setelah dilakukan rekonsiliasi fiskal (laba fiskal). Berikut ini
hal-hal yang berkaitan dengan Pajak Penghasilan Badan.

2.1.9 Subjek Pajak Badan


Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPh, pengertian
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan
usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan
lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan
nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial
politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya
termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

Subjek Pajak Badan dibedakan menjadi subjek pajak badan dalam


negeri dan subjek pajak badan luar negeri. Badan menjadi subjek pajak
dalam negeri apabilan didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Sebaliknya, badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia statusnya adalah subjek pajak luar negeri.

2.1.10 Penghasilan Wajib Pajak Badan


Menurut Pasal 4 Undang - Undang Pajak Penghasilan, penghasilan
didefinisikan sebagai :

1. Setiap tambahan kemampuan ekonomis,


2. Yang diterima (cash basis) atau diperoleh (accrual basis) Wajib
Pajak,
3. Baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,
4. Yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan,
5. Dengan nama dan dalam bentuk apa pun

Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2016 : 310), Undang-Undang Pajak


Penghasilan menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam
pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari
manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau
menambah kekayaan Wajib tersebut. Suatu penghasilan bisa berbentuk
uang (benefit in cash) ataupun barang atau kenikmatan/fasilitas (benefit in
kind).

2.1.11 Penghitungan PPh Kurang/Lebih Bayar


Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2016 : 355), penghitungan PPh
Kurang/Lebih Bayar dilakukan dengan skema penghitungan sebagai
berikut:

Penghasilan Netto Fiskal xxxx


Kompensasi Kerugian (xxxx)
Penghasilan Kena Pajak xxxx

PPh Terutang (Tarif x PKP) xxxx


Kredit Pajak Dalam Negeri (xxxx)
Kredit Pajak Luar Negeri (xxxx)
PPh yang dibayar sendiri (Ps.25) (xxxx)
PPh Kurang/Nihil(Lebih Bayar) xxxx

PPh Pasal 29/28

Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar
daripada kredit pajak, maka SPT Tahunan PPh Badan menunjukkan
Kurang Bayar. Kekurangan pembayaran pajak yang terutang ini harus
dilunasi sebelum SPT Tahunan Badan disampaikan. Penyampaian SPT
Tahunan PPh Badan paling lambat 4 (empat) bulan sejak akhir Tahun
Pajak. PPh yang harus dilunasi sebelum SPT Tahunann PPh Badan
disampaikan ini sering disebut dengan istilah PPh Pasal 29.
Apabila jumlah pajak yang terutang untuk suatu Tahun Pajak ternyata
lebih kecil dari pada jumlah kredit pajaknya, maka SPT Tahunan PPh
Badan menunjukkan Lebih Bayar. Atas kelebihan pembayaran ini wajib
pajak boleh mengajukan permohonan restitusi.

2.2 Penelitian Terdahulu

Hasil dari penelitian terdahulu yang digunakan sebagai referensi dalam


penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Hendri Jaya (2015), dalam jurnal penelitiannya yang berjudul


