Anda di halaman 1dari 140

1

PENGARUH KONSENTRASI ENZIM DAN LAMA SAKARIFIKASI


PADA HIDROLISIS ENZIMATIS TERHADAP PRODUKSI SIRUP
GLUKOSA DARI PATI UBI KAYU (Manihot Esculenta)


SKRIPSI


Oleh :
NAILY ROCHMAWATIN
NIM. 05530010









JURUSAN KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2010
2



PENGARUH KONSENTRASI ENZIM DAN LAMA SAKARIFIKASI
PADA HIDROLISIS ENZIMATIS TERHADAP PRODUKSI SIRUP
GLUKOSA DARI PATI UBI KAYU (Manihot Esculenta)


SKRIPSI




Diajukan Kepada:
Universitas Islam Negeri Malang
Untuk Memenuhi Salah Satu Persnyaratan Dalam
Memperoleh Gelar Sarjana Sains (S.Si)




Oleh :
NAILY ROCHMAWATIN
NIM. 05530010




JURUSAN KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2010
3



PENGARUH KONSENTRASI ENZIM DAN LAMA SAKARIFIKASI
PADA HIDROLISIS ENZIMATIS TERHADAP PRODUKSI SIRUP
GLUKOSA DARI PATI UBI KAYU (Manihot Esculenta)





SKRIPSI




Oleh :
NAILY ROCHMAWATIN
NIM. 05530010


Telah disetujui oleh:
Pembimbing Utama





Akyunul Jannah, M.P
NIP. 19750410 200501 2 009
Pembimbing Agama





Dr. Ahmad Barizi, MA.
NIP. 19731212 199803 1 001



Mengetahui,
Ketua Jurusan Kimia
Fakultas Sains Dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Malang




Diana Candra Dewi, M.Si.
NIP. 19770720 200312 2 001


4



HALAMAN PENGESAHAN
PENGARUH KONSENTRASI ENZIM DAN LAMA SAKARIFIKASI PADA
HIDROLISIS ENZIMATIS TERHADAP PRODUKSI SIRUP GLUKOSA
DARIPATI UBI KAYU (Manihot Esculenta)

SKRIPSI

Oleh:
NAILY ROCHMAWATIN
NIM: 05530010

Telah Dipertahankan di Depan Dewan Penguji Skripsi
dan Dinyatakan Diterima Sebagai Salah Satu
Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains (S. Si)

Tanggal, Agustus 2010

Susunan Dewan Penguji Tanda Tangan
1. Penguji Utama : Diana Candra Dewi, M.Si
NIP. 19770720 200312 2 001

(..................................)
2. Ketua Penguji : Anton Prasetyo, M.Si
NIP. 19770925 200604 1 003

(..................................)
3. Sekr. Penguji : Akyunul Jannah, M.P
NIP. 19750410 200501 2 009

(..................................)
4. Anggota Penguji : Dr. Ahmad Barizi, MA
NIP. 19731212 199803 1 001

(.................................)
Mengetahui dan Mengesahkan
Ketua Jurusan Kimia
fakultas Sains Dan Teknologi
Universitas Islam Negeri (UIN) Malang


Diana Candra Dewi, M.Si
NIP. 19770720 200312 2 001
5



SURAT PERNYATAAN
ORISINALITAS PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : NAILY ROCHMAWATIN
NIM : 05530010
Fakultas / Jurusan : Sains dan Teknologi / Kimia
Judul penelitian : Pengaruh Konsentrasi Enzim Dan Lama Sakarifikasi Pada
Hidrolisis Enzimatis Terhadap Produksi Sirup Glukosa
Dari
Pati Ubi Kayu (Manihot Esculenta)

Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa hasil penelitian saya ini tidak
terdapat unsur-unsur penjiplakan karya penelitian atau karya ilmiyah yang pernah
dilakukan atau dibuat oleh orang lain, kecuali yang secara dikutip dalam naskah ini dan
disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.
Apabila ternyata hasil penelitian ini terbukti terdapat unsur-unsur penjiplakan,
maka saya bersedia untukmempertanggungjawabkan, serta diproses sesuai peraturan yang
berlaku.


Malang, 3 Agustus 2010
Yang membuat pernyataan



Naily rochmawatin
NIM. 05530010




6





PERSEMBAHAN











Aku dedikasikan skripsi ini kepada Ibu, Ayah
dan Kakakku sekaligus mentorku









7



MOTTO

!! %! ` `-.` .9!, =.9 | < _ .9
Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.
(QS. Al-Baqarah, 02:153)

Pekerjaan besar tidak dihasilkan dari kekuatan,
melainkan oleh ketekunan.
Samuel Johnson.







8



KATA PENGANTAR



Puji syukur Alhamdulillah ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat,
hidayah dan kemudahan yang selalu diberikan kepada hamba-Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Pengaruh Konsentrasi
Enzim Dan Lama Sakarifikasi Pada Hidrolisis Enzimatis Terhadap Produksi
Sirup Glukosa Dari Pati Ubi Kayu (Manihot Esculenta) sebagai salah satu
syarat untuk mencapai gelar Sarjana Sains.
Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak
yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, terutama
kepada:
1. Prof. Dr. H. Imam Suprayogo selaku Rektor UIN MMI Malang beserta
stafnya, terima kasih atas fasilitas yang diberikan selama kuliah di UIN MMI
Malang.
2. Prof. Drs. Sutiman Bambang Sumitro, SU., D.Sc selaku Dekan Fakultas Sains
dan Teknologi UIN MMI Malang.
3. Diana Candra Dewi, M.Si selaku Ketua Jurusan Kimia Fakultas Sains dan
Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang
serta Penguji Utama yang telah memberikan banyak saran yang membangun.
4. Akyunul Jannah, S.Si., M.P., selaku dosen pembimbing dan dosen wali yang
dengan sabar memberikan bimbingan dan dukungan selama penelitian dan
penulisan skripsi ini. Serta bapak A. Nasihudin, M.A selaku pembimbing
agama.
5. Tri Kustono Adi, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah banyak
memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi ini.
6. Anton Prasetyo, M.Si, selaku Penguji yang telah memberikan banyak saran.
9



7. Bapak dan Ibu Dosen jurusan Kimia Fakultas Sain Dan Teknologi Universitas
Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang yang telah memberikan
banyak ilmu pengetahuan pada penulis.
8. Bapak Mahfur, S.Si sebagai Manager R & D serta seluruh karyawan karyawati
di PT. Sorini Agro Asia Corporindo, Tbk. yang telah memberi kesempatan dan
bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.
9. Ibu, Ayah, kakak dan adikku yang telah memberi kasih sayang, motivasi serta
doa hingga sampai saat ini.
10. Unforgettable Friends : Zie, mbak Dian, Wury, Chalid, Shappy, Shimo, Okta,
Markotil dan semuanya yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu.
11. Saudara seperjuangan kimia 2005, 2006 dan 2004 atas motivasi, kerjasama
dan rasa setia kawannya. Semoga kita selalu tetap menjadi saudara selamanya.
12. Seluruh karyawan laboratorium kimia dan administrasi Jurusan Kimia UIN
Malang (mas Taufik, mas Aby, mbak Rika, mbak Nia dan mbak Ana).
13. Semua pihak yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak
langsung sehingga terselesaikan Skripsi ini.
Akhir kata dengan jujur penulis mengakui bahwa skripsi ini masih jauh
dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan demi lebih sempurnanya Tugas Akrir ini. Penulis berharap
semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis pada khususnya dan
pembaca pada umumnya dan semoga penulisan Tugas Akhir ini mendapatkan
ridho dari Allah SWT. Amin.


Malang, Agustus 2010


Penulis


10



DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PERSETUJUAN
HALAMAN PENGESAHAN
HALAMAN PERSEMBAHAN
HALAMN MOTTO
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI iii
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN viii

BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 5
1.3 Tujuan Penelitian 5
1.4 Batasan Masalah 6
1.5 Manfaat Penelitian 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA 7
2.1 Tumbuhan dalam Prespektif Islam 7
2.2 Ubi Kayu (Manihot Esculenta) dalam Prespektif Islam dan sains 8
2.2.1 Taksonomi dan Morfologi 11
2.2.2 Komposisi Ubi kayu (Manihot Esculenta) 12
2.3 Pati 13
2.3.1 Struktur Kimia Pati 14
2.3.1.1 Amilosa 16
2.3.1.2 Amilopektin 18
2.3.2 Cara Pengolahan Pati 18
2.4 Enzim 19
2.4.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi aktifitas Enzim 23
11



2.4.2 -amylase (Liquozyme Supra) 27
2.4.3 Debranching Enzyme (OPTIMAX 7525 HP) 28
2.4.3.1 Glukoamilase 30
2.4.3.2 Pullulanase 31
2.5 Hidrolisis pati secara enzimatis 31
2.5.1 Likuifikasi 33
2.5.2 Sakarifikasi 34
2.6 Sirup Glukosa 36
2.6.1 Penentuan Dextrose Equivalent (DE) 37
2.6.2 Penentuan Kadar Dextrose Metode High Performance Liquid
Chromatographic (HPLC) 39
BAB III METODE PENELITIAN 42
3.1 Waktu dan Tempat 42
3.2 Bahan dan Alat 42
3.2.1 Bahan 42
3.2.2 Alat 42
3.3 Rancangan Percobaan 43
3.4 Tahapan-Tahapan Penelitian 44
3.5 Pelaksanaan Penelitian 45
3.5.1 Hidrolisis Pati Ubi kayu (Manihot Esculenta) 45
3.5.1.1 Likuifikasi dengan Menggunakan -amilase (Liquozyme Supra) 45
3.5.1.2 Sakarifikasi 46
3.5.1.2.1 Penentuan waktu optimum sakarafikasi pada konsentrasi
0,2 L/t DS Optimax 7525 HP 46
3.5.1.2.2 Penentuan waktu optimum sakarafikasi pada konsentrasi
0,3 L/t DS Optimax 7525 HP 47
3.5.1.2.3 Penentuan waktu optimum sakarafikasi pada konsentrasi
0,4 L/t DS Optimax 7525 HP 47
3.5.1.2.4 Penentuan waktu optimum sakarafikasi pada konsentrasi
0,5 L/t DS Optimax 7525 HP 48
3.5.1.2.5 Penentuan waktu optimum sakarafikasi pada konsentrasi
12



0,6 L/t DS Optimax 7525 HP 49
3.5.2 Uji Hasil Hidrolisis Pati Ubi Kayu (Glukosa) 49
3.5.2.1 Penentuan Dextrose Equivalent (DE) 49
3.5.2.1.1 Penyiapan Larutan Sampel 49
3.5.2.1.2 Pembuatan Larutan Fehling Standar 50
3.5.2.1.3 Standarisasi larutan fehling 50
3.5.2.1.4 Penentuan Gula Reduksi Larutan Sampel 51
3.5.2.2 Penentuan kadar glukosa dengan Metode High Performance
Liquid Chromatographic (HPLC) 52
3.5.2.2.1 Preparasi Sirup glukosa 52
3.5.2.2.2 Preparasi Instrumen HPLC 52
3.5.2.2.3 Pengukuran Standar Glukosa dengan HPLC 52
3.5.2.2.4 Penentuan Konsentrasi (%) Sirup Glukosa dengan HPLC 53
3.6 Analisa data 54
3.6.1 Analisis Data Dextrose Equivalent DE 54
3.6.2 Analisis Data HPLC 54
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 55
4.1. Hidrolisis Enzimatis Pati Ubi Kayu (Manihot Esculenta) .55
4.1.1 Likuifikasi .55
4.1.2 Sakarifikasi ...61
4.2 Penentuan Dextrose Equivalent (DE) Sirup Glukosa dengan Metode
Eynon Lane ..67
4.3 Pengaruh Konsentrasi Enzim Optimax 4060 VHP dan Lama
Sakarifikasi pada Tahapan Sakarifikasi Terhadap Sirup Glukosa
Hasil Hidrolisis Enzimatis......70
4.4 Penentuan Komponen Glukosa dengan HPLC .77
BAB V PENUTUP ...81
5.1 Kesimpulan ..81
5.2 Saran.....81
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................83
LAMPIRAN 88
13



DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Komposisi Ubi Kayu (Manihot Esculenta) (per 100 gram
bahan) 13
Tabel 2.2. Karakteristik Amilosa dan Amilopektin 16
Tabel 2.3 Syarat Mutu Sirup Glukosa 37
Tabel 4.1 Data pengamatan hidrolisis awal (Likuifikasi) ..............................59
Tabel 4.2 Pengamatan Sakarifikasi dengan Optimax 4060 VHP ..................66
Tabel 4.3 Nilai rata-rata kadar dextrose equivalen (DE) ...............................70






















14



DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 ubi kayu (Manihot esculenta) 12
Gambar 2.2 Bentuk granula pati kayu (pati tapioka) 14
Gambar 2.3 Struktur amilosa pati 16
Gambar 2.4 Model simpel struktur amilosa pati 17
Gambar 2.5 Struktur Amilopektin pati 18
Gambar 2.6 Mekanisme interaksi enzim dengan substrat 20
Gambar 2.7 Energi aktifasi dari suatu reaksi enzim 21
Gambar 2.8 Mekanisme amylase dan debranching enzim 35
Gambar 2.9 struktur glukosa ..37
Gambar 4.1 Kerja enzim alfa amylase memutus ikatan glikosidik -1,4 ..... 60
Gambar 4.2. Ikatan komplek amilosa pada pati dengan larutan iodine .61
Gambar 4.3 mekanisme kerja enzim glukoamilase dan pullulanase memutu
ikatan glikosidik -1,46 .64
Gambar 4.5 Rata-rata kadar dextrose equivalent (DE) pada sirup glukosa....71
Gambar 4.6 Reaksi kondensasi glukosa mejadi maltose dan isomaltose ..76
Gambar 4.7 Kromatogram sirup glukosa hasil hidrolisis terbaik ..................78













15



DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skema Kerja
Lampiran 2. Pembuatan Reagen
Lampiran 3. Pembuatan Konsentrasi Enzim
Lampiran 4. Nilai mL titrasi penentuan Dextrose Equivalent (DE)
Lampiran 5. Nilai Berat Jenis (SG) Sirup Glukosa
Lampiran 6. Nilai mL titrasi, factor Fehling, Densitas (SG) dan %DS
(Dry substance)
Lampiran 7. Perhitungan Nilai Kadar Dextrose equivalent (DE)
Lampiran 8. Nilai Kadar Dextrose equivalent (DE)
Lampiran 9. Analisa kadar dextrose equivalent untuk menentukan perlakuan
yang berpengaruh untuk analisa HPLC
Lampiran 10. Hasil Analisis Ragam (Two Way Anova) pengaruh konsentrasi
enzim dan lama sakarifikasi terhadap kadar Dextrose equivalent
(DE)
Lampiran 11.Penentuan Kadar DE Dengan Metode HPLC
Lampiran 12.Dokumentasi
Lampiran 13.Tabel Eynon-Lane
Lampiran 14.Tabel Korelasi B
o
, Specific Gravity (SG), Strach dry
Substance (DS) %, Starch DS kg/m
3
, water kg/kg Starch
DS.










ABSTRAK

Naily.R, 2010, Pengaruh Konsentrasi Enzim Dan Lama Sakarifikasi Pada
Hidrolisis Enzimatis Terhadap Produksi Sirup Glukosa Dari Pati Ubi
Kayu (Manihot Esculenta) Pembimbing : Akyunul Jannah dan A. Barizi

Kata Kunci: Ubi kayu, Konsentrasi Enzim, lama sakarifikasi, Sirup glukosa

Telah dilakukan penelitian tentang pengaruh konsentrasi enzim dan lama
sakarifikasi hidrolisis ubi kayu yang dapat digunakan untuk memproduksi sirup
glukosa sebagai pemanis alami alternatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh konsentrasi enzim Optimax 4060 VHP dan lama sakarifikasi yang terbaik
dalam pembuatan sirup glukosa dari pati ubi kayu secara hidrolisis enzimatis.
Penentuan pengaruh konsentrasi enzim dan lama sakarifikasi terhadap kadar
sirup glukosa dilakukan dengan menentukan kadar dextrose equivalent (DE),
penentuan kadar dextrose equivalent ditentukan dengan metode Eynon-lane dan
dilakukan validitas kandungan yang ada dalam sirup glukosa hasil hidrolisis dengan
menggunakan instrument High Performance Liquid Chromatographic (HPLC).
Variasi konsentrasi enzim yang digunakan adalah 0.2 L/t DS; 0.3 L/t DS; 0.4 L/t DS;
0.5 L/t DS dan 0.6 L/t DS, masing-masing dihidrolisis dengan lama waktu
sakarifikasi 24 jam; 36 jam; 48 jam; 60 jam dan 72 jam.
Terhadap hasil hidrolisis berupa sirup glukosa ditentukan kadar dextrose
equivalenny (DE) sehingga dapat diketahui pengaruh konsentrasi enzim OPTIMAX
4060 VHP dan lama sakarifikasi terhadap kadar dextrose equivalent (DE)
menggunakan analisis varian two way anova. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat pengaruh konsentrasi enzim dan lama sakarifikasi terhadap kadar dextrose
equivalent (DE) dalam sirup glukosa. Konsentrasi enzim dan lama sakarifikasi yang
berpengaruh dengan nilai DE optimum adalah pada konsentrasi enzim Optimax 4060
VHP 0,3 L/t DS dengan lama sakarifikasi 72 jam dengan nilai DE sebesar 95,72% .
Pada hasil analisa High Performance Liquid Chromatographic (HPLC) menunjukkan
bahwa komponen yang terdapat pada sirup glukosa adalah glukosa dengan kadar
glukosa sebesar 40,69 % yang nilainya lebih besar dibandingkan dengan % glukosa
dengan menggunakan metode Lane Eynon (37,33%).










ABSTRACT


Naily.R, 2010, The Effect of Enzyme Concentration And Saccharification Time
on The Production Hydrolysis of Glucose Syrup From Cassava Starch
(Manihot Esculenta) Supervisors: Akyunul Jannah and A. barizi

Keywords: Cassava, enzyme concentration, saccharification time, glucose syrup
A research on the effect of enzyme concentration and duration of hydrolysis
saccharification of cassava that can be used to produce glucose syrup as an alternative
natural sweetener has been done. This study aims to determine the effect of enzyme
concentration and the best duration of Optimax 4060 VHP saccharification of the best
in the manufacture of glucose syrup from cassava starch by enzymatic hydrolysis.
The determination of enzyme concentration and duration of effect on serum
glucose syrup saccharification was conducted by determining the levels of dextrose
equivalent (DE). The determination of dextrose equivalent is determined using the
Eynon-lane and verified by High Performance Liquid Chromatographic (HPLC).
Variation of enzyme concentration was varied as 0.2 L/t DS; 0.3 L/t DS; 0.4 L/t DS;
0.5 L/t DS and 0.6 L/t DS, each were hydrolyzed with 24-hour duration
saccharification; 36 hours; 48 hours, 60 hours and 72 hours. The observed data was
analysed using analysis of variance methods.
The result showed that there was significant effect of enzyme concentration
and saccharification time on the concentration of dextrose equivalent (DE) in glucose
syrup. The Optimum enzyme concentration and saccharification time were observed
as 0.3 L/t DS and 72 hours, respectively with DE value of 95.72%. The results of
High Performance Liquid Chromatographic (HPLC) showed that the components
contained in the glucose syrup is glucose with a glucose level of 40.69% greater than
the glucose level of 37.33% by using the method of Lane - Eynon.













16



BAB I
PENDAHULUAN

1.6 Latar Belakang
Sirup glukosa (Glucose syrup) adalah sejenis gula yang termasuk
golongan monosakarida dengan rumus molekul C
6
H
12
O
6
. Glukosa digunakan
sebagai bahan baku industri makanan dan industri farmasi. Di antara kegunaannya
adalah sebagai campuran industri makanan dan minuman, dengan berjalannya
waktu perkembangan industri makanan dan farmasi yang sekarang cenderung
semakin meningkat, menjadikan perusahaan dan pabrik-pabrik gula mempunyai
posisi strategis dalam transformasi ekonomi.
Keberadaan sirup glukosa yang semakin penting karena selain dapat
dikonsumsi langsung, sirup glukosa juga merupakan bahan baku bagi industri
makanan dan minuman, sampai pada tahun 2003 impor sirup glukosa mencapai
12.396 kg dan kebutuhan dalam negeri baru terpenuhi 60%, sehingga impor
menjadi pilihan. Untuk mengurangi impor sirup glukosa maka produksi sirup
glukosa dalam negeri perlu terus dipacu, di samping mencari alternatif bahan
pemanis lain sebagai substitusi gula. Pemanis alternatif yang sekarang sudah
digunakan antara lain adalah siklamat dan sakarin yang merupakan pemanis
sintetis, serta pemanis yang terbuat dari pati seperti sirup glukosa, fruktosa,
maltosa, manitol, sorbitol, dan xilitol. Industri banyak menggunakan sirup glukosa
antara lain adalah industri permen, minuman, biskuit dan es krim. Pada
pembuatan es krim, glukosa dapat meningkatkan kehalusan tekstur dan menekan
17



titik beku, sementara untuk kue dapat menjaga kue tetap segar dalam waktu lama
dan dapat mengurangi keretakan. Untuk permen sirup glukosa lebih disenangi
karena mencegah kerusakan mikrobiologis dan memperbaiki tekstur. Pada
perkembangannya produk glukosa, dihasilkan glukosa dalam bentuk tepung atau
yang disebut sebagai tepung gula. Produk ini berwarna putih, manis dan telah
dicoba di pabrik jeli dan dapat bersaing dengan produk dari korea. Sehingga
sampai saat ini banyak sekali berbagai upaya dilakukan untuk memproduksi sirup
glukosa dari berbagai jenis pati salah satunya dari pati singkong (Anonim,2006).
Pemanis dari bahan pati mempunyai rasa dan kemanisan hampir sama
dengan gula tebu (sukrosa). Pemanis tersebut dibuat dari bahan berpati seperti ubi
kayu, ubi jalar, sagu, dan pati jagung. Semua bahan tersebut melimpah di
Indonesia. Di antara pemanis dari pati tersebut, sirup glukosa dan sirup fruktosa
mempunyai prospek paling baik untuk mensubstitusi gula pasir (Anonim, 2006).
Allah Swt menciptakan alam dan isinya seperti hewan dan tumbuh-
tumbuhan mempunyai hikmah yang amat besar, semuanya tidak ada yang sia-sia
dalam ciptaan-Nya. Manusia diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk
mengambil manfaat dari hewan dan tumbuhan (Ahmad, 2006). Sebagaimana
firman Allah Swt dalam QS. Asy-Syuara: 7 yang berbunyi :

9 <| _{ /. !., ! . _ .

"Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya Kami
tumbuhkan di bumi itu berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik"(QS. asy-
Syuara:7).
18



Shihab (2002) memberikan tafsir bahwa Allah Swt menumbuhkan dari
bermacam-macam tumbuhan yang baik yaitu subur dan bermanfaat. Seperti
halnya dengan ubi kayu yang banyak mengandung karbohidrat sehingga dapat
dihidrolisis menjadi sirup glukosa yang bermanfaat untuk bahan pemanis.
Allah Swt juga berfirman dalam QS. An-Nahl: 11 yang berbunyi :

,` /39 , _9 .9 9 s{ 2 ,:9 | 9
)9 `6.

Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun,
korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang
memikirkan (QS. An-Nahl: 11).

Berdasarkan ayat di atas, tersirat makna bahwasannya di balik adanya
berbagai tanaman yang ada di bumi, terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah Swt
bagi kaum yang memikirkan. Sebagai contoh adalah tanaman ubi kayu yang
merupakan penghasil ubi yang dapat dimanfaatkan sebagai sirup glukosa melalui
proses hidrolisis.
Sirup glukosa dibuat melalui proses hidrolisis pati, dimana produksi sirup
glukosa secara hidrolisis enzimatis terjadi melalui dua tahapan, yang pertama
yaitu tahap likuifikasi dan tahap kedua adalah sakarifikasi. Likuifikasi merupakan
proses hidrolisis pati menjadi molekul-molekul yang lebih kecil dari oligosakarida
dengan menggunakan enzim -amilase sedangkan sakarifikasi merupakan proses
hidrolisis lanjut, dimana maltodekstrin sebagai hasil dari tahap likuifikasi
19



dihidrolisis lebih lanjut menjadi glukosa oleh enzim tunggal maupun enzim
campuran. Kedua tahapan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah
konsentrasi enzim dan lamanya proses tahapan.
Penelitian sirup glukosa yang ada saat ini, masih tahap sakarifikasi enzim
dengan menggunakan jenis enzim tunggal yaitu glukoamilase. Akan tetapi,
dengan menggunakan enzim campuran yaitu pullulanase dengan glukoamilase
atau yang disebut sebagai dextroxyme dapat menghasilkan sirup glukosa dengan
Dextrose Equivalent (DE) lebih besar dari 96, dengan tidak mengencerkan
subtrat secara berlebihan atau menggunakan glukoamilase terlalu banyak (W.Tri,
2006). Menurut hasil penelitian Slominska, dkk (2003), pembuatan glukosa
dengan menggunakan dua tahapan hidrolisis, yaitu tahapan likuifikasi
menggunakan Termamyl dan sakarifikasi menggunakan Dextrozyme yang
merupakan campuran pullulanase dan glukoamilase dapat meningkatkan kadar
glukosa dan nilai Dextrose Equivalent (DE) dibandingkan dengan penggunaan
Termamyl dan Dextrozyme secara bersamaan dalam satu tahapan serta dalam
waktu yang sama pada pati kentang, pati gandum dan pati jagung.
Penelitian pembuatan sirup glukosa dari berbagai bahan baku telah
banyak dilakukan diantaranya oleh Moruta (1998) dengan menggunakan pati
jagung serta Ayernor, dkk (2002) pada ubi kayu dengan menggunakan enzim
glukoamilase dengan variasi konsentrasi pada tahapan sakarifikasi. Sementara
Slominska, dkk (2003), melakukan penelitian sirup glukosa dengan menggunakan
lama waktu yang berbeda 24-72 jam pada tahapan sakarifikasi dan menggunakan
Dextrozyme yang merupakan perpaduan enzim glukoamilase dan pullulanase
20



pada pati jagung, kentang dan gandum. Perbedaan lama sakarifikasi tersebut
diduga menghasilkan jumlah dextrose (glukosa) yang berbeda.
Oleh karena itu, perlu dikaji pembuatan sirup glukosa pada tahap
sakarifikasi dari pati ubi kayu menggunakan enzim tipe lain seperti Optimax 4060
VHP serta interval waktu sakarifikasi yang berbeda untuk menghasilkan sirup
glukosa kadar glukosa dan nilai Dextrose Equivalent (DE) yang berbeda.

1.7 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dari penelitian
ini adalah:
a. Bagaimana pengaruh konsentrasi enzim sakarifikasi terhadap kadar sirup
glukosa yang dihasilkan?
b. Bagaimana pengaruh lama waktu sakarifikasi terhadap kadar sirup glukosa
yang dihasilkan?

1.8 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi enzim
Optimax 4060 VHP dan lama sakarifikasi yang terbaik dalam pembuatan sirup
glukosa dari pati ubi kayu secara hidrolisis enzimatis.




21



1.9 Batasan Masalah
Batasan masalah penelitian ini dibatasi pada :
a. Pati ubi kayu yang diproduksi oleh PT. Budi Acid jaya
b. Enzim yang digunakan dalam penelitian ini adalah pada likuifikasi enzim
Liquozyme Supra dan pada sakarifikasi enzim Optimax 4060 VHP
c. Kondisi yang diamati adalah konsentrasi optimum enzim Optimax 4060 VHP
dan waktu optimum sakarifikasi untuk memperoleh sirup glukosa terbaik.
d. Penentuan nilai Dextrose Equivalen (DE) hasil hidrolisis menggunakan
metode Eynon-Lane
e. Penentuan presentase glukosa hasil hidrolisis menggunakan metode High
Performance Liquid Chromatographic (HPLC)

1.10 Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
konsentrasi enzim Optimax 4060 VHP dan lama sakarifikasi yang terbaik dalam
pembuatan sirup glukosa dari pati ubi kayu serta memberikan alternatif
peningkatan nilai ekonomi dan pemanfaatan ubi kayu sebagai bahan baku
pembuatan sirup glukosa.





22



BAB II
KAJIAN PUSTAKA

4.1 Tumbuhan dalam Perspektif Islam
Allah menciptakan semua yang ada di dunia ini tidaklah sia-sia dari yang
kecil hingga yang besar. Makhluk hidup (hewan, tumbuhan dan lain-lain)
semuanya dapat dimanfaatkan oleh manusia jika manusia itu berfikir. Allah
menjaga semua yang telah Ia ciptakan agar tetap hidup. Allah membuktikannya
dengan diturunkan oleh-Nya hujan sebagai sumber kehidupan, dan agar manusia
dapat mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan kepadanya. Allah telah
menjelaskannya dalam surat Al-Anam (6) ayat 99:

%! !.9 ! !>>! , ,!, . `: !>>! .> _
!',> !,2. 9 !-=L % > ,!s .9 !9
!,.:` s ,:.` `L <| . | . - | 39 )9 ``

"Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu Kami
tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan maka Kami keluarkan
dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau. Kami keluarkan dari
tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang korma
mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami
keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa.
Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah dan (perhatikan pulalah)
kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda
(kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman" (QS.Al-Anaam(6): 99).


Menurut tafsir Al-Qurthubi (Al-Qurthubi, 2008) yang dimaksud dengan
tanaman yang menghijau adalah qumh, sult (nama jenis gandum), jagung, padi
23



dan biji-bijian lainnya. Dalam tafsir lain, yaitu tafsir Nurul Quran (Imani, 2005)
dijelaskan bahwa Allah telah menciptakan segala macam tanaman sebagai tanda-
tanda kekuasaan Allah dan sebagai bahan untuk berfikir agar tercipta
kemaslahatan umat. Penjelasan di atas didukung dengan firman Allah dalam surat
Asy-syuara ayat 7 yang berbunyi:

9 <| _{ /. !., ! . _ .
"Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya Kami
tumbuhkan di bumi itu berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik" (QS.Asy-
Syuara:7).


Berdasarkan uraian di atas manusia diharapkan tahu akan urusan
keduniaannya dan memanfaatkan semua fakta ilmiah mengenai fenomena-
fenomena di alam kehidupan sehingga menghasilkan banyak kebaikan,
menegakkan urusan agama, dan mewujudkan amanat kekhalifahan dimuka bumi
ini.

4.2 Ubi Kayu (Manihot Esculenta) dalam Perspektif Islam dan Sains
Ubi kayu atau ketela pohon atau cassava sudah lama dikenal dan ditanam
oleh penduduk dunia. Hasil penelusuran para pakar botani dan pertanian
menunjukkan bahwa tanaman ubi kayu berasal dari kawasan benua amerika
beriklim tropis. Nikolai Ivanovich Vavilov, seorang ahli botani Soviet,
memastikan sentrum (tempat asal) plasma nutfah tanaman ubi kayu adalah brasil
(Amerika selatan). Tanaman ubi kayu masuk masuk ke wilayah Indonesia kurang
lebih pada abad ke-18. Tepatnya pada tahun 1852, didatangkan plasma nutfah ubi
24



kayu dari Suriname untuk koleksikan di kebun Raya Bogor. Penyebaran ubi kayu
ke seluruh nusantara terjadi pada tahun 1914-1918. Waktu itu Indonesia
kekurangan pangan beras, sehingga sebagai alternatif pengganti makanan pokok
diperkenalkan ubi kayu. Ubi kayu di Indonesia dijadikan makanan pokok nomor
tiga setelah padi dan jagung, pada tahun 1968 Indonesia menjadi negara penghasil
ubi kayu nomor 5 di dunia (Rukmana,1997).
Ubi kayu merupakan tanaman pangan dan perdagangan. Sebagai tanaman
perdagangan, ubi kayu menghasilkan pati, gaplek, tepung ubi kayu, etanol, gula
cair, sorbitol dan monosodium glutamat. Ubi kayu dapat menghidupi berbagai
industri hulu dan hilir.
Menurut Rukmana (1997), potensi nilai ekonomi dan social ubi kayu
merupakan bahan pangan masa depan yang berdaya guna, bahan baku berbagai
industry dan pakan ternak. Saat ini ubi kayu sebagai komoditas argoindustri,
seperti industri fermentasi, produk tepung tapioka dan berbagai industri makanan
lainnya.
Ubi kayu dapat dimanfaatkan sebagai pemanis sirup glukosa melalui
proses hidrolisis. Pemanis sirup glukosa yang dihasilkan dapat digunakan sebagai
alternatif pengganti gula. Allah Swt telah menciptakan berbagai jenis tumbuhan
untuk manusia. Sebagaimana firman Allah Swt dalam Q.S Thaha: 53.

%! -> `39 _{ 7= 39 ! , !.9 ! !>>! ,
l> ,!, .:
Yang telah menjadikan bagimu bumi sebagai hamparan dan yang telah
menjadikan bagimu di bumi itu jalan-jalan, dan menurunkan dari langit air
25



hujan. Maka kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuh-
tumbuhan yang bermacam-macam. (Thaha : 53)

Menurut tafsir Al-Jalalain, Q.S Thaha: 53 ini mejelaskan tentang salah
satu kekuasaan Allah Swt, yang telah kuasa menciptakan apapun di dunia ini
termasuk tumbuh-tumbuhan yang bermacam-macam. Seperti ubi kayu yang
merupakan ciptaan Allah Swt dan mempunyai manfaat. Ubi kayu sangat
berpotensi untuk dijadikan bahan dasar pembuatan sirup glukosa.
Al-Quran banyak menyebutkan tentang tumbuh-tumbuhan untuk
dimanfaatkan oleh manusia. Sebagaimana Firman Allah dalam Q.S. Al-An'am
ayat 141:

%! !: > :- s :'- 9 _9 !=. `&#2
.9 !9 !,:.` s ,:.` =2 . | . . )>
!.> . | > .9
"Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak
berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya,
zaitun dan delima yang serupa dan tidak sama. Makanlah dari buahnya bila dia
berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya; dan janganlah kamu
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-
lebihan" (Q.S. Al-Anam:141).


Ada banyak ayat al-quran yang senada dengan ayat diatas seperti pad Q.S.
Luqman : 10 dan Q.S Ar Rad (13):4. Menurut Shihab (2002) dalam tafsir Al-
Mishbah, bahwa setiap macam tumbuhan diciptakan Allah untuk kemaslahatan
umat manusia, diantaranya sebagai salah satu sumber pangan bagi manusia dan
dapat dipetik hasilnya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ubi kayu tidak
26



disebutkan secara jelas dalam al-quran, namun ubi kayu termasuk salah satu
tumbuhan yang mempunyai manfaat. Ubi kayu dapat diubah menjadi sirup
glukosa yang berguna untuk alternatif pengganti pemanis gula.

4.2.1 Taksonomi dan Morfologi
Ubi kayu mempunyai banyak nama daerah, diantaranya adalah ketela
pohon, singkong, ubi jenderal, ubi inggris, telo puhung, kasape, bodin, telo jendral
(jawa), sampeu, huwi dangdeur, huwi jendral (sunda), kasbek (Ambon), dan ubi
perancis (padang) (Rukmana,1997).
Dalam sistematika tanaman, ubi kayu termasuk kelas Dicotyledoneae. Ubi
kayu masuk dalam famili Euphorbiaceae yang mempunyai 7.200 spesies,
beberapa diantaranya mempunyai nilai komersial, seperti karet (Hevea
brasiliensis), jarak (Ricinus comunis dan Jatropha curcas), umbi-umbian
(Manihot spp), dan tanaman hias (Euohorbia spp) (Prihandana, dkk, 2008). Dalam
sistematika (taksonomi) tumbuhan, kedudukan tanaman ubi kayu diklasifikasikan
sebagai berikut (Rukmana, 1997) :
Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Subdivisi : Angiospermae (berbiji tertutup)
Kelas : Dicotyledonae (biji berkeping dua)
Ordo : Euphorbiales
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Manihot
Spesies : Manihot esculenta Crantz sin. M. utilissima Pohl.

27








Gambar 2.1 ubi kayu (Manihot esculenta) (Rukmana, 1997).

Tanaman ubi kayu dapat beradaptasi luas di daerah beriklim panas (tropis).
Daerah penyebaran ubi kayu didunia berada pada kisaran 30
0
Lintang Utara (LU)
dan 30
0
Lintang Selatan (LS) di dataran rendah sampai dataran tinggi 2.500 meter
di atas permukaan laut diatas permukaan laut (dpl) yang bercurah hujan antara
500 mm-2.500 mm/tahun. Di Indonesia, tanaman ubi kayu tumbuh dan
berproduksi di dataran rendah sampai dataran tinggi, yakni antara 10 m-1.500 m.
Daerah yang paling ideal untuk mendapatkan produksi yang optimal adalah
daerah dataran rendah yang berketinggian antara 10 m- 700 m dpl. Makin tinggi
daerah penanaman dari permukaan laut, akan makin lambat pertumbuhan tanaman
ubi kayu sehingga umur panennya makin lama (panjang) (Rukmana,1997).

4.2.2 Komposisi Ubi kayu (Manihot Esculenta)
Tanaman ubi kayu merupakan tanaman penghasil karbohidrat. Menurut
penelitian De Vries et al., (1967) dalam Mahartantri (2005), ubi jalar mampu
menghasilkan 48x10
3
kalori per hektar per hari, sedangkan ubi kayu 35x10
3
kalori
per hektar per hari.
28



Selain sebagai sumber karbohidrat, ubi kayu juga mengandung vitamin
dan mineral seperti tercantum pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Komposisi Ubi Kayu (Manihot Esculenta) (per 100 gram bahan)
Komponen Jumlah
Kalori (kal)
Protein (g)
Lemak (g)
Karbohidrat (g)
Kalsium (mg)
Fosfor (mg)
Zat Besi (mg)
Vitamin A (SI)
Vitamin B1 (mg)
Vitamin C (mg)
Air (g)
Bagian yang dapat dimakan (%)
146,00
1,20
0,30
34,70
33,00
40,00
0,70
0
0,06
30,00
62,50
75,00
Sumber : Direktorat Gizi Depkes RI, 1981 dalam Rukmana, 1997


4.3 Pati
Pati merupakan homopolimer glukosa yang dihubungkan oleh ikatan
glikosidik. Pati dari sumber yang berbeda mempunyai karakteristik fisik dan
kimia yang berbeda yang akan menentukan kesesuaian penggunaannya bila diolah
menjadi produk (Chaplin, 2002).
Dalam bentuk aslinya pati merupakan butiran-butiran kecil yang sering
disebut granula. Granula pati bervariasi dalam bentuk dan ukuran, ada yang
berbentuk bulat, oval, atau bentuk yang tidak beraturan. Demikian juga
ukurannya, mulai kurang dari 1 ml sampai 150 ml tergantung sumber patinya
(Banks dan Greenwood, 1996 dalam Sulistyo, 2005 ). Sebaran dan ukuran granula
sangat menentukan karakteristik fisik pati serta aplikasinya dalam produk pangan

(Villamajor dan Jurkema, 1996). Granula pati dari pati ubi kayu (pati tapioka)
terlihat dalam gambar 2.2

Gambar 2.2 Bentuk granula
Pati merupakan cadangan makanan yang terdapat pada
umbi-umbian. Dalam bentuk aslinya, secara alami pati merupakan butiran kecil
yang sering disebut granula. Bentuk dan ukuran granula merupakan karakteristik
setiap jenis pati (Suprapti

4.3.1 Struktur Kimia Pati
Pati merupakan jenis
Pati tersususn dari 2 makromolekul polisakarida, yaitu amilosa dan amilopektin,
yang keduanya tersimpan dalam bentuk butiran yang disebut granula pati.
Amilosa tersususn dari molekul
yang membentuk struktur linier, sedangkan amilopektin disamping disusun oleh
struktur utama linier juga memiliki struktur bercabang
percabangannya diikat dengan ikatan
struktur molekul yang lebih besar dibandingkan amilosa dan umumnya

(Villamajor dan Jurkema, 1996). Granula pati dari pati ubi kayu (pati tapioka)
terlihat dalam gambar 2.2

Gambar 2.2 Bentuk granula pati kayu (pati tapioka) (Thomas, 1999).

Pati merupakan cadangan makanan yang terdapat pada biji-bijian atau
umbian. Dalam bentuk aslinya, secara alami pati merupakan butiran kecil
yang sering disebut granula. Bentuk dan ukuran granula merupakan karakteristik
setiap jenis pati (Suprapti, 2003).
Kimia Pati
Pati merupakan jenis karbohidrat yang terutama dihasilkan oleh tanaman.
Pati tersususn dari 2 makromolekul polisakarida, yaitu amilosa dan amilopektin,
yang keduanya tersimpan dalam bentuk butiran yang disebut granula pati.
Amilosa tersususn dari molekul-molekul glukosa yang terikat glikosidik
ntuk struktur linier, sedangkan amilopektin disamping disusun oleh
struktur utama linier juga memiliki struktur bercabang-cabang, dimana titik
percabangannya diikat dengan ikatan gliikosidik -1,6. Amilopektin memili
struktur molekul yang lebih besar dibandingkan amilosa dan umumnya
29
(Villamajor dan Jurkema, 1996). Granula pati dari pati ubi kayu (pati tapioka)
pati kayu (pati tapioka) (Thomas, 1999).
bijian atau
umbian. Dalam bentuk aslinya, secara alami pati merupakan butiran kecil
yang sering disebut granula. Bentuk dan ukuran granula merupakan karakteristik
karbohidrat yang terutama dihasilkan oleh tanaman.
Pati tersususn dari 2 makromolekul polisakarida, yaitu amilosa dan amilopektin,
yang keduanya tersimpan dalam bentuk butiran yang disebut granula pati.
erikat glikosidik -1,4
ntuk struktur linier, sedangkan amilopektin disamping disusun oleh
cabang, dimana titik-titik
1,6. Amilopektin memiliki
struktur molekul yang lebih besar dibandingkan amilosa dan umumnya
30



kandungannya di dalam granula pati lebih banyak dibandingkan amilosa,
kandungan amilosa dan amilopektin dan struktur granula pati berbeda-beda pada
berbagai jenis sumber pati menyebabkan perbedaan sifat fungsional pati seperti
kemampuan membentuk gel dan kekentalannya (Whistler et al, 1984).
Amilopektin dan amilosa dapat dipisahkan dengan cara melarutkannya
kedalam air panas dibawah suhu gelatinisasi pati. Fraksi terlarut air panas adalah
amilosa dan fraksi yang tidak terlarut adalah amilopektin (Muchtadi dkk.,1988
dalam Mahartantri, 2005). Rasio antara amilosa dan amilopektin berbeda antar
pati, tetapi untuk pati yang normal terdiri dari 25% amilosa dan 75% amilopektin
(Elliasson and Gudmudsson, 1996 dalam Suprapti, 2003).
Kandungan amilosa dan amilopektin pada setiap pati berbeda tergantung
dari sumber pati tersebut diperoleh (Poedjiadi, 1994). Pada ubi jalar terdapat
amilosa sebanyak 20% dan amilopektin 80%, sedangkan pada ubi kayu terdapat
amilosa sebanyak 17% dan amilopektin 83% (Makfoeld, 2001 dalam purba,
2008). Semakin banyak kandungan amilopektin maka pati tersebut akan mudah
larut dalam air (Bailey, 1986). Dengan demikian akan mudah untuk memutus
polisakarida tersebut menjadi glukosa.
Perbandingan antara amilosa dan amilopektin akan berpengaruh terhadap
sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati (Jane dan Chen, 1992 dalam
Mahartantri, 2005). Kandungan pati dalam suatu bahan dipengaruhi oleh umur
tanaman dan proses pengolahannya (Antarlina dkk., 1995).


31



Tabel 2.2. Karakteristik Amilosa dan Amilopektin
Karakteristik Amilosa Amilopektin
Bentuk
Ikatan
Berat Molekul
Pelapisan
Formasi Gel

Warna dengan Iodin
Utamanya linier
-1,4 (beberapa -1,6)
Khususnya < 0,5 juta
Kuat
Kaku

Biru
Bercabang
-1,4 dan -1,6
50-500 juta
Lemah
Tidak membentuk gel
sampai lunak
Coklat kemera-merahan
Sumber : Thomas, 1999

4.3.1.1 Amilosa
Amilosa merupakan polimer linier yang hampir seluruhnya tersusun atas
ikatan -1,4 D-glukopiranosa seperti pada gambar 2.3 bukti terbaru ada beberapa
cabang pada polimer amilosa. Model struktur amilosa ditunjukan pada gambar 2.3
(Thomas, 1999).


Gambar 2.3 Struktur amilosa pati (Wage, 1995)

32




Gambar 2.4 Model simpel struktur amilosa pati (Thomas, 1999)

Amilosa yang tersusun atas unit glukosa dengan ikatan (1,4) glikosidik,
dimana ujung rantai yang satu bersifat pereduksi dan ujung yang lain bersifat non-
pereduksi. Berat molekul amilosa beragam tergantung pada sumber dan metode
ekstraksi yang digunakan. Secara umum amilosa yang diperoleh dari umbi-
umbian memiliki berat molekul yang lebih tinggi dibanding amilosa dari biji-
bijian. Kemampuan amilosa untuk berinteraksi dengan iodin dengan membentuk
kompleks berwarna biru merupakan cara untuk mendeteksi adanya pati (Benion,
1989). Menurut Wage (1995), struktur amilosa yang berbentuk spiral juga
bertindak sebagai basa mampu menarik elektron dalam suatu reaksi. bagian dalam
struktur yang spiral adalah suatu ukuran yang benar yang mempunyai polaritas
untuk menerima molekul iodin. saat iodin berada di dalam spiral, iodin
mengakibatkan pati berwarna kebiruan akibat kompleks, ini adalah basa starch-
iodide untuk menguji proses oksidasi. Jika material adalah suatu oxidizier,
sebagian dari iodin (I
-
) adalah oxidizied ke iodium ( I
2
), Yang membentuk
kompleks yang biru dengan amilosa.


33



4.3.1.2 Amilopektin
Amilopektin merupakan rantai cabang yang tersusun atas unit glukosa
dengan ikatan (1,4)-D dan (1,6)-D glukosa. Titik percabangan ini terdiri dari
beratus-ratus cabang dan berat molekul diperkirakan sekitar satu juta.
Amilopektin juga dapat membentuk kompleks dengan iodin, walaupun tidak
sereaktif amilosa (Benion, 1989).


Gambar 2.5 Struktur Amilopektin pati (Wage,1995)


4.3.2 Cara Pengolahan Pati
Proses pembuatan pati ubi kayu (tapioka) (antarlina dan utomo, 1996
dalam Mahartantri, 2005), yaitu:
a. Proses perlakuan pendahuluan yang meliputi pencucian serta
penggilingan.Tahap ini bertujuan untuk merusak sel sehingga granula pati
yang berada di dalamnya mudah keluar pada proses berikutnya.
34



b. Proses ekstrasi, penyaringan dan pengendapan.Ketiga perlakuan ini termasuk
dalam tahap permunian.Tahap ini bertujuan untuk mengeluarkan granula peti
dari sel dan memisahkan dari komponen-komponen lain yang tidak larut
dalam air.Pada tahap ini usahakan sesingkat mungkin untuk mengurangi
waktu kontak antara pati dan cairannya, dengan demikian dapat mengurangi
perubahan kimiawi yang nantinya dapat menurunkan kualitas pati.
c. Tahap penghilangan air dilakukan dengan cara pengeringan.Gumpalan pati
basah yang telah dikeringkan mula-mula dihancurkan,kemudian dikeringkan
dengan alat pengering. Pada cara tradisional tahap penghilangan air hasil
pengilingan dengan dengan pengeringan sinare matahari.
d. Tahap akhir meliputi pengeringan pati hasil penggilingan,pengayakan serta
pengemasan.

4.4 Enzim
Enzim adalah suatu protein yang bertindak sebagai katalisator reaksi
biologis atau lebih sering disebut sebagai biokatalisator (Muchtadi, 1989 dalam
Mahartantri, 2005). Menurut Winarno dan Fardianz, (1984), dengan adanya
katalisator enzim suatu reaksi dapat dipercepat kira-kira 10
12
sampai 10
20
kali jika
dibandingkan dengan reaksi tanpa katalisator. Sebagaian besar reaksi kimia dalam
sel-sel hidup akan terjadi dengan sangat lambat jika tidak katalis oleh enzim
(Martin et al., 1983).
Seperti halnya reaksi-reaksi katalis pada umumnya, maka sebelum terjadi
suatu hasil reaksi terlebih dahulu akan terbentuk suatu kompleks antara katalisator

dengan substrat, yaitu kompleks enzim
substrat ini terjadi karena enzim pada permukaannya mempunyai suatu bagian
yang reaktif sehingga dapat mengikat substrat. Setelah terbentuk kompleks enzim
substrat, maka ikatan-ikatan di dalam substrat cenderung untuk pecah menjadi
beberapa bentuk hasil reaksi dimana enzim dilepaskan kembali untuk selanjutnya
menangkap substrat yang baru
kerja enzim tersebut dapat dilihat pada gambar 2.6 (Winarno dan Fardianz, 1984)

Gambar 2.6 Mekanisme interaksi enzim dengan substrat (Belitz, 1984).

Menurut Winarno
dapat dituliskan sebagai berikut :
E + S
(enzim) (substrat)


dengan substrat, yaitu kompleks enzim-substrat. Pembentukan kompleks enzim
substrat ini terjadi karena enzim pada permukaannya mempunyai suatu bagian
tif sehingga dapat mengikat substrat. Setelah terbentuk kompleks enzim
ikatan di dalam substrat cenderung untuk pecah menjadi
uk hasil reaksi dimana enzim dilepaskan kembali untuk selanjutnya
menangkap substrat yang baru dan mengulangi reaksi seperti semula. Mekanisme
kerja enzim tersebut dapat dilihat pada gambar 2.6 (Winarno dan Fardianz, 1984)

Gambar 2.6 Mekanisme interaksi enzim dengan substrat (Belitz, 1984).
Menurut Winarno dan Fardianz (1984), secara sederhana reaksi enzim
dapat dituliskan sebagai berikut :
+ S ES E + P....(2.1)
(substrat) (kompleks) (hasil)
35
substrat. Pembentukan kompleks enzim-
substrat ini terjadi karena enzim pada permukaannya mempunyai suatu bagian
tif sehingga dapat mengikat substrat. Setelah terbentuk kompleks enzim-
ikatan di dalam substrat cenderung untuk pecah menjadi
uk hasil reaksi dimana enzim dilepaskan kembali untuk selanjutnya
dan mengulangi reaksi seperti semula. Mekanisme
kerja enzim tersebut dapat dilihat pada gambar 2.6 (Winarno dan Fardianz, 1984).
Gambar 2.6 Mekanisme interaksi enzim dengan substrat (Belitz, 1984).
sederhana reaksi enzim
E + P....(2.1)
(hasil)
36



Energi yang harus diberikan terhadap bahan yang stabil untuk memulai suatu
reaksi disebut energi aktifasi (activation energy). Enzim dapat menaikkan
kecepatan reaksi dengan cara menurunkan energi aktifasi tersebut. Menurut teori,
sebelum molekul-molekul dapat bereaksi terlebih dahulu harus melalui suatu
konfigurasi aktif (activated state). Pada keadaan konfigurasi aktif ini molekul-
molekul mempunyai energi yang lebih besar daripada molekul-molekul pada
keadaan normal. Energi yang dibutuhkan untuk mencapai konfigurasi aktif inilah
yang disebut energi aktifasi.


Gambar 2.7 Energi aktifasi dari suatu reaksi enzim (Winarno, 1984).

Pada gambar 2.7 dapat digambarkan energi aktifasi dari suatu reaksi
enzim, dapat dilihat molekul pada keadaan normal (A), dan pada keadaan
konfigurasi aktif (B). Pada keadaan konfigurasi aktif tersebut akan terbentuk
kompleks enzim-substart (ES). Apabila konfigurasi aktif ini tercapai, ikatan-
ikatan di dalam substrat cenderung untuk pecah menjadi beberapa bentuk hasil
37



reaksi (C). Energi aktifasi yang dibutuhkan oleh enzim bermacam-macam
tergantung dari macam enzimnya.
Enzim pada umumnya bekerja mempercepat reaksi dengan cara
menurunkan energi aktivasi suatu reaksi, yaitu jumlah energi (kalori) yang
dibutuhkan oleh satu mol senyawa pada suhu tertentu menuju keadaan aktifnya
(Styer, 1984 dalam Mahartantri, 2005). Enzim dikatakan mempunyai sifat sangat
khas karena hanya bekerja pada substrat tertentu dan bentuk reaksi tertentu
(Girindra, 1986 dalam mahartantri, 2005). Menurut teori, suatu reaksi yang diberi
katalis enzim adalah bolak-balik (reversible), ini berarti bahwa reaksi dalam
keadaan seimbang. Di dalam suatu reaksi keseimbangan, apabila salah satu hasil
reaksinya yang berupa senyawa organik atau energi menjadi berkurang, maka arah
reaksi keseimbangan tersebut akan menuju ke hasil yang berkurang. Di dalam
prakteknya, reaksi-reaksi enzim hanya berjalan satu arah (irreversible), karena di
dalam reaksi oksidasi-reduksi energi yang dibentuk pada permulaan reaksi sudah
cukup untuk menyelesaikan seluruh reaksi sehingga mencapai hasil akhir
(Winarno dan Fardianz, 1984)
Kelebihan enzim dibandingkan katalis biasa adalah (1) dapat
meningkatkan produk beribu kali lebih tinggi; (2) bekerja pada pH yang relative
netral dan suhu yang relatif rendah; dan (3) bersifat spesifik dan selektif terhadap
subtrat tertentu. Enzim telah banyak digunakan dalam bidang industri pangan,
farmasi dan industri kimia lainnya. Dalam bidang pangan misalnya amilase,
glukosa-isomerase, papain, dan bromelin, sedangkan dalam bidang kesehatan
38



contohnya amilase, lipase, dan protease. Enzim dapat diisolasi dari hewan,
tumbuhan dan mikroorganisme (Crueger et al, 1982 dalam Azmi, 2006)
Berdasarkan reaksi yang dikatalisisnya enzim diklasifikasikan menjadi
enam kelas utama yaitu oksidoreduktase, transferase, hidrolase, liase, isomerase
dan ligase (Montgomery et al., 1993).
Amilase merupakan kelompok enzim hidrolase yaitu enzim yang
mengkatalisis reaksi hidrolisis suatu substrat dengan bantuan molekul air
(Montgomery et al., 1993). Amilase merupakan enzim pendegradasi pati yang
dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan enzim. Pertama adalah -amilase
yang memecah ikatan dibagian dalam substrat sehingga disebut juga endoamilase
yang biasa digunakan dalam tahap likuifikasi untuk memproduksi larutan
dekstrin. Kedua, -amilase yang menghidrolisis unit paling ujung dari substrat dan
biasa digunakan untuk produksi high maltose syrup. Ketiga, glukoamilase yang
menghidrolis dekstrin lebih lanjut menjadi glukosa pada tahap sakarifikasi (Wong,
1995 dalam sulistyo 2006).

4.4.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Aktivitas Enzim
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim. Menurut
Rodwell (1988), faktor utama yang mempengaruhi aktivitas enzim adalah suhu,
pH, konsentrasi enzim, konsentrasi substrat, dan adanya aktivator dan inhibitor.
a. Pengaruh suhu
Enzim mempercepat terjadinya reaksi kimia pada suatu sel hidup. Dalam
batas-batas suhu tertentu, kecepatan reaksi yang dikatalisis enzim akan naik
39



bila suhunya naik. Reaksi yang paling cepat terjadi pada suhu optimum
(Rodwell,1988). Oleh karena itu, penentuan suhu optimum aktivitas enzim
sangat perlu karena apabila suhu terlalu rendah maka kestabilan enzim tinggi
tetapi aktivitasnya rendah, sedangkan pada suhu tinggi aktivitas enzim tinggi
tetapi kestabilannya rendah (muchtadi, 1992). Namun, kecepatannya akan
menurun drastis pada suhu yang lebih tinggi. Hilangnya aktivitas pada suhu
tinggi karena terjadinya perubahan konformasi panas (denaturasi) enzim.
Kebanyakan enzim tidak aktif pada suhu sekitar 55-60
o
C (Rabyt, 1987).
b. Pengaruh pH
Enzim pada umumnya bersifat amfolitik, yang berarti enzim mempunyai
konstanta disosiasi pada gugus asam maupun gugus basanya, terutama pada
gugus residu terminal karboksil dan gugus terminal aminonya, diperkirakan
perubahan kereaktifan enzim akibat perubahan PH lingkungan (Winarno,
1986). Menurut Tranggono dan Sutardi (1990), Enzim mempunyai aktivitas
maksimum pada kisaran pH yang disebut pH optimum. Suasana yang terlalu
asam atau alkali akan mengakibatkan denaturasi protein dan hilangnya secara
total aktivitas enzim. pH optimum untuk beberapa enzim pada umumnya
terletak diantara netral atau asam lemah yaitu 4,5-8. pH optimum sangat
penting untuk penentuan karakteristik enzim. Pada subtrat yang berbeda,
enzim memiliki pH optimum yang berbeda . Menurut Winarno (1986), enzim
yang sama seringkali mempunyai pH optimum yang berbeda, tergantung pada
asal enzim tersebut.

40



c. Pengaruh konsentrasi enzim
Kecepatan reaksi dalam reaksi enzimatis sebanding dengan konsentrasi
enzim (Martin, 1983). Semakin tinggi konsentrasi enzim maka kecepatan
reaksi akan semakin meningkat hingga pada batas konsentrasi tertentu dimana
hasil hidrolisis akan konstan dengan naiknya konsentrasi enzim yang
disebabkan penambahan enzim sudah tidak efektif lagi (Reed, 1963).
d. Pengaruh konsentrasi substrat
Kecepatan reaksi enzimatis pada umumnya tergantung pada konsentrasi
substrat. Kecepatan reaksi akan meningkat apabila konsentrasi substrat
meningkat. Peningkatan kecepatan reaksi ini akan semakin kecil hingga
tercapai suatu titik batas yang pada akhirnya penambahan konsentrasi subtrat
hanya akan sedikit meningkatkan kecepatan reaksi (Lehninger, 1997). Hal ini
disebabkan semua molekul enzim telah membentuk ikatan kompleks dengan
substrat yang selanjutnya dengan kenaikan konsentrasi substrat tidak
berpengaruh terhadap kecepatan reaksinya (Trenggono dan Sutardi, 1990).
e. Pengaruh aktivator dan inhibitor
Beberapa enzim memerlukan aktivator dalam reaksi katalisnya. Aktivator
adalah senyawa atau ion yang dapat meningkatkan kecepatan reaksi enzimatis.
Komponen kimia yang membentuk enzim disebut juga kofaktor. Kofaktor
tersebut dapat berupa ion-ion anorganik seperti Zn, Fe, Ca, Mn, Cu, atau Mg
atau dapat pula sebagai molekul organik kompleks yang disebut koenzim.
Pada umumnya ikatan antara senyawa organik sengan protein enzim itu lemah
dan apabila ikatannya kuat disebut gugus prostetis (Martoharsono, 1984).
41



Selain dipengaruhi oleh adanya adanya aktivator, aktivator enzim juga
dipengaruhi oleh adanya inhibitor. Inhibitor adalah senyawa atau ion yang
dapat menghambat aktivitas enzim (Lehninger, 1997).
Menurut Eskin et al (1971), sifat penghambatan pada enzim dibagi
menjadi tiga yaitu :
1) Penghambatan non-spesifik
Protein pada enzim rusak karena adanya denaturasi atau oleh aktivitas
hidrolitik. Denaturasi ini dapat disebabkan oleh kondisi asam atau alkali
yang tinggi dan dapat pula disebabkan karena timbulnya endapan oleh
asam trikloroasetat.
2) Penghambatan kompetitif
Penghambatan kompetitif terjadi ketika inhibitor terjadi ketika inhibitor
dan substrat bersaing memperebutkan sisi aktif enzim, yang disebabkan
karena adanya kemiripan struktur molekul antara enzim dan substrat.
3) Penghambatan non-kompetitif
Penghambatan yang terjadi karena inhibitor bergabung dengan enzim pada
sisi tertentu selain sisi aktif, dimana sisi ini penting bagi aktivitas enzim.
Sifat penghambatan ini dipengaruhi oleh konsentrasi inhibitor dan
penghambatan tidak dapat diatasi dengan adanya konsentrasi substrat yang
tinggi.



42



4.4.2 -amilase (Liquozyme Supra)
Liquozyme supra adalah suatu cairan dari -amilase yang sangat thermo-
stable (EC 3.2.1.1) yang digunakan untuk likuifikasi pati. -Amilase adalah enzim
yang diproduksi oleh Bacillus licheniformis. Liquozyme supra mempunyai
keuntungan unik untuk operasi pada pH rendah. Liquozyme supra adalah suatu
cairan berwarna coklat dengan suatu kepadatan sekitar 1.25 g/mL, liquozyme
supra umumnya memiliki penurunan aktivitas 90 KNU (T)/g dan 45 KNU(S)/g
(Novozyme, 2001).
Liquozyme supra mematuhi FAO/WHO IECEA dan direkomendasikan
oleh ECC. liquozyme supra telah dikembangkan untuk likuifikasi yang beroperasi
pada temperatur 105-110
o
C ( 221-230
o
F), liquozyme supra dapat beroperasi pada
pH 5.1-5.6 dan dengan waktu proses 60-180 menit. Aplikasi penggunaan yang
direkomendasikan adalah dengan dosis 0,25-0,65 kg per ton pati pada pH 5,3 pada
slury pati. Kondisi-Kondisi penyimpanan yang direkomendasikan adalah 0-2
o
C
(32-77
o
F) di tempat yang tidak rusak dan terlindungi dari matahari.
Bagaimanapun, enzim secara berangsur-angsur dapat hilang aktivitas dari waktu
ke waktu. Penyimpanan kondisi-kondisi kurang baik seperti temperatur lebih
tinggi akan mendorong kearah suatu kebutuhan dosis lebih tinggi (Novozyme,
2001).
Mekanisme kerja -amilase terjadi melalui dua tahap, yaitu tahap pertama
adalah degradasi amilosa menjadi maltosa dan maltotriosa yang terjadi secara
acak. Degradasi ini terjadi sangat cepat dan diikuti dengan menurunnya viskositas
dengan cepat pula. Tahap kedua terjadi pembentukan glukosa dan maltosa sebagai
43



hasil akhir, dan caranya tidak acak. Pada tahap ini pembentukan relatif sangat
lambat. Keduanya merupakan kerja enzim -amilase pada molekul amilosa saja.
Sedangkan pada amilopektin, kerja -amilase akan menghasilkan glukosa,
maltosa dan berbagai jenis -limit dekstrin, yaitu oligosakarida yang terdiri dari 4
atau lebih residu gula yang semuanya mengandung ikatan -(1,6) (Winarno,
1992).

4.4.3 Debranching Enzyme (OPTIMAX 4060 VHP)
Optimax 4060 VHP adalah enzim untuk produksi sirup glukosa tinggi dari
pati yang dilikuifikasi. Optimax 4060 VHP merupakan suatu campuran
glukoamilase pH rendah dan pullulanase panas stabil. Pullulanase, diproduksi dari
suatu Bacillus licheniformis, mengkatalisasi hidrolisis (1,6-alfa-D) ikatan
glukosida di dalam pati yang dilikuifikasi untuk menghasilkan oligosakarida
linier. Glukoamilase, diproduksi dari asperigillus niger, sebagai katalis hidrolisis
1,4--D dan 1,6--D ikatan glikosidik di dalam pati yang dilikuifikasi untuk
menghasilkan glukosa (Genencor,1999).
Optimax 4060 VHP enzim mematuhi FAO/WHO sekarang dan buku
pedoman kimia makanan merekomendasikan spesifikasi untuk food-grade enzim
dan adalah GRAS ( Generally Recognized in the United State). Karakteristik khas,
aktivitas Glukoamilase 275 GAU/g ( minimum), aktivitas pullulanase 88 ASPU/g
(minimum), pH 4,2 sampai 4,4 dan spesifik grafity 1,13 g/ml. Satu unit
glukoamilase ( GAU) adalah jumlah enzim yang akan membebaskan satu gram
gula reduksi, sebagai jumlah glukosa per jam, dari suatu larutan substrat pati yang
44



ditetapkan di bawah kondisi potensial, dinyatakan seperti glukosa per menit di
bawah kondisi-kondisi ASPU pengujian kadar logam. Optimax 4060 VHP produk
sangat bebas dari aktivitas transglucoside dan oleh karena itu menghasilkan
glukosa dari pati liquifikasi yang hampir kuantitatif (Genencor,1999).
Aplikasi Optimax 7252 HP enzim digunakan dalam sakarifikasi untuk
menghasilkan glukosa tinggi, waktu sakarifikasi lebih pendek, sakarifikasi padat
lebih besar, produk sisa sedikit dan proses fleksibel. Aktivitas glukoamilase yang
relatif dan kerja pullulanase pada pH 4.0 sampai 5.0 dan temperatur 60
o
C (140
o
F).
mempertemukan pH optimal 4.0 sampai 4.5 akan menghasilkan aktivitas
glukoamilase yang relatif dan pullulanase di dalam Optimax 4060 VHP enzim
sebagai fungsi temperatur mempertunjukkan suatu cakupan temperatur jumlah
maksimum 58 ke 65
o
C (137 ke 150
o
F) (Genencor,1999).
Suatu campuran glukoamilase dan pullulanase yang seimbang, dengan
dosis yang sama debranching enzyme dapat menghasilkan glukosa lebih tinggi
(0,3-0,6 DX) dibandingkan AMG ( glukoamilase) dan juga debranching enzyme
memerlukan waktu yang lebih pendek ( 10-15%) untuk menjangkau hasil glukosa
yang sama ketika menggunakan AMG (Kearsley, 1995).
Proses Pemurnian sakarifikasi pati disesuaikan dengan bahan baku
masing-masing dan yang mungkin berbeda dari asalnya. Pada sakarifikasi
dilakukan pada suhu 55-66
o
C, pH 4-4,5 untuk 24-72 jam. Langkah-Langkah yang
tambahan terdiri dari filtrasi atau centrifugasi, ion exhange, isomerisasi , dengan
penguapan dan karbon aktif untuk mendapatkan suatu produk stabil
(Kearsley,1995).
45



Kombinasi penggunaan pullunase dengan glukoamilase pada kondisi
optimal kedua enzim tersebut, dapat menghasilkan sirup glukosa dengan dekstros
equivalen (DE) lebih besar dari 96, tanpa perlu mengencerkan substrat secara
berlebihan atau menggunakan glukoamilase terlalu banyak ( Forgarty, 1983).

4.4.3.1 Glukoamilase
AMG adalah suatu glukoamilase (exo-amilase), yang menghidrolisis
ikatan -1,6 seperti halnya ikatan -1,4 dalam likuifikasi pada pati yang dicairkan
atau gelatin (amilosa dan amilopektin). Proses hidrolisis terdapat beberapa
tahapan. Produk yang dibentuk adalah glukosa dengan memisahkan atau
memecah substrat pati dari ujung non-pereduksi. Maltotriose dan khususnya
maltose adalah hasil hidrolisis pada tahapan yang lebih rendah dari sakarifikasi,
pada sakarifikasi ikatan -1,6 dipecah lebih pelan-pelan dibanding ikatan1,4.
Dengan cepat, suatu konversi pati menjadi dalam glukosa diperoleh. Karena itu
AMG dikenal sebagai saccarifying amilase. AMG tersedia dalam bentuk cairan
dengan suatu aktivitas yang distandarisasi 200, 300 atau 400 AGU g
-1
. Satu AGU
( Amyloglucoside Unit) adalah jumlah enzim yang menghidrolisis 1 mol maltose
setiap menit pada 25
o
C di bawah kondisi standard (Kearsley, 1995).
Menurut Tjokroadikoesoemo (1986) dalam Sulistyo (2006), beberapa
faktor yang mempengaruhi aktivitas dan stabilitas enzim glukoamilase adalah :
a. Nilai pH optimum untuk aktivitas enzim ini adalah 4,5.
b. Reaksi enzim ini semakin meningkat sehubungan dengan meningkatnya suhu
65
o
C, namun demikian kondisi optimum untuk enzim ini adalah 40-60
o
C.
46



c. Waktu reaksi yang diperlukan sekitar 48-96 jam.

4.4.3.2 Pullulanase
Suatu pullulanase menghidrolisis ikatan glikosidik 1,6 di dalam pati yang
sebagian terhidrolisis oleh -amilase, yang sedikitnya mempunyai dua unit
glukosa dalam rantai sisi. Satu PUN (Pullulanase Unit Novo) adalah sejumlah
enzim pullulan dalam hidrolisis yang mereduksi karbohidrat 1 mol glukosa
setiap menit, menggunakan substrat dengan konsentrasi 0,2% pullulan pada 40
o
C,
pH= 5,0 di bawah kondisi standard (Kearsley, 1995).
Pullulanase digunakan sebagai debranching enzymes dalam sakarifikasi
pati (Claire V, 2001). Menurut R . Renneberg, dkk (1985), enzim pullulanase
(E.C. 3.2.1.41) yang menghidrolisis ikatan-1,6-Glikosidik dalam Amilopektin
dalam pati.
Enzim Pullulanase (EC 3.2.1.41) secara komersial diproduksi oleh bakteri
pada umumnya digunakan dalam kombinasi dengan -amilase atau glukoamilase
untuk meningkatkan tingkat sakarifikasi produksi sirup glukosa (H. H. Hyun,
1984).

4.5 Hidrolisis Pati Secara Enzimatis
Hidrolisis adalah proses dekomposisi kimia dengan menggunakan air
untuk memisahkan ikatan kimia dari substansinya. Hidrolisis pati merupakan
proses pemecahan molekul amilum menjadi bagian-bagian penyusunnya yang
lebih sederhana seperti dekstrin, isomaltosa, maltosa dan glukosa (Rindit et al,
47


1998 dalam Purba, 2009). Proses hidrolisis pati menurut Kearsley, (1995) pada
dasarnya adalah pemutusan rantai polimer pati (C
6
H
10
O
5
)
n
menjadi unit-unit
dekstrosa (C
6
H
12
O
6
) dengan menggunakan air.
(C
6
H
10
O
5
)
n
+ n H
2
O n (C
6
H
12
O
6
)..(2.2)
Pemutusan rantai polimer pati dapat dilakukan dengan berbagai metode
misalnya secara enzimatis, asam ataupun kombinasi keduanya. Hidrolisis secara
enzimatis memiliki perbedaan mendasar dibandingkan hidrolisis secara asam
dalam hal spesifitas pemutusan rantai polimer pati. Hidrolisis secara kimiawi dan
fisik akan memutuskan rantai secara acak sedangkan hidrolisis enzimatis akan
memutuskan rantai polimer pati secara spesifik pada percabangan tertentu
(Norman, 1981).
Proses hidrolisis dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: Enzim, ukuran
partikel, temperatur, pH, waktu hidrolisis, perbandingan cairan terhadap bahan
baku (volume substrat), dan pengadukan (Purba, 2009).
Hidrolisis enzimatis memiliki beberapa keuntungan, yaitu lebih spesifik
prosesnya dan produk yang dihasilkan sesuai yang diinginkan. Kondisi prosesnya
dapat dikontrol, produk sampingnya lebih sedikit, tahap pemurnian
(menghilangkan abu) dan pembentukan warna dapat ditekan seminim mungkin
(Jariyah, 2002 dalam Sulistyo, 2006).
Menurut Palmer (1991), reaksi hidrolisis dengan menggunakan enzim
memiliki persamaan reaksi :

A X + H
2
O X OH + HA .(2.3)
48



Sedangkan hidrolisis secara asam lebih mudah dilaksanakan, lebih murah
biayanya namun memilki kekurangan dibandingkan hidrolisis enzimatis yaitu
timbulnya warna dan ras yang tidak diinginkan, sehingga dapat menurunkan mutu
produk (Chaplin dan Buckle, 1990).

4.5.1 Likuifikasi
Likuifikasi merupakan proses pencairan gel pati yang memiliki viskositas
tinggi ke viskositas yang lebih rendah dengan menghidrolisis pati menjadi
molekul-molekul yang lebih kecil dari oligosakarida atau dextrin dengan
menggunakan enzim -amilase. Dalam proses tersebut granula pati yang semula
tidak larut, dipanaskan sampai mengembang dan rusak, sehingga dapat tersebar
kedalam larutan dan proses tersebut dikatakan baik bila viskositas larutan yang
dihasilkan makin kecil (Misset, 2003). Menurut Alan dalam Schenck (1992),
likuifikasi pati terbaik digambarkan sebagai kombinasi dua proses :
a. Gelatinisasi (mencakup hidrasi) pada polimer pati, memastikan keadaan dapat
masuk ke serangan hidrolitis.
b. Dextrinisasi sampai batas tertentu untuk mencegah retrogradation pada proses
lebih lanjut.
Aktivitas enzim -amilase menentukan cepat lambatnya proses likuifikasi,
enzim -amilase aktif terhadap substrat yang berbentuk gel. Hal ini ditunjukkan
pada proses likuifikasi yang dilakukan tanpa gelatinisasi terlebih dahulu
memerlukan waktu beberapa jam, tetapi pada lukuifikasi yang dilakukan pada pati
49



digelatinisasi terlebih dahulu ternyata hanya memerlukan waktu beberapa menit
sesuai dengan konsentrasi enzim yang digunakan (Whitaker, 1996)
Biasanya dalam tahap likuifikasi pati, hidrolisis dilakukan sampai
mencapai Dextrose Equivalent (DE) 15-20% sampai larutan berwarna merah
kecoklatan bila direaksikan dengan iodin. Suhu lukuifikasi yang terlampau tinggi
akan merusak enzim, tetapi bila terlalu rendah akan mengakibatkan gelatinisasi
tidak sempurna (Muchtadi,dkk, 1992).
Beberapa faktor yang mempengaruhi proses likuifikasi yaitu konsentrasi
substrat, konsentasi enzim, pengaturan suhu, pengaturan pH, dan lama likuifikasi
(Jariyah, 2002, dalam Sulistyo, 2006).

4.5.2 Sakarifikasi
Sakarifikasi merupakan proses dimana dekstrin sebagai hasil dari tahap
likuifikasi dihidrolisis lebih lanjut menjadi glukosa oleh enzim tunggal maupun
enzim campuran. Jenis enzim tunggal yang banyak digunakan pada proses
sakarifikasi dalam industri sirup glukosa dan industri lainnya adalah
glukoamilase, sedangkan enzim campuran atau debraching enzyme adalah
Optimax 4060 VHP yang merupakan campuran antara enzim pullulanase dan
enzim glukoamilase (Tegge, 1984). Menurut Kearsley (1995), sakarifikasi
dilakukan pada temperatur 55-66
o
C, pH 4-4,5 untuk 24-72 jam kemudian untuk
pemurnian dilakukan langkah-langkah tambahan terdiri dari filtrasi atau
sentrifugasi, penukar ion, isomerisasi, perawatan dengan penguapan dan karbon
aktif untuk mendapatkan suatu produk yang stabil bila disimpan.
50



Maltodextrin ( DE 15-25) diproduksi dari peroses likuifikasi pati, berbagai
bahan pemanis dapat diproduksi pada saat sakarifikasi yang merupakan hidrolisis
lanjutan dengan menggunakan amyloglucosidase atau fungal -amilase, yang
mempunyai dextrose equivalent pada range 40-45 (maltose), 50-55 (high maltose)
dan 55-70 (sirup konversi tinggi) (Reichelt, 1983). Penerapan satu rangkaian
enzim mencakup -amilase, glukoamilase dan pullulanase sebagai debranching
enzyme, konversi sirup dapat memproduksi glukos mencapai 80% (Norman,
1982). Suatu glukosa tinggi ( 95-97%) mungkin diproduksi dari kebanyakan
bahan baku pati ( jagung, gandum, kentang, tepung ubi kayu, jewawut dan beras).
mekanisme amilase dan debranching enzim dapat ditunjukkan pada gambar 2.8


Gambar 2.8 Mekanisme amilase dan debranching enzyme (Kearsley, 1995).
51



4.6 Sirup Glukosa
Hidrolisis pati menjadi sirup glukosa dapat dilakukan dengan bantuan
asam atau enzim pada waktu, suhu dan pH tertentu. Hidrolisis secara asam telah
lama digunakan pada pembuatan sirup glukosa dan menghasilkan sirup glukosa
dengan DE 42 yang banyak digunakan pada industri permen. Hidrolisis secara
asam memilki kekurangan dibandingkan hidrolisis enzim yaitu timbulnya warna
dan rasa yang tidak diinginkan, sehingga dapat menurunkan mutu produk
(Chalpin dan Bucke, 1986). Pembuatan sirup glukosa secara enzimatis dapat
menghasilkan rendemen dan mutu sirup glukosa yang lebih tinggi dibandingkan
dengan cara hidrolisis asam (Tjokroadikoesoemo, 1986).
Tingkat mutu sirup glukosa yang dihasilkan ditentukan oleh tingkat
konversi pati menjadi komponen-komponen glukosa yang dikenal sebagai
Dextrose Equivalen (DE) (Mc Pherson and Secb, 1997).
Menurut de Man (1997), Sirup glukosa adalah larutan gula yang
dipekatkan yang diperoleh dari pati dan mempunyai Dextrose Equivalent (DE)
20 atau lebih. Jika DE-nya kurang dari 20, produknya disebut maltodextrin,
sedangkan dekstrosa monohidrat dan dekstrosa anhidrat adalah D-glukosa yang
dimurnikan dan dikristalkan yang diperoleh dari pati.


Gambar 2.9 Struktur Glukosa (dextrosa monohidrat)
52



Spesifikasi utama sirup glukosa diberikan oleh FAO/ WHO, yaitu
mempunyai kadar padatan kering minimal 70%, DE minimal 20 dan kandungan
sulfur dioksida minimal 40 g/kg. Syarat mutu sirup glukosa secara umum
disajikan pada tabel 2.3

Tabel 2.3 Syarat Mutu Sirup Glukosa
Komponen Kandungan
Kadar air
Kadar abu (kering)
Kadar gula reduksi D-Glukosa
Kadar pati
Logam Berat (PB,As, Zn)
Warna
Sulfur dioksida
Max. 20%
Max. 1%
Min. 30%
Tidak ada
Negaatif
Tidak berwarna sampai kekuningan
Untuk kembang gula mx. 400ppm,
yang lain mx.40 ppm
Sumber : Dhoni, 2002 dalam Mahartantri , 2005


4.6.1 Penentuan Dextrose Equivalent (DE)
Dextrose Equivalent (DE) merupakan parameter kemurnian sirup
glukosa atau maltosa yang didefinisikan sebagai persentase perbandingan antara
gula reduksi dengan bahan kering sirup glukosa/ maltosa. Bila nilai DE = 100%
maka dapat diartikan bahwa seluruh bahan kering pada sirup glukosa merupakan
gula pereduksi (Mc Pherson and Secb, 1997).
Pati yang sama sekali belum terhidrolisis memiliki DE 0. Biasanya, sirup
glukosa memiliki kisaran DE 18-73, tergantung pada konsentrasi enzim yang
digunakan, lamanya proses, dan yang lebih penting adalah permintaan konsumen
(Tjokroadikoesoemo, 1986).

Penentuan gula reduksi menurut metode Lane
untuk menentukan nilai DE. Dal
metode Lane-Eynon merupakan cara penentuan secara volumetris, dalam hal ini
10 ml atau 25 ml reagensia soxhlet direduksi (dititrasi) dengan menggunakan
larutan sampel. Jumlah gula reduksi dapat diketahui dari Tabel La
berdasarkan volume larutan contoh yang dibutuhkan untuk titrasi tersebut.
Metode Lane-Eynon digunakan untuk menentukan dekstrosa, maltosa dan
gula terkait yang terkandung dalam sirup glukosa dengan cara mereduksi tembaga
sulfat (Cu
2
SO
4
) dalam l
ion Cu
++
direduksi menjadi ion Cu
sebagai Cu
2
O (Poedjiadi, 1994).
pereaksi Fehling dengan karbohidrat
Penentuan Dextrose Equivalent
digunakan untuk menentukan besarnya DE pada sirup glukosa dengan persamaan
(Anonim, 1999):


250
sampel titer mL


enentuan gula reduksi menurut metode Lane-Eynon dapat digunakan
untuk menentukan nilai DE. Dalam AOAC (1990), penentuan gula reduksi
Eynon merupakan cara penentuan secara volumetris, dalam hal ini
10 ml atau 25 ml reagensia soxhlet direduksi (dititrasi) dengan menggunakan
larutan sampel. Jumlah gula reduksi dapat diketahui dari Tabel La
berdasarkan volume larutan contoh yang dibutuhkan untuk titrasi tersebut.
Eynon digunakan untuk menentukan dekstrosa, maltosa dan
gula terkait yang terkandung dalam sirup glukosa dengan cara mereduksi tembaga
) dalam larutan Fehling (Pancoast,1980). Dalam pereaksi fehling
direduksi menjadi ion Cu
+
yang dalam suasana basa akan diendapkan
O (Poedjiadi, 1994). Secara sederhana reaksi oksidasi
pereaksi Fehling dengan karbohidrat dapat dituliskan sebagai berikut :

Dextrose Equivalent (DE) dari hasil penentuan % gula reduksi
digunakan untuk menentukan besarnya DE pada sirup glukosa dengan persamaan
250mL x faktor tabel x 10
mL Berat sampel g % DS sampel

53
Eynon dapat digunakan
0), penentuan gula reduksi
Eynon merupakan cara penentuan secara volumetris, dalam hal ini
10 ml atau 25 ml reagensia soxhlet direduksi (dititrasi) dengan menggunakan
larutan sampel. Jumlah gula reduksi dapat diketahui dari Tabel Lane-Eynon
berdasarkan volume larutan contoh yang dibutuhkan untuk titrasi tersebut.
Eynon digunakan untuk menentukan dekstrosa, maltosa dan
gula terkait yang terkandung dalam sirup glukosa dengan cara mereduksi tembaga
Pancoast,1980). Dalam pereaksi fehling
yang dalam suasana basa akan diendapkan
oksidasi-reduksi

gula reduksi
digunakan untuk menentukan besarnya DE pada sirup glukosa dengan persamaan
2.5
54



4.6.2 Penentuan Kadar Dextrose Metode High Performance Liquid
Chromatographic (HPLC)

Menurut Adnan (1987) dalam Sudarmaji, dkk (1997), HPLC adalah salah
satu jenis kromatografi partisi cairan-cairan. Keuntungan pemakaian kromatografi
partisi, dibandingkan dengan kromatografi adsorbsi adalah karena daya ulangnya
yang lebih baik dan dari data kelarutannya, hasilnya sudah dapat diramalkan.
Koefisien distribusinya konstan dalam jangka konsentrasi yang agak luas,
sehingga dapat dihasilkan puncak yang simetris dan lebih tajam. Menurut
Hendayana (2006), kromatografi cairan kinerja tinggi mempunyai keuntungan
pada kemampuannya untuk menganalisis cuplikan yang tidak menguap dan labil
pada suhu tinggi.
Prinsip kerja HPLC adalah sebagai berikut: dengan bantuan pompa fasa
gerak cair dialirkan melalui kolom ke detektor. Cuplikan dimasukkan ke dalam
aliran fasa gerak dengan cara penyuntikan. Di dalam kolom terjadi pemisahan
komponen-komponen campuran. Karena perbedaan kekuatan interaksi antara
solut-solut terhadap fasa diam. Solut-solut yang kurang interaksinya dengan fasa
diam akan keluar dari kolom lebih dulu. Sebaliknya, solut-solut yang kuat
berinteraksi dengan fasa diam maka solut-solut tersebut akan keluar dari kolom
lebih lama. Setiap komponen campuran yang keluar kolom dideteksi oleh detektor
kemudian direkam dalam bentuk kromatogram. Kromatogram HPLC
menggambarkan jumlah peak dan luas peak, dimana jumlah peak menyatakan
jumlah komponen sedangkan luas peak menyatakan konsentrasi komponen dalam
campuran (Hendayana, 2006).
55



Dalam AOAC 1990, penentuan sirup glukosa jagung dengan
menggunakan instrument HPLC dengan menggunakan fasa gerak aquades yang
murni, menurut Warthesen (1984) dengan menggunakan sampel sirup glukosa
jagung dengan fasa gerak yang sama dengan menggunakan dua micro-guard
prekolom yang terdiri dari penukar kation dan penukar anion.
Proses partisi dari kromatografi, sangat peka terhadap perbedaan berat
molekul dan polaritas solut. Karena komponen-komponen karbohidrat
mempunyai berat molekul dan polaritas yang berbeda-beda, maka HPLC dapat
melakukan pemisahan terhadap komponen-komponen karbohidrat tersebut.
Pemisahan dimaksud, dilakukan di dalam kolom berdasarkan atas waktu retensi
relatif dari masing-masing komponen. Analisa dengan teknik HPLC ini sangat
kritis terhadap perubahan kondisi kerja, sehingga apabila akan melakukan analisa
sejumlah besar sampel dianjurkan untuk melakukan preparasi seluruh sampelnya,
pencucian dan stabilisasi kolom, dan baru dilakukan analisa secara sinambungan
seluruh sampelnya. Cara ini dapat lebih menjamin kondisi analisa yang relatif
konstan (Adnan dalam Sudarmaji, dkk ,1997).
Metode HPLC dapat digunakan untuk analisa kuantitatif dan sekaligus
kualitatif. Untuk analisa kualitatif dengan membandingkan kromatogram sampel
dengan kromatogram baku pembanding berdasarkan waktu retensinya. Sedangkan
untuk analisa kuatitatif dapat digunakan dengan persamaan (Masruri, 2009):
Cx = Ax / Ap X Cp ....(2.6)
Keterangan :
Cx = Konsentrasi sampel
56



Cp = Konsentrasi standar
Ax = Peak area sampel
Ap = Peak area standar




















57



BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Juli 2010, di
Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas
Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang dan Laboratorium instrument
Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) Pasuruan.

3.2 Bahan dan Alat
3.2.1 Bahan
Pati ubi kayu yang digunakan adalah pati ubi kayu yang diproduksi PT.
Sungai Budi, enzim Liquozyme Supra (EC 3.2.1.1) dan Optimax 4060 VHP, HCl
5%, NaOH 5%, reagen Iodine Test, dan aquades.
Bahan yang digunakan untuk mengetahui mutu glukosa adalah dextrose
anhidrat (p.a), CuSO
4
.5H
2
O, KNa tartrate.4H
2
O (garam Rochelle), NaOH, HCl, ,
aquades, kertas saring, aquabides dan indikator methylene blue.

3.2.2 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian pembuatan sirup glukosa kasar
adalah timbangan analitik, oven, desikator, waterbath, penangas api, autoclave,
beaker glass, gelas ukur, gelas arloji, spatula, termometer, stopwacth, botol
aquades, cawan petri, corong Buchner, botol tertutup, pikcometer, instrumen
58



HPLC, buret, erlenmeyer, pipet tetes, pipet ukur, stirer, batu didih, labu ukur, pH
meter dan penjepit.

3.3 Rancangan Percobaan
Rancangan penelitian ini adalah rancangan acak lengkap yang terdiri dari
2 faktor. Faktor I terdiri dari lima level dan faktor II terdiri dari lima level. Dari
dua faktor tersebut diperoleh dua puluh lima kombinasi satuan percobaan.
Faktor I : konsentrasi enzim Optimax 4060 VHP (C)
C1 : 0,2 L/t DS
C2 : 0,3 L/t DS
C2 : 0,4 L/t DS
C4 : 0,5 L/t DS
C3 : 0,6 L/t DS
Faktor II : lamanya sakarifikasi (T)
T1 : 24 jam
T2 : 32 jam
T3 : 48 jam
T4 : 60 jam
T5 : 72 jam




59




















Diagram 3.1. Diagram Proses pembuatan glukosa

3.4 Tahapan-Tahapan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Hidrolisis Pati Ubi kayu (Manihot Esculenta)
1) Likuifikasi dengan Menggunakan -amilase (Liquozyme Supra)
PATI UBI JALAR
LIKUIFIKASI
SAKARIFIKASI
Konsentrasi
0,2 L/t DS
(C1)

Konsentrasi
0,4 L/t DS
(C2)
Konsentrasi
0,6 L/t DS
(C3)
HPLC
analisa
DE
terbaik
Konsentrasi
0,3 L/t DS
(C1)

Konsentrasi
0,5 L/t DS
(C1)

T1 (24 jam)
T2 (36 jam)
T3 (48 jam)
T4 (60 jam)
T5 (72 jam)
T1 (24 jam)
T2 (36 jam)
T3 (48 jam)
T4 (60 jam)
T5 (72 jam)
T1 (24 jam)
T2 (36 jam)
T3 (48 jam)
T4 (60 jam)
T5 (72 jam)
T1 (24 jam)
T2 (36 jam)
T3 (48 jam)
T4 (60 jam)
T5 (72 jam)
T1 (24 jam)
T2 (36 jam)
T3 (48 jam)
T4 (60 jam)
T5 (72 jam)
60



2) Penentuan konsentrasi Optimum Enzim Optimax 4060 VHP dan Waktu
Optimum pada Tahap Sakarifikasi
b. Penentuan kadar glukosa dengan Metode High Performance Liquid
Chromatographic (HPLC)
c. Analisis data

3.5 Pelaksanaan Penelitian
3.5.1 Hidrolisis Pati Ubi kayu (Manihot Esculenta)
3.5.1.1 Likuifikasi dengan Menggunakan -amilase (Liquozyme Supra)
Ditimbang pati sebanyak 1636 gram dilarutkan ke dalam gelas ukur 5000
mL dengan menggunakan aquades sampai 4000 mL dengan melakukan
pengadukan agar pati larut ke dalam aquades sehingga didapatkan suspensi pati.
kemudian dilakukan pengaturan pH suspensi pati, jika belum mencapai pH 5,3-6
maka ditambahkan larutan HCL 5% atau NaOH 5%, kemudian ditambahkan
Liquozyme Supra konsentrasi 2,4 L/t DS. Selanjutnya dipanaskan hingga
mencapai suhu 105
o
C dengan dilakukan pengadukan selama + 5 menit (Kearsley,
1995). Tahapan likuifikasi ini berakhir ditandai dengan dilakukan uji kualitas
dengan melakukan Iodine test untuk mengetahui masih ada tidaknya amilosa
dalam tahapan likuifikasi ini, yang ditandai apabila sedikit larutan ditetesi dengan
sedikit iodin larutan akan berwarna merah kecoklatan, kemudian dilakukan
inaktivasi enzim dengan ditambahkan HCL 5% hingga pH 3,5.



61



3.5.1.2 Sakarifikasi
Pada tahapan sakarifikasi ini, hasil dari tahapan likuifikasi berupa
maltodextrin dibagi menjadi lima bagian, masing-masing bagian akan digunakan
sebagai bahan sakarifikasi dengan konsentrasi enzim yang berbeda untuk
menentukan konsentrasi Optimax 4060 VHP dan waktu optimum pada tahap
sakarifikasi.

3.5.1.2.1 Penentuan Waktu Optimum Sakarafikasi Pada Konsentrasi 0,2 L/t
DS Optimax 4060 VHP
Maltodextrin hasil likuifikasi sebanyak 750 mL dalam beaker glass 1000
mL didinginkan sampai suhu kamar dengan dilakukan pengaturan pH, jika belum
mencapai pH 4,5 maka ditambahkan larutan HCl 5% atau NaOH 5%. Setelah itu,
maltodextrin yang sudah diatur pHnya ditambahkan Optimax 4060 VHP dengan
konsentrasi 0,2 L/t DS disertai dengan pengadukan. Setelah terbentuk suspensi
dari campuran maltodextrin dan Optimax 4060 VHP suspensi dibagi menjadi lima
bagian masing-masing 150 mL dimasukkan kedalam botol tertutup, kemudian
masing-masing suspensi pada botol tertutup diinkubasi dalam waterbath dengan
waktu yang berbeda-beda 24 jam, 36 jam, 48 jam, 60 jam dan 72 jam pada suhu
55-60
o
C dengan dilakukan pengontrolan pH pada kondisi 4,5 (Kearsley, 1995).
Kemudian dilakukan dilakukan inaktivasi kerja enzim dengan menambahkan HCl
5% hingga pH 3,5 dan disaringan untuk memperoleh sirup glukosa dengan
menggunakan corong Buchner.

62



3.5.1.2.2 Penentuan Waktu Optimum Sakarafikasi Pada Konsentrasi 0,3 L/t
DS Optimax 4060 VHP
Maltodextrin hasil likuifikasi sebanyak 750 mL dalam beaker glass 1000
mL didinginkan sampai suhu kamar dengan dilakukan pengaturan pH, jika belum
mencapai pH 4,5 maka ditambahkan larutan HCl 5% atau NaOH 5%. Setelah itu,
maltodextrin yang sudah diatur pHnya ditambahkan Optimax 4060 VHP dengan
konsentrasi 0,3 L/t DS disertai dengan pengadukan. Setelah terbentuk suspensi
dari campuran maltodextrin dan Optimax 4060 VHP suspensi dibagi menjadi lima
bagian masing-masing 150 mL dimasukkan kedalam botol tertutup, kemudian
masing-masing suspensi pada botol tertutup diinkubasi dalam waterbath dengan
waktu yang berbeda-beda 24 jam, 36 jam, 48 jam, 60 jam dan 72 jam pada suhu
55-60
o
C dengan dilakukan pengontrolan pH pada kondisi 4,5 (Kearsley, 1995).
Kemudian dilakukan dilakukan inaktivasi kerja enzim dengan menambahkan HCl
5% hingga pH 3,5 dan disaringan untuk memperoleh sirup glukosa dengan
menggunakan corong Buchner.

3.5.1.2.3 Penentuan Waktu Optimum Sakarafikasi Pada Konsentrasi 0,4 L/t
DS Optimax 4060 VHP
Maltodextrin hasil likuifikasi sebanyak 750 mL dalam beaker glass 1000
mL didinginkan sampai suhu kamar dengan dilakukan pengaturan pH, jika belum
mencapai pH 4,5 maka ditambahkan larutan HCl 5% atau NaOH 5%. Setelah itu,
maltodextrin yang sudah diatur pHnya ditambahkan Optimax 4060 VHP dengan
konsentrasi 0,4 L/t DS disertai dengan pengadukan. Setelah terbentuk suspensi
dari campuran maltodextrin dan Optimax 4060 VHP suspensi dibagi menjadi lima
63



bagian masing-masing 150 mL dimasukkan kedalam botol tertutup, kemudian
masing-masing suspensi pada botol tertutup diinkubasi dalam waterbath dengan
waktu yang berbeda-beda 24 jam, 36 jam, 48 jam, 60 jam dan 72 jam pada suhu
55-60
o
C dengan dilakukan pengontrolan pH pada kondisi 4,5 (Kearsley, 1995).
Kemudian dilakukan dilakukan inaktivasi kerja enzim dengan menambahkan HCl
5% hingga pH 3,5 dan disaringan untuk memperoleh sirup glukosa dengan
menggunakan corong Buchner.

3.5.1.2.4 Penentuan Waktu Optimum Sakarafikasi Pada Konsentrasi 0,5 L/t
DS Optimax 4060 VHP
Maltodextrin hasil likuifikasi sebanyak 750 mL dalam beaker glass 1000
mL didinginkan sampai suhu kamar dengan dilakukan pengaturan pH, jika belum
mencapai pH 4,5 maka ditambahkan larutan HCl 5% atau NaOH 5%. Setelah itu,
maltodextrin yang sudah diatur pHnya ditambahkan Optimax 4060 VHP dengan
konsentrasi 0,5 L/t DS disertai dengan pengadukan. Setelah terbentuk suspensi
dari campuran maltodextrin dan Optimax 4060 VHP suspensi dibagi menjadi lima
bagian masing-masing 150 mL dimasukkan kedalam botol tertutup, kemudian
masing-masing suspensi pada botol tertutup diinkubasi dalam waterbath dengan
waktu yang berbeda-beda 24 jam, 36 jam, 48 jam, 60 jam dan 72 jam pada suhu
55-60
o
C dengan dilakukan pengontrolan pH pada kondisi 4,5 (Kearsley, 1995).
Kemudian dilakukan dilakukan inaktivasi kerja enzim dengan menambahkan HCl
5% hingga pH 3,5 dan disaringan untuk memperoleh sirup glukosa dengan
menggunakan corong Buchner.
64



3.5.1.2.5 Penentuan Waktu Optimum Sakarafikasi Pada Konsentrasi 0,6 L/t
DS Optimax 4060 VHP
Maltodextrin hasil likuifikasi sebanyak 750 mL dalam beaker glass 1000
mL didinginkan sampai suhu kamar dengan dilakukan pengaturan pH, jika belum
mencapai pH 4,5 maka ditambahkan larutan HCl 5% atau NaOH 5%. Setelah itu,
maltodextrin yang sudah diatur pHnya ditambahkan Optimax 4060 VHP dengan
konsentrasi 0,6 L/t DS disertai dengan pengadukan. Setelah terbentuk suspensi
dari campuran maltodextrin dan Optimax 4060 VHP suspensi dibagi menjadi lima
bagian masing-masing 150 mL dimasukkan kedalam botol tertutup, kemudian
masing-masing suspensi pada botol tertutup diinkubasi dalam waterbath dengan
waktu yang berbeda-beda 24 jam, 36 jam, 48 jam, 60 jam dan 72 jam pada suhu
55-60
o
C dengan dilakukan pengontrolan pH pada kondisi 4,5 (Kearsley, 1995).
Kemudian dilakukan dilakukan inaktivasi kerja enzim dengan menambahkan HCl
5% hingga pH 3,5 dan disaringan untuk memperoleh sirup glukosa dengan
menggunakan corong Buchner.

3.5.2 Uji Hasil Hidrolisis Pati Ubi Kayu (Glukosa)
3.5.2.1 Penentuan Dextrose Equivalent (DE)
3.5.2.1.1 Penyiapan Larutan Sampel
Sampel gula hasil hidrolisis ditimbang sebanyak 1,5 g dipindahkan dalam
gelas beker 100 mL, kemudian dilarutkan dengan 50 mL aquades, setelah itu
dipindahkan secara akurat ke dalam labu ukur 250 mL dan ditambahkan aquades
sampai tanda batas selanjutnya dikocok agar menjadi homogen (Pancoast,1980).


65



3.5.2.1.3 Pembuatan Larutan Fehling Standar
Larutan Fehling standar dibuat dari pencampuran larutan Fehling A dan
larutan Fehling B. Larutan Fehling A dibuat dengan cara, padatan CuSO
4
.5H
2
O
ditimbang sebanyak 34,64 g kemudian dimasukkan kedalam gelas beker 250 mL
dan ditambahkan 100 mL aquades untuk melarutkan, setelah itu larutan
CuSO
4
.5H
2
O dipindahkan ke dalam labu takar 500 mL dan ditambahkan aquades
sampai tanda batas, selanjutnya larutan dikocok agar menjadi homogen.
Kemudian, larutan Fehling B dibuat dengan cara, padatan KNaC
4
H
4
O
6
.4H
2
O
ditimbang sebanyak 173 g dan 50 g NaOH kemudian dimasukkan kedalam gelas
beker 250 mL dan ditambahkan 100 mL aquades untuk melarutkan, setelah itu
campuran larutan KNaC
4
H
4
O
6
.4H
2
O dan NaOH dipindahkan ke dalam labu takar
500 mL dan ditambahkan aquades sampai tanda batas, selanjutnya larutan dikocok
agar menjadi homogen (Pancoast,1980).

3.5.2.1.4 Standarisasi Larutan Fehling
Tahapan pertama, dextrose anhidrat (p.a) sebanyak 10 g dikeringkan
dengan oven pada 70 C selama 4 jam, kemudian ditimbang 1,5 g dilarutkan
dengan aquades, diencerkan sampai 500 mL dalam labu ukur dan dikocok hingga
homogen digunakan sebagai larutan gula invert standar. Tahapan kedua, dipipet
10 mL campuran larutan Fehling standar yaitu 5 mL larutan Fehling A dan 5 mL
larutan Fehling B ke dalam Erlenmeyer 250 mL pada kondisi segar, serta
disiapkan larutan dextrose standar dalam buret 50 mL untuk titrasi. Tahapan
berikutnya, dimasukkan batu didih sebagai anti bumping ke dalam erlenmeyer dan
66



dititrasi dengan meneteskan 0,5 mL serta dipanaskan diatas stirer selama 2
menit, setelah itu untuk mengetahui titik akhir titrasi dimasukkan + 2 tetes
indikator methylene blue 1% dan dititrasi kembali dengan meneteskan sedikit
demi sedikit larutan gula invert standar, diatas stirer dengan dipanaskan hingga
warna biru menghilang dan menyudahi titrasi dalam waktu + 1 menit (Anonim,
1993).

3.5.2.1.5 Penentuan Gula Reduksi Larutan Sampel
Tahapan awal dipipet 10 mL campuran larutan Fehling standar yaitu 5 mL
larutan Fehling A dan 5 mL larutan Fehling B ke dalam Erlenmeyer 250 mL pada
kondisi segar, serta disiapkan larutan sampel (sirup glukosa) dalam buret 50 mL
untuk titrasi. Tahapan berikutnya, dimasukkan batu didih sebagai anti bumping ke
dalam erlenmeyer dan dititrasi dengan meneteskan 0,5 mL serta dipanaskan
diatas stirer selama 2 menit, setelah itu untuk mengetahui titik akhir titrasi
dimasukkan + 2 tetes indikator methylene blue 1% dan dititrasi kembali dengan
meneteskan sedikit demi sedikit larutan sampel (sirup glukosa), diatas stirer
dengan dipanaskan hingga warna biru menghilang dan menyudahi titrasi dalam
waktu + 1 menit (Pancoast,1980). Nilai DE dihitung dengan persamaan (Anonim,
1999):

250mL x faktor tabel x 10
sampel titer mL Berat sampel g % DS sampel
3.1



67



3.5.2.2 Penentuan kadar glukosa dengan Metode High Performance Liquid
Chromatographic (HPLC)
3.5.2.2.1 Preparasi sirup glukosa
Sebelum sampel glukosa dianalisa dengan instrument HPLC, sampel sirup
glukosa sebanyak 20 mL disentrifugasi selama 30 menit lalu disaring dengan
filter 0,45 m (Ratnayani, 2009). Setelah itu didapatkan sampel sirup glukosa
untuk analisa HPLC lebih lanjut.

3.5.2.2.2 Preparasi Instrumen HPLC
Instrument HPLC dikondisikan dengan memulai diinjekkan pelarut
aquabides sebanyak 20 mL pada 0,1 mL per menit dalam suhu operasi untuk
meningkatkan laju alir 0,6 mL per menit dan dimungkinkan untuk
menyeimbangkan selama 45 menit dengan perkiraan kondisi operasi instrument
sebagai berikut (Anonim, 2009):
Laju Alir : 0,6 mL / menit
Suhu Kolom : 85
o
C
Tekanan : 3,2 MPa

3.5.2.2.3 Pengukuran Standar Glukosa dengan HPLC
dalam pengukuran standar glukosa terlebih dahulu disiapkan larutan
standar dengan konsentrasi 0,5% (b/b). kemudian, diinjeksikan ke dalam injector
model UGK sebanyak 20 mL pada suatu by passed injection port yang
bertekanan, kemudian kran by pass dibuka, sehingga sampel glukosa standar
masuk ke dalam kolom yang bertekanan, dari alat HPLC yang menggunakan fasa
68



gerak aquabides dan detektor refraksi indeks, didapatkan kromatogram yang
menggambarkan waktu retensi masing-masing komponen dalam glukosa standar
yang nantinya digunakan sebagai kromatogram standar untuk analisa sampel sirup
glukosa (Adnan (1987) dalam Sudarmaji, dkk (1997)).

3.5.2.2.4 Penentuan Konsentrasi (%) Sirup Glukosa dengan HPLC
Sampel yang sudah dipreparasi, disaring lagi untuk kemudian diinjeksikan
ke dalam injector model UGK sebanyak 20 mL pada suatu by passed injection
port yang bertekanan, kemudian kran by pass dibuka, sehingga sampel masuk ke
dalam kolom yang bertekanan, dari alat HPLC yang menggunakan fasa gerak
aquabides dan detektor refraksi indeks, didapatkan kromatogram yang
menggambarkan waktu retensi masing-masing komponen dalam sampel diamati
pada printer untuk selanjutnya menafsirkan proporsi komponen yang terbanding
dalam sampel. Sampel sebelum diinjeksikan ke dalam kolom, terlebih dahulu
diinjeksikan larutan standar glukosa standar sebagai pembanding (Adnan (1987)
dalam Sudarmaji, dkk (1997)). Metode HPLC ini digunakan untuk analisa
kuantitatif dan sekaligus kualitatif. Untuk analisa kualitatif dengan
membandingkan kromatogram sampel dengan kromatogram baku pembanding
berdasarkan waktu retensinya. Sedangkan untuk analisa kuatitatif dapat digunakan
dengan persamaan (Masruri, 2009):
Cx = Ax / Ap X Cp ....(3.3)
Keterangan :
Cx = Konsentrasi sampel
69



Cp = Konsentrasi standar
Ax = Peak area sampel
Ap = Peak area standar

3.6 Analisa data
3.6.1 Analisis Data Dextrose Equivalent DE
Data yang diperoleh dari hasil analisa DE berupa berupa besarnya nilai DE
atau % DE. Data dianalisis ragam (Two Way ANOVA) untuk menguji adanya
pengaruh variasi konsentrasi enzim dengan lama sakarifikasi sebagai terhadap
nilai DE yang merupakan tolok ukur kemurnian sirup glukosa. Apabila terdapat
adanya pengaruh, maka dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT)
dengan tingkat signifikansi 5 % untuk mengetahui perlakuan yang berpengaruh
atau berbeda nyata di antara perlakuan yang lain.

3.6.2 Analisis Data HPLC
Data diperoleh dari hasil HPLC berupa komponen yang terdapat dalam
hasil penelitian dan % glukosa yang ada dalam hasil penelitian. Data tersebut
diidentifikasi dan digunakan sebagai pembanding nilai DE yang memuat
informasi dimana konsentrasi enzim dan lamanya sakarifikasi yang baik.





70



BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam penelitian ini telah dilakukan produksi sirup glukosa dari pati Ubi
Kayu (Manihot Esculenta) dan penentuan konsentrasi optimum enzim sakarifikasi
(OPTIMAX 4060 VHP) serta lama sakarifikasi terbaik dalam hidrolisis enzimatis.
Tahapan-tahapan dalam penelitian ini yaitu preparasi larutan pati 29,32%
(% berat kering), hidrolisis yang meliputi tahapan likuifikasi dan sakarifikasi,
penentuan nilai Dextrose Equivalent (DE) serta penentuan % komponen glukosa
pada hasil hidrolisis yang mempunyai DE terbaik. pada hidrolisis tahapan
sakarifikasi dilakukan variasi enzim OPTIMAX 4060 VHP (0,2; 0,3; 0,4; 0,5 dan
0,6 L/t DS).

8.1. Hidrolisis Enzimatis Pati Ubi Kayu (Manihot Esculenta)
4.1.1 Likuifikasi

Proses likuifikasi pati dilakukan dengan kombinasi dua proses, yaitu
gelatinisasi dan dextrinisasi sampai batas tertentu untuk mencegah retrogradation
pada proses lebih lanjut (Alan dalam Schenck, 1992), dengan diikuti
penambahkan enzim -amilase.
Dalam penelitian ini bahan yang digunakan dalam pembuatan sirup
glukosa ini adalah pati ubi kayu yang merupakan polisakarida. Pada ubi kayu
terdapat amilosa sebanyak 17% dan amilopektin 83% (Makfoeld, 2001 dalam
Purba, 2008). Semakin banyak kandungan amilopektin maka pati tersebut akan
mudah larut dalam air (Bailey, 1986). Dalam penelitian ini menggunakan pati ubi
71



kayu yang mempunyai spesifikasi serta kualitas yang dapat langsung digunakan
untuk bahan pembuatan maltodextrin dalam proses likuifikasi sebagai tahapan
awal menuju proses sakarifikasi.
Kadar amilosa dapat mempengaruhi kemudahan pati untuk dimasak yang
dapat dilihat dari suhu dan waktu gelatinisasinya (Munarso dan Jumali 1998
dalam Astuti, 2006). Semakin tinggi kandungan amilosa maka akan semakin lama
dan semakin tinggi suhu yang dibutuhkan agar pati dapat tergelatinisasi
sempurna. meskipun pati yang tergelatinisasi dengan sempurna, amilosanya lebih
peka terhadap serangan enzim daripada amilopektin, hal ini hanya berdampak
pada lama waktu sakarifikasi yang dibutuhkan untuk menghidrolisis pati secara
sempurna (Blitz dan Grosch 1999, Astuti 2006).
Kadar amilosa dalam pati juga berpengaruh terhadap sirup glukosa yang
dihasilkan, karena semakin besar amilosa dalam pati akan menyebabkan
persentase partikel pati yang tidak larut, dengan demikian tidak semua komponen
pati terhidrolisis dan terkonversi menjadi glukosa (dextrose) karena banyak
amilosa yang tidak dapat terhidrolisis.
Pada penelitian ini konsentrasi suspensi pati (sebagai susbtrat) yang
digunakan adalah 29,32% berat kering, tahapan pertama dengan cara pati ubi kayu
ditimbang pati sebanyak 1636 gram dilarutkan dengan aquades hingga volume
campuran aquades dan sampel hingga mencapai 4000 mL dengan melakukan
pengadukan agar pati larut ke dalam aquades sehingga membentuk suspensi pati.
Penentuan berat kering dilakuakan dengan menimbang suspensi pati yang sudah
homogen dengan menggunakan densitas, dari besarnya nilai densitas suspensi pati
72



dengan menggunakan table korelasi lampiran 14 ditentukan nilai berat kering (%
Dry Substance) suspensi pati. Pada penelitian besar densitas substansi pati adalah
1,128 gr/mL yang menunjukkan bahwa berat kering (%Dry substance) suspensi
pati sebesar 29,32%.
Pada tahapan hidrolisis ini diberikan katalis untuk mempercepat reaksi
hidrolisis dengan menambahkan enzim amilase Liquozyme Supra dengan
konsentrasi 2,4 L/t DS. Enzim amylse ini dalam proses hidrolisis awal (tahapan
liquifikasi) ini akan memecah polisakarida pati ubi kayu menjadi bentuk
maltodextrin. Menurut Winarno (1992), Mekanisme kerja -amilase adalah
degradasi amilosa menjadi maltosa dan maltotriosa yang terjadi secara, adapun
mekanisme reaksi kerja enzim -amilase adalah:

Pati ((C
6
H
10
O
5
)n)

dextrin + maltose + maltotriosa + glukosa .(4.1)



Untuk mempercepat aktivitas -amilase pada saat tahap likuifikasi
dilakukan pengaturan pH 5,3-6 pada suspensi pati, jika belum mencapai pH 5,3-6
maka ditambahkan larutan HCL 5% atau NaOH 5%, Pengaturan pH pada suspensi
pati bertujuan untuk meningkatkan aktivitas kerja -amilase agar reaksi enzimatis
berlangsung pada pH optimum sehingga aktivitas -amilase dapat bekerja secara
optimal pada pH -amilase. Sehingga saat proses pemanasan hingga mencapai
suhu 105
o
C dengan melakukan pengadukan selama + 5 menit akan didapatkan
hasil hidrolisis tahap awal (likuifikasi) berupa maltodextrin yang maksimal.


73



Table 4.1 Data pengamatan Hidrolisis awal (Likuifikasi) dengan enzim
No. Perlakuan Pengamatan
1
Preparasi
Pembuatan suspensi pati
(pada suhu ruang 25
o
C)
Suspensi pati mempunyai densitas
1,128 g/mL (%DS (Dry Substance)
= 29,32)
Suspensi pati keruh berwarna putih
Mempunyai pH 5,4

2
Likuifikasi
1. Pemanasan suhu
25
o
C 95
o
C
Terjadi proses gelatinisasi
Peningkatan viskositas suspensi
Warna suspensi dari keruh menjadi
menjernih
2. Pemanasan suhu
95
o
C 100
o
C
Terjadi dextrinisasi
Mulai menurunnya viskositas
Warna suspensi menjernih
3. Pemanasan suhu
100
o
C 105
o
C
Terjadi dextrinisasi
Viskositas menurun
Warna suspensi dari jernih putih
menjadi jernih kecoklat-coklatan
3
Akhir Likuifikasi
(iodine test)
Test iodine menyebabkan sebagian
suspensi timbul warna merah
kecoklatan (warna biru menghilang)
yang menandakan amilosa terurai
membentuk maltodextrin
Maltodextrin mempunyai densitas
1,151 (%DS = 33,76)


Hasil pengamatan menunjukkan, bahwa saat terjadi proses likuifikasi yang
awalnya suspensi pati yang berwarna putih keruh setelah dipanaskan secara
perlahan-lahan mulai menjernih dengan disertai kenaikan viskositas (kekentalan),
pada saat suhu mencapai 90
o
C hingga 95
o
C atau terjadi proses gelatinisasi,
kemudian pada suhu berkisar 100
o
C hingga 105
o
C terjadi penurunan.
Kenaikan viskositas ini disebabkan saat pati dipanaskan bersama air,
gugus hidroksil yang ada dalam molekul pati yang sangat besar mempunyai
kemampuan menyerap air yang sangat besar, yang awalnya sebelum terjadi
74



pemanasan air berada diluar granula dan bebas bergerak namun setelah terjadi
pemanasan kini sudah berada dalam pati sehingga terjadi pembembengkakan pada
grandula pati dan menimbulkan kenaikan viskositas. Penurunan viskositas terjadi
sebagai akibat saat terjadi pembengkakan granula pati enzim -amilase mulai
bekerja memutus ikatan glikosidik -1,4 sehingga sebagai akibat pemutusan
ikatan tersebut berakibat pada pecahnya granula yang membengkak dan
mengakibatkan terjadinya sinersis (peristiwa keluarnya cairan dari suatu gel dari
pati) yang menjadikan viskositas suspensi menurun, selain itu penurunan
viskositas juga disebabkan pH yang rendah dari suspensi pati, menurut Winarno
(1997) bila pH terlalu rendah terbentuknya gel akan melambat (terjadi kenaikan
viskositas) dan bila pemanasan diteruskan viskositas akan menurun kembali.
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Winarno (1997), bahwa bila
suspensi pati dalam air dipanaskan, beberapa perubahan selama terjadinya
gelatinisasi dapat diamati. Mula-mula suspensi pati yang keruh seperti susu tiba-
tiba mulai menjernih pada suhu tertentu. Terjadinya perubahan larutan pati
tersebut biasanya diikuti pembengkakan granula pati. Karena jumlah gugus
hidroksil dalam molekul pati sangat besar, maka kemampuan menyerap air sangat
besar. Pemanasan pati dengan air mengakibatkan putusnya ikatan hidrogen yang
terdapat pada rantai polimer pati sehingga berefek melemahnya ikatan rantai
polimer pati pada granula pati. Ketika ikatan polimer pada granula pati mulai
melemah, granula akan menyerap air dan terjadi pengembungan pada granula pati,
dan pada saat itulah enzim -amilase bekerja sebagai katalis untuk memutus
ikatan glikosidik -1,4 yang ada pada pati.

Menurut Estiasih
panas, molekul amilosa linier yang lebih kecil mulai larut dan lepas dari granula
yang mengembung. ketika panas dilanjutkan, amilosa dan amilopektin lainya
mulai lepas dari granula.
granula utuh yang menggembun
pelarutan polimer meningkat setelah granula mulai pecah dan integritas
strukturnya mengalami kerusakan
memutus ikatan pada polimer pati terutama pada amilosa terjadi penurunan
viskositas pasta. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan
kerja -amilase adalah
yang terjadi secara acak. Degradasi ini terjadi sangat cepat dan diikuti dengan
menurunnya viskositas dengan cepat pula.
-amilase mendegradasi amilosa dengan cara memecahkan ikatan glikosidik
1,4 :

Gambar 4.1 kerja enzim

Estiasih (2005), ketika granula pati dipanaskan dengan adanya
panas, molekul amilosa linier yang lebih kecil mulai larut dan lepas dari granula
ketika panas dilanjutkan, amilosa dan amilopektin lainya
s dari granula. Viskositas pasta tinggi terjadi ketika sebagian besar
granula utuh yang menggembung terbentuk. Jika pemanasan dilanju
pelarutan polimer meningkat setelah granula mulai pecah dan integritas
strukturnya mengalami kerusakan. Akibat adanya enzim -amilase bekerja untuk
memutus ikatan pada polimer pati terutama pada amilosa terjadi penurunan
viskositas pasta. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Winarno (1992)
amilase adalah mendegradasi amilosa menjadi maltosa dan maltotriosa
yang terjadi secara acak. Degradasi ini terjadi sangat cepat dan diikuti dengan
menurunnya viskositas dengan cepat pula. Berikut adalah mekanisme kerja enzim
mendegradasi amilosa dengan cara memecahkan ikatan glikosidik
Gambar 4.1 kerja enzim -amilase memutus ikatan glikosidik -
75
naskan dengan adanya
panas, molekul amilosa linier yang lebih kecil mulai larut dan lepas dari granula
ketika panas dilanjutkan, amilosa dan amilopektin lainya
tinggi terjadi ketika sebagian besar
pemanasan dilanjutkan,
pelarutan polimer meningkat setelah granula mulai pecah dan integritas
amilase bekerja untuk
memutus ikatan pada polimer pati terutama pada amilosa terjadi penurunan
1992), bahwa
an maltotriosa
yang terjadi secara acak. Degradasi ini terjadi sangat cepat dan diikuti dengan
Berikut adalah mekanisme kerja enzim
mendegradasi amilosa dengan cara memecahkan ikatan glikosidik -

-1,4
76



Pada tahapan likuifikasi ini berakhir ditandai dengan dilakukan uji kualitas
dengan melakukan Iodine test untuk mengetahui masih ada tidaknya amilosa
dalam tahapan likuifikasi ini, yang ditandai apabila sedikit larutan ditetesi dengan
sedikit iodin larutan akan timbul warna merah kecoklatan atau warna biru
kemerahan menghilang. Berikut adalah reaksi triiodin dengan amilosa:
KI (s) + H
2
O (aq) K
+
(aq) + I
-
(aq).... (4.2)
I
-
(aq) + I
2
(s) I
3
-
(aq) ................. (4.3)
I
3
-
(aq)+amilosa (aq) amilosa-triiodin(endapan merah kebiruan) .(4.4)
Kemudian dilakukan inaktivasi enzim dengan ditambahkan HCL 5%
hingga pH 3,5. Hal ini dimaksudkan untuk mematikan kerja enzim agar tidak
mempengaruhi maltodextrin dalam penyimpanan guna hidrolisis lebih lanjut.

4.1.2 Sakarifikasi
Pada tahapan hidrolisis lanjutan yaitu sakarifikasi, hasil dari tahapan
likuifikasi berupa maltodextrin dibagi menjadi lima bagian, yang masing-masing
bagian akan digunakan sebagai bahan sakarifikasi dengan diberikan konsentrasi
enzim yang berbeda untuk menentukan konsentrasi optimum Optimax 4060 VHP
dan waktu optimum pada tahap sakarifikasi. pada hidrolisis tahapan sakarifikasi
dilakukan variasi enzim Optimax 4060 VHP (0,2; 0,3; 0,4; 0,5 dan 0,6 L/t DS).
Dalam penelitian ini, maltodextrin sebagai hasil likuifikasi dikondisikan
dalam suhu ruang (25
o
C), %DS sebesar 32% dan pH 4,5. Pengkondisian
maltodextrin pada pH 4,5 ini bertujuan untuk mengkondisikan maltodextrin pada
pH optimum kerja enzim Optimax 4060 VHP sehingga dengan maltodextrin
77



berada pada kondisi pH optimum Optimax 4060 VHP akan mengakibatkan
aktivitas enzim Optimax 4060 VHP (gabungan glukoamilase dan pullulanase)
dapat bekerja secara optimal. Pengaturan pH maltodextrin dilakukan dengan cara
menambahkan larutan HCl 5% atau NaOH 5% hingga pH maltodextrin mencapai
pH 4,5. Pengkondisian substrat (maltodextrin) dengan %DS sebesar 32% pada
tahapan sakarifikasi ini bertujuan untuk mengkondisikan agar substrat dapat
dihidrolisis enzim Optimax 4060 VHP secara optimal, karena enzim Optimax
4060 VHP akan bekerja optimal pada kondisi substrat mempunyai %DS 32,
sehingga hidrolisis dapat berlangsung secara optimal dan dapat menghasilkan
glukosa optimal. Penentuan berat kering (%DS) ditentukan dengan nilai densitas
substrat yaitu dengan menimbang substrat dengan piknometer, dari besarnya nilai
densitas substrat dengan menggunakan table korelasi lampiran 14 ditentukan nilai
berat kering (% Dry Substance) substrat. Pada penelitian besar densitas substrat
(maltodextrin) adalah 1,145 gr/mL yang menunjukkan bahwa berat kering (%Dry
substance) suspensi pati sebesar 32,88%.
Maltodextrin sebanyak 3750 mL yang sudah dikondisikan pada %DS
optimum dan pH optimum enzim Optimax 4060 VHP dibagi menjadi 5 bagian, 5
bagian tersebut masing-masing 750 mL ditambahkan enzim sakarifikasi Optimax
4060 VHP dengan konsentrasi 0,2 L/t DS disertai dengan pengadukan pada
masing-masing bagian, hal yang sama dilakukan pada maltodextrin dengan
konsentrasi enzim Optimax 4060 VHP 0,3 L/t DS; 0,4 L/t DS; 0,5 L/t DS dan 0,6
L/t DS. Pemberian enzim sakarifikasi Optimax 4060 VHP yang merupakan
enzim gabungan dari enzim glukoamilase dan pulullanase akan bekerja sebagai
78



katalis dalam sakarifikasi untuk memutus ikatan glikosidik -1,6. Menurut
Kearsley (1995), enzim glukoamilase dan pulullanase akan memutus ikatan
glikosidik -1,6 , pada polimer amilopektin yang tidak mampu dilakukan enzim -
amilase pada tahapan likuifikasi. Secara ringkas hidrolisis pati lanjut (sakarifikasi)
menurut Tjokroadikoesoemo (1986) sebagai berikut:

Pati ((C
6
H
10
O
5
)n) glukosa + dextrin...... (4.5)

Dalam penelitian ini enzim glukoamilase mempunyai sifat yang sama
dengan enzim pulullanase yaitu bekerja spesifik untuk memutuskan ikatan
glikosidik -1,6. Oleh karena itu dengan menggunakan gabungan kedua enzim
glukoamilase dan pulullanase dalam Optimax 4060 VHP akan dihasilkan sirup
glukosa lebih maksimal selama proses hidrolisis. Berikut adalah mekanisme kerja
enzim glukoamilase dan pullulanase mendegradasi amilopektin dengan cara
memutus ikatan glikosidik -1,6 :

Gambar 4.3 mekanisme kerja enzim gluk
ikatan glikosidik


Dalam penelitian ini
maltodextrin dan enzim
beda tersebut akan dibagi menjadi 5 bagian
dimasukkan ke dalam
waktu yang berbeda-beda 24 jam,
55-60
o
C. perlakuan yang sama juga dilakuakan pada substrat sakarifik
konsentrasi enzim Optimax 4060 VHP 0,3 L/t DS; 0,4 L/t DS; 0,5 L/t DS dan 0,6
L/t DS.
Hasil pengamatan menunjukkan, bahwa waktu inkubasi
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap aktivitas enzim

mekanisme kerja enzim glukoamilase dan pullulanase memutus
glikosidik -1,6
Dalam penelitian ini, 750 mL substrat sakarifikasi berupa
enzim Optimax 4060 VHP dengan konsentrasi yang berbeda
beda tersebut akan dibagi menjadi 5 bagian lagi, masing-masing substrat
dalam botol tertutup dan diinkubasi dalam inkubator
beda 24 jam, 36 jam, 48 jam, 60 jam dan 72 jam pada suhu
perlakuan yang sama juga dilakuakan pada substrat sakarifik
konsentrasi enzim Optimax 4060 VHP 0,3 L/t DS; 0,4 L/t DS; 0,5 L/t DS dan 0,6
Hasil pengamatan menunjukkan, bahwa waktu inkubasi (lama sakarifikasi)
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap aktivitas enzim Optimax 4060
79

dan pullulanase memutus
campuran
dengan konsentrasi yang berbeda-
substrat 150 mL
inkubator dengan
dan 72 jam pada suhu
perlakuan yang sama juga dilakuakan pada substrat sakarifikasi dengan
konsentrasi enzim Optimax 4060 VHP 0,3 L/t DS; 0,4 L/t DS; 0,5 L/t DS dan 0,6
(lama sakarifikasi)
Optimax 4060
80



VHP, terbukti pada sirup glukosa yang dihasilkan terjadi kenaikan nilai DE, hal
ini sesuai dengan pernyataan Martin, et al., (1987), bahwa aktivitas enzim juga
dipengaruhi oleh waktu inkubasi. Waktu inkubasi (lama sakarifikasi) adalah
waktu yang diperlukan enzim Optimax 4060 VHP untuk berikatan dengan
substrat, makin lama sakarifikasi maka makin banyak enzim Optimax 4060 VHP
yang berikatan dengan substrat sehingga semakin banyak pula produk yang
terbentuk tetapi bila enzim Optimax 4060 VHP sudah jenuh dengan substrat maka
waktu inkubasi sudah tidak mempengaruhi lagi.
Pada tahapan sakarifikasi ini, selama proses inkubasi dilakukan
pengontrolan pH pada kondisi pH 4,5, hal ini bertujuan untuk meningkatkan
aktivitas enzim Optimax 4060 VHP selama proses inkubasi agar enzim Optimax
4060 VHP dapat bereaksi secara maksimal untuk memutus ikatan glikosidik -
1,6. Hal ini senada dengan pendapat Martin, et al., (1987), semua reaksi enzimatik
dipengaruhi oleh pH medium tempat reaksi terjadi, oleh karena itu pada setiap
percobaan menggunakan enzim diperlukan pengontrolan pH reaksi. Berikut
adalah data pengamatan selama proses sakarifikasi pada table 4.2.







81



Tabel 4.2 Data pengamatan Sakarifikasi dengan Optimax 4060 VHP
No. Perlakuan Pengamatan
1
Preparasi
Pengkondisisan
maltodextrin
(pada suhu ruang 25
o
C)
maltodextrin mempunyai densitas
1,145 g/mL (%DS (Dry Substance) =
32,88)
maltodextrin berwarna kecoklat-
coklatan
Mempunyai pH 4,3 (setelah diberi
HCl 5% dari pH 5,4)

2
Sakarifikasi
(proses di dalam inkubator)
Dengan lama waktu 24 jam,
36 jam, 48 jam, 60 jam dan
72 jam pada suhu 55-60
o
C
Dalam incubator terjadi pembentukan
2 pelapisan (lapisan atas jernih
kecoklatan, lapisan bawah keruh
terdapan endapan kecoklatan)
pH dalam kondisi pada range 4,0
4,3
3 Purifikasi
(penyaringan sirup glukosa
dengan kertas saring)
hasil penyarinyan:
1. filtrate: jernih kekuningan
2. terdapat gel kecoklatan

Berdasarkan data pengamatan pada tabel 4.2, selama proses sakarifikasi
berlangsung selama proses sakarifikasi terbentuk dua pelapisan pada sampel
dalam botol, pada lapisan pertama (bagian atas) bening berwana kecoklatan dan
pada lapisan kedua (bagian bawah) keruh kecoklatan. Oleh karena itu diperlukan
pengadukan selama proses sakarifikasi. Hal ini sinergis dengan pernyataan Purba
(2009), bahwa selama proses hidrolisis dipengaruhi oleh beberapa faktor salah
satu diantaranya adalah pengadukan. Endapan-endapan yang berwujud dari
keruhnya sebagian lapisan diduga merupakan sampel yang belum terhidrolisis dan
juga zat-zat mineral dan residu protein yang terdapat pada sampel.
Kemudian dilakukan inaktivasi kerja enzim Optimax 4060 VHP dengan
menambahkan HCl 5% hingga pH mencapai 3,5 , kemudian dilakukan purifikasi
dengan menyaring sirup glukosa hasil hidrolisis. Dalam pengamatan pada tabel
82



4.2 pada proses purifikasi yang dilakukan menghasilkan filtrat menjadi lebih
jernih berwarna kekuning-kuningan dan tidak ada pengotor, akibat sebagian
pengotor atau yang terlihat membuat keruh sirup glukosa sebelum disaring, residu
yang tersaring pada kertas saring berupa gel-gel yang berwarna kecoklatan, residu
ini merupakan zat-zat mineral dan residu protein sebagai pengotor dalam proses
hidrolisis.
Hasil penelitian menunjukkan sirup glukosa yang dihasilkan tertinggi nilai
kadar DE sebesar 95,93 % dan terendah sebesar 84,46%, dimana nilai dari kadar
DE merupakan tolok ukur dari besarnya kandungan glukosa yang ada dalam sirup
glukosa yang dihasilkan.

8.2. Penentuan Dextrose Equivalent (DE) Sirup Glukosa dengan Metode
Eynon Lane

DE menyatakan total kadar gula pereduksi yang dihitung sebagai dektrosa
(glukosa) berdasarkan basis bahan kering. Semakin tinggi DE larutan maka
semakin tinggi pula kadar glukosanya dan semakin rendah kadar dextrinnya.
Dalam penelitian ini, metode Lane-Eynon digunakan untuk menentukan
dekstrosa yang terkandung dalam sirup glukosa hasil hidrolisis dengan cara
mereduksi tembaga sulfat (Cu
2
SO
4
) dalam larutan Fehling. Dalam pereaksi
Fehling ion Cu
++
direduksi menjadi ion Cu
+
yang dalam suasana basa akan
diendapkan sebagai Cu
2
O (Poedjiadi, 1994). Secara sederhana reaksi oksidasi-
reduksi pereaksi Fehling dengan karbohidrat dapat dituliskan sebagai berikut:

Metode Eynon-
dengan pereaksi Fehling A dan Fehling B, dimana Fehling A adalah larutan yang
mengandung Cu
2
SO
4
, sedang
saitgnette (C
4
H
4
KNaO
6.
Penentuan nilai dextrose equivalent dalam sirup glukosa hasil hidrolisis
diawali dengan menentukan % berat kering (%
table korelasi (lampiran.13)
berat jenis atau densitas (SG) dari setiap sirup glukosa yang dihasilkan. Penentuan
SG dilakukan dengan cara menimbang sirup glukosa dengan menggunakan alat
piknometer.
Berikutnya dalam penelitian ini penentuan n
titrasi, persiapan titrasi dilakukan dengan mengisi buret 50 mL dengan sirup
glukosa hasil hidrolisis dan mengalirkan sirup glukosa (dengan cara titrasi) yang
ada dalam buret dengan metode titrasi, kedalam Erlenmeyer yang telah dii
larutan Fehling A dan Fehling B masing
segar, kondisi pencampuran larutan Fehling pada saat pemakaian dimaksudkan
agar dapat mempertahankan kemampuan larutan Fehling untuk bereaksi dengan
sirup glukosa. Tahapan berikutn
ke dalam erlenmeyer dan dititrasi dengan meneteskan 0,5 mL serta dipanaskan
diatas stirer selama 2 menit,

-Lane merupakan metode penentuan secara volumetric
dengan pereaksi Fehling A dan Fehling B, dimana Fehling A adalah larutan yang
, sedangkan Fehling B merupakan campuran garam
6.
4H
2
O) dan NaOH.
Penentuan nilai dextrose equivalent dalam sirup glukosa hasil hidrolisis
diawali dengan menentukan % berat kering (% Dry Substance) dengan bantuan
table korelasi (lampiran.13) menggunakan perbandingan dengan menentukan
berat jenis atau densitas (SG) dari setiap sirup glukosa yang dihasilkan. Penentuan
SG dilakukan dengan cara menimbang sirup glukosa dengan menggunakan alat
Berikutnya dalam penelitian ini penentuan nilai DE dengan melakukan
titrasi, persiapan titrasi dilakukan dengan mengisi buret 50 mL dengan sirup
glukosa hasil hidrolisis dan mengalirkan sirup glukosa (dengan cara titrasi) yang
ada dalam buret dengan metode titrasi, kedalam Erlenmeyer yang telah dii
ing A dan Fehling B masing-masing sebanyak 5 mL pada kondisi
kondisi pencampuran larutan Fehling pada saat pemakaian dimaksudkan
agar dapat mempertahankan kemampuan larutan Fehling untuk bereaksi dengan
Tahapan berikutnya, dimasukkan batu didih sebagai anti
ke dalam erlenmeyer dan dititrasi dengan meneteskan 0,5 mL serta dipanaskan
diatas stirer selama 2 menit, pemanasan ini bertujuan untuk mempercepat
83

Lane merupakan metode penentuan secara volumetric
dengan pereaksi Fehling A dan Fehling B, dimana Fehling A adalah larutan yang
kan Fehling B merupakan campuran garam
Penentuan nilai dextrose equivalent dalam sirup glukosa hasil hidrolisis
) dengan bantuan
menggunakan perbandingan dengan menentukan
berat jenis atau densitas (SG) dari setiap sirup glukosa yang dihasilkan. Penentuan
SG dilakukan dengan cara menimbang sirup glukosa dengan menggunakan alat
ilai DE dengan melakukan
titrasi, persiapan titrasi dilakukan dengan mengisi buret 50 mL dengan sirup
glukosa hasil hidrolisis dan mengalirkan sirup glukosa (dengan cara titrasi) yang
ada dalam buret dengan metode titrasi, kedalam Erlenmeyer yang telah diisi
pada kondisi
kondisi pencampuran larutan Fehling pada saat pemakaian dimaksudkan
agar dapat mempertahankan kemampuan larutan Fehling untuk bereaksi dengan
ya, dimasukkan batu didih sebagai anti bumping
ke dalam erlenmeyer dan dititrasi dengan meneteskan 0,5 mL serta dipanaskan
pemanasan ini bertujuan untuk mempercepat
84



terjadinya reaksi atau pemercepat reaksi pembentukan kupro oksida (Cu
2
O).
Setelah itu, untuk mengetahui titik akhir titrasi dimasukkan + 2 tetes indikator
methylene blue 1% dan dititrasi kembali dengan meneteskan sedikit demi sedikit
larutan sampel (sirup glukosa), diatas stirer dengan dipanaskan hingga warna biru
menghilang dan diakhiri titrasi dalam waktu + 1 menit . Gula reduksi dengan
larutan Fehling B akan membentuk enediol, yang kemudian enediol ini akan
bereaksi dengan ion kupri (Fehling A) akan membentuk ion kupro dan campuran
asam-asam. Selanjutnya ion kupro dalam suasana basa akan membentuk kupro
oksida yang dalam keadaan panas mendidih akan mengenndap menjadi endapan
kupro oksida (Cu
2
O).
Terbentuknya endapan berwarna merah yaitu kupro oksida (Cu
2
O) akibat
adanya reaksi reduksi oksidasi (redoks), gugus aldehid pada glukosa akan
mereduksi ion tembaga(II) menjadi tembaga(I) oksida. Karena larutan bersifat
basa, maka aldehid dengan sendirinya teroksidasi menjadi sebuah garam dari
asam karboksilat yang sesuai. Persamaan untuk reaksi-reaksi ini selalu
disederhanakan untuk menghindari keharusan menuliskan ion tartrat atau sitrat
pada kompleks tembaga dalam rumus struktur. Persamaan setengah-reaksi untuk
larutan Fehling dapat digambarkan sebagai berikut:
2Cu
2+
+ 2OH
-
+ 2e
-
Cu
2
O + H
2
O (4.8)
Menggabungkan persamaan di atas dengan persamaan setengah reaksi
untuk oksidasi aldehid pada kondisi asam yakni
RCHO + 2OH
-
RCOOH + H
2
O + 2e
-
..(4.9)
akan menghasilkan persamaan lengkap:
85



RCHO + 2Cu
2+
+ 4OH
-
RCOOH + Cu
2
O + 2H
2
O (4.10)
Berdasarkan terbentuknya reaksi oksidasi-reduksi dan terbentuknya
kompleks Tembaga-tartrat (terbentuknya endapan kupro oksida (Cu
2
O)) ini yang
digunakan untuk penentuan banyak sendikitnya dextrose (glukosa) yang
terkandung dalam sirup glukosa hasil hidrolisis.

8.3. Pengaruh Konsentrasi Enzim Optimax 4060 VHP dan Lama
Sakarifikasi pada Tahapan Sakarifikasi Terhadap Sirup Glukosa Hasil
Hidrolisis Enzimatis

Kadar DE dengan menggunakan dua kali pengulangan untuk tiap variasi
penambahan konsentrasi enzim. Data rata-rata hasil pengamatan dapat dilihat
pada table 4.2

Table 4.2 Nilai Rata-Rata Kadar (Dextrose Equivalent) DE
No.
Konsentrasi
Enzim Lama Kadar
DE (L/t DS) sakarifikasi
1 0,2 24 jam 85.04
2 36 jam 86.87
3 48 jam 91.04
4 60 jam 92.47
5 72 jam 92.67
6 0,3 24 jam 86.69
7 36 jam 87.58
8 48 jam 92.67
9 60 jam 95.61
10 72 jam 95.72
11 0,4 24 jam 87.94
12 36 jam 92.61
13 48 jam 94.43
14 60 jam 95.28
15 72 jam 95.50

86



No.
Konsentrasi
Enzim
(L/t DS)
Lama
sakarifikasi
Kadar
DE
16 0,2 24 jam 85.04
17 36 jam 91.44
18 48 jam 92.27
19 60 jam 95.28
20 72 jam 95.28
21 0,6 24 jam 91.56
22 36 jam 95.50
23 48 jam 93.20
24 60 jam 94.33
25 72 jam 94.11

Dari data rata-rata nilai kadar DE pada table 4.2 terlihat bahwa terjadi
kenaikan nilai kadar DE terhadap penambahan konsentrasi enzim dan
penambahan waktu sakarifikasi pada tahapan sakarifikasi. Hal ini juga
tergambarkan pada grafik bagan pada gambar 4.5

87





Gambar 4.5 Rata-rata kadar dextrose equivalent (DE) pada sirup glukosa

Berdasarkan gambar 4.5 di atas dapat diketahui bahwa rata-rata kadar DE
menunjukakan bahwa perlakuan konsentrasi enzim Optimax 4060 VHP pada
tahapan sakarifikasi dan lama sakarifikasi berpengaruh terhadap kadar DE sirup
glukosa yang dihasilkan. Perlakuan yang berpengaruh ini diperkuat dengan
analisis ragam (Two Way ANOVA) (lampiran10), yang menunjukkan adanya
pengaruh yang sangat nyata (p < 0.05) dari lamanya sakarifikasi. Hal ini diperjelas
dengan analisis BNT (lampiran 9) (p < 0.05) bahwa perlakuan yang berpengaruh
dengan adanya penambahan konsentrasi enzim dan lama sakarifikasi, yaitu
sampel I (konsentrasi enzim 0,3 dengan lama sakarifikasi 60 jam), dan J
(konsentrasi enzim 0,3 dengan lama sakarifikasi 72 jam).
70
72
74
76
78
80
82
84
86
88
90
92
94
96
24 Jam 36 Jam 48 Jam 60 Jam 72 Jam
%

D
e
x
t
r
o
s
e

e
q
u
i
v
a
l
e
n
t

(
D
E
)
Lama sakarifikasi
Konsentrasi
Enzim
0.2 L/t DS
0.3 L/t DS
0.4 L/t DS
0.5 L/t DS
0.6 L/t DS
88



Dalam penelitian ini, Kadar DE tertinggi diperoleh dari perlakuan
konsentrasi enzim 0.4 L/t DS dengan lama sakarifikasi 60 jam dan 0,6 L/t DS
dengan lama sakarifikasi 36 jam serta terrendah pada enzim 0.2 L/t DS dengan
lama sakarifikasi 24 jam. Adapun hubungan antara Kadar DE (%), konsentrasi
enzim (L/t DS) dan lama sakarifikasi (jam) dapat dilihat pada Gambar 4.5.
Dalam penelitian ini, terlihat pada gambar 4.5 terjadi peningkatan nilai DE
seiring dengan bertambahnya konsentrasi enzim Optimax 4060 VHP, hal ini
diduga karena substrat dari hasil likuifikasi yang harus dihidrolisis lebih lanjut
masih banyak. Pada substrat ini kaya akan ikatan glikosidik -1,6 sehingga untuk
memutus ikatan tersebut dibutuhkkan konsentrasi enzim yang besar untuk
menghasilkan dextrose (glukosa), De Man (1997) menambahkan bahwa ikatan -
1,6 dapat dihidrolisis oleh enzim glukoamilase dan pullulanase. Enzim Optimax
4060 VHP yang di dalamnya terdapat glukoamilase dan pullulanase sehingga
dapat digunakan untuk memutus ikatan glikosidik -1,6. Kebutuhan substrat akan
bertambahnya konsentrasi enzim Optimax 4060 VHP ini seiring berjalan dengan
kecepatan reaksi enzimatis yang terjadi untuk menghasilkan produk berupa
dextrose (glukosa).
Semakin bertambahnya konsentrasi enzim maka kecepatan reaksi semakin
bertambah, hal ini terjadi akibat semakin banyak kontak enzim Optimax 4060
VHP dan substrat maka semakin besar terbetuknya kompleks substrat enzim,
kontak ini terjadi pada sisi aktif enzim. Pada kondisi konsentrasi enzim Optimax
4060 VHP rendah maka kontak antara substrat dan enzim sedikit. Bila konsentrasi
enzim Optimax 4060 VHP diperbesar makan makin banyak substrat yang dapat
89



dengan enzim pada bagian aktifnya. Dengan demikian konsentrasi kompleks
enzim substrat semakin besar dan hal ini yang menyebabkan makin besarnya
kecepatan reaksi untuk membentuk produk berupa dextrose (glukosa).
Berdasarkan hasil pengamatan yang tergambarkan pada gambar 4.6,
bahwa terjadi penurunan nilai DE pada konsentrasi enzim Optimax 4060 VHP 0,6
L/t DS dari lama sakarifikasi 60 jam menuju 72 jam. Hal ini sebagai akibat
substrat sudah jenuh atau telah jenuh dengan enzim Optimax 4060 VHP, sehingga
dalam keadaan ini, bertambahnya konsentrasi enzim Optimax 4060 VHP tidak
menyebabkan bertambahnya konsentrasi kompleks enzim substrat, sehingga
jumlah hasil reaksi berupa dextrose (glukosa) pun tidak bertambah besar.
Penurunan kadar DE pada konsentrasi enzim yang tinggi, yang menghasilkan
kandungan dextrose (glukosa) yang besar, diduga sudah banyak substrat yang
dipecah oleh enzim Optimax 4060 VHP dan penambahan waktu inkubasi dapat
menurunkan jumlah glukosa akibat reaksi balik, sebagai akibat kandungan
glukosa yang tinggi sehingga terjadi penurunan nilai kadar DE.
Berdasarkan gambar 4.5 terlihat bahwa terjadi peningkatan kadar DE
seiring bertambahnya lama waktu sakarifikasi, akan tetapi terjadi penurunan kadar
DE pada waktu sakarifikasi yang terlama yaitu 72 jam. Peningkatan kadar DE
sebagai akibat semakin lama sakarifikasi, hal ini terjadi karena lama waktu
sakarifikasi dibutuhkan untuk enzim Optimax 4060 VHP berikatan dengan
substrat, semakin banyaknya enzim berikatan dengan substrat maka, semakin
besar kemampuan enzim untuk berikatan dengan substrat maka semakin banyak
pula produk berupa dextrose yang dihasilkan.
90



Selain itu, lama sakarifikasi yang berpengaruh pada peningkatan nilai
kadar DE dimungkinkan karena aktivitas kerja enzim mulai bekerja, enzim
Optimax 4060 VHP membutuhkan waktu yang lama untuk bereaksi memutus
ikatan glikosidik -1,6 yang ada pada substrat. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Blitz dan Grosh (1999), yang menyatakan bahwa untuk memotong ikatan
glikosidik -1,6 memerlukan waktu yang lebih lama yaitu 30 kali lebih lama
daripada waktu yang dibutuhkan untuk memotong -1,4.
Hasil pengamatan dalam penelitian ini, yang ditunjukkan pada gambar 4.5
bahwa terjadi penurunan kadar DE selama hidrolisis pada lama sakarifikasi 60
jam menuju ke 72 jam, penurunan ini dimungkinkan karena aktivitas kerja enzim
Optimax 4060 VHP dengan semakin lamanya sakarifikasi semakin menurun
sehingga tidak mempunyai kemampuan lagi untuk memotong ikatan glikosidik -
1,6. Selain itu, penurunan kadar DE dimungkinkan sebagai akibat jenuhnya
substrat yang berikatan dengan enzim sehingga hampir seluruh substrat sudah
menjadi produk atau dextrose (glukosa), tingginya kadar dextrose sebagai akibat
substrat yang sudah terhidrolisis juga mengakibatkan terjadinya reaksi balik dari
glukosa menjadi maltose, isomaltosa dan oligosakarida, sehingga akan membuat
penurunan kadar dextrose kembali. Madsen dan Norman (1973) dalam Astuti
(2006) menyatakan bahwa proses sakarifikasi yang terlalu lama dan kandungan
glukosa yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya reaksi kebalikan dari glukosa
menjadi maltose, isomaltosa dan oligosakarida.
Waktu inkubasi (lama sakarifikasi) yang lama, nilai kadar DE cenderung
mengalami penurunan yang sangat cepat terlihat pada hasil penelitian pada saat
91



konsentrasi enzim Optimax 4060 VHP 0,6 L/t DS dengan lama sakarifikasi pada
60 jam menuju 72 jam terjadi penurunan kadar DE yang dengan cepat yaitu dari
94.33% menjadi 94.11% , fenomena ini diduga karena pada kondisi tersebut,
sudah banyak substrat yang dipecah oleh enzim Optimax 4060 VHP sehingga
dengan menambah waktu inkubasi tidak akan meningkatkan jumlah dextrose
(glukosa) akan tetapi dapat menurunkan jumlah glukosa akibat reaksi balik,
sehingga terjadi penurunan nilai kadar DE.
Anonim (2004
a
), menyatakan bahwa proses sakarifikasi yang terlalu lama
dan kandungan glukosa yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya reaksi
kebalikan dari glukosa menjadi maltose, isomaltosa dan oligosakarida lainnya
dengan cara kondensasi. hal ini diperkuat oleh Tjokroadikoesoemo (1993), bahwa
reaksi balik tersebut lebih cepat pada larutan-larutan yang kandungan dextrosnya
tinggi. Reaksi balik dengan cara kondensasi pada sirup glukosa dengan kandungan
dextrose tinggi seperti yang terlihat pada gambar 4.6.

92




Gambar 4.6 Reaksi kondensasi glukosa menjadi maltose dan isomaltose

Hal ini berarti bahwa, Semakin lama sakarifikasi terjadi penurunan
aktivitas enzim sehingga enzim tidak mempunyai kemampuan memotong ikatan
glikosidik -1,6 oleh karena itu dextrose yang terbentuk sedikit, sedangkan yang
kedua karena terjadinya reaksi kebalikan yaitu berubahannya glukosa menjadi
oligosakarida.

8.4. Penentuan Komponen Glukosa Dengan High Performance Liquid
Chromatographic (HPLC)
Analisis dextrose (glukosa) dalam sirup glukosa hasil ubi kayu yang
dihidrolisis, menggunakan larutan standar dextrose 0,52 % yang dilakukan dengan
instrument High Performance Liquid Chromatographic (HPLC). Sebelum
melakukan perlakuan analisa Instrument High Performance Liquid
93



Chromatographic (HPLC) dihidupkan untuk memanaskan kondisi alat dan
pemprograman suhu agar selama proses pemisahan komponen terjadi dalam
kondisi yang stabil.
Adapun sampel yang diinjekkan adalah 20 L dan Suhu kolom diprogram
pada suhu 85
0
C agar pemisahan terjadi dengan baik serta untuk mencegah
terjadinya kerusakan komponen dalam kolom dilakukan penstabilan kolom pada
suhu 85
0
C dan tekanan 3,2 (MPa). Pemprogaman dan penstabilan pada suhu dan
tekanan digunakan agar komponen keluar dengan jarak dari satu peak ke peak lain
tidak terlalu jauh.
Jenis kolom yang digunakan adalah Aminex HPX 87P yang bersifat non
polar. Kolom jenis ini baik untuk pemisahan monosakarida, kolom ini
memisahkan sampel dengan kecepatan 0,6 mL/menit. Senyawa dextrose yang
bersifat sama polar dengan fasa gerak sedangkan kolom bersifat non polar,
penggunaan fasa gerak bersifat polar yang sama sifatnya dengan dextrose yaitu
polar, agar fase gerak dapat berinteraksi dengan komponen-komponen sampel
dextrose sehingga dapat menghasilkan kromatogram pada rentang yang sesuai.
Senyawa-senyawa yang bersifat sama dengan kolom akan tertahan lebih lama,
sedangkan untuk senyawa-senyawa yang berbeda dengan kolom akan diteruskan
menuju detektor dan memiliki retensi yang lebih singkat.
Ketika sampel dimasukkan ke dalam aliran fasa gerak dengan cara
disuntikkan, didalam kolom terjadi pemisahan komponen-komponen campuran.
Karena perbedaan kekuatan interaksi antara solute-solut terhadap fasa diam.
Kemudian hasil pemisahan tersebut akan dibacaa oleh detektor. Detektor yang
94



digunakan adalah IR detector 2300, Detektor jenis ini dapat mengukur dengan
sensitivitas yang sangat tinggi, detector jenis ini memungkinkan memungkinkan
sampel dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Keuntungan lain mencakup
kemampuan untuk beroperasi pada laju aliran yang sangat rendah dengan volume
yang sangat rendah.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat dilihat hasil kadar
dextrose pada sirup glukosa hasil hidrolisis ubi kayu pada gambar 4.7 dengan
membandingkan dengan kromatogram standar dextrose pada lampiran 11.


Gambar 4.7 Kromatogram sirup glukosa hasil hidrolisis terbaik

95



Berdasarkan gambar 4.7 diperolah kadar dextrose sebesar 40,69 % pada
sirup glukosa hasil hidrolisis enzimatis dengan melakukan perbandingan dengan
dextrose standar dengan konsentrasi 0, 516 %.
Kadar dextrose yang diperoleh di atas adalah hasil hidrolisis ubi kayu pada
hasil sakarifikasi konsentrasi enzim Optimax 4060 VHP 0,3 L/t DS dan lama
sakarifikasi jam ke-72 Adapun kadar dextrose yang dihasilkan menunjukkan
bahwa dengan penambahan konsentrasi enzim dan lama sakarifikasi dari hidrolisis
pati ubi kayu dapat berpengaruh terhadap kadar dextrose yang dihasilkan.
Berdasarkan gambar 4.6 juga dapat diketahui bahwa pengukuran
presentase glukosa dengan instrumen High Performance Liquid Chromatographic
(HPLC) menghasilkan % glukosa yang lebih besar yaitu sebesar 40,69%
dibandingkan dengan metode Lane Eynon yang mempunyai nilai sebesar
37,33%) (lampiran 11). Hal ini dimugkinkan oleh ketelitian kerja yang tinggi dari
instrumen HPLC untuk memisahkan komponen-komponen yang ada pada sirup
glukosa dibandingan ketelitian kerja metode Eynon lane yang masih relatif
sederhana, sehingga dengan kemampuan ketelitian yang tinggi dari instrumen
HPLC dapat menentukan keseluruhan presentase glukosa yang ada dalam sirup
glukosa hasil hidrolisis.





96



BAB V
PENUTUP

5.1. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh
konsentrasi enzim sakarifikasi (Optimax 4060 VHP) dan lama sakarifikasi
terhadap kadar dextrose equivalen (DE) sirup glukosa. Pembuatan sirup glukosa
dengan pemberian variasi konsentrasi enzim sakarifikasi (Optimax 4060 VHP)
serta perbedaan lamanya sakarifikasi dapat meningkatkan kadar atau presentase
dextrose equivalent (DE) dalam sirup glukosa hasil hidrolisis dari pati ubi kayu.
Berdasarkan metode Eynon-lane untuk menentukan kadar atau presentase
dextrose equivalent (DE) dalam sirup glukosa. Lama sakarifikasi dalam
sakarifikasi memberikan pengaruh yang sangat nyata (p < 0.05). Atas dasar BNT
(0.05) dapat disimpulkan bahwa sirup glukosa dengan konsentrasi enzim Optimax
4060 VHP 0,3 dan lama sakarifikasi 72 jam dengan nilai DE sebesar 95,72%.
Hasil penentuan sirup glukosa hasil hidrolisis optimum dianalisa dengan
instrument High Performance Liquid Chromatographic (HPLC) menunjukkan
bahwa komponen yang terdapat pada sirup glukosa adalah glukosa dengan kadar
glukosa sebesar 40,69 % yang nilainya lebih besar dibandingkan dengan %
glukosa dengan menggunakan metode Lane Eynon (37,33%).
5.2. SARAN
Untuk melengkapi dan menyempurnakan penelitian ini disarankan untuk
melakukan penelitian lanjutan sebagai berikut:
97



a. Perlu adanya alternatif cara pengendalian pencegahan kondensasi (reaksi
balik) sirup glukosa
b. Menggunakan variasi lama sakarifikasi dengan waktu yang lebih pendek




















98



DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1993. Dextrose Equivalent. Analytical Methods of the member
Companies of Corn Refiners Association,Inc.
Anonim. 2004
a
, Enzymatic Saccharification Of Starch, http://www.food.rdg.ac.uk/
online/Fs560/topic1/t1d/t1d.htm. Diakses tanggal 7 Juni 2010.
Anonim. 2004
b
. Fungal Glukoamilase For Starch Hydrolysis,
http://www.deerldan-enzymes.com. Diakses tanggal 10 Juni 2010
Anonim. 2006. Gula Singkong Dapat Diproduksi Di Pedesaaan. warta penelitian
dan pengembangan pertanian vol.28 no.3.
Anonim. 2009. Saccharides (Liquid Chromatography). Analytical Methods of the
member Companies of Corn Refiners Association,Inc.
Anonim. 2009, ISI 27-1e Determination of Reducing Power and DE by Lane and
Eynon's method, http://www.starch.dk/isi/methods/27DE.htm. Diakses
tanggal 29 November 2009.
AOAC. 1990 . Official Method of Analysis Of The Association of Official
Analytical Chemistry.Association of official Analytical
Chemists.Washington DC.
Astuti, M.L. 2006. Pemanfaatan Pati Aren Sebagai Sirup Glukosa Dengan
Dextrozyme dan Lama Sakarifikasi. Skripsi Tidak Diterbitkan. Malang:
Jurusan Teknologi hasil Pertanian FT Unibraw.
Ayernor,G.S,. 2002. Combinantion of Rice Malt and Amyloglucosidase for The
Production Of sugar Syrup From Cassava Flour. African Journal of Science
and Technology (AJST) Science and Engineering Series,Vol.3,No.1,pp.10-
17.
Azmi, J. 2006. Penentuan Kondisi Optimum Fermentasi Aspergillus Oryzae
Untuk Isolasi Enzim Amilase Pada Medium Pati Biji Nangka (Arthocarphus
Heterophilus Lmk). Jurnal Biogenesis Vol. 2(2):55-58.
Bailey, J. E. 1986. Biochemical Engineering Fundamentals 2
nd
Edition. USA: Mc
Graw-Hill Inc.
Belitz, H.D and Grosch,W .1984. Food Chemistry. New York London Paris
Tokyo: Springer Verlag Berlin Heidelberg.
Buckle, K.A.. 1985. Ilmu Pangan .Jakarta : UI Press.
99



Claire V. and Gregory J. Z. 2001 .Hyperthermophilic Enzymes: Sources, Uses,
and Molecular Mechanisms for Thermostability. American Society for
MicrobiologyBiochemistry Department, Michigan State University, East
Lansing, Michigan Vol. 65, No. 1
Chaplin, M. F., dan Bucke, Christopher. 1990. Enzyme Technology. Cambridge
University Press.
De Man, M.. 1997. Kimia Makanan Edisi kedua. Bandung: Penerbit ITB.
Chaplin, M.. 2009. The Use of Enzymes in Starch Hidrolysis.
http://www.lsbu.ac.id/ biology/enztech/starch.html. Diakses tanggal 3
Oktober 2009.
Estiasi, Teti . 2005. Analisis Kelayakan Teknis Produksi Edible Film Dari
Tapioca Dan Karaginan Pada Skala Ganda.
Forgarty, W.M. 1983. Microbial Enzymes and Biotechnology. London: Appliead
science Publishes.
Genencor. 1999. OPTIMAX 7525 HP. USA: Genencor International Inc.
Gorinstein, S., C.G. Oates., Sh.-M. Chang., and Ch.-Yii. Lii.1994. Enzymatic
Hydrolysis of Sago Starch. J. Food Chem. 49(4):411-417
Hendayana, S. 2006. Kimia Pemisahan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
H. Hyun, H and J. G. Zeikus. 1984. General Biochemical Characterization of
Thermostable Pullulanase and Glucoamylase from Clostridium
thermohydrosulfuricum. American Society for Microbiology. Vol. 49, No. 5
:1169 - 1173
Jane, J.L dan J.F Chen. 1992. Effect of Amylose Molecular size and Amylopectin
Branch Chain Legth on Properties of Starch Ceral Chemistry. 69(1) : 60-95.
Jariyah, 2002.Analisis Komponen Gula Pada Sirup Maltosa Hasil Hidrolisis Pati
Garut Secara Enzimatis.Tesis.Program Pascasarjana. Malang :Unibraw
Malang.
Kearsley,M.W and Dziedzic, S.Z., 1995, Handbook Of Starch Hydrolysis
Product And Their Derivatives First Edition. Cambridge: Great Britain by
University Press.
Lehninger, A.L. 1997. Dasar-dasar Biokimia. Jilid I. Alih Bahasa: Maggy
Thenawidjaja. Jakarta: Erlangga.
100



Mahartantri, L., 2005. Pembuatan Glukosa Kasar dari Pati Beberapa
Varietas/Klon Ubi Jalar (Ipomea batatas l.) Secara Hidrolisis Enzimatis.
Skripsi Tidak Diterbitkan. Malang: Jurusan Teknologi hasil Pertanian FT
Unibraw.
Martin, D.W., D.A. Mayes., and V.W. Rodwell. 1983. Harpers Review of
Biochemistry. Lange Singapore: Medical Publication.
Mathewson, P. R..1998. Enzymes. USA : Eagan Press.
Martoharsono, S.. 1984. Biokimia Jilid 1. Yogyakarta: UGM Press.
Masruri. 2009. Laporan Praktikum Kimia Analitik Instrument. Jakarta:
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

McPerson, A.e and P.A Secb. 1997. Preparation and Properties of Wheat and
Corn Strach Maltodextrins With a Low Dextrose Equivalent. Cereal
Chemistry.74(4) : 424- 430.
Misset,0.2003. Xylose (Glucose)Isomerase.In J.R whitaker.,A.G.J. Voragen.,and
D.W.S. Wong (ed).Handbook of food enzymology.Meracell
Dekker,Inc.New York.Hal 1057-1077.
Montgomery,R.,R.L.Dreyer.,T.W.Conway.,and A.A Specter.1993.Biokimia Suatu
Pendekatan Berorientasi Kasus.Jilid 1.edisi keempat. Terjemahan Ismadi.
Yogyakarta:UGM Press.
Muchtadi,D.,N.S Palupi., dan M. Astwan.1992 .Teknologi Pemasakan
Ekstrusi.PAU Pangan dan Gizi IPB Bogor
Norman, b.B.1981. New Development In Starch Syrup Technology. Di dalam
G.G.birch dan k.j parker (eds). Enzyme and food processing applied science
publisher, ltd. London
Novozymes, 2001. LiquozymeSupra. Denmark: Novozymes A/S.
Palmer, T. 1991. Understanding Enzymes. England : Ellis Hoorwood.
Pancoast, H.M., dan Junk,W.R..1980. Handbooks of Sugar. USA : AVI Publising
Company Inc.
Poedjiadi, A..1994. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta: UI-Press
Pramesti, G. 2005. SPSS 13.0 dalam Rancangan Percobaan. Jakarta: PT. Elex
Media Komputindo.
101



Prihandana, R., dkk. 2007. Bioetanol Kayu Bayu: Bahan bakar Masa Depan.
Jakarta: PT. Argomedia Pustaka.
R. Renneberg, dkk. 1985. Enzyme Sensor For Pullulan And Pullulanase Activity.
Central Institute of Molecular Biology, Hayashibara Biochemical
Laboratories, Inc. Vol 7 No ii 809-81.
Rabyt, JF and B.J white. 1987.Biochemical Techniques : Theory And Practice.
Brooks/cole California: Publishing company.
Ragayu, K. 2003. Teknologi Enzim. Yogyakarta: Pau pangan dan gizi UGM.
Reed, G. 1991. Principles Biochemistry. 7
th
edition. Blackie Academic and
Professional. Glasgow. Hal.596.
Reilly, P.J.2003. Glucoamylase. In j.r whitaker.,a.g.j. voragen., and d.w.s. wong
(ed). Handbook of food enzymology. Marcell dekker, inc. New york. Hal
727-738.
Reichelt, J.R. (1983). Starch in Industrial Enzymology . Macmillan, England.
Richana, N. P. Lestari., n. Chilmijati., dan s. Widowati. 2000. Karakterisasi
Bahan Berpati (Tapioka, Garut Dan Sagu) Dan Pemanfaatannya Menjadi
Glukosa Cair. Dalam L. Nuraida, R. Dewanti., hariyadi,, s. Budjianto (ed).
Prosiding seminar nasional industri pangan. Volume I PATPI. Surabaya, hal
396-406.
Rodwell, V.W. 1987. Harpers Review of Biochemistry. Alih bahasa: Iyan
Dharmawan Edisi 20. Jakarta: EGC Kedokteran.
Rukmana, R.1997 .Ubi kayu. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Schenck, F. W. And Hebeda, Ronald E. 1992. Starch Hydrolysis Products. New
York: New York Publisher,Inc.
Slominska,L.,Monika,K.,dan Grzeskowiak,A. 2003. Degradation of Strach
Grandula by Amylase. Electronic Journal of Polish Agricultural Universitas,
Food Science and Technology, Volume 6, Issue 2.
Sudarmadji, S., Haryono,B. dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa Untuk Bahan
Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Liberty.
Suprapti, L. 2003. Studi Karakteristik Sifat Fisik dan Kimia Tepung Beberapa
varietas Ubi jalar (Ipomea batatas L.). Skripsi tidak diterbitkan. Malang:
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian F.T Unibraw.
102



Tegge, G. 1984. The Enzymatic Production of Glucose Syrups. Dalam S.Z.
Dziedzic dan M.W Kearsly (eds). Glucose Syrups: Science and Technology.
London and New York: Elsevier Applied Science Publisher.
Thomas, J. D. And Atwell, William A., 1999, Starches. St.Paul, Minnesotasa,
USA : Eagan Press.
Tjokroadikoesoemo, P.S. 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya. Jakarta:
PT.Gramedia.
Tranggono dan Sutardi. 1990. Biokimia dan Teknologi Pasca Panen. PAU Pangan
dan Gizi. Yogyakarta: UGM Press.
Villamjor, F.G dan J. Jurkema. 1996. Maranta arudinaceae L. dalam Plants
Yielding Non-seed carbohydrate Proseed, 9. Halaman 113-116.
W.Tri,S. 2006. Pembuatan Sirup Glukosa dari Pati Garut (Maranta arundinaceae
l.) secara Hidrolisis enzimatis (Kajian Konsentrasi Enzim -amilase dan
lama Likuifikasi). Skripsi Tidak Diterbitkan. Malang: Jurusan Teknologi
hasil Pertanian FT Unibraw.
Wage, JR, L.G, 1995. Organic Chemistry Third Edition. IncNew Jersey United
State of America: Prentice-hall.
Warthesen, J.J. 1984. Analysis of Saccharides in Low-Dextrose Equivalent starch
Hydrolysates Using High-Performance Liquid Chromatography.American
Association of Cereal Chemists, Inc. Vol.61,No.2:194-195.
Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia.
Winarno, F.G. 1986. Enzim Pangan. Jakarta: Gramedia.
Winarno, F.G dan Fardianz, S. 1984. Biofermentasi dan Biosintesa Protein
.Bandung: Angkasa.
Whistler, R.L., J.N. Bemiller and E.F. Paschall. 1984. Strach Chemistry and
Technology. London: Academic Press.
Whitaker, J.R. 1996. Enzymes. Di dalam O.R. Fennema (ed). Food Chemistry.
Third Edition. New York : Marcell Dekker Inc.




103



LAMPIRAN

Lampiran 1. Skema Kerja
1. Likuifikasi dengan Menggunakan -amilase (Liquozyme Supra)

















Pati Ubi Kayu
ditimbang pati sebanyak 1636 gram
dilarutkan ke dalam gelas ukur 5000 mL dengan menggunakan
aquades sampai 4000 mL
diaduk agar pati larut ke dalam aquades
diatur pH suspensi pati, jika belum mecapai pH 5,3-6 maka
ditambahkan larutan HCL 5% atau NaOH 5%
ditambahkan Liquozyme Supra konsentrasi 2,4 L/t DS
dipanaskan hingga mencapai suhu 105
o
C dengan dilakukan
pengadukan selama + 5 menit.
dilakukan Iodine test ( yang ditandai apabila sedikit larutan
ditetesi dengan sedikit iodin larutan akan berwarna merah
kecoklatan yang berarti likuifikasi sudah berakhir)
dilakukan inaktivasi enzim dengan ditambahkan HCL 5% hingga
pH 3,5
Maltodekstrin
104



Lanjutan Lampiran 1
2. Penentuan konsentrasi enzim dan waktu optimum pada sakarifikasi















Catatan:
Perlakuan ini diulang dengan prosedur yang sama dengan variasi konsentrasi
enzim berbeda yaitu : 0,3 L/t DS ; 0,4 L/t DS ; 0,5 L/t DS dan 0,6 L/t DS



diletakkan dalam beaker glass 1000 mL
didinginkan sampai suhu kamar
dilakukan pengaturan pH (jika belum mecapai pH 4,5
maka ditambahkan larutan HCl 5% atau NaOH 5%)
ditambahkan Optimax 4060 VHP dengan konsentrasi
0,2 L/t DS disertai dengan pengadukan hingga
homogen

Dibagi menjadi 5 bagian masing-masing 150 mL
dimasukkan ke dalam botol tertutup secara akurat
diinkubasi masing-masing suspensi dalam botol ke dalam
waterbath dalam waktu yang berbeda-beda 24, 36, 48, 60
dan 72 jam pada suhu 55-60
o
C (dengan dilakukan
pengontrolan pH)
diinaktivasi enzim dengan ditambahkan HCL 5% hingga
pH 3,5
disaring dengan corong Buchner

Campuran Maltodextrin dan Optimax
4060 VHP
Sirup glukosa
750 mL Maltodekstrin
105



Lanjutan Lampiran 1
3. Penentuan Dextrose Equivalent (DE)
a. Penyiapan Larutan Sampel







b. Pembuatan Larutan Fehling Standar












Sirup glukosa
ditimbang sebanyak 1,5 g pada gelas beker 100 mL
dilarutkan dengn 50 mL aquades
dipindahkan secara akurat ke dalam labu ukur 250 mL
ditambahkan aquades sampai tanda batas
dikocok hingga homogen
Sampel uji DE
CuSO
4
.5H
2
O KNaC
4
H
4
O
6
.4H
2
O
ditimbang sebanyak 34,64 g
dengan menggunakan gelas
arloji
dimasukkan ke dalam gelas
beker 250 mL
ditambahkan 100 mL aquades
untuk melarutkan
larutan CuSO
4
.5H
2
O
dipindahkan ke dalam labu
takar 500 mL
ditambahkan aquades sampai
tanda batas
dikocok agar menjadi homogen
ditimbang sebanyak 173 g
dengan menggunakan gelas
arloji
dimasukkan kedalam gelas
beker 250 mL
ditambahkan 50 g NaOH
ditambahkan 100 mL aquades
untuk melarutkan
dipindahkan ke dalam labu
takar 500 mL
ditambahkan aquades sampai
tanda batas
dikocok agar menjadi homogen
Fehling A
Fehling B
Larutan Fehling standar
106



Lanjutan Lampiran 1
c. Standarisasi Larutan Fehling



















dikeringkan dengan oven pada 70 C selama 4 jam
ditimbang sebanyak 1,5 g pada gelas beker 100 mL
dilarutkan dengn 50 mL aquades
dipindahkan secara akurat ke dalam labu ukur 250 mL
ditambahkan aquades sampai tanda batas
dikocok hingga homogen



dimasukkan kedalam biuret 50 mL sampai tanda batas (untuk
titrasi)
dipipet 10,0 mL (5 mL larutan fehling A dan 5 mL larutan fehling
B)
dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250 mL
dimasukkan batu didih sebagai anti bumping ke dalam Erlenmeyer
dititrasi dengan meneteskan 0,5 mL sampel dari biuret dengan
dipanaskan diatas pemanas stirer selama 2 menit
dimasukkan + 2 tetes indikator methylene blue
dititrasi kembali dengan meneteskan sedikit demi sedikit (diatas
stirer dengan dipanaskan hingga warna biru menghilang dan
disudahi titrasi dalam waktu + 1 menit)
10 g dextrose anhidrat (p.a)
Hasil
larutan Dextrose Standar
107



Lanjutan Lampiran 1
d. Penentuan Gula Reduksi Larutan Sampel










Catatan:
Perlakuan diulangi sebanyak dua kali untuk setiap sampel glukosa hasil
sakarifikasi






dimasukkan kedalam biuret 50 mL sampai tanda batas
dipipet 10 mL (5 mL larutan fehling A dan 5 mL larutan
fehling B)
dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250 mL
dimasukkan batu didih sebagai anti bumping ke dalam
Erlenmeyer
dititrasi dengan meneteskan 0,5 mL sampel dari biuret dengan
dipanaskan diatas pemanas stirer selama 2 menit
dimasukkan + 2 tetes indikator methylene blue
dititrasi kembali dengan meneteskan sedikit demi sedikit
(diatas stirer dengan dipanaskan hingga warna biru menghilang
dan menyudahi titrasi dalam waktu + 1 menit)

Larutan sampel (sirup glukosa)
Hasil
108



Lanjutan Lampiran 1
4. Penentuan kadar glukosa dengan Metode High Performance Liquid
Chromatographic (HPLC)
a. Preparasi sirup glukosa









b. Preparasi Instrumen HPLC















Aquabides 30 L
diinjeksikan ke Instrument HPLC
dikondisikan laju alir pada 0,1 mL per menit dalam
suhu operasi
ditingkatkan laju alir 0,5 mL per menit
diseimbangkan selama 45 menit dengan
memperkiraan kondisi operasi instrument pada:
Laju Alir : 0,6 mL / menit
Suhu Kolom : 85
o
C
Suhu Detektor : 85
o
C

Instrumen HPLC siap pakai
diambil sebanyak 20 mL
disentrifugasi selama 30 menit
dilakukan pengenceran dengan melarutkan 10 mL sirup
glukosa
diencerkan hingga mencapai 100 mL dalam labu ukur
disaring dengan filter 0,45 m.

Sirup glukosa
Sampel siap di HPLC
109



ditimbang sebanyak 2 g
dilarutkan ke dalam 98 g aquades

diambil sampel sirup glukosa sebanyak 20 mL
disentrifugasi selama 30 menit
disaring dengan kertas saring 0,45 m


diinjeksikan ke dalam injector model UGK sebanyak 30 L
pada suatu by passed injection port yang bertekanan
dibuka kran by pass, sehingga sampel masuk ke dalam kolom
yang bertekanan, dari alat HPLC yang menggunakan eluent
aquabides dan detector refraksi indeks,
didapatkan kromatogram yang menggambarkan waktu retensi
dextrose standar
Lanjutan Lampiran 1
c. Pengukuran Standar Glukosa dengan HPLC



























dextrose anhidrat (p.a)
dextrose anhidrat (p.a) brix 2
dextrose standar
Kromatogram dextrose
110



Lanjutan Lampiran 1

d. Penentuan Konsentrasi (%) Sirup Glukosa dengan HPLC



























diinjeksikan ke dalam injector model UGK sebanyak 20 L
pada suatu by passed injection port yang bertekanan
dibuka kran by pass, sehingga sampel masuk ke dalam kolom
yang bertekanan, dari alat HPLC yang menggunakan eluent
aquabides dan detector refraksi indeks,
didapatkan kromatogram yang menggambarkan waktu retensi
masing-masing komponen dalam sampel
diamati pada printer
ditafsirkan proporsi komponen yang terbanding dalam sampel.
Sirup glukosa
Hasil
111



Lampiran 2. Pembuatan Reagen
1. Pembuatan HCl 5 %
M
1
x V
1
= M
2
x V
2
37%
%
5%
%

37%
%
5% 100

%
13,5
Jadi, dipipet HCl 37% sebanyak 13,5 mL dan dilarutkan dengan aquades
dalam labu ukur 100 mL.
2. Pembuatan NaOH 5 %
Ditimbang NaOH sebanyak 5 g dan dilarutkan dengan aquades dalam labu
ukur 100 mL.
3. Pembuatan reagen Fehling A
Ditimbang CuSO
4
.5H
2
O sebanyak 34,64 g dilarutkan dengan aquades
dalam labu ukur 500 mL.
4. Pembuatan reagen Fehling B
Ditimbang padatan KNaC
4
H
4
O
6
.4H
2
O sebanyak 173 g dan 50 g NaOH
dilarutkan dengan aquades dalam labu ukur 500 mL.
5. Pembuatan indikator Methylen Blue (MB)
Ditimbang 1 gram Methylen Blue dilarutkan dengan aquades dalam labu
ukur 100 mL.
6. Pembuatan reagen Iodine Test
Ditimbang 6 gram kalium iodida dan 2 gram iodine dilarutkan dengan
aquades dalam labu ukur 100 mL.





112



Lampiran 3. Pembuatan Konsentrasi Enzim
Pembuatan konsentrasi Enzim (Dosis Enzim) dibuat dengan :


1. Pembuatan Konsentrasi Enzim Likuifikasi dengan Liquozyme Supra 2,4 L/t
DS
2,4

2,4



1 1,128

0,2932

2,4



0,8

2. Pembuatan Konsentrasi Enzim Sakarifikasi OPTIMAX 4060 VHP 0,2 L/t DS
0,2

0,75


0,75

0,2



0,75 1,146

0,32

0,2



0,06



113



Lanjutan Lampiran 3
3. Pembuatan Konsentrasi Enzim Sakarifikasi OPTIMAX 4060 VHP 0,3 L/t DS
0,3

0,75


0,75

0,3



0,75 1,146

0,32

0,3



0,08

4. Pembuatan Konsentrasi Enzim Sakarifikasi OPTIMAX 4060 VHP 0,4 L/t DS
0,4

0,75


0,75

0,4



0,11

5. Pembuatan Konsentrasi Enzim Sakarifikasi OPTIMAX 4060 VHP 0,5 L/t DS
0,2

0,75


0,75

0,5



0,14

114



Lanjutan Lampiran 3
6. Pembuatan Konsentrasi Enzim Sakarifikasi OPTIMAX 4060 VHP 0,6 L/t DS
0,6

0,75


0,75

0,6



0,75 1,146

0,32

0,6



0,17



Catatan:
DS = Dry Substance (yang diperoleh dari tabel korelasi Lampiran. 13)
SG = Specific gravity (diperoleh dari perhitungan densitas larutan dengan
menggunakan piknometer)







115



Lampiran 4. Nilai mL titrasi penentuan Dextrose Equivalent (DE)
Sampel U1 T1 T2 Rata-rata Sampel U1 T1 T2 Rata-rata
C1T11 (A) 23.7 24.1 23.9 C1T12 (A') 24.1 24.1 24.1
C1T21 (B) 24.2 24 24.1 C1T22 (B') 23.9 24 23.95
C1T31 (C) 22.8 23 22.9 C1T32 (C') 22.1 23.8 22.95
C1T41 (D) 22.4 23.8 23.1 C1T42 (D') 22.2 21.9 22.05
C1T51 (E) 22.1 23.8 22.95 C1T52 (E') 22.2 22 22.1
C2T11 (F) 24.1 24 24.05 C2T12 (F') 24.2 24 24.1
C2T21 (G) 23.9 24 23.95 C2T22 (G') 24.4 24.1 24.25
C2T31 (H) 22 22.1 22.05 C2T32(H') 23.1 22.9 23
C2T41 (I) 22.2 21.9 22.05 C2T42 (I') 22.2 22 22.1
C2T51 (J) 22.2 22 22.1 C2T52 (J') 21.9 22.1 22
C3T11 (K) 23.6 24.2 23.9 C3T12 (K') 24.2 24 24.1
C3T21 (L) 23.1 22.9 23 C3T22 (L') 22.1 22.1 22.1
C3T31 (M) 22 22 22 C3T32 (M') 22.2 22.2 22.2
C3T41 (N) 22.2 22.2 22.2 C3T42 (N') 22.2 22 22.1
C3T51 (O) 22 22.4 22.2 C3T52 (O') 22.4 21.6 22
C4T11(P) 23.9 24 23.95 C4T12 (P') 23.2 23.2 23.2
C4T21 (Q) 23.2 22.8 23 C4T22 (Q') 22.1 22.2 22.15
C4T31(R) 23 22.8 22.9 C4T32 (R') 22.4 22.3 22.35
C4T41 (S) 22.4 22 22.2 C4T42 (S') 22 22.2 22.1
C4T51 (T) 22.1 22.1 22.1 C4T52 (T') 22.4 22 22.2
C5T11 (U) 23 23.2 23.1 C5T12 (U') 22.1 21.9 22
C5T21 (V) 22.1 21.9 22 C5T22 (V') 22.2 22.2 22.2
C5T31 (W) 23 23 23 C5T32 (W') 22 22.6 22.3
C5T41 (X) 22.1 22 22.05 C5T42 (X') 22.4 22 22.2
C5T51 (Y) 22.2 22.2 22.2 C5T52 (Y') 22 22.3 22.15
Keterangan:
U1 = Ulangan ke-1
U2 = Ulangan ke-2
T1 = Titrasi ke-1
T2 = Titrasi ke-2


116



Lampiran 5. Nilai Berat Jenis (SG) Sirup Glukosa
No
[E]
L/t DS
Lama
sakarifikasi
U1 U2
Berat
Pikno &
Glukosa
berat
glukosa SG
Berat
Pikno &
glukosa
berat
glukosa SG
1 0,2 24 jam 44.9861 29.63 1.185 44.8512 29.5 1.180
2 36 jam 44.8267 29.48 1.179 44.8461 29.5 1.180
3 48 jam 44.8742 29.53 1.181 44.8231 29.48 1.179
4 60 jam 44.8276 29.48 1.179 44.9387 29.59 1.183
5 72 jam 44.7976 29.45 1.178 44.9478 29.6 1.184
6 0,3 24 jam 44.9516 29.6 1.184 44.8134 29.46 1.178
7 36 jam 44.8331 29.49 1.179 44.8183 29.47 1.179
8 48 jam 44.9343 29.59 1.183 44.8142 29.47 1.179
9 60 jam 44.8304 29.48 1.179 44.8326 29.48 1.179
10 72 jam 44.8246 29.48 1.179 44.9397 29.59 1.184
11 0,4 24 jam 44.8012 29.45 1.178 44.8262 29.48 1.179
12 36 jam 44.8461 29.5 1.180 44.8177 29.47 1.179
13 48 jam 44.8963 29.55 1.182 44.8072 29.46 1.178
14 60 jam 44.8128 29.46 1.178 44.8126 29.46 1.178
15 72 jam 44.8989 29.55 1.182 44.7978 29.45 1.178
16 0,5 24 jam 44.8231 29.47 1.179 44.9611 29.61 1.184
17 36 jam 44.8922 29.55 1.182 44.8711 29.53 1.181
18 48 jam 44.8964 29.55 1.182 44.8231 29.48 1.179
19 60 jam 44.8276 29.48 1.179 44.8431 29.49 1.18
20 72 jam 44.8116 29.46 1.179 44.8214 29.47 1.179
21 0,6 24 jam 44.9012 29.55 1.182 44.8763 29.53 1.181
22 36 jam 44.8246 29.48 1.179 44.8166 29.47 1.179
23 48 jam 44.8341 29.49 1.179 44.7962 29.45 1.178
24 60 jam 44.8017 29.45 1.178 44.9276 29.58 1.183
25 72 jam 44.6717 29.32 1.173 44.6228 29.28 1.171
Keterangan:
U1 = Ulangan ke-1
U2 = Ulangan ke-2

117



Lampiran 6. Nilai mL titrasi, factor Fehling, Densitas (SG) dan %DS (Dry
substance)
Sampel U1
Nilai
Sampel U2
Nilai
mL titrasi SG %DS

mL titrasi SG %DS
C1T11 (A) 23.9 1.185 40.87 C1T12 (A') 24.1 1.18 39.98
C1T21 (B) 24.1 1.179 39.09 C1T22 (B') 23.95 1.18 39.98
C1T31 (C) 22.9 1.181 39.98 C1T32 (C') 22.95 1.179 39.09
C1T41 (D) 23.1 1.179 39.09 C1T42 (D') 22.05 1.1834 39.98
C1T51 (E) 22.95 1.178 39.09 C1T52 (E') 22.1 1.184 39.98
C2T11 (F) 24.05 1.184 39.98 C2T12 (F') 24.1 1.1785 39.09
C2T21 (G) 23.95 1.179 39.09 C2T22 (G') 24.25 1.1789 39.09
C2T31 (H) 22.05 1.183 39.98 C2T32(H') 23 1.1786 39.09
C2T41 (I) 22.05 1.179 39.09 C2T42 (I') 22.1 1.1792 39.09
C2T51 (J) 22.1 1.179 39.09 C2T52 (J') 22 1.1837 39.09
C3T11 (K) 23.9 1.178 39.09 C3T12 (K') 24.1 1.179 39.09
C3T21 (L) 23 1.18 39.98 C3T22 (L') 22.1 1.1789 39.09
C3T31 (M) 22 1.182 39.98 C3T32 (M') 22.2 1.1784 39.09
C3T41 (N) 22.2 1.178 39.09 C3T42 (N') 22.1 1.1784 39.09
C3T51 (O) 22.2 1.182 39.09 C3T52 (O') 22 1.178 39.09
C4T11(P) 23.95 1.179 39.09 C4T12 (P') 23.2 1.1844 39.98
C4T21 (Q) 23 1.182 39.98 C4T22 (Q') 22.15 1.181 39.98
C4T31(R) 22.9 1.182 39.98 C4T32 (R') 22.35 1.179 39.09
C4T41 (S) 22.2 1.179 39.09 C4T42 (S') 22.1 1.1796 39.09
C4T51 (T) 22.1 1.179 39.09 C4T52 (T') 22.2 1.1789 39.09
C5T11 (U) 23.1 1.182 39.98 C5T12 (U') 22 1.181 39.98
C5T21 (V) 22 1.179 39.09 C5T22 (V') 22.2 1.1788 39.09
C5T31 (W) 23 1.179 39.09 C5T32 (W') 22.3 1.1779 39.09
C5T41 (X) 22.05 1.178 39.09 C5T42 (X') 22.2 1.183 39.98
C5T51 (Y) 22.2 1.173 39.09 C5T52 (Y') 22.15 1.171 39.98

Keterangan:
U1 = Ulangan ke-1
U2 = Ulangan ke-2


118



Lampiran 7. Perhitungan Nilai Kadar Dextrose equivalent (DE)



%


Sampel U1
Nilai
mL titrasi %DS DE
C1T11 (A) 23.9 40.87 84.46
C1T21 (B) 24.1 39.09 87.57
C1T31 (C) 22.9 39.98 90.11
C1T41 (D) 23.1 39.09 91.36
C1T51 (E) 22.95 39.09 91.96
C2T11 (F) 24.05 39.98 85.8
C2T21 (G) 23.95 39.09 88.12
C2T31 (H) 22.05 39.98 93.58
C2T41 (I) 22.05 39.09 95.71
C2T51 (J) 22.1 39.09 95.5
C3T11 (K) 23.9 39.09 88.31
C3T21 (L) 23 39.98 89.72
C3T31 (M) 22 39.98 93.8
C3T41 (N) 22.2 39.09 95.07
C3T51 (O) 22.2 39.09 95.07
C4T11(P) 23.95 39.09 88.12
C4T21 (Q) 23 39.98 89.72
C4T31(R) 22.9 39.98 90.11
C4T41 (S) 22.2 39.09 95.07
C4T51 (T) 22.1 39.09 95.5
C5T11 (U) 23.1 39.98 89.33
C5T21 (V) 22 39.09 95.93
C5T31 (W) 23 39.09 91.76
C5T41 (X) 22.05 39.09 95.71
C5T51 (Y) 22.2 39.09 95.07



119



Lanjutan Lampiran 7
Sampel U2
Nilai
mL titrasi %DS DE
C1T12 (A') 24.1 39.98 85.62
C1T22 (B') 23.95 39.98 86.16
C1T32 (C') 22.95 39.09 91.96
C1T42 (D') 22.05 39.98 93.58
C1T52 (E') 22.1 39.98 93.37
C2T12 (F') 24.1 39.09 87.57
C2T22 (G') 24.25 39.09 87.03
C2T32(H') 23 39.09 91.76
C2T42 (I') 22.1 39.09 95.5
C2T52 (J') 22 39.09 95.93
C3T12 (K') 24.1 39.09 87.57
C3T22 (L') 22.1 39.09 95.5
C3T32 (M') 22.2 39.09 95.07
C3T42 (N') 22.1 39.09 95.5
C3T52 (O') 22 39.09 95.93
C4T12 (P') 23.2 39.98 88.95
C4T22 (Q') 22.15 39.98 93.16
C4T32 (R') 22.35 39.09 94.43
C4T42 (S') 22.1 39.09 95.5
C4T52 (T') 22.2 39.09 95.07
C5T12 (U') 22 39.98 93.8
C5T22 (V') 22.2 39.09 95.07
C5T32 (W') 22.3 39.09 94.64
C5T42 (X') 22.2 39.98 92.95
C5T52 (Y') 22.15 39.98 93.16





120



Lanjutan Lampiran 7

Volume glukosa = 250 mL
Berat sampel = 1,5 gram
Faktor tabel = 49,5(hasil standarisasi larutan fehling dengan dextrose
p.a)

Ulangan1 (U1):


%



250 mL x 49.5 x 10
23.9 mL 1,5 g 40.87


84.46


Ulangan 2 (U2):



%



250 mL x 49.5 x 10
24.1mL 1,5 g 39.98


85.62





121



Lampiran 8. Nilai Kadar Dextrose equivalent (DE)
Konsentrasi
Enzim
(L/t DS)
Lama
Sampel U1 Sampel U2
Kadar DE
total Rata-rata
sakarifikasi
U1 U2
0.2 24 jam C1T11 (A) C1T12 (A') 84.460 85.624 170.084 85.042
0.2 36 jam C1T21 (B) C1T22 (B') 87.573 86.16 173.733 86.867
0.2 48 jam C1T31 (C) C1T32 (C') 90.111 91.961 182.072 91.036
0.2 60 jam C1T41 (D) C1T42 (D') 91.364 93.584 184.948 92.474
0.2 72 jam C1T51 (E) C1T52 (E') 91.961 93.372 185.334 92.667
0.3 24 jam C2T11 (F) C2T12 (F') 85.802 87.573 173.375 86.687
0.3 36 jam C2T21 (G) C2T22 (G') 88.122 87.032 175.153 87.577
0.3 48 jam C2T31 (H) C2T32(H') 93.584 91.761 185.346 92.673
0.3 60 jam C2T41 (I) C2T42 (I') 95.715 95.498 191.213 95.607
0.3 72 jam C2T51 (J) C2T52 (J') 95.498 95.932 191.431 95.715
0.4 24 jam C3T11 (K) C3T12 (K') 88.306 87.573 175.879 87.94
0.4 36 jam C3T21 (L) C3T22 (L') 89.719 95.498 185.217 92.609
0.4 48 jam C3T31(M) C3T32 (M') 93.797 95.068 188.865 94.433
0.4 60 jam C3T41 (N) C3T42 (N') 95.068 95.498 190.567 95.283
0.4 72 jam C3T51 (O) C3T52 (O') 95.068 95.932 191.001 95.500
0.5 24 jam C4T11(P) C4T12 (P') 88.122 88.945 177.067 88.534
0.5 36 jam C4T21 (Q) C4T22 (Q') 89.719 93.162 182.880 91.44
0.5 48 jam C4T31(R) C4T32 (R') 90.111 94.430 184.541 92.27
0.5 60 jam C4T41 (S) C4T42 (S') 95.068 95.498 190.567 95.283
0.5 72 jam C4T51 (T) C4T52 (T') 95.498 95.068 190.567 95.283
0.6 24 jam C5T11 (U) C5T12 (U') 89.330 93.797 183.127 91.564
0.6 36 jam C5T21 (V) C5T22 (V') 95.932 95.068 191.001 95.500
0.6 48 jam C5T31(W) C5T32 (W') 91.761 94.642 186.403 93.202
0.6 60 jam C5T41 (X) C5T42 (X') 95.715 92.952 188.667 94.333
0.6 72 jam C5T51 (Y) C5T52 (Y') 95.068 93.162 188.23 94.115

Keterangan:
U1 = Ulangan ke-1
U2 = Ulangan ke-2

122



Lampiran 9. Analisa kadar dextrose equivalent untuk menentukan perlakuan yang
berpengaruh untuk analisa HPLC
Sampel U1 Sampel U2
Konsentrasi
Enzim (L/t
DS)
Lama
sakarifikasi
Kadar DE total Rata-rata
U1 U2

C1T11 (A) C1T12 (A') 0.2 24 jam 84.460 85.624 170.084 85.042
C1T21 (B) C1T22 (B') 0.2 36 jam 87.573 86.16 173.733 86.867
C1T31 (C) C1T32 (C') 0.2 48 jam 90.111 91.961 182.072 91.036
C1T41 (D) C1T42 (D') 0.2 60 jam 91.364 93.584 184.948 92.474
C1T51 (E) C1T52 (E') 0.2 72 jam 91.961 93.372 185.334 92.667
C2T11 (F) C2T12 (F') 0.3 24 jam 85.802 87.573 173.375 86.687
C2T21 (G) C2T22 (G') 0.3 36 jam 88.122 87.032 175.153 87.577
C2T31 (H) C2T32(H') 0.3 48 jam 93.584 91.761 185.346 92.673
C2T41 (I) C2T42 (I') 0.3 60 jam 95.715 95.498 191.213 95.607
C2T51 (J) C2T52 (J') 0.3 72 jam 95.498 95.932 191.431 95.715
C3T11 (K) C3T12 (K') 0.4 24 jam 88.306 87.573 175.879 87.94
C3T21 (L) C3T22 (L') 0.4 36 jam 89.719 95.498 185.217 92.609
C3T31 (M) C3T32 (M') 0.4 48 jam 93.797 95.068 188.865 94.433
C3T41 (N) C3T42 (N') 0.4 60 jam 95.068 95.498 190.567 95.283
C3T51 (O) C3T52 (O') 0.4 72 jam 95.068 95.932 191.001 95.500
C4T11(P) C4T12 (P') 0.5 24 jam 88.122 88.945 177.067 88.534
C4T21 (Q) C4T22 (Q') 0.5 36 jam 89.719 93.162 182.880 91.44
C4T31(R) C4T32 (R') 0.5 48 jam 90.111 94.430 184.541 92.27
C4T41 (S) C4T42 (S') 0.5 60 jam 95.068 95.498 190.567 95.283
C4T51 (T) C4T52 (T') 0.5 72 jam 95.498 95.068 190.567 95.283
C5T11 (U) C5T12 (U') 0.6 24 jam 89.330 93.797 183.127 91.564
C5T21 (V) C5T22 (V') 0.6 36 jam 95.932 95.068 191.001 95.500
C5T31 (W) C5T32 (W') 0.6 48 jam 91.761 94.642 186.403 93.202
C5T41 (X) C5T42 (X') 0.6 60 jam 95.715 92.952 188.667 94.333
C5T51 (Y) C5T52 (Y') 0.6 72 jam 95.068 93.162 188.23 94.115
Total
2292.474 2314.794 4607.267 2303.634


FK = (

)
2
/np
= (4607.267)
2
/(2)(25) = 21226913.38 / 50 = 424538.2675
JKT =


FK
= (84.460
2
+ + 93.162
2
) 424538.2675 = 573.8804976
123



JKP =

2
/n - FK
= (170.084
2
/2 + + 188.23
2
/ 2) - 424538.2675
= 425047.2013 - 424538.2675 = 508.9337464
JKG = JKT JKP
= 573.8804976- 508.9337464 = 64.94675126


SK db JK KT F Hitung F Tabel
Perlakuan 24 508.933746 21.205573 8.16268
1.96
(0.05)
Galat Percobaan 25 64.9467513 2.5978701
TOTAL 49 573.880498

Berdasarkan analisis ragam di atas F hitung > F tabel (8,16) dan (1,96), maka
tolak H
0
dan dapat disimpulkan bahwa sakarifikasi dengan penambahan konsentrasi
enzim dan lama sakarifikasi berpengaruh sangat nyata (p< 0,05) terhadap kadar DE sirup
glukosa, sehingga dilakukan pengujian lebih lanjut dengan uji BNT untuk mengetahui
perlakuan mana yang berpengaruh.

BNT (0.05) =
(0.01/2)
(db galat) 2 /
=
(0.01/2)
(25) 22.5978701/2
=
(0.005)
(25) 1,972
= 2,787 (1,612)
= 4.492






124



Lanjutan Lampiran 9
Perlakuan dan nilai tengah
Perlakuan dan nilai tengah
A F B G K P C Q U
85.04
86.69 86.87 87.58 87.94 88.53 91.04 91.44 91.56
A
85.04
0 1.646 1.825 2.535 2.898 3.492 5.994* 6.398* 6.522*
F 86.69 0 0.179 0.889 1.252 1.846 4.349 4.753* 4.876*
B 86.87 0 0.71 1.073 1.667 4.169 4.574* 4.697*
G 87.58 0 0.363 0.957 3.459 3.864 3.987
K 87.94 0 0.594 3.096 3.501 3.624
P 88.53 0 2.502 2.907 3.03
C 91.04 0 0.404 0.528
Q 91.44 0 0.123
U 91.56 0
R 92.27
D 92.47
L 92.61
H 92.67
E 92.67
W 93.2
Y 94.11
X 94.33
M 94.43
N 95.28
S 95.28
T 95.28
O 95.5
V 95.5
I 95.61
J 95.72

Keterangan:
Tanda *, yang berarti berbeda nyata pada taraf nyata = 0.05



125



Lanjutan Lampiran 9
Perlakuan dan nilai tengah
Perlakuan dan nilai tengah
R D L H E W Y X M
92.27 92.47 92.61 92.67 92.67 93.2 94.11 94.33 94.43
A
85.04
7.228* 7.432* 7.567* 7.631* 7.625* 8.16* 9.073* 9.292* 9.391*
F 86.69 5.583* 5.787* 5.921* 5.985* 5.979* 6.514* 7.427* 7.646* 7.745*
B 86.87 5.404* 5.608* 5.742* 5.806* 5.806* 6.335* 7.248* 7.467* 7.566*
G 87.58 4.694* 4.898* 5.032* 5.096* 5.09* 5.625* 6.538* 6.757* 6.856*
K 87.94 4.331 4.535* 4.669* 4.733* 4.727* 5.262* 6.175* 6.394* 6.493*
P 88.53 3.737 3.941 4.075 4.139 4.133 4.668* 5.581* 5.8* 5.899*
C 91.04 1.234 1.438 1.573 1.637 1.631 2.166 3.079 3.297 3.397
Q 91.44 0.83 1.034 1.168 1.233 1.227 1.761 2.675 2.893 2.992
U 91.56 0.707 0.911 1.045 1.109 1.103 1.638 2.551 2.77 2.869
R 92.27 0 0.204 0.338 0.402 0.397 0.931 1.845 2.063 2.162
D 92.47 0 0.134 0.199 0.193 0.727 1.641 1.859 1.958
L 92.61 0 0.064 0.058 0.593 1.506 1.725 1.824
H 92.67 0 0 0.529 1.442 1.661 1.76
E 92.67 0 0.535 1.448 1.666 1.766
W 93.2 0 0.913 1.132 1.231
Y 94.11 0 0.218 0.318
X 94.33 0 0.099
M 94.43 0
N 95.28
S 95.28
T 95.28
O 95.5
V 95.5
I 95.61
J 95.72

Keterangan:
Tanda *, yang berarti berbeda nyata pada taraf nyata = 0.05



126



Lanjutan Lampiran 9
Perlakuan dan nilai tengah
Perlakuan dan nilai tengah
N S T O V I J
95.28 95.28 95.28 95.5 95.5 95.61 95.72
A
85.04
10.24* 10.24* 10.24* 10.46* 10.46* 10.56* 10.67*
F 86.69 8.596* 8.596* 8.596* 8.813* 8.813* 8.919* 9.028*
B 86.87 8.417* 8.417* 8.417* 8.634* 8.634* 8.74* 8.849*
G 87.58 7.707* 7.707* 7.707* 7.924* 7.924* 8.03* 8.139*
K 87.94 7.344* 7.344* 7.344* 7.561* 7.561* 7.667* 7.776*
P 88.53 6.75* 6.75* 6.75* 6.967* 6.967* 7.073* 7.182*
C 91.04 4.247 4.247 4.247 4.464 4.464 4.571* 4.679*
Q 91.44 3.843 3.843 3.843 4.06 4.06 4.166 4.275
U 91.56 3.72 3.72 3.72 3.937 3.937 4.043 4.152
R 92.27 3.013 3.013 3.013 3.23 3.23 3.336 3.445
D 92.47 2.809 2.809 2.809 3.026 3.026 3.132 3.241
L 92.61 2.675 2.675 2.675 2.892 2.892 2.998 3.107
H 92.67 2.61 2.61 2.61 2.827 2.827 2.934 3.043
E 92.67 2.616 2.616 2.616 2.833 2.833 2.94 3.048
W 93.2 2.082 2.082 2.082 2.299 2.299 2.405 2.514
Y 94.11 1.168 1.168 1.168 1.385 1.385 1.492 1.6
X 94.33 0.95 0.95 0.95 1.167 1.167 1.273 1.382
M 94.43 0.851 0.851 0.851 1.068 1.068 1.174 1.283
N 95.28 0 0 0 0.217 0.217 0.323 0.432
S 95.28 0 0 0.217 0.217 0.323 0.432
T 95.28 0 0.217 0.217 0.323 0.432
O 95.5 0 0 0.106 0.215
V 95.5 0 0.106 0.215
I 95.61 0 0.109
J 95.72 0

Keterangan:
Tanda *, yang berarti berbeda nyata pada taraf nyata = 0.05



127



Lampiran 10. Hasil Analisis Ragam (Two Way Anova) pengaruh konsentrasi enzim
dan lama sakarifikasi terhadap kadar Dextrose equivalent (DE)


UNIANOVA
KadarDE BY KonsentrasiEnzim Lamasakarifikasi
/METHOD = SSTYPE(3)
/INTERCEPT = INCLUDE
/POSTHOC = KonsentrasiEnzim Lamasakarifikasi ( TUKEY DUNCAN BONFERRONI
)
/EMMEANS = TABLES(KonsentrasiEnzim)
/EMMEANS = TABLES(Lamasakarifikasi)
/EMMEANS = TABLES(KonsentrasiEnzim*Lamasakarifikasi)
/PRINT = HOMOGENEITY
/CRITERIA = ALPHA(.05)
/DESIGN = KonsentrasiEnzim Lamasakarifikasi KonsentrasiEnzim
*Lamasakarifikasi .

Univariate Analysis of Variance

[DataSet0]








Between-Subjects Factors
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
.20
.30
.40
.50
.60
KonsentrasiEnzim
24.00
36.00
48.00
60.00
72.00
Lamasakarifikasi
N
Levene's Test of Equality of Error Variances
a
Dependent Variable: KadarDE
. 24 25 .
F df1 df2 Sig.
Tests the null hypothesis that the error variance of the
dependent variable is equal across groups.
Design:
Intercept+KonsentrasiEnzim+Lamasakarifikasi+
KonsentrasiEnzim * Lamasakarifikasi
a.
128



Lanjutan Lampiran 10


Estimated Marginal Means










Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: KadarDE
508.934
a
24 21.206 8.163 .000
424538.268 1 424538.268 163417.8 .000
103.762 4 25.940 9.985 .000
320.322 4 80.080 30.825 .000
84.850 16 5.303 2.041 .053
64.947 25 2.598
425112.148 50
573.880 49
Source
Corrected Model
Intercept
KonsentrasiEnzim
Lamasakarifikasi
KonsentrasiEnzim *
Lamasakarifikasi
Error
Total
Corrected Total
Type III Sum
of Squares df Mean Square F Sig.
R Squared = .887 (Adjusted R Squared = .778)
a.
1. KonsentrasiEnzim
Dependent Variable: KadarDE
89.617 .510 88.567 90.667
91.652 .510 90.602 92.702
93.153 .510 92.103 94.203
92.562 .510 91.512 93.612
93.743 .510 92.693 94.793
KonsentrasiEnzim
.20
.30
.40
.50
.60
Mean Std. Error Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval
2. Lamasakarifikasi
Dependent Variable: KadarDE
87.953 .510 86.903 89.003
90.798 .510 89.749 91.848
92.723 .510 91.673 93.772
94.596 .510 93.546 95.646
94.656 .510 93.606 95.706
Lamasakarifikasi
24.00
36.00
48.00
60.00
72.00
Mean Std. Error Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval
129



Lanjutan Lampiran 10













3. KonsentrasiEnzim * Lamasakarifikasi
Dependent Variable: KadarDE
85.042 1.140 82.695 87.389
86.867 1.140 84.519 89.214
91.036 1.140 88.689 93.383
92.474 1.140 90.127 94.822
92.667 1.140 90.320 95.014
86.687 1.140 84.340 89.035
87.577 1.140 85.229 89.924
92.673 1.140 90.326 95.020
95.607 1.140 93.259 97.954
95.715 1.140 93.368 98.063
87.940 1.140 85.592 90.287
92.609 1.140 90.261 94.956
94.433 1.140 92.085 96.780
95.283 1.140 92.936 97.631
95.500 1.140 93.153 97.848
88.534 1.140 86.186 90.881
91.440 1.140 89.093 93.788
92.270 1.140 89.923 94.618
95.283 1.140 92.936 97.631
95.283 1.140 92.936 97.631
91.564 1.140 89.216 93.911
95.500 1.140 93.153 97.848
93.202 1.140 90.854 95.549
94.333 1.140 91.986 96.681
94.115 1.140 91.768 96.462
Lamasakarifikasi
24.00
36.00
48.00
60.00
72.00
24.00
36.00
48.00
60.00
72.00
24.00
36.00
48.00
60.00
72.00
24.00
36.00
48.00
60.00
72.00
24.00
36.00
48.00
60.00
72.00
KonsentrasiEnzim
.20
.30
.40
.50
.60
Mean Std. Error Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval
130



Lanjutan Lampiran 10
Post Hoc Tests
KonsentrasiEnzim






Multiple Comparisons
Dependent Variable: KadarDE
-2.0347 .72081 .064 -4.1516 .0823
-3.5357* .72081 .000 -5.6527 -1.4188
-2.9450* .72081 .003 -5.0620 -.8281
-4.1257* .72081 .000 -6.2426 -2.0087
2.0347 .72081 .064 -.0823 4.1516
-1.5011 .72081 .259 -3.6180 .6159
-.9103 .72081 .715 -3.0273 1.2066
-2.0910 .72081 .054 -4.2079 .0259
3.5357* .72081 .000 1.4188 5.6527
1.5011 .72081 .259 -.6159 3.6180
.5907 .72081 .922 -1.5262 2.7077
-.5899 .72081 .922 -2.7069 1.5270
2.9450* .72081 .003 .8281 5.0620
.9103 .72081 .715 -1.2066 3.0273
-.5907 .72081 .922 -2.7077 1.5262
-1.1807 .72081 .488 -3.2976 .9363
4.1257* .72081 .000 2.0087 6.2426
2.0910 .72081 .054 -.0259 4.2079
.5899 .72081 .922 -1.5270 2.7069
1.1807 .72081 .488 -.9363 3.2976
-2.0347 .72081 .092 -4.2535 .1841
-3.5357* .72081 .000 -5.7546 -1.3169
-2.9450* .72081 .004 -5.1638 -.7262
-4.1257* .72081 .000 -6.3445 -1.9069
2.0347 .72081 .092 -.1841 4.2535
-1.5011 .72081 .477 -3.7199 .7177
-.9103 .72081 1.000 -3.1292 1.3085
-2.0910 .72081 .077 -4.3098 .1278
3.5357* .72081 .000 1.3169 5.7546
1.5011 .72081 .477 -.7177 3.7199
.5907 .72081 1.000 -1.6281 2.8095
-.5899 .72081 1.000 -2.8087 1.6289
2.9450* .72081 .004 .7262 5.1638
.9103 .72081 1.000 -1.3085 3.1292
-.5907 .72081 1.000 -2.8095 1.6281
-1.1807 .72081 1.000 -3.3995 1.0381
4.1257* .72081 .000 1.9069 6.3445
2.0910 .72081 .077 -.1278 4.3098
.5899 .72081 1.000 -1.6289 2.8087
1.1807 .72081 1.000 -1.0381 3.3995
(J) KonsentrasiEnzim
.30
.40
.50
.60
.20
.40
.50
.60
.20
.30
.50
.60
.20
.30
.40
.60
.20
.30
.40
.50
.30
.40
.50
.60
.20
.40
.50
.60
.20
.30
.50
.60
.20
.30
.40
.60
.20
.30
.40
.50
(I) KonsentrasiEnzim
.20
.30
.40
.50
.60
.20
.30
.40
.50
.60
Tukey HSD
Bonferroni
Mean
Difference
(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval
Based on observed means.
The mean difference is significant at the .05 level. *.
131



Lanjutan Lampiran 10
Homogeneous Subsets


















Lanjutan Lampiran 10
Lamasakarifikasi

KadarDE
10 89.6171
10 91.6518 91.6518
10 92.5621
10 93.1529
10 93.7428
.064 .054
10 89.6171
10 91.6518
10 92.5621 92.5621
10 93.1529 93.1529
10 93.7428
1.000 .059 .133
KonsentrasiEnzim
.20
.30
.50
.40
.60
Sig.
.20
.30
.50
.40
.60
Sig.
Tukey HSD
a,b
Duncan
a,b
N 1 2 3
Subset
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 2.598.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 10.000.
a.
Alpha = .05.
b.
132












Multiple Comparisons
Dependent Variable: KadarDE
-2.8452* .72081 .005 -4.9622 -.7283
-4.7695* .72081 .000 -6.8864 -2.6525
-6.6429* .72081 .000 -8.7599 -4.5260
-6.7030* .72081 .000 -8.8199 -4.5860
2.8452* .72081 .005 .7283 4.9622
-1.9242 .72081 .088 -4.0412 .1927
-3.7977* .72081 .000 -5.9146 -1.6808
-3.8577* .72081 .000 -5.9747 -1.7408
4.7695* .72081 .000 2.6525 6.8864
1.9242 .72081 .088 -.1927 4.0412
-1.8735 .72081 .101 -3.9904 .2435
-1.9335 .72081 .085 -4.0504 .1834
6.6429* .72081 .000 4.5260 8.7599
3.7977* .72081 .000 1.6808 5.9146
1.8735 .72081 .101 -.2435 3.9904
-.0600 .72081 1.000 -2.1770 2.0569
6.7030* .72081 .000 4.5860 8.8199
3.8577* .72081 .000 1.7408 5.9747
1.9335 .72081 .085 -.1834 4.0504
.0600 .72081 1.000 -2.0569 2.1770
-2.8452* .72081 .006 -5.0641 -.6264
-4.7695* .72081 .000 -6.9883 -2.5506
-6.6429* .72081 .000 -8.8618 -4.4241
-6.7030* .72081 .000 -8.9218 -4.4842
2.8452* .72081 .006 .6264 5.0641
-1.9242 .72081 .132 -4.1430 .2946
-3.7977* .72081 .000 -6.0165 -1.5789
-3.8577* .72081 .000 -6.0765 -1.6389
4.7695* .72081 .000 2.5506 6.9883
1.9242 .72081 .132 -.2946 4.1430
-1.8735 .72081 .155 -4.0923 .3453
-1.9335 .72081 .128 -4.1523 .2853
6.6429* .72081 .000 4.4241 8.8618
3.7977* .72081 .000 1.5789 6.0165
1.8735 .72081 .155 -.3453 4.0923
-.0600 .72081 1.000 -2.2788 2.1588
6.7030* .72081 .000 4.4842 8.9218
3.8577* .72081 .000 1.6389 6.0765
1.9335 .72081 .128 -.2853 4.1523
.0600 .72081 1.000 -2.1588 2.2788
(J) Lamasakarifikasi
36.00
48.00
60.00
72.00
24.00
48.00
60.00
72.00
24.00
36.00
60.00
72.00
24.00
36.00
48.00
72.00
24.00
36.00
48.00
60.00
36.00
48.00
60.00
72.00
24.00
48.00
60.00
72.00
24.00
36.00
60.00
72.00
24.00
36.00
48.00
72.00
24.00
36.00
48.00
60.00
(I) Lamasakarifikasi
24.00
36.00
48.00
60.00
72.00
24.00
36.00
48.00
60.00
72.00
Tukey HSD
Bonferroni
Mean
Difference
(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval
Based on observed means.
The mean difference is significant at the .05 level.
*.
133



Lanjutan Lampiran 10
Homogeneous Subsets





















KadarDE
10 87.9532
10 90.7985
10 92.7227 92.7227
10 94.5962
10 94.6562
1.000 .088 .085
10 87.9532
10 90.7985
10 92.7227
10 94.5962
10 94.6562
1.000 1.000 1.000 .934
Lamasakarifikasi
24.00
36.00
48.00
60.00
72.00
Sig.
24.00
36.00
48.00
60.00
72.00
Sig.
Tukey HSD
a,b
Duncan
a,b
N 1 2 3 4
Subset
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 2.598.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 10.000.
a.
Alpha = .05.
b.
134



Lampiran 11. Penentuan Kadar DE Dengan Metode HPLC
a. Kromatogram sampel sirup glukosa









135



Lanjutan lampiran 11
b. Kromatogram Standar glukosa







136



Lanjutan lampiran 11
a. Perhitungan nilai glukosa dalam sampel hasil HPLC adalah:
1 1 2 2
4,069% 100 2 10
2
4,069% 100
10

2 40,69 %
b. Perbandingan nilai gula hasil analisa metode Lane Eynon dan hasil HPLC
sampel optimum:
Volume glukosa = 250 mL
Berat sampel = 1,5 gram
mL titran = 22,1
Faktor tabel = 49,5(hasil standarisasi larutan fehling dengan
dextrose p.a)

%
volume glukosa mLx faktor tabel mg
sampel titer mL Berat sampel g. 1000
100%
%
250 mLx 49.5 mg
22.1 mL 1,5 g. 1000
100%
% 37,33%
Jadi kesimpulanya adalah nilai % glukosa hasil HPLC (40,69%) lebih besar
dibandingkan dengan % glukosa dengan menggunakan metode Lane Eynon
(37,33%)









137



Lampiran 12. Dokumentasi

10.1 Proses likuifikasi

10.2 Proses sakarifikasi

10.3 Purifikasi

10.4 Sirup Glukosa setelah purifikasi

10.5 Titrasi penentuan Dextrose
Equivalent (DE)


10.6 Penentuan Dextrose dengan
Instrumen HPLC


138



Lampiran 13. Tabel Eynon-Lane
mL larutan gula
yang diperlukan
Faktor dekstrosa ~
mg dekstrosa dari 5 mL
larutan Fehling
mg dextrose per 100
mL

15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
49.1
49.2
49.3
49.3
49.4
49.5
49.5
49.6
49.7
49.8
49.8
49.9
49.9
50.0
50.0
50.1
50.2
50.2
50.3
50.3
50.4
50.4
50.5
50.5
50.6
50.6
50.7
50.7
50.8
50.8
50.9
50.9
51.0
51.0
51.0
51.1
327
307
289
274
260
247.4
235.8
225.5
216.1
207.4
199.3
191.8
184.9
178.5
172.5
167.0
161.8
156.9
152.4
148.0
143.9
140.0
136.4
132.9
129.6
126.5
123.6
120.8
118.1
115.5
113.0
110.6
108.4
106.2
104.1
102.2

Anda mungkin juga menyukai