Anda di halaman 1dari 16

Pengendalian Kualitas Non Dairy Creamer–Putri, dkk

Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 4 No 1 p.443-448 Januari 2016

PENGENDALIAN KUALITAS NON DAIRY CREAMER PADA KONDISI PROSES


PENGERINGAN SEMPROT DI PT. KIEVIT INDONESIA, SALATIGA: KAJIAN
PUSTAKA

Quality Control of Non Dairy Creamer to Drying Process Condition on Spray Dryer at
PT. Kievit Indonesia, Salatiga:

A Review Henita Listianing Raji Putri 1, Addiena Hidayati 1, Tri Dewanti Widyaningsih 1,
Novita Wijayanti 1, Jaya Mahar Maligan 1 1) Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, FTP
Universitas Brawijaya Malang Jl. Veteran, Malang *Penulis Korespondensi,

ABSTRAK Non dairy creamer merupakan produk emulsi lemak dalam air yang terbuat dari
minyak nabati dan digunakan sebagai bahan pengganti susu. PT. Kievit Indonesia merupakan
salah satu industri makanan di Indonesia yang memproduksi non dairy creamer. Non dairy
creamer berbentuk bubuk dan diproduksi menggunakan pengeringan semprot. Pengeringan
semprot memiliki kondisi proses pengeringan, antara lain suhu inlet, suhu outlet, differential
pressure, dan pressurenozzle. Kondisi proses pengeringan merupakan faktor yang mampu
mempengaruhi kualitas non dairy creamer. Parameter kualitas produk non dairy creamer
perlu untuk diperhatikan agar mendapatkan produk yang berkualitas tinggi parameter
tersebut, antara lain bulk density dan white spot. Tindakan yang dapat dilakukan untuk
mengendalikan parameter kualitas produk adalah pengendalian kualitas. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengendalikan kualitas produk non dairy creamer yang sering
mengalami out of specification. Pengendalian kualitas ini dilakukan dengan beberapa metode
yaitu Statistical Processing Control (SPC) dan Linear Discriminant Analysis (LDA).

Kata Kunci: Non Dairy Creamer, Pengendalian Kualitas, Pengeringan Semprot, PT. Kievit
Indonesia

ABSTRACT Non-dairy creamer is a product of fat in water emulsion made from vegetable
oils and used as a substitute for milk. PT. Kievit Indonesia is one of the food industry in
Indonesia which produce non-dairy creamer. Non-dairy creamer powder form and
manufactured using spray drying. Spray drying has a drying process condition, such as inlet
temperature, outlet temperature, differential pressure, and pressure nozzle. Drying process
conditions is a factor that can affect the quality of non dairy creamer product. Quality
parameter non-dairy creamer products need to be considered in order to obtain a high quality.
Action that can be done to control quality parameters of the product is quality control. The
purpose of this research is to control the quality of non-dairy creamer products that often
have out ouf specification. Quality control is done by several methods such as statistical
processing control (SPC) and linear discriminant analysis (LDA)

Keywords: Non Dairy Creamer, PT. Kievit Indonesia, Quality Control, Spray Drying
Pengendalian Kualitas Non Dairy Creamer–Putri, dkk
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 4 No 1 p.443-448 Januari 2016

PENDAHULUAN

Krimer nabati (non dairy creamer) disebut sebagai krimer tiruan yang dibuat berdasarkan
bahan penyusun berupa minyak nabati, protein, penstabil, emulsifier yang digabungkan
menjadi suatu larutan dan kemudian di keringkan dengan pengeringan semprot[1].dalam
industri makanan, dibutuhkan suatu standar parameter kualitas produk untuk mengatur dan
menjamin hasil yang produk atau jasa yang dihasilkan. Parameter kualitas yang dimiliki oleh
produk non dairy creamer, antara lain bulk density dan white spot. Bulk density merupakan
sifat fisik bahan pangan khusus biji-bijian, tepung-tepungan, dan serbuk. Bulk density adalah
perbandingan antara berat unit per volume dari sebuah powderdan biasanya dinyatakan dalam
bentuk g/100ml[2].white spot merupakan parameter kualitas non dairy creamer yang
berbentuk bintik putih dan muncul di permukaan campuran kopi dan krimer nabati.tindakan
yang dapat dilakukan untuk mengatur dan menjaga kualitas produk agar tetap masuk kedalam
standar parameter kualitas yaitu pengendalian kualitas. Pengendalian kualitas produk dapat
dilakukan dengan menggunakan beberapa metode, antara lain Statistical Processing Control
(SPC) yaitu alat bantu statistik dalam pengendalian mutu produk yang terdiri dari diagram
histogram, check sheet, diagram tulang ikan[3]. Analisis data yang digunakan untuk
mengetahui apakah tindakan pengendalian kualitas sudah tepat atau tidak adalah Linear
Discriminant Analysis (LDA). Analisis diskriminan adalah metode analisis multivariate yang
bertujuan untuk memisahkan dan mengalokasikan objek pengamatan ke dalam kelompok
sehingga setiap objek menjadi anggota dari salah satu kelompok dan tidak ada objek yang
menjadi anggota lebih dari satu kelompok[4].

Non Dairy Creamer

Non dairy creamer dipertimbangkan sebagai pengganti krimer berbahan baku susu, susu
evaporasi atau susu segar. Produk ini disebut sebagai krimer nonsusu atau krimer nabati
karena memanfaatkan minyak nabati sebagai bahan baku seperti halnya pemanfaatan lemak
susu dalam produk krimmer[5]. Kelebihan yang dimiliki oleh nondairy creamer lainnya
antara lain umur simpan produk yang lebih panjang, kemudahan dalam penyimpanan,
distribusi dan penanganan, selain itu non dairy creameraman bagi penderita laktosa
intolerance karena terbuat dari lemak nabati yang tidak mengandung laktosa[5].