“Pengaruh Koreksi Fiskal Pajak Penghasilan Badan &
PPh Pasal 23 Laporan Komersial Terhadap Laporan
Keuangan Fiskal”. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa
Koreksi fiskal terhadap PPh Pasal 23, penulis menemukan
beban PPh Pasal 23 yang menjadi lose. Beban tersebut
tidak dapat diakui sebagai beban dalam perpajakan
sehingga perusahaan memasukkan biaya tersebut ke
kelompok account other.
2. Steffani Gabriella Sondakh (2015), dalam jurnal
penelitiannya yang berjudul “Analisis Koreksi Fiskal Atas
Laporan Keuangan Komersial Pada PT. Bank Perkreditan
Rakyat Cipta Cemerlang Indonesia”. Hasil penelitiannya
menyebutkan bahwa PT. Bank Perkreditan Rakyat Cipta
Cemerlang Indonesia dalam melakukan koreksi fiskal masih
terdapat biaya-biaya yang tidak dikoreksi perusahaan yang
seharusnya dikoreksi. Hal ini terlihat dari koreksi
perusahaan sebesar Rp. (356.081.831), akan tetapi setelah
penulis lakukan penelitian dan disesuaikan dengan peraturan
perpajakan yang berlaku terdapat koreksi tambahan dari
penulis sebesar Rp. (168.620.530). Dengan demikian total
koreksi adalah Rp. (187.461.301) yang terdiri dari koreksi
positif sebesar Rp. 168.660.530 dan koreksi negatif sebesar
Rp. 356.121.831. Akibat dari adanya koreksi positif dan
negatif tersebut maka terjadi kenaikan besarnya penghasilan
kena pajak dari Rp. 234.194.750,- menjadi sebesar Rp.
266.183.493
3. Sunanto (2015), dalam jurnal penelitiannya yang berjudul
“Analisis Perhitungan Pajak Penghasilan Menurut
Undang-Undang PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pada
Koperasi Pegawai Negeri (KPN) Harapan
Jaya Sekayu”. Hasil penelitiannya menunjukkan antara lain
belum melakukan koreksi fiskal menurut undang-undang pph
nomor 36 tahun 2008 terhadap hasil perhitungan hasil usaha
koperasi pegawai negeri (KPN) harapan jaya sekayu karena
masih terdapat akun - akun yang dimasukkan sebagai
pengurang penghasilan kena pajak dan belum melakukan
penyesuaian tarif penyusutan aktiva tetap sehingga hasil
usaha yang didapat bukan merupakan hasil usaha fiskal.
Perhitungan pajak penghasilan yang dilakukan penulis
sebesar Rp. 52.302.740,28 dan perhitungan pajak
penghasilan menurut koperasi pegawai negeri sebesar Rp.
25.769.344.28 sehingga terdapat selisih kurang bayar
sebesar Rp. 26.533.395,88.
4. Tety Aprilla Rismawani (2016), dalam jurnal penelitiannya
yang berjudul “Analisis Koreksi Fiskal Atas Laporan
Keuangan Komersial Dalam Penentuan Pajak
Penghasilan Pada PT. Gajahmada Indrasehati”. Hasil
penelitiannya menunjukkan terdapat koreksi fiskal positif
yang berakibat laba yang diperoleh berdasarkan laporan
keuangan komersial berbeda dengan laporan keuangan
fiskal, serta terdapat kurang bayar pajak penghasilan
perusahaan.

2.3 Kerangka Teori

Kepatuhan Membayar Pajak

Faktor
Pendidikan
Predisposisi
Pekerjaan
Pendapatan/gaji
Kewajiban pemberi kerja
Kepatuhan terhadap perundangan
Persepsi terhadap pajak
Kemauan membayar iuran

faktor
Pendukung ketersediaan tempat pembayaran

faktor
Pendorong a.kewajiban negara Indonesia
b.Motivasi Kepatuhan Pajak

3.2.2 Penjelasan Kerangka Teori


Dapat dijelaskan bahwa tingkat kepatuhan pemberikerja
mendaftarkan pegawainya wajib bagi setiap karyawan perusahaan.
Namun, kewajiban mendaftarkan kepesertaan menjadi tanggung jawab
pemberi kerja atau perusahaan. Apabila perusahaan tidak mendaftarkan
karyawan mereka, maka terancam sanksi administratif berupa teguran,
denda, dan tidak mendapat layanan publik (perizinan).BPJS Kesehatan
tidak bersifat optional. Meskipun karyawan telah memiliki polis asuransi
komersial, mereka tetap harus menjadi peserta BPJS Kesehatan. Artinya
sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini tidak dapat digantikan oleh
jaminan kesehatan yang lain.Iuran BPJS Kesehatan karyawan ditetapkan
5% dari upah, dengan perusahaan menanggung yang 4% dalam bentuk
tunjangan BPJS dan karyawan membayar 1%. Iuran ini mencakup
perlindungan untuk 5 orang anggota keluarga, yaitu karyawan, suami/istri,
dan 3 orang anak. Anak keempat dan seterusnya wajib didaftarkan BPJS,
dan karyawan menambah iuran 1% per orang.

