ABSTRAK
Di Indonesia, sengon (Falcataria moluccana) dalam 151literatur lama dikenal sebagai
Paraserianthes falcataria banyak ditanam masyarakat dalam bentuk hutan rakyat, baik secara
campuran terbatas, murni maupun tumpangsari sebagai penaung pohon kopi. Saat ini, hutan
rakyat sengon dengan areal terluas terdapat di Pulau Jawa mencapai lebih dari 1,2 juta ha. Namun
demikian, tanaman sengon saat ini sedang menghadapi ancaman yang sangat serius dengan
muncul dan menyebarnya serangan penyakit karat tumor (gall rust) yang disebabkan oleh jamur
karat Uromycladium tepperianum.
Sejauh ini, hasil observasi pada plot uji resistensi di Kediri Jawa Timur, diketahui bahwa
provenan dari Papua memberikan kenampakan lebih toleran terhadap serangan penyakit karat
tumor. Menghadapi tantangan tanaman sengon karena serangan penyakit karat tumor dan
mempertimbangkan potensi genetik yang dimiliki pada beberapa populasi alaminya, perlu
dilakukan penelitian pemuliaan sengon dengan fokus pada ketahanan terhadap penyakit karat
tumor melalui pendekatan breeding.
Kata kunci : Sengon, Falcataria moluccana, penyakit, karat tumor, pemuliaan
I.
PENDAHULUAN
151
Lebih lanjut, karat tumor di Indonesia sudah mencapai tingkat epidemi (Rahayu,
2007). Epidemi penyakit timbul bilamana faktor inang, penyakit dan lingkungan berada
dalam kondisi yang sesuai bagi perkembangan penyakit. Oleh sebab itu cara untuk
mengendalikannya adalah dengan memanipulasi salah satu atau lebih faktor-faktor
tersebut sehingga tercapai kondisi yang merugikan bagi pertumbuhan penyakit dan
mencegah terjadinya infeksi oleh penyakit (Rimbawanto, 2008).
Mendapatkan gen resisten dari tanaman sengon yang tahan terhadap karat tumor
dan melakukan transformasi genetik merupakan salah satu alternatif memanipulasi faktor
inang untuk mencegah infeksi dan penyebarannya. Transformasi yang dimediasi dengan
Agrobacterium tumefaciens merupakan metode transformasi tanaman yang sedang
dikembangkan saat ini (Murakami dkk., 1998; Sudarmonowati dan Bachtiar, 1998),
diantaranya untuk transformasi genetik dapat dilakukan secara in planta maupun in vitro
dengan teknik kultur sel dan jaringan. Transformasi secara in planta dinilai bermasalah
dalam efesiensi, kemampuan reproduksi, kecilnya ukuran tanaman, pendeknya waktu
perkecambahan dan syarat biji yang dihasilkan per tanaman (Yunus dkk., 2001).
Secara in vitro, A. tumefaciens diinokulasikan pada jaringan yang mengandung
embrionik sel yang aktif membelah seperti embrio muda dan kalus dalam sistim kultur
jaringan. Transformasi genetik dilakukan melalui kultur sel, potongan daun, ruas ranting
muda (internode stem), biji, dan potongan kecambah steril dari tanaman yang resisten. A.
tumefaciens diinokulasi pada bahan-bahan tanaman tersebut untuk kemudian
ditumbuhkan pada media kultur jaringan (Rahmat, 2000). Dengan demikian teknik kultur
jaringan dengan induksi somatik embriogenesis (SEG) pada sengon sangat penting
dikuasai sebagai teknik dasar inisiasi manipulasi genetik.
Menghadapi tantangan tanaman sengon karena serangan penyakit karat tumor dan
mempertimbangkan potensi genetik yang dimiliki pada beberapa populasi alaminya, perlu
dilakukan penelitian pemuliaan sengon dengan fokus pada ketahanan terhadap penyakit
karat tumor melalui pendekatan breeding dan bioteknologi.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyakit Karat Tumor di Indonesia
Penyakit karat tumor pada tanaman sengon disebabkan oleh jamur karat
Uromycladium tepperianum (Sacc.McAlp.) (Brown, 1993; Braza, 1997; Old and Cristovao,
2003; PROSEA, 2003; Rahayu dkk., 2005). Spora jamur disebarkan oleh angin dan pada
kondisi yang sesuai yaitu pada lingkungan dengan kelembaban tinggi, berkabut dengan
kecepatan angin rendah, jamur akan menginfeksi tanaman sengon serta berkembang
dengan cepat pada lokasi tersebut. Penyebaran penyakit dilakukan oleh angin dan akan
berkembang dengan cepat pada lokasi yang memiliki kelembaban tinggi serta mempunyai
periode berkabut setiap harinya. Jamur karat ini mampu melakukan penetrasi secara
langsung ke dalam jaringan inang, tanpa melalui luka ataupun lubang-lubang alami
seperti stomata, lenticel ataupun retakan epidermis (Rahayu, 2007).
Di Indonesia, penyakit karat tumor pada tanaman sengon pertama kali dilaporkan
pada tahun 1996 di pulau Seram, Maluku (Anggraeni, 2006). Di Timor-Timur, pada tahun
1998 sampai dengan 2001, telah terjadi epidemi penyakit karat tumor pada hampir 90%
tanaman sengon yang berfungsi sebagai penaung pada perkebunan kopi (Old dan
Cristovao, 2003). Sementara itu, di Sorowako, Sulawesi Selatan, pada awal tahun 2005
telah ditemukan penyakit karat tumor pada pertanaman sengon di lokasi reboisasi bekas
tambang timah (Kasno dan Hadi, 2005). Meskipun epidemi baru terjadi pada tahun 2005,
namun diperkirakan penyakit ini telah ada sejak 4 atau 5 tahun sebelumya, yaitu sekitar
tahun 2001.
Di Jawa, khususnya di Jawa Timur, penyakit karat tumor pada sengon telah
dilaporkan pada tahun 2003. Namun, karena kurangnya perhatian pihak-pihak terkait,
tindakan pencegahan terlambat dilakukan. Sehingga akhirnya pada tahun 2005, penyakit
152
ini telah menyebar luas di seluruh Jawa Timur, terutama di lereng gunung Semeru,
pegunungan Ijen, dan gunung Raung, meliputi Banyuwangi, Bondowoso, Pasuruan,
Malang, Probolinggo dan Jember.
Kabupaten Kediri, yang merupakan salah satu sentra pertanaman sengon di Jawa,
saat ini juga telah mengalami serangan karat tumor, meskipun masih sporadis. Bahkan
plot uji genetik di KPH Kediri yang dibangun oleh Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan
Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta pada tahun 2007 juga telah terserang penyakit
ini. Sementara itu, serangan penyakit karat tumor di daerah Jawa Barat sejauh ini belum
dilaporkan. Namun mengingat peredaran benih sengon yang bebas, serta sirkulasi angin
yang kecepatannya tidak menentu, penularan penyakit ini di daerah tersebut tinggal
persoalan waktu.
Di provinsi Jawa Tengah khususnya di daerah sentra pertanaman sengon yaitu
Temanggung dan Wonosobo penyakit ini sudah menyebar dengan luas sejak awal tahun
2007 (Dishut Wonosobo, 2009; komunikasi pribadi). Hal tersebut saat ini sudah meluas
kedaerah-daerah lain di sekitarnya seperti Purworejo, Purwokerto, Banjarnegara, dan
Magelang. Akhir tahun 2009, serangan karat tumor juga sudah dilaporkan oleh Dinas
Kehutanan Kabupaten Kulon Progo DIY yang membuktikan cepatnya penyebaran
penyakit tersebut.
Pada akhir tahun 2008, penyakit karat tumor juga telah dilaporkan berkembang di
luas daerah Ciamis, Majalengka, Sumedang dan Cirebon (Rahayu, 2010). Di perkirakan
penyakit akan segera menyebar ke arah Indramayu, Subang, Purwakarta, Karawang dan
Bekasi. Sementara itu, daerah Tasikmalaya, Garut, Cianjur, Sukabumi dan Bogor juga
berpotensi mendapat serangan penyakit karat tumor tersebut dalam waktu 2 tahun
mendatang. Lebih lanjut dalam Rahayu (2010) menyebutkan bahwa provinsi Banten
diperkirakan juga akan mendapat serangan karat tumor dalam 3 sampai 4 tahun
mendatang.
B. Variasi Genetik
Variasi genetik yang terdapat dalam populasi hutan sangat kompleks, meskipun
demikian besar dan type variasi dapat diketahui. Manipulasi variasi genetik dapat
dilakukan untuk karakter-karakter tertentu seperti pertumbuhan, bentuk batang dan sifat
kayu; yang pada umumnya ditujukan untuk peningkatan produktivitas. Variasi antar pohon
tersebut dapat terjadi dikarenakan perbedaan variasi geografis (antar provenansi), variasi
lokal (antar tempat tumbuh), variasi antar pohon pada suatu tempat tumbuh dan variasi di
dalam pohon (Soerianegara dan Djamharuri, 1979; Leksono, 1998). Perbedaan ini
dikarenakan penampilan suatu pohon dipengaruhi oleh perbedaan genotip, perbedaan
lingkungan tempat tumbuh dan interaksi antara genotip dan lingkungan (Soeseno, 1985).
Sedangkan Zobel dan Talbert (1984), mengemukakan bahwa potensi genetik dan
faktor lingkungan merupakan penyebab adanya variasi, sedangkan faktor lingkungan
selalu berbeda antara tempat tumbuh yang satu dengan tempat tumbuh yang lain. Antara
variasi lingkungan dan variasi genetik tidak dapat ditarik garis perbedaan yang jelas
karena keduanya saling mempengaruhi, meskipun demikian, variasi tersebut dapat
diubah melalui tindakan silvikultur dan pemuliaan pohon (Soerianegara, 1970).
Menurut Zobel dan Talbert (1984), jika program pemuliaan pohon ingin berhasil,
maka pengetahuan mengenai variasi menjadi penting dan merupakan suatu keharusan.
Sehingga sebelum memulai kegiatan pemuliaan pohon, pengetahuan tentang adanya
variasi suatu jenis perlu diketahui terlebih dahulu. Sengon di Jawa meskipun sudah
menjadi ras lahan, menunjukkan adanya variasi genetik yang sangat sempit. Hal ini
diperkuat dengan hasil penelitian tentang keragaman genetik menggunakan penanda
isozyme, yang menunjukkan bahwa tanaman yang berada di pulau Jawa mempunyai
keragaman genetik yang rendah (Sheido dkk., 1993; Sheido dan Widyatmoko, 1993); dan
studi DNA menggunakan penanda RAPD juga menunjukkan keragaman genetik yang
rendah dan diketahui kekerabatan yang dekat dengan tanaman dari Maluku (Suharyanto
153
dkk., 2002). Oleh karena itu usaha meningkatkan variasi genetik jenis ini sangat
diperlukan.
C. Tegakan Benih Provenans
Tegakan benih provenans adalah sumber benih yang dibangun dari benih yang
provenannya telah diuji dan diketahui keunggulannya dengan tujuan untuk produksi benih
berdasarkan informasi provenans terbaik dari hasil uji sebelumnya. Dalam hal ini, tegakan
benih sengon dibangun dari provenan terbaik yang diindikasikan tahan (toleran) terhadap
penyakit karat tumor, dengan informasi provenan yang dihasilkan dari penelitian
terdahulu. Tegakan ini ditujukan untuk produksi benih, sehingga tegakan tegakan perlu
ditanam pada tempat yang kondusif untuk produksi benih. Dari penelitian sebelumnya
diketahui bahwa provenans dari Wamena merupakan provenans yang toleran terhadap
serangan penyakit karat tumor (Rahayu, 2007; Rahayu dkk., 2009; Charomaeni dan
Ismail, 2008), sehingga provenans dari Wamena dan Papua yang akan dikembangkan
untuk tegakan benih provenans.
Sedangkan uji provenans merupakan uji yang membandingkan sumber benih alami
(ras geografik) dari suatu jenis tanaman untuk mendapatkan informasi provenan terbaik
pada lokasi pengembangan. Terkadang uji provenan juga melibatkan ras lahan untuk
membandingkan dengan ras geografik. Uji ini diperlukan bilamana kekurangan informasi
yang memadai mengenai provenan dari suatu jenis serta kondisi tempat tumbuhnya. Uji
provenan biasanya dilakukan dengan mendatangkan provenan suatu jenis di luar sebaran
alaminya sehingga sering dikategorikan sebagai uji introduksi.
Pembangunan plot uji toleransi dari beberapa provenans pada dasarnya sama
dengan uji provenans. Hanya saja pada pembangunan plot uji toleransi, tegakan harus
diletakkan pada daerah-daerah yang tingkat serangan karat tumornya sangat parah
(daerah epidemi). Dengan harapan akan terjadi inokulasi penyakit secara alam.
III. TAHAPAN KEGIATAN PEMULIAAN
A. Pengumpulan materi genetik
Ruang lingkup kegiatan pengumpulan materi genetik adalah berupa pengoleksian
biji sengon dari 7 populasi yang tersebar di Papua dan pengadaan benih sebanyak 25
family dari Kepulauan Solomon. Adapun pengkoleksian materi genetik yang berupa biji
dilakukan menggunakan metode Mortlock dan Australian Tree Seed Centre, (1999)
dengan memenuhi kaidah sebagai berikut:
1. Jumlah minimum pohon induk yang diambil per populasi adalah 25 pohon induk.
2. Jarak antara pohon induk yang satu dengan yang lain minimlah 2 kali tinggi pohon.
3. Pohon induk dipilih dari pohon yang secara fenotipik (tinggi, diameter) lebih superior
dibandingkan dengan yang lain, kesehatan pohon juga menjadi pertimbangan
pemilihan pohon induk.
4. Informasi-informasi fenotipik pohon induk seperti tinggi pohon, diameter batang,
berbunga, berbuah, kondisi lingkungan, topografi, letak lintang dan bujur perlu dicatat
pada form koleksi bij.
5. Pengkoleksian biji dilakukan per individu pohon, yang kemudian di simpan dalam
kantong, diberi label sesuai nomer urut pada form koleksi biji.
6. Ekstraksi dan sortasi biji dilakukan di labolatorium B2PBPTH Yogyakarta yand akan
dilakukan menggunakan metode Schmidt, (2000).
7. Biji yang telah selesai disortasi disimpan dalam DCS untuk kebutuhan pembangunan
persemaian.
154
155
Keterangan Gejala
Pucuk melengkung dan kaku, ada garis putih atau coklat pada pucuk, tangkai daun dan atau batang
156
Keterangan Gejala
Keterangan Gejala
Ada gall pada batang pokok dengan tanpa gall di cabang dan ranting
Tingkat keparahan serangan pada plot uji masing-masing lokasi berdasarkan pada
Intensitas dan Luas serangan yang diklasifikasikan seperti pada Tabel 4 dibawah ini:
Tabel 4. Level tingkat keparahan berdasarkan Intensitas Serangan dan Luas Serangan
Nilai Luas Serangan
Luas Serangan
Tingkat keparahan
<10%
Jarang
0%
Tidak ada
10 - <25%
Kadang-kadang
<25%
Rendah
25 - <50%
Biasa
25 - <50%
Sedang
50 - <75%
Luas
50 - <75%
Parah
>75%
Sangat luas
75 100%
Sangat parah
Analisis varians digunakan untuk mengetahui variasi diantara perlakuan yang diuji.
Model ANOVA untuk rancangan IBD menurut Minter (2005) secara simbolik dapat ditulis
sebagai berikut :
Yijlm = + i + j(i) + l(i) + m + ijlm
dengan :
Yijlm
= pengamatan pada blok ke i, baris j, kolom l dan perlakuan ke m;
= rerata umum;
i
= pengaruh blok ke-i;
j(i)
= pengaruh baris ke-j di dalam blok ke-i;
l(i)
= pengaruh kolom ke-l di dalam blok ke-i;
m
= pengaruh perlakuan ke-m;
ijlmn = random error.
Dalam kaitannya dengan tegakan provenan sengon, model ANOVA di atas
dikembangkan menjadi persamaan sebagai berikut :
Yijklm = + Bi + Rj(Bi) + Ck(Bi) + Pl + Fm(Pl) + Bi*Fm(Pl) + Eijklm
dengan :
Yijklm
: pengamatan pada blok ke i, baris j, kolom k dan famili ke m
dalam populasi l
157
Beberapa parameter genetik yang ditaksir dalam kegiatan penelitian ini adalah
heritabilitas individu dan famili, perolehan genetik dan korelasi antar sifat.
h2fam
42f
2f + 2fb + 2e
2f
2f + 2fb/b + 2e/nb
dengan :
h2ind
= nilai heritabilitas individu
h2fam = nilai heritabilitas famili
2f
= komponen varians famili
2
fb
= komponen varians interaksi famili dan blok
b
= jumlah blok
n
= jumlah individu per plot
2e
= komponen varians error
Korelasi genetic
Korelasi genetik dihitung dengan meggunakan persamaan sebagai berikut:
2xy
rgxy =
(2x 2y)1/2
dengan :
rgxy
= korelasi genetik antara sifat x dan y
2xy
= komponen kovarians untuk sifat x dan y
2x
= komponen varians untuk sifat x
2
y
= komponen varians untuk sifat y
IV. PENUTUP
158
V. DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni, I. 2008. Pengendalian Karat Tumor pad Sengon. Workshop Penyakit Karat
Tumor pada Sengon, Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman
Hutan Yogyakarta, 19 Nopember 2008.
Braza, R. D. 1997. Karat tumor disease of Paraserianthes falcataria in the Philippines.
Forest, Farm, and Community Tree Research Reports 1997. Vol. 2.
Brown, B. 1993. Current and Potential Diseases of Fast Growing Industrial Timber
Plantation Trees. Mandala Agriculture Development Corporation (MADECOR).
Jakarta. Indonesia.
Buitjtenen, J. P. V. dan J. L. Yiser. 1989. Excercise in Quantitative Genetic of Forest
Trees. Forest Genetic Laboratory. Texas A & M University.
Charomaini, M. dan B. Ismail. 2008. Indikasi awal ketahanan sengon (Falcataria
moluccana) provenan papua terhadap jamur Uromycladium tepperianum penyebab
penyakit karat tumor (gall rust). Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol 2, No 2.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan, Departemen Kehutanan, Cetakan I, Jakarta.
Hidayat, J., 2002. Paraserianthes falcataria (L.) Informasi singkat benih No 23, Direktorat
Perbenihan Tanaman Hutan dan Indonesia Forest Seed Project.
Kasno dan S. Hadi. 2005. Pest nd diseases of forest trees and general impression on the
implementation of reforestation in the post mined area of PT INCO, Sorowaku,
South Sulawesi. Department of Silviculture Faculty of Forestry, Bogor Agricultural
University.
Kasno dan S. Hadi. 2005. Pest nd diseases of forest trees and general impression on the
implementation of reforestation in the post mined area of PT INCO, Sorowaku,
South Sulawesi. Department of Silviculture Faculty of Forestry, Bogor Agricultural
University.
NAS (National Academy of Science). 1983. Fuel wood crops. Schrub and tree species for
energy production, Vol 2. National Academy Press. Washington DC.
Old, K.M. dan C.D.S. Cristovao. 2003. A rust epidemic of the coffee shade tree
(Paraserianthes falcataria) in East Timor. In: Agriculture: New Directions for New
Nation East Timor (Timor-Leste). Eds. H. Costa., C. Piggin., C. J. Cruz. and J. J.
Fox. ACIAR Proceedings No. 113, Canberra, Australia.
PROSEA (Plant Resourches of South-East Asia) 5. 1994. Paraserianthes Nielsen. In :
Soerianegara, I and Lemmens, R.H.M.J. (eds.).(1) Timber trees: Major commercial
timbers. Bogor. Indonesia.
Rahayu, S. 2008. Penyakit Karat Tumor pada Sengon (Falcataria moluccana (Miq.)
Barneby & J.W. Grimes). Workshop Penyakit Karat Tumor pada Sengon, Balai
Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta, 19
Nopember 2008.
Rahayu, S., Lee, S. S. dan A. S. Nor Aini. 2005. Karat tumor disease in Falcataria
moluccana (Miq) Barneby & Grimes at Brumas, Tawau-Sabah. In: Sahibin, A. R.,
Ramlan, O., Kee, A. A. A. and Ng. Y. F. Second regional symposium on
environment and natural resourches, 22-23 March 2005. UKM and Ministry of
Natural Resources and Environmental, Malaysia. Kuala Lumpur, Malaysia.
Rahayu, S., Nor Aini, A. S., Lee, S. S. dan G. Saleh. 2009. Responses of Falcataria
moluccana seedlings of different seed sources to inoculation with Uromycladium
tepperianum. Silvae Genetica 58, 62 68.
159
Rahayu, S. 2010. Modul Pelatihan Penyakit Karat Tumor pada Sengon dan
Pengelolaannya. Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta, 3-5 Agustus 2010.
Rimbawanto, A. 2008. Pemuliaan Tanaman dan Ketahanan Penyakit pada Sengon.
Workshop Penyakit Karat Tumor pada Sengon, Balai Besar Penelitian Bioteknologi
dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta, 19 Nopember 2008.
RLPS. 2005. Data Potensi Hutan Rakyat. Diakses dari http://www.dephut.go.id/
INFORMASI/RRI/RLPS/htnrkyt.htm pada tanggal 25 Oktober 2009.
Suharyanto, A. Rimbawanto dan K. Isoda. 2002. Genetic diversity and relationship
analysis on Paraserianthes falcataria revealed by RAPD marker. In: Proceedings
International Seminar Advances in Genetic Improvement of Tropical Tree Species.
Eds. A. Rimbawanto and M. Susanto. Centre for Forest Biotechnology and Tree
Improvement, Yogyakarta, Indonesia.
Seido, K. dan A.Y.B.C. Widyatmoko. 1993. Genetic variation at four alloenzyme loci in
Paraserianthes falcataria at Wamena Irian Jaya. Forest Tree Improvement Project
Technical Report, Yogyakarta, Indonesia.
Seido, K., Widyatmoko, A.Y.B.C. dan G. Nursinggih. 1993. Preliminary analysis of
isozyme variation of Paraserianthes falcataria in Indonesia. Proceeding BIOREFOR, Yogyakarta, Indonesia.
Soeseno, O.H. 1985. Pemuliaan Pohon Hutan. Jurusan Budidaya Hutan Fakultas
Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Soerianegara, I. dan E. Djamhuri. 1979. Pemuliaan Pohon Hutan. Departemen
Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan, Institute Pertanian Bogor.
Soerianegara, I. 1970. Pemuliaan Pohon Hutan. Laporan No 104. Lembaga Penelitian
Hutan, Bogor.
Suhaendi, H. 1993. Plus tree selection and seed collection of Paraserianthes falcataria
(L.) Nielsen in natural forest of Irian Jaya, Indonesia. Paper presnted at the Fifth
Meeting of the Seed Origin and Genetic Resources Working Group. Chiang Mai,
Thailand. 9-12 June 1993.
Zobel, B. dan J. Talbert. 1984. Aplied Forest Tree Improvement. John Wiley and Sons,
New York.
160