Spray Dryer (Pengering Semprot)

Pengeringan semprot (spray drying) merupakan suatu proses perubahan bahan dari bentuk
cair ke bentuk partikel-partikel kering berupa tepung atau butiran dengan suatu proses
penyemprotan bahan ke dalam udara yang panas[6]. Pengeringan produk non dairy creamerdi
PT. Kievit Indonesia diproduksidengan alatpengeringan semprotjenis filtermat. Pengeringan
semprot filtermat ini meiliki kelebihan, antara lainmemiliki 10 buah nozzle, terdapat 2
sumber suhu inlet dan terdapat belt conveyor untuk melewatkan bubuk pada proses
selanjutnya. Kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh pengeringan semprot filtermat tersebut
membuat produk yang diproduksi menjadi lebih banyak dan cepat. Pengeringan semprot
filtermat ini efisien untuk memproduksi bubuk yang terdiri dari aglomerat yang besar,
mengandung tinggi lemak, berbahan dasar gula, produk yang terhidrolisis, produk yang
bersifat lengket, higroskopis, termoplastik dan efisien pula untuk produk fermentasi[7].
Pengendalian Kualitas Non Dairy Creamer–Putri, dkk
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 4 No 1 p.443-448 Januari 2016

Kondisi Proses Pengeringan

1. Suhu Inlet

Suhu udara masuk (suhu inlet) adalah suhu udara panas yang dialirkan dengan
kecepatan tinggi ke dalam ruangan pengeringan yang berfungsi untuk menguapkan
kandungan air pada droplet cair hasil dari atomiz[8].peningkatkan kapasitas produksi
dan kualitas produk dapat dilakukan dengan meningkatkan suhu inlet yang digunakan.
Peningkatan suhu inlet dapat mempercepat evaporasi kandungan air dari emulsi
sehingga produk yang dihasilkan lebih kering karena semakin banyak energi yang
tersedia untuk menguapkan air. Peningkatan suhu inlet juga mampu meningatkan
kapasitas produk yang diproduksikarena semakin cepat proses pengeringan emulsi
yang terjadi. Peningkatan suhu inlet pada kondisi proses pengeringan tidaklah selalu
memberikan dampak positif, namun juga meberikan dampak negatif. Peningkatan
suhu inlet mampu mempengaruhi kualitas akhir produk.semakin tinggi suhu inlet
yang digunakan maka semakin tinggi pula kesempatan produk non daiy creamer
mengalami denaturasi protein,dan kehilangan volatil yang diinginkan.
Terdenaturasinya protein pada produk non dairy creamer diduga sebagai penyebab
utama dalam timbulnya karakteristik white spot, dimana karakteristik white
spotmerupakan karakteristik yang tidak diinginkan keberadaannya. Peningkatan suhu
inlet yang berlebihan juga mampu mempengaruhi kualitas bulk density produk.
Semakin tinggi suhu inlet yang digunakan maka semakin rendah bulk density yang
dihasilkan. Peningkatan suhu pengeringan atau suhu inlet saat proses produksi produk
berlangsung dapat menyebabkan penurunan bulk density dan partikel density dari
suatu powder[9].

2. Suhu Outlet

Suhu otlet adalah suhu yang dikeluarkan dari dalam pengering untuk membawa air
yang diuapkan oleh produk. Jika suhu outlet terlalu rendah, partikel produk dalam
ruang pengering tidak akan menjadi cukup kering, dan memungkinkan partikel
lengket serta menyebabkan pemblokiran atau penyumbatan[10]. Suhu inlet diatur
dengan cara melakukan peningkatkan, maka pada suhu outlet pengaturan yang
dilakukan adalah penurunan suhu outlet.penurunan suhu outet yang digunakan selama
proses pengeringan diharapkan dapat menghasilkan produk yang kualitasnya tetap
bagus karena produk yang dihasilkan cepat dingin dan tidak mudah rusak.
Peningkatan suhu outlet menyebabkan pecahnya atau retaknya permukaan powder,
dan menyebabkan kebocoran. Retak pada permukaan tersebut menyebabkan
hilangnya kadar air pada powder dan digantikan dengan udara, yang mana hal
tersebut akan menyebabkan menurunnya bulk density[11].

3. Total Different Pressure

Total Differential Pressure adalah tekanan yang dihasilkan oleh fluida yang bergerak
dan diukur dengan cara membandingkan jumlah fluida sesudah dan sebelum masuk
ke blower fan dimana dengan perhitungan tersebut diharapkan dapat diketahui berapa
jumlah udara yang digunakan untuk mengeringkan powder. Semakin banyak jumlah
udara yang masuk kedalam chamber, maka semakin kencang juga aliran powder
didalamchamber. Jika aliran powder didalam chamber semakin kencang, hal ini
menyebabkan powder cepat turun ke bawah (belt), dan dikhawatirkan powder belum
Pengendalian Kualitas Non Dairy Creamer–Putri, dkk
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 4 No 1 p.443-448 Januari 2016

kering sempurna sehingga menyebabkan terjadinya gumpulan di dalam chamber.


Gumpalan yang merupakan gabungan antara partikel powder inilah yang mampu
menyebabkan rendahnya bulk density dan munculnya white spot dipermukaan larutan
kopi.

4. Pressure Nozzle

Pressure Nozzle adalah besarnya tekanan yang digunakan untuk menyemprotkan


emulsi menjadi droplet pada proses atomisasi. Letak nozzle ini berada di bagian atas
chamber, untuk spray dryer filtermat jumlah nozzle yang digunakan ada 10 buah oleh
karena itu, porses pembuatan creamer pada spray dryer filtermat lebih cepat dan
kapasitasnya lebih banyak dibandingkan dengan spray dryer konvensional. Semakin
kecil pressure nozzle yang digunakan maka semakin kecil ukuran droplet (ukuran
partikel) yang dihasilkan, dan semakin tinggi pula bulk density powder hal ini
dikarenakan bulk density powder dipengaruhi oleh ukuran partikel.

Parameter Kualitas

Parameter kualitas non dairy creamer harus tetap diperhatikan agar sesuai dengan standar
yang telah ditentukan dan agar tetap aman untuk dikonsumsi. Salah satu parameter kualitas
produk non dairy crèameryang sangat penting untuk diperhatikan adalah bulk density dan
white spot.

1. Bulk Density

Bulk density adalah parameter kualitas fisik yang dimiliki oleh produk biji-bijian,
terpung-tepungan, dan serbuk.bulk density adalah perbandingan antara berat unit per
volume dari sebuah powderdan biasanya dinyatakan dalam bentuk g/100 ml 2.
Industri makanan menginginkan bulk density yang tinggi agar mengurangi volume
kemasan dan mengurangi biaya pengiriman. Semakin tinggi bulk density powder
semakin kecil volume kemasan atau tempat penyimpanan yang dibutuhkan. Bulk
density suatu produk dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain kepadatan densitas,
jumlah udara yang terperangkap didalam partikel (occluded air), dan jumlah udara
yang ada diantara partikel (interstitial air) 2, selain faktor tersebut kondisi proses
pengerigan juga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kualitas tinggi
rendahnya bulk density produk, antara lain suhu inlet, dan suhu outlet.

