Bedah Dento Alveolar PDF
Bedah Dento Alveolar PDF
Di susun oleh :
Alwin Kasim, drg. SpBm
Lucky Riawan, drg. SpBm
Bandung
2007
Judul
Bandung, 2007
Mengetahui,
Kepala Bagian Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Padjadjaran
KATA PENGANTAR
Pendidikan di bidang Kedokteran Gigi merupakan program sarjana yang
mempersiapkan peserta didik agar memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian
khusus. Profesi di bidang Kedokteran Gigi adalah suatu bidang pekerjaan yang
memberikan pelayanan berupa jasa medis di bidang kedokteran gigi sehingga dengan
demikian harus memiliki kemampuan profesional di bidangnya yang didasari oleh etika
dan tanggung jawab secara profesional juga.
Salah satu bagian di bidang kedokteran gigi yaitu bagian bedah mulut yang
mengelola berbagai kasus/kelainan dengan tindakan pembedahan. Ada dua kategori
pembedahan yaitu operasi besar (major surgery) dan operasi kecil (minor surgery).
Adapun tindakannya bisa dilakukan dibawah anestesi umum atau anestesi lokal sesuai
dengan pertimbangan/indikasi kasus maupun pertimbangan dari ahli bedah mulutnya
sendiri. Maka untuk hal tersebut tentu saja dibutuhkan berbegai pengetahuan dasar
untuk melakukan berbagai persiapan maupun tindakan operasi disamping memiliki
keterampilan dalam tindakan pembedahan itu sendiri melalui suatu latihan.
Tidak setiap kelainan atau kasus di bagian bedah mulut dapat dikerjakan oleh
seorang dokter gigi umum akan tetapi ada kasus-kasus yang hanya dapat dilakukan
oleh seorang spesialis bedah mulut yang memiliki kewenangan untuk menindak lanjuti
kasus tersebut terutama kasus-kasus yang membutuhkan operasi besar. Kasus-kasus
operasi kecilpun tidak semua dapat dikerjakan oleh dokter gigi umum sehubungan
dengan resiko yang mungkin terjadi.
Dalam buku ini akan dibahas berbagai kasus operasi kecil (minor surgery)
khususnya kasus-kasus dento alveolar yang merupakan pengetahuan dasar bagi setiap
calon dokter gigi dengan harapan memiliki wawasan yang memadai dalam melakukan
persiapan preoperasi, perawatan post operasi termasuk penanggulangan berbagai
komplikasi yang terjadi pada setiap jenis kasus pembedahan.
Selain itu juga meningkatkan kesadaran akan menempatkan dirinya dalam
melaksanakan tindakan profesional di bidang kedokteran gigi
sesuai dengan
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
Persiapan Prabedah .........1
1. PENDAHULUAN........1
2. PERSIAPAN PASIEN.....1
2.1. PEMERIKSAAN FISIK ..........................................................1
2.2. RIWAYAT MEDIS...................................................................................................................2
2.3. PEMERIKSAAN DARAH........................................................................................................2
2.4. PEMERIKSAAN RADIOLOGIS...............................................................................................6
2.5. PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGIS.......................................................................................6
2.6. PERSIAPAN MENTAL.............................................................................................................6
2.7. KONSULTASI MEDIS..............................................................................................................6
2.8. INFORMED CONSENT..........................................................................................................7
2.9. PROPILAKSIS ANTIBIOTIK......................................................................................................7
2.10. PREMEDIKASI..8
2.11.PEMILIHAN ANESTESI...........................................................................................................9
3. PERSIAPAN OPERATOR STAFF..................................................................................................10
4. PERSIAPAN ALAT.......................................................................................................................10
Gigi Impaksi..................................................................................................................................11
PENDUHULUAN..............................................................................................................................11
DEFINISI..........................................................................................................................................11
ETIOLOGI.......................................................................................................................................12
KLASIFIKASI....................................................................................................................................13
PENATALAKSANAAN IMPAKSI......................................................................................................16
Apikoektomi.................................................................................................................................33
1. Pendahuluan............................................................................................................................33
2. Indikasi dan Kontra Indikasi.....................................................................................................33
3. Pemeriksaan sebelum melakukan tindakan Apikoektomi.................................................34
4. Pemeriksaan Radiologis..........................................................................................................35
5. Metoda Apikoektomi..............................................................................................................35
6. Prosedur Apikoektomi.............................................................................................................36
Perforasi Sinus Maksilaris.............................................................................................................44
Pendahuluan................................................................................................................................44
Uraian umum tentang sinus maksilaris.......................................................................................44
Etiologi sinus maksilaris.................................................................................................................46
Faktor predisposisi........................................................................................................................46
ii
iii
1. Archer. H.W. : Oral and Maxillofacial Surgery, 5 th ed.,1975 W.B. Saunders Co.
2. Peterson L.J. : Oral and Maxillofacial Surgery, 3rd ed 1998 Mosby Co.
3. Harry D : Atlas of Minor Oral Surgery, 2001, W.B. Saunders
4. Dimitroulis G. : A Synopsis of Minor Oral Surgery, 1997, British Library Cataloging an
Publication data
5. Pedlar J., Oral and Maxillofacial Surgery. An Objective based textbook, 2001,
Churchill Livingtone
iv
Persiapan Prabedah
1. PENDAHULUAN
Tindakan pembedahan merupakan tindakan yang berisiko baik terhadap
pasien maupun terhadap operator beserta staf. Risiko yang sering terjadi adalah
kontaminsasi mikroorganisme baik bakteri maupun virus . Penularan dapat melalui
darah, saliva, instrumen pembedahan. Selain kontaminasi mikroorganisme juga
terdapat komplikasi selama pembedahan dari komplikasi ringan sampai kepada
kematian pasien.
