Anda di halaman 1dari 26

4

BAB II
LANDASAN TEORI
II.1. Tinjaun pustaka
II.1.1. Anatomi hati
Hepar, liver, atau hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh. Hepar
memiliki facies diaphragmatica dan facies visceralis (dorsokaudal) yang
dibatasi oleh tepi kaudal hepar. Facies diaphragmatica bersifat licin dan
berbentuk kubah, sesuai dengan cekungan permukaan kaudal diaphragma,
tetapi untuk sebagian besar terpisah dari diaphragma karena recessus
subphrenicus cavitas peritonealis. Hepar tertutup oleh peritoneum, kecuali
di sebelah dorsal pada area muda, tempat hepar bersentuhan langsung
dengan diaphragma. (Moore & agur, 1996)
Hepar terbagi menjadi lobus hepatis dextra dan lobus hepatis
sinistra yang masing-masing berfungsi secara mandiri. Masing-masing
lobus memiliki pendarahan sendiri dari arteria hepatica dan vena porta
hepatis, dan juga penyalutan darah venosa dan empedu bersifat serupa.
(Moore & agur, 1996)
Lobus hepatis dextra dibatasi terhadap lobus hepatis sinister oleh
fossa vesicae biliaris dan sulcus venae cava pada facies visceralis hepatis,
dan oleh sebuah garis khayal pada permukaan diaphragmatik yang
melintas dari fundus vesicae biliaris (fellea) ke vena cava inferior.
Lobus hepatis sinistra mencakup lobus kaudatus dan hampir
seluruh lobus quadratus. Lobus hepatis sinister terpisah dari lobus
kaudatus dan lobus quadratus oleh fissura/ligamenti venosi pada facies
visceralis, dan oleh perlekatan ligamentum teres hepatis pada facies
diaphragmatica.
Ligamentum teres hepatis adalah sisa vena umbilikalis yang
mengalami obliterasi, dan semula mengantar darah yang kaya oksigen dari
plsenta ke janin. Ligamemtum venosum adalah sisa ductus venosus fetal
yang menjadi jaringan ikat, dan semula memintaskan darah dari vena
umbilikalis ke vena cava inferior. (Moore & agur, 1996)
4

II.1.2. Fisiologi Hati


Hati adalah organ metabolik terbesar dan terpenting di tubuh.
Organ ini penting bagi sistem pencernaan untuk sekresi garam empedu,
tetapi hati juga melakukan berbagai fungsi lain, mencakup hal-hal berikut:
1. Pengolahan metabolik kategori nutrien utama (karbohidrat, lemak,
protein) setelah penyerapan mereka dari saluran pencernaan.
2. Detoksifikasi atau degradasi zat-zat sisa dan hormon serta obat dan
senyawa asing lainnya.
3. Sintesis berbagai protein plasma, mencakup protein-protein yang
penting untuk pembekuan darah serta mengangkut hormon tiroid,
steroid, dan kolesterol dalam darah.
4. Penyimpanan glikogen, lemak, besi, tembaga, dan banyak vitamin.
5. Pengaktifan vitamin D, yang dilaksanakan oleh hati bersama ginjal.
6. Pengeluaran bakteri dan sel darah merah yang usang, berkat adanya
makrofag residen.
7. Ekskresi kolesterol dan bilirubin, yang terakhir adalah produk
penguraian yang berasal dari destruksi sel darah merah yang sudah
usang. (Sherwood, 1996)
II.1.3. Sirosis Hepatis
1. Definisi
Istilah sirosis hati diberikan oleh Laennec tahun 1819, yang
berasal dari kata Khirros yang berarti kuning orange (orange yellow),
karena perubahan warna pada nodul-nodul yang terbentuk. Pengertian
sirosis hati dapat dikatakan sebagai berikut yaitu suatu keadaan
disorganisasi yang difus dari struktur hati yang normal akibat nodul
regeneratif yang dikelilingi jaringan yang mengalami fibrosis yaitu
kerusakan pada sel-sel hati yang merangsang proses peradangan dan
perbaikan sel-sel hati yang mati sehingga menyebabkan terbentuknya
jaringan parut. Sel-sel hati yang tidak mati beregenerasi untuk
menggantikan

sel-sel

yang

telah

mati.

Akibatnya,

terbentuk

sekelompok- sekelompok sel-sel hati baru (regenerative nodules)

dalam jaringan parut (Nurjanah, 2007). Dengan demikian, cedera hati


fokal yang disertai pembentukan jaringn parut, bukan merupakan
sirosis (Cotran, Kumar, Collins, 1999). Berdasarkan morfologi,
Sherlock membagi Sirosis hati atas 3 jenis, yaitu :
1. Mikronodular (Lawrence, 2003)
Ditandai dengan terbentuknya septa tebal teratur, di dalam septa
parenkim hati mengandung nodul halus dan kecil merata tersebut
seluruh lobul. Sirosis mikronodular besar nodulnya sampai 3 mm,
sedangkan sirosis mikronodular ada yang berubah menjadi
makronodular

sehingga

dijumpai

campuran

mikro

dan

makronodular.
2. Makronodular (Lawrence, 2003)
Sirosis makronodular ditandai dengan terbentuknya septa dengan
ketebalan bervariasi, mengandung nodul yang besarnya juga
bervariasi, ada nodul besar didalamnya, ada daerah luas dengan
parenkim yang masih baik atau terjadi regenerasi parenkim.
3.

Campuran

(yang

memperlihatkan

gambaran

mikro

dan

makronodular)
Secara fungsional sirosis terbagi atas (Nurjanah, 2007) :
1. Sirosis hati kompensata. Sering disebut dengan sirosis hati laten.
Pada stadium kompensata ini belum terlihat gejala-gejala yang
nyata. Biasanya stadium ini ditemukan pada saat pemeriksaan
skrining.
2. Sirosis hati dekompensata dikenal dengan Active Liver Cirrhosis,
dan stadium ini biasanya gejala-gejala sudah jelas, misalnya ;
asites, edema dan ikterus.
2. Etiologi
Penyebab yang pasti dari sirosis hepatis sampai sekarang belum
jelas.
1. Faktor keturunan dan malnutrisi
Kekurangan protein menjadi penyebab timbulnya sirosis hepatis.
Hal ini dikarenakan beberapa asam amino seperti metionin

berpartisipasi dalam metabolisme gugus metil yang berperan


mencegah perlemakan hati dan sirosis hepatis. (Urata Y, 2007)
2. Hepatitis virus
Hepatitis virus sering juga disebut sebagai salah satu penyebab dari
sirosis hepatis. Dan secara klinik telah dikenal bahwa virus
hepatitis B lebih banyak mempunyai kecenderungan untuk lebih
menetap dan gejala sisa serta menunjukkan perjalanan yang kronis
bila dibandingkan dengan virus hepatitis A. penderita dengan
hepatitis aktif kronik banyak yang menjadi sirosis karena banyak
terjadi kerusakan hati yang kronis.
Sebagaimana kita ketahui bahwa sekitar 10 % penderita virus
hepatitis B akut akan menjadi kronis. Apalagi bila pada
pemeriksaan

laboratorium

ditemukan

HBsAg

positif

dan

menetapnya antigen virus lebih dari 10 minggu disertai tetap


meningginya kadar asam empedu puasa lebih dari 6 bulan, maka
mempunyai prognosis kurang baik.
3. Zat hepatotoksik
Beberapa obat-obatan dan zat kimia dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan fungsi sel hati secara akut dan kronik. Kerusakan hati
secara akut akan berakibat nekrosis atau degenerasi lemak.
Sedangkan kerusakan kronik akan berupa sirosis hepatis.
Pemberian bermacam obat-obatan hepatotoksik secara berulang
kali dan terus menerus. Mula-mula akan terjadi kerusakan
setempat, kemudian terjadi kerusakan hati yang merata, dan
akhirnya dapat terjadi sirosis hepatis. Zat hepatotoksik yang sering
disebut-sebut adalah alkohol. Efek yang nyata dari etil alkohol
adalah penimbunan lemak dalam hati. (Glenda, 2002)
4. Penyakit Wilson
Suatu penyakit yang jarang ditemukan, biasanya terdapat pada
orang-orang muda ditandai dengan sirosis hepatis, degenerasi
ganglia basalis dari otak, dan terdapatnya cincin pada kornea yang

berwarna coklat kehijauan disebut Kayser Fleiscer Ring. Penyakit


ini diduga disebabkan defisiensi sitoplasmin bawaan.
5. Hemokromatosis
Bentuk sirosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada 2
kemungkinan timbulnya hemokromatosis, yaitu :
1. Sejak dilahirkan, penderita mengalami kenaikan absorpsi dari
besi.
2. Kemungkinan didapat setelah lahir (aquisita), misalnya dijumpai
pada penderita dengan penyakit hati alkoholik. Bertambahnya
absorpsi dari besi kemungkinan menyebabkan timbulnya sirosis
hepatis.
Sebab-sebab lain
1. Kelemahan jantung yang lama dapat menyebabkan timbulnya
sirosis kardiak. Perubahan fibrotik dalam hati terjadi sekunder
terhadap anoksia.
2. Sebagai akibat obstruksi yang lama pada saluran empedu akan
dapat menimbulkan sirosis biliaris primer. Penyakit ini lebih
banyak dijumpai pada kaum wanita.
3. Penyebab sirosis hepatis yang tidak diketahui dan digolongkan
dalam sirosis kriptogenik. Penyakit ini banyak ditemukan di Inggris
(Sherlock melaporkan 49%). Penderita ini sebelumnya tidak
menunjukkan tanda-tanda hepatitis atau alkoholisme, sedangkan
dalam makanannya cukup mengandung protein. (Nurjanah, 2007)
3. Patogenesis dan Patofisiologi
Mekanisme terjadinya proses yang berlangsung terus mulai
dari hepatitis virus menjadi sirosis hepatis belum jelas. Patogenesis
yang mungkin terjadi yaitu :
1. Mekanis
2. Immunologis
3. Kombinasi keduanya

Namun yang utama adalah terjadinya peningkatan aktivitas


fibroblas dan pembentukan jaringan ikat.
1. Mekanis
Pada daerah hati yang mengalami nekrosis konfluen, kerangka
retikulum lobulus hepar yang mengalami kolaps akan berlaku
sebagai kerangka untuk terjadinya daerah parut yang luas. Dalam
kerangka jaringan ikat ini, bagian parenkim hati yang bertahan
hidup berkembang menjadi nodul regenerasi. (Silbernagl & Lang,
2006)
2. Teori Imunologis
Sirosis hepatis dikatakan dapat berkembang dari hepatitis akut jika
melalui proses hepatitis kronik aktif terlebih dahulu. Mekanisme
imunologis mempunyai peranan penting dalam hepatitis kronis.
Ada dua bentuk hepatitis kronis :
- Hepatitis kronik tipe B
- Hepatitis kronik autoimun atau tipe NANB
Proses respon imunologis pada sejumlah kasus tidak cukup untuk
menyingkirkan virus atau hepatosit yang terinfeksi, dan sel yang
mengandung virus ini merupakan rangsangan untuk terjadinya
proses imunologis yang berlangsung terus sampai terjadi kerusakan
sel hati. (Glenda, 2002)

Gambar 1 . Sirosis hepatis (Nurjanah, 2007)

10

Faktor genetik dan lingkungan yang menyebabkan kerusakan


sel hati dapat menyebabkan sirosis melalui respon patobiologi yang
saling berhubungan, yaitu reaksi sistem imun, peningkatan sintesis
matriks dan abnormalitas perkembangan sel hati yang tersisa. Perlukaan
terhadap sel hati dapat menyebabkan kematian sel, yang kemudian
diikuti terjadinya jaringan parut (fibrosis) atau pembentukan nodul
regenerasi. Hal tersebut selanjutnya akan menyebabkan gangguan
fungsi hati, nekrosis sel hati dan hipertensi porta. Hipertensi porta
mengakibatkan penurunan volume intravaskuler sehingga perfusi ginjal
pun menurun. Hal ini meningkatkan aktifitas plasma renin sehingga
aldosteron juga meningkat. Aldosteron berperan dalam mengatur
keseimbangan elektrolit terutama natrium. Dengan peningkatan
aldosteron maka terjadi terjadi retensi natrium yang pada akhirnya
menyebabkan retensi cairan. (Silbernagl & Lang, 2006)
4. Gejala dan manifestasi klinis
Gejala dari sirosis hati tergantung pada tingkat berat sirosis
hati yang terjadi. Beberapa dari gejala-gejala dan tanda-tanda sirosis
(Nurjanah, 2007) :
1. Mata dan Kulit yang menguning (jaundice) disebabkan oleh
akumulasi bilirubin dalam darah
2. Warna urin lebih gelap
3. Bengkak pada perut dan tungkai
4. Penurunan kesadaran
5. Kelelahan dan Kelemahan
6. Kehilangan nafsu makan
7. Gatal
8. Perdarahan saluran cerna bagian atas
9. Atrofi testis
10. Rambut pubis rontok
12. Erythema Palmaris dan spider nevi

11

5. Diagnosis dan pemeriksaan klinis


1. Pemeriksaan Diagnostik
2. Pemeriksaan laboratorium
1. Darah : Bisa dijumpai Hb rendah, anemia normokrom
normositer,

hipokrom

normositer

atau

hipokrom

mikrositer. Anemia terjadi akibat hipersplenisme dengan


leukopenia dan trombositopenia. Kolesterol darah yang
selalu rendah mempunyai prognosis yang kurang baik.
Kenaikan kadar enzim transaminase SGOT & SGPT
merupakan petunjuk tentang berat dan luasnya kerusakan
parenkim hati. Kenaikan kadarnya dalam serum timbul
akibat kebocoran dari sel yang mengalami kerusakan.
Peninggian kadar gamma GT sama dengan transaminase,
ini lebih sensitif tetapi kurang spesifik. (Sacher &
McPherson, 2000)
2. Albumin : Kadar albumin yang menurun merupakan
gambaran kemampuan sel hati yang kurang dalam
memproduksi protein-protein plasma. Penurunan kadar
albumin dan peningkatan kadar globulin merupakan tanda
kurangnya daya tahan hati dalam menghadapi stress seperti
tindakan operasi.
3. Pemeriksaan CHE (cholinesterase) : penting dalam menilai
sel hati. Bila terjadi kerusakan sel hati, kadar CHE akan
turun sedangkan pada perbaikan terjadi kenaikan CHE
menuju nilai normal. Nilai CHE yang bertahan dibawah
nilai normal, mempunyai prognosis yang jelek.
4. Pemeriksaan kadar elektrolit penting dalam penggunaan
diuretik dan pembatasan garam dalam diet. Dalam hal
ensefalopati, kadar Na >145 mEq/l, mempunyai nilai
diagnostik suatu kanker hati primer.

12

3. Pemeriksaan fisik
1. Hati : perkiraan besar hati, biasa hati membesar pada awal
sirosis, bila hati mengecil artinya, prognosis kurang baik.
Besar hati normal selebar telapak tangannya sendiri (7-10
cm). Pada sirosis hati, konsistensi hati biasanya kenyal,
pinggir hati biasanya tumpul dan ada sakit pada perabaan
hati.
2. Limpa : pembesaran limpa diukur dengan dua cara :
Schuffner : hati membesar ke medial dan kebawah menuju
umbilikus (SI-IV) dan dari umbilikus ke SIAS kanan (SVVIII).
Hacket : bila limpa membesar ke arah bawah saja (HI-V).
3. Perut & ekstra abdomen : pada perut diperhatikan vena
kolateral dan asites. Manifestasi diluar perut : perhatikan
adanya spider nevi pada tubuh bagian atas, bahu, leher, dada,
pinggang, caput medussae, dan tubuh bagian bawah. Perlu
diperhatikan adanya eritema palmaris, ginekomastia, dan
atrofi testis pada pria. Bisa juga dijumpai hemoroid.
4. Radiologi : dengan barium swallow dapat dilihat adanya
varises esophagus untuk konfirmasi hepertensi portal.
5. Esofagoskopi : dapat dilihat varises esofagus sebagai
komplikasi sirosis hati/hipertensi portal. Kelebihan endoskopi
ialah dapat melihat langsung sumber perdarahan varises
esofagus, tanda-tanda yang mengarah akan kemungkinan
terjadinya perdarahan berupa cherry red spot, red whale
marking, kemungkinan perdarahan yang lebih besar akan
terjadi bila dijumpai tanda diffus redness. Selain tanda
tersebut, dapat dievaluasi besar dan panjang varises serta
kemungkinan terjadi perdarahan yang lebih besar.
6. Ultrasonografi : pada saat pemeriksaan USG sudah mulai
dilakukan sebagai alat pemeriksaan rutin pada penyakit hati.
Diperlukan pengalaman seorang sonografis karena banyak

13

faktor subyektif. Pada pemeriksaan USG, yang dilihat pinggir


antara lain hati, pembesaran, permukaan, homogenitas, asites,
splenomegali, gambaran vena hepatika, vena porta, pelebaran
saluran empedu, daerah hipo atau hiperekoik.
6. Komplikasi
1. Perdarahan gastrointestinal
2. Koma hepatikum
3. Ulkus peptikum
4. Karsinoma hepatoselular
5. Infeksi
Misalnya : peritonisis, pnemonia, bronkopneumonia, tbc paru
glomerulonefritis

kronis,

pielonefritis,

endokarditis,

erisipelas, septikema

sistitis,

peritonitis,

6. Hepatic encephalopathy
7. Hepatorenal Syndrome
8. Hepatopulmonary Syndrom
9. Edema dan asites (Lawrence, 2003)
7. Penatalaksanaan
Penanganan sirosis hepatis bergantung dari etiologinya.
Terapi ditujukan untuk mengurangi progresi penyakit, menghindarkan
bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan hati, pencegahan dan
penanganan komplikasi (Nurjanah, 2007). Bilamana tidak ada koma
hepatik diberikan diet yang mengandung protein 1g/kgBB dan kalori
sebanyak 2000-3000 kkal/hari Di Amerika dan di beberapa negaranegara lain pada umumnya penanganan dipusatkan pada penghentian
konsumsi alkohol. Kemudian perlu ditambahkan juga multivitamin
(Lawrence, 2003).
Tatalaksana sirosis kompensata ditujukan untuk mengurangi
progresivitas

kerusakan

hati.

Terapi

pasien

ditujukan

untuk

menghilangkan etiologi, diantaranya: alkohol dan bahan-bahan lain

14

yang toksik. Pada hepatitis autoimun bisa diberikan steroid atau


imunosupresif. Pada penyakit hati nonalkoholik, menurunkan berat
badan akan mencegah terjadinya sirosis. Pada hepatitis B, interferon
alfa dan lamivudin (analog nukleosida) merupakan terapi utama.
Lamivudin sebagai terapi lini pertama diberikan 100mg secara oral
setiap hari selama satu tahun. Interferon alfa diberikan secara suntikan
subkutan 3 MIU, tiga kali seminggu selama 4-6 bulan, namun ternyata
juga banyak yang kambuh. (Nurjanah, 2007)
Pada hepatitis C kronik, kombinasi interferon dengan
ribavirin merupakan terapi standar. Interferon diberikan secara
suntikan subkutan dengan dosis 5 MIU tiga kali seminggu dan
dikombinasi ribavirin 800-1000 mg/hari selama 6 bulan (Nurjanah,
2007). Pada pengobatan fibrosis hati, pengobatan antifibrotik pada saat
ini lebih mengarah kepada peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Di
massa datang, menempatkan sel stelata sebagai target pengobatan dan
mediator fibrogenik akan merupakan terapi utama. Pengobatan untuk
mengurangi aktifasi dari sel stelata bisa merupakan salah satu pilihan.
Interferon memiliki aktifitas antifibrotik yang dihubungkan dengan
pengurangan aktivasi sel stelata. Kolkisin memiliki efek anti
peradangan dan mencegah pembentukan kolagen, namun belum
terbukti dalam penelitian sebagai anti fibrosis. Selain itu, obat-obatan
herbal juga sedang dalam penelitian. (Nurjanah, 2007)
Pada sirosis dekompensata, yang sudah terdapat komplikasi,
penanganannya adalah sebagai berikut:
1. Asites dan edema. Tirah baring, parasentesis, diawali diet rendah
garam. Konsumsi garam sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari.
Diet rendah garam dikombinasi dengan obat-obatan diuretik.
Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200
mg sekali ehari. Respon diuretik bisa dimonitor dengan penurunan
berat badan 0,5 kg/hari, tanpa adanya edema kaki atau 1kg/hari
dengan adanya edema kaki. Bilamana pemberian spironolakton
tidak adekuat bisa dikombinasi dengan furosemid dengan dosis 20-

15

40 mg/hari. Pemberian furosemid bisa ditambah dosisnya bila tidak


ada respons, maksimal dosisnya 160 mg/hari. Parasentesis asites
bisa hingga 4-6 liter dan dilindungi dengan pemberian albumin.
(Lawrence, 2003)
2. Ensefalopati

hepatik.

Laktulosa

membantu

mengeluarkan

ammonia, walaupun ammonia bukan satu-satunya faktor yang


menurunkan

kesadaran.

Neomisin

bisa

digunakan

untuk

mengurangi bakteri usus penghasil ammonia, diet protein dikurangi


sampai 0,5 g/kgBB/hari, terutama diberikan yang kaya asam amino
rantai cabang. (Lawrence, 2003)
3. Varises esofagus. Sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa
diberikan obat penyekat beta (propranolol). Waktu perdarahan
akut, bisa diberikan preparat somatostatin atau oktreotid,
diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi.
(Lawrence, 2003)
4. Peritonitis

bakterial

spontan.

Diberikan

antibiotika

seperti

sefotaksim IV, amoksisilin, atau aminoglikosida. (Lawrence, 2003)


5. Sindrom Hepatorenal. Mengatasi perubahan sirkulasi darah di hati,
mengatur keseimbangan garam dan air. (Lawrence, 2003)
8. Prognosis
Prognosis serta keparahan sirosis sangat bervariasi dipengaruhi
sejumlah

faktor,

meliputi

etiologi,

beratnya

kerusakan

hati,

komplikasi, dan penyakit lain yang menyertai.


9. Skor penentu keparahan sirosis hepatis
Keparahan serta prognosis sirosis hepatis dapat ditentukan
menurut sistem skor Child-Turcott Pugh. Sistem ini mengelompokkan
derajat keparahan berdasarkan pemeriksaan objektif dan subjektif
terhadap adanya asites, ensefalopati hepatik, kadar bilirubin, kadar
albumin, dan masa protrombin dengan total skor sirosis hepatis ringan
<8 dan berat >8 (Lawrence, 2003). Klasifikasi CTP ini terbagi atas tiga

16

kelas, A, B, dan C untuk skor A bernilai 5-6, B 7-9, dan C 10-15


(Lawrence, 2003). Menurut penelitian, progresivitas penyakit pada
skor CTP 8 atau lebih menandai adanya dekompensasi dini, pasien
perlu dipertimbangkan untuk dirujuk ke pusat transplantasi hati.
Tabel 1. Kriteria Child plugh untuk klasifikasi sirosis hepatis (Christensen, 2004)
No
1
2
3
4
5

Parameter
Asites
Bilirubin (mg/dl)
Albumin (gr/dl)
Prothrombin time (seconds)
Hepatic enchephalopathy

A
Nihil
<2,0
>3, 5
1-3
Nihil

B
Sedikit
2-3
2,8 - 3,5
4-6
Ringan-sedang

C
Sedang
>3,0
<2,8
>6
Sedang-berat

II.1.4. Sirosis hepatis dengan sindroma hepatorenal


Pasien sirosis hepatis dan asites sering berkembang menjadi gagal
ginjal bentuk khusus, yang lebih dikenal dengan nama sindroma
hepatorenal, yang disebabkan oleh terjadinya vasokonstriksi pada sirkulasi
ginjal (Nurjanah, 2007). Vasokonstriksi pembuluh darah ginjal ini memicu
retensi air dan natrium di ginjal, dan penurunan laju filtrasi glomerulus
(LFG). (Nurjanah, 2007)

17

Gambar 2. Patogenesis sindroma hepatorenal (Gines P, Esparrach GF, Arroyo V,


1997)
Pada stadium awal, gangguan fungsi ginjal ini bersifat reversibel,
yaitu dapat membaik dengan intervensi medis. Namun jika tidak
diintervensi, sindrom hepatorenal ini dapat terjadi dan umumnya bersifat
irreversibel. Sekitar 20% pasien sirosis hepatis dengan asites disertai
fungsi ginjal yang normal akan mengalami sindroma hepatorenal setelah
satu tahun, dan 39% dalam 5 tahun perjalanan penyakit (Gines & Arroyo,
1999). Pada sindrom hepatorenal terjadi peningkatan kreatinin plasma
(>1,5 mg/dl), penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), penurunan cretinin
clearence (CC) (<40ml/menit), dan penurunan volume urin (<500ml/hari).
(Arroyo et al. 1996) Vasokonstriksi pembuluh darah ginjal yang akhirnya
menyebabkan penurunan LFG disebabkan oleh perkembangan dari
hipertensi porta yang telah lanjut yang mengaktifkan sistem simpatis dan
sistem renin angiotensin aldosteron sebagai usaha mempertahankan
tekanan darah yang normal. Namun pada akhirnya terjadi penurunan LFG
yang mengakibatkan retensi cairan dan sampah-sampah metabolik yang
bersifat toksik bagi tubuh, diantaranya adalah kreatinin dan urea darah.

18

Peningkatan zat-zat ini dinamakan dengan azotemia, yang secara klinis


dapat membantu untuk menegakkan diagosis sindroma hepatorenal.
(Nurjanah,2007)

Gambar 3. Patogenesis abnormalitas sirkulasi dan gagal ginjal pada


sirosis (Gines P, Esparrach GF, Arroyo V, 1997)
II.1.5. Sindroma hepatorenal
1. Definisi
Sindrom hepatorenal adalah suatu kondisi medis yang
berbahaya dan mengancam nyawa yang ditandai dengan perubahan
fungsi ginjal yang terjadi pada pasien sirosis hepatis maupun pasien
gagal hati berat. Sindrom hepatorenal biasanya fatal meskipun telah
dilakukan transplantasi hati.
Perubahan fungsi hati diyakini menyebabkan perubahan
suplai darah ke saluran pencernaan, mengubah aliran darah, dan tonus
pembuluh darah di ginjal. Gagal ginjal merupakan konsekwensi dari
perubahan aliran darah tersebut. Ginjal tampak normal jika dilihat
dengan mata telanjang maupun dengan bantuan mikroskop dan ginjal
dapat berfungsi normal jika ditransplantasikan pada orang sehat.
Diagnosis sindrom hepatorenal didasarkan pada hasil pemeriksaan
laboratorium untuk orang yang rentan terhadap kondisi tersebut.

19

Sindrom hepatorenal digolongkan menjadi HRS tipe 1 dan HRS tipe 2


yang berkaitan dengan adanya asites di rongga abdomen.
2. Klasifikasi
Chan MH dkk. mengatakan sindrom hepatorenal merupakan
gagal ginjal bentuk khusus yang sering terjadi pada penderita sirosis
hepatis dan lebih jarang pada penderita gagal hati fulminan maupun
hepatitis fulminan. Sindrom tersebut ditandai dengan vasokonstriksi
pembuluh darah ginjal dan vasodilatasi dari pembuluh darah
splangnikus di abdomen yang memperdarahi saluran cerna (Gins P,
Arroyo V, 1999). Sindrom hepatorenal diklasifikasikan menjadi dua
tipe, tipe 1 dan tipe 2, yang keduanya merupakan bentuk khusus dari
gagal ginjal. Kedua tipe tersebut ditandai dengan meningkatnya kadar
kreatinin darah atau penurunan jumlah klirens kreatinin (creatinin
clearance) di urin. (Arroyo V, Gins P, Gerbes AL, et al. 1996)
Tipe 1 SHR ditandai dengan gangguan fungsi ginjal yang
berlangsung cepat dan mendadak diikuti dengan peningkatan dua kali
lipat serum kreatinin yang normalnya sekitar 1,5 mg/dL; atau
penurunan klirens kreatinin menjadi kurang dari 20 mL/menit selama
jangka waktu tertentu dalam kurun waktu kurang dari dua minggu.
Prognosis dari tipe 1 SHR ini sangat buruk dengan mortality rate
sebesar 50% pada kurun waktu satu bulan setelah awitan. (Arroyo V,
Guevara M, Gins P, 2002)
Pasien tipe 1 SHR biasanya lemah, bertekanan darah rendah,
dan membutuhkan terapi obat-obatan inotropik dan vasopresor.
(Mukherjee, S, 2009)
Tipe 2 SHR berlangsung lebih lambat dan tidak mendadak,
ditandai dengan peningkatan serum kreatinin >1,5 mg/dL atau
penurunan jumlah sodium urin (Na) <10mol/L dan penurunan klirens
kreatinin menjadi <40 ml/menit (Gins P, Arroyo V, Quintero E, et al.
1987). Tipe 2 SHR biasanya berkembang dari asites akibat dari
akumulasi cairan di rongga abdomen yang diakibatkan oleh
meningkatnya tekanan hidrostatik arteriola splangnikus di saluran

20

cerna.
3. Gejala dan Tanda
Kedua tipe SHR mempunyai tiga komponen mayor:
perubahan fungsi hati, kelainan sirkulasi, dan gagal ginjal; dan pasien
SHR ditandai dengan salah satu atau lebih dari ketiga komponen
tersebut yang dilihat berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium.
Biasanya, pasien SHR yang berkembang dari sirosis hepatis
mempunyai penampakan kuning (jaundice), perubahan status mental
dan gizi, dan adanya asites; sedangkan oliguria, merupakan penanda
SHR dilihat dari gagal ginjal. (Gins P, Arroyo V, 1999)
Karena gejala dan tanda-tanda tersebut tidak selalu ada pada
SHR, maka tidak dibuat criteria mayor maupun minor untuk penyakit
ini. Untuk mendiagnosa penyakit ini cukup dilihat dari hasil
laboratorium saja. (Arroyo V, Gins P, Gerbes AL, et al. 1996)
4. Penyebab
SHR berkembang biasanya dari penyakit sirosis hepatis
maupun orang yang mempunyai gangguan pembuluh dari portal
seperti hipertensi portal. Selain itu SHR juga dapat berkembang dari
penyakit hepatitis fulminan, sirosis hati fulminan, hepatitis alkoholik,
sirosis alkoholik, maupun gagal hati fulminan. Kadang SHR dapat
berkembang oleh karena pemberian medikasi (iatrogenik) untuk
mengatasi asites, seperti pemberian diuretik besar-besaran, dan
pengeluaran

cairan

asites

dengan

parasentesis

tanpa

mempertimbangkan terapi kehilangan cairan dengan penggantian


cairan intravena. (Gins A, Escorsell A, Gins P, et al. 1993)
5. Diagnosis
Terdapat kriteria mayor dan minor sebagai penentu
diagnosis tipe SHR, kriteria mayor berisi penyakit hati kronik dengan
hipertensi portal dan gagal hati, seperti sirosis hati; penurunan GFR,
yang diindikasikan dengan peningkatan serum kreatinin >1,5 mg/dl
atau klirens kreatinin <40 ml/menit per 24 jam, tidak adanya syok,
infeksi, obat-obatan nefrotoksik, maupun kehilangan cairan melalui

21

traktus gastrointestinal (muntah atau diare); tidak adanya proteinuria


(<500mg/hari), penyakit ginjal, maupun gangguan aliran darah ginjal
yang terdeteksi dengan pemeriksaan USG. Sementara itu kriteria
minor berisi oliguria (<500 mL/hari), rendahnya kadar natrium dalam
urin (<10 mEq/l), osmolalitas urin lebih rendah daripada di darah,
tidak adanya sel darah merah di urin (50/HPF), dan konsentrasi sodium
serum <130 mEq/l. (Arroyo V, Gins P, Gerbes AL, et al. 1996)
6. Patofisiologi
Gagal ginjal pada SHR berkembang dari perubahan tonus
pembuluh darah di ginjal. Teori yang paling dominan saat ini adalah
vasokonstriksi pembuluh darah ginjal yang didahului oleh vasodilatasi
pada pembuluh darah arteriola splangnikus di abdomen yang
diakibatkan oleh pengeluaran sejumlah besar mediator-mediator
vasoaktif seperti NO, prostaglandin, dan beberapa mediator vasoaktif
lainnya yang dihipotesiskan dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh
darah splangnikus tersebut. Sehinnga pada akhirnya terjadilah yang
dinamakan dengan asites. Konsekwensi dari fenomena ini adalah
berkurangnya aliran darah ginjal dan ginjal mendeteksi perubahan ini
oleh sel-sel aparatus jukstaglomerular dengan mengeluarkan renin.
Selanjutnya sistem renin-angiotensinaldosteron dan saraf simpatis
menjadi aktif dan menyebabkan retensi cairan dalam tubuh yang
berlebihan dan semakin sedikitnya aliran darah yang melewati ginjal.
(Schrier RW, Arroyo V, Bernardi M, Epstein M, Henriksen JH, Rods
J, 1988)
Beberapa vasoaktif kimia lainnya sudah teridentifikasi
sebagai penyebab vasodilatasi arteiola splangnikus, diantaranya adalah
ANP (atrial natriuretic peptide), prostasiklin, tromboksan A2, dan
endotoksin. (Lenz K, Hrtnagl H, Druml W, et al. 1991)
Menurut Moore (1999), pada tahap awal sirosis, aliran darah
ginjal masih dipertahankan normal dikarenakan efek dari vasodilatorvasodilator lokal yang menghambat terjadinya vasokonstriksi pembuluh
darah ginjal. Ketika terjadi stimulasi pada vasokonstriktor endogen,

22

vasoldilator endogen juga teraktivasi (NO, prostaglandin, ANP), untuk


mengatur aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus. Walaupun NO
dan ANP meningkat pada sirosis hepatis dengan asites tanpa sindrom
hepatorenal, namun seiring progresivitas penyakit, vasokonstriktor
endogen melampaui jumlah dan kemampuan vasodilator-vasodilator
endogen dalam mengatur aliran darah ginjal sehingga menyebabkan
perubahan aliran darah ginjal dan penurunan LFG yang dalam hal ini
menakibatkan peningkatan kadar urea dan kreatinin darah. (Cardenas A,
2000)

Gambar 4. Gambaran skematik yang menunjukkan patofisiologi asites


dan sindrom hepatorenal. (Blendis L, Wong F, 2003)

Gambar 5. Diagram yang menunjukkan hubungan antara keadaan klinis


dengan patofisiologi asites dan sindrom hepatorenal. (Blendis L, Wong
F, 2003)

23

7. Pencegahan
Beberapa tindakan untuk mengobati sirosis, seperti tindakan
parasentesis, dan pemberian diuretic secara berlebihan merupakan
pencetus utama untuk terjadinya SHR, oleh karenanya harus dihindari.
Kemudian pemberian albumin dirasa cukup ampuh untuk mengurangi
progresivitas penyakit dan memperbaiki aliran darah ginjal. (Velamati
PG, Herlong HF, 2006)
8. Pengobatan
Terdapat tiga pengobatan utama untuk SHR, transplantsi
hati, pemberian obat-obatan, dan pengobatan prosedural. Transplantasi
hati ditentukan dengan skor MELD (model for end-stage liver disease)
ataupun kriteria Child-Pugh. Xu X, Ling Q, Zhang M, et al. (Mei
2009) menyatakan transplantasi yang baik dan benar dapat
menurunkan angka kematian sebesar 25%. Sebagai antisipasi
tambahan sebelum melaksanakan transplantasi, pasien sebaiknya
diberikan

terapi

albumin,

vasopressin,

pintasan

radiologis

(radiological shunt, untuk mengurangi tekanan pembuluh darah


portal), dan dialysis.
Untuk terapi dengan obat-obatan, pasien bisa diberikan
analog vasopressin, agonis alfa (midodrine), analog somatostatin
hormone yang dapat mengubah tekanan pembuluh darah di saluran
pencernaan (octreotide). Kesemua obat-obatan tersebut bekerja
selektif sebagai vasodilator pembuluh darah sistemik, tetapi sebagai
vasokonstriktor pembuluh darah portal maupun splangnik. Studi kasus
menunjukkan 3 dari 13 pasien SHR yang diberi midodrine peroral dan
ocreotide subkutan dapat pulang dengan kondisi yang lebih baik.
(Pomier-Layrargues G, Paquin SC, Hassoun Z, Lafortune M, Tran A,
2003)
Untuk

terapi

prosedural,

terdapat

beberapa

pilihan,

diantaranya Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt (TIPS),


renal replacement therapy, hemodialisis, liver dialysis. TIPS
mengurangi tekanan pembuluh darah porta dengan memasangkan sten

24

kecil di antara vena porta dan vena hepatica. Komplikasi dari TIPS
adalah ensefalopati hepatik akibat dari tidak terdegradasinya toksintoksin yang ada dalam darah yang seharusnya melewati hati sehingga
zat-zat toksin tersebut kembali ke jantung dan diedarkan kembali
keseluruh tubuh dan perdarahan. (Wong F, Pantea L, Sniderman K,
2004)

Gambar 6: gambaran skematis TIPS dan gambaran radiologis TIPS


(Maleux, G. et al. Am. J. Roentgenol. 2007)
II.1.6. Blood Urea Nitrogen (BUN)
Urea adalah suatu produk sisa yang berasal dari penuraian protein.
Reabsorpsi H2O yang diinduksi secara osmotik di tubulus proksimal yang
sekunder terhadap reabsorpsi aktif Na+ menimbulkan gradien konsentrasi
untuk urea yang mendorong reabrorpsi pasif zat sisa bernitrogen ini. Zatzat yang difiltrasi tetapi tidak direabsorpsi secara progresif menjadi lebih
terkonsentrasi di cairan tubulus karena H2O direabsorpsi sedangkan
mereka tertinggal. Urea adalah salah satu zat tersebut. Konsentrasi urea

25

sewaktu difiltrasi di glomerulus adalah setara dengan konsentrasinya di


dalam plasma yang memasuki kapiler peritubulus. Namun, jumlah urea
yang terdapat di dalam 125 ml cairan filtrasi di permulaan tubulus
proksimal mengalami pemekatan hampir tiga kali lipat dalam volume yang
hanya 44 ml di akhir tubulus proksimal. Akibatnya, konsentrasi urea di
dalam cairan tubulus menjadi jauh lebih besar daripada konsentrasi urea
dalam plasma di kapiler-kapiler di sekitarnya. Dengan demikian, tercipta
gradien konsentrasi agar urea secara pasif berdifusi dari lumen tubulus ke
dalam plasma kapiler peritubulus. Karena dinding tubulus proksimal hanya
cukup permeabel terhadap urea, sekitar 50% urea yang difiltrasi secara
pasif direabsorpsi dengan cara ini. (Sherwood, 1996)
Apabila fungsi ginjal terganggu, sewaktu urea yang dikeluarkan
kurang dari jumlah tersebut, konsentrasi urea dalam plasma plasma
meningkat. Peningkatan kadar urea merupakan salah satu krkteristik
kimiawi yang diidentifikasi pada plasma pasien gagal ginjal yang berat.
Dengan demikian, pengukuran nitogen urea darah (Blood Urea Nitrogen,
BUN) secara klinis dapat digunakan sebagai ukuran kasar fungsi ginjal.
(Sherwood, 1996)
II.1.7. Kreatinin plasma
Kreatinin adalah produk akhir metabolisme kreatin. Baik kreatin
maupun bentuk simpanan energinya yaitu fosfokreatin, terdapat di dalam
otot, otak, dan darah. Dalam sintesis ATP dari ADP, kreatin fosfat diubah
menjadi kreatin dengan katalisasi enzim kreatin kinase (CK). Glisin,
arginin, dan metionin seluruhnya turut serta pada biosintesis kreatin.
Pemindahan gugus guanidino dari arginin kepada glisin, yang membentuk
senyawa guanidoasetat (glikosiamina), berlangsung di dalam ginjal tetapi
tidak di dalam hati atau otot jantung. Sintesis kreatinin diselesaikan lewat
reaksi metilasi guanidoasetat oleh senyawa S-adenosilmetionin di hati.
(Murray, Granner & Rodwell, 2006)

26

Gambar 7. Biosintesis kreatinin (Michael W, 2011)


Pembentukan

kreatinin

harian

umumnya

tetap,

dengan

pengecualian pada cedera fisik berat atau penyakit degeneratif yang


menyebabkan kerusakan masif pada otot. Ginjal mengekskresikan
kreatinin secara sangat efisien. Pengaruh tingkat aliran darah dan produksi
urin pada ekskresi kreatinin jauh lebih kecil dibandingkan pada ekskresi
urea karena perubahan temporer dalam aliran darah dan aktivitas
glomerulus dikompensasi oleh peningkatan sekresi kreatinin oleh tubulus
ke dalam urin. Konsentrasi kreatinin darah dan ekskresinya melalui urin
per hari tidak banyak berfluktuasi. Dengan demikian, pengukuran serial
kreatinin bermanfaat untuk menentukan apakah speimen urin 24-jam
untuk analisis lain (misalnya, steroid) telah seluruhnya dikumpulkan
dengan akurat. (Sacher & McPherson, 2000).
Kadar kreatinin plasma normal sekitar 0,6 sampai 1,2 mg/dl pada
pria dewasa dan 0,5 sampai 1,1 mg/dl pada wanita dewasa dengan ratarata 1,5 mg/dl (Hecht, 2011). Pada usia pertengahan, orang cenderung
mempunyai kadar kreatinin plasma yang lebih besar kemungkinan karena
aktivitas dan massa otot yang lebih besar. Oleh karena itu, pada orang

27

yang lebih tua kadar kreatinin plasmanya dapat menurun karena massa
otot yang berkurang pada orang tua. Sementara itu, bayi mempunyai kadar
kreatinin sekitar 0,2 mg/dl dan terus berkembang seiring pertumbuhan
mereka. Pada orang yang mengalami malnutrisi atau penurunan berat
badan berlebihan dan seseorang yang berdiri dalam waktu yang lama
kadar kreatinin plasma mereka dapat berkurang. (Hecht, 2011)
Orang dengan satu ginjal kadar kreatinin plamanya sekitar 1,8
sampai 1,9 mg/dl merupakan kadar yang normal. Kadar kreatinin plasma
2,0 mg/dl pada bayi dan 0 mg/dl pada orang dewasa menandakan adanya
kerusakan ginjal yang berat dan memerlukan dialisis segera. (Hecht, 2011)
Selama berlangsungnya sirosis, hipertensi portal mengakibatkan
vasodilatasi arteriol splangnik dan arteri sistemik yang bertanggung jawab
terhadap timbulnya penurunan jumlah volume darah arteri efektif. Sebagai
hasilnya,

terjadi

vasokonstriksi

pembuluh

darah

ginjal

yang

mengakibatkan timbulnya gagal ginjal. Kejadian ini ditandai dengan


peningkatan kadar kreatinin serum menjadi >1,5 mg/dl. (Daniela P, 2009)

28

II.2. Kerangka teori


Berdasarkan uraian dari latar belakang, tujuan penelitian, dan
landasan teori yang sudah dijelaskan sebelumnya maka kerangka teori
yang dapat dibuat sebagai berikut:

Zat toksik

Hepatitis kronis

Infeksi virus

Alkoholisme

Sirosis
hepatis
Oliguria
Asites

Hipertensi
portal

Hipotensi

Hipernatremia
Penurunan
ekskresi Na
urin
Azotemia

Bagan 1. Kerangka teori

29

II.3 Kerangka konsep


Nodul-nodul
regeneratif

Fibrosis

Peradangan hati
kronis aktif

Kerusakan hati
difus

Nekrosis

Sirosis hepatis

Sistem renin dan


simpatis aktif

Penurunan LFG

Peningkatan kadar
kreatinin plasma
dan BUN
Bagan 2. Kerangka konsep

Vasokonstriksi
pemb. Darah ginjal

Asites

Anda mungkin juga menyukai