Anda di halaman 1dari 30

PROSEDUR OPERASI STANDAR

PENDIDIKAN INKLUSIF

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL


DIREKTORAT JENDERAL MANDIKDASMEN
DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH LUAR BIASA
TAHUN 2007

KATA PENGANTAR
Dalam rangka mensukseskan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan
perwujudan hak azasi manusia, layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus perlu lebih
ditingkatkan.
Selama ini pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus lebih banyak di selenggarakan secara
segregasi di Sekolah Luar Biasa (SLB) dan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Sementara itu lokasi
SLB dan SDLB pada umumnya berada di ibu kota kabupaten, padahal anak-anak berkebutuhan khusus
banyak tersebar hampir di seluruh daerah (Kecamatan/Desa). Akibatnya sebagian anak berkebutuhan
khusus tersebut tidak bersekolah karena lokasi SLB dan SDLB yang ada jauh dari tempat tinggalnya,
sedangkan sekolah umum belum memiliki kesiapan untuk menerima anak berkebutuhan khusus
karena merasa tidak mampu untuk memberikan pelayanan kepada ABK di sekolahnya.
Untuk itu perlu dilakukan terobosan dengan memberikan kesempatan dan peluang kepada anak
berkebutuhan khusus untuk memperoleh pendidikan di sekolah umum (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA,
dan SMK/MAK), yang disebut Pendidikan Inklusif. Untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan dalam implementasi pendidikan inklusif, maka pemerintah melalui Direktorat Pembinaan
Sekolah Luar Biasa menyusun naskah Prosedur Operasi Standar Pendidikan Inklusif. Selanjutnya,
dari naskah ini dikembangkan ke dalam beberapa pedoman, yaitu:
1. Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
2. Pedoman Khusus Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, yaitu:
1) Pedoman Khusus Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus.
2) Pedoman Khusus Pengembangan Kurikulum.
3) Pedoman Khusus Kegiatan Pembelajaran.
4) Pedoman Khusus Penilaian.
5) Pedoman Khusus Manajemen Sekolah.
6) Pedoman Khusus Pengadaan dan Pembinaan Tenaga Pendidik.
7) Pedoman Khusus Pemberdayaan Sarana dan Prasarana
8) Pedoman Khusus Pemberdayaan Masyarakat.
9) Pedoman Khusus Bimbingan dan Konseling
3. Suplemen Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, yaitu:
1)
2)
3)
4)
5)
6)

Model Program Pembelajaran Individual


Model Modifikasi Bahan Ajar
Model Rencana Program Pembelajran
Model Media Pembelajaran
Model Program Tahunan
Model Laporan Hasil Belajar (Raport)

Jakarta, April 2007


Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa

Ekodjatmiko Sukarso
NIP. 130804827

KATA SAMBUTAN
Kebijakan pemerintah dalam penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun
disemangati oleh seruan Internasional Education For All (EFA) yang dikumandangkan UNESCO
sebagai kesepakatan global hasil World Education Forum di Dakar, Sinegal Tahun 2000, penuntasan
EFA diharapkan tercapai pada Tahun 2015.
Seruan ini senafas dengan semangat dan jiwa Pasal 31 UUD 1945 tentang hak setiap warga
negara untuk memperoleh pendidikan dan Pasal 32 UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur mengenai pendidikan khusus dan pendidikan layanan
khusus.
Sedang pemerataan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus dilandasi pernyataan
Salamanca Tahun 1994. Pernyataan Salamanca ini merupakan perluasan tujuan Education Fol All
dengan mempertimbangkan pergeseran kebijakan mendasar yang diperlukan untuk menggalakkan
pendekatan pendidikan inklusi. Melalui pendidikan inklusif ini diharapkan sekolahsekolah reguler
dapat melayani semua anak, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus. Di
Indonesia melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 002/U/1986 telah dirintis
pengembangan sekolah penyelenggaraan pendidikan inklusif yang melayani Penuntasan Wajib
Belajar bagi peserta didik yang berkebutuhan khusus.
Pendidikan terpadu yang ada pada saat ini diarahkan untuk menuju pendidikan inklusif
sebagai wadah yang ideal yang diharapkan dapat mengakomodasikan pendidikan bagi semua,
terutama anak-anak yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus selama ini masih belum terpenuhi
haknya untuk memperoleh pendidikan layaknya seperti anak-anak lain. Sebagai wadah yang ideal,
pendidikan inklusif memiliki empat karakteristik makna yaitu: (1) Pendidikan Inklusif adalah proses
yang berjalan terus dalam usahanya menemukan cara-cara merespon keragaman individu anak, (2)
Pendidikan inklusif berarti memperoleh cara-cara untuk mengatasi hambatan-hambatan anak dalam
belajar, (3) Pendidikan inklusif membawa makna bahwa anak mendapat kesempatan untuk hadir (di
sekolah), berpartisipasi dan mendapatkan hasil belajar yang bermakna dalam hidupnya, dan (4)
Pendidikan inklusif diperuntukkan bagi anak-anak yang tergolong marginal, esklusif dan membutuhkan
layanan pendidikan khusus dalam belajar.
Akses pendidikan dengan memperhatikan kriteria yang terkandung dalam makna inklusif
masih sangat sulit dipenuhi. Oleh karena itu kebijakan pemerintah dalam melaksanakan usaha
pemerataan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus baru merupakan rintisan awal

menuju pendidikan inklusi. Sistem pendekatan pendidikan inklusif diharapkan dapat menjangkau
semua anak yang tersebar di seluruh nusantara.
Untuk itu, maka kebijakan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah,
Departemen Pendidikan Nasional dalam penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar bagi anak yang
memerlukan layanan pendidikan khusus diakomodasi melalui pendekatan Pendidikan Inklusif.

Melalui pendidikan ini, penuntasan Wajib Belajar dapat diakselerasikan dengan berpedoman pada
azas pemerataan serta peningkatan kepedulian terhadap penanganan anak yang memerlukan layanan
pendidikan khusus.
Sebagai embrio, pendidikan terpadu menuju pendidikan inklusi telah tumbuh diberbagai
kalangan masyarakat. Ini berarti bahwa tanggungjawab penuntasan wajib belajar utamanya bagi anak
yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus telah menjadi kepedulian dari berbagai pihak sehingga
dapat membantu anak-anak yang berkebutuhan

khusus dalam mengakses pendidikan melaluii

belajar untuk hidup bersama dalam masyarakat yang inklusif.


Agar dalam pelaksanaan program pendidikan inklusif dapat berjalan sesuai dengan yang
diharapkan, maka Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah melalui Direktorat
Pembinaan Sekolah Luar Biasa telah menyusun pedoman pendidikan inklusif.
Akhirnya, ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan buku pedoman ini dan semoga buku ini dapat bermanfaat serta berguna bagi
semua pihak.

Jakarta, April 2007


Direktur Jenderal
Manajemen Pendidikan Dasar dan menengah

Prof. H. Suyanto, Ph. D


NIP. 130606377

DAFTAR ISI
Halaman
i
ii
iii
iv

Halaman Judul
Kata Pengantar
Kata Sambutan
Daftar Isi
A.

PENDAHULUAN
1.
2.
3.
4. Prinsip Pendidikan Inklusif
5. Tujuan
6. Sasaran

Latar Belakang
Landasan
Pengertian Pendidikan Inklusif

1
1
2
3
4
4
5

B.

PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF


1. Kriteria Sekolah
2. Layanan dalam Pendidikan Inklusif
3. Manajemen Sekolah
4. Identifikasi dan Asesmen
5. Kurikulum yang digunakan
6. Sistem Penilaian
7. Bimbingan dan Konseling
8. Pendidik dan Tenaga Kependidikan
9. Sarana dan Prasarana Penunjang
10. Pembiayaan
11. Pemberdayaan Masyarakat

5
5
7
8
9
11
12
12
12
15
15
16

C.

STRATEGI IMPLEMENTASI
1. Sosialisasi dan Koordinasi
2. Penerimaan Peserta Didik Berkebutuhan Khusus
3. Rekruitmen Pendidik dan Tenaga Kependidikan
4. Pembelajaran
5. Supervisi
6. Sertifikasi
7. Monitoring dan Evaluasi
8. Administrasi dan Pelaporan

17
17
17
17
18
19
19
19
20

B. PENDAHULUAN
1.

Latar Belakang
Pemerintah
kepada

Indonesia

anak

memberikan

berkebutuhan

khusus

jaminan

sepenuhnya

untuk

memperoleh

layanan pendidikan yang bermutu. Hal tersebut sesuai dengan


amanat Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan
UndangUndang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Jumlah anak berkebutuhan khusus usia
sekolah menurut data BPS dan Depsos (2003) adalah 317.016
anak berkebutuhan khusus. Sampai saat ini 66.610 anak
berkebutuhan khusus

atau sekitar 21 % telah memperoleh

layanan pendidikan pada Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah


Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Sekolah Terpadu. Ini berarti 79
% atau 250.442 ABK di Indonesia belum memperoleh layanan
pendidikan.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka diperlukan alternatif
sistem pendidikan lain yang lebih memberikan peluang bagi
perluasan dan peningkatan mutu layanan pendidikan bagi
ABK.

Untuk

pendidikan
memberikan

mengantisipasi

inklusif

permasalahan

merupakan

kesempatan

sistem

kepada

ini,

pendidikan

semua

anak

model
yang
untuk

memperoleh layanan pendidikan yang bermutu, humanis dan


demokratis,

sesuai

Undang-Undang

dengan

Sisdiknas

penjelasan
Tahun

2003,

pasal
yang

15

dalam

berbunyi:

Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan


untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang
memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara
inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat
pendidikan dasar dan menengah.

2.

Landasan
a.

Landasan Filosofis
1)

Setiap

anak

mempunyai

hak

mendasar

untuk

memperoleh pendidikan,
2)

Setiap anak mempunyai potensi, karakteristik, minat,


kemampuan dan kebutuhan belajar yang berbeda,

3)

Sistem

pendidikan

dilaksanakan

seyogyanya
dengan

dirancang

dan

memperhatikan

keanekaragaman karakteristik dan kebutuhan anak,


4)

Anak berkebutuhan khusus mempunyai hak untuk


memperoleh akses pendidikan di sekolah umum.

5)

Sekolah umum dengan orientasi inklusi merupakan


media

untuk

menghilangkan

sikap

diskriminasi,

menciptakan masyarakat yang ramah, membangun


masyarakat yang inklusif dan mencapai pendidikan
bagi semua.
b. Landasan Yuridis
1)

Undang Undang Dasar 1945, ps 31 (1) dan (2).

2)

Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang


perlindungan anak, ps 51.

3)

Undang Undang No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem


Pendidikan Nasional: ps
s 3, ps 4 (1), ps 5 (1) (2) (3) (4) ,
ps 11 (1), ps. 12 (1.b)

4)

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang


Penyandang cacat.

5)

Surat Edaran Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan


Menengah Depdiknas No.380/G.06/MN/2003 tanggal
20 Januari 2003 tentang pendidikan inklusif.

d. Landasan Empiris
1) Deklarasi Hak Asasi Manusia, (1948), Declaration of
Human Rights,
2) Konvensi Hak Anak, (1989), Convention on the Rights of
the Child,
3) Konferensi Dunia (1990), tentang Pendidikan untuk
Semua, (World Conference on Education for All),
4) Resolusi

PBB

nomor

48/96

tahun

1993

tentang

Persamaan Kesempatan bagi Orang Berkelainan (the


standard rules on the equalization of opportunities for
persons with disabilities)
5) Pernyataan

Salamanca

(1994),

tentang

Pendidikan

Inklusif,
6) Komitmen Dakar (2000) mengenai Pendidikan untuk
Semua,
7) Deklarasi Bandung (2004) dengan komitmen Indonesia
menuju pendidikan inklusif,
8) Rekomendasi Bukittinggi (2005), tentang meningkatkan
kualitas sistem pendidikan yang ramah bagi semua.
3.

Pengertian Pendidikan Inklusif


Pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang
memberikan kesempatan kepada semua anak belajar
bersama-sama di sekolah umum dengan memperhatikan
keragaman dan kebutuhan individual, sehingga potensi
anak dapat berkembang secara optimal.
Semangat pendidikan inklusif adalah memberi akses yang
seluas-luasnya

kepada

semua

anak,

termasuk

anak

berkebutuhan khusus, untuk memperoleh pendidikan yang

bermutu dan memberikan layanan pendidikan yang sesuai


dengan kebutuhannya.

4.

Prinsip-prinsip Penyelenggaraan
a. Prinsip pemerataan dan peningkatan mutu.
Pemerintah
menyusun

mempunyai
strategi

upaya

tanggung

jawab

pemerataan

untuk

kesempatan

memperoleh layanan pendidikan dan peningkatan mutu.


Pendidikan inklusif merupakan salah satu strategi upaya
pemerataan

kesempatan

memperoleh

pendidikan,

karena lembaga pendidikan inklusi bisa menampung


semua anak yang belum terjangkau oleh layanan
pendidikan lainnya. Pendidikan inklusif juga merupakan
strategi peningkatan mutu, karena model pembelajaran
inklusif

menggunakan

metodologi

pembelajaran

bervariasi yang bisa menyentuh pada semua anak dan


menghargai perbedaan.
b. Prinsip kebutuhan individual
Setiap anak memiliki kemampuan dan kebutuhan yang
berbeda-beda, oleh karena itu pendidikan harus
diusahakan untuk menyesuaikan dengan kondisi anak.
c. Prinsip Kebermaknaan
Pendidikan inklusif harus menciptakan dan menjaga
komunitas kelas yang ramah, menerima
keanekaragaman dan menghargai perbedaan.
d. Prinsip keberlanjutan
Pendidikan inklusif diselenggarakan secara
berkelanjutan pada semua jenjang pendidikan.
e. Prinsip Keterlibatan

10

Penyelenggaraan pendidikan inklusif harus melibatkan


seluruh komponen pendidikan terkait.
5.

Tujuan
a. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada
semua anak (termasuk anak berkebutuhan khusus)
untuk

memperoleh

pendidikan

yang

layak

sesuai

dengan kondisi anak.


b. Mempercepat

penuntasan

program

wajib

belajar

pendidikan dasar
c. Meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah
dengan menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah
d. Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai
keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta
pembelajaran yang ramah terhadap semua anak.
6. Sasaran
Sasaran pendidikan inklusif adalah semua anak usia
sekolah

termasuk

anak

berkebutuhan

khusus.

Anak

berkebutuhan khusus terdiri atas anak yang mengalami


hambatan permanen, temporer maupun hambatan dalam
perkembangan. Anak-anak dengan kebutuhan khusus yang
dapat dilayani melalui pendidikan inklusif diantaranya,
cacat fisik, intelektual, sosial, emosional, cerdas dan atau
berbakat

istimewa,

terpencil/terbelakang,

anak

yang

tinggal

suku

terasing,

di

korban

daerah
bencana

alam/sosial, kemiskinan, warna kulit, gender, ras, bahasa,


budaya, agama, tempat tinggal, kelompok politik, anak
kembar, yatim, yatim piatu, anak pedesaan, anak kota,
anak terlantar, tuna wisma, anak terbuang, anak yang
terlibat dalam sistem pengadilan remaja, anak terkena
daerah konflik senjata, anak pengemis, anak terkena
dampak narkoba HIV/AIDS (ODHA), anak gelandangan dan

11

nomaden,

dll

sesuai

dengan

kemampuan

dan

kebutuhannya.
C.

PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF


1.

Kriteria Sekolah
Setiap satuan pendidikan formal, baik TK/RA, SD/MI,
SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK, pada dasanya dapat
menyelenggarakan

pendidikan

inklusif

sesuai

dengan

sumber daya yang tersedia. Namun demikian untuk


menghindari

kemungkinan

terjadinya

implementasi

penyelenggaraan pendidikan inklusif yang kurang sesuai,


maka

setiap

satuan

pendidikan

yang

akan

menyelenggarakan pendidikan inklusif perlu memenuhi


beberapa kriteria, di antaranya sebagai berikut:
a. Terdapat Peserta Didik Berkebutuhan Khusus
Melalui proses identifikasi dan asesmen terhadap semua
peserta didik di sekolah yang bersangkutan, yang
dilakukan oleh sekolah atau tenaga profesional lain, kita
dapat menemukan ada atau tidak ada peserta didik
berkebutuhan khusus di sekolah tersebut.
Anak

berkebutuhan

khusus

mungkin

juga

dapat

diperoleh dari proses penjaringan terhadap anak usia


sekolah yang belum bersekolah di lingkungan terdekat.
Anak berkebutuhan khusus
berdasarkan

hasil

juga dapat diperoleh

rujukan

dari

Sekolah

Luar

Biasa/Institusi lain terdekat, baik karena proses mutasi


sekolah ataupun melanjutkan sekolah.
Jika sekolah umum tersebut terdapat peserta didik
berkebutuhan

khusus,

baik

karena

melalui

proses

identifikasi dan asesmen, penjaringan di lingkungan


terdekat,

maupun

secara

otomatis

rujukan

SLB/Institusi

sekolah

lain,

tersebut

maka
dapat

menyelenggarakan pendidikan inklusif.

12

b. Kesiapan Sekolah
Untuk mendukung kelancaran dalam penyelenggaraan
pendidikan inklusif, setiap satuan pendidikan harus
memiliki kesiapan untuk menyelenggarakan pendidikan
inklusif. Kesiapan dimaksud meliputi:
(1)

Adanya persepsi dan sikap yang positif dari


semua komponen sekolah, termasuk orangtua
anak pada umumnya, tentang pendidikan inklusif.

(2)

Adanya kemauan yang kuat dari sekolah


untuk

meningkatkan

pemerataan

dan

mutu

pendidikan tanpa diskriminatif


Adanya

(3)

peluang

untuk

meningkatkan

aksesibilitas anak berkebutuhan khusus dalam


penyelenggaraan pendidikan inklusif
2. Layanan dalam Pendidikan Inklusif
Layanan dalam pendidikan inklusif harus memperhatikan
hasil identifikasi dan asesmen anak berkebutuhan khusus.
Berdasakan

hasil

identifikasi

dan

asesmen

tersebut

dikembangkan berbagai kemungkinan alternatif program


pelayanan sesuai dengan kebutuhannya.
Beberapa alternatif program pelayanan yang dapat dipilih
sesuai dengan kebutuhan peserta didik di antaranya
adalah:
a. Layanan pendidikan penuh
Semua anak termasuk anak berkebutuhan khusus belajar
bersama di dalam komunitas kelas yang beragam di bawah
bimbingan guru kelas, guru bidang studi atau guru lainnya.
Sedangkan peran Guru Pendidikan Khusus (GPK) bertanggung
jawab

dalam

pembuatan

program,

monitor

pelaksanaan

program dan mengevaluasi hasil pelaksanaan program.


b. Layanan pendidikan yang dimodifikasi

13

Anak berkebutuhan khusus mengikuti proses belajar bersamasama anak pada umumnya dalam komunitas kelas yang
beragam di bawah bimbingan guru kelas, guru bidang studi atau
guru lainnya untuk mata pelajaran

dan aktivitas yang dapat

diikuti oleh anak berkebutuhan khusus dengan baik. Sedangkan


untuk GPK berperan dalam membimbing beberapa aktivitas
tertentu yang tidak dapat diikuti anak berkebutuhan khusus
dengan menggunakan Program Pembelajaran Individual (PPI).
c. Layanan pendidikan individualisasi
Anak berkebutuhan khusus mengikuti proses belajar bersamasama anak pada umumnya dalam komunitas kelas yang
beragam di bawah bimbingan penuh GPK dalam melaksanakan
PPI.
Untuk memperlancar pelaksanaan ketiga alternatif program layanan
tersebut perlu didukung oleh unit khusus yang befungsi sebagai
supporting program pendidikan inklusif. Supporting program dimaksud
dapat berbentuk: layanan remedial, layanan bimbingan, layanan
latihan dan pengembangan, layanan asesmen, dan layanan observasi.
3. Manajemen Sekolah
Upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah inklusif perlu
didukung kemampuan manajerial kepala sekolah. Kepala
sekolah

hendaknya

berupaya

untuk

mendayagunakan

sumber-sumber daya, baik personal maupun sarana prasaran


secara

optimal

guna

menunjang

tercapainya

tujuan

pendidikan di sekolah. Tidak kalah pentingnya sekolah harus


mampu mengembangkan kurikulum sesuai dengan tingkat,
perkembangan, dan karakteristik peserta didik agar lulusan
memiliki kompetensi untuk bekal hidup (life skill).
Ruang lingkup manajemen sekolah dalam rangka pendidikan
inklusif sekurang-kurangnya mencakup:
1.

Pengelolaan peserta didik

2.

Pengelolaan kurikulum

14

3.

Pengelolaan pembelajaran

4.

Pengelolaan penilaian

5.

Pengelolaan pendidik dan tenaga


kependidikan

6.

Pengelolaan sarana dan prasarana

7.

Pengelolaan pembiayaan

8.

Pengelolaan sumberdaya masyarakat

Penjelasan dari masing-masing lingkup manajemen


pendidikan inklusif tersebut, akan dijabarkan di bagian lain
dalam POS ini.

15

Secara diagramatis digambarkan sebagai berikut:

dana

kurikulum

Sarana prasarana

ketenagaan

Input :
Peserta didik

Output :
Lulusan

proses

lingkungan
Implikasi dari perubahan fungsi sekolah umum menjadi sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif, maka dimungkinkan adanya
perubahan

struktur

oganisasi

sekolah.

Alternatif

struktur

organisasi sekolah penyelenggara pendidikan inklusif untuk


satuan pendidikan SD/MI.
Komite
Sekolah

Kepala
Sekolah
TU
Koord. Pend. Inklusif

Wakil
Kep.Sek

Wakil
Kep.Sek.

Wakil
Kep.Sek.

GURU
PESERTA DIDIK

16

Contoh alternatif struktur organisasi sekolah penyelenggara


pendidikan inklusif satuan pendidikan SMP/MTS, SMA/MA,
SMK/MAK

Komite
Sekolah

Kepala
Sekolah
TU

Bimb.
Konseling

Koord. Pend. Inklusif

Wakil
Kep.Sek

Wakil
Kep.Sek.

Wakil
Kep.Sek.

GURU
PESERTA DIDIK

4. Identifikasi dan Asesmen


Pada dasarnya setiap guru harus mengetahui latar belakang
dan kebutuhan masing-masing peserta didik agar dapat
memberikan pelayanan dan bantuannya dengan tepat. Setiap
peserta didik memiliki kebutuhan yang berbeda baik karena
faktor yang bersifat permanen seperti hambatan penglihatan,
hambatan pendengaran, hambatan fisik, ataupun yang tidak
permanen seperti, masalah sosial, bencana alam, dll. Oleh
karena

itu

penting

bagi

guru

memiliki

kemampuan

mengidentifikasi peserta didik atau calon peserta didik untuk


mengetahui ada tidaknya anak berkebutuhan khusus yang
perlu

mendapatkan

layanan

pendidikan

sesuai

dengan

kebutuhannya.
Untuk mencermati lebih jauh tentang latar belakang, potensi,
dan kondisi khusus pada siswa, sekolah perlu mengadakan
asesmen. Ada dua jenis asesmen yang biasa dilakukan, yaitu:
1. Asesmen Fungsional

17

Asesmen

dilakukan

untuk

mengetahui

sejauh

mana

kemampuan dan hambatan yang dialami peserta didik


dalam melakukan aktivitas tertentu. Asesmen ini dapat
dilakukan oleh guru di sekolah.
2. Asesmen Klinis.
Asesmen klinis dilakukan oleh tenaga profesional sesuai
dengan

kebutuhannya.

Contohnya,

asesmen

untuk

mengetahui seberapa besar kemampuan melihat seorang


anak yang memiliki hambatan visual, sehingga dapat
menentukan alat bantu visual apa yang sesuai dengan
anak tersebut agar dapat dimanfaatkan dalam melakukan
tugas sehari-hari, baik di sekolah maupun di lingkungan
masyarakat.
5. Kurikulum yang digunakan
Kurikulum

yang

digunakan

dalam

penyelenggaraan

pendidikan inklusif pada dasarnya menggunakan kurikulum


yang

berlaku

di

sekolah

umum.

Namun

bagi

anak

berkebutuhan khusus, kurikulumnya perlu disesuaikan dengan


kebutuhan peserta didik, karena hambatan dan kemampuan
yang dimilikinya bervariasi.
Penyesuaian kurikulum ini diimplementasikan dalam bentuk
Program Pembelajaran Individualisasi (PPI). PPI merupakan
program

pembelajaran

yang

disusun

sesuai

kebutuhan

individu dengan bobot materi berbeda dari kelompok dalam


kelas dan dilaksanakan dalam seting klasikal.
Penyesuaian

kurikulum

dilakukan

oleh

tim

pengembang

kurikulum di sekolah yang terdiri dari: kepala sekolah, guru


kelas, guru mata pelajaran, guru pendidikan khusus, orang
tua, dan ahli lain sesuai kebutuhan.
Implikasi dari penyesuaian kurikulum bagi anak berkebutuhan
khusus

pada sekolah inklusif ini, maka secara operasional

18

model kurikulum yang digunakan ada 3 (tiga) jenis, yaitu: (1)


Kurikulum umum (reguler), untuk siswa biasa dan anak
berkebutuhan khusus yang dapat mengikuti kurikulum umum;
(2) Kurikulum

modifikasi, yaitu perpaduan antara kurikulum

umum dengan kurikulum PPI, untuk anak berkebutuhan


khusus yang tidak dapat mengikuti kurikulum umum secara
penuh; dan (3) Kurikulum yang diindividualisasikan, untuk
anak berkebutuhan khusus yang sama sekali tidak dapat
mengikuti kurikulum umum.
6. Sistem Penilaian
a.

Sistem penilaian yang digunakan


Penilaian dalam setting pendidikan inklusif mengacu pada
model pengembangan kurikulum yang dipergunakan, yaitu:
a.

Apabila anak berkebutuhan khusus mengikuti


kurikulum umum yang berlaku untuk peserta didik
pada

umumnya

di

sekolah,

maka

penilaiannya

menggunakan sistem penilaian yang berlaku pada


sekolah tersebut.
b.

Apabila anak berkebutuhan khusus mengikuti


kurikulum

modifikasi,

maka

menggunakan

sistem

penilaian yang dimodifikasi sesuai dengan kurikulum


yang dipergunakan.
c.

Apabila anak berkebutuhan khusus mengikuti


kurikulum program pembelajaran individualisasi (PPI),
maka penilaiannya bersifat individual dan didasarkan
pada kemampuan dasar awal (baseline).

b.

Sistem Kenaikan kelas


a. Peserta didik yang menggunakan model kurikulum
umum, maka sistem kenaikan kelas menggunakan
acuan yang berlaku pada sekolah umum.
b. Peserta didik yang menggunakan model kurikulum
modifikasi, maka sistem kenaikan kelas menggunakan

19

model kenaikan kelas yang didasarkan pada usia


kronologis dan atau model kenaikan kelas umum.
c. Peserta didik yang menggunakan model PPI, sistem
kenaikan

kelas

didasarkan

pada

usia

kronologis

(kenaikan kelas otomatis).


c.

Sistem Laporan Hasil Belajar


Peserta didik yang menggunakan kurikulum

a.

umum, maka model laporan hasil belajar (raport)


menggunakan model raport umum yang berlaku.
Peserta didik yang menggunakan kurikulum

b.

modifikasi, maka model raport yang dipergunakan


adalah raport umum yang dilengkapi dengan diskripsi
(narasi) dan portofolio yang menggambarkan kualitas
kemajuan belajar.
Peserta didik yang menggunakan PPI, maka

c.

model raport yang digunakan adalah raport khusus


yang

dilengkapi

dengan

diskripsi

(narasi)

dan

portofolio. Penentuan nilai kuantitatif didasarkan pada


kemampuan dasar awal (baseline).
7. Bimbingan dan Konseling
Bimbingan

konseling

dalam

penyelenggaraan

pendidikan

inklusif diperlukan sesuai dengan kemampuan sekolah. Untuk


satuan pendidikan SD/MI, pelaksanaan fungsi bimbingan dan
konseling dapat dilakukan oleh guru kelas, guru bidang studi
dan

guru

pendidikan

khusus.

Sedangkan

untuk

satuan

pendidikan SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK, tugas dan fungsi


bimbingan konseling di sekolah penyelenggara pendidikan
inklusif

dilakukan

oleh

petugas

khusus

yaitu

tenaga

pembimbing/konselor dan guru pendidikan khusus (GPK).


8. Pendidik dan Tenaga Kependidikan
a.

Pengertian dan ruang lingkup

20

Pendidik adalah tenaga profesional di bidang pendidikan


yang mempunyai tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing,

mengarahkan,

melatih,

menilai,

dan

mengevaluasi peserta didik pada satuan pendidikan


tertentu yang melaksanakan program pendidikan inklusif.
Pendidik meliputi: guru kelas (untuk SD/MI), guru mata
pelajaran,

guru

pembimbing/konselor

(untuk

sekolah

menengah), dan guru pendidikan khusus (GPK).


Di samping pendidik, sekolah penyelenggara pendidikan
inklusif juga memerlukan dukungan tenaga kependidikan
yang relevan, seperti terapis, tenaga medis, dokter,
psikolog, laboran, dan lain-lain.
Pengadaan guru pendidikan khusus (GPK) pada sekolah
penyelenggara

pendidikan

inklusif,

dapat

dilakukan

dengan cara:
a.

Sekolah yang memungkinkan mengangkat guru


pendidikan khusus (GPK) sesuai kebutuhan

b.

Sekolah meminta bantuan GPK melalui kerjasama


dengan SLB terdekat atau Institusi lainnya (LSM,
Klinik, RS)

c.

Pemerintah mengangkat Guru Pendidikan Khusus


(GPK)

yang

ditempatkan

di

sekolah-sekolah

penyelenggara pendidikan inklusif


d.

Pemerintah mengangkat GPK yang ditempatkan


pada sekolah penyelenggara pendidikan inklusif
inti/basis

dan

melaksanakan

tugas

di

sekolah

imbas.
e.

Pemerintah mengangkat GPK yang ditempatkan


pada SLB/SDLB dan melaksanakan tugas di sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif.

f.

Pemerintah dan atau Sekolah baik secara sendiri


maupun

bersama-sama,

menyelenggarakan

21

inservice training bagi guru-guru umum tentang


pendidikan inklusif
b. Tugas Pendidik
1). Tugas Guru Kelas antara lain:
)a Menciptakan iklim belajar yang kondusif sehingga
anak-anak merasa nyaman belajar di kelas/sekolah.
)b Menyusun

dan

melaksanakan

asesmen

pada

semua anak untuk mengetahui kemampuan dan


kebutuhannya
)c Menyusun program
(PPI)

bersama-sama

pembelajaran individualisasi
dengan

guru

pendidikan

khusus.
)d Melaksanakan

kegiatan

belajar-mengajar

dan

penilaian.
)e Memberikan program pengajaran remedi, repetisi,
pengayaan, dan atau percepatan bagi peserta didik
yang membutuhkan.
)f Melaksanakan administrasi kelas sesuai dengan
bidang tugasnya.
2) Tugas guru mata pelajaran antara lain:
a) Menciptakan iklim belajar yang kondusif sehingga
anak-anak merasa nyaman belajar di kelas/sekolah.
b) Menyusun dan melaksanakan asesmen pada semua
anak

untuk

mengetahui

kemampuan

dan

kebutuhannya
c) Menyusun

program pembelajaran individualisasi

(PPI) bersama-sama dengan guru pendidikan khusus.


d) Melaksanakan kegiatan pembelajaran dan penilaian
yang menjadi tanggung jawabnya.
e) Memberikan program pengajaran remedi, repetisi,
pengayaan, dan atau percepatan bagi peserta didik
yang membutuhkan.

22

3). Tugas Guru Pendidikan Khusus antara lain:


a) Menyusun instrumen dan melaksanakan asesmen
pendidikan bersama-sama dengan guru kelas dan
guru mata pelajaran serta tenaga profesional lain
b) Menjalin kerjasama antara guru, sekolah dan orang
tua peserta didik dalam perencanaan, pelaksanaan
dan penilaian kemajuan belajar
c) Melaksanakan pendampingan anak berkebutuhan
khusus pada kegiatan pembelajaran bersama-sama
dengan guru kelas maupun guru mata pelajaran.
d) Memberikan bantuan layanan khusus bagi anakanak yang mengalami hambatan.
e) Memberikan bimbingan secara berkesinambungan
dan membuat catatan khusus bagi anak-anak yang
menjadi bimbingannya selama mengikuti kegiatan
pembelajaran yang dapat dipahami jika terjadi
pergantian guru.
f) Memberikan bantuan (berbagi pengalaman) pada
guru kelas dan/atau guru mata pelajaran agar
mereka dapat memberikan pelayanan pendidikan
kepada anak-anak berkebutuhan khusus.
9. Sarana dan Prasarana Penunjang
Sarana dan prasarana pendidikan inklusif adalah perangkat
keras maupun perangkat lunak yang dipergunakan untuk
menunjang keberhasilan pelaksanaan pendidikan inklusif pada
satuan pendidikan tertentu.
Pada hakekatnya semua sarana dan prasarana pendidikan
pada satuan pendidikan tertentu dapat dipergunakan dalam
penyelenggaraan
mengoptimalkan

pendidikan
proses

inklusif,

pembelajaran

tetapi
perlu

untuk

dilengkapi

aksesibilitas bagi kelancaran mobilisasi anak berkebutuhan


khusus, selanjutnya untuk memenuhi sarana prasarana yang

23

dibutuhkan dalam pelayanan pendidikan inklusif dijabarkan


dalam buku Pedoman Kebutuhan dan Pengelolaan Sarana dan
Prasarana Pendidikan.

10. Pembiayaan
Pembiayaan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat
diperoleh dari pemerintah, pemerintah daerah, swasta, NGO,
masyarakat (orangtua peserta didik dan lembaga-swadaya
masyarakat),

dan/atau

sumber

dana

dari

luar

negeri.

Selanjutnya mekanisme pengelolaan dana dijabarkan dalam


buku Pedoman Pengelolaan Dana.

24

11. Pemberdayaan Masyarakat


Dalam rangka optimalisasi sumber daya masyarakat untuk
kelancaran penyelenggaraan pendidikan inklusif, diperlukan
upaya sistematis dan sistemik peran serta masyarakat.
Peran serta masyarakat dapat berbentuk:
a.

Peran
bantuan

tenaga/keahlian,

dukungan

sarana

langsung,

dukungan

prasarana,

seperti

pembiayaan,

penyaluran

lulusan,

keterlibatan dalam tim pengelola


b.

Peran
seperti

bantuan

pemikiran

tidak

untuk

langsung,
pengambilan

kebijakan, bantuan akses dan jaringan, pengembangan


kurikulum, pengawasan, dll.
12. Mekanisme Penyelenggaraan
Untuk

keperluan

administrasi

dan

pembinaan,

serta

kelancaran dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, perlu


mengikuti prosedur sebagai berikut:
a.

Sekolah

yang

akan

berkebutuhan

khusus

penyelenggaraan

pendidikan

menerima

mengajukan
inklusif

anak
proposal

kepada

Dinas

Pendidikan Kabupaten/Kota. Sedangkan sekolah yang


telah

memiliki

peserta

didik

berkebutuhan

khusus

melaporkan penyelenggaraan pendidikan inklusif kepada


Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.
b.

Dinas
menindaklanjuti

Pendidikan
proposal/laporan

Kabupaten/Kota
dari

sekolah

yang

bersangkutan kepada Dinas Pendidikan Provinsi.


c.

Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Dinas


Pendidikan Provinsi melakukan visitasi ke sekolah yang
bersangkutan.

25

d.

Dinas Pendidikan Provinsi menetapkan sekolah


yang bersangkutan sebagai penyelenggara pendidikan
inklusif dengan menerbitkan surat penetapannya, dengan
tembusan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, dan
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa.

DINAS PENDIDIKAN
PROVINSI

DINAS PENDIDIKAN
KABUPATEN/KOTA

SEKOLAH
(SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK)

Mekanisme Penetapan Sekolah Inklusif

D. STRATEGI IMPLEMENTASI
1. Sosialisasi dan Koordinasi
Sosialisasi

dan

koordinasi

program

pendidikan

inklusif

dilakukan oleh Direktorat PSLB kepada Dinas/instansi terkait,


sekolah dan masyarakat. Sedangkan koordinasi dilakukan
antara

Direktorat

PSLB

dengan

perguruan

tinggi,

Dinas/Instansi terkait dan sekolah.


2. Penerimaan Peserta Didik Berkebutuhan Khusus
Penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus dilakukan
melalui sistem:
a. Penerimaan murid baru;
b. Rujukan dari tenaga ahli yang relevan;
c. Rujukan dari lembaga lain

26

d. Mutasi atau melanjutkan dari sekolah lain


e. Program retrievel (pengembalian anak ke sekolah karena
drop out)
3. Rekrutmen Pendidik dan Tenaga Kependidikan
a.

Rekrutmen pendidik dan tenaga kependidikan


baru (negeri/swasta)

b.

Mutasi pendidik dan tenaga kependidikan

c.

Pemberdayaan masyarakat

d.

Bantuan pendidik dan tenaga kependidikan dari


sekolah/lembaga lain

4. Pembelajaran
a.

Perencanaan Pembelajaran
Perencanaan pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan
peserta didik dan mengacu pada kurikulum yang berlaku.
Perencanaan disusun sesuai dengan buku Pedoman
pembelajaran.

b. Pelaksanaan Pembelajaran
Proses pembelajaran dilaksanakan sesuai dengan
karakteristik belajar peserta didik. Sistem pelaksanaannya
mengacu pada buku Pedoman pembelajaran.
c. Penilaian Hasil Pembelajaran
1)

Memahami kompetensi dasar dan bentuk penilaian


yang sesuai untuk mengukur Kompetensi dasar
tersebut

2)

Menyusun kisi-kisi soal

3)

Menyusun soal (bentuk penilaian) sesuai dengan


kaidah

4)

Menelaah dan merevisi soal

5)

Melaksanakan penilaian dengan menggunakan soal


yang telah dikembangkan

6)

Menggunakan hasil penilaian untuk umpan balik

27

7)

Menggunakan hasil penilaian untuk keperluan


administrasi, dan pelaporan

d. Pengawasan Pembelajaran
Pengawasan pelaksanaan pembelajaran dilakukan oleh
pengawas, kepala sekolah, komite sekolah, orangtua
peserta didik, dan pemangku kepentingan (stake holder).
Pengawasan dilakukan dalam hal sebagai berikut:
1)

Perencanaan pembelajaran

2)

Pelaksanaan proses pembelajaran di kelas

3)

Pelaksanaan penilaian

4)

Penyusunan laporan pembelajaran

5. Supervisi
Supervisi yang dimaksud adalah pembinaan yang dilakukan
oleh Pejabat, Kepala Sekolah, Pengawas dan atau profesional
terkait.
Aspek-aspeknya adalah:
a. Penyusunan silabus
b. Pembelajaran (RPP dan proses pembelajaran)
c. Penilaian
d. Program remediasi dan bimbingan/pengayaan
6. Sertifikasi
Peserta didik yang telah menyelesaikan program
pembelajaran pendidikan inklusif di setiap satuan pendidikan
diberi ijazah (sertifikat). Sedangkan peserta didik yang sudah
lulus ujian kompetensi tertentu diberi sertifikat kompetensi.
7. Monitoring dan evaluasi
a. Monitoring dan evaluasi pendidikan inklusif dilaksanakan
oleh: (1) Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah Cq. Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa;
(2) Dinas Pendidikan Provinsi (Sub Dinas yang menangani

28

PLB); (3) Dinas Pendidikan Kabupaten/kota sesuai dengan


tugas pokok dan fungsinya.
b. Aspek monitoring dan evaluasi meliputi: persiapan
penyelenggaraan, peserta didik, ketenagaan, saranaprasarana, pendanaan, manajemen, pemberdayaan
masyarakat, dan aspek lain yang relevan.
c. Waktu pelaksanaan monitoring dan evaluasi dilaksanakan
secara

periodik

dan

dikoordinasikan

dengan

institusi

terkait.
d. Instrumen monitoring dan evaluasi disiapkan oleh masingmasing institusi sesuai dengan kebutuhan.
e. Hasil monitoring dan evaluasi dipergunakan sebagai bahan
untuk

penyusunan

program,

penyempurnaan

strategi

pelaksanaan program dan memformulasikan kebijakan di


masa yang akan datang dalam upaya peningkatan mutu
pendidikan inklusif.
8. Administrasi dan Pelaporan
a. Administrasi
Administrasi penyelenggaraan pendidikan inklusif secara
umum tidak berbeda dengan sekolah umum, tetapi secara
khusus diperlukan data administrasi sebagai berikut: guru
pendidikan khusus, peserta didik berkebutuhan khusus,
hasil asesmen, hasil pembahasan kasus, program
pembelajaran individual, hasil belajar, program layanan
rehabilitasi/habilitasi, dan lainnya.
b. Pelaporan
Penyelenggaraan

pendidikan

triwulan

tertulis

secara

inklusif dilaporkan

sekurang-kurangnya

setiap

memuat

tentang:
1)

peserta didik;

2)

kurikulum yang digunakan;

3)

sarana prasarana;

29

4)

tenaga pendidik dan kependidikan;

5)

proses pembelajaran;

6)

hasil evaluasi,

7)

permasalahan dan upaya pemecahannya

Laporan disampaikan kepada institusi pembina langsung


dengan tembusan kepada Dinas Pendidikan Provinsi dan
Direktorat

Pembinaan

Sekolah

Luar

Biasa

Ditjen

Mandikdasmen. Format laporan dapat dikembangkan oleh


masing-masing sekolah.

30

Anda mungkin juga menyukai