Studi
epidemiologi
menunjukkan
bahwa
persiapan
pasien
sebelum
2. PERSIAPAN PASIEN.
2.1. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dan laboratorium rutin, dilakukan dengan teliti, bila terdapat
indikasi lakukan konsultasi dengan bidang keahlian lain. Riwayat medis dan
pemeriksaan fisik merupakan metode screening yang paling baik untuk mendeteksi
adanya penyakit. Pemeriksaan fisik dilakukan secara menyeluruh dan sistematik.
Pada prakteknya pemeriksaan fisik meliputi empat prosedur rutin yaitu :
1. Anamnesa.
2. Inspeksi. Pemeriksaan diawali dengan melihat pasien secara keseluruhan,
sebelum melihat pada lokasi penyakit. Mungkin saja gejala yang tampak
dapat menjadi petunjuk untuk menegakkan diagnosa.
3. Palpasi.
Langkah
berikutnya
adalah
menggunakan
ujung
jari
untuk
Riwayat medis yang akurat merupakan informasi yang sangat berguna bagi
dokter untuk memutuskan apakah seorang pasien dapat menjalani perawatan
dengan aman atau tidak. Riwayat medis dapat diperoleh dengan bertanya
langsung pada pasien atau keluarga pasien atau dengan mengisi kuesioner. Format
standard digunakan untuk mencatat hasil pemeriksaan riwayat medis dan
pemeriksaan fisik (Tabel 1).
Beberapa hal yang perlu ditanyakan dan dicatat adalah :
1. Alergi, terutama pada penggunaan antibiotik.
2. Pengobatan, dilihat apakah pasien menggunakan steroid, insulin dan
antikoagulan.
3. Penyakit yang sedang diderita, terutama demam reumatik, kelainan katup
jantung, adanya riwayat infark atau stroke, diabetes mellitus, epilepsi, asma,
kelainan fungsi tiroid, gagal ginjal khronis dan kelainan perdarahan.
4. Riwayat pembedahan terdahulu, biasanya adalah pembedahan jantung,
transplantasi organ, atau operasi kanker. Ditanyakan pula apakah pasien
mengalami reaksi yang tidak biasa pada saat anestesi umum, obat-obatan
yang sedang diminum, alergi, penyakit yang sedang diderita (Hupp, 2003;
Dimitroulis G, 1997).
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Data biografi
Riwayat keluhan utama
Riwayat medis
Status sosial dan keluarga
Evaluasi keadaan umum
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan laboratorium dan rontgen
Tabel 1. Format standard untuk pencatatan riwayat medis dan pemeriksaan fisik
(Hupp,2003)
Hemoglobin
Pemeriksaan ini dilakukan sebagai bagian dari hitung darah lengkap.
Konsentrasi Hb adalah pengukuran jumlah total Hb dalam darah perifer. Hb
berperan dalam transport O2 dan CO2. nilai normal bervariasi menurut jenis kelamin
dan usia. Konsentrasi Hb meningkat pada penyakit jantung kongenital, polisitemia
vera, penyakit paru obstruktif khronis, gagal jantung kongestif, luka bakar parah, dan
dehidrasi. Hb rendah terdapat pada anemia, perdarahan hebat, hemolisis,
hemoglobinopati, penyakit hodkin, kanker, defisiensi nutrisi, limfoma, perdarahan
khronis, penyakit ginjal, splenomegali, lupus eritematosus sistemik, sicle cell anemia.
Nilai normal pada ; (Pagana, 1995)
Laki-laki
14-18 g/dl
Wanita
Anak-anak
11-16 g/dl
Bayi
10-15 g/dl
Leukosit
Leukosit merupakan bagian dari sistem pertahanan tubuh, yang akan
bereaksi terhadap benda asing yang masuk dan membuat mekanisme pertahanan
(feedback mechanism). Peningkatan jumlah leukosit (leukositosis) biasanya terjadi
pada infeksi akut, nekrosis jaringan, leukemia, penyakit kolagen, anemia hemolitik
dan stres. Beberapa obat-obatan seperti aspirin, antibiotik (ampisilin, eritromisin,
tetrasiklin, streptomisin, kanamisin), alupurinol, sulfonamid, heparin dan epineprin
dapat menyebabkan meningkatnya jumlah leukosit.
Penurunan
leukosit
(leukopenia)
biasanya
terjadi
pada
penyakit
: 4500-10000/mm3
Anak-anak 2 tahun
: 6000-17000/mm3
: 9000-30000/mm3
artritis reumatoid, demam, infark myokard akut, kanker (payudara, kolon, ginjal,
hepar) penyakit hodkins, multipel mieloma, limfosarkoma, infeksi bakteri, penyakit
radang pelvis akut, SLE , kehamilan trimester kedua dan ketiga, operasi, luka bakar,
dan obat-obatan seperti metildopa, teofilin, dan dekstrans.
Nilai normal pada : (Pagana,1995)
Dewasa : metode western : < 50 thn; pria 0-10 mm/jam; wanita 0-20mm/jam
> 50 thn; pria 0-20 mm/jam; wanita 0-30mm/jam
metode wintrobe; pria 0-7 mm/jam; wanita 0-15 mm/jam
Anak; bayi baru lahir 0-20mm/jam; 4-14thn 0-20 mm/jam
Trombosit
Trombosit merupakan elemen dasar dalam darah yang meningkatkan
koagulasi. Uji ini perlu dilakukan karena trombositopenia merupakan kelainan
hemostasis yang paling sering ditemukan pada pasien bedah. Hitung trombosit
normal pada dewasa adalah 150.000-400.000/mm3. bila nilai dibawah 100.000/mm3
menunjukkan trombositopenia yang dapat disebabkan oleh produksi trombosit yang
berkurang, destruksi akselerasi trombosit, konsumsi trombosit (sekunder karena DIC),
hilangnya trombosit karena perdarahan. Jika nilai diatas 400.000/mm3 menunjukkan
trombositosis yang dapat terjadi karena kelainan polisitemia vera, leukemia,
sindroma postsplenektomi dan penyakit keganasan.
