Anda di halaman 1dari 6

Makalah Workshop Penanggulangan Serangan Karat Puru pada Tanaman Sengon 19 Nop 2008

Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

PENYAKIT KARAT TUMOR PADA SENGON


(Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & J.W. Grimes)

Sri Rahayu
Dosen Patologi Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

I. Pendahuluan

Penyakit gall rust (karat tumor, karat puru), merupakan salah satu penyakit yang berbahaya pada tanaman
sengon Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & J.W. Grimes), saat ini di Indonesia. Dampak penyakit pada
semai maupun tanaman dewasa dapat sangat luas, mulai dari menghambat pertumbuhan sampai mematikan
tanaman. Pulau Jawa, merupakan salah satu pusat penghasil kayu sengon terbesar di Indonesia. Adanya
epidemi penyakit karat tumor pada tanaman sengon di pulau Jawa, merupakan ancaman yang dapat
mengakibatkan penurunan produk kayu sengon besar-besaran pada tahun-tahun mendatang. Hal ini tentu saja
akan berpengaruh kuat pada peta pengusahaan tanaman sengon di pulau Jawa serta prospek pengembangan
produk-produk ber basis kayu sengon. Oleh karena itu perlu dipikirkan langkah-langkah atau strategi terbaik
untuk mengendalikan penyakit tersebut. Adapun langkah-langkah konkrit hanya akan dapat diambil apabila kita
telah mempunyai dasar-dasar pengetahuan tentang penyakit karat tumor sebagai berikut :
a. Penyebab penyakit karat tumor dan perilaku, termasuk cara penyebaran serta siklus hidupnya.
b. Gejala dan akibat yang ditimbulkan.
c. Faktor lingkungan maupun faktor dalam tanaman itu sendiri yang mendukung atau menghambat
terjadinya penyakit.
Mengingat keberadaan penyakit karat tumor terutamanya di beberapa daerah di Jawa dan Bali sudah mencapai
tingkat epidemi, maka perlu dilakukan penanggulangan secara serius. Kerja sama aktif antara pemerintah,
rakyat, LSM, peneliti dan pengusaha serta unsur-unsur terkait lainnya sangat diperlukan untuk mendapatkan
solusi yang terbaik.

II. Penyebaran Penyakit Karat Tumor

Di Asia Tenggara, penyakit karat tumor pada sengon pertama kali dilaporkan pada tahun 1990 di pulau
Mindanao, Pilipina. Empat tahun kemudian (1994), penyakit telah menyebar di kepulauan Visayas, dan pada
1995, epidemi penyakit tersebut terjadi di kepulauan Luzon, Pilipina (Braza, 1997). Di saat yang hampir
bersamaan, pada akhir tahun 1992 epidemi penyakit juga dilaporkan di hutan tanaman milik Sabah Softwood
Berhad (SSB) di Tawau, Sabah, Malaysia. Pada tahun berikutnya (1993), epidemi juga terjadi pada tanaman
sengon milik SFI (Sabah Forest Institute) di Sipitang, Sabah (Lee, 2003).
Di Indonesia, penyakit karat tumor pertama kali dilaporkan pada tahun 1996 di pulau Seram, Maluku (Anggraeni,
2006). Sayangnya, penyakit tersebut tidak mendapat perhatian khusus dan tidak diinformasikan secara luas,
sehingga permasalah mengendap begitu saja. Di Timor-Timur, pada tahun 1998 sampai dengan 2001, telah
terjadi epidemi penyakit ini pada hampir 90% tanaman sengon yang berfungsi sebagai penaung pada
perkebunan kopi (Old dan Cristovao, 2003). Sementara itu, di Sorowako, Sulawesi Selatan, pada awal tahun
2005 telah ditemukan penyakit tersebut pada pertanaman sengon di lokasi reboisasi bekas tambang timah
(Kasno dan Hadi, 2005). Meskipun epidemi baru terjadi pada tahun 2005, namun diyakini bahwa penyakit telah
ada sejak 4 atau 5 tahun sebelumya.
Di pulau Jawa, khususnya di Jawa Timur, penyakit karat tumor telah dilaporkan pada tahun 2003. Namun,
permasalahan tidak ditanggapi secara serius oleh pemerintah maupun pihak swuasta. Akibatnya, pada tahun
2005 penyakit telah menyebar luas di seluruh Jawa timurTimur, terutama di lereng gunung G. Semeru,
pegunungan Ijen, dan gunung G. Raung, meliputi Banyuwangi, Bondowoso, Pasuruan, Malang, Probolinggo dan
Jember. Berdasarkan pengamatan lapangan pada November 2006, di perkirakan penyakit telah ada 3 atau 4
tahun yang lalu, yakni pada tahun akhir tahun 2001 atau awal tahun 2002. Kabupaten Kediri, yang merupakan
salah satu sentra pertanaman sengon di pulau Jawa, saat ini juga telah mengalami serangan gall rustkarat tumor,

1
Makalah Workshop Penanggulangan Serangan Karat Puru pada Tanaman Sengon 19 Nop 2008
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

meskipun statusnya masih sporadis (Rahayu, 2008 tidak dipublikasikan). Pada awal tahun 2006, di propinsi Jawa
tengah Tengah seperti daerah Purworejo, Banjarnegara, Magelang, Temanggung, Wonosobo dan Boyolali yang
juga merupakan sentra pertanaman sengon, dinyatakan belum mengalami serangan karat tumorgall rust.
Namun, berdasarkan simulasi model penyebaran penyakit yang dikembangkan penulis untuk penyakit karat
tumor pada sengon (Rahayu, 2006, tidak dipublikasikan), daerah Jawa tengah Tengah sebenarnya juga telah
terinvestasi penyakit karat tumor gall rust sejak tahun 2005. Hal tersebut terbukti setelah dilakukan survey dan
pengamatan lapangan pada bulan Maret 2007. Di Temanggung, penyakit telah menyebar di Desa Kandangan
dan Pringsurat. Bahkan persemaian di daerah Kutoarjo yang memiliki ketinggian 78 m dpl, penyakit ini juga telah
berkembang, meskipun belum menunjukkan gejala yang jelas. Dengan demikian, diperkirakan daerah-daerah di
sekitarnya seperti Purworejo, Purwokerto, Banjarnegara, Magelang dan Wonosobo pun juga telah mendapatkan
serangan penyakit karat tumor ini.
Pada awal tahun 2007, penyakit karat tumor juga telah menyebar di wilayah Bali Timur, terutama di daerah
Kintamani. Pada daerah dengan ketinggian lebih dari 600 m di atas permukaan laut, penyakit ini dapat
berkembang dengan cepat. (Rahayu, 2008). Di Jawa, pada awal tahun 2008, penyakit karat tumor juga telah
ditemukan di daerah Purwokerto dan banjarnegaraBanjarnegara, Banyumas, Jawa Tengah. Hal ini merupakan
satu indikasi bahwa ada kemungkinan nantinya daerah Jawa Barat juga akan segera terserang penyakit
tersebut. Sementara itu, pada awal tahun 2008 ini juga telah dilaporkan bahwa penyakit karat tumor juga
terdapat di daerah batu Batu putihPutih, Kalimantan Timur. Namun penyakit tidak berkembang, karena populasi
tanaman sengon di daerah tersebut hanya terbatas (Rahayu, 2008, tidak dipublikasikan).

III. Penyebab Penyakit Karat Tumor

Penyebab penyakit karat tumor pada tanaman sengon di Pilipina, Timor Timur, dan Sabah, Malaysia serta di
Jawa dan Bali telah diidentifikasi sebagai jamur karat (Uromycladium tepperianum (Sacc.)McAlp.) (Brown, 1993;
Braza, 1997; Old & Cristovao, 2003; PROSEA, 2003; Rahayu dkk., 2005; Rahayu dan Lee, 2007). Jamur karat
ini hanya memerlukan 1 inang saja yaitu tanaman sengon untuk menyelesaikan seluruh siklus hidupnya. Jamur
hanya membentuk satu macam spora yang dinamakan teliospora saja. Secara spesifik, teliospora mempunyai
struktur yang berjalur, bergerigi dan setiap satu tangkai terdiri dari 3 teliospora. Ukuran spora berkisar antara
lebar 14-20 µm dan panjang 17 to 28 µm, (Rahayu dan Lee, 2007).

A B C
Gambar 1.A. Teliospora jamur Uromycladium tepperianum, dengan 3 teliospores dalam satu tangkai
(ditunjukkan dengan anak panah merah), Salah satu bentuk gejala karat tumor pada: B. semai umur 2
bulan, C. tanaman muda di lapangan.

Teliospora mudah diterbangkan oleh angin dari satu tempat ke tempat lain ataupun dari tanaman sengon satu ke
tanaman yang lain. Apabila telah mendapatkan tempat yang sesuai terutama pada bagian tanaman yang masih
muda, dan kondisi lingkungannya menguntungkan, teliospora akan berkecambah membentuk basidiospora.
Basidiospora ini dapat secara langsung melakukan penetrasi, menembus lapisan epidermis membentuk hypha
di dalam ataupun di antara sel-sel epidermis, xylem dan phfloem (Rahayu, 2007). Infeksi dapat terjadi pada biji,
semai maupun tanaman dewasa di lapangan. Semua bagian tanaman meliputi pucuk, cabang, ranting, daun,
batang, bunga dan biji dapat terinfeksi oleh jamur tersebut (Franje, 1993 ; Braza, 1997; Cristovao & Old, 2003;
Rahayu dkk., 2005). Pada semai, batang merupakan bagian tanaman yang paling rentan terhadap serangan
jamur karat (Rahayu dkk., 2006).

2
Makalah Workshop Penanggulangan Serangan Karat Puru pada Tanaman Sengon 19 Nop 2008
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

IV. Gejala Penyakit

a. Gejala pada Semai


Gejala pada semai sangat bervariasi, dan kadang tidak terlihat secara jelas. Infeksi jamur karat pada semai umur
2-3 minggu menyebabkan daun mengeriting, melengkung dan tidak dapat berkembang dengan normal. Apabila
di sentuh, daun terasa kaku dan mudah rontok. Semai menunjukkan pertumbuhan meninggi yang sangat lambat,
kering dan mudah rontok. Pada semai yang lebih tua (umur 6 minggu), gejala nampak berupa pucuk yang
melengkung, bila di raba terasa agak kaku. Batang semai yang terinfeksi, kadang menunjukkan adanya garis
putih yang memanjang, jelas atau samar-samar. Di lapangan, gejala ini nantinya akan dengan cepat berkembang
membentuk gall di sepanjang batang tersebut. Bentuk gejala yang lain dapat berupa pembengkokan batang,
disertai bercak warna coklat pada bagian tersebut (Gambar 2a). Dilapangan, semai semacam ini akan
menghasilkan tanaman yang bentuknya tidak lurus, dan pada pembengkokan tersebut akan muncul gall,
sehingga batang mudah patah bila tertiup angin. Pada semai yang lebih tua, gejala tampak lebih jelas dan mudah
dikenali karena gall telah mulai terbentuk (Gambar 2b).

Gambar 2. a. Pembengkokan batang serta bercak warna coklat pada semai sengon umur 6 minggu yang
terinfeksi jamur U. tepperianum, b. gall pada semai umur 11 minggu
Pada semai umur 3 bulan atau lebih yang belum di tanam di lapangan, kadang gall berkembang membesar dan
jamur memproduksi ratusan juta spora berwarna coklat yang relatif masih aktif di permukaan gall (Gambar 8A).
Spora tersebut siap diterbangkan angin dan berperan sebagai sumber inokulum bagi semai ataupun tanaman
muda sehat lain disekitarnya. Gall yang telah tua dan masak, serta memiliki jaringan yang masih baik, kadang
digunakan oleh serangga type penggerek batang untuk meletakkan telur, yang kemudian akan berkembang
menjadi larva. Kadang, orang terkeliru karena menyangka serangga tersebutlah yang menyebabkan gall.
Padahal larva tersebut hanya sebagai sekunder atau menumpang pada gall saja.
b. Gejala di Lapangan
Di lapangan, semai yang telah terinfeksi jamur U. tepperianum sejak di pesemaian, akan cepat menunjukkan
gejala. Namun, kecepatan pembentukan gejala akan sangat bergantung pada lokasi penanamannya. Pada
tanaman muda sebelum umur 2 tahun, gejala umumnya berupa tumor yang terbentuk pada batang atau cabang,
atau pada ruas-ruas cabang. Bentuk gall sangat bervariasi. Permukaan gall yang masih baru atau segar tampak
dilapisi milyaran teliospora aktif berwarna coklat kemerahan, yang siap disebarkan melalui angin ke tanaman di
sekitarnya.
Pada dasarnya jamur U. tepperianum hanya mampu menginfeksi jaringan-jaringan tanaman yang muda. Dengan
demikian kemungkinan terjadinya infeksi baru pada jaringan tanaman dewasa di lapangan adalah sangat kecil.
Gejala pada tanaman dewasa pada dasarnya berasal dari infeksi yang terjadi pada tanaman muda atau bahkan
dari semai. Hanya saja, karena respon setiap tanaman berbeda, dan lingkungan mikro di sekitar tanaman juga
berbeda, maka gejala yang muncul saatnya juga berbeda-beda. Pada tanaman dewasa atau tua, gall sering
nampak pada tajuk tanaman, terutama pada ujung ranting muda ataupun pada tangkai daun. Gall tersebut
tidak merugikan pertumbuhan tanaman inangnya, namun secara aestetika nampak kurang menyenangkan hati.
Terlebih, spora aktif pada gall tersebut nantinya dapat menjadi sumber inokulum potensial bagi tanaman muda
atau pada semai disekitarnya.

V. Kondisi Tanaman yang Mempengaruhi terjadinya Penyakit

Pada umumnya, semai maupun tanaman dewasa di lapangan yang tidak terserang karat tumor adalah
tanaman yang memiliki kenampakan kokoh dan kuat. Walaupun demikian, tidak semua tanaman sengon yang
memiliki kenampakan kuat tidak terserang oleh jamur U. tepperianum. Serangan karat tumor pada tanaman
yang kokoh akan berdampak lebih kecil dibanding serangan pada tanaman yang mempunyai kenampakan
lemah. Respon tanaman sengon terhadap penyakit karat tumor dipengaruhi oleh faktor genetik dari tanaman itu

3
Makalah Workshop Penanggulangan Serangan Karat Puru pada Tanaman Sengon 19 Nop 2008
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

sendiri dan faktor lingkungan disekitar pertanaman. Benih yang berasal dari induk superior dengan karakteristik
yang jelas, akan menghasilkan tanaman yang relatif kuat dan lebih toleran terhadap karat tumor. Sedangkan
benih yang berasal dari sumber yang tidak jelas kualitasnya, cenderung akan memiliki respon yang buruk
terhadap penyakit.
Bibit sengon yang di tanam di hutan rakyat, pada umumnya diusahakan sendiri oleh petani dengan
menggunakan biji yang tidak jelas asal-usul induk dan kualitasnya. Pada saat di pindahkan ke lapangan, semai
akan berinteraksi dengan faktor lingkungan yang ekstrim dan beragam termasuk adanya infeksi jamur karat U.
tepperianum. Hal ini akan berakibat fatal pada tanaman yang tidak memiliki kualitas baik. Di sisi lain, pada hutan
tanaman yang diusahakan oleh pemerintah atau pengusaha, benih yang digunakan umumnya berasal dari
sumber yang lebih jelas, meskipun belum seluruhnya menggunakan benih yang bersertifikat. Hal tersebut
menjadi salah satu sebab serangan karat tumor di hutan rakyat lebih parah dan lebih bervariasi dibanding
serangannya pada hutan tanaman. Namun, di sisi lain, adanya stratifikasi tajuk yang cenderung seumur dan
seragam pada skala luas, menyebabkan penyebaran penyakit karat tumor di hutan tanaman menjadi lebih cepat
dibanding penyebarannya di hutan rakyat.

VI. Kondisi Lingkungan yang Mendukung Perkembangan Penyakit

Pada umumnya, penyakit berkembang intensif di daerah dengan kelembaban tinggi. Adanya kabut baik di
musim kemarau maupun musim penghujan berpotensi meningkatkan terjadinya penyakit karat tumor baik di
pesemaian maupun di lapangan (Rahayu, 2006, tidak dipublikasikan). Penyakit cenderung lebih cepat
berkembang pada pertanaman sengon yang ternaung dibanding pada pertanaman yang terbuka. Demikian pula,
adanya radiasi sinar utra violet selama 5 jam berturut-turut, dapat menghambat perkecambahan teliospora jamur
karat (Franje dkk, 2001). Tanaman sengon yang tumbuh di tempat tinggi seperti di lereng bukit maupun gunung,
berpeluang mendapatkan serangan karat tumor lebih besar dibanding tanaman sengon yang tumbuh di tempat
rendah dan rata. Pada dasarnya, ketinggian tempat bukanlah faktor utama yang dapat meningkatkan resiko
terjadinya serangan jamur karat ini. Namun kondisi lingkungan seperti misalnya kelembapan yang tinggi, angin
yang perlahan serta adanya kabut, umumnya terdapat di lokasi yang relatif tinggi.
Pertanaman murni di hutan tanaman, mempunyai resiko yang lebih tinggi terhadap penyakit karat tumor
dibanding pertanaman campuran di hutan rakyat. Namun, pengelolaan penyakit karat tumor di hutan rakyat,
jauh lebih kompleks dibanding pengelolaan penyakit di hutan tanaman industri. Hal ini disebabkan lebih
kompleksnya faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit karat tumor di hutan rakyat di banding di hutan
tanaman. Dengan demikian, strategi pengendalian karat tumor di hutan rakyat perlu mendapat perhatian yang
lebih besar, agar mendapatkan hasil yang optimal.

VII. Teknik Pengelolaan Penyakit Karat Tumor

Penyakit karat tumor pada sengon, terutama di pulau Jawa telah menjadi ancaman yang serius bagi industri
perkayuan di Indonesia. Eksport kayu lapis maupun furniture yang berbasis bahan baku sengon terutama ke
negara Timur Tengah, Korea dan Jepang dikhawatirkan akan terganggu dengan adanya penyakit tersebut.
Dengan demikian langkah penanggulangan penyakit ini harus segera difikirkan bersama pada tingkat nasional.
Beberapa langkah yang di usulkan oleh penulis dalam rangka penanggulangan penyakit ini adalah :

A. Aspek teknis
1. Seleksi Benih
Penggunaan benih yang telah disertifikasi sangat dianjurkan. Setidak tidaknya, benih harus berasal dari pohon
yang jelas asal-usul dan karakteristiknya. Perlakuan benih harus dilakukan dengan tepat untuk mengurangi
resiko terbawanya jamur melalui benih. Jamur U.tapperianum dapat terbawa melalui biji (seed transmitted),
namun bukan merupakan jamur yang berasal dari biji (seed born) (Rahayu, 2007).
2. Pengelolaan di persemaian
Lokasi persemaian hendaklah dipilih di tempat terbuka, pada ketinggian di bawah 250 m dpl (Rahayu, 2007). Hal
ini berguna untuk mengurangi serangan karat tumor pada awal pertumbuhan semai. Monitoring gejala penyakit
karat tumor harus dilakukan secara teratur sejak dini. Dengan demikian, pengetahuan tentang gejala dini

4
Makalah Workshop Penanggulangan Serangan Karat Puru pada Tanaman Sengon 19 Nop 2008
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

penyakit karat tumor pada semai harus segera disosialisasikan. Penggunaan fungisida yang sesuai dan dengan
cara yang tepat dapat dianjurkan untuk mengurangi sumber inokulum. Tindakan sanitasi dengan cara
menyingkirkan dan menimbun semai yang terinfeksi jamur U.tepperianum perlu dilakukan untuk meningkatkan
kesehatan lingkungan semai. Seleksi semai perlu dilakukan. Hanya semai yang kokoh dan sehat saja yang dipilih
untuk di tanam di lapangan.
3. Pengelolaan di lapangan
Pemilihan lokasi tanam perlu dilakukan secara tepat. Mengingat hampir seluruh pulau Jawa telah terinfestasi
spora jamur karat U. tepperianum, maka penanaman sengon baru (terutama di daerah yang telah ada epidemi
penyakit karat tumor), hanya dianjuran pada lokasi di bawah 300 m d.p.l. (Rahayu, 2007). Monitoring secara
teratur pada tanaman muda di lapangan harus selalu dilakukan, untuk dapat segera dilakukan pembuangan
inokulum yang berupa tumor (gall). Namun, apabila penanaman baru tetap dilakukan di daerah yang memiliki
ketinggian di atas 300 m dpl., maka monitoring dan pengawasan secara ketat wajib di lakukan. Hal ini untuk
deteksi dini akan adanya penyakit tersebut, sehingga langkah pengendalian dapat segera dilakukan. Tanaman
muda yang telah menunjukkan gejala lanjut, dan tidak berpotensi untuk tumbuh secara normal perlu di
disingkirkan dari pertanaman dan ditimbun dengan tanah.
Penjarangan tanaman perlu dilakukan antara lain untuk meningkatkan jumlah sinar matahari yang masuk dan
mengurangi kelembaban, sehingga mengurangi resiko serangan karat tumor. Penjarangan diprioritaskan untuk
mengeluarkan tanaman yang pertumbuhannya kurang baik, tertekan atau telah menunjukkan gejala karat tumor
pada tingkat lanjut. Pemangkasan untuk menghilangkan karat tumor hanya efektif dilakukan apabila gejala
terletak pada cabang atau ranting. Teknik pemotongan bagian tanaman yang terkena serangan tumor harus
dilakukan secara tepat. Teknik yang tidak tepat, seperti misalnya hanya mengupas gall dari cabang atau
batang tanaman saja, justru akan menimbulkan infeksi yang berulang dan memperparah tingkat serangan
berikutnya.
4. Aspek budidaya
Ekologi hutan tanaman dan hutan rakyat tidak sama. Dengan demikian strategi penanggulangan penyakit
karat tumor di hutan rakyat dan di hutan tanaman menjadi agak berbeda. Telah diketahui bahwa jamur karat U.
tepperianum dapat menyelesaikan seluruh siklus hidupnya hanya dalam satu inang saja. Sementara itu, sengon
di hutan tanaman cenderung sejenis, seumur, dan dalam skala luas, maka monitoring secara intensif sangat di
anjurkan. Langkah menghilangkan sumber inokulum berupa gall dapat sangat membantu dalam menurunkan
sumber inokulum yang ada.
Di sisi lain, di hutan rakyat, sengon di tanam secara tumpang sari. Meskipun sampai saat ini jamur U.
tepperianum hanya diketahui menyerang tanaman sengon saja, namun mengingat perilaku jamur karat yang
mudah membentuk ras patogenik baru, maka sebaiknya tumpang sari atau tanam campur perlu di pilih dengan
jenis-jenis yang bukan keluarga polong-polongan (leguminoceae). Hal ini dimaksudkan antara lain untuk
mengurangi tingkat kecepatan penyebaran penyakit di lapangan. Namun, monitoring secara teratur tetap
merupakan salah satu cara yang dapat di andalkan untuk membatasi jumlah inokulum di lapangan.
Pola pandang masyarakat tentang jenis kayu komersial yang dapat ditanam di Jawa juga perlu pembaharuan.
Gerakan pengenalan jenis-jenis lokal maupun eksotik yang berpotensi ekonomi tinggi selain jati, mahoni dan
sengon perlu segera diperkenalkan. Jenis balsa (Ochroma pyramidale) dan bayur (Pterospermum spp.) yang di
tanam oleh petani binaan PT Kutai Timber Indonesia (KTI), Probolinggo, menampakkan prospek yang baik
sebagai bahan baku industri kayu. Namun, penanaman jenis baru ini perlu diimbangi dengan pengembangan
teknologi pemrosesan kayu yang efisien dan efektif. Pembatasan penanaman sengon baru di daerah-daerah
yang telah terinfestasi berat oleh penyakit ini (dengan tingkat serangan di atas 75%), perlu diberlakukan, setidak-
tidaknya selama 2 tahun. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi jumlah inokulum yang ada, mengingat jamur U.
Tepperianum adalah parasit sejati yang hanya mampu tumbuh dan berkembang pada tanaman sengon yang
masih hidup saja.

VIII. Kesimpulan

Status penyakit karat tumor di Indonesia, terutama di pulau Jawa, terutama di beberapa daerah di Jawa Timur
dan jawa tengah, diperkirakan telah mencapai tingkat epidemik. Kegagalan penanganan penyakit ini, secara
umum akan berdampak negatif pada sektor industri perkayuan, ekonomi, dan sosial di tingkat regional maupun

5
Makalah Workshop Penanggulangan Serangan Karat Puru pada Tanaman Sengon 19 Nop 2008
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

nasional. Oleh karena itu kerja sama dari pemerintah, peneliti, Lembaga Swadaya Masyarakat, pengusaha, tokoh
masyarakat, APHI (Asosiasi pengusaha hutan Indonesia), MPI (Masyarakat Perkayuan Indonesia) serta pihak
lain yang terkait perlu segera digalakkan, untuk mencapai solusi terbaik bagi penanggulangan penyakit karat
tumor pada sengon di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Braza, R.D. 1997. Karat tumor disease of Paraserianthes falcataria in the Philippines. Forest, Farm, and
Community Tree Research Reports 1997. Vol. 2.Brown, B. 1993. Current and Potential Diseases of
Fast Growing Industrial Timber Plantation Trees. Mandala Agriculture Development Corporation
(MADECOR). Jakarta. Indonesia.
Franje, N.S., Alovera, H.C., Isidora, M.O., Expedito, E.D.C. and Revelieta, B.A. 1993. Karat tumor of Falcata
(Albizzia falcataria (L.)) Beck: its biology and identification. Northern Mindanau Consortium for
Agriculture Resources Research & Development (NOMCARRD). Mindanau. Philippines.
Kasno and Hadi,S. 2005. Pest and diseases of forest trees and general impression on the implementation of
reforestation in the post mined area of PT.INCO, Sorowaku, South Sulawesi. Department of
Silviculture Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University. Bogor, Indonesia. Visit Report.
Lee, S.S. 2003. Pathology of Tropical hardwood plantation in South-EastAsia. New Zealand Journal of Forestry
Science 33 (3): 321-335
Old, K.M and Cristavao, C.S. 2003. A rust epidemic of the coffee shade tree (Paraserianthes falcataria) in East
Timor. ACIAR Proceedings No. 13. pp. 139-145.
PROSEA (Plant Resourches of South-East Asia) 5. 1994. Paraserianthes Nielsen. In : Soerianegara, I and
Lemmens, R.H.M.J. (eds.).(1) Timber trees: Major commercial timbers. Bogor. Indonesia.
Rahayu, S., Lee,S.S., Nor Aini, A.S. 2005. Karat tumor disease in Falcataria moluccana(Miq) Barneby &
Grimes at Brumas, Tawau-Sabah. In: Sahibin, A.R., Ramlan, O., Kee, A.A.A. and Ng.Y.F. Second
regional symposium on environment and natural resourches, 22-23 March 2005. UKM and Ministry of
Natural Resources and Environmental, Malaysia. Kuala Lumpur, Malaysia.
Rahayu, S., Nor Aini, A.S., Lee, S.S., Saleh, G. and Ahmad, S.S. 2006. Infection of Falcataria moluccana (Miq.)
Barneby & Grimes seedling by karat tumor fungus Uromycladium spp. is associated with a reduction
in growth and survival. Procceding of International Post Graduate Student Conference. University
Science Malaysia (USM). Penang. Malaysia.
Rahayu, S. 2007. Karat tumor disease of Falcataria moluccana on Tawau, Sabah, Malaysia PhD. Thesis.
Universiti Putra Malaysia, Malaysia.

Anda mungkin juga menyukai