Anda di halaman 1dari 22

3 Jenis Gula di Indonesia ( GKM, GKR dan GKP)

Posted April 8, 2012 by gina rahmalia ginandjar in Gula. Tagged: gkm, gkp, gkr, gula, jenis gula,
rafinasi. 6 Comments
Gula terdiri dari beberapa jenis yang dilihat dari keputihannya melalui standar
ICUMSA( International Commission For Uniform Methods of Sugar Analysis). ICUMSA
merupakan lembaga yang dibentuk untuk menyusun metode analisis kualitas gula dengan
anggota lebih dari 30 negara. Mengenai warna gula ICUMSA telah membuat rating atau grade
kualitas warna gula. Sistem rating berdasarkan warna gula yang menunjukkan kemurnian dan
banyaknya kotoran yang terdapat dalam gula tersebut.
Metode pengujian warna gula dengan standar ICUMSA menggunakan spektrofotometer dengan
panjang gelombang 420 nm dan 560 nm. Untuk mengukur warna gula menggunakan metode
ICUMSA sebelumnya gula dilarutkan sampai sempurna kemudian dihilangkan turbidity nya
dengan cara menambahkan kieselguhr kemudian disaring dengan saringan vakum menggunakan
kertas saring Whatman 42. Kemudian filtrate diambil dan pH larutan diatur sampai pH 7 dengan
cara menambahkan HCl atau NaOH. Kemudian mengukur brix larutan dengan refraktometer dan
tentukan berat jenis larutan dengan tabel hubungan brix dengan berat jenis. Pengukuran warna
ICUMSA dengan spektrofotometer panjang gelombang 420 nm, kemudian menetapkan
transmittance pada 100 % dengan H2O menggunakan kuvet 1 cm (b). Bilas kuvet dengan larutan
contoh, kemudian diisi kembali dan diukur transmittance (T) atau Absorbance (A)
Semakin putih gula maka semakin kecil nilai ICUMSA dalam skala international unit (IU)
seperti berikut ini. (KPPU, 2010) :
1)

Raw Sugar

Raw Sugar adalah gula mentah berbentuk kristal berwarna kecoklatan dengan bahan baku dari
tebu. Untuk mengasilkan raw sugar perlu dilakukan proses seperti berikut : Tebu Giling Nira
Penguapan Kristal Merah (raw sugar). Raw Sugar ini memiliki nilai ICUMSA sekitar 600
1200 IU5. Gula tipe ini adalah produksi gula setengah jadi dari pabrik-pabrik penggilingan
tebu yang tidak mempunyai unit pemutihan yang biasanya jenis gula inilah yang banyak diimpor
untuk kemudian diolah menjadi gula kristal putih maupun gula rafinasi.

Gambar 2.15. Proses Pengolahan Tebu menjadi Gula Kristal Mentah


2)

Refined Sugar/Gula Rafinasi

Refined Sugar atau gula rafinasi merupakan hasil olahan lebih lanjutdari gula mentah atau raw
sugar melalui proses defikasi yang tidak dapat langsung dikonsumsi oleh manusia sebelum
diproses lebih lanjut. Yang membedakan dalam proses produksi gula rafinasi dan gula kristal
putih yaitu gula rafinasi menggunakan proses Carbonasi sedangkan gula kristal putih
menggunakan proses sulfitasi. Gula rafinasi memiliki standar mutu khusus yaitu mutu 1 yang
memiliki nilai ICUMSA < 45 dan mutu 2 yang memiliki nilai ICUMSA 46-806. Gula rafinasi
inilah yang digunakan oleh industri makanan dan minuman sebagai bahan baku. Peredaran gula
rafinasi ini dilakukan secara khusus dimana distributor gula rafinasi ini tidak bisa sembarangan
beroperasi namun harus mendapat persetujuan serta penunjukan dari pabrik gula rafinasi yang
kemudian disahkan oleh Departemen Perindustrian. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi
rembesan gula rafinasi ke rumah tangga. Gula rafinasi melalui tahapan produksi yaitu :

Gambar. 2.16 Proses Pengolahan Gula kristal Mentah menjadi Gula Rafinasi Gula Kristal Putih
3)

White sugar/ Gula Kristal Putih

Gula kristal putih memiliki nilai ICUMSA antara 250-450 IU. Departemen Perindustrian
mengelompokkan gula kristal putih ini menjadi tiga bagian yaitu Gula kristal putih 1 (GKP 1)
dengan nilai ICUMSA 250, Gula kristal putih 2 (GKP 2)dengan nilai ICUMSA 250-350 dan
Gula kristal putih 3 (GKP 3) dengan nilai ICUMSA 350-4507. Semakin tinggi nilai ICUMSA
maka semakin coklat warna dari gula tersebut serta rasanya pun yang semakin manis. Gula tipe
ini umumnya digunakan untuk rumah tangga dan diproduksi oleh pabrik-pabrik gula didekat
perkebunan tebu dengan cara menggiling tebu dan melakukan proses pemutihan, yaitu dengan
teknik sulfitasi. Berikut rangkaian prosesnya :

Gambar. 2.17 Proses Pembuatan Tebu menjadi Gula kristal Putih

Gambar 2.18 Gula Mentah dan Gula Kristal Rafinasi

Gambar 2.19 Proses Pembuatan (Pengkristalisasian) Gula Kristal Putih


Gula Kristal Rafinasi dan Gula Kristal Putih dapat dibedakan dari warna dan dari besar
kecilnya butiran kristal. Hal tersebut dapat dibedakan bila kita sudah sering melihatnya, bila
jarang maka akan terlihat sama. Bahkan dari ICUMSA grade rafinasi tiga (R3) adalah sama
dengan gula kristal rafinasi, sehingga rafinasi hanya membuat dua grade saja yaitu R1 Dan R2,
karena bila mereka membuat grade R3 sama dengan membunuh industri guka kristal putih di
Indonesia. Pabrik Rafinasi pun sudah memiliki banyak keunggulan dari segi mesin karena lebih
efisien (bukan warisan Belanda). untuk mendinginkan mesin mereka memakai air dari laut
yang dialiri ke pabrik sehingga menghemat biaya untuk pendinginan mesin karena pabrik
adalah memasak gula sehingga semua mesinnya panas (Gambar 2.18 kanan atas).Sedangkan
pabrik gula kristal putih belum menggunakan teknologi semacam itu.