Perdarahan spontan merupakan bahaya yang serius dan biasanya terjadi
pada jumlah trombosit kurang dari 50.000/mm3.
Nilai normal pada ; (Pagana,1995)
Dewasa atau anak 150.000-400.000/mm3
Bayi
200.000-475.000/mm3
Neonatus
150.000-300.000/mm3
Hematokrit
Hematokrit merupakan pengukuran persentase sel darah merah dan volume
darah total. Hematokrit sangat mencerminkan nilai Hb dan sel darah merah.
Biasanya nilai hematokrit kira-kira 3 kali konsentrasi Hb jika sel darah merah dalam
ukuran normal dan memiliki jumlah Hb normal.
Nilai hematokrit meningkat pada eritositosis, eklamsia, shock, dehidrasi,
polisitemia vera, dan penyakit jantung kongenital. Nilai hematokrit menurun pada
anemia, penyakit hodkins, kegagalan sumsum tulang, hipertiroid, sirosis, reaksi
hemolitik, perdarahan, leukemia, malnutrisi, multipel mieloma, dan reumatoid artritis
(Pagana,1995).
: 42-52%
Wanita
Anak
: 31-43%
Bayi
: 30-40%
Gula darah
Uji glukosa serum membantu dalam mendiagnosa beberapa penyakit
metabolik. Glukosa darah yang meninggi (hiperglikemi) umumnya menunjukkan
diabetes mellitus. Sebaliknya hipoglikemi umumnya disebabkan karena dosis insulin
berlebihan pada pasien diabetes mellitus. Kadar glukosa serum meningkat pada
keadaan diabetes mellitus, respon stres akut, penyakit Chusing, hiperparatiroid,
adenoma pankreas, pankreatitis, terapi diuresis, terapi kortikosteroid. Kadar glukosa
menurun pada keadaan insulinoma, hipoparatiroid, hipopituitarism, penyakit adison,
dan penyakit hepar yang berat.
Uji gula darah puasa minimal 8 jam. Makanan berperan sebagai glukosa
yang akan mengalami metabolisme dalam tubuh. Pada pasien normal, insulin
diekskresi segera setelah makan sebagai respon terhadap glukosa darah yang
meningkat, menyebabkan kadar glukosa kembali normal dalam waktu 2 jam.
Nilai normal. (Pagana,1995)
Apakah pasien sudah dalam kondisi yang maksimal dari terapi medis ?
terapeutik.
telah
ditandatangani
oleh
pasien
atau
keluarganya
dan
dokter
harus
disampaikan
sesuai
dengan
tingkat
pendidikan
pasien,
2.
3.
Antibiotik harus aktif terhadap bakteri penyebab infeksi dan sedapat mungkin
menghindari spektrum luas. Antibiotik spektrum luas generasi terbaru
sebaiknya dicadangkan untuk infeksi yang resisten.
4.
5.
6.
7.
8.
Pada tindakan bedah kurang dari 3 jam, cukup diberikan dosis tunggal.
Tindakan yang dapat menyebabkan kehilangan darah yang cepat dan atau
pemberian cairan juga membutuhkan lebih tambahan dosis profilaksis.
9.
2.10. PREMEDIKASI
Premedikasi merujuk pada pemberian obat-obatan dalam periode 1-2 jam
sebelum induksi anestesi. Tujuan premedikasi adalah :
Menimbulkan ketenangan.
Memberikan analgesia.
Menyebabkan amnesia.
benzodiazepine
(diazepam, lorazepam),
buthirofenon
(haloperidol,
(atropine, hioscin,
glikopironion) (Aitkenhead,1990).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan obat dan dosis adalah :
Umur
Berat
Status kesehatan
Kondisi mental
pada pasien
dipertimbangkan
lagi
dengan
melihat
kondisi
pasien
dan
tidak
membahayakan pasien.
dengan
cara
memahami
metode
pembedahan,
mampu
4. PERSIAPAN ALAT.
Untuk menentukan tingkat sterilisasi alat digolongkan dengan penggunaannya.
Yaitu :
a. Alat kritis.
Alat kritis adalah alat yang berkontak langsung dengan daerah steril pada tubuh
Seperti Misalnya : Pisau bedah .alat ini harus dterilkan dulu sebelum dipergunakan.
b. Alat semi kritis
Alat semi kritis adalah alat yang digunakan tidak untuk penetrasi ke dalam
Jaringan tetapi hanya bersentuhan dengan jaringan , misalnya kaca mulut.
c. Alat non kritis.
Alat non kritis adalah alat yang tidak terlibat langsung dengan pembedahan,
misalnya, Pengontrol kursi, lampu dll.
Beberapa alat kritis dianjurkan menggunakan alat sekali pakai untuk menjamin
sterilisasinya, misalnya ; Jarum suntik, pisau bedah dll.
Untuk mendapatkan alat dalam keadaan steril dapat digunakan dengan melakukan
sterilisasi dengan : Autoclav, pemanasan kering, Sterilisasi kimia, direbus dll.
Selain menjaga sterilisasi alat juga harus diperhatikan kebersihan ruangan, kebersihan
alat non kritis.
10
Gigi Impaksi
PENDAHULUAN
Gigi impaksi adalah gigi yang gagal erupsi kedalam lengkung geligi pada
saatnya tumbuh dikarenakan terhalang gigi tetangganya, tulang yang tebal serta
jaringan lunak yang padat. Gigi ini seumur hidup tidak akan erupsi, apabila tidak
dilakukan tindakan pencabutan. (Andreasen,1997, Peterson, 1998; Dym,2001). Kondisi
ini sering dijumpai pada pasien yang datang ke tempat praktek dokter gigi dengan
keluhan sakit maupun kurang estetis gigi berupa crowding ataupun diastema.