Karyawan dengan gaji sampai dengan Rp4.000.000 mendapat


manfaat layanan perawatan kelas II, dan karyawan dengan gaji di atas
Rp4.000.000 mendapat manfaat layanan kelas I. Batas upah tertinggi
untuk perhitungan iuran adalah Rp12.000.000 dan batas upah terendah
adalah upah minimum kota/kabupaten.Dibanding iuran peserta PBPU dan
BP, iuran untuk karyawan lebih rendah. Iuran PBPU dan BP adalah
Rp150.000 per orang untuk kelas I, Rp100.000 per orang untuk kelas II,
dan Rp42.000 per orang untuk kelas III.

Bagi perusahaan, setidaknya ada tiga manfaat yang didapat dengan


mendaftarkan kepesertaan karyawan dan membayar iurannya, yaitu:

1. Meningkatkan kepatuhan perusahaan dan menghindari sanksi


administratif.
2. Meringankan beban perusahaan dengan mengalihkan
pertanggungan kesehatan karyawan ke BPJS Kesehatan.
3. Meningkatkan daya tarik perusahaan dalam rekrutmen, karena
BPJS Kesehatan mencerminkan kepedulian perusahaan terhadap
kesejahteraan karyawan.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis penelitian


Jenis Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Menurut Creswell
(2016:4) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai metode-metode untuk
mengeksplorasi dan memahami makna yang-oleh sejumlah individu atau
sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau
kemanusiaan. Peneliti dalam penelitian kualitatif memiliki peran penting
untuk mengajukan pertanyaan dan prosedur, mengumpulkan data,
menganalisis data secara induktif dari tema yang bersifat khusus ke
umum, serta menafsirkan makna data. Peneliti menggunakan penelitian
kualitatif agar dapat memahami perencanaan pajak yang tepat untuk
diterapkan di Rumah Sakit Swasta X dan menganalisis apakah
perencanaan pajak tersebut layak diterapkan atau tidak.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi


kasus. Maxfield (1930) dalam Nazir (2012:57) mendefinisikan penelitian
studi kasus adalah penelitian tentang status subyek penelitian yang
berkenan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan
personalitas. Pendekatan ini memusatkan diri secara intensif terhadap
suatu obyek. Tujuan dari penelitian metode studi kasus adalah
memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat
serta karakter-karakter yang khas dari kasus, ataupun status dari individu,
yang kemudian dari sifat-sifat khas di atas akan dijadikan suatu hal yang
bersifat umum. Penggunaan metode ini peneliti akan melakukan Pratinjau
Analisis moralitas dan reputasi kepatuhan pajak individu pada kantor
BPJS Kesehatan Kota Makassar.

3.2 Fokus Penelitian


Fokus penelitian dari penelitian ini adalah menyusun model
perencanaan pajak penghasilan pasal 21 Pada hakikatnya, pembayaran
iuran BPJS Kesehatan merupakan pembayaran premi asuransi
kesehatan. Merujuk Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-16/PJ/2016, dalam menghitung PPh Pasal 21, premi yang
dibayarkan oleh perusahaan digabungkan dengan penghasilan bruto yang
dibayarkan oleh pemberi kerja kepada pegawai. Sesuai ketentuan Pasal 4
ayat (1) huruf n UU PPh, dijelaskan bahwa: “Yang menjadi objek pajak
adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau
untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama
dan dalam bentuk apa pun.
Apakah BPJS yang Dibayar oleh Karyawan dapat Menjadi
Pengurang Penghasilan Bruto? Seperti yang telah dijelaskan,
pembayaran iuran BPJS Kesehatan juga ditanggung oleh karyawan
sendiri. Meskipun mengurangi take home pay, dalam menghitung PPh
Pasal 21, iuran BPJS yang ditanggung oleh karyawan bukan merupakan
pengurang penghasilan bruto. Hal tersebut dijelaskan melalui Pasal 9 ayat
(1) huruf d UU PPh, yang menyebutkan: “Untuk menentukan besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk
Usaha Tetap tidak boleh dikurangkan Premi kesehatan yang dibayarkan
oleh Wajib Pajak.”

