Anda di halaman 1dari 25

CLINICAL SCIENCE SESSION

PEMERIKSAAN NEUROLOGI

Disusun oleh :
Steven
Teow Sheng Hao

Preseptor :
Dr. Achmad adam, dr., M.Sc., Sp.BS

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU BEDAH
RUMAH SAKIT DR. HASAN SADIKIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2016

Rangsang meningeal
Kaku kuduk : Untuk memeriksa kaku kuduk dapat dilakukan sbb: Tangan
pemeriksa ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring, kemudian
kepala ditekukan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai dada. Selama
penekukan diperhatikan adanya tahanan. Bila terdapat kaku kuduk kita dapatkan
tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada. Kaku kuduk dapat bersifat ringan atau
berat
Kernig sign : Pada pemeriksaan ini , pasien yang sedang berbaring difleksikan
pahanya pada persendian panggul sampai membuat sudut 90. Setelah itu tungkai
bawah diekstensikan pada persendian lutut sampai membentuk sudut lebih dari 135
terhadap paha. Bila teradapat tahanan dan rasa nyeri sebelum atau kurang dari sudut
135, maka dikatakan Kernig sign positif.
Brudzinski I (Brudzinskis neck sign)
Pasien berbaring dalam sikap terlentang, dengan tangan yang ditempatkan dibawah
kepala pasien yang sedang berbaring , tangan pemeriksa yang satu lagi sebaiknya
ditempatkan didada pasien untuk mencegah diangkatnya badan kemudian kepala
pasien difleksikan sehingga dagu menyentuh dada. Test ini adalah positif bila gerakan
fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi di sendi lutut dan panggul kedua tungkai
secara reflektorik.
Brudzinski II (Brudzinskis contralateral leg sign)
Pasien berbaring terlentang. Tungkai yang akan dirangsang difleksikan pada sendi
lutut, kemudian tungkai atas diekstensikan pada sendi panggul. Bila timbul gerakan
secara reflektorik berupa fleksi tungkai kontralateral pada sendi lutut dan panggul ini
menandakan test ini postif.
Lasegue sign
Untuk pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang berbaring lalu kedua tungkai
diluruskan (diekstensikan), kemudian satu tungkai diangkat lurus, dibengkokkan
(fleksi) persendian panggulnya. Tungkai yang satu lagi harus selalu berada dalam
keadaan ekstensi (lurus). Pada keadaan normal dapat dicapai sudut 70 sebelum
timbul rasa sakit dan tahanan. Bila sudah timbul rasa sakit dan tahanan sebelum
mencapai 70 maka disebut tanda Lasegue positif. Namun pada pasien yang sudah
lanjut usianya diambil patokan 60.

PEMERIKSAAN SARAF KRANIAL


N. I (N. Olfactorius)
Tujuan : mendeteksi adanya gangguan penciuman (dan penyebabnya baik
gangguan saraf atau penyakit hidung lokal). Kerusakan saraf menyebabkan
hilangnya penciuman (anosmia) atau berkurangnya penciuman (hiposmia).
Kelemahan : pemeriksaan bersifat subjektif, karena tergantung pada laporan
pasien.
Cara pemeriksaan :
-

Periksa lubang hidung, lihat apakah ada sumbatan atau kelainan


setempat misalnya ingus atau polip

Zat pengetes yang digunakan sebaiknya zat yang dikenal sehari-hari,


misalnya : kopi, teh, tembakau, jeruk. Jangan menggunakan zat yang
dapat merangsang mukosa hidung, seperti mentol, ammonia, alcohol
dan cuka.

Zat pengetes didekatkan ke hidung pasien dan pasien diminta untuk


menciumnya.

Pasien diminta untuk menutup mata.

Periksa setiap lubang hidung satu persatu dengan menutup lubang


hidung lainnya dengan tangan secara bergantian.

Interpretasi : anosmia (sama sekali tidak mencium bau), hiposmia (kurang


membau), hiperosmia (kuat sekali membau, sering pada hysteria), dan
parosmia (salah membau, sering pada skizofrenia).
N. II ( N. Opticus)
1) Visus (ketajaman penglihatan)
Membandingkan

ketajaman

penglihatan

pasien

dengan

pemeriksa

(ketajaman penglihatan pemeriksa harus normal, jika tidak pemeriksa telah


mengkoreksi tajam penglihatannya misalnya dengan kaca mata).
Alat : optotip Snellen.
Gambar Snellen ialah huruf-huruf atau gambar-gambar yang disusun makin
ke bawah makin kecil; barisan paling bawah mempunyai huruf-huruf yang
paling kecil yang oleh mata normal dapat dibaca dari jarak 6 meter. Pasien

diperintahkan untuk membaca gambar Snellen dari jarak 6 meter, kemudian


ditentukan sampai barisan mana masih dapat terbaca. Jika pasien dapat
membaca sampai barisan paling bawah, maka ketajaman penglihatannya
normal (6/6). Jika tidak, dapat membaca pada baris paling bawah, maka
visusnya tidak normal, hal ini dinyatakan dengan menggunakan pecahan,
misalnya 6/20. Ini berarti bahwa huruf yang seharusnya dapat dibaca dari
jarak 20 meter hanya dapat terbaca dari jarak 6 meter.
Apabila pasien tidak dapat membaca huruf teratas dari Snellen Chart,
pemeriksaan dilakukan dengan cara menghitung jari, menggerakkan tangan
atau persepsi sinar. Pasien dapat menghitung jari dari jarak tidak lebih dari 1
meter berarti visus = 1/60. Hanya dapat melihat gerakan tangan berarti visus
1/300, hanya dapat membedakan gelap-terang/persepsi cahaya, visus = 1/~.
Buta dengan visus = 0.
2) Campus/Visual Field (Lapang Pandang)
Secara kasar pemeriksaan lapang pandang dilakukan dengan
membandingkan campus penglihatan pemeriksa (yang dianggap normal)
yaitu dengan metode konfrontasi Donder. Pasien diminta duduk atau berdiri
berhadapan dengan pemeriksa dari jarak kira-kira 1 meter. Pada saat
memeriksa mata kanan, maka mata kiri pasien harus ditutup dengan
tangannya atau kertas, sedangkan pemeriksa menutup mata kanannya.
Kemudian pasien diminta melihat terus (memfiksasi matanya) pada mata kiri
pemeriksa dan pemeriksa harus selalu melihat ke mata kanan pasien.
Setelah itu pemeriksa menggerakkan jari tangannya di bidang pertengahan
antara pemeriksa dan pasien. Gerakan dilakukan dari arah luar ke dalam.
Apabila pasien mulai melihat gerakan jari-jari pemeriksa, pasien harus
memberitahu, dan hal ini dibandingkan dengan pemeriksa, apakah pemeriksa
telah melihatnya. Jika terdapat gangguan campus penglihatan, maka
pemeriksa akan lebih dahulu melihat gerakan tersebut. Gerakan jari tangan
harus dilakukan dari semua arah dan masing-masing mata harus diperiksa.
Alat-alat yang juga bisa dipakai adalah kampimeter dan perimeter.
3) Fundus

Pemeriksaan fundus dilakukan dengan menggunakan oftalmoskop.