Gambar 2.20 Keadaan Pabrik GKR (Atas), Pabrik GKP (bawah)

Mesin Pembunuh Petani Bernama Pabrik Gula Rafinasi


April 22, 2016 Rangga Aditya Nugraha Headlines, Perdagangan 0

Rencana pemerintah untuk membuat 10 pabrik gula baru di Indonesia dalam waktu dekat ini,
ibarat pisau bermata dua bagi para petani tebu. Mereka akan langsung dirugikan, jika pabrikpabrik baru yang berdiri nanti juga memproduksi atau memproses gula rafinasi.
Para petani tebu yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), sudah
beberapa kali mengeluh kepada pemerintah terkait semakin menjamurnya pabrik gula rafinasi di
Indonesia.
Tahun lalu kami sudah sampaikan keluhan kami ke Menteri BUMN, Rini Soemarno. Sengaja
atau tidak sebenarnya pemerintah pula yang telah menciptakan mesin pembunuh bagi petani
tebu di Indonesia, yakni pabrik gula rafinasi, ujar Ketua APTRI Arum Sabil.
Saat ini menurut Arum, jumlah pabrik gula rafinasi di Indonesia sudah mencapai 11 pabrik,
padahal dulu hanya tiga unit saja. Hal ini membuat kebutuhan akan impor raw sugar untuk gula
rafinasi semakin tinggi di Indonesia.
Bagaimana tidak menjadi mesin pembunuh, dulu tiga pabrik gula rafinasi hanya kapasitas
produksinya 500.000 ton setiap tahunnya, namun saat ini, 11 pabrik tersebut kapasitas
produksinya mencapai 5 juta ton per tahun. Padahal, kebutuhan untuk industri makanan dan
minuman hanya 2, 2 juta ton. Lalu, mengapa harus berlebih seperti itu produksinya, ungkap
Arum.
Melihat selisih yang ada saat ini, kapasitas gula rafinasi sebesar 5 juta ton dan kebutuhan industri
hanya 2,2 juta ton, maka diperkirakan sebanyak 2,8 juta ton gula rafinasi telah bocor ke pasar

tradisional dan hal ini sudah terbukti di beberapa kota. Kebocoran itu membuat harga gula kristal
putih ambruk dan petani tebu sangat dirugikan karena sistem bagi hasil dari pabrik gula lama
terus turun.
Arum menambahkan, untuk kebutuhan gula konsumsi rumah tangga, sebenarnya produksi gula
nasional sudah jauh mencukupi. Kebutuhan untuk konsumsi rumah tangga hanya 2,3 juta ton,
sedangkan produksi gula kita nasional mencapai 2,5 juta ton. Artinya untuk urusan kebutuhan
rumah tangga sudah selesai, tinggal urusan industri, katanya.
Produksi Gula dan Kebutuhannya.
Tahun

Produksi

Konsumsi

2009

2.299.504

2.593.658

2010

2.214.488

2.663.003

2011

2.228.259

2.692.833

2012

2.662.127

2.613.272

2013

2.551.024

2.642.125

2014

2.579.173

2.841.897

2015

2.623.923

2.817.743

Share this:

Pemerintah Didesak Audit Gula Rafinasi


Surabaya - Ikatan Ahli Gula Indonesia (Ikagi) mendesak pemerintah segera
melakukan audit penggunaan gula rafinasi terhadap seluruh industri makanan dan
minuman (mamin). Upaya tersebut dilakukan untuk memastikan agar stok gula
rafinasi tidak sampai berlebih, sehingga dijadikan alasan bagi para produsen untuk
melepasnya ke pasaran konsumsi.
Menurut Wakil Sekjen Ikagi Adig Suwandi, saat ini, pemerintah melalui Kementerian
Perdagangan hanya akan mengandalkan hasil audit gula rafinasi untuk melakukan
pengurangan kuota impor gula kristal mentah (raw sugar) dan mengancam
produsen yang melanggar dengan pemberian reaksi langsung. "Upaya pemerintah
itu tidak efektif untuk membuat jera pelakunya, mereka akan terus melakukan
pelanggaran," katanya di Surabaya, Minggu (1/1).