Gigi impaksi lebih sering terjadi pada molar ketiga baik rahang atas maupun
rahang bawah, diikuti oleh kaninus rahang atas dan incisive 2 kadang-kadang
kaninus rahang bawah serta premolar rahang atas dan bawah (Peterson,1998 ;
Andreasen,1997).
Gigi impaksi merupakan kelainan yang paling sering ditemukan dan
perawatannya dilakukan secara pembedahan.
DEFINISI
11
ETIOLOGI
Menurut Peterson 1998, gigi impaksi disebabkan oleh tidak tersedianya
lengkung dan ruang gigi yang cukup untuk erupsi. Dalam hal ini, total
lengkung tulang alveolar lebih kecil daripada total panjang lengkung gigi.
Menurut Ogden,2001 dan Andreasen, 1997, gigi gagal erupsi kedalam posisi
yang normal memiliki beberapa alasan yaitu folikel gigi mungkin berubah
letaknya, gigi crowding, gigi terdekat hilang, pencabutan gigi molar pertama
dan kedua pada masa kanak-kanak. (Andreasen,1997 ; Peterson, 1998 ;
Ogden, 2001. Disamping itu juga dipengaruhi faktor sistemik dan faktor
kurangnya stimulasi otot.
12
KLASIFIKASI
Klasifikasi impaksi gigi molar ketiga rahang bawah (Archer, 1975)
Klasifikasi
didasarkan
pada
pemeriksaan
radiologis
yaitu
dengan
molar kedua cukup bagi ukuran mesio distal gigi molar tiga.
Kelas II
ramus mandibula
13
Klasifikasi lain menurut Winter berdasarkan perbandingan sumbu panjang molar tiga
terhadap molar dua, yaitu :
a. Mesioangular
b. Horizontal
c. Vertikal
d. Distoangular
e. Bukoangular
f.
Linguoangular
g. Inverted
hubungan
merupakan
hal
penting
sebelum
menentukan
14
Klasifikasi impaksi gigi M3 atas didasari pada posisi anatomi, menurut Pell and
Gregory terbagi atas :
A. Berdasarkan kedalaman relatif impaksi gigi M3 atas dalam tulang,
yaitu:
Klas A : Bagian terbawah dari mahkota gigi impaksi M3 atas
berada segaris dengan oklusal gigi M2 disebelahnya.
Klas B : Bagian terbawah mahkota gigi impaksi M3 atas berada
diantara dataran oklusal dan garis servikal gigi M2 disebelahnya.
Klas C : Bagian terbawah dari mahkota gigi impaksi M3 atas
berada pada atau terletak diatas servikal gigi M2 disebelahnya.
15
PENATALAKSANAAN IMPAKSI
1.
2.
Tindakan pembedahan :
- Persiapan pembedahan
- Tehnik pembedahan
- Perawatan setelah pembedahan
3.
Komplikasi
gigi
impaksi
sebaiknya
segera
dipertimbangkan
untuk
dilakukan
16
gigi
terdekat
dengan
adanya
perbaikan
pada
sementumnya
d. Pencegahan kista dan tumor odontogen
Gigi impaksi yang berada didalam tulang alveolar mengakibatkan
follicular sacc tertahan. Folikel gigi ini akan mengalami degenerasi kistik
sehingga menyebabkan terjadinya kista dentigerus dan keratokis. Tumor
odontogen dapat terjadi disekitar gigi impaksi, yang terbentuk dari folikel
gigi
e. Pencegahan rasa sakit karena penekanan saraf oleh gigi yang impaksi
f.
17
baru
dilakukan
radioterapi
pada
rahang
dan
beresiko
terjadinya
osteoradionekrosis.
Pemilihan anestesi
Faktor yang mempengaruhi pemilihan teknik anestesi meliputi riwayat medis pasien
dan tingkat kooperatif pasien. Selain itu ada beberapa faktor yang mengindikasikan
penggunaan anestesi lokal atau umum.
Lokal anestesi
1. Prosedur operasi kurang dari 30-45 menit
2. Operasi dilakukan pada satu sisi mulut
3. Daerah operasi yang langsung terlihat
Anestesi umum
1. Sisi operasi yang multipel
2. Operasi dengan lapangan pandang yang sulit
3. Prosedur yang komplikasi dan durasi yang tidak dapat diperkirakan
Tindakan Pembedahan
A. Tindakan pembedahan molar tiga impaksi rahang bawah
Tindakan yang perlu dilakukan sebelum pembedahan ;
1. Pemeriksaan
keadaan
umum
penderita,
dengan
anamnesa
dan
pemeriksaan klinis
2. Pemeriksaan penunjang dengan foto rontgen, sehingga dapat mengevaluasi
dan mengetahui kepadatan dari tulang yang mengelilingi gigi, sebaiknya
didasarkan pada pertimbangan usia penderita, hubungan atau kontak
dengan gigi molar kedua, hubungan antara akar gigi impaksi dengan kanalis
mandibula, dan morfologi akar gigi impaksi, serta keadaan jaringan yang
menutupi gigi impaksi, apakah terletak pada jaringan lunak saja atau
terpendam didalam tulang
18
Menentukan
cara
mengeluarkan
gigi
impaksi,apakah
dengan
Menentukan
arah
yang
tepat
untuk
pengungkitan
gigi
dan
19
Tindakan pembedahan
1.
Operkulektomi
2.