Pada pemeriksaan fundus yang harus dilihat adalah perubahan papil (atrofi
atau sembab). Papil adalah tempat serabut N. II memasuki mata. Papil yang
normal akan terlihat bentuknya lonjong berwarna jingga muda, di bagian
temporal sedikit pucat, batas dengan sekitarnya (retina) tegas, hanya di
bagian nasal agak kabur, selain itu didapatkan lekukan fisiologis (physiologic
cup). Pembuluh darah muncul di tengah, bercabang ke atas dan ke bawah;
jalan arteri lurus sedangkan vena berkelok-kelok; perbandingan besar vena :
arteri ialah 3 :2 sampai 5:4. Normalnya C/D (cup dan disc) ratio 0,3, A/V
(arteri dan vena) ratio 2:3.
Pada atrofi primer warna papil menjadi pucat, batasnya tegas dan pembuluh
darah berkurang. Pada atrofi sekunder warna papil pucat tetapi batasnya
tidak tegas.
N. III (N. Oculomotorius)
Gangguan total pada N. III ditandai oleh :
1. Lumpuhnya m.levator palpebra ptosis.
2. Paralisis otot m.rectus superior, m.rectus internus, m.rectus inferior,
dan m.obliqus inferior.
3. Kelumpuhan saraf parasimpatis yang mengakibatkan pupil yang lebar
(midriasis) yang tidak bereaksi dengan cahaya dan konvergensi.
Hal ini mengakibatkan sikap bola mata terlirik keluar dan ke bawah.
N. IV (N. Trochlearis)
Nervus IV mempersarafi m.obliqus superior. Kerja otot ini menyebabkan mata
dapat dilirikkan ke arah bawah dan nasal. Kelumpuhan N. IV menyebabkan
terjadinya diplopia bila mata dilirikkan ke arah ini.
N. VI (N. Abducens)
Nervus VI menginervasi m.rectus externus (lateralis). Kerja dari otot ini
mengakibatkan mata dapat melirik ke arah temporal. Jadi kelumpuhan N. VI
menyebabkan terganggunya melirik mata ke arah luar pada mata yang
terlibat, yang menyebabkan diplopia horizontal.
Pemeriksaan N. III, IV, dan VI.

Ptosis
Ptosis terjadi akibat kelumpuhan m. levator palpebra yang dipersarafi oleh N.
III di mana kelopak mata terjatuh, mata tertutup dan tidak dapat dibuka. Cara
pemeriksaannya dapat dilihat dengan meminta kedua mata pasien melihat ke
depan. Pada keadaan normal, kelopak mata tampak menutupi sebagian atas
iris mata sama tinggi. Bila lebih rendah disebut ptosis. Cara pemeriksaan
kedua, pasien diminta untuk memejamkan mata, kemudian disuruh
membukanya. Pada waktu membuka mata, gerakan ini ditahan dengan
memegang atau menekan pada kelopak mata.
Strabismus (juling atau jereng)
Perhatikan posisi bola mata dalam keadaan istirahat. Jika satu otot mata
lumpuh, hal ini mengakibatkan kontraksi atau tarikan yang berlebihan dari otot
antagonisnya dan mengakibatkan strabismus (juling, jereng).

Pada

kelumpuhan m.rectus externus didapatkan strabismus konvergen (mata yang


lumpuh melirik lebih ke medial). Pada kelumpuhan m.rectus internus
didapatkan strabismus divergen (mata yang lumpuh melirik ke lateral).
Strabismus juga bisa terjadi karena m. rektus eksternus lebih panjang atau
pada pasien miastenia gravis.
Exophtalmus (mata menonjol)
Perhatikan kedudukan bola mata apakah mata menonjol (exophtalmus) atau
seolah-olah masuk ke dalam (endophtalmus). Pada exophtalmus celah mata
tampak lebih besar sedangkan pada endophtalmus celah mata lebih kecil.
Pada sindrom Horner (yang disebabkan kerusakan serabut saraf simpatis
leher) didapatkan endophtalmus. Exophtalmus bilateral dapat dijumpai pada
tirotoksikosis. Exophtalmus yang unilateral biasanya disebabkan proses
setempat misalnya desakan tumor di daerah orbita.
Nistagmus
Ialah gerakan bola mata bolak-balik yang involunter dan ritmis. Mempunyai
komponen cepat atau lambat. Jurusan nistagmus sesuai komponen cepat.
Untuk maksud ini pasien diminta melirik terus ke satu arah selama jangka
waktu 5-6 detik. Akan tetapi mata jangan terlalu jauh dilirikkan. Apabila
ditemukan nistagmus, harus diperiksa :
1. Jenis gerakan
2. Bidang gerakan

3. Frekuensi
4. Amplitudo
5. Arah gerakan
6. Derajatnya
7. Lamanya
Gerakan Mata
Pemeriksa menggerakkan jari ke semua arah, jarak jangan terlalu dekat.
Kedua bola mata pasien mengikuti gerakan jari. Perhatikan apakah
pergerakan bola mata terbatas, yang satu tertinggal dari yang lain.
Pupil
Pupil yang normal berbentuk bundar dengan tepi rata dan diameter 2-4 mm,
isokor (kiri = kanan). Refleks cahaya direk diperiksa dengan meggunakan
penlight yang terang, mata disinari langsung, maka pupil konstriksi cepat.
Refleks cahaya indirek yang diperiksa adalah mata yang satu disinari, pupil
mata lain konstriksi. Cara pemeriksaan refleks konvergensi seperti berikut;
pasien melihat jauh, jari pemeriksa diletakkan kira-kira 30 cm di depan mata
pasien, lalu pasien disuruh melihat jari pemeriksa, maka tampak kedua mata
konvergensi, akomodasi dan kedua pupil konstriksi.