2. White Spot

White spot merupakan salah satu parameter kualitas non dairy creamer yang
berbentuk bintik putih dan muncul di permukaan campuran kopi dan krimer nabati.
Jumlah white spot yang muncul dipermukaan larutan kopi dapat diklasifikasikan.suhu
transition glass dapat definisikan sebagai suhu dimana sistem amorf berubah dari
glassy (keras) menjadi elastis (rubbery state)[12]. Suhu ini terdapat pada bahan berupa
gula yang ditambahkan dalam krimer,diduga white spot disebabkan oleh terjadinya
glass transisi pada bahan gula saat proses pengeringan danterbentuknya deposit
krimer di dalam chamber.deposit krimer muncul karena kurangnya penyesuaian suhu
dan udara yang biasanya dihubungkan dengan pengaturan pengeluaran udara, dan
kadar air yang terlalu tinggi pada partikel sehingga mudah melekat pada chamber.
Pengeringan semprot membawa produk kering dalam kondisi amorf, dimana properti
Pengendalian Kualitas Non Dairy Creamer–Putri, dkk
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 4 No 1 p.443-448 Januari 2016

thermoplastik dan higroskopik produk yang dikeringkan dapat lengket pada dinging
pengering selama proses pengeringan[13].

BAHAN DAN METODE

Bahan

Bahan baku utama yang digunakan yaitu non dairy creamerberkadar lemak (±35%)
dan (±60%) yang merupakan produk krimer dari PT.Kievit Indonesia. Bahan
tambahan lainnya yaitu kopi hitam merek Nescafe dan air panas dengan suhu 100ºC.

Alat

Alat-alat yang digunakan yaitu neraca analitik (akuransi 0,1 g), glass Beaker 250 ml,
sendok makan, termometer (-10ºC-110 ºC), corong plastik, Gelas ukur 250ml merk
Engelsmann, Volumeter merk Engelsmann, tipe STAV 2003, alat statistik SPC (check
sheet, fishbone diagram, dan histogram).

Tahapan Penelitian

Tahapan penelitian ini dimulai dengan mencari jenis kerusakan yang terjadi pada
produk non dairy creamer kadar lemak 35% dan 60% dengan menggunakan metode
check sheet, lalu memilih salah satu karakteristik yang paling sering mengalami
keruskaan dengan metode diagram histogram, dan terkahir mencari faktor yang
mempengaruhi menggunakan diagram sebab-akibat. Tahapan penelitian dilajutkan
dengan analisis dengan menggunakan Analisis diskriminan linier untuk menntukan
kondisi proses yang tepat pada masing-masing produk, terakhir produk di analisis di
laboratorium kimia dan fisik.

Metode Analisis

Pengendalian mutu pangan digunakan pada proses analisis, pengenalan penyebab


keragaman produk dan perlu tidaknya tindakan koreksi terhadap proses produksi
diseluruh bagian agar dicapai produk bermutu baik dan seragam melalui bantuan
teknik statistical processing control (SPC)[14]. Beberapa alat yang digunakan pada
SPC, antara lain check sheet digunakan untuk mengumpulkan data kualitas produk
non dairy creamer, diagram histogram digunakan untuk membaca atau menjelaskan
data dengan cepat secara visual dalam bentuk grafis balok, dan diagram sebab akibat
(fishbone diagram) digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mungkin menjadi
penyebab munculnya masalah terhadap kualitas produk[15]. Pada fishbone diagram
terdapat beberapa faktor yang dibagi menjadi 5 kategori untuk analisis data yaitu
manusiayang perlu diperhatikan yaitu langkah yang jelas mengenai manajemen
sumber daya, untuk kategori mesin diharapkan ada jarak yang cukup untuk
mendapatkan keseimbangan antara keamanan dan faktor ekonomi,kategori
lingkungan, kategori metode yang dilihat dari sistem konfigurasi tertentu melalui
proses yang saling berkaitan berupa definisi keperluan analisis fungsional, sintesis,
optimasi,desain, tes, dan evaluasi, dan terkahir adalah kategori bahan yang dilihat dari
penetapan standar yang ditentukan perusahaan terhadap setiap bahan yang digunakan
dalam proses. Selain digunakan SPC juga digunakan metode analisis Linear
Discriminant Analysis (LDA). LDAmerupakan salah satu metode analisis logistik
Pengendalian Kualitas Non Dairy Creamer–Putri, dkk
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 4 No 1 p.443-448 Januari 2016

regeresi untuk teknik klasifikasi yang digunakan untuk memprediksi respon kualitatif
dari objek yang diamati[16].tujuan Analisis diskriminan linier adalah untuk
mengklasifikasikan objek ke salah satu dari dua atau lebih kelompok berdasarkan
serangkaian fitur yang menggambarkan kelas atau kelompok. Pada pengendalian
kualitas metode analisis diskriminan linier digunakan untuk menemukan kondisi
proses yang tepat pada suatu produk non dairy creamer sehingga didapatkan kondisi
kualitas produk yang sesuai dengan standar.

SIMPULAN

Non dairy creamer merupakan produk pengganti krimmer susu yang terbuat dari
minyak nabati terhidrogenasi. Produksi non dairy creamer menggunakan prinsip
pengeringan dengan alat pengeringan semprot jenis filtermat. Proses pengeringan
pada pengeringan semprot memiliki beberapa kondisi proses pengeringan, antara lain
suhu inlet, suhu outlet, differential pressure, dan pressure nozzle. Kondisi proses
pengeringan tersebut mampu mempengaruhi kualitas non dairy creamer khususnya
yaitu bulk density dan white spot, sehingga. Metode statistical processing control
(SPC) dan Linear Discriminant Analysis (LDA) merupakan metode yang digunakan
untuk pengendalian kualitas agar produk non dairy creamer yang dihasilkan sesuai
dengan standar yang telah ditentukan.

DAFTAR PUSTAKA

1) Kelly, P. M., Coffee Stability of Dried Creamers. Moorepark: The Science of


Farming and Food

2) Pisecky, J., Handbook of Milk Powder Manufacture. Niro, A/S. Denmark

3) Imamoto, T., Perivesical Abscess Caused By Migration Of A Fish Bonefrom The


Intestinal Tract. Dalam Fauziyah, Naily Aplikasi Fishbone Analysis Dalam
Meningkatkan Mutu Produksi Teh Pada PT. Rumpun SariKemuning, Kabupaten
Karanganyar. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret

4) Johnson, R. A., and Whichern, D. W., Applied Multivarate Statistical Analysis.