Odontektomi :
- Tehnik Split Bone
- Tehnik Tooth Division / odontotomi
Operkulektomi
Operkulum > jaringan ikat yang menutupi mahlota gigi
Operkulum sering terinfeksi
- Food debris
- Tekanan M3 atas
Operkulektomi
- Kauterisasi
- Insisi
Persiapan alat
Handle scalpel No. 3
Pisau Bard Parker no. 15
Raspatorium
Bur
Hammer dan Chisel
Elevator lurus dan bersudut
Tang ekstraksi
Kuret
20
Bone file
Jarum dan benang jahit
Neddle holder dan gunting
Sonde, pinset dan kaca mulut
Faktor penyulit
Bentuk akar yang abnormal
Hipersementosis
Tingkat kepadatan tulang
Dekat pembuluh darah, syaraf dan sinus maksilaris.
Pandangan operasi yang sempit
Relasi Mahkota-mahkota
Kasus-kasus impaksi gigi molar tiga umumnya mempunyai hubungan
dengan
sebagian
distobukal
gigi
yang
terpendam
di
ramus
ascenden.
Flap : Molar 1 atau molar 2 dan flap insisi sulkus molar 2 akan
memberikan lapang pandang yang cukup
Prosedur Pengambilan Tulang dan Luksasi : Pengambilan tulang
distobukal dan pembukaan bagian paling menonjol dari akar gigi,
biasanya akan memberikan akses yang cukup sehingga gigi dapat
diangkat dengan forceps atau elevator. Apabila akar divergen,
prosedur separasi mungkin diperlukan atau tulang disekitarnya harus
diambil. Apabila elevator digunakan pada posisi yang menekan
molar 2, penting untuk menempatkan jari pada permukaan oklusal
21
Relasi Mahkota-Akar
Kasus-kasus ini sangat sulit dan ada resiko kerusakan yang signifikan
pada isi dari kanalis mandibula. Melalui pemeriksaan radiografi
seharusnya dapat ditentukan relasi antara molar tiga dengan kanal.
Pada hampir semua kasus isi kanalis mandibula akan terlihat dari
penekanan
pada
akar
dan
pemeriksaan
radiografi
harus
22
2. Posisi Mesioangular
a.
Relasi Mahkota-mahkota
Flap : flap insisi sulkus lebih dipilih
Pengambilan tulang : pengambilan bukal dan terutama tulang distal
kecuali terdapat pembesaran folikel yang disebabkan resorbsi di regio
tersebut.
Pemotongan Gigi : sesuai dengan angulasi dan atau anatomi akar,
meski tidak dilakukan pemotongan gigi, pemotongan cusp distal atau
akar distal tetap diperlukan.
Prosedur
Luksasi
setelah
dilakukan
pemotongan,
elevator
c.
Relasi Mahkota-Akar
Flap : Insisi sulkus dengan perluasan vestibular lebih optimal.
Pengambilan Tulang : Pada posisi ini lebih banyak tulang yang harus
dibuang untuk membuka permukaan bukal mahkota dan beberapa
permukaan distal. Alternatif lain pendekatan lingual dapat digunakan.
Pemotongan Gigi : teknik yang digunakan sama dengan relasi
mahkota-mahkota dan relasi mahkota-akar.
Prosedur Luksasi : harus diperhatikan fulkrum dari prosedur luksasi
karena pada beberapa situasi dapat menekan apeks akar dan
mengenai kanalis mandibula.
23
3. Angulasi Horizontal
a.
Relasi Mahkota-Mahkota
Flap : insisi sulkus molar 1 dan 2 dengan perluasan vestibular biasanya
cukup untuk mendapatkan akses yang adekuat terhadap molar 3.
Pengambilan Tulang : tulang pada bagian bukal dan distal gigi harus
diambil.
Pemotongan Gigi : seperasi mahkota dari akar dengan garis separasi
vertikal memungkinkan pengambilan bagian mahkota.
Prosedur Luksasi : setelah pengambilan mahkota, komponen akar
diambil dengan elevator setelah dibuat groove retensi pada bagian
bukal atau distal dari akar.
b. Relasi Mahkota-Serviks
Flap : Flap insisi sulkus dengan perluasan vestibular diindikasikan.
Pengambilan Tulang : pada sudut distobukal molar 2 pengambilan
tulang harus sangat konservatif dengan tujuan untuk mengoptimalkan
penyembuhan pada regio ini.
Pemotongan
Gigi
: bila
pengambilan
bagian
mahkota
tidak
memberikan ruang yang cukup untuk ekstruksi penuh dari akar, maka
seperasi akar harus dilakukan.
Prosedur Luksasi : sama dengan relasi mahkota-mahkota.
c.
Relasi mahkota-Akar
Flap : insisi sulkus dengan perluasan vestibular.
Pengambilan Tulang : harus cukup sehingga permukaan bukal dan
distal mahkota terlihat.
Pemotongan Gigi : pembedahan untuk membuat groove retensi di
akar distal memungkinkan luksasi anterior dari komponen akar. Pada
kasus akar yang sangat panjang, teknik pemotongan akar multipel
24
4. Posisi distoangular
a.
Relasi Mahkota-mahkota
Flap : insisi sulkus molar 2 memberi akses memadai pada molar 3
Pengambilan Tulang : biasanya dilakukan pada aspek bukal dan
setiap tulang distal yang menghalangi. Pada beberapa kasus gigi
dapat diambil dengan elevetor yang ditempatkan dimedial atau
bukal setelah groove retensi dibuat.
Pemotongan Gigi : bila ukuran mahkota menutupi ruangan yang ada,
mahkota harus di separasi dari akar dengan batas marginal.
Tergantung pada anatomi akar, akar dapat diambil secara in toto
atau akar distal dipisahkan dari akar mesial.