N. V (N. Trigeminus)
Bersifat motorik dan sensorik. Bagian yang motorik menuju ke m.masseter,
m.temporalis, m.pterygoideus, sedangkan yang sensorik mempersarafi kulit
wajah.
Pemeriksaan Motorik
a. Pasien diminta menggigit lalu pemeriksa meraba m.masseter dan
m.temporalis, bandingkan kanan dan kiri dengan memperhatikan
besar, tonus serta konturnya.
b. Pasien membuka mulut perlahan-lahan, apabila m.pterygoideus
lumpuh, rahang bawah berdeviasi ke sisi yang sehat dan mudah
didorong ke sisi lumpuh.

Pemeriksaan Sensorik
Pemeriksaan dilakukan dengan perabaaan memakai kapas, rasa nyeri
memakai penusuk gigi dan rasa suhu memakai tabung uji yang berisi air
hangat atau air dingin pada kulit wajah. Pasien kemudian diminta
memejamkan mata dan merasakan perbedaan rasa raba antara kiri dan
kanan dimulai dari daerah dahi, pipi dan dagu. Pemeriksaan ini diulang untuk
tes nyeri dan tes suhu.
1. N. Ophtalmicus
a. Refleks Kornea, limbus kornea disentuh dengan kapas maka mata
akan berkedip
b. Foramen supraorbita ditekan, keadaan normal tak nyeri.
c. Dahi , diperiksa rasa raba, nyeri dan suhu, bandingkan kanan dan kiri
2. N. Maxilaris
a. Refleks bersin, cavum nasi bawah disentuh dengan kapas, pasien
bersin.
b. Foramen Infraorbita ditekan, keadaan normal tidak nyeri.
c. Pipi, diperiksa rasa raba, nyeri dan suhu, bandingkan kanan dan kiri.
3. N. Mandibularis
a. Jaw jerk reflex, letakkan jari horizoontal pada dagu, mulut pasien
terbuka sedikit dan rileks, ketuk jari dengan palu reflex maka terjadi
gerakan elevasi rahang.
b. Foramen mental ditekan, keadaan normal tidak nyeri.
c. Pipi dan rahang bawah, diperiksa rasa raba, nyeri dan suhu,
bandingkan kanan dan kiri.
N VII (N. Fascialis)
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
-

Serabut somato-motorik, mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator


palpebrae (N. III)), otot platisma, stylohyoid, digastrikus bagian
posterior dan stapedius di telinga tengah.

Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus


salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa
faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula
submaksilar serta sublingual dan lakrimalis.

Serabut visero-sensorik yang menghantar impuls dari alat pengecap di


dua pertiga bagian depan lidah

Serabut somato-sensorik rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan
rasa raba) dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang disarafi oleh
nervus trigeminus. Daerah ovelapping (disarafi oleh lebih dari satu
saraf (tumpang tindih) ini terdapat di lidah, palatum, meatus akustikus
eksterna, dan bagian luar gendang telinga.

Bagan saraf fasialis


Otot-otot bagian atas wajah mendapat persarafan dari 2 sisi. Karena itu,
terdapat perbedaan antara gejala kelumpuhan saraf VII jenis sentral dan
perifer. Pada gangguan sentral, sekitar mata dan dahi yang mendapat
persarafan dari 2 sisi tidak lumpuh; yang lumpuh ialah bagian bawah wajah.
Pada gangguan N VII jenis perifer (gangguan berada di inti atau di serabut
saraf) maka semua otot satu sisi wajah lumpuh dan mungkin juga termasuk
cabang saraf yang mengurus pengecapan dan sekresi ludah yang berjalan
bersama saraf fasialis.

Fungsi Motorik
Untuk memeriksa fungsi motorik, perhatikan muka pasien, apakah simetris
atau tidak. Perhatikan kerutan pada dahi, pejaman mata, plika nasolabialis
dan sudutn mulut. Bila asimetri (dari) muka tampak jelas, maka hal ini
disebabkan oleh kelumpuhan jenis perifer. Dalam hal ini kerutan dahi
menghilang, mata kurang dapat dipejamkan, plika nasolabialis mendatar dan
sudut mulut menjadi lebih rendah. Pada kelumpuhan jenis sentral
(supranuklir), muka tampak simetris waktu istirahat, kelumpuhan baru nyata
bila penderita disuruh melakukan gerakan, misalnya menyeringai.
Gejala Chvostek dibangkitkan dengan mengetok N VII. Ketokan dilakukan
dibagian depan telinga. Bila positif, ketokan ini menyebabkan kontraksi otot
yang disarafinya. Pada tetani didapatkan gejala Chvostek positif, tetapi dapat
juga positif pada orang normal. Dasar gejala Chvostek ialah bertambah
pekanya nervus fasialis terhadap rangsang mekanik.
Minta pasien mengangkat alis dan mengerutkan dahi.
Perhatikan apakah ini dapat dilakukan, dan apakah ada asimetri. Pada
kelumpuhan jenis supranuklir satu sisi, penderita dapat mengangkat alis dan
mengerutkan dahinya, sebab otot ini mendapat persarafan bilateral. Pada
kelumphan jenis perifer terlihat adanya asimetri.
Minta pasien memejamkan mata.
Apabila kelumpuhannya berat, maka penderita tidak dapat memejamkan
mata; bila kelumpuhannya ringan, maka tenaga pemejaman kurang kuat. Hal

ini dapat dinilai dengan cara mengangkat kelopak mata dengan tangan
pemeriksa, sedangkan pasien diminta tetap memejamkan mata. Minta pasien
memejamkan matanya satu persatu. Hal ini merupakan pemeriksaan yang
baik untuk parese ringan. Bila terdapat parese, penderita tidak dapat
memejamkan matanya pada sisi yang lumpuh. Perlu diingat bahwa ada juga
orang normal yang tidak dapat memejamkan matanya satu persatu.