Dia juga menilai, sanksi pengurangan kuota impor raw sugar bagi pelaku
pelanggaran tidak memadai bila tidak disertai bukti kontrak penjualan produk
kepada industri makanan/minuman selaku penggunanya. "Selama ini terlalu sering
ada temuan gula rafinasi di pasar eceren, tetapi distributornya saja yang dijadikan
'kambing hitam'," tuturnya.
Menurut dia, rencananya sebanyak lima produsen gula rafinasi di Indonesia akan
dipangkas kuota impor raw sugar-nya setelah pemerintah melalui PT Sucofindo
mengaudit distribusi gula rafinasi pada 8.619 pengecer yang tersebar di 439 pasar.
Hasilnya, sebanyak 1.541 pengecer tertangkap tangan menjual gula rafinasi di
pasar konsumsi.
Namun, dari produsen gula rafinasi yang ada, kata dia, ternyata PT Makassar Tene
memiliki 1.024 pengecer dan dianggap paling banyak melakukan pelanggaran.
Indikasi perembesan gula rafinasi di pasar konsumsi mencapai 18 hingga 20 persen.
Untuk itu, pemerintah berniat mengoreksi kuota impor raw sugar 18 hingga 20
persen pada 2012. "Ini artinya dari rencana impor 2,55 juta ton, pemerintah
mengurangi kuota impor sebesar 400.000 ton," ujarnya.
Sejauh ini, kata dia, segmentasi pasar yang membedakan peruntukan gula rafinasi
(hanya untuk industri) dan lokal (untuk konsumsi langsung) masih diperlukan dalam
upaya perlindungan pabrik gula (PG) berbasis tebu. Sebab impor raw sugar oleh
pabrikan gula rafinasi hingga saat ini masih mendapatkan fasilitas bea masuk 0
hingga 5 persen.
Di sisi lain, dia mengatakan, saat ini stok gula lokal hasil penggilingan tebu 2011
masih banyak yang tersimpan di gudang. Produk gula lokal itu tidak bisa dipasarkan
karena tidak mampu bersaing dengan harga gula rafinasi yang ikut merembes ke
pasaran bebas.
Para distributor gula rafinasi banyak yang menjual ke konsumen non-industri
dengan alasan para pelaku industri makanan/minuman kelas menengah ke bawah
dan pengolahan rumah tangga pengguna gula rafinasi tidak memiliki akses
langsung ke pabrik. Padahal umumnya, industri kecil lebih banyak menggunakan
gula lokal berbahan baku tebu dengan alasan jauh lebih manis. "Mereka baru
mencari gula rafinasi ketika harganya jauh lebih murah," ucapnya.
Koordinasi
Terkait bocornya peredaran gula rafinasi ke pasar bebas ini, anggota Komisi VI DPR
Lili Asdjudiredja sebelumnya mengatakan, peredaran gula rafinasi tersebut
menghambat gula produksi petani masuk pasar. Hal tersebut, lanjut dia, diakibatkan
kurangnya pengawasan pemerintah dan kementerian terkait harus bertanggung
jawab terhadap peredaran gula rafinasi.

Untuk menghindari adanya lempar tanggung jawab pengawasan antarlembaga


pemerintahan, dia meminta koordinasi yang baik antara Kementerian Perdagangan
(Kemendag), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dan Kementerian Pertanian
(Kementan). "Ketiga kementerian terkait harus berkoordinasi dalam hal
pengawasan. Kementerian BUMN juga perlu dilibatkan. Kalau koordinasi bisa
berjalan baik, maka pengawasan akan lebih intensif. Kita harus melakukan sinergi
untuk membuat petani bergairah," ujarnya.
Selain itu, dia mengimbau pemerintah memperhatikan tuntutan petani tebu, salah
satunya terkait rembesan gula rafinasi yang membuat harga gula tebu merosot.
Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Bayu Krisnamurthi mengakui, banyak gula
rafinasi di pasar konsumen rumah tangga. Namun, dia mengatakan, hal tersebut
dikarenakan keinginan dari gubernur di masing-masing daerah yang bersangkutan.
"Mereka (gubernur) beralasan, gula rafinasi itu untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat di daerahnya. Soalnya, ketersediaan gula tebu di daerah itu terbatas.
Gula tebu yang merupakan hasil produksi di Pulau Jawa dan Suma-tera, tidak
sampai ke wilayah Indonesia timur," kata dia.
Sepereti diketahui, akibat bocornya gula rafinasi ke pasaran tersebut ribuan massa
dari Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) berunjuk rasa ke Kementerian
Perdagangan (Kemendag) dan Istana Negara, pada pertengahan Desember 2011
lalu.
Meluasnya peredaran gula rafinasi di pasar umum menyebabkan kemarahan para
pelaku industri gula berbasis tebu. Sebab dengan harga gula rafinasi yang jauh
lebih murah, penjualan gula tebu terus merosot. Untuk itu, APTRI juga meminta
pemerintah menjatuhkan sanksi dan mencabut izin impor PT Makassar Tene karena
produknya masuk ke pasar konsumsi.
Sumber: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=294277

Apa beda gula Rafinasi, Raw sugar


dan Gula Kristal Putih (GKP)
Bicara tentang gula pasir mungkin bagi orang awam hanya mengenal satu jenis gula pasir saja
yaitu Gula Kristal Putih ( GKP) hasil produksi pabrik gula dalam negeri yang banyak beredar
dipasaran. Jika toh sebagian ada juga gula rafinasi yang beredar di pasaran, mereka umumnya
mengenal sebagai gula pasir impor. Menurut ketentuan pemerintah gula rafinasi hanya
dikhususkan untuk keperluan industri minuman seperti : coca cola, fanta, sprite, pepsicola dan
lain-lain. Karena hanya untuk industri minuman tersebut, maka gula rafinasi dilarang beredar