Prosedur Luksasi : akar diambil dengan membuat groove retensi pada
bagian bukal akar atau menempatkan elevator di bagian mesial.
b. Relasi mahkota-Serviks
Flap : sama dengan relasi mahkota-mahkota.
Pengambilan Tulang : lebih banyak tulang yang diambil dibandingkan
pada relasi mahkota-mahkota
Pemotongan Gigi : prinsip yang digunakan sama dengan prinsip pada
relasi mahkota-mahkota.
25
Relasi Mahkota-Akar
Flap : flap sama dengan yang digunakan pada relasi molar 2.
Pengambilan Tulang : lebih luas dibandingkan mahkota-serviks.
Pemotongan Gigi : pemotongan mahkota horizontal dilakukan seperti
pada tipe impaksi distoangular
Prosedur Luksasi : prosedurnya sama dengan tipe-tipe impaksi
distoangular
5. Posisi Bukolingual
a.
Kemiringan Bukal : pada lokasi ini dapat digunakan insisi sulkus molar 2
dengan perluasan vestibular. Tulang yang menutupi bagian mahkota
dan serviks akar diambil. Mahkota dipisahkan dari akar dan diambil.
Bagian akar dapat diluksasi ke bukal dan diambil.
26
tuber
maksila
dengan
menggunakan pisau incisi (Bord-parker blade no. 12). Mukosa membran yang
menutupi tuberositas diinsisi dari daerah paling distal tuber, insisi dilanjutkan ke
arah anterior sampai menyentuh tengah-tengah permukaan distal gigi M2
atas. Insisi dilanjutkan mengelilingi insisi kearah mukobukal fold dengan
kemiringan 45 derajat. Mukoperiosteal yang menutupi gigi impaksi dibuka
dengan rasparatorium. Demikian pula pada bagian palatinal. Setelah flap
terbuka berarti lapangan pandang yang cukup memadai sudah didapat.
2. Pemotongan tulang yang menutupi gigi impaksi
Meskipun pemotongan tulang dapat dilakukan dengan chisel, namun
belakangan ini penggunaan bor tulang untuk membuang jaringan keras
yang menutupi gigi impaksi lebih efektif. Pengambilan tulang diutamakan
27
pada aspek bukal dibawah garis servikal M2, pengeboran dilakukan sampai
kontur terbesar mahkota klinis tampak. Yang penting pada tahap ini adalah
pengambilan tulang secukupnya menghindari trauma jaringan keras yang
lebih besar.
3. Pengambilang gigi impaksi M3 atas
Pada impaksi gigi M3 atas jarang dipotong (separasi), sebab jaringan tulang
yang menutupi lebih tipis dan relatif elastis, sehingga memungkinkan
pengambilan
gigi
secara
utuh
dengan
menggunakan
elevator.
Pelaksanaannya setelah gigi yang impaksi tampak dan tulang pada kontur
terbesar mahkota klinis dibuang harus dibuat ruangan yang cukup untuk
memasukkan elevator pada daerah kontur terbesar mahkota. Lalu ujung
elevator diinsersikan pada garis servikal didaerah mesiobukal gigi M3. dengan
menggunakan sisi bukal sebagai fulkrum gigi ditekan kearah distobukal dari
prosesus
alveolaris
dengan
tekanan
secukupnya.
Hati-hati
dalam
dibersihkan
dari
serpihan
tulang lalu
dilakukan
kuretase
serta
penghalusan proses alveolaris dengan bone file. Setelah itu luka diirigasi atau
spooling dengan larutan NaCl 0,9% plus betadine. Penutupan luka dilakukan
dengan mengembalikan flap ke posisi semula serta dilakukan penjahitan
terputus terutama pada distal M2 lalu di interdental. Penjahitan bisa dilakukan
pada 3 atau 4 tempat tergantung dari luasnya insisi. Diatas luka bekas operasi
diletakkan tampon yang telah diberi betadine, pasien disuruh menggigit
sekitar 1 jam dan diberikan instruksi post operasi.
28
keluar dari foramen palatinus, sebab itu flap yang direkomendasikan tipe
envelope.
2. pembuangan tulang
jaringan tulang yang menutupi di lubang dengan menggunakan bor tulang
sampai kontur terbesar mahkota klinis tampak dan arah keluarnya gigi bebas
dari retensi.
3. Pengambilan gigi
Pengambilan gigi dapat dilakukan dengan elevator atau dengan tang
ekstraksi. Hati-hati saat menggunakan elevator, hindari tekanan mendorong
ke atas untuk menjaga agar tidak terjadi perforasi dasar antrum.
4. Penutupan luka
Setelah luka dibersihkan, flap dikembalikan dan dijahit.
29
Komplikasi pembedahan.
A. Komplikasi intra operatif
1. Perdarahan masif dapat terjadi. Penanganannya dengan penekanan
dan
penjahitan.
2. Fraktur tuberositas maksila pada odontektomi molar tiga atas. Penanganannya
penempatan kembali fragmen dan ikat dengan penjahitan atau dental wire
selama 3-4 minggu, kemudian rencanakan untuk pencabutan gigi setelah terjadi
penyembuhan dari tuberositas atau pengeluaran fragmen dan penutupan luka
dengan penjahitan primer rapat.
3. Pada odontektomi molar tiga atas atau kaninus atas .Gigi menembus dasar sinus.
Penanganannya tempatkan kembali gigi dan splint pada posisi tersebut, lalu
tutup dengan kassa yang dibasahi antiseptik yang akan dikeluarkan 2-3 minggu
kemudian. Jika fistula 2-6 mm dilakukan pengurangan ujung socket tulang dan
penjahitan pinggirannya dengan metode delapan.
4. Pemindahan
tempat/displacement.
Penanganannya
hentikan
prosedur
30
diet lunak
g. cukup istirahat
31
32
APIKOEKTOMI
1. Pendahuluan
Apikoektomi adalah suatu prosedur pemotongan akar gigi bagian apikal
yang terinfeksi dan penguretan jaringan nekrosis dan jaringan yang meradang pada
daerah periapikal gigi (Archer,1975). Apikoektomi pertama kali dilakukan oleh Farrar
dan Brophy sebelum tahun 1880 dan sejak itu terus dilakukan penyempurnaan teknik
pembedahan hingga saat ini. Masa lalu apikoektomi merupakan perawatan untuk
memperbaiki kesalahan-kesalahan yang terjadi pada perawatan endodontik,
sehingga sering teknik ini dilakukan berulang-ulang pada gigi yang sama sehingga
menyebabkan hanya sedikit akar yang tersisa atau bahkan tidak ada akar lagi yang
tertinggal. Apikoektomi yang berulang-ulang tidak dapat menghilangkan sumber
dari kegagalan perawatan endodontik dan akibatnya prosedur ini seringkali
mengalami kegagalan meskipun prosedur pembedahan telah dilakukan dengan
sebaik mungkin. Prosedur ini baru akan berhasil dengan baik bila saluran akar gigi
diisi dengan baik dan benar.
Kerusakan yang luas jaringan periapikal, tulang atau membran periodontal yang
mengenai sepertiga atau lebih apeks akar gigi.
b.
c.
Instrumen saluran akar patah pada sepertiga akar atau saluran tersumbat oleh
batu pulpa dan lain-lain.
d.
33
e.
Pada gigi yang muda dimana apeks belum tertutup sempurna dan pengisian
saluran akar sukar mendapatkan hasil yang baik karena saluran akar berbentuk
terompet.
f.
Bahan pengisi saluran akar patah dan masuk ke jaringan periapikal dan
merupakan suatu iritan.
g.
Saluran akar telah dirawat dan diisi dengan baik tetapi masih terdapat
periodontitis apikalis.
h.
i.
m.
Adanya kelainan pada daerah periapikal gigi yang telah memakai mahkota
dowel, mahkota dan jembatan, dll.
kesakitan
gigi
atau
trauma
diwaktu
lalu.
Pertanyaan ini
disebabkan oleh
neoplasma, abses, atau kista dan berapa lama terjadi pembengkakan, juga
mengenai perasaan sakitnya. Kemudian apakah gigi tersebut pernah dirawat
oleh dokter gigi dan berapa kali kunjungan serta apakah menderita penyakit
umum lainnya.
b. Pemeriksaan objektif
Dilakukan inspeksi gigi yang akan dilakukan apikoektomi, seperti perkusi dan
palpasi serta test kegoyangan gigi
34
4. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis adalah suatu pemeriksaan yang penting untuk melihat
hal-hal yang tidak dapat dilihat secara klinis, pada roentgen dapat dilihat :
a.
b.
c.
d.
e.
Kelainan-kelainan Periapikal
Secara radiologist kelainan periapikal ini bisa dilihat sebagai adanya daerah
rarefaction di daerah periapikal. Untuk itu harus dibedakan apakah itu
suatu kista, granuloma atau abses.
5. Metoda Apikoektomi
Ada dua metoda apikoektomi (Archer, 1975, Dym, 2001)
a.
b.
35
6. Prosedur Apikoektomi
Ada dua tahap prosedur tindakan apikoektomi yaitu :
a.
4)
panjang saluran
akar
yang sebenarnya
dapat
digunakan rumus :
DS x SF = S
DF
DS = panjang jarum dalam saluran
SF = panjang saluran dalam foto
DF = panjang jarum di foto
S = panjang saluran akar sebenarnya.
Kemudian semua alat saluran akar disesuaikan dengan panjang
sebenarnya dengan memakai stop.
6) Saluran akar dilebarkan dan diirigasi dengan hydrogen peroksida dan
natrium hipokhlorit bergantian. Kemudian saluran akar dikeringkan
dengan absorbent point.
7) Masukkan gutta-percha cone ke dalam saluran akar sehingga keluar
1-2 mm dari apeks gigi. Buat radiografi untuk melihat kepasannya
dalam saluran akar dan kemudian gutta-percha dari dalam saluran.
36
b. Tahap pembedahan
Menurut Archer urutan pembedahan adalah : (Archer,1975; Birn, 1975;
Dym,2001)
1) Lakukan tindakan aseptik dan antiseptik pada rongga mulut.
2) Lakukan anestesi lokal.
37
4) Lakukan insisi semilunar dari apeks gigi sebelah mesial gigi tersebut, ke
arah garis gusi dan ke apeks gigi sebelah distal. Bila terdapat
kerusakan tulang yang luas lebih baik digunakan insisi trapesium.
38
39
7) Potong apeks akar dengan bur fissure, jangan lebih dari sepertiga
akar.
40
41
menarik
atau
mengangkat bibir
karena
ingin
melihat
hasil
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah : (Dym,2001; Petterson, 2003)
1. Perdarahan
Perdarahan dapat terjadi selama operasi (perdarahan primer) atau
beberapa jam sampai beberapa hari setelah pembedahan (perdarahan
sekunder). Perdarahan tersebut dapat terjadi oleh sebab lokal atau sistemik.
Hal ini dapat dihindari dengan pemeriksaan yang teliti sebelum pembedahan
dilakukan. Penanggulangan perdarahan setelah pembedahan adalah
pertama-tama
dengan
melakukan
pembersihan
daerah
luka
serta
42
4. Infeksi
Untuk mencegah infeksi, penderita dianjurkan untuk memelihara kebersihan
mulut dan diberi obat kumur antiseptik atau larutan garam. Apabila infeksi
telah terjadi tindakan lokal yang perlu dilakukan adalah mengirigasi luka
dengan NaCl fisiologis hangat serta pengulasan antiseptik pada tepi luka.
Diberikan pula obat antibiotik. Drainase harus dilakukan apabila terjadi proses
supurasi.
43
Pendahuluan
Sinus maksilaris atau antrum highmore, yaitu suatu rongga yang terdapat di
dalam tulang maksila, serta hubungannya dengan akar gigi-gigi posterior hanya
dibatasi oleh tulang yang tipis.
Mengingat hubungan anatomi antara sinus dengan rongga mulut, maka
tidak jarang dalam praktek sehari-hari ditemukan terjadinya perforasi sinus ini, yang
mengakibatkan terjadinya hubungan antara rongga mulut dengan sinus, dengan
akibat lanjut antara lain terjadinya sinusitis maksilaris.
Perforasi sinus maksilaris dapat disebabkan oleh faktor-faktor lokal di sekitar
gigi dan sinus yang merupakan predisposisi, dan juga akibat kesalahan yang
dilakukan operator dalam menangani kasus, terutama pada gigi posterior rahang
atas.
44
45
Faktor predisposisi
Faktor predisposisi adalah merupakan faktor-faktor lokal, yakni keadaan sinus
dan gigi beserta jaringan sekitar yang memudahkan terjadinya perforasi sinus
maksilaris, antara lain meliputi: (Kruger, 1969; Archer, 1975; Killey & Key, 1975)
1. Lokasi gigi ; gigi yang paling dekat hubungannya dengan sinus adalah molar
pertama dan premolar kedua rahang atas. Kemungkinan perforasi akibat
pencabutan pada gigi-gigi ini, lebih besar dibanding gigi lainnya.
2.
Perluasan sinus ; perluasan dapat mencapai akar gigi sehingga antara sinus
dengan apeks hanya dibatasi oleh selapis tipis tulang dan bahkan hanya oleh
mukosa sinus saja.
3. Kelainan pada akar gigi ; antara lain ankilosis , hipersementosis dan terjepitnya
septum di antara akar-akar gigi.
4.
Kista ; kista yang menyebabkan destruksi dinding sinus sehingga epitel kista
melekat dengan mukosa sinus.
8.
9.
Penyakit lainnya ; seperti guma dari sifilis yang terjadi pada palatum, serta
grunuloma maligna, Wegeners granuloma dan limfosarkoma.
Teknik pencabutan yang kurang baik; luksasi yang kasar dan menggunakan
tenaga berlebihan.
2. Trauma penggunaan kuret; pada kasus dimana dasar sinus hanya dibatasi epitel
mukosa sinus.
46
3. Trauma penggunaan elevator; akibat kurang hati-hati saat pengambilan sisa akar
gigi sehingga elevator menembus sinus atau akar terdorong ke sinus.
4. Pengambilan gigi impaksi; trauma instrumen atau gigi maupun fragmennya yang
terdorong ke dalam sinus, biasanya pada gigi molar ketiga, kaninus atau gigi
yang berlebih.
Jika rembesan darah dari soket tampak bergelembung, maka diduga telah
terjadi perforasi karena rembesan darah telah tercampur udara dari rongga
hidung yang masuk melalui lubang perforasi tersebut.
3. Pada perforasi yang besar, pasien mengeluh karena adanya air yang masuk ke
dalam rongga hidung.
4.
5.
47
1. Dengan metoda nose blowing test (metoda percobaan peniupan hidung) pasien
diinstruksikan agar menutup hidungnya dengan jari, kemudian menghembuskan
udara atau meniup melalui hidung yang tertutup tersebut. Apabila terjadi
perforasi, akan tampak keluarnya gelembung-gelembung udara dari dalam
soket gigi yang dicabut.
2. Pasien diinstruksikan untuk berkumur-kumur, apabila terjadi perforasi, maka ada
cairan yang masuk ke rongga hidung.
3. Cara lainnya, yakni dengan memasukkan instrument, misalnya sonde yang tumpul
ke dalam soket. Jika sonde dapat masuk lebih dalam dibandingkan panjang
akar gigi, kemungkinan telah terjadi perforasi. Cara tersebut jarang sekali
dilakukan karena dengan cara demikian bahkan akan dapat menyebabkan
terjadinya perforasi.
4. Jika dibuat foto roentgen, akan tampak terputusnya kontinuitas dinding dasar
sinus maksilaris.
48
soket. Di atas luka diberi tampon dan diinstruksikan pada pasien untuk menggigit
tampon tersebut.
3. Budge (Archer, 1975) mengemukaan penggunaan lempeng tantalum berbentuk
U untuk menutup perforasi sinus maksilaris yang terjadi setelah pencabutan gigi,
adalah sebagai berikut :
Segera setelah gigi dicabut, mukoperioteum pada bagian bukal dan palatinal
dilepaskan dari tulang dengan jarak yang cukup untuk memasukkan lempeng
tantalum. Lempeng tantalum ini diletakkan di atas soket dan mukoperiosteum
bukal dan palatinal dijahit pada posisi normal. Jahitan dari mukoperiosteum tidak
menutupi seluruh lempeng tantalum. Lempeng ini diambil setelah 14-30 hari,
yakni setelah terbentuk jaringan granulasi di dalam soket. Pengambilan lempeng
tantalum ini dilakukan dengan cara, lempeng tersebut dipotong dalam arah
mesio-distal menjadi dua bagian.
Selanjutnya kepada pasien diinstruksikan agar jangan berkumur-kumur terlalu
keras, apabila bersin hati-hati dan hendaknya mulut dibuka saat bersin, serta
jangan meniup ataupun menghisap terlalu kuat dan hal yang sama juga berlaku
bagi para perokok (Killey & Key, 1975; Soeparwadi, 1981).
menghasilkan
kontak
kedua
jaringan
tersebut.
Penyembuhan yang cepat dