Anda di halaman 1dari 40

NOISE INDUCED HEARING LOSS(NIHL)

Siti Noradzuwa Binti Md Yusof


102008231
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Ukrida Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat
raw_cutebabysmile@yahoo.com

SKENARIO:
Seorang laki-laki berumur 45 tahun datang ke klinik perusahaan mengeluh kedua telinga
berdenging sehabis bekerja sejak 3 bulan yang lalu. Ia berkerja di bagian pembangkit
listrik(turbin), dengan system shift 2-2-2 libur dan menggunakan ear muff yang using. Ia tidak
sedang minum obat paru atau minum obat lainnya. Riwayat merokok 1 bungkus kretek setiap
hari dan tidak punya kebiasaan menggunakan earphone untuk mendengar music.

BAB I
PENDAHULUAN
Gangguan pendengaran akibat bising adalah Penurunan pendengaran tipe sensorineural, yang
pada awalnya tidak disadari, karena belum mengganggu percakapan sehari-hari. Sifat
gangguannya adalah tuli sensorineural tipe koklea dan umumnya terjadi pada ke dua telinga.
Faktor risiko yang berpengaruh pada derajat parahnya ketulian ialah intensitas bising, frekuensi,
lama pajanan perhari, lama masa kerja, kepekaan individu, umur dan faktor lain yang dapat
berpengaruh. Berdasarkan hal tersebut dapat dimengerti bahwa jumlah pajanan energi bising
yang diterima akan sebanding dengan kerusakan yang didapat. Gangguan pendengaran akibat
bising sering dihubungkan denagn penyakit akibat kerja yang harus sesuai dengan syarat-syarat
tertentu yang memenuhi kriteria tertentu supaya dapat diidentifikasikan sebagai gangguan
pendengaran akibat kerja agar pasien dapat menuntut hak jaminan/kompensasi yang sewajarnya.

DEFINISI PENYAKIT AKIBAT KERJA:


Penyakit Akibat Kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan, alat kerja, bahan, proses
maupun lingkungan kerja. Dengan demikian Penyakit Akibat Kerja merupakan penyakit yang
artifisial atau man made disease.
DEFINISI GANGGUAN PENDENGARAN AKIBAT BISING:
Gangguan pendengaran akibat bising (noise-induced hearing loss, NIHL) ialah gangguan
pendengaran yang disebabkan akibat terpajan oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu
yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja. Sifat ketuliannya
adalah tuli sensorineural koklea dan umumnya terjadi pada kedua telinga.1-5
Secara umum, bising adalah bunyi yang tak diinginkan. Secara audiologik, bising adalah
campuran bunyi nada murni dengan berbagai frekuensi. Pajanan bising yang intensitasnya 85
desibel (dB) atau lebih secara terus menerus dapat mengakibatkan kerusakan pada reseptor
pendengaran, yakni sel-sel rambut organ Corti di koklea (telinga dalam). Yang sering mengalami
kerusakan adalah organ Corti untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi 3000 Hz sampai dengan
6000 Hz, dan yang terberat kerusakan organ Corti untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi 4000
Hz.5
Banyak hal yang mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpajan bising, antara lain
intensitas bising yang lebih tinggi, lebih lama terpapar bising, serta mendapat pengobatan yang
bersifat ototoksin seperti streptomisin, kanamisin, garamisin (golongan aminoglikosida), kina,
dan lain-lain.2
TUJUAN:
Tujuan makalah ini dibuat adalah bertujuan untuk berkongsi pengetahuan berhubung NIHL,
supaya masyarakat umum lebih mengetahui apa yang dikatakan dengan penyakit ini. Dengan ini
masyarakat khasnya pengusaha pabrik dan tenaga kerja yang terbabit akan mempunyai
pengetahuan yang lebih berhubung cara mencegah risiko NIHL.

BAB II
ISI
1. IDENTIFIKASI PENYAKIT AKIBAT KERJA:

PENEDEKATAN EPIDEMIOLOGI(KOMUNITI)

PENEDAKATAN KLINIS(INDIVIDU): 7 Langkah diagnosis kerja

2. PENATALAKSANAAN
3. PENCEGAHAN
4. PENGELOLAAN
5. PROGNOSIS
6. KESIMPULAN
1)IDENTIFIKASI PENYAKIT AKIBAT KERJA:

PENDEKATAN EPIDEMIOLOGIS(KOMUNITAS):

Tuli akibat bising merupakan tuli sensorineural yang paling sering dijumpai setelah
presbikusis. Lebih dari 28 juta orang Amerika mengalami ketulian dengan berbagai macam
derajat, dimana 10 juta orang diantaranya mengalami ketulian akibat terpapar bunyi yang
keras pada tempat kerjanya.4 Sedangkan Sataloff dan Sataloff ( 1987 ) mendapati sebanyak
35 juta orang Amerika menderita ketulian dan 8 juta orang diantaranya merupakan tuli akibat
kerja.2 Oetomo, A dkk ( Semarang, 1993 ) dalam penelitiannya terhadap 105 karyawan
pabrik dengan intensitas bising antara 79 s/d 100 dB didapati bahwa sebanyak 74 telinga
belum terjadi pergeseran nilai ambang, sedangkan sebanyak 136 telinga telah mengalami
pergeseran nilai ambang dengar, derajat ringan sebanyak 116 telinga ( 55,3% ), derajat
sedang 17 ( 8% ) dan derajat berat 3 (1,4% ). Penelitian Epidemiologi di U. S. A.
menunjukkan dan memutuskan bahwa kebisingan itu bebas berkembang dengan cepat dikota
dan pelosok Negara. Penyelidikan di Swedia diantara pegawai-pegawai industri kelompok
umur: 15 20 tahun,menunjukkan adanya kelainan pada pendengaran dan menyebabkan
kecemasan pendengaran dengan prosentase 19.5% ditahun 1970. Yang ternyata lebih tinggi
dua kali dibandingkan tahun1956. Beberapa gejala yang dirasakan akibat kebisingan pada
manusia adalah akibat kebisingan dari tingkat decibel tinggi dengan mempengaruhi pada
sistim cardiovasular,tachycardia, denyut jantung dan tekanan darah cepat dilanjutkan dengan
3

konstriksi otot darah.Rythm dari pernapasan tidak normal dan mempengaruhi pada sistim
digestive. Beberapa akibat lain yang serius adalah pengaruh pada sistim syaraf pusat dimana
beberapa dokter mengatakan bahwa kebisingan mempengaruhi satu dari tiga penyebab
neurosis, dan empat sakit kepala dari lima penyebab.

PENDEKATAN KLINIS(INDIVIDU):-

1. DIAGNOSIS KLINIS:
A. ANAMNESIS
a. Identitas pasien(lengkap): nama, alamat, tempat tinggal,jenis kelamin, agama, dan lain-lain.
b. Riwayat penyakit dahulu dan sekarang :
-Keluhan utama pasien
- Apakah pernah menderita penyakit telinga sebelumnya?
- Apakah pernah mengalami riwayat trauma akutik sebelumnya?
- Gangguan pendengaran yang dialami sekarang datangnya mendadak atau perlahan-lahan?
Derajat bunyi atau suara yang tidak dapat didengar?
- Apakah mempunyai riwayat menggunakan bahan-bahan/ obat-obat toksik
streptomisin?

seperti

- Apakah mempunyai hobi yang berhubungan dengan bising? yaitu, menembak, musik keras dan
lain-lain
- Apakah turut mengalami gangguan keseimbangan?
-Apakah mempunyai keluhan masalah gangguan pencernaan, gangguan tidur, hipertensi atau
gejala-gejala lain.
-Apakah mempunyai riwayat neuroma akustik?
c. riwayat pendengaran dalam keluarga
d. aktivitas di luar lingkungan kerja:
-Apakah mempunyai hobi yang berhubungan dengan bising? yaitu, menembak, musik keras dan
lain-lain
e. Riwayat pekerjaan :

1. Apakah pernah atau sedang bekerja di tempat yang bising?(untuk NIHL, riwayat pernah
bekerja atau sedang bekerja di lingkungan bising dalam jangka waktu yang cukup lama, biasanya
lebih dari 5 tahun)
2. Apakah pernah mengalami ledakan keras dekat telinga ?
3. Apakah menggunakan alat pelindung telinga ? kalau ya jenis apa ?
4. Selama bekerja, apakah dilakukan pemeriksaan berkala, khususnya pendengaran ?
5. Lama bekerja di tempat bising perhari kerja dan lamanya masa kerja.
6. Apa yang dikerjakan setiap hari? bahan-bahan/alat yang dipakai, lingkungan sekitar tempat kerja
dan lain-lain

B. PEMERIKSAAN FISIK
1. pemeriksaan tanda vital:
tingkat kesadaran(baik/tidak)
tekanan darah, nadi (bagi klinis non-auditorik: dapat terjadi hipertensi)
respirasi, suhu(tergantung kondisi pasien)
keadaan jasmani(pasien kelihatan capek/lemah)
keadaan mental(jika terdapat gangguan psikologi: pasien dapat sangat sensitive dan
cepat marah)
status gizi(berat badan, tinggi badan, indeks massa tubuh, kurus, normal,gemuk)

2. pemeriksaan fisik umum:


pengamatan umum: penampilan fizikal dan perilaku pasien
Pemeriksaan antropometri: berat badan, tinggi badan
Palpasi: perabaan arteri riadialis (denyut nadi-laju)
Auskultasi: bunyi jantung dan bising usus

3. Pemeriksaan terlokalisir:
Urutan pemeriksaan telinga dimulai dari daun telinga, liang telinga luar, dan test pendengaran
dengan garputala.
a. Daun Telinga
5

Mula-mula dilihat keadaan dan bentuk daun telinga serta daerah belakang daun
telinga(retro-artikuler). Apakah terdapat kelianan seperti :

Kelainan congenital (microtia dan fistula)

Kelainan infeksi(kista dan radang tulang rawan daun telinga)

Kelainan lain(hematom,pseudo kista)

b. Liang Telinga Luar


Untuk memeriksa liang telinga luar, pertama-tama pemeriksa harus membuka jalan
saluran telinga yang membentuk huruf S hingga lurus sehingga dapat dilihat isi liang
telinga luar. Untuk itu pemeriksa harus menarik daun telinga ke atas dan ke belakang, dan
dipertahankan posisi tersebut. Kemudian isi liang telinga luar pasien dinilai, antara lain:
i. Dinding liang telinga

Apakah liang telinga luar pasien lapang.

Apakah terdapat massa, seperti serumen dan benda asing.

Perhatikan dinding liang telinga luar, apakah terdapat luka, peradangan,


furunkel

ii. Membran timpani

Untuk memeriksa membrane timpani lebih baik gunakan otoskop agar


gambaran membrane timpani lebih jelas.

Perhatikan warna dari membrane timpani. Normal: berwrna seperti mutiara.

Perhatikan adanya warna lain selain warna yang normal. Merah terdapat
peradangan, kuning terdapat infeksi jamur, dan lainnya.

Apakah membran timpani intak.

Apakah ada cairan yang keluar dari liang telinga tengah melalui membran
timpani.

c. Tes Berbisik
-

Merupakan tes semikuantitatif

Tujuan : menentukan derajat ketulian secara kasar

Orang normal dapat mendengar bisikan dari jarak 6-10 meter

Cara pemeriksaam:
a. Ruangan cukup tenang, dengan panjang 6 meter
b. Berbisik pada akhir ekspirasi
c. Dimulai dari jarak 6 meter dan makin lama makin mendekat, maju tiap satu meter
sampai dapat mengulangi tiap kata dengan benar
d. Telinga yang tidak diperiksa ditutup, orang yang diperiksa tidak boleh melihat
pemeriksa (pemeriksa berdiri di sisi telinga yang diperiksa)

Interpretasi :

i.Normal : 5/6 sampai 6/6


ii.Tuli ringan bila suara bisik 4 meter
iii. Tuli sedang bila suara bisik antara 2 - 3 meter
iv.Tuli berat bila suara bisik antara 0 - 1 meter

d. Uji Pendengaran
Uji pendengaran dilakukan dengan memakai garputala. Hasil pemeriksaan dapat
diketahui jenis ketulian pasien, apakah tuli konduktif atau tuli sensorineural. Salah satu
uji pendengaran yang dapat dilakukan adalah test penala, antara lain:

Test Rinne
7

Test Weber

Test Schwabach

Test Rinne
Test Rinne adalah test untuk membandingkan hantaran melalui udara dan hantaran melalui
tulang pada telinga pasien.
Cara pemeriksaan:
1. Posisi pasien dan pemeriksa saling berhadapan.
2. Pemeriksa menggetarkan garputala dengan mengetuknya ke punggung tangan pemeriksa.
3. Ujung tangkai garputala ditempelkan pada tulang mastoid pasien. Pasien akan mendengar
suara garputala dan minta pasien untuk memberi tanda bila sudah tidak mendengar suara
dari tulang mastoid . Durasi saat pasien mulai mendengar sampai memberi tanda dicatat.
4. Setelah pasien memberi tanda, pemeriksa bergegas memindahkan tangkai garputala 1,5
inci menyamping dari meatus akustikus eksternus. Mintalah pasien memberi tanda lagi
bila tidak mendengarnya dari udara. Hitung durasinya.
5. Lakukan pemeriksaan ini di kedua telinga pasien.
Hasil:
-

Normal: Konduksi udara > konduksi tulang

Tuli konduksi: Konduksi udara tak terdengar

Tuli saraf: konduksi udara terdengar( tuli perspektif)

Test Weber
Test Weber adalah test pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang telinga kiri dan
kanan pasien.
Cara pemeriksaan:
1. Posisi pasien dan pemeriksa saling berhadapan.
2. Pemeriksa menggetarkan garputala dengan mengetuknya ke punggung tangan pemeriksa.
3. Letakkan ujung tangkai garputala pada dahi pasien.
8

4. Pasien dimina untuk membandingkan kuatnya bunyi garputala yang terdengar dikedua
telinga pasien.
Hasil :
-Normal: Mendengar sama kuat
-Tuli konduksi: Terdengar> di telinga sakit
-Tuli saraf: Terdengar > di telinga normal

Test Schwabach
Test Schwabach adalah test pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang pasien dengan
pemeriksa yang pendengarannya normal.
Cara pemeriksaan:
1. Posisi pasien dan pemeriksa saling berhadapan.
2. Pemeriksa menggetarkan garputala dengan mengetuknya ke punggung tangan pemeriksa.
3. Ujung tangkai garputala diletakkan pada prosessus masoid pasien. Pasien akan
mendengar suara garputala dan minta pasien untuk member tanda bila sudah tidak
mendengar saura dari tulang mastoid.
4. Pemeriksa bergegas untuk memindahkan ujung tangkai garputala dari prosessus mastoid
pasien ke prosessus mastoid pemeriksa. Dengarkan apakah suara dari garputala masih
terdengar atau sudah menghilang.
5. Hal ini dilakukan pada kedua prosessus mastoid pasien dan pemeriksa (presessus mastoid
kanan pasien diuji dengan prosesus mastoid kanan pemeriksa). Hal ini dilakukan
sebaliknya, dengan menempelkan dahulu ujung tangkai garputala ke prosesus mastoid
pemeriksa dan bila sudah tidak didengar pemeriksa maka langsung ditempelkan ke
prosesus mastoid pasien.
Hasil:
-

Normal: Suara dari garputala sesuai dengan pemeriksa.

Memanjang: Pasien masih mendengar suara saat pemeriksa sudah tidak mendengar suara
lagi pada garputala.

Memendek: Pemeriksa masih mendengar sauara saat pasien sudah tidak mendengar suara
lagi dari garputala

Tabel 1: Kesimpulan hasil pemeriksaan garputala


Test Rinne

Test Weber

Positif

Tidak

Tes Schwabach
ada Sama

lateralisasi
Negatif

Lateralisasi

Diagnosis

dengan Normal

pemeriksa
ke Memanjang

Tuli konduktif

ke Memendek

Tuli sensorineural

telinga sakit
Positif

Lateralisasi
telinga sehat

Untuk hasil pemeriksaan fisik NIHL:


Pada pemeriksaan fisik, tidak tampak kelainan anatomis telinga luar sampai gendang telinga.
Pemeriksaan dengan garpu tala (Rinne, Weber, dan Schwabach) akan menunjukkan suatu
keadaan tuli saraf: Tes Rinne menunjukkan hasil positif, pemeriksaan Weber menunjukkan
adanya lateralisasi ke arah telinga dengan pendengaran yang lebih baik, sedangkan pemeriksaan
Schwabach memendek.
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Audiometri
Audiometri adalah sebuah alat yang digunakan untuk mengetahui level pendengaran
seseorang. Dengan bantuan sebuah alat yang disebut dengan audiometer, maka derajat ketajaman
pendengaran seseorang dapat dinilai. Dalam pemeriksaan ini, penting diketahui besaran apakah
yang ditunjukkan oleh frekuensi dan intensitas. Pada tes audiometri tinggi rendahnya nada suatu
bunyi disebut frekuensi dalam hertz (Hz), sedangkan keras lemahnya suatu bunyi disebut
intensitas deciBell (dB). Terdapat tiga syarat untuk keabsahan pemeriksaan audiometric yaitu
10

alat audiometer yang baik, lingkungan pemeriksaan yang tenang dan diperlukan keterampilan
pemeriksa yang cukup handal. Syarat pemeriksaan audiometer; Orang yang diperiksa kooperatif,
tidak sakit, mengerti instruksi, dapat mendengarkan bunyi di telinga, sebaiknya bebas pajanan
bising sebelumnya minimal 12-14 jam, alat audiometer terkalibrasi. Pemeriksa mengerti cara
penggunaannya, sabar dan terlatih. Ruangan pemeriksaan sebaiknya memiliki kekedapan suara
maksimal 40 dB SPL.

Pemeriksaan audiometri yang tepat bila dilakukan pada tingkat

kebisingan latar belakang rendah. Pada umumnya makin rendah frekwensi yang diuji, makin
lebih mungkin dipengaruhi oleh suara lingkungan. Pemeriksaan dilakukan di ruang kedap suara.
Untuk menilai keabsahan hasil pemeriksaan audiometri, dinilai dari cara pemeriksaan audiometri
yang tidak dapat dilaksanakan oleh seseorang yang tidak terlatih dan belum berpengalaman.
Untuk memperoleh hasil akurat untuk informasi klinik yang berguna, pemeriksa harus memiliki
cukup pengetahuan yang memadai.
Pada prosedur pemeriksaan audiometri nada murni, pemeriksa harus dapat memberikan
instruksi dengan jelas dan mudah dimengerti, misalnya dengan menganjurkan mengangkat
tangan/telunjuk bila mendengar bunyi nada atau mengatakan ada/tidak ada bunyi, atau dengan
menekan tombol. Headphone dipasang pada orang yang akan diperiksa dengan benar, tepat dan
nyaman. Pasien duduk di kursi, menghadap 30o dari pemeriksa sehingga tidak dapat melihat
pemeriksaannya. Pemberian sinyal dilakukan selama 1-2 detik. Pemeriksa harus mengerti
gambaran audiogram dan simbol-simbolnya, informasi yang terdapat dalam audiogram,
memahami jenis-jenis ketulian, memahami bone conduction untuk menentukan jenis ketulian,
serta mengerti prosedur rujukan dan peran teknisi audiometrik. Pemeriksaan audiometri sangat
bermanfaat, berguna untuk pemeriksaan screening pendengaran, dan merupakan penunjang
utama diagnostik fungsi pendengaran
Pada NIHL, pemeriksaan audiometri nada murni didapatkan tuli sensorineural pada
frekuensi 3000-6000 Hz dan pada frekuennsi 4000 Hz sering terdapat takik (notch) yang
patognomonik untuk jenis ketulian tersebut. Pemeriksaan audiometri harus dilakukan dengan
persiapan yang baik, bising latar belakang harus diperhatikan, pekerja yang akan diperiksa harus
terhindar dari pajanan bising sebelum pemeriksaan dilakukan. Hal itu untuk menghindari
peningkatan ambang dengar sementara temporary threshold shift /TTS

11

D.PEMERIKSAA TEMPAT KERJA


Ada tiga cara atau metode pengukuran kebisingan di lokasi kerja.
1. Pengukuran dengan titik sampling
Pengukuran ini dilakukan bila kebisingan diduga melebihi ambang batas hanya pada satu atau
beberapa lokasi saja. Pengukuran ini juga dapat dilakukan untuk mengevalusai kebisingan yang
disebabkan oleh suatu peralatan sederhana, misalnya Kompresor/generator. Jarak pengukuran
dari sumber harus dicantumkan, misal 3 meter dari ketinggian 1 meter. Selain itu juga harus
diperhatikan arah mikrofon alat pengukur yang digunakan.

2. Pengukuran dengan peta kontur


Pengukuran dengan membuat peta kontur sangat bermanfaat dalam mengukur kebisingan, karena
peta tersebut dapat menentukan gambar tentang kondisi kebisingan dalam cakupan area.
Pengukuran ini dilakukan dengan membuat gambar isoplet pada kertas berskala yang sesuai
dengan pengukuran yang dibuat. Biasanya dibuat kode pewarnaan untuk menggambarkan
keadaan kebisingan, warna hijau untuk kebisingan dengan intensitas dibawah 85 dBA warna
orange untuk tingkat kebisingan yang tinggi diatas 90 dBA, warna kuning untuk kebisingan
dengan intensitas antara 8590 dBA.
3. Pengukuran dengan Grid
Untuk mengukur dengan Grid adalah dengan membuat contoh data kebisingan pada lokasi yang
di inginkan. Titik titik sampling harus dibuat dengan jarak interval yang sama diseluruh lokasi.
Jadi dalam pengukuran lokasi dibagi menjadi beberapa kotak yang berukuran dan jarak yang
sama, misalnya : 10 x 10 m. Kotak tersebut ditandai dengan baris dan kolom untuk memudahkan
identitas
I. Instrumen yang digunakan untuk mengukur kebisingan

12

1.Sound Level Meter(S L M )


Adalah instrumen dasar yang digunakan dalam pengukuran kebisingan. SLM terdiri atas
mikropon dan sebuah sirkuit elektronik termasuka attenuator, 3 jaringan perespon frekuensi,
skala indikator dan amplifier. Tiga jaringan tersebut distandarisasi sesuai standar SLM.
Tujuannya adalah untuk memberikan pendekatan yang terbaik dalam pengukuran tingkat
kebisingan total. Respon manusia terhadap suara bermacam-macam sesuai dengan frekuensi dan
intensitasnya. Telinga kurang sensitif terhadap frekuensi lemah maupun tinggi pada intensitas
yang rendah. Pada tingkat kebisingan yang tinggi, ada perbedaan respon manusia terhadap
berbagai frekuensi. Tiga pembobotan tersebut berfungsi untuk mengkompensasi perbedaan
respon manusia.
Prosedur Pengukuran :
-Posisikan sound level meter pada kedudukan yang merepresentasikan tingkat intensitas bising di
tempat itu.
-Aktifkan pengukuran dengan mengatur saklar geser pada kedudukan Lo atau Hi. Lo atau Low
Intensity berada pada skala 40 s/d 80 dB, sedangkan Hi atau High Intensity berada pada skala 80
s/d 120 dB.
-Pencatatan pada satu kedudukan akan terkait dengan pembacaan skala minimum dan skala
maksimum.
-Ambil jumlah titik kedudukan sebanyak yang diperlukan.

13

Metode Pengukuran & Perhitungan:


Pengukuran, mengacu pada KepMenLH N0.49/MenLH/11/1996, 3 diantaranya adalah sebagai
berikut:
- Waktu pengukuran adalah 10 menit tiap jam ( dalam 1 hari ada 24 data)
- Pencuplikan data adalah tiap 5 detik ( 10 menit ada 120 data)
-Ketinggian microphone adalah 1,2 m dari permukaan tanah
II. Octave Band Analyzer (OBA)
Saat bunyi yang diukur bersifat komplek, terdiri atast o n e yang berbeda-beda, oktaf yang
berbeda-beda, maka nilai yang dihasilkan di SLM tetap berupa nilai tunggal. Hal ini tentu saja
tidak representatif. Untuk kondisi pengukuran yang rumit berdasarkan frekuensi, maka
alat yang digunakan adalah OBA. Pengukuran dapat dilakukan dalam satu oktaf dengan satu
OBA. Untuk pengukuran lebih dari satu oktaf, dapat digunakan OBA dengan tipe lain. Oktaf
standar yang ada adalah 37,5 75, 75-150, 300-600,600-1200, 1200-2400, 2400-4800, dan 48009600 Hz

2. JENIS PAJANAN:
Wavelength, Frequency, and Pitch

Intensitas kebisingan:
Intensitas bising( dB )

Waktu paparanPer hari dalam


jam
14

85

87,5

90

92.5

95

100

105

110

Frekuensi kebisingan:

Pemeriksaan audiometri nada murni didapatkan tuli sensorineural pada frekuensi antara 30006000 Hz dan pada frekuensi 4000 Hz sering terdapat takik (notch) yang patognomonik untuk
jenis ketulian ini.5 Gambaran takik ini dapat diamati pada ilustrasi di samping.5 Takik 4000 Hz
yang khas ini diduga terjadi karena frekuensi resonansi dari liang telinga, refleks akustik yang
melindungi telinga pada frekuensi yang lebih rendah, dan sel rambut luar pada bagian basal
koklea lebih rentan. Frekuensi yang lebih rendah dan tinggi biasanya terkena setelah pajanan
bising selama beberapa tahun, dan penurunan yang signifikan dari kemampuan mengenali kata
akan timbul bila frekuensi <3000 Hz sudah terkena.3
15

Dalam industri, peningkatan proses kerja mengakibatkan meningkatnya tingkat kebisingan.


Pekerjaan-pekerjaan yang menimbulkan bising dengan intensitas tinggi umumnya terdapat di
pabrik tekstil (weaving,spinning), pabrik Pembangkit Listrik (PLTU, PLTG, dan lain-lain) yang
mempunyai mesin dengan tingkat kebisingan yang tinggi seperti mesin Turbin, Generator, dan
sebagainya. Sumber kebisingan dapat dibagi dalam tiga jenis sumber
1. Mesin:

Sumber kebisingan yang berasal dari mesin dapat diakibatkan oleh suara mesin dan getaran
mesin yang disebabkan dudukan/bantalan mesin yang kurang sempurna oleh karena itu perlu
adanya pengendalian kebisingan. Suara mesin sangat ditentukan oleh beberapa hal:
Jumlah silinder, semakin besar jumlah silinder semakin tinggi level kebisingannya.
Putaran motor, semakin besar putaran motor semakin tinggi level kebisingannya.
Berat jenis motor, semakin besar berat jenis motor semakin tinggi level kebisingannya.
Jumlah daun propeler, semakin banyak daun propeler semakin tinggi kebisingannya.
Usia mesin, semakin tua usia mesin semakin tinggi level kebisingannya.

2. Equipments (vibration):
Kebisingan yang timbul akibat penggunaan peralatan kerja untuk proses kerja. Suara timbul
akibat tumbukan/benturan peralatan kerja yang pada umumnya terbuat benda keras/logam.
3.Air or Gas flow:
Aliran udara atau gas mengakibatkan gesekan dan tekanan yang mengakibatkan timbulnya
suara/kebisingan. Berdasarkan sumbernya kebisingan dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Electric Motor
2.Compresor dan engines
3.Gear Box
4. Blower and Fans
5. Pumps
16

6.Gas dan steam turbines


7.Control valve, flow meter, piping systems.
8.Steam ejector dan condensers

3. HUBUNGAN JENIS PAJANAN DAN PENYAKIT:


Hubungan pajanan bising dengan NIHL tergantung pada frekwensi bunyi, intensitas dan
lama waktu paparan (shift kerja).
Di Indonesia, Nilai Ambang Batas Kebisingan adalah 85 dBA sesuai dengan keputusan Menteri
Tenaga Kerja Nomor: KEP-51/MEN/1999

Tabel 2: Intensitas dan waktu paparan bising yang diperkenankan


Intensitas bising( dB )

Waktu paparanPer hari dalam


jam

85

87,5

90

92.5

95

100

105

110

Apabila frekuensi bunyi, intensitas dan lama waktu paparan melebihi batas kerja
manusia, maka akan berlaku perubahan ambang dengar yang berupa:
1. Adaptasi
Bila telinga terpapar oleh kebisingan mula-mula telinga akan merasa terganggu oleh
kebisingan tersebut, tetapi lama-kelamaan telinga tidak merasa terganggu lagi karena suara terasa
tidak begitu keras seperti pada awal pemaparan.
17

2. Peningkatan ambang dengar sementara


Terjadi kenaikan ambang pendengaran sementara yang secara perlahan -lahan akan
kembali seperti semula. Keadaan ini berlangsung beberapa menit sampai beberapa
jam bahkan sampai beberapa minggu setelah pemaparan. Kenaikan ambang pendengaran
sementara ini mula-mula terjadi pada frekwensi 4000 Hz, tetapi bila pemaparan
berlangsung lama maka kenaikan nilai ambang pendengaran sementara akan
menyebar pada frekwensi sekitarnya. Makin tinggi intensitas dan lama waktu
pemaparan makin besar perubahan nilai ambang pendengarannya. Respon tiap individu
terhadap kebisingan tidak sama tergantu ng dari sensitivitas masing-masing individu.
3. Peningkatan ambang dengar menetap
Kenaikan terjadi setelah seseorang cukup lama terpapar kebisingan, terutama terjadi p a d a
frekwensi 4000 Hz. Gangguan ini paling banyak ditemukan dan bersifat permanen, tidak dapat
disembuhkan . Kenaikan ambang pendengaran yang menetap dapat terjadi setelah 3,5 sampai 20
tahun terjadi pemaparan, ada yang mengatakan baru setelah 10-15 tahun setelah terjadi
pemaparan. Penderita mungkin tidak menyadari bahwa pendengarannya telah berkurang
dan baru diketahui setelah dilakukan pemeriksaan audiogram. Hilangnya pendengaran
sementara akibat pemaparan bising biasanya sembuh setelah istirahat beberapa jam ( 1 2 jam).
Bising dengan intensitas tinggi dalam waktu yang cukup lama ( 10 15 tahun ) akan
menyebabkan robeknya sel-sel rambut organ Corti sampai terjadi destruksi total organ Corti.
Proses ini belum jelas terjadinya, tetapi mungkin karena rangsangan bunyi yang berlebihan
dalam waktu lama dapat mengakibatkan perubahan metabolisme dan vaskuler sehingga terjadi
kerusakan degeneratif pada struktur sel-sel rambut organ Corti. Akibatnya terjadi kehilangan
pendengaran yang permanen. Umumnya frekwensi pendengaran yang mengalami penurunan
intensitas adalah antara 3000 6000 Hz dan kerusakan alat Corti untuk reseptor bunyi yang
terberat terjadi pada frekwensi 4000 Hz (4 K notch). Ini merupakan proses yang lambat dan
tersembunyi, sehingga pada tahap awal tidak disadari oleh para pekerja. Hal ini hanya dapat
dibuktikan dengan pemeriksaan audiometri. Apabila bising dengan intensitas tinggi tersebut
terus

berlangsung

dalam

waktu

yang

cukup lama,

akhirnya

pengaruh penurunan

pendengaran akan menyebar ke frekwensi percakapan ( 500 2000 Hz ). Pada saat itu pekerja
mulai merasakan ketulian karena tidak dapat mendengar pembicaraan sekitarnya.
18

Gajala Klinis:
Kurang pendengaran umumnya terjadi pada kedua telinga. Manakala asimetri dapat terjadi,
khususnya bila sumber bising terlateralisasi.3 Kurang pendengaran dapat disertai tinitus
(berdenging di telinga) atau tidak. Bila sudah cukup berat akan disertai keluhan sukar
menangkap percakapan dengan kekerasan biasa dan bila sudah lebih berat maka percakapan
yang keraspun akan sukar didengar. Secara klinis, pajanan bising pada organ pendengaran dapat
menimbulkan reaksi adaptasi, peningkatan ambang dengar sementara (temporary threshold shift)
dan peningkatan ambang dengar menetap (permanent threshold shift). Reaksi adaptasi
merupakan respons kelelahan akibat rangsangan oleh bunyi dengan intensitas 70 dB atau kurang,
keadaan ini merupakan fenomena fisiologis pada saraf telinga yang terpajan bising. Peningkatan
ambang dengar sementara, merupakan keadaan terdapatnya peningkatan ambang dengar akibat
pajanan bising dengan intensitas yang cukup tinggi; pemulihan dapat terjadi dalam beberapa
menit atau jam, jarang terjadi pemulihan dalam satuan hari. Peningkatan ambang dengar
menetap, merupakan keadaan di mana terjadi peningkatan ambang dengar menetap akibat
pajanan bising dengan intensitas sangat tinggi berlangsung singkat (eksplosif) atau berlangsung
lama yang menyebabkan kerusakan pada berbagai struktur koklea, antara lain kerusakan organ
Corti, sel-sel rambut, striae vaskularis dan lain-lain.5
4. JUMLAH PAJANAN:
I. Patifisiologi penyakit
II.Bukti epidemiologis
III. Pengamatan :
-kuantitatif: masa kerja-sistem kerja(shift 2-2-2libur, dan tempoh kerja
-kualitatif: cara kerja, proses kerja, bagaimana lingkungan kerja
IV. Pemakaian alat pelindung (sesuai/tepat)-jumlah pajanan: data lingkungan, data monitoring
biologis, hasil suveilance

19

I.

Patofisiologi(Pengaruh bising pada pekerja)

Secara umum, pengaruh bising pada pekerja dibedakan dua macam, yaitu:5

Pengaruh auditorial berupa tuli akibat bising (NIHL),trauma akustik, dan tuli sementara
yang umumnya terjadi dalam lingkungan kerja dengan tingkat kebisingan yang tinggi.

Pengaruh non-auditorial dapat bermacam-macam misalnya gangguan komunikasi,


psikologi,fisiologi berupa gelisah, rasa tidak nyaman, gangguan tidur, dan lain
sebagainya.5

NIHL terjadi akibat kerusakan pada epitel sensori di koklea. Epitel sensori di koklea tersusun
atas satu baris sel rambut dalam dan tiga baris sel rambut luar dalam organ Corti.3 Pada
peningkatan ambang dengar sementara, beberapa perubahan yang potensial reversibel dapat
terjadi, yakni:3

Penurunan kekakuan stereosilia sebagai akibat kontraksi struktur rootlet stereosilia sel
rambut,

Perubahan intraseluler dalam sel rambut, termasuk kelelahan metabolik dan perubahan
mikrovaskular,

Edema ujung saraf auditori,

Degenerasi sinaps-sinaps dalam nukleus koklearis.3,5

Pada peningkatan ambang dengar menetap, perubahan menjadi ireversibel, termasuk patahnya
struktur rootlet silia, disrupsi duktus koklearis dan organ Corti yang menyebabkan
bercampurnya cairan endolimf dan perilimf, destruksi sel-sel rambut (yang digantikan oleh
jaringan parut), serta degenerasi serat saraf koklea.5
Berikut adalah gambaran kerusakan sel-sel rambut akibat pajanan bising.6

20

Trauma akustik menyebabkan gangguan pendengaran yang berat dan ireversibel. Impuls dengan
intensitas tinggi (>140 dB) dapat secara langsung merusak membran timpani, tulang-tulang
pendengaran, membran telinga dalam, dan organ Corti. Pada trauma akustik ini, refleks akustik
(refleks kontraksi muskulus stapedius sebagai respons terhadap bising >90 dB) tidak bekerja
maksimal karena memerlukan waktu 25-150 ms setelah pajanan bising. Akibatnya, transmisi dari
bising yang impulsif ini (contohnya ledakan), meski hanya sebentar, tidak mampu diredam dan
menyebabkan ketulian secara cepat.3
II.

Bukti Epidemiologi:

Bising lingkungan kerja merupakan masalah utama pada kesehatan kerja di berbagai negara.
Sedikitnya 7 juta orang ( 35 % dari total populasi industri di Amerika dan Eropa ) terpajan bising
85 dB atau lebih. Ketulian yang terjadi dalam industri menempati urutan pertama dalam daftar
penyakit

akibat

kerja

diAmerika

dan

Eropa.

Di Amerika lebih dari 5,1 juta pekerja terpajan bising dengan intensitas lebih dari 85 dB. Barrs
melaporkan pada 246 orang tenaga kerja yang memeriksakan telinga untuk keperluan ganti rugi
asuransi, ditemukan 85 % menderita tuli saraf, dan dari jumlah tersebut 37 % didapatkan
gambaran takik pada frekuensi 4000 Hz dan 6000 Hz.
Di Polandia diperkirakan 600.000 dari 5 juta pekerja industri mempunyai risiko terpajan bising ,
dengan perkiraan 25 % dari jumlah yang terpajan terjadi gangguan pendengaran akibat bising.
Dari seluruh penyakit akibat kerja dapat diidentifikasi penderita tuli akibat bising lebih dari 36
kasus baru dari 100.000 pekerja setiap tahun.
21

Di Indonesia penelitian tentang gangguan pendengaran akibat bising telah banyak dilakukan
sejak lama. Survai yang dilakukan oleh Hendarmin dalam tahun yang sama pada industri yang
menggunakan teknologi mesin di Jakarta mendapatkan hasil terdapat gangguan pendengaran
pada 50% jumlah karyawan disertai peningkatan ambang dengar sementara sebesar 5-10 dB pada
karyawan yang telah bekerja terus-menerus selama 5-10 tahun.
III.

Pengamatan

-Kuantitatif: masa kerja-sistem kerja(shift 2-2-2libur), tempoh kerja


-kualitatif: cara kerja, proses kerja, bagaimana lingkungan kerja
Kuantitatif:
Standar nilai ambang batas kebisingan yang telah ditetapkan oleh surat edaran menteri tenaga
kerja, transmigrasi dan koperasi No.SE 01/MEN/1978, menyatakan intensitas tertinggi dan nilai
rata-rata yang masih dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan hilangnya daya denagar
untuk waktu terus-menerus tidak lebih dari 8 jam sehari atau 40jam seminggu.1,3 Waktu
maksimum bekerja adalah sebagai berikut:

82 dB: 16 jam per hari

85 dB: 8jam perhari

88 dB: 4jam perhari

91 dB: 2jam perhari

97 dB: 1jam perhari

100 dB: jam perhari

daripada hasil anmnesis, system kerja yang dipakai di perusahaan tempat pasien bekerja
menggunakan sistem shift 2-2-2 libur. Ini bererti pasien bekerja selama (48jam) 6hari dalam 1
minggu. Ini bererti waktu pajanan pasien terhadap kebisingan ditempat kerjanya melebihi nilai
ambang batas.

22

Menurut NIOSH tempoh kerja berhubungan dengan terjadinya NIHL, hasil penelitian ini
menunjukkan risiko terjadinya NIHL pada pekerja dengan tempoh kerja >20 tahun 3,84 kali
lebih besar dibandingkan terjadinya NIHL dengan masa kerja < 10 tahun (OR = 3,84; 95% CI =
1,45 - 10,36). Hasil ini tidak berbeda dengan penelitian yang dilakukan Alberti4 dan Olishifski.
Menurut Alberti4 pajanan 90 dBA dalam 8 jam kerja dan 5 hari/minggu, maka 15% dari populasi
terpajan berisiko menderita ketulian secara bermakna setelah terpajan selama 10 tahun.
Demikian juga pada penelitian Sundari menunjukkan dengan masa kerja lebih dari 10 tahun dan
Kertadikara mendapatkan tahun kesembilan pajanan bising merupakan batas terjadinya
gangguan pendengaran secara bermakna.

Kualitatif:
Kerja di bagian pembangkit listrik(turbin) adalah suatu kerja yang menggunakan mesin.
Biasanya setiap mesin bermotor yang digunakan menghasilkan bunyi yang dapat merusak sistem
pendengaran terutama apabila melebihi nilai ambang batas bagi setiap nilai intensitas bunyi
yang dikeluarkan.1,2 Ini bererti lingkungan kerja di bagian pembangkit listrik(turbin) adalah suatu
lingkungan kerja yang terdedah kepada kebisingan yang dapat mempengaruhi sistem
pendengaran setiap tenaga kerja sekitarnya yang juga diperkuat oleh faktor-faktor tertentu yang
berperan.

IV. Pemakaian alat pelindung (sesuai/tepat)-jumlah pajanan: data lingkungan, data monitoring
biologis, hasil suveilance

Alat pelindung telinga adalah satu inisiatif/kebijakan yang digunakan pada lingkungan kerja
yang terpajan dengan kebisingan/intensitas bunyi yang melebihi nilai ambang batas. Alat
pelindung telingan dapat bermacam-macam yang disesuaikan mengikut indikasi tertentu.
Daripada anamnesis, pasien menyatakan alat pelindung telinga(APT),telah disediakan oleh
perusahaan namun tidak dilakukan pemantauan mengenai kualitas fungsi APT karena pasien
menyatakan beliau telah menggunakan APT tetapi kondisi APTnya telah usang. Ini bermakna

23

APT yang digunakannya sepanjang tempoh kerjanya tidak berfungsi melindungi telinganya dari
pajanan bising yang dapat merosak sistem pendengarannya.

5. FAKTOR INDIVIDU:
a. Usia
b. Riwayat kesehatan

USIA:

NIHL yang terjadi pada umur >40 tahun selain berhubungan dengan faktor bising, kemungkinan
pula berhubungan dengan penurunan ambang pendengaran karena faktor usia/presbiacusis.
Menurut Olishifski(16) melaporkan walaupun pengaruh usia terhadap pajanan bising masih
dalam perdebatan, pada usia diatas 40 tahun terjadi penurunan ambang pendengaran 0,5 dBA
setiap tahun, 20% dari populasi umum dengan usia 50-59 tahun mengalami kehilangan
pendengaran tanpa mendapat pajanan bising industri.2,3

RIWAYAT KESEHATAN:
Masalah NIHL dapat diperberat sekiranya pasien mempunyai riwayat neuroma akustik. Neuroma
akustik adalah suatu tumor yang dapat menyebabkan tekanan pada telinga sehingga
menyebabkan gangguan pendengaran, dering di telinga dan ketidakseimbangan.1,4 Juga dikenal
sebagai schwannoma vestibular, neuroma akustik merupakan penyebab umum gangguan
pendengaran. Neuroma akustik biasanya tumbuh lambat atau tidak sama sekali, tetapi dalam
beberapa kasus mungkin tumbuh pesat dan menjadi cukup besar untuk menekan otak dan
mengganggu fungsi vital.

Hasil dari anamnesis faktor individu yang sangat berperan pada pasien adalah hanya faktor usia
karena pasien berusia 45 tahun. Dari pembahasan mengenai faktor usia, menjelaskan bahawa
pada usia diatas 40 tahun terjadi penurunan ambang pendengaran 0,5 dBA setiap tahun, 20%.

6. FAKTOR LAIN DI LUAR PEKERJAAN:


24

Identifikasi penyebab untuk menyingkirkan penyebab ketulian non industrial seperti riwayat
penggunaan obat-obat ototoksik atau riwayat penyakit sebelumnya.

Obat-obat ototoksik

Tinitus gangguan pendengaran dan vertigo merupakan gejala utama ototoksisitas.Tinitus


biasanya menyertai segala jenis tuli sensorineural oleh sebab apa pun,dan sering kali mendahului
serta lebih mengganggu dari tulinya sendiri.Tuli akibat ototoksik yang menetap malahan dapat
terjadi berhari-hari,berminggu-minggu atau berbulan-bulan setelah selesai pengobatan.Biasanya
tuli bersifat bilateral,tetapi tidak jarang unilateral.Gangguan pendengaran yang berhubungan
dengan ototoksisitas sangat sering ditemukan,oleh karena pemberian gentamisin dan
streptomisin.Terjadinya secara perlahan-lahan dan beratnya sebanding dengan lama dan jumlah
obat yang diberikan serta keadaan fungsi ginjalnya.

Mekanisme ototoksik
Akibat penggunaan obat-obat yang bersifat ototoksik akan dapat menimbulkan gangguan
fungsional pada telinga dalam yang disebabkan telah terjadi perubahan struktur anatomi pada
organ telinga dalam.Kerusakan yang ditimbulkan oleh preparat ototoksik tersebut antara lain
adalah :

Degenerasi stria vaskularis.Kelainan patologi ini terjadi pada penggunaan semua jenis
obat ototoksik.

Degenerasi sel epitel sensori.Kelainan patologi terjadi pada organ corti dan labirin
vestibular,akibat penggunaan antibiotika aminoglikosida sel rambut luar dalam,dan
perubahan degeneratif ini terjadi dimulai dari basal koklea dan berlanjut terus hingga
akhirnya sampai ke bagian apeks.

Degenerasi sel ganglion.Kelainan ini terjadi sekunder akibat adanya degenerasi dari sel
epitel sensori.

Obat obat ototoksik


1. Aminoglikosida misalnya streptomisin,neomisin etc
2. Eritromisin
3. Loop diuretic
4. Obat anti inflamasi
25

5. Obat anti malaria


6. Obat anti tumor
7. Obat tetes telinga

Penatalaksanaan
Tuli yang diakibatkan oleh obat-obat ototoksik tidak dapat diobati.Bila pada waktu pemberian
obat-obat ototoksik terjadi gangguan pada telinga dalam,maka pengobatan harus segera
dihentikan.

Riwayat merokok
Sebuah penelitian terhadap lebih dari 1.500 remaja AS yang berusia 12- 19 tahun
menunjukkan bahwa merokok pasif berdampak langsung merusak telinga anak-anak muda.
Semakin besar paparan, semakin besar kerusakan yang ditimbulkan. Pada beberapa kasus,
kerusakan tersebut cukup mengganggu kemampuan seorang remaja untuk memahami
pembicaraan. Demikian laporan studi tersebut, yang diterbitkan dalam jurnal khusus bedah
leher dan kepala, Archives of Otolaryngology (7/2011).Asap rokok meningkatkan risiko
infeksi yang menghalangi suplai darah halus ke telinga sehingga dapat menyebabkan
kerusakan kecil tapi fatal. Namun, belum diketahui dari studi tersebut berapa banyak paparan
asap rokok yang berbahaya dan kapan kerusakan dapat terjadi.

Pasien ditanyakan tentang riwayat cedera kepala,trauma akustik,riwayat infeksi


telinga dan operasi telinga.

7. DIAGNOSIS OKUPASI:
NIHL adalah Penyakit akibat kerja (PAK)
Nilai ambang batas (NAB) kebisingan sebagai faktor bahaya di tempat kerja adalah standar
sebagai pedoman pengendalian agar tenaga kerja masih dapat menghadapinya tanpa
mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak
melebihi 8 jam sehari dan 5 hari kerja seminggu atau 40 jam seminggu. Sebagaimana yang telah
26

dinyatakan sebelumnya yang dimaksud dengan kebisingan dalam NAB ini adalah semua suara
yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja
yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran. Laki-laki tersebut bekerja
di bagian pembangkit listrik (turbin) di mana jenis kebisingan menetap berkelanjutan tanpa
putus-putus dengan frekuensi yang lebar (steady state,wide band noise) misalnya bising mesin,
kipas angin, dapur pijar dan lain-lain. Laki-laki tersebut memakai ear muff yang telah usang. Ear
muff biasanya lebih efektif dari sumbat telinga dan dapat lebih besar menurunkan intensitas
kebisingan yang sampai ke saraf pendengar. Alat-alat ini dapat mengurangi intensitas kebisingan
sekitar 10-25 dB. Pajanan bising bersumberkan dari mesin pembangkit listrik (listrik) dan
penggunaan ear muff yang usang menunjukkan ada hubungan antara pajanan dan penyakit yang
terjadi.Noise induced hearing loss terjadi karena terjadi kerusakan sel sendorik atau bahkan
kerusakan total organ Corti di dalam koklea disebabkan pajanan bising yang tinggi.NIHL adalah
termasuk di dalam penyakit akibat kerja (PAK) mengikut ILO 1992 iaitu kelainan pendengaran
yang disebabkan oleh kebisingan.

2. PENATALAKSANAAN:
Sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya dipindahkan kerjanya dari linkungan
bising.Bila tidak mungkin dipindahkan dapat dipergunakan alat pelindung telinga terhadap
bising,seperti sumbat telinga (ear plug),tutup telinga (ear muff) dan pelindung kepala (helmet).
Oleh kerana tuli akibat bising adalah tuli sensorineural koklea yang bersifat menetap,bila
gangguan pendengaran sudah mengakibatkan kesulitan berkomunikasi dengan volume
percakapan biasa,dapat dicoba pemasangan alat bantu dengar(ABD).Apabila pendengaran telah
sedemikian buruk,sehingga dengan memakai ABD pun tidak dapat berkomunikasi dengan
adekuat perlu dilakukan psikoterapi agar dapat menerima keadaannya.Latihan pendengaran agar
dapat menggunakan sisa pendengaran dengan ABD secara efisien dibantu dengan membaca
ucapan bibir (lip reading),mimik dan gerakan anggota badan,serta bahasa isyarat untuk dapat
berkomuni8kasi.Di samping itu,oleh karena pasien mendengar suaranya sendiri sangat
lemah,rehabilitasi sura juga diperlukan agar dapat mengendalikan volume,tinggi rendah dan
irama percakapan.

27

Gambar 1 : Alat bantu dengar

Alat bantu dengar adalah suatu perangkat elektronik yang berguna untuk memperkeras
(amplifikasi) suara yang masuk ke dalam telinga;sehingga si pemakai dapat mendengar lebih
jelas suara yang ada di sekitarnya.
Pada pasien yang telah mengalami tuli total bilateral dapat dipertimbangkan untuk pemasangan
implan koklea.Implan koklea merupakan perangkat elektronik yang mempunyai kemampuan
menggantikan fungsi koklea untuk meningkatkan kemampuan mendengar dan berkomunikasi
pada pasien tuli saraf berat dan total bilateral.Indikasi pemasangan implan koklea adalah keadaan
tuli saraf berat bilateral atau tuli total bilateral yang tidak/sedikit mendapat manfaat dengan alat
bantu konvensional.
Gambar 2 : Implan koklea

Cara kerja implan koklea


Impuls suara ditangkap oleh mikrofon dan diteruskan menuju speech processor melalui kabel
penghubung.Speech processor akan melakukan seleksi informasi suara yang sesuai dan
28

mengubahnya menjadi kode suara yang akan disampaikan ke transmitter.Kode suara akan
dipancarkan menembus kulit menuju receiver atau stimulator.Pada bagian ini kode suara akan
diubah menjadi sinyal listrik dan akan dikirim menuju elektrode elektrode yang sesuai di dalam
koklea sehingga menimbulkan stimulasi serabut-serabut saraf.
3. PENCEGAHAN:
PROGRAM PENCEGAHAN/ PROGRAM KONSERVASI
PENDENGARAN
Program pencegahan yang dapat dilakukan meliputi hal-hal berikut (NIOSH, 1996):
1. Monitoring paparan bising
2. Kontrol engineering dan administrasi
3. Evaluasi audiometer
4. Penggunaan Alat Pelindung Diri (PPE)
5. Pendidikan dan Motivasi
6. Evaluasi Program
7. Audit Program

I. MONITORING PAPARAN BISING


Tujuan monitoring paparan bising, yang sering juga disebut survei bising, bertujuan untuk :
1. Memperoleh informasi spesifik tentang tingkat kebisingan yang ada pada setiap tempat kerja.
2. Menetapkan tempat-tempat yang akan diharuskan menggunakan APD.
3. Menetapkan pekerja yang harus (compulsory) menjalani pemeriksaan audiometri secara
periodik.
4. Menetapkan kontrol bising (baik administratif maupun teknis).
5. Menilai apakah perusahaan telah memenuhi persyaratan UU yang berlaku.

Prinsip monitoring paparan bising :


Pengukuran dilakukan oleh pegawai yang mempunyai kualifikasi sebagai berikut :
1. SOP pengukuran harus ada dan jelas.
2. Hasil dikomunikasikan pada manajemen dan pegawai,
- paling lama dalam waktu 2 minggu
29

- untuk Jamsostek di Indonesia : 2 x 24 jam


Ada 2 macam monitoring paparan bising :
1. Monitoring pendahuluan
Pengukuran bising pendahuluan untuk menentukan masalah yang potensial berbahaya untuk
pendengaran, berdasarkan lokasi tempat kerja. Survei ini dilaksanakan jika terdapat kesulitan
dalam berkomunikasi, adanya keluhan pekerja bahwa telinga berdengung setelah bekerja.
2. Monitoring bising terperinci
Dilakukan berdasarkan hasil monitoring bising pendahuluan, dengan menetapkan lokasi khusus
yang memerlukan penelitian lebih lanjut. Pemeriksaan dilakukan secara terperinci di setiap
lokasi. Monitoring bising terperinci dilakukan dalam tiga tahap :
a. Pengukuran lingkungan kerja slow response dengan skala A (dB). Buat gambar peta bising
(luas < = 93 meter). Bila hasil lebih dari 80 dB maka lingkungan tersebut cukup aman untuk
bekerja, sedangkan bila antara 80- 92 dB perlu pengukuran dan tindakan lebih lanjut (skala b).
b. Pengukuran di tempat kerja (<85 dB) Dilakukan dengan skala B (intensitas bunyi) ,
pengukuran dengan peta, ukur tempat dan ruang kerja, ukur maximun dan minimumnya., bila
lebih dari 85 dB, lakukan tahap selanjutnya
c. Lamanya paparan (jumlah jam terpapar) Buat logbook untuk setiap orang berdasarkan job
classification, catat lamanya terpapar (sekarang digunakan audiometer).

II. KONTROL - engineering dan administratif


Kontrol engineering ditujukan pada sumber bising dan sebaran bising; contohnya :
1. Pemeliharaan mesin (maintenance) yaitu mengganti, mengencangkan bagian mesin yang
longgar, memberi pelumas secara teratur, dan lain-lain.
2. Mengganti mesin bising tinggi ke yang bisingnya kurang.
3. Mengurangi vibrasi atau getaran dengan cara mengurangi tenaga mesin, kecepatan putaran
atau isolasi.
4. Mengubah proses kerja misal kompresi diganti dengan pukulan.
5. Mengurangi transmisi bising yang dihasilkan benda padat dengan menggunakan lantai
berpegas, menyerap suara pada dinding dan langit-langit kerja.
6. Mengurangi turbulensi udara dan mengurangi tekanan udara.
7. Melakukan isolasi operator dalam ruang yang relatif kedap suara.
30

Pengendalian administratif dilakukan dengan cara :


1. Mengatur jadual produksi
2. Rotasi tenaga kerja
3. Penjadualan pengoperasian mesin
4. Transfer pekerja dengan keluhan pendengaran
5. Mengikuti peraturan

III. EVALUASI AUDIOMETRI


Pengukuran audiometrik sebaiknya dilakukan pada :
1. Pre-employment
2. Penempatan ke tempat bising
3. Setiap tahun, bila bising > 85 dB
4. Saat pindah tugas keluar dari tempat bising
5. Saat pensiun/purna tugas
Tipe audiogram :
1. Pre-employment/preplacement/Baseline
2. Annual monitoring
3. Exit
Policy mengenai audiogram :
1. Base line atau data dasar :
- dalam 6 bulan mulai bekerja di tempat bising (85 dBA)
- untuk baseline 14 jam bebas bising, atau menggunakan APD
2. Annual audiogram Bagi yang TWA > 85 dBA
3. Evaluasi :
- setiap tahun dibandingkan dengan base-line
- bila STS (Significant Threshold Shift) > 10 dB (rata-rata pada 2000-3000-4000 Hz), maka
disebut + (positif). Bila STS (+) maka yang dilakukan adalah :
- pemeriksaan dokter
- periksa tempat kerja
- periksa data kalibrasi alat
- komunikasikan dengan karyawan tersebut
31

- jika karena penyakit, konsulkan ke dokter THT


- periksa ulang dalam waktu 1 (satu) tahun Bila STS (+) karena pekerjaannya :
- Bila belum menggunakan APD, diharuskan memakai
- Bila sudah memakai, beri petunjuk ulang
- Komunikasikan dengan pegawai dan atasan secara tertulis
- Bila perlu, konsul THT Lakukan revisi baseline, bila STS persisten atau membaik

IV. PENGGUNAAN APD


Beberapa faktor yang mempengaruhi penggunaan alat pelindung telinga :
1. Kecocokan; alat pelindung telinga tidak akan memberikan perlindungan bila tidak dapat
menutupi liang telinga rapat-rapat. Nyaman dipakai; tenaga kerja tidak akan menggunakan APD
ini bila tidak nyaman dipakai. Penyuluhan khusus, terutama tentang cara memakai dan merawat
APD tersebut.
Jenis-jenis alat pelindung telinga :
1. Sumbat telinga (earplugs/insert device/aural insert protector)
Dimasukkan ke dalam liang telinga sampai menutup rapat sehingga suara tidak mencapai
membran timpani. Beberapa tipe sumbat telinga :
a. formable type
b. custom-molded type
c. premolded type
Sumbat telinga bisa mengurangi bising s/d 30 dB lebih.
2.Tutup telinga (earmuff/protective caps/circumaural protectors)
Menutupi seluruh telinga eksternal dan dipergunakan untuk mengurangi bising s/d 40- 50 dB
frekuensi 100 - 8000 Hz.
3.Helmet/ enclosure
Menutupi seluruh kepala dan digunakan untuk mengurangi maksimum 35 dBA pada 250 Hz
sampai 50 dBApada frekuensi tinggi
Pemilihan alat pelindung telinga :
1. Earplug bila bising antara 85- 200 dBA
2. Earmuff bila di atas 100 dBA

32

3. Kemudahan pemakaian, biaya, kemudahan membersihkan dan kenyamanan APD ini harus
tersedia di tempat kerja tanpa harus membebani pekerja dari segi biaya, perusahaan harus
menyediakan APD ini. Cara terbaik sebenarnya bukan penggunaan APD tetapi pengendalian
secara teknis pada sumber suara.

V. PENDIDIKAN DAN MOTIVASI


Program pendidikan dan motivasi menekankan bahwa program konservasi pendengaran sangat
bermanfaat untuk melindungi pendengaran tenaga kerja, dan mendeteksi perubahan ambang
pendengaran akibat paparan bising.1 Tujuan pendidikan adalah untuk menekankan keuntungan
tenaga kerja jika mereka memelihara pendengaran dan kualitas hidupnya. Lebih lanjut
penyuluhan tentang hasil audiogram mereka, sehingga tenaga kerja termotivasi untuk
berpartisipasi melindungi pendengarannya sendiri. Juga melalui penyuluhan diharapkan tenaga
kerja mengetahui alasan melindungi telinga serta cara penggunaan alat pelindung telinga.

VI. EVALUASI PROGRAM


Evaluasi program ditujukan untuk mengevaluasi hasil program-program konservasi, dengan
sasaran :
1. Review program dari sisi pelaksanaan serta kualitasnya, misalnya pelatihan dan penyuluhan,
kesertaan supervisor dalam program, pemeriksaan masing-masing area untuk meyakinkan
apakah semua komponen program telah dilaksanakan.
2. Hasil pengukuran kebisingan, identifikasikan apakah ada daerah lain yang perlu dikontrol
lebih lanjut.
3. Kontrol engineering dan administratif.
4. Hasil pemantauan audiometrik dan pencatatannya; bandingkan data audiogram dengan
baseline untuk mengukur keberhasilan pelaksanaan program.
5. APD yang digunakan.

VII. PROGRAM AUDIT


1. Audit Eksternal, dapat dilakukan program audit oleh pihak luar untuk mengetahui costeffectiveness dan cost-benefit dari program konservasi pendengaran.

33

2. QQ program (Quality Qontrol Program) dilakukan secara internal, terus menerus untuk
menilai efektivitas program konservasi pendengaran.

4. PENGELOLAAN:
1. PEMERIKSAAN KESEHATAN (MCU)
Tenaga kerja merupakan asset yang berharga bagi sebuah perusahaan, dimana kesehatan pekerja
akan sangat mempengaruhi tingkat produktivitas perusahaan. Dalam penerapan program efisiensi
dan efektifitas health cost perusahaan, maka diperlukanlah deteksi dini dan pencegahan penyakit
secara komprehensif, dimana banyak sekali peraturan pemerintah yang berkaitan dengan
kesehatan pekerja terutama yang berkaitan dengan Penyakit Akibat Kerja. Pemeriksaan
kesehatan (Medical Check Up) adalah suatu prosedur yang dilakukan untuk mengetahui status
kesehatan individu saat ini dan sebagai usaha untuk memelihara kesehatan secara berkala.
Pemeriksaan kesehatan sebagai screening adalah suatu bentuk tindakan pencegahan dan sering
digunakan untuk mendeteksi adanya suatu penyakit secara dini. Melalui pemeriksaan kesehatan
yang tepat dan teliti dapat membantu dalam mendeteksi suatu penyakit yang tidak diketahui
sebelumnya karena tidak menimbulkan keluhan pada individu yang bersangkutan. Penyakit dan
gangguan kesehatan yang dapat dideteksi lebih dini tentu dapat mempermudah kontrol dan
tindakan pengobatan sehingga mencegah penyakit berkembang menjadi lebih serius dan yang
tidak kalah penting adalah tidak mengurangi kualitas hidup individu tersebut. Pemeriksaan
kesehatan tenaga kerja sangat penting untuk meningkatkan derajat kesehatan dan produktivitas
kerja serta mencegah terjadinya penyakit pada pekerja akibat dari kondisi kerjanya. Kapasitas
dan produktivitas pegawai juga ditentukan oleh keadaan kesehatannya. Dimana hal ini
dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk kebiasaan hidup sehari-hari dan kondisi lingkungan
pekerjaan, yang pada akhirnya akan ikut menentukan kinerja masing-masing pegawai. Bersandar
pada pengertian inilah maka penting untuk dilakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala
kepada seluruh pegawai. Tujuan dari pemeriksaan kesehatan kepada pegawai adalah untuk
memberi jaminan pegawai tersebut cocok untuk dipekerjakan dan tetap dalam keadaan bugar
sepanjang masa kerja. Selain itu juga sebagai deteksi dini ( screening)

d a n penanganan

penyakit akibat kerja/penyakit yang berhubungandengan pekerjaan. Pelaksanaan

dari

pemeriksaan kesehatan pegawai juga memiliki landasan hukum yang mengatur, yaitu sesuai

34

dengan UU Kesehatan no.23 / 1992, pasal 23, ayat 2 : Kesehatan Kerja meliputi pelayanan
kesehatan kerja, pencegahan penyakit akibat kerja dan syarat kesehatan kerja.

1.FungsiMedical Check Up:


Untuk mendeteksi dini suatu penyakit, terutama penyakit akibat kerja.
Bermanfaat dalam reimbursment system atau premiasuransi.
Pembiayaan yang rasional dan efektif bagi health budgeting perusahaan.
Untuk meningkatkan produktivitas kerja.

2.Sistem Yang harus Digunakan:


Pengolahan data menggunakan software khusus(sehingga dapat memudahkan pihak
HRD/HSE dalam membuat overview hasil medical check up).
Hasil dapat disajikan dalam bentuk soft copy
Report hasil dapat dikelompokkan berdasar kajian occupational health.

2. PELAYANAN KESEHATAN
Jenis-jenis program/kegiatan yang dilaksanakan dalam penyelenggaraan pelayanan
kesehatan kerja meliputi :
A. Upaya Kesehatan Promotif :
1. Pembinaan kesehatan kerja
2. Pendidikan dan pelatihan bidang kesehatan kerja
3. Perbaikan gizi kerja
4. Program olah raga di tempat kerja
5. Penerapan ergonomi kerja
6. Pembinaan cara hidup sehat
7. Program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS dan Narkoba di tempat kerja
8.Penyebarluasan

informasi

kesehatan

kerja

melalui

penyuluhan

KIE(Komunikasi, Informasi dan Edukasi), dengan topik yang relevan.


B. Upaya Kesehatan Preventif :
35

dan

media

1. Melakukan penilaian terhadap faktor risiko kesehatan di tempat kerja (health hazard
risk assesment) yang meliputi :
a. Identifikasi faktor bahaya kesehatan kerja melalui : pengamatan, walk through
survey, pencatatan/pengumpulan data dan informasi
b. Penilaian/pengukuran potensi bahaya kesehatan kerja
c. Penetapan tindakan pengendalian faktor bahaya kesehatan pekerja
2. Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja (awal, berkala dan khusus)
3. Survailans dan analisis PAK dan penyakit umum lainnya
4. Pencegahan keracunan makanan bagi tenaga kerja
5. Penempatan tenaga kerja sesuai kondisi/status kesehatannya
6. Pengendalian bahaya lingkungan kerja
7. Penerapan ergonomi kerja
8. Penetapan prosedur kerja aman atau Standard Operating Procedure (SOP)
9. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) yang sesuai
10. Pengaturan waktu kerja (rotasi, mutasi, pengurangan jam kerja terpapar faktor
risiko dll);
11. Program imunisasi
12. Program pengendalian binatang penular (vektor) penyakit.

C. Upaya Kesehatan Kuratif :


1. Pengobatan dan perawatan
2. Tindakan P3K dan kasus gawat darurat lainnya
3. Respon tanggap darurat
4. Tindakan operatif
5. Merujuk pasien dll.

D. Upaya Kesehatan Rehabilitatif :


1. Fisio therapi
2. Konsultasi psikologis (rehabilitasi mental)
3. Orthose dan prothese (pemberian alat bantu misalnya : alat bantu dengar ,dll)
4. Penempatan kembali dan optimalisasi tenaga kerja yang mengalami cacat akibat
36

kerja disesuaikan dengan kemampuannya.


5. Rehabilitasi kerja
3. PEMERIKSAAN LINGKUNGAN:
Mengelola lingkungan kerja agar aman bagi pekerja adalah tugas atau tanggung jawab dari
perusahaan atau pengusaha. Hal ini dilakukan untuk melindungi pekerja dari konsekwensi yang
akan timbul akibat terlalu lama berada di area kerja tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa jam
kerja yang berlaku umum di perusahaan adalah 8 jam/hari, artinya seorang pekerja akan berada
di sekitar lokasi tersebut selama 8 jam. Mengingat waktu terpaparnya seorang pekerja di area
yang bising cukup lama, maka pengelolaan area kerja mutlak diperlukan
Pengelolaan kebisingan dapat dilakukan dengan beberapa tahapan :
1. Mendeteksi tingkat kebisingan yang terjadi.
Proses ini dilakukan dengan mengukur tingkat kebisingan di area kerja tersebut dengan
menggunakan detector yang valid. Hal ini dilakukan untuk mengetahui tingkat
kebisingan di area tersebut.
2. Mencari penyebab kebisingan.
Tahap ini diperlukan untuk menentukan penyebab timbulnya kebisingan. Kebisingan bisa
saja timbul akibat kerusakan peralatan yang terdapat di sekitar area kerja tersebut,
misalnya adanya bocoran steam, adanya kerusakan pada peredam suara, tidak optimalnya
pengaturan kondisi operasi, dan lainnya. Jika ditemukan penyebab seperti itu, maka
dengan perbaikan peralatan tersebut sudah bisa menurunkan tingkat kebisingan.
Jika sumber kebisingan itu berasal dari peralatan atau mesin tidak bisa diperbaiki lagi
atau permanent, maka perlu dibuatkan strategi untuk mengurangi kebisingan atau
melindungi pekerja.
3. Menentukan cara pengelolaan yang terbaik.
Setelah ditemukan penyebab kebisingan, buatkan rencana pengelolaan yang tepat.
Misalnya perlu penambahan peredam suara, pekerja harus memakai alat pelindung diri
37

untuk telinga seperti earplugs atau earmuff, dan mengatur waktu tinggal seseorang di
lokasi tersebut baik dengan atau tanpa alat pelindung diri.
4. Implementasi
Jika cara yang tepat untuk pengelolaan kebisingan sudah ditemukan, segera
implementasikan. Selain melakukan apa yang menjadi rekomendasi tahap sebelumnya,
hasil pemeriksaan terhadap kebisingan sebaiknya ditampilkan di lokasi tersebut, bisa
berupa flyer, atau pamphlet, sehingga orang-orang yang berada di daerah tersebut
mengetahui tingkat kebisingan di area itu dan bisa melakukan langkah-langkah untuk
memproteksi dirinya dari paparan kebisingan tersebut.
5. Evaluasi
Tahap akhir adalah melakukan evaluasi terhadap hasil implementasi yang sudah
dilakukan. Evaluasi ini dibutuhkan untuk mengetahui efektifitas pengelolaan yang sudah
dilakukan. Hal-hal yang dievaluasi antara lain, tingkat kebisingan diarea tersebut
(berkurang atau bertambah), tingkat kesehatan telinga orang-orang yang terlibat atau
terpapas di area tersebut.
Selalu melakukan improvement guna mendapatkan tingkat kebisingan yang terbaik dan aman
bagi pekerja.

5. PROGNOSIS:
Pada pasien NIHL, pendengaran umumnya stabil bila pasien dijauhkan dari pajanan bising.
NIHL tidak berkembang semakin buruk bila pasien sudah dijauhkan dari pajanan bising. Namun
demikian, secara umum prognosis NIHL kurang baik. Hal ini dikarenakan ketulian sensorineural
yang sudah terjadi sifatnya menetap dan tidak dapat diatasi dengan obat ataupun pembedahan.
Untuk itu, yang terpenting adalah upaya pencegahan.3,5
6.KESIMPULAN:
Kebisingan di tempat kerja dapat menimbulkan gangguan pendengaran dan
gangguan sistemik yang dalam jangka waktu panjang dapat menimbulkan gangguan
kesehatan dan penurunan produktivitas tenaga kerja. Oleh karena itu perlu dilakukan
38

pemantauan dan deteksi dini untuk pencegahan karena kerugian yang harus
dibayarkan akibat kebisingan ini cukup besar. Pemeriksaan gangguan pendengaran harus
dilakukan secara teliti, cermat, dan hati-hati untuk menghindari kesalahan prosedur dalam
memberikan kompensasi kepada tenaga kerja.
Langkah-langkah yang seharusnya dilaksanakan oleh perusahaan ialah:
1. Memberikan pelatihan dokter-dokter perusahaan
2. Penerangan dalam bentuk ceramah, diskusi dan demonstrasi untuk pimpinan dan pekerjapekerja perusahaan
3. Pemeriksaan pendengaran sebelum diterima sebagai pekerja
4. Pemeriksaan pendengaran ulangan berkala, misalkan sekali setahun
5. Pengendalian sumber-sumber bising dan perambatannya
6. Perlindungan telinga dari para pekerja

DAFTAR PUATAKA:
1. Sulistomo A. Penyakit akibat kerja dan penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan
(Bab 6). In: Aditama TY, Hastuti T, editors. Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Jakarta:
UI-Press; 2002. p. 64-71.
2. Agrawal SK, Schindler DN, Jackler RK, Robinson S. Occupational hearing loss (Chap.
58). In: Lalwani AK, editor. Current Diagnosis and Treatment Otolaryngology Head and
Neck Surgery. 2nd ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 732-43.
3. Sumamur. Aneka pendekatan keselamatan lain (Bab 19). In: Sumamur. Keselamatan
Kerja dan Pencegahan Kecelakaan. Jakarta: Haji Masagung; 1999. p. 296-301.
4. Bashiruddin J, Soetirto I. Gangguan pendengaran akibat bising (Bab 2). In: Soepardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. 6th ed. Jakarta: Gaya Baru; 2007. p. 49-52.
5. Sherwood L. The peripheral nervous system: afferent division; special senses (Chap. 6).
In: Sherwood L. Human Physiology: From Cells to Systems. 5th ed. Belmont: Thomson
Learning; 2004. p. 221.

39

40

Anda mungkin juga menyukai