dipasaran, kecuali jika memang digunakan oleh pemerintah untuk menutup kekurangan produksi
gula GKP pabrik dalam negeri. Lalu apa yang disebut Raw sugar atau gula mentah. Sesuai
namanya raw sugar adalah bahan setengah jadi yang digunakan sebagai bahan baku ( raw
material ) di pabrik gula rafinasi. Sampai saat ini belum ada pabrik raw sugar di Indonesia. Jadi
semua pabrik gula rafinasi yang ada di negeri kita saat ini bahan bakunya masih impor dari luar.
Ini sama juga artinya walaupun jika nantinya kebutuhan kita akan gula pasir tercukupi oleh
pabrik-pabrik gula dalam negeri ( oleh Pabrik Gula rafinasi dan Pabrik Gula tebu GKP ), tetapi
selama kita masih impor raw sugar dari luar negeri, sama saja artinya kita belum bisa
swasembada gula. Kemudian banyak juga pertanyaan di masyarakat apa sebenarnya perbedaan
gula rafinasi dan gula pasir biasa (GKP) produksi dalam negeri yang beredar dipasaran. Apakah
benar bahwa gula rafinasi kurang baik atau bahkan ada yang mengatakan berbahaya untuk
kesehatan jika dikonsumsi langsung?. Jika dilihat dari susunan kimianya, kedua jenis gula
tersebut praktis sama, karena keduanya mengandung komponen utama sakarosa ( C12H22O11)
yang keduanya mengandung sakarosa diatas 99%. Hanya untuk gula rafinasi kadar sakarosanya
lebih tinggi nyaris 100%( dengan warna ICUMSA + 50) . Jadi intinya gula rafinasi lebih murni
dari gula putih GKP yang masih mengandung sedikit kadar abu ( warna ICUMSA diatas 100 ).
Jika kita mengacu kepada kondisi di banyak Negara majui, dimana mereka umumnya juga
mengonsumsi gula rafinasi secara langsung, maka tentunya, adanya sinyalemen bahwa gula
rafinasi berbahaya bagi kesehatan tidak seluruhnya benar. Ya memang menurut para pakar
kesehatan mengkonsumsi gula putih ( sakarosa ) murni secara langsung kurang baik bagi
kesehatan terutama bagi penderita diabetes. Semakin murni gula tersebut akan semakin
kehilangan kandungan nutrisinya, karena dalam bahan aslinya yaitu nira tebu merupakan zat
yang kaya akan nutrisi dan vitamin dan banyak digunakan sebagai minuman kesehatan. Diluar
negeri yang banyak dikonsumsi, baik untuk keperluan industri maupun untuk konsumsi langsung
adalah gula rafinasi. Pabrik gula pasir seperti di negeri kita yang memproduksi GKP yang
dikenal dengan Plantation White Sugar, hanya terdapat dibeberapa negara saja seperti Indonesia,
India, Thailand dan Philipina. Lalu mengapa gula rafinasi lebih murni dari pada gula pasir GKP
kita. Ya tentu saja karena gula rafinasi itu diproses dua kali dalam dua pabrik yang berbeda.
Pertama dari bahan baku tebu diolah jadi raw sugar didalam pabrik gula raw sugar dan
kemudian raw sugar diolah menjadi gula rafinasi didalam pabrik gula rafinasi. Sedang untuk
pabrik gula Plantation White sugar seperti dinegeri kita mengolah bahan baku tebu langsung
menjadi gula putih GKP. Namun yang menjadi pertanyaan adalah mengapa harga gula rafinasi
impor lebih murah dari gula pasir GKP kita, padahal proses pembuatannya lebih panjang. Ya
inilah nampaknya yang menjadi PR berat bagi pemerintah dan pabrik gula kita untuk
meningkatkan kinerja dan efisiensi pabriknya sehungga mampu bersaing dengan gula impor dari
luar.
Diposkan oleh Istadi Darmohardjo di 15.05

Industry Facts
Facts Of The Sugar Industry In Indonesia

Indonesia ranks 12th in worldwide sugar production

Indonesia's sugar plantations totaled 473,000 hectares or an increase of 2.9%


from 460,000 hectares in 2008.

Sugar production grew 2.8% to 2.85 million tons in 2009.

The Indonesian government has decided to expand sugar cultivation by as


much as 150,000 hectares in 2010 with the first phase 41,705 hectares. The
plan will need 1.25 billion seedlings valued at Rp 563 billion.

The Indonesian Government pledged to give full assistance to a South Korean


company Park Energy Pte Ltd to build a sugar factory in Bener Meriah district,
Aceh. This was reiterated by the Director General for Plantations, Achmad
Mangga Barani, The South Korean company will be providing fund of Rp 1.8
trillion (USD 180 million) for the investment.

In June 2015, Agriculture Minister Amran Sulaiman states that the Indonesian
Government has prepared three areas in Eastern Indonesia for new
sugarcane plantations. Planning its location at South East Sulawesi, Merauke
in Papua, and the Aru Islands in Maluku, they are aiming to bring at least 10
sugar factories and sugarcane plantations for new investors

In September 2015, The Agriculture Minister states that there are 21 potential
investors planning to open up new sugar factories in Indonesia

In September 2015, The Ministry of Trade will simplify the trading system
between Indonesia islands for white sugar

The three biggest key Sugar manufacturers in Indonesia are: PT Perkebunan


Nusantara XI (PTPN XI), PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) and PT Sugar
Group Companies (SGC)

Source: http://sugarindo.com/post/12/Industry-Facts.html

Senin 03 Mar 2014, 11:19 WIB


Catatan Agus Pambagio

Gulaku Manis Gulaku Tragis


Agus Pambagio - detikNews
Jakarta - Gula yang merupakan salah satu komoditas utama masyarakat Indonesia,
selain beras, sudah puluhan tahun selalu bermasalah. Sama seperti beras,
Indonesia pernah mengalami masa swasembada gula bahkan pernah menjadi salah
satu produsen gula terbesar di dunia. Namun bagaimana nasib gula Indonesia
sekarang?
Berdasarkan Road Map Gula Indonesia yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Agro

dan Industri Kimia, Kementerian Perindustrian pada tahun 2009, swasembada gula
nasional (gula putih, gula Kristal rafinasi dan raw sugar) akan tercapai pada tahun
2014. Kenyataannya?
Berbagai kebijakan sudah dibuat sejak zaman Orde Baru hingga saat ini, namun
industri gula dalam negeri tak kunjung maju. Jumlah pabrik gula dan area
perkebunan tebu saja pertumbuhannya sangat lambat kalau tidak boleh dibilang
stagnan dengan teknologi yang usang. Apa bisa menunjang swasembada gula
tahun ini?
Berbagai program swassembada gula pun sudah dicanangkan dan bahkan
dianggarkan cukup besar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),
termasuk rehabilitasi atau peremajaan perkebunan tebu (dikenal dengan istilah
'bongkar ratoon'). Namun hasilnya belum bisa memenuhi kebutuhan 250 juta lebih
penduduk Indonesia.
Pertanyaannya, apa penyebabnya? Regulasi yang tidak benar dan komprehensif
atau penegakan hukum yang lemah terhadap pelanggar kebijakan Pemerintah atau
tingginya arogansi sektoral di Pemerintahan atau tanah kita sudah tidak cocok
untuk bertanam tebu atau kita kekurangan tenaga ahli gula modern yang
mumpuni? Jadi jangan heran kalau gulaku manis gulaku tragis.
Persoalan di Lapangan
Menurut Menteri Pertanian (Berita Pertanian On Line, Agustus 2012), produksi gula
dalam negeri diharapkan mampu memenuhi kebutuhan gula sebesar 5,7 juta ton
pada 2014, (2,96 juta ton untuk konsumsi langsung masyarakat dan 2,74 juta ton
untuk keperluan industri makanan, minuman dan farmasi).
Tahun 2014 sedang berjalan, namun belum tampak akan berjalan sesuai dengan
Road Map. Buktinya kuota impor raw sugar yang dikeluarkan oleh Kementrian
Perdagangan berdasarkan rekomendasi Sucofindo, masih sekitar 3 juta ton lebih.
Patut diduga Sucofindo salah hitung dan kalau ini diteruskan dapat membantai
petani tebu dan industri gula nasional.
Kebutuhan gula rafinasi untuk industri makanan dan minuman (mamin) tahun 2014
diperkirakan mencapai 3 juta ton lebih, ini dihasilkan oleh industri gula rafinasi
nasional, seiring dengan peningkatan kapasitas industri mamin (sumber: Agri).
Bahan baku gula rafinasi (raw sugar) 100% masih impor karena raw sugar domestik
hanya cukup untuk gula konsumsi (kristal putih).
Gula rafinasi hanya boleh digunakan untuk industri bukan untuk dijual ke pasar
sebagai gula konsumsi. Gula rafinasi memang lebih murah dibandingkan dengan
gula konsumsi karena harga raw sugar impor sangat murah, sehingga gula rafinasi
sering bocor sampai ke pasar becek. Ini yang menyebabkan gula konsumsi tidak
laku dan pabrik gula serta petani merugi.
Gula konsumsi mahal karena proses produksinya tidak efisien, seperti pengolahan

tebu yang kebanyakan masih menggunakan teknologi zaman penjajahan dan


dikerjakan secara manual, sehingga banyak butiran gula berceceran.
Menurut Direktur Utama PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) Ismed Hasan
Putro: "Tahun 2013 merupakan awal kematian industri gula tebu BUMN. Di Kupang
misalnya, harga gula tebu impor hanya Rp 5.000. Itu dari Australia yang masuk
lewat Timor Leste. Kontrol perbatasan tidak terjaga dengan baik," kata Ismed dalam
konferensi pers di kantor pusat RNI (Kompas.com, Senin 23/12/2013).
Ismed menekankan bahwa pada 2015, Indonesia akan dihadapkan pada pasar
bebas ASEAN atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), dengan kondisi bahwa
berbagai macam produk dapat leluasa masuk ke pasar tanpa bea masuk, tidak
terkecuali gula impor dengan harga yang jauh lebih murah.
Sebagai contoh harga gula rafinasi di Cape Town dan Thailand Harga Pokok Produksi
(HPP) Rp 3.500 sampai Rp 4.000. Di Indonesia, HPP gula Kristal putih produk BUMN
minimal Rp 6.000 sampai Rp 8.000. "Bagaimana bisa bersaing dengan gula dari
Vietnam atau Thailand nanti?" ujar dia.
Kuota gula rafinasi saat ini, kata Ismed, tampaknya merembes ke pasar ritel.
Keadaan ini menurutnya membuat berbagai regulasi terkait gula tidak berguna
akibat minimnya pencegahan gula rafinasi masuk pasar dan membunuh gula kristal
putih atau gula konsumsi produk pabrik gula domestik.
Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah
Meskipun sebentar lagi Pemerintaha akan memasuki masa vacuum dan tidak boleh
mengambil keputusan strategis, namun tetap saja Pemerintah perlu melakukan
beberapa hal berikut dilakukan, seperti:
1. Untuk memastikan supaya gula rafinasi tidak merembes ke pasar, sebaiknya
kebijakan besaran lot lelang gula kristal putih produksi pabrik gula domestik harus
diperkecil supaya pedagang dengan modal kecil bisa ikut berpartisipasi. Jangan
hanya pedagang besar dengan modal besar, seperti kelompok the Seven Samurai
saja yang bisa ikut lelang.
2. Pastikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai mengawasi Kementerian
Perdagangan terkait dengan pemberian kuota impor raw sugar, sementara
dukungan APBN untuk swasembada gula juga besar.
3. Pabrik gula milik BUMN di izinkan untuk membuat gula kristal putih di luar musim
giling (menggunakan gas sebagai bahan bakar karena limbah tebu tidak ada)
sehingga ketersediaan gula konsumen terjamin dangan harga stabil
4. Membangun industri dan perkebunan tebu tidak menguntungkan kecuali ada
dukungan fiskal Pemerintah, karena industri dan petani tebu dibebani biaya pupuk,
UMR dsb. Sementara kalau impor banyak memperoleh incentive fiscal, seperti bea

masuk nol persen dsb.