Minta pasien menyeringai (menunjukkan gigi-geligi), mencucurkan bibir


menggembungkan pipi).
Perhatikan apakah hal ini dapat dilakukan dan apakah simetri. Perhatikan
sudut mulut pasien. Minta pasien bersiul. Pasien yang tadinya dapat bersiul
menjadi tidak mampu lagi setelah adanya kelumpuhan. Pada pasien yang
tidak kooperatif atau yang menurun kesadarannya, dan tidak dapat disuruh
menyeringai, dapat dibuat menyeringai bila apabila diberi rangsang nyeri,
yaitu dengan menekan pada sudut rahangnya (m.masseter).
Fungsi Pengecapan
Kerusakan N. VII, sebelum percabangan korda timpani, dapat menyebabkan
ageusi (hilangnya pengecapan) pada 2/3 lidah bagian depan. Untuk
memeriksanya, pasien diminta menjulurkan lidah, kemudian oleskan bubuk
gula, kina, asam sitrat atau garam (hal ini dilakukan secara bergiliran dan
diselingi istirahat). Apabila bubuk dioleskan, pasien tidak boleh menarik
lidahnya ke dalam mulut, karena bubuk dapat tersebar ke bagian lidah lainnya
yaitu ke sisi lidah lainnya atau kebagian belakang lidah yang persarafannya
diurus oleh saraf lain. Pasien diminta menyatakan pengecapan yang
dirasakan dirasakannya dengan isyarat, misalnya 1 untuk rasa manis, 2 untuk
rasa pahit, 3 untuk rasa asin, 4 untuk rasa asam atau menuliskannya pada
kertas tanpa berbicara.
Kerusakan pada atau di atas n. petrosus mayor dapat menyebabkan
kurangnya produksi air mata, dan lesi korda timpani dapat menyebabkan
kurangnya produksi ludah.

N. VIII (N. Acusticus)


Saraf ini terdiri atas dua bagian yaitu saraf kokhlearis dan saraf vertibularis.
Saraf kokhlearis mempersarafi pendengaran, dan saraf vertibularis mengurus
keseimbangan.
Saraf kokhlearis
Gangguan pada saraf kokhlearis dapat menyebabkan tuli, tinitus atau
hiperakusis. Tuli ada 2 macam, yaitu : tuli perseptif/tuli saraf dan tuli
konduktif/tuli obstruktif/tuli transmisi. Tinitus adalah persepsi bunyi berdenging
di telinga, yang disebabkan oleh eksitasi atau iritasi pada alat pendengaran,
saraf, inti serta pusat yang lebih tinggi. Hiperakusis adalah meningginya
ketajaman pendengaran yang bersifat patologis didapatkan pada paralisis
muskulus stapedius, pada migren, psikoneurosis dan dapat juga merupakan
aura dari epilepsi lobus temporalis.
Pemeriksaan Saraf Kokhlearis
Ketajaman pendengaran secara ditentukan dengan jalan menyuruh pasien
mendengarkan suara bisikan pada jarak tertentu dan membandingkannya
dengan orang yang normal. Bila ketajaman pendengaran berkurang, atau
terdapat perbedaan antara kedua telinga, maka dilakukan pemeriksaanpemeriksaan Schwabach, Rinne, Weber, dan audiogram.
Tes Schwabach
Pada tes ini pendengaran pasien dibandingkan dengan pendengaran
pemeriksa (yang dianggap normal). Garpu tala dibunyikan kemudian
ditempatkan di dekat telinga penderita. Setelah penderita tidak mendengar
bunyi lagi, garpu tala diletakkan di dekat telinga pemeriksa. Bila masih
terdengar bunyi oleh telinga pemeriksa, maka dikatakan bahwa Schwabach
lebih pendek (untuk konduksi udara). Kemudian garpu tala dibunyikan lagi
dan pangkalnya ditekankan pada tulang mastoid pasien dan selanjutnya
dilakukan pemeriksaan dengan cara yang sama pada tes schwabach untuk
konduksi udara. Bila sudah tidak terdengar lagi, maka garpu tala ditempatkan
pada tulang mastoid pemeriksa. Bila pemeriksa masih mendengarkan
bunyinya maka dikatakan bahwa Schwabach (untuk konduksi tulang) lebih
pendek.

Tes Rinne
Pada pemeriksaan ini dibandingkan konduksi tulang dengan konduksi udara.
Pada telinga normal, konduksi udara lebih baik daripada konduksi tulang
(Rinne positif). Pada tuli konduktif, konduksi tulang lebih baik baik daripada
konduksi udara (Rinne negatif). Sedangkan pada tuli perspektif, konduksi
udara

lebih

baik

daripada

konduksi

tulang

namun

berkurang

bila

dibandingkan dengan normal.


Pada pemeriksaan tes Rinne biasanya digunakan garpu tala yang
berfrekuensi 128, 256, dan 512 Hz. Garpu tala dibunyikan dan pangkalnya
ditekankan pada tulang mastoid pasien. Minta untuk mendengarkan bunyinya.
Bila tidak terdengar lagi, garpu tala segera didekatkan pada telinga. Jika
masih terdengar bunyi, maka konduksi udara lebih baik daripada konduksi
tulang, dan dalam hal ini dikatakan Rinne positif. Bila tidak terdengar lagi
bunyi, segera setelah garpu tala dipindahkan dari tulang mastoid ke dekat
telinga, maka dikatakan Rinne negatif.

Gambar tes Rinne : membandingkan konduksi tulang dengan udara


Garpu tala dibunyikan, ditekankan ke pangkal telinga (A). Setelah bunyi tidak
terdengar, garpu tala diangkat dan didekatkan ke telinga (B). A : konduksi
tulang, B : konduksi udara
Tes Webber
Garputala yang dibunyikan ditekankan pangkalnya pada dahi penderita
tepat dipertengahan. Penderita disuruh mendengarkan bunyinya dan
menentukan pada telinga mana bunyi terdengar lebih keras. Pada orang
normal, bunyi sama kerasnya pada kedua telinga. Pada tuli saraf, bunyi lebih
keras pada telinga yang sehat dan pada tuli konduktif, bunyi lebih keras

terdengar pada telinga yang tuli. Kita katakan tes weber berlateralisasi ke
kanan bila bunyi terdengar lebih keras di telinga kanan dan sebaliknya.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa tuli perseptif, pendengaran berkurang,
Rinne positif dan Weber berlateralisasi ke telinga yang sehat. Pada tuli
konduktiif, pendengaran berkurang, Rinne negatif dan Webber berlateralisasi
ke telinga yang tuli.
Saraf Vestibularis
Saraf vestibularis berperan dalam mempertahankan keseimbangan pada tiap
macam sikap, koordinasi gerakan badan dan anggota gerak. Sistem
vestibular juga berperan dalam refleks okuler, fiksasi dan gerakan
terkonjugasi

dari

kepala

dan

mata

yang

memungkinkan

seseorang

memfiksasi pandangannya pada benda yang diam bila kepala dan badannya
bergerak.

Gangguan

saraf

vestibularis

dapat

menyebabkan

vertigo,

kehilangan keseimbangan, nistagmus, dan salah tunjuk.

Pemeriksaan Saraf Vestibularis


Saraf Vestibularis
Gangguan saraf vestibularis atau hubungannya dengan sentral dapat
menyebabkan terjadinya vertigo, rasa tidak stabil, kehilangan keseimbangan,
nistagmus, dan salah tunjuk (past pointing).

Vertigo merupakan keluhan yang sering dikemukakan oleh penderita dengan


gangguan sistem vestibular, yaitu rasa bergerak (penderita merasa bahwa
sekitarnya bergerak atau dirinya yang bergerak) dan biasanya disertai oleh
rasa tidak stabil dan kehilangan keseimbangan.
Cara khusus untuk menimbulkan nistagmus
Untuk menimbulkan atau memperjelas nistagmus dapat dilakukan manuver
Nylen-Barany/manuver Hallpike, atau tes kalori.
Manuver Nylen-Barany/manuver Hallpike. Pada tes ini pasien diminta
untuk duduk pada tempat tidur periksa. Kemudian direbahkan sampai
kepalanya tergantung di pinggir dengan sudut sekitar 30 o dibawah horison.
Selanjutnya kepala dimiringkan ke arah kiri. Tes kemudian diulangi dengan
kepala melihat lurus dan diulangi lagi dengan kepala menoleh ke kanan.
Pasien diminta tetap membuka mata agar pemeriksa dapat melihat jika
muncul nistagmus. Tanyakan pada pasien mengenai apa yang dirasakannya,
apakah ada vertigo dan apakah vertigo yang dialami pada tes ini serupa
dengan vertigo yang pernah dialaminya.

Gambar manuver Nylen-Barany/manuver Hallpike

Gambar manuver Nylen-Barany/manuver Hallpike


Tes kalori. Kepekaan pasien terhadap rangsang kalori bervariasi, oleh
karena itu, tes lebih baik dimulai dengan stimulasi yang ringan dengan
harapan bahwa stimulasi ringan telah menginduksi nistagmus dengan rasa
vertigo yang ringan dan tidak disertai mual atau muntah. Stimulasi yang lebih
berat dapat diberikan jika penderita ternyata kurang sensitif.
Cara melakukan tes kalori : kepala pasien diangkat ke belakang
(menengadah) 60o. Tabung suntik berukuran 20 cc dengan jarum ukuran 15
yang ujungnya dilindungi karet diisi dengan air bersuhu 30 oC. Air
disemprotkan ke liang telinga dengan kecepatan 1 cc per detik. Dengan
demikian gendang telinga tersiram air selama kira-kira 20 detik. Kemudian,
bola mata penderita segera diamati terhadap adanya nistagmus. Arah gerak
nistagmus dicatat, demikian juga frekuensinya (biasanya 3-5 kali per detik)
dan

lamanya

nistagmus

berlangsung

dicatat.

Lamanya

nistagmus

berlangsung berbeda pada tiap orang, namun biasanya berlangsung - 2


menit. Setelah beristirahat selama 5 detik, telinga kedua dites, kemudian
dibandingkan lamanya nistagmus pada kedua sisi, yang pada keadaan
normal hampir sama. Nistagmus lebih mudah diamati dengan menggunakan
lensa Frenzel yaitu suatu kacamata dengan lensa positif 20 dioptri. Lensa ini
membuat penderita tidak dapat memfiksasi pandangannya dan pemeriksa
dapat menilai gerakan mata penderita dengan lebih mudah, karena lensa ini
berfungsi juga sebagai kaca pembesar. Karena pengamatan dilakukan
langsung oleh pemeriksa, maka kesalahan dapat terjadi. Oleh karena itu,
dikembangkan alat elektronistagmografi.
Tes untuk menilai keseimbangan
Untuk menilai keseimbangan penderita dapat dilakukan tes Romberg yang
dipertajam dan tes melangkah di tempat (stepping test).
Tes Romberg yang dipertajam. Pada tes ini pasien berdiri dengan kaki yang
satu di depan kaki yang lainnya; tumit kaki yang satu berada di depan jari-jari
kaki yang lainnya. Lengan dilipat pada dada dan mata kemudian ditutup. Tes
ini berguna menilai adanya disfungsi sistem vestibular. Orang normal mampu
berdiri dalam sikap Romberg yang dipertajam selama 30 detik atau lebih.

Tes melangkah ditempat (stepping test). Pasien diminta berjalan di tempat,


dengan mata ditutup, sebanyak 50 langkah dengan kecepatan seperti
berjalan biasa. Sebelumnya dikatakan kepada pasien bahwa pasien harus
berusaha agar tetap berada di tempat, dan tidak beranjak dari tempatnya
selama tes ini. Hasil tes ini dianggap abnormal bila kedudukan akhir pasien
beranjak lebih dari 1 meter dari tempatnya semula, atau badan terputar lebih
dari 30o.
Salah tunjuk (past pointing). Pasien diminta merentangkan lengannya dan
telunjuknya menyentuh telunjuk pemeriksa. Kemudian pasien disuruh
menutup mata, mengangkat lengannya tinggi-tinggi (sampai vertikal) dan
kemudian kembali ke posisi semula. Pada gangguan vestibular didapatkan
salah tunjuk (deviasi), demikian juga dengan gangguan cerebelar. Tes ini
dilakukan dengan lengan kanan dan lengan kiri, selain pasien disuruh
mengangkat lengan tinggi-tinggi dapat pula dilakukan dengan menurunkan
lengan ke bawah sampai vertikal dan kemudian kembali ke posisi semula.
N. IX (N.Glossopharyngeus ) dan N. X (N.Vagus)
Fungsi motorik: perhatikan kualitas suara pasien. Apakah suaranya normal,
berkurang, serak (disfonia), atau tidak ada sama sekali (afonia)? Untuk itu
pasien

diminta

menyebutkan:

aaaaaa.

Kemudian

pasien

diminta

mengucapkan kata-kata, perhatikan apakah ia dapat mengucapkan kata-kata


tersebut dengan baik dan perhatikan pula kualitas kata-kata yang diucapkan,
apakah bindeng (sengau). Pada kelumpuhan N.IX dan X, palatum mole tidak
sanggup menutup jalan ke hidung waktu berbicara, dan didapatkan suara
hidung (bindeng).
Pasien diminta memakan makanan padat, lunak, dan menelan air. Perhatikan
apakah ada salah telan (tersedak, disfagia). Kelumpuhan N.IX dan X dapat
menyebabkan disfagia.
Pasien diminta membuka mulut. Perhatikan palatum mole dan faring.
Bagaimana posisi palatum mole, arkus faring dan uvula dalam keadaan
istirahat, dan apabila bergerak, misalnya waktu bernafas atau bersuara (suruh
penderita menyebut aaaa). Bila terdapat parese otot-otot faring dan palatum
mole, maka palatum mole, uvula, dan arkus faring sisi yang lumpuh letaknya

lebih rendah daripada yang sehat. Dan bila bergerak, uvula dan arkus seolaholah tertarik ke bagian yang sehat.
1. Refleks faring: Waktu pasien membuka mulut, kita rangsang (tekanenteng) dinding faring atau pangkal lidah dengan tongue-spatel. Dalam
hal ini, terlihat faring terangkat dan lidah ditarik (refleks positif). Bila
ada gangguan N.IX dan X, refleks dapat negatif. Bila rangsang
tersebut

di

atas

dilakukan

dengan

cukup

keras,

kita

dapat

membangkitkan refleks muntah, yang juga dapat hilang pada


kerusakan N.IX dan X.
2. Pengecapan: Periksa rasa kecap 1/3 lidah bagian posterior dengan
larutan kina.
N. XI (N. Accesorius)
Hanya mempunyai komponen motorik
Pemeriksaan
1. Kekuatan otot sternocleidomastoideus diperiksa dengan menahan
gerakan fleksi lateral dari kepala/leher penderita atau sebaliknya
(dokter

yang

melawan/mendorong

sedangkan

penderita

yang

menahan pada posisi lateral fleksi).


2. Kekuatan m.trapezius bagian atas diperiksa dengan menekan kedua
bahu

penderita

kebawah,

sementara

itu

penderita

berusaha

mempertahankan posisi kedua bahu terangkat (sebaiknya posisi


penderita duduk dan dokter berada di belakang pasien).
Disamping kekuatan otot yang perlu dilihat adalah tanda tanda LMN pada
kedua otot tersebut diatas (atrofi dan fasikulasi).
N. XII (N. Hypoglossus)
Lesi LMN ditandai dengan adanya atrofi lidah dan fasikulasi (tanda dini
berupa perubahan pada pinggiran lidah dan hilangnya papil lidah dan
fasikulasi (tanda dini berupa perubahan pada pinggiran lidah dan hilangnya
papil lidah).
Pemeriksaan
1. Menjulurkan lidah

Pada lesi unilateral, lidah akan berdeviasi ke arah lesi. Pada Bells palsy
(kelumpuhan saraf VII) bisa menimbulkan positif palsu (hati-hati).
2. Menggerakkan lidah ke lateral
Pada kelumpuhan bilateral dan berat, lidah tidak bisa digerakkan ke arah
samping kiri dan kanan.
3. Kekuatan otot lidah
Ujung jari pemeriksa ditempatkan pada salah satu pipi penderita, kemudian
penderita diminta mendorong ujung jari tersebut dengan kekuatan lidahnya.
Bandingkan kekuatan dorongan kanan dan kiri.
Meskipun inti saraf XII mendapat inervasi cortico-bulbar bilateral, lesi akut
pada capsula interna (pada CVD) bisa memperlihatkan deviasi lidah ke arah
yang berlawanan dengan lesi sewaktu menjulurkan lidah kedepan (pada
stadium awal). Restitusi terjadi beberapa hari, karena fungsi tersebut diambil
alih oleh cortico-bulbar yang ipsilateral.
Sering terjadi bahwa pada pemeriksaan kekuatan otot-otot lidah, tidak tampak
adanya kelemahan, tetapi penderita mengeluhkan pembicaraannya jadi
lain/berubah (disartria) terutama saat mengucapkan nada tertentu (la.....la)
yang menggunakan otot lidah.
Pada setiap penderita dengan disartria (gangguan artikulasi suara), maka
harus

dibedakan

apakah

akibat

kelumpuhan

otot-otot

bibir

(NVII),

kelumpuhan otot-otot lidah (N.XII), kelumpuhan otot palatum (suara sengau


akibat kelumpuhan N.IX-X) ataukah karena lesi ekstrapiramidal dan
serebelum (slurring/scanning speech).
Adanya atrofi dan fibrilasi lidah satu sisi, menunjukkan adanya disfungsi
batang otak (inti N. XII) atau saraf perifer. Sedangkan lesi bilateral lidah dapat
dilihat pada true bulbar palsy atau pseudo-bulbar palsy. Pada true bulbar
palsy ditemukan atrofi dan fasikulasi lidah, gangguan sensasi pada dinding
belakang faring dan penurunan refleks muntah.

Pemeriksaan sistem motorik


Pemeriksaan sistim motorik sebaiknya dilakukan dengan urutan urutan
tertentu untuk menjamin kelengkapan dan ketelitian pemeriksaan.

Inspeksi

Gaya berjalan dan tingkah laku.

Simetri tubuh dan ektremitas.

Kelumpuhan badan dan anggota gerak, dll.

Gerakan volunter
Yang diperiksa adalah gerakan pasien atas permintaan pemeriksa, misalnya:

Mengangkat kedua tangan pada sendi bahu.

Fleksi dan ekstensi artikulus kubiti.

Mengepal dan membuka jari-jari tangan.

Mengangkat kedua tungkai pada sendi panggul.

Fleksi dan ekstensi artikulus genu.

Plantar fleksi dan dorso fleksi kaki.

Gerakan jari- jari kaki.

Palpasi otot

Pengukuran besar otot.

Nyeri tekan.

Kontraktur.

Konsistensi (kekenyalan).

Konsistensi otot yang meningkat terdapat pada:


o

Spasmus otot akibat iritasi radix saraf spinalis, misal: meningitis,


HNP

Kelumpuhan jenis UMN (spastisitas)

Gangguan UMN ekstrapiramidal (rigiditas)

Kontraktur otot
Konsistensi otot yang menurun terdapat pada

Kelumpuhan jenis LMN akibat denervasi otot.

Kelumpuhan jenis LMN akibat lesi di motor end plate

Perkusi otot

Normal : otot yang diperkusi akan berkontraksi yang bersifat setempat


dan berlangsung hanya 1 atau 2 detik saja.

Miodema : penimbunan sejenak tempat yang telah diperkusi (biasanya


terdapat pada pasien mixedema, pasien dengan gizi buruk).

Miotonik : tempat yang diperkusi menjadi cekung untuk beberapa detik

oleh karena kontraksi otot yang bersangkutan lebih lama dari pada
biasa.
Tonus otot
Pasien diminta melemaskan ekstremitas yang hendak diperiksa

kemudian ekstremitas tersebut kita gerak-gerakkan fleksi dan ekstensi


pada sendi siku dan lutut. Pada orang normal terdapat tahanan yang
wajar.
Flaccid : tidak ada tahanan sama sekali (dijumpai pada kelumpuhan

LMN).

Hipotoni : tahanan berkurang.

Spastik : tahanan meningkat dan terdapat pada awal gerakan, ini


dijumpai pada kelumpuhan UMN.
Rigid : tahanan kuat terus menerus selama gerakan misalnya pada

Parkinson.

Kekuatan otot
Pemeriksaan ini menilai kekuatan otot, untuk memeriksa kekuatan otot ada
dua cara:
Pasien disuruh menggerakkan bagian ekstremitas atau badannya dan

pemeriksa menahan gerakan ini.


Pemeriksa menggerakkan bagian ekstremitas atau badan pasien dan

ia disurun menahan.
Cara menilai kekuatan otot:
-

0:
1:

Tidak didapatkan sedikitpun kontraksi otot, lumpuh total.


Terdapat sedikit kontraksi otot, namun tidak didapatkan gerakan

2:

pada persendiaan yang harus digerakkan oleh otot tersebut.


Didapatkan gerakan,tetapi gerakan ini tidak mampu melawan

gaya
-

3:

berat (gravitasi).
Dapat mengadakan gerakan melawan gaya berat.

4:

Disamping dapat melawan gaya berat ia dapat pula mengatasi

5:

sedikit tahanan yang diberikan.


Tidak ada kelumpuhan (normal)

Sistem sensibilitas
Eksteroseptif : terdiri atas rasa nyeri, rasa suhu dan rasa raba.
Rasa nyeri bisa dibangkitkan dengan berbagai cara, misalnya dengan
menusuk menggunakan jarum, memukul dengan benda tumpul, merangsang
dengan api atau hawa yang sangat dingin dan juga dengan berbagai larutan
kimia.
Rasa suhu diperiksa dengan menggunakan tabung reaksi yang diisi dengan
air es untuk rasa dingin, dan untuk rasa panas dengan air panas. Penderita
disuruh mengatakan dingin atau panas bila dirangsang dengan tabung reaksi
yang berisi air dingin atau air panas. Untuk memeriksa rasa dingin dapat
digunakan air yang bersuhu sekitar 10-20 C, dan untuk yang panas bersuhu
40-50 C. Suhu yang kurang dari 5 C dan yang lebih tinggi dari 50 C dapat
menimbulkan rasa-nyeri.
Rasa raba dapat dirangsang dengan menggunakan sepotong kapas, kertas
atau kain dan ujungnya diusahakan sekecil mungkin. Hindarkan adanya
tekanan atau pembangkitan rasa nyeri. Periksa seluruh tubuh dan
bandingkan bagian-bagian yang simetris.
Proprioseptif : rasa raba dalam (rasa gerak, rasa posisi/sikap, rasa getar dan
rasa tekanan)
Rasa gerak : pegang ujung jari jempol kaki pasien dengan jari telunjuk dan
jempol jari tangan pemeriksa dan gerakkan keatas kebawah maupun
kesamping kanan dan kiri, kemudian pasien diminta untuk menjawab posisi
ibu jari jempol nya berada diatas atau dibawah atau disamping kanan/kiri.
Rasa sikap : Tempatkan salah satu lengan/tungkai pasien pada suatu posisi
tertentu, kemudian suruh pasien untuk menghalangi pada lengan dan tungkai.
Perintahkan untuk menyentuh dengan ujung ujung telunjuk kanan, ujung jari
kelingking kiri dsb.

Rasa getar : Garpu tala digetarkan dulu/diketuk pada meja atau benda keras
lalu letakkan diatas ujung ibu jari kaki pasien dan mintalah pasien menjawab
untuk merasakan ada getaran atau tidak dari garputala tersebut.
Diskriminatif : daya untuk mengenal bentuk/ukuran; daya untuk mengenal
/mengetahui berat sesuatu benda dsb.
Rasa gramestesia : untuk mengenal angka, aksara, bentuk yang digoreskan
diatas kulit pasien, misalnya ditelapak tangan pasien.
Rasa barognosia : untuk mengenal berat suatu benda.
Rasa topognosia : untuk mengenal tempat pada tubuhnya yang disentuh
pasien.

Refleks
Refleks fisiologis

Biseps

Stimulus

: ketokan pada jari pemeriksa yang ditempatkan pada tendon m.

biseps brachii, posisi lengan setengah ditekuk pada sendi siku.


Respons

: fleksi lengan pada sendi siku.

Afferent

: n. musculucutaneus (C5-6)

Efferenst

: idem

Triseps

Stimulus

: ketukan pada tendon otot triseps brachii, posisi lengan fleksi

pada sendi siku dan sedikit pronasi.


Respons

: extensi lengan bawah disendi siku

Afferent

: n. radialis (C 6-7-8)

Efferenst

: idem

KPR

Stimulus

: ketukan pada tendon patella

Respons

: ekstensi tungkai bawah karena kontraksi m. quadriceps

emoris.
Efferent

: n. femoralis (L 2-3-4)

Afferent

: idem

APR

Stimulus

: ketukan pada tendon achilles

Respons

: plantar fleksi kaki karena kontraksi m. gastrocnemius

Efferent

: n. tibialis ( L. 5-S, 1-2 )

Afferent

: idem

Periosto-radialis

Stimulus

: ketukan pada periosteum ujung distal os radii, posisi lengan

setengah fleksi dan sedikit pronasi


Respons

: fleksi lengan bawah di sendi siku dan supinasi karena

kontraksi m. brachioradialis
Afferent

: n. radialis (C 5-6)

Efferenst

: idem

Periosto-ulnaris

Stimulus

: ketukan pada periosteum proc. styloigeus ulnea, posisi lengan

setengah fleksi & antara pronasi supinasi.


Respons

: pronasi tangan akibat kontraksi m. pronator quadratus

Afferent

: n. ulnaris (C8-T1)

Efferent

: idem

Refleks patologis

Babinski

Stimulus : penggoresan telapak kaki bagian lateral dari posterior ke anterior.


Respons : ekstensi ibu jari kaki dan pengembangan (fanning) jari jari kaki.

Chaddock

Stimulus : penggoresan kulit dorsum pedis bagian lateral, sekitar malleolus


lateralis dari posterior ke anterior.
Respons : seperti babinski

Oppenheim

Stimulus : pengurutan crista anterior tibiae dari proksimal ke distal


Respons : seperti babinski

Gordon

Stimulus : penekanan betis secara keras


Respons : seperti babinski

Schaeffer

Stimulus : memencet tendon achilles secara keras


Respons : seperti babinski

Gonda

Stimulus : penekukan ( planta fleksi) maksimal jari kaki keempat


Respons : seperti babinski

Hoffman

Stimulus : goresan pada kuku jari tengah pasien


Respons : ibu jari, telunjuk dan jari jari lainnya berefleksi

Tromner

Stimulus : colekan pada ujung jari tengah pasien


Respons : seperti Hoffman
Referensi:
Bickley L, Szilagyi PG. Bates' Guide to Physical Examination and HistoryTaking: Wolters Kluwer Health; 2012.
LeBlond R, Brown D, Suneja M. DeGowin's Diagnostic Examination, Tenth
Edition: McGraw-Hill Education; 2014.

Anda mungkin juga menyukai

  • PROLANIS
    PROLANIS
    Dokumen32 halaman
    PROLANIS
    Redho Afriando
    Belum ada peringkat
  • Biopsi Benjolan Telinga dan Leher
    Biopsi Benjolan Telinga dan Leher
    Dokumen24 halaman
    Biopsi Benjolan Telinga dan Leher
    Praditya Septian Abdulgani
    Belum ada peringkat
  • Hernia dan Gizi Buruk
    Hernia dan Gizi Buruk
    Dokumen4 halaman
    Hernia dan Gizi Buruk
    Praditya Septian Abdulgani
    Belum ada peringkat
  • Form Pendaftaran Calon Peserta Isip
    Form Pendaftaran Calon Peserta Isip
    Dokumen1 halaman
    Form Pendaftaran Calon Peserta Isip
    Praditya Septian Abdulgani
    Belum ada peringkat
  • Weekly Report FKUI-RSCM 24-30 Maret 2023
    Weekly Report FKUI-RSCM 24-30 Maret 2023
    Dokumen39 halaman
    Weekly Report FKUI-RSCM 24-30 Maret 2023
    Praditya Septian Abdulgani
    Belum ada peringkat
  • Formulir Pendaftaran BSS GP
    Formulir Pendaftaran BSS GP
    Dokumen1 halaman
    Formulir Pendaftaran BSS GP
    vindita mentari
    Belum ada peringkat
  • Tugas Marketing
    Tugas Marketing
    Dokumen2 halaman
    Tugas Marketing
    Praditya Septian Abdulgani
    Belum ada peringkat
  • Mola CRS
    Mola CRS
    Dokumen5 halaman
    Mola CRS
    Praditya Septian Abdulgani
    Belum ada peringkat
  • Pemeriksaanfisikhappy
    Pemeriksaanfisikhappy
    Dokumen7 halaman
    Pemeriksaanfisikhappy
    Praditya Septian Abdulgani
    Belum ada peringkat
  • Referat Rinitis Alergi
    Referat Rinitis Alergi
    Dokumen10 halaman
    Referat Rinitis Alergi
    Praditya Septian Abdulgani
    Belum ada peringkat
  • Jadwal Jaga
    Jadwal Jaga
    Dokumen2 halaman
    Jadwal Jaga
    Praditya Septian Abdulgani
    Belum ada peringkat
  • Death Case Ny Suni
    Death Case Ny Suni
    Dokumen20 halaman
    Death Case Ny Suni
    Praditya Septian Abdulgani
    Belum ada peringkat
  • Sir Osis
    Sir Osis
    Dokumen20 halaman
    Sir Osis
    Praditya Septian Abdulgani
    Belum ada peringkat
  • Laporankkbbbmmm Ubi
    Laporankkbbbmmm Ubi
    Dokumen28 halaman
    Laporankkbbbmmm Ubi
    Praditya Septian Abdulgani
    Belum ada peringkat
  • Uts
    Uts
    Dokumen5 halaman
    Uts
    Praditya Septian Abdulgani
    Belum ada peringkat
  • MSDM Rumah Sakit
    MSDM Rumah Sakit
    Dokumen5 halaman
    MSDM Rumah Sakit
    cynthiaam
    100% (1)
  • Uts Mmrs Praditya Septian Abdulgani
    Uts Mmrs Praditya Septian Abdulgani
    Dokumen37 halaman
    Uts Mmrs Praditya Septian Abdulgani
    Praditya Septian Abdulgani
    Belum ada peringkat
  • BST Herpes Zoster
    BST Herpes Zoster
    Dokumen13 halaman
    BST Herpes Zoster
    Praditya Septian Abdulgani
    Belum ada peringkat
  • Entis S
    Entis S
    Dokumen20 halaman
    Entis S
    Praditya Septian Abdulgani
    Belum ada peringkat
  • CAD Dr. Yasmin
    CAD Dr. Yasmin
    Dokumen20 halaman
    CAD Dr. Yasmin
    Praditya Septian Abdulgani
    Belum ada peringkat
  • Sir Osis
    Sir Osis
    Dokumen20 halaman
    Sir Osis
    Praditya Septian Abdulgani
    Belum ada peringkat
  • 4 BEDAHhra
    4 BEDAHhra
    Dokumen9 halaman
    4 BEDAHhra
    Praditya Septian Abdulgani
    Belum ada peringkat
  • Anemia
    Anemia
    Dokumen21 halaman
    Anemia
    Praditya Septian Abdulgani
    Belum ada peringkat
  • Presentation 1
    Presentation 1
    Dokumen3 halaman
    Presentation 1
    Praditya Septian Abdulgani
    Belum ada peringkat
  • Deteksi Dini Kanker Payudara
    Deteksi Dini Kanker Payudara
    Dokumen36 halaman
    Deteksi Dini Kanker Payudara
    Praditya Septian Abdulgani
    Belum ada peringkat
  • Kulit
    Kulit
    Dokumen5 halaman
    Kulit
    Praditya Septian Abdulgani
    Belum ada peringkat
  • 4 5. Luka Bakar
    4 5. Luka Bakar
    Dokumen42 halaman
    4 5. Luka Bakar
    Praditya Septian Abdulgani
    Belum ada peringkat
  • Bukan Referat
    Bukan Referat
    Dokumen1 halaman
    Bukan Referat
    Praditya Septian Abdulgani
    Belum ada peringkat
  • Hhreferat Bukan Referat
    Hhreferat Bukan Referat
    Dokumen1 halaman
    Hhreferat Bukan Referat
    Praditya Septian Abdulgani
    Belum ada peringkat