Sixth edition. Prentice-Hall, Inc. United States of America

5) Affandi, Y. M. S., M. S. Miskandar, I. N. Aini, and M. D. N. Habi Palm-Based


Non- Hydrogenated Creamer. Diakses pada 1 Oktober ) Master, K., Spray Drying
Hanbook. Jhon Willey dan Sons, New York

7) GEA Niro Filtermat Spray Dryer Successful Drying Of Delicate Food Products.
Denmark

8) Sembiring, P., Pengaruh Konsentrasi larutan Kopi dan Debit Aliran Udara Terhaap
Karakteristik Kopi Instan Hasil Spray Drying. Skripsi. Jurusan Teknologi Pertanian.
Fakultas pertanian. Universitas Padjadjaran. Jatinagor

9) Walton, D. E., The Morphology of Spray-dried Particles. A Qualitative View.


Drying Technology. 18, 1943-1986
Pengendalian Kualitas Non Dairy Creamer–Putri, dkk
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 4 No 1 p.443-448 Januari 2016

10 ) Kent, J and McLeod, J., Spray Dryer Optimization.International Powder & Bulk
Soilds Conferrence

11) Nijdam, J.J. and T.A.G. Langrish An Investigation of Milk Powders Produced By
Laboratory-Scale Spray Dryer. Drying Technology. 23(5):1049-1056

12) Mani, S., Sticky Issues on Spray Drying of Fruit Juices. Canada: ASAE Meeting
Presentation. Mbks 02-201

13) Vega, C., 2004. Spray Drying of High-sucrose Dairy Emulsions: Feasibility and
Physicochemical Properties. Canada: Dept. of Food Science, University of
Guelph.Canada

14) Saputro, E., Analisis Mutu Fisik, Kimia Dan Organoleptik Susu Bubuk SGM 3
Madu PT. Sari Husada Yogyakarta. Program Studi Teknologi Hasil Ternak. Fakultas
Perternakan. Institut Pertanian Bogor

15) Muhandri, T. dan Kadarisman Sistem Jaminan Mutu Industri Pangan. Institut
Pertanian Bogor Press. Bogor

16) James, G., An Introduction to Statistical Learning with Applications in R.


Springer Texts in Statistics. New York: USA

https://www.scribd.com/doc/304920316/4-BAB-I-II-III-DAPUS-FIX

https://www.scribd.com/document/389032360/krimer
Pengendalian Kualitas Non Dairy Creamer–Putri, dkk
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 4 No 1 p.443-448 Januari 2016

Cleaning In Place
POSTED BY ACHMAD SULAIMAN POSTED ON 18.05 WITH NO COMMENTS

Program Cleaning dan Sanitasi adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan apalagi
diabaikan dalam industri pangan. Kebersihan suatu tempat dan peralatan-peralatan
pendukung lainnya dalam suatu aktivitas kegiatan yang mutlak harus diperhatikan.
Program kebersihan (cleaning) tidak boleh berhenti pada tahap kebersihan secara visual
saja, tetapi harus berlanjut ke tahap membunuh bakteri yang masih tertinggal pada bagian
tertentu suatu tempat atau peralatan. Program lanjutan ini bisa kita sebut sebagai Sanitasi
(sanitation).

Program pembersihan dan sanitasi akan dapat dilaksanakan secara baik dan cepat serta
dengan hasil yang sesuai harapan jika bidang/ruang (scope)-nya relatif kecil atau
sederhana. Dinamika permasalahan akan timbul jika bidang/ruang (scope)-nya luas serta
bervariasi.

Pemilihan suatu metode pembersihan dan Sanitasi hendaklah mencermati hal- hal berikut:

 Bersifat apakah kotoran itu , organik atau anorganik.

 Permukaan benda yang terkontaminasi kotoran tersebut.

 Luas atau banyaknya kotoran yang membebani.

 Frekuensi terjadinya kotoran itu.

 Lingkungan yang dekat dengan kotoran yang hendak dibersihkan.

Pada gilirannya kita akan menentukan metode dan atau sanitasi serta bahan pembersih
seperti dibawah ini :

 Cara manual/conventional.

 Cara CIP (Cleaning In Place).

 Paduan antara cara manual dan CIP.

 Pemilihan chemical yang tepat.

Pada cara Manual ini masih dapat dibagi seperti: Scrubbing/wiping, soaking dan fogging
atau kombinasi antaranya.

Penulis di sini ingin menggambarkan berdasarkan pengalaman empiris mengenai bahan


pembersih (fine blend chemical) yang berbasis air (water base). Karena ada keterbatasan
penggunaan water base ini -seperti pada pabrik coklat-, jadi pada pabrik coklat ini harus ada
treatment khusus terutama pada ruangan produksi .
Pengendalian Kualitas Non Dairy Creamer–Putri, dkk
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 4 No 1 p.443-448 Januari 2016

Jika kita bicara mengenai cleaning secara manual, maka langkah yang akan kita lalui adalah
:

 Bilas (rinse)

 Cuci (main clean)

 Bilas akhir (final rinse)

 Sanitasi (additional sanitation)

Pada tingkat pembersihan dan sanitasi secara manual ini, kita tidak dihadapkan pada
kesulitan yang berarti atau kesulitan itu menjadi relatif mudah asalkan pemilihan akan suatu
bahan pembersihnya benar dan umumnya industri sudah paham dengan cara ini yakni
aktivitas penggosokan/pengelapan dengan sikat dan kain.

Kesulitan yang cukup berarti akan dijumpai jika sudah masuk ke dalam program
pembersihan CIP (Cleaning In Place). Pada program ini mutlak diperlukan ketepatan akan
pemilihan bahan pembersih dan sanitasi, karena proses pembersihan dilakukan dengan
mekanisme yang sistemetik dan tanpa disentuh oleh tangan manusia. Selain itu ada pula
unsur time, temperature, chemical concentration dan mechanical action yang akan bekerja
secara otomatis. Dan tidak jarang kita menjumpai tidak hanya satu jenis bahan pembersih
saja yang dipakai untuk membersihkan permukaan suatu bidang.

Ada beberapa tipe dalam program CIP, antara lain:

 3 langkah (step)

 5 langkah (step)

 7 langkah (step)

CIP dengan 3 Step terdiri dari

 Bilas (rinse)

 Cuci (cleaning) , dengan alkali atau acid

 Bilas akhir (final rinse )

Jika memakai CIP dengan 5 Step terdiri dari :

 Bilas (first rinse)

 Cuci (cleaning ) dengan alkali atau acid

 Bilas (intermediate rinse)

 Sanitasi (sanitize)

 Bilas (final rinse)


Pengendalian Kualitas Non Dairy Creamer–Putri, dkk
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 4 No 1 p.443-448 Januari 2016

Sedangkan apabila menerapkan CIP dengan 7 langkah, maka akan dilakukan:

 Bilas (first rinse)

 Cuci (cleaning ) dengan alkali

 Bilas (intermediate rinse)

 Cuci (cleaning ) dengan acid

 Bilas (pre final rinse)

 Sanitasi (sanitize)

 Bilas (final rinse)

Jika kita amati dari aktifitas pembersihan dan sanitasi, baik yang memakai cara manual
maupun CIP (Cleaning In Place) atau boleh juga disebut sebagai CCC (Closed Circuit
Cleaning), maka sentuhan akhir pada kegiatan ini adalah sanitasi sebelum final rinse.

Pos Sanitasi akan menjadi sangat penting artinya dan juga menjadi parameter yang
signifikan bagi kesempurnaan/kelengkapan suatu proses pembersihan dan sanitasi yang
menjadi harapan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.

Pemilihan suatu bahan sanitasi saat ini hendaklah dipertimbangkan dengan baik, bijak dan
mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :

 Biodegradable

 Halal

 Tidak mengikut sertakan bahan yang tidak diperkenankan seperti formalin/formaldehyde

Adalah suatu keputusan yang tepat dan bijak jika kita beralih untuk memilih bahan sanitasi
yang dikombinasi dengan chitosan.

CHITOSAN atau chitin seperti kita umumnya telah mengetahui adalah bahan yang terbuat
dari extract kulit kepiting dan udang (baca Artikel Chitosan New Biotechnology Sanitizer–
FOODREVIEW INDONESIA edisi Agustus 2009, hal.34 ).

Chitosan sudah mulai cukup populer dikonsumsi manusia seperti diikut sertakan pada Food
Supplement, Chemistry, WWTP (Waste Water Treatment Plant), dan sebagainya. Chitosan
mempunyai 2 gugus sekalian yakni disamping Gugus NH2 juga mengandung Gugus COO-.
Gugus NH2 mempunyai fungsi untuk menghambat atau mencegah yeast dan mold,
sedangkan Gugus COO- memperkaya fungsi tambahan yakni untuk mencegah dan
membunuh bakteri Gram + (Positif) dan Gram – (Negatif).

Secara umum 2 Gugus yang dimiliki didalam kandungan chitosan saling berkolaborasi dan
melengkapi dengan baik. Jika pada musim hujan dengan tingkat kelembaban suhu tertentu
maka yang paling mungkin muncul secara signifikan adalah yeast dan mold, sedangkan
pada peralihan musim penghujan ke musim kemarau biasanya pola dominasi mikrobiologi
digantikan oleh Gram positif dan Gram Negatif seperti Staphylococcus aureus, Escherichia
coli dan Salmonella typhii.
Pengendalian Kualitas Non Dairy Creamer–Putri, dkk
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 4 No 1 p.443-448 Januari 2016

Penggunaan ATP Bioluminescence dalam Monitoring


Efektivitas Pembersihan-4
Ditulis pada 15/11/2013

ATP bioluminescence memberikan pengaruh yang sangat besar di industri makanan dalam
melakukan monitoring kebersihan permukaan. Penggunaan ATP bioluminescence dalam dunia
kesehatan masih kurang mapan, namun teknik ini mulai mendapatkan penerimaan, terutama
ketika digunakan untuk melakukan penilaian efektifitas metode pembersihan yang ada atau
metode pembersihan yang dimodifikasi. Metode pembersihan yang dimodifikasi termasuk
penggunaan metode baru atau bahan kimia yang baru. Metode baru memungkinkan adanya
kesamaan bahan kimia yang digunakan dalam pengukuran ATP, sehingga dimungkinakn dapat
menurunkan atau menaikkan pengukuran ATP. Proses pembersihan yang dimodifikasi yang
dinilai pada penelitian ini adalah kain ultramicrofiber yang dibasahi dengan formulasi biocidal
yang mengandung tembaga. Meskipun formula biocidal baru ini memberikan penurunan sinyal
nyala ATP sebesar 9,5 % namun derajat penurunan secara statistik tidak signifikan (P > .1).
Sehingga penurunan nilai ATP yang didapatkan dari proses pembersihan dapat dianggap sebagai
penurunan yang benar.
Efektivitas metode pembersihan yang termodifikasi dinilai selama periode 40 minggu. Setelah
pengaruh awal pada tingkatan ATP ditentukan, pengamatan yang terus menerus dilakukan untuk
memastikan proses pencucian tidak memiliki efek yang merusak kain ultrimcrofiber dan tim
kebersihan secara konsisten dan intensif melakukan proses pembersihan. Hasil menunjukkan
metode pembersihan yang dimodifikasi merupakan metode yang efektif dalam menghilangkan
bioburden di permukaan di sekitar pasien.
Meskipun metode pembersihan yang dimodifikasi dapat mengurangi tingkatan ATP, 79%
permukaan yang diuji telah memiliki RLU 500 sebelum dibersihkan dan 58% permukaan yang
diuji telah memiliki RLU 250 sebelum dibersihkan, sehingga dapat dianggap cukup bersih
sebelum dibersihkan oleh tim kebersihan. Nilai patokan awal yang diusulkan dapat memberikan
standard ketika melakukan penilaian metode pembersihan dan ketika melakukan penilaian
metode pembersihan yang dimodifikasi, kebersihan awal dari lingkungan (misal tingkatan
kebersihan rutin menggunakan prosedur pembersihan normal) harus dipertimbangkan. Selama
penelitian ini, tingkatan ATP yang didapat dari metode pembersihan yang dimodifikasi secara
langsung dibandingkan dengan nilai patokan yang telah ditentukan. Efektivitas dengan metode
pembersihan yang dimodifikasi terlalu dibesar-besarkan. Meskipun 90% – 95% dari permukaan
dianggap bersih menggunakan metode pembersihan modifikasi 20% dari permukaan termasuk
dalam kondisi yang tidak dapat diterima setelah dibersihkan oleh tim kebersihan menggunakan
metode pembersihan modifikasi. Permukaan yang tidak dapat dibersihkan hingga mencapai
standart yang dapat diterima termasuk pegangan tempat tidur dan pegangan laci penyimpanan.
Penelitian ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Lewis et al, yang memberikan rekomendasi di
ruangan ICU, RLU sebesar 250 adalah dapat dicapai dan merupakan nilai patokan yang tepat.
Meskipun begitu, nilai target tidak selalu sesuai di semua lingkungan rumah sakit. Penentuan
nilai ATP dari permukaan diluar ruangan ICU secara umum akan lebih tinggi dari permukaan di
dalam ICU. Direkomendasikan bahwa di ruangan lain yang lebih ramai maka nilai RLU sebesar
500 adalah standar patokan yang dapat dicapai. Akan menjadi bahaya bagi rumah sakit, apabila
nilai patokan diatur terlalu rendah. Rumah sakit akan dipaksa untuk melakukan pembersihan yang
tidak perlu, menghabiskan waktu, uang, dan tenaga. Dibandingkan menangani semua ruangan
sebagai satu kesatuan, ruangan yang berbeda mungkin perlu diperlakukan sebagai ruangan yang
berbeda dan target pembersihan dapat diatur sesuai dengan jenis ruangan.
Nilai patokan juga harus direvisi apabila sistem ATP bioluminescence lainnya digunakan. Sistem
Clean-Trace ATP (3M Health Care Ltd) berbeda secara signifikan bila dibandingkan dengan
sistem Hygiena system (Hygiena International Ltd) dalam hal kimia reagen, sistem deteksi
Pengendalian Kualitas Non Dairy Creamer–Putri, dkk
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 4 No 1 p.443-448 Januari 2016

cahaya, dan unit skala yang menunjukkan hasil. Pada sistem menggunakan Hygiena nilai 100
RLU bisa dikatakan sebagai keadaan yang tidak dapat diterima. Hasil yang didapatkan
menggunakan sistem ATP yang berbeda tidak bisa saling dibandingkan, sehingga pentingnya
melakukan dokumentasi protokol penilaian proses pembersihan untuk mencegah staf manajemen
untuk mengganti sistem ATP sesuai dengan yang disenangi. Data awal yang dikembangkan
menjadi tidak bermakna apabila protokol yang baru tidak memberikan hasil yang ekivalen.
Hasil yang didapatkan dari penelitian ini menunjukkan pembersihan yang efektif di lingkungan
ICU secara konsisten menurunkan nilai ATP menuju nilai yang sangat rendah. Metode
pembersihan yang dimodifikasi lebih efektif dalam mengurangi jumlah bioburden dibandingkan
pembersihan normal yang dilakukan oleh perawat. Meskipun begitu, masih tidak diketahui bahwa
peningkatan hasil pembersihan apakah disebabkan oleh peningkatan perhatian dan kualitas kerja
oleh tim kebersihan dan atau karena peningkatan efektivitas dari jenis produk yang digunakan.
Harus menjadi perhatian adalah sensitivitas dari penilaian ATP bioluminescence, pada keadaan
tidak terdeteksinya ATP nonmikrobiologi, mikroorganisme dalam jumlah kecil dapat terlihat.
Meticillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA), glycopeptida-resistant enterococci dan
Enterobacteriaceae telah terisolasi dari permukaan yang dianggap bersih menggunakan ATP
bioluminescence. Dengan demikian, hasil pengujian dari ATP bioluminescence bukan merupakan
uji non-mikrobiologi. Apabila status mikrobiologi harus terjamin, maka pengamatan harus
menggunakan uji mikrobiologis.
Pemantauan visual, metode ATP bioluminescence dan pengujian mikrobiologis merupakan
metode yang melihat parameter yang berbeda. Sehingga tidak ada satu prosedur yang dapat
dengan sempurnya memberikan karakteristik kontaminasi pada permukaan. Metode yang berbeda
merupakan metode yang saling mengisi satu sama lain, dan implementasi dari strategi penilaian
pembersihan yang terintegrasi harus memastikan rumah sakit mampu memastikan prosedur
pembersihan dan disinfeksi efektif untuk saat ini dan masa yang akan datang.
Iklan
REPORT THIS AD

REPORT THIS AD

Dipublikasi di Hospital Life, Pencegahan & Pengendalian Infeksi


| Tag ATP, bioluminescence, cleaning, dalin, environment, ICU, lingkungan, pembersihan, PPI, rumah sakit
| 1 Balasan

Penggunaan ATP Bioluminescence dalam Monitoring


Efektivitas Pembersihan-3
Ditulis pada 15/11/2013

Sebelum dilakukan pembersihan oleh tim kebersihan, rerata kontaminasi pada permukaan yang
secara rutin dibersihkan menggunakan Actichlor Plus (Ecolab) dan alkohol 70% memberikan
nilai RLU masing-masing 584 RLU dan 495 RLU. Pada kedua kasus, penggunaan metode
pembersihan yang dimodifikasi secara signifikan mengurangi tingkatan kontaminasi pada
permukaan (P < 0,001). Secara keseluruhan, rerata pembacaan ATP dari permukaan lingkungan
sekitar pasien (n=396) berkurang secara signifikan dari 534 RLU menjadi 122 RLU setelah
metode pembersihan modifikasi (P < 0,001). Sekitar 95% dari permukaan yang dibersihkan oleh
tim kebersihan memiliki RLU kurang dari 500. Nilai RLU tersebut sesuai dengan patokan nilai
RLU yang dapat diterima dan dipertimbangkan bersih. Sekitar 90% dari permukaan juga dapat
diterima menggunakan patokan nilai RLU yang lebih tinggi, 250 RLU.
Pengendalian Kualitas Non Dairy Creamer–Putri, dkk
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 4 No 1 p.443-448 Januari 2016

Namun, terdapat kontaminasi permukaan yang terdeteksi pada 7 permukaan (2%) yang memiliki
RLU diatas 1000 RLU. Sebagai perbandingan sebelum pembersihan modifikasi 79% sampel
permukaan memiliki RLU 500 dan 58% sampel permukaan memiliki RLU 250 serta 10% sampel
permukaan memiliki RLU diatas 1000.

Hasil dari pengujian laboratorium yang melakukan penelitian adanya formulasi biocidal CuWB50
dapat menurunkan sinyal ATP sebesar 9,5%

Dipublikasi di Hospital Life, Pencegahan & Pengendalian Infeksi


| Tag ATP, bioluminescence, cleaning, dalin, environment, ICU, lingkungan, pembersihan, PPI, rumah sakit
| Tinggalkan Balasan

Penggunaan ATP Bioluminescence dalam Monitoring


Efektivitas Pembersihan-2
Ditulis pada 15/11/2013
Pengendalian Kualitas Non Dairy Creamer–Putri, dkk
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 4 No 1 p.443-448 Januari 2016

1. Metode Pembersihan Normal


Penelitian dengan pembersihan normal dilakukan di dua Intesive care unit (ICU) di dua rumah
sakit pengajaran. Pada kedua rumah sakit, perawat melakukan pembersihan di sekitar tempat
tidur pasien dan peralatan di sekitarnya satu kali setiap waktu kerja. Pembersihan menggunakan
lap basah menggunakan bahanyang berbeda. Satu unit ICU menggunakan Actichlor Plus
(deterjen dengan agen pelepas klorin 1000ppm, Ecolab) dan ICU lainnya menggunakan
semprotan alkohol 70%.
2. Metode Pembersihan Modifikasi
Tim kebersihan yang secara spesifik ditugaskan dan dilatih untuk membersihkan lingkungan di
sekitar pasien (pegangan tempat tidur, troli penyimpanan dan meja mayo) dan peralatan sekitar
pasien (syringe pump, ventilator, monitor) menggunakan kain Ultramicrofiber (Johnson-
DiverseyUK Ltd). Peningkatan energi mekanis yang ditimbulkan oleh helai-helai microfiber
dapat meningkatkan efektivitas pembersihan tanpa penggunaan deterjen. Meskipun begitu,
terdapat perhatian bahwa kain microfiber dapat menjadi alat persebaran mikroorganisme patogen
nosokomial. Pada penelitian in, untuk menghindari distribusi kembali organisme hidup selama
proses pembersihan, kain direndam dalam formulasi biocidal mengandung tembaga (CuWB50;
ICICS plc). Setiap lingkungan tempat tidur pasien dibagi menjadi 4 (empat) wilayah dengan
minimal menggunakan 1 (satu) kain microfiber untuk membersihkan lingkungan dan peralatan di
masing-masing wilayah. Setelah digunakan untuk pembersihan, semua kain microfiber
dibersihkan menggunakan pencucian dengan suhu 92oC, dikeringkan menggunakan panas dan
digunakan kembali setelah 24 jam.
3. Penilaian Efektivitas Pembersihan
Kemampuan pembersihan metode modifikasi untuk membersihkan lingkungan dan peralatan di
sekitar pasien dinilai menggunakan rerata dari ATP bioluminescence. Setiap minggu, selama 40
minggu, 10 permukaan di sekitar tempat tidur pasien yang dipilih secara acak dinilai
menggunakan swab Clean-Trace Surface ATPswabs (3M Health Care Ltd) . Swab dilakukan
sebelum pembersihan dan 10 menit setelah proses pembersihan modifikasi selesai dilakukan.
Meskipun terdapat variasi luas dan bentuk permukaan yang menghambat standarisasi penilaian,
area yang sama pada setiap permukaan dilakukan penilaian pada sebelum dan sesudah
pembersihan. Setiap swab dilakukan sesuai dengan instruksi pabrik dan diletakkan dalam Clean-
Pengendalian Kualitas Non Dairy Creamer–Putri, dkk
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 4 No 1 p.443-448 Januari 2016

Trace NG Luminometer (3M Health Care Ltd). Nilai RLU yang terbaca kemudian dicatat.
Penelitian menggunakan metode blind study sehingga tim kebersihantidak mengetahui sampel
tempat tidur dan area sekitarnya. Hasil yang didapatkan kemudian dibandingkan dengan nilai
patokan yang telah ditentukan.
4. Pengaruh Formulasi Biocidal terhadap Sinyal Nyala ATP Bioluminescence
Beberapa penelitian menunjukkan beberapa bahan kimia yang biasa digunakan dalam proses
pembersihan dapat menyebabkan penurunan sinyal lampu ATP. Pada beberapa kasus dapat
meningkatkan sinyal lampu ATP. Pada penelitian ini, percobaan di laboratorium dilakukan untuk
memastikan bahwa formulasi biocidal yang diikutkan dalam proses pembersihan tidak
mempengaruhi pengujian ATP bioluminescence, tidak menyebabkan kenaikan atau penurunan
pembacaan RLU.
Permukaan stainless steel ditandai seluas 10 cm x 10 cm persegi. Selanjutnya dilakukan
pembersihan menggunakan protokol yang tervalidasi. Menggunakan formulasi biocidal dengan
bahan tembaga (150mg/L elemen tembaga) disiapkan dengan menambahkan 50mL stok larutan
CuWB50 (30.000 mg/L of elemental copper; ICICS plc) ke dalam 10mL aquadest. Larutan ATP
1027 mol/L disiapkan dengan melakukan rekonstitusi tablet ATP freezedried (Clean-Trace
Surface Positive Control ATP;3M Health Care Ltd) dengan 500mL aquadest steril. Sebanyak 0,1
mL aquadest steril kemudian disebarkan ke area pengujian 100cm2 dan diuji menggunakan swab
ATP Clean-Trace. Segera setelah penggunaan swab, 10 µL larutan ATP dipipet ke tengah-tengah
kapas swab. Selanjutnya dilakukan aktivasi sesuai dengan instruksi pabrik dan pembacaan
dilakukan menggunakan Clean-Trace NG Luminometer. Pembacaan dilakukan dengan 10 kali
replikasi. Penelitian kemudian diulangi dengan mengganti aquadest steril dengan 0,1 mL larutan
biocidal elemen tembaga. Pengaruh CuWB50 pada sinyal nyala ATP bioluminescence dihitung
menggunakan persamaan ((Rerata nilai RLU yang didapatkan dari kontrol [air] – Rerata nilai
RLU yang didapatkan dari kontrol [CuWB50] / Rerata nilai RLU yang didapatkan dari kontrol
[air]) x 100.
Dipublikasi di Hospital Life, Pencegahan & Pengendalian Infeksi
| Tag ATP, bioluminescence, cleaning, dalin, environment, ICU, lingkungan, pembersihan, PPI, rumah sakit
| Tinggalkan Balasan

Penggunaan ATP Bioluminescence dalam Monitoring


Efektivitas Pembersihan-1
Ditulis pada 15/11/2013

Kebersihan rumah sakit merupakan faktor yang terkait dengan kasus infeksi nosokomial
(Hospital Acquired Infections – HAIs). Penelitian mengenai pembersihan dilakukan untuk
meningkatkan standard pembersihan, karena kegiatan pembersihan di lapangan yang kurang baik
dan tidak ditata dengan baik. Manajemen pembersihan yang baik harus meliputi pengamatan hasil
pembersihan yang mengikuti standar nasional. Staf rumah sakit harus memastikan bahwa rumah
sakit dalam keadaan bersih dan tetap terjaga dalam keadaan bersih.
Audit kebersihan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk melakukan pengamatan kualitas
kegiatan pembersihan rumah sakit. Namun kegiatan audit kebersihan ini menggunakan
pengamatan visual untuk melihat efektivitas kegiatan pembersihan. Pengamatan visual pada
sebuah permukaan dapat melihat pembersihan yang kurang baik dengan adanya darah yang
terlihat, potongan tubuh, debu dan makanan. Meskipun begitu pengamatan visual merupakan
pengamatan yang buruk dalam melihat efektivitas pembersihan. Rumah sakit membutuhkan
metode yang memberikan informasi pada kebersihan permukaan yang melebihi sensitifitas dan
subjektifitas pengamatan visual.
Adenosine triphosphate (ATP) terdapat di semua jenis material organik (makanan, bakteri, cairan
ubuh). Pendeteksian melalui ATP bioluminescence merupakan indikasi adanya kontaminasi
permukaan total (mikrobiologi dan non-mikrobiologi). Kemampuan untuk mendapatkan hasil
secara cepat menjadikan metode ATP bioluminescence memberikan pengaruh yang besar pada
Pengendalian Kualitas Non Dairy Creamer–Putri, dkk
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 4 No 1 p.443-448 Januari 2016

industri makanan. ATP bioluminescence dapat digunakan secara reguler dan berulang untuk
memberikan data kepada manajemen tingkatan kebersihan rumah sakit. Hasil yang sangat cepat
juga berarti apabila terdapat permasalahan terkait dengan pembersihan rumah sakit maka dapat
diketahui dan diselesaikan dengan cepat.
Penggunaan ATP bioluminescence pada lingkungan kesehatan pada jaman dahulu adalah sangat
terbatas. Namun di Inggris Raya, penggunaan Clean-Trace Clinical Hygiene Monitoring System
(3M Health Care Ltd) telah dilakukan tinjauan dan mendapatkan rekomendasi. Panel peninjau
memberikan alasan produk baru dapat meningkatkan pencegahan dan pengendalian infeksi. Panel
peninjau juga menyebutkan bahwa Clean-Trace Clinical Hygiene Monitoring System dapat
digunakan untuk mengukur kebersihan pada lingkungan klinis.
Penggunaan sistem ATP juga mempunyai kelemahan. Satu kali pengukuran menggunakan ATP
bioluminescence tidak dapat membedakan ATP mikrobiologi dan ATP non-mikrobiologi.
Sehingga metode ATP bioluminescence ini buka merupakan metode uji mikrobiologi. Beberapa
penelitian menunjukkan tidak ada korelasi antara hasil pengujian ATP bioluminescence dengan
teknik tradisional sampling mikrobiologi permukaan. Hasil penelitian ini menunjukkan jumlah
relatif kontaminasi mikrobiologi dan kontaminasi non-mikrobiologi tergantung pada jenis
kontaminasi permukaan yang ada. Meskipun begitu, hasil dari pengujian ATP bioluminescence
yang menunjukkan nilai ATP yang “tidak dapat diterima” tidak dapat dikorelasikan secara
langsung dengan tingkatan mikroorganisme yang “tidak dapat diterima”. Kemampuan dari proses
pembersihan untuk mengurangi semua kotoran organik (tingkatan ATP) menjadi tingkatan yang
“dapat diterima” dapat digunakan sebagai penanda kemampuan proses pembersihan dalam
mengurangi kontaminasi mikrobiologis. Proses pembersihan yang tidak dapat memberikan
tingkatan ATP yang rendah tidak mungkin untuk menghilangkan resiko patogen dari permukaan
dan kurang sesuai untuk mencapai tujuan pembersihan. Saat menggunakan ATP bioluminescence
sangat penting untuk menentukan batas tingkatan ATP yang dapat diterima. Batas ATP yang
dapat diterima menunjukkan pembersihan yang efektif.
Membuat patokan nilai ATP sebagai nilai yang dapat diterima dalam proses pembersihan telah
dilakukan penelitian. Griffith melakukan sampling pada berbagai macam permukaan pada
lingkungan rumah sakit yang berbeda-beda memberikan kesimpulan saat menggunakan Clean-
Trace ATP system (3M Health Care Ltd), nilai relative light units (RLU) sebesar 500 adalah nilai
patokan yang realistik. Griffith melakukan penelitiah dengan pembersihan yang sangat dasar, dan
memberikan hipotesis, dengan pembersihan yang lebih tertata dengan pembersihan yang
tervalidasi maka nilai pembacaan ATP bioluminescence yang lebih rendah dapat dicapai.
Pembuatan nilai patokan, dengan memberikan standar pembersihan yang objektif dan dapat
dicapai memungkinkan praktek pembersihan yang sudah dilakukan untuk secara terus menerus
dinilai dalam peningkatan efektivitas dan peningkatan kualitas program pembersihan. Patokan
nilai juga dapat digunakan sebagai penilaian metode pembersihan yang baru atau dimodifikasi.
Penelitian mengenai pembersihan lingkungan sekitar pasien di Intensive Care Unit dilakukan oleh
perawat. Pembersihan tidak diawasi dan perawat tidak melihat pembersihan sebagai bagian dari
tugas, sehingga kegiatan pembersihan menjadi tidak rutin dan tidak efektif. Untuk meningkatkan
prosedur pembersihan normal dilakukan modifikasi prosedur pembersihan dan efektivitas dilihat
menggunakan rerata dari ATP bioluminescence. Kemampuan proses pembersihan modifikasi
untuk mengurangi kontaminasi permukaan dengan membandingkan nilai ATP yang menjadi
patokan.

Dipublikasi di Hospital Life, Pencegahan & Pengendalian Infeksi


| Tag ATP, bioluminescence, cleaning, dalin, environment, ICU, lingkungan, pembersihan, PPI, rumah sakit
| Tinggalkan Balasan

Anda mungkin juga menyukai