5. Harus ada kebijakan yang mendorong tumbuhnya industri gula domestik, selain
dengan bongkar ratoon dan subsidi pupuk, juga harus ada jaminan pengadaan bibit
kelas 1, bukan turunan kesekian.
6. Dan beberapa penggunaan teknologi pergulaan lainnya.
*) Agus Pambagio adalah Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen

Indonesia's sugar imports, consumption to increase in


2016
By Bernadette Christina Munthe/Reuters on Jan 8, 2016 at 8:37 a.m.
AddThis Sharing Buttons
Share to FacebookShare to TwitterShare to RedditShare to EmailShare to Copy Link

JAKARTA - Indonesia's raw sugar imports will rise to 3.2 million tons this year from 2.88
million tons in 2015, a top industry association official told Reuters on Friday, which is likely to
benefit chocolate and milk makers and potentially support global sugar prices.
The country's sugar industry is split in two and is tightly regulated. Households, retail and smallto-medium firms rely on domestic white sugar supplied by a network of older mills, while
modern refineries import raws for large-scale food and beverage industries, mostly from Brazil,
Thailand and Australia.
Rising Indonesian demand for raw sugar could support prices that are currently trading at threeweek lows at around 14.75 cents per lb.
"In 2015, raw sugar import realisation was about 96 percent of the 3 million tons of permits
issued," said Adhi Lukman, chairman of the Indonesian Food and Beverage Industries
Association. "For 2016 the industry will need 3 million tons refined sugar, equal to 3.2 million
tons raw sugar."
Total sugar consumption in Indonesia will rise to 6 million tons in 2016 from 5.5 million tons
last year, Lukman said, citing Indonesia's rising population and domestic production and
consumption growth.
Many sugar refineries in Indonesia, one of the world's biggest buyers, were forced to close in late
2014 after the government slashed imports in line with its aggressive food self-sufficiency
policies.

Lukman said the government had agreed to issue raw sugar import permits every six months
rather than quarterly, in order to provide greater certainty for the industry, and that the time taken
to issue permits would be just one or two days.
Key sugar growth areas within the Indonesian food and beverage industries included both
chocolate and milk makers, he said, adding domestic sugar refinery capacity was likely to remain
unchanged at 5.5 million tons in 2016.
There is a growing awareness among consumers over the negative health effects of sugar, after
the World Health Organization urged many to slash the amount of sugar they consume to lower
risk of obesity and tooth decay.
"If we want to reduce sugar intake, then we need to educate the consumer," Lukman said.
When asked whether industries in the country were now changing, he said: "No, because
Indonesian consumers love sweets - it's about taste."
On the possibility of the Indonesian government introducing a sugar tax, Lukman said the
association had not had any discussions with the government and letters sent in November to
officials had gone unanswered.

Agriculture | Indonesia's Sugar Industry Overview: Still a Long Way from SelfSufficiency

Although it has existed since the Dutch colonial period, the fate of the Indonesian sugar industry
is not as sweet as its product. Many issues continue to plague the national sugar industry, ranging
from aging factories, reduced sugarcane fields, farm inefficiency and low productivity to a flood
of cheap imported sugar due to poor market regulation. The challenge of cheaply imported sugar
into Indonesia serves to highlight the scale of demand for the commodity which places Indonesia
among the worlds largest buyers by volume, particularly from the countrys food and beverage
manufacturing sector. This is in addition to the anticipated demand from biofuel producers due to
regulations regarding mandatory biofuel requirements as Indonesia seeks to reduce its reliance
on fossil fuels.

Indonesias growing middle class' increasing appetite for processed foods is seeing
a large scale expansion by the countrys processed food producers which require
industrial sugar for production
Aging factories, low productivity

In general, Indonesias sugar industry plays an important role in the countrys economy. With
production ranging from 2.5 to 2.7 million tonnes per year, the economic value of the national
sugar industry is estimated at 25 trillion IDR. The countrys sugar industry is split into two
distinct segments namely for industrial and consumer sugar with the latter being reserved for
domestic producers. The sector is highly politicised and contentious with the local sugar lobbies
keen to protect their segment of the market from imports in addition to sugar being one of the
commodities that the government has regularly strived towards achieving self-sufficiency in (See
Indonesias Latest Move on Beef Supply).
Indonesia currently has 63 sugar mills owned by 18 companies yet, the majority of these
factories are old and due to underinvestment have low rates of productivity. The countrys sugar
factories have a total capacity of 245,000 TCD or an average of 3,900 TCD per factory with
rendement of 7.1%. This figure is low compared to Thailand which only has 50 sugar mills but
has a capacity of 940,000 TCD with rendement of 11.82%. The result is that Indonesias sugar
output is a quarter of that of Thailands which stands at 10.61 million tonnes per year, of which 8
million tonnes is exported.
Rapid land conversion

A further problem that hampers Indonesias sugar industry is the continued decline in sugarcane
fields. The majority of sugarcane fields in Indonesia are owned by individual, smallhold farmers
with 95% of sugar fields in Java falling into this category. The high fractured nature of
ownership across the sector makes it highly susceptible to land conversion as farmers seek out
higher earning crops, particularly as land prices continue on an upward trajectory. Moreover,
regional development across Java, the epicentre of sugarcane production in Indonesia given its

land suitability, has served to transform swathes of agricultural land into industrial and
residential areas.
The fall in the government reference purchase price of sugarcane for farmers (HPP) in recent
years has made the impact of the aforementioned issues more acute. In 2015, for instance, the
government set the HPP at 8,900 IDR per kg. This is far below the HPP in 2012 and 2013 that
reached 11,800 IDR and 10,250 IDR per kg, respectively. Therefore, in order to be commercially
viable and attractive for farmers, the HPP needs to be set above 10,000 IDR per kg. The result is
that Indonesias land under cultivation for sugarcane has dwindled to 469,000 hectares only,
compared to 1.35 million hectares in Thailand.
Poor market regulation

Poor market regulation has led to significant tensions between the sugarcane industry and the
Indonesian government as the latter aims to strike a balance between the needs of the local sugar
industry and the demand from those industries that consume it. The Ministry of Industry
estimates that Indonesias national sugar consumption in 2015 reached 5.7 million tonnes
consisting of 2.8 million tonnes of plantation white sugar for direct consumption by the local
market and 2.9 million tonnes of cheaper, refined from raw cane sugar for the industrial segment.
In 2015, the government set the raw sugar import quota at 2.8 million tonnes which will be
increased to 3.2 million tonnes in 2016. While regulations for import quotas are seemingly
tightly controlled, the regulations governing the trading of sugar within the domestic market are
laxer and result in a portion of the cheap, imported sugar intended for industrial consumption
only, making its way into consumer retail channels. This directly erodes the price of locally
produced sugar and directly contradicts government efforts to achieve self-sufficiency for either
segment of the market.
Indonesias growing middle class' increasing appetite for processed foods is seeing a large scale
expansion by the countrys processed food producers which require industrial sugar for
production (See Thirst Quenching: Indonesias Food and Beverage Industry). Local sugar
producers lack the technology and know-how to comply with the standards required by the
industry concerning colour and quality. Therefore, limiting or banning refined sugar could also
hamper the development of this highly strategic industry given the scope of Indonesias domestic
consumption and lead to producers looking at other production centres in the ASEAN.
Sweetening the deal for sugar producers

The Indonesian government under President Joko Widodo is making headway in improving the
competitiveness of the local sugar industry. The Minister of State-owned Enterprises (SOE), Ms
Rini Soemarno, has instructed all state sugar companies to synergise their production and
streamline their cooperation with sugarcane farmers as well as requested the Ministry of
Agriculture to oversee measures to obtain higher yields. The government itself prefers to
revitalize existing sugar factories rather than building new ones due to the scale of the
investment and the limited availability of agricultural land. That being said, the government has

set the target of building ten new sugar factories in collaboration with the private sector over the
next three to four years.

Thaha Engineering
Mr M.H. Thaha
Engineering, Procurement & Construction

Our strategy for the future refers to Indonesias push for infrastructure development
as well as supporting the countrys efforts to achieve sugar self-sufficiency. For
construction projects in Indonesia, we are building a sugar mill in 2016 in
Lamongan, East Java and Dumai, Riau.
See Interview Learn more about Thaha Engineering

Revitalization efforts have already begun such as by PTPN X through an investment programme
of 1.54 trillion IDR. Farm mechanisation and rejuvenation technology have successfully reduced
costs and resulted in a lower HPP of 6,866 IDR per kg. A bioethanol plant that processes
sugarcane into bioethanol with a capacity of 30 million litres per year has been constructed at the
Gempolkrep factory to diversify sugarcane products. Greater energy efficiency in sugar refining
operations has also shown progress with energy consumption by plant operations reduced from
48 billion IDR in 2011 to 1.78 billion IDR in 2014.
In addition to the above efforts, the Chamber of Commerce and Industry (Kadin) of Indonesia
has proposed to the government to introduce a sugar fund which functions in the same way as the
CPO fund. The fund would be collected from the levy imposed on sugar products which will be
paid by sugar importers and traders. The funds raised could be used to support the domestic
sugar industry and improve the welfare of farmers. In addition, the government is also trying to
improve the sugar trade by ordering PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) to purchase
sugar from farmers at the HPP price. PPI will play the role of being a national stock holder to
maintain the stability of sugar.
Investment opportunities

According to the Ministry of Trade, Indonesian sugar consumption within the consumer retail
segment is 3 million tonnes per year, while national sugar production is only about 2.5 to 2.7
million tonnes per year resulting in a shortfall of 300-500,000 tonnes of sugar. Indonesias
youthful population and growing middle class is feeding demand from the food and beverage
industry as well as hotels and restaurants which means that demand will continue to rise,
highlighting the opportunities that the sector has to offer.

The bright prospects for investment in the national sugar industry is evident from the growing
interests of the private sector to invest in the sector (See Opportunities in Indonesias
Downstream Sugar Industry). For example, PT Pratama Nusantara Sakti, PT Indah Cemerlang,
PT Gendhis Multi Manis and PT Sukses Mantap Sejahtera will begin construction of four new
sugar mills in 2016. These sugarcane-based factories are located in OKI, South Sumatra;
Konawe, Southeast Sulawesi; Blora, Central Java; and Dompu, West Nusa Tenggara.
The government will also build a new sugar mill in Comal, Pemalang, Central Java and will
revitalise three other existing plants. The mill will have a production capacity of 10,000 TCD and
will cost 2 trillion IDR in investment. The Ministry of Industry also plans to transform a sugar
factory in Lamongan into the first raw sugar factory in Indonesia. The mill that will boast a
capacity of 300,000 tonnes per year and is intended to gradually reduce Indonesia's dependence
on imported raw sugar. To achieve this goal, Indonesia requires ten raw sugar factories to
eliminate its import dependence. Such investments are in conjunction with measures to cultivate
a further 500,000 hectares of land in Kalimantan and Sulawesi to realise the plan of selfsufficiency by 2019.
Indonesias self-sufficiency efforts in a number of key commodities have failed to achieve the
final goal, however this should not put off investors in the sugar sector. Rather, the positive
momentum that such goals generate lead to cutting of much of the red tape that has hampered
progress and provide an opportune time for investors to participate in the sector as well as take
advantage of various incentives on offer. High yield sugar producing countries that can offer
technology and know-how to work together with the government to revitalise aging plants and
boost sugarcane output will also find now to be a highly strategic time to work with state-owned
as well as private sector companies as they seek to get ahead of the demand from Indonesias
sweet tooth.
Global Business Guide Indonesia - 2016
Agriculture | Opportunities in Indonesias Sugar Industry

Despite being the worlds second largest sugar producer and exporter in the 1930s, Indonesias
sugar industry has been in a state of decline. Production output decreased by 30% over the
course of 1995-2000 due to the closing of several out of date mills on advice from the IMF.
Production figures have improved again since 2004 to over 2 million MET and reaching 2.39
MET in 2010. Indonesia is South East Asias largest consumer of sugar and the worlds third
largest importer, mainly for raw sugar. Total demand stood at 5.01 million MET for 2010 with
imports making up the remainder mainly from Australia, Thailand and the Philippines.
Production levels have failed to keep pace with the increased demand in domestic consumption
and industrial use which is estimated to reach 5.7 million MET by 2014.
Indonesia Sugar Production

Source: Statistics Indonesia (BPS)


Sugar production and refinery is mainly carried out in Java by private sector companies, state
owned plantations and community plantations. Of the countrys 63 sugar cane factories, 54 are
operated and managed by SOEs (Ministry of Industry). The Indonesian Research Centre for
Sugar Plantations estimates total optimal capacity of existing factories to be 3.54 million MET,
which 2010s production figures fall far short of. In the private sector, the five main players
including Angels Products and Jawamanis Rafinisi are operating at an estimated 70% of capacity
due to feedstock capacity. Currently, the government does not offer incentives for sugar cane
plantations and therefore farmers can pick and choose which crop to plant depending on market
price, leaving production levels open to fluctuation. Rising sugar prices at the end of 2010 as a
result of revised output figures for Australia and India due to poor weather has made the sugar
issue all the more pressing.
As of 2010, the government is aiming to make the country self sufficient in sugar production and
processing by 2014. Self sufficiency will require an increase of at least 2 million MET annually
to mainly make up for the shortage due to demand from the industrial sector and will be a very
difficult task to achieve. Refined sugar is mainly used by the food and beverage industry for
processed foodstuffs and soft drinks that are consumed domestically and for export. Future
demand for high quality sugar cane for second generation biofuel is a potential area of increased
demand that must also be prepared for. Yet, the issue is a politically sensitive one given the
strength of licensed sugar importers who make substantial gains from import quotas issued by
the government. Other challenges are found in the persistent issue of the need to build the
necessary infrastructure to support the industry as well as acquiring more land for cultivation. To
meet government targets an additional 300,000500,000 hectares of new plantations would have
to be acquired based on existing productivity levels. The Ministry of Forestry is currently
delineating areas where such cultivation could take place with areas in Papua and Sulawesi
already earmarked.
The government is actively collaborating with both state and private sector actors to accelerate
the sugar industry. In 2009, $5 million USD was distributed to nine sugar companies for

investment into new equipment. State owned plantations are investing $858.4 million USD for
land expansion and modernisation of existing factory facilities. Numerous investment
opportunities are now being offered to private investors in order to achieve future goals of 11
new factories; at the Merauke Food Estate in Papua sugar is one of the key crops with up to
200,000 hectares being set aside for cultivation. Two large scale investors in the form of Wilmar
International and Rajawali Group are already participating. Other opportunities include a 35
thousand hectare sugar plant in Northern Aceh that requires up to 1 trillion RP in investment. The
private sector has also been active with the announcement at the beginning of 2011 of a further 1
trillion RP sugar mill in Pukateja, Purbalingga in Central Java by PT Putra Giri Manis and
another by PT Gendis Multi Manis. Incentives are also being offered to attract investors in the
form of VAT exemption on import of capital goods and income tax break of 5% a year for the
first 6 years for both the upstream and downstream sugar industry.
Laws to Consider

Ministry of Trade Decree No. 57/2004 making sugar a commodity that is


subject to import controls or controlled merchandise in an effort to improve
national self sufficiency.

Indonesian National Standard (SNI) introduced in 2008 sets standards for the
quality of sugar that can be imported in the country. For example, raw sugar
must have ICUMSA unit of no less than 1200.

Negative Investment List Presidential Decree No.36/2010 permits foreign


ownership of up to 95% in plantations for agricultural crops of over 25
hectares. For processing units, an additional permit is required from the
Ministry of Agriculture and the Directorate of Plantations.

Ministry of Finance Regulation No. 67/2010 on export duties subject to export


duties and tariffs.

Government Regulation Number 62/2008 on income tax facilities for


investors.

Global Business Guide Indonesia - 2012

Anda mungkin juga menyukai