Merujuk Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang


Jaminan Kesehatan, setiap peserta Pekerja Penerima Upah wajib
membayar iuran BPJS Kesehatan 5% dari upah per bulan. Persentase
iuran BPJS tersebut dapat ditanggung pemberi kerja (perusahaan)
sebesar 4%, sedangkan 1% sisanya dibayar oleh karyawan bersangkutan.
Iuran BPJS Kesehatan karyawan dihitung berdasarkan gaji pokok dan
tunjangan tetap, yaitu tunjangan yang diterima karyawan secara teratur
dalam jumlah tetap dan tidak dipengaruhi oleh kehadiran. Pemerintah
melalui Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 menentukan batas
upah tertinggi dalam perhitungan BPJS Kesehatan karyawan. Batasan
upah tertinggi yaitu Rp12.000.000, sehingga iuran BPJS Kesehatan
maksimal adalah Rp600.000. Di sisi lain, batas upah minimum dalam
menghitung iuran BPJS Kesehatan untuk karyawan swasta adalah upah
minimum kabupaten/kota (UMK).

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.3.1 Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilakukan Kantor Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) Kesehatan cabang Makassar.
3.4 Populasi dan Sampel Penelitian

3.4.1 Populasi
Populasi adalah kumpulan individu yang mempunyai
karakteristik yang akan di hitung atau di ukur (Wahid iqbal
Mubarak, 2009), sedangkan pengertian populasi dalam Nursalam
(2013) populasi yaitu subyek misalnya manusia, klien yang
memenuhi kriteria yang telah ditetapkan. Pada penelitian ini
populasi yang digunakan adalah seluruh staf yang bekerja di
Kantor BPJS Kesehatan Cabang Makassar.

3.4.2 Sampel
Sampel adalah bagian populasi yang diambil dengan cara
tertentu dimana pengukuran dilakukan, Aris Santjhaka
(2011).Adapun pengertian sampel menurut Nursalam (2013)
yaitu sampel adalah bagian populasi yang terjangkau yang dapat
dipergunakan sebagai subyek penelitian.Sampel dalam
penelitian ini dihitung dengan besar sampel atau total sampel
sebagai berikut :

2
nN= Z . P(I-P)

N d2 + Z2 P (I-P)

n = Besar sampel

N = Populasi

ZI-a/2 = Nilai Z pada derajat kemaknaan (biasanya 95% =


1,96)

P = Popolasi suatu kasus tertentu


terhadap populasi, bila tidak diketahui
proporsinya, ditetapkan 50% (0,5)
D = Derajat penyimpangan terhadap
populasi yang diinginkan
(Lemeshow, 1997)
Maka dapat dihitung besar sampel atau
besar sampel sebagai berikut : n=
6403 (1,96)2 . 0,5 (1-0,5) =
6149.4412
6403 (0,1)2 + (1,96)2 . 0,5 (1-0,5) 64.9904

= 94,6207 =9
3.5 Teknik / metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada
subjek dan proses pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan
dalam penelitian (Nursalam, 2008).Dalam mendapatkan data, terdapat
beberapa teknik pengumpulan data yang dilakukan yaitu dengan dua
cara, yaitu teknik pengumpulan data primer dan teknik pengumpulan data
sekunder.

3.5.1 Teknik Pengumpulan Data Primer

3.5.1.1 Observasi

Pengamatan langsung di wilayah studi dengan menggunakan


format yang disusun berdasarkan item-item tentang tingkat
kepatuhan peserta PBPU dalam melakukan pembayaran BPJS
Kesehatan. Setelah itu, memberikan tanda centang (√) pada
kolom yang dikehendaki pada format tersebut.

3.5.1.2 Wawancara
Dengan tatap muka dan melakukan proses tanya jawab
kepada beberapa narasumber kantor di BPJS Kesehatan untuk
mendapatkan dan menggali informasi yang tepat tentang
kepatuhan peserta PBPU dalam melakukan pembayaran iuran
BPJS Kesehatan.

3.5.2 Teknik Pengumpulan Data Sekunder


Survei literatur, merupakan penelaahan yang bersumber
pada buku, jurnal, dokumen kebijakan yang berhubungan
dengan masalah BPJS Kesehatan. Untuk mendapatkan data
sesuai dengan fokus penelitian ini dan untuk mengurangi bias
hasil penelitian, sampel diambil dengan menggunakan kriteria
inklusi dan eksklusi (Nursalam, 2008).

1. Kriteria inklusi
Adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu
populasi target yang terjangkau yang akan diteliti (Nursalam,
2008):
a) Seluruh kepala keluarga peserta PBPU BPJS Kesehatan
b) Peserta yang daftar pada tahun 2017

3.5.3 Teknik Sampling


Teknik sampling adalah suatu proses seleksi sampel yang
digunakan dalam penelitian dari populasi yang ada, sehingga
jumlah sampel akan mewakili keseluruhan populasi yang ada
(Hidayat, 2008)

Teknik sampling pada penelitian ini adalah simple


Random sampling adalah pengambilan sampel secara sengaja
sesuai dengan persyaratan sampel yang diperlukan.

3.5.4 Kerangka kerja Penelitian


Kerangka kerja adalah penetapan (langkah-langkah) dalam
aktifitas alamiah mulai dari penetapan populasi sampel dan seterusnya,
yaitu kegiatan sejak awal penelitian akan dilaksanakan (Nursalam, 2011).
Kerangka kerja dibuat untuk memperjelas titik penelitian yang dilakukan
oleh peneliti yaitu Faktor yang mempengaruhi perilaku terhadap
kepatuhan pembayaran pajak dan bagaimana reputasi dan moralitas dari
badan penjamin negara (BPJS) Kesehatan kantor cabang Makassar .
DAFTAR PUSTAKA

Abrahams, N. B., & Kristanto, A. B. (2016). Persepsi Calon Wajib Pajak


Dan Wajib Pajak Terhadap Etika Penggelapan Pajak Di Salatiga. Jurnal
Berkala Akuntansi Dan Keuangan Indonesia, 1(1), 50–70.
Https://Doi.Org/10.1055/S-2006-961412
Ajzen, I. (1991). The TheoryOfPlannedBehavior.
OrgnizationalBehaviorAnd Human DecisionProcesses, 50, 179–211.
Https://Doi.Org/10.1016/0749- 5978(91)90020-T
Ajzen, I. (2008). ConsumerAttitudesAndBehavior.
HandbookOfConsumerPsychology, July, 525–548.
Https://Doi.Org/10.4324/9780203809570.Ch20
Allingham, M., &Sandmo, A. (1972). IncomeTaxEvasion : A
TheoreticalAnalysis. JournalOfPublicEconomics, 1, 323–338.
Https://Doi.Org/10.4324/9781315185194
Ardyaksa, T. K., & Kiswanto. (2014). Pengaruh Keadilan, Tarif Pajak,
Ketepatan Pengalokasian, Kecurangan, Teknologi Dan Informasi
Perpajakan Terhadap TaxEvasion. AccountingAnalysisJournal, 3(4), 475–
484. Https://Doi.Org/10.15294/Aaj.V3i4.4209
Ayu, S. D. (2009). Persepsi Wajib Pajak: Dampak Pertentangan Diametral
Pada TaxEvasion Wajib Pajak Dalam Aspek Kemungkinan Terjadinya
Kecurangan, Keadilan, Ketetapan Pengalokasian, Teknologi Sistem
Perpajakan, Dan Kecenderungan Personal (Studi Wajib Pajak Orang
Pribadi). Jurnal Unikal, 1(1), 1–20.
Bahari, N. A. P. (2016). Pengaruh Pemahaman, Sistem Perpajakan,
Presepsi Baik Pada Fiskus Dan Keadilan Terhadap Tindakan TaxEvasion.
Repository Umy, 2, 1–23.
Elmiza, M., Fauziati, P., &Yunilma. (2013). Pengaruh Keadilan, Sistem
Perpajakan, Dan Diskriminasi Terhadap Persepsi Wajib Pajak Mengenai
Etika Penggelapan Pajak (TaxEvasion). E-Journal Bung Hatta, 1(1), 182–
184.
Faradiza, S. A. (2018). Persepsi Keadilan, Sistem Perpajakan Dan
Diskriminasi Terhadap Etika Penggelapan Pajak. Akuntabilitas, 11(1), 53–
74. Https://Doi.Org/10.15408/
Akt.V11i1.8820 Fishbein, M., &Ajzen, I. (1975). Belief, Attitude, Behaviour :
Belief, Attitude, IntentionAndBehavior: An Introduction To
TheoryAndResearch. Addison Wesley.
Ghozali, I. (2015). Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program IbmSpss
23. Universitas Diponegoro.
Handayani, B. D., &Friskianty, Y. (2014). Pengaruh SelfAssessment
System, 85 Keadilan, Teknologi Perpajakan, Dan Ketidakpercayaan
Kepada Pihak Fiskus Terhadap Tindakan TaxEvasion.
AccountingAnalysisJournal, 3(4), 457–465.
Indriyani, M., Nurlaela, S., & Wahyuningsih, E. M. (2016). Pengaruh
Keadilan, Sistem Perpajakan, Diskriminasi Dan Kemungkinan
Terdeteksinya Kecurangan Terhadap Persepsi Wajib Pajak Orang Pribadi
Mengenai Perilaku TaxEvasion. Prosiding Seminar Nasional Ienaco, 818–
825.
International TaxCompact. (2010). JoiningForces To
MobilizeDomesticRevenues For Development 25 And 26 January 2010.
Oecd, 315–322.
Julita, J., Taufik, T., & Pulungan, R. (2015). Pengaruh Keadilan, Sistem
Perpajakan, Dan Kemungkinan Terdeteksinya Kecurangan Terhadap
Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak (TaxEvasion).
Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Riau, 2(2), 34088.
Kan, M. P. H., Fabrigar, L. R., &Fishbein, M. (2017).
EncyclopediaOfPersonalityAnd Individual Differences.
EncyclopediaOfPersonalityAnd Individual Differences, 1–8.
Https://Doi.Org/10.1007/978-3-319-28099-8
Kurniawati, M., &Toly, A. A. (2014). Analisis Keadilan Pajak, Biaya
Kepatuhan, Dan Tarif Pajak Terhadap Persepsi Wajib Pajak Mengenai
Penggelapan Pajak Di Surabaya Barat. Tax&AccountingReview, 4(2), 1–
12.
Lind, E. A. (2001). FairnessHeuristicTheory: JusticeJudgments As
PivotalCognitions In OrganizationalRelations. Advances In
OrganizationalJustice, November, 56– 88.
Madjid, S., & Rahayu, I. S. (2019). Pengaruh Tarif Pajak, Ketetapan
Pengalokasian Pajak Dan Keadilan Pajak Terhadap TaxEvasion Oleh
Wajib Pajak Orang Pribadi. Majalah Sainstekes, 5(2), 91–100.
Https://Doi.Org/10.33476/Ms.V5i2.930
Mardiasmo. (2016). Perpajakan (Edisi Revi). Penerbit Andi.
Marlina. (2018). Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi
Wajib Pajak Orang Pribadi Mengenai Penggelapan Pajak Pada Kpp
Pratama Lubuk Pakam. Jurnal Pundi, 2(2), 151–168.
Https://Doi.Org/10.31575/Jp.V2i2.82
Mcgee, R. W., &Djatej, A. (2011). The EthicsOfTaxEvasion: A
SurveyOfHispanicOpinion. Ssrn Electronic Journal.
Https://Doi.Org/10.2139/Ssrn.997541
Nickerson, I., Pleshko, L., &Mcgee, R. W. (2009). Presenting The
DimensionalityOf An EthicsScalePertaining To TaxEvasion. JournalOf
Legal, EthicalAndRegulatoryIssues, 12(1), 1–14.
Ningsih, D. N. C., &Pusposari, D. (2015). Determinan Persepsi Mengenai
Etika Atas Penggelapan Pajak (TaxEvasion) (Studi Pada Mahasiswa
Jurusan Akuntansi

Anda mungkin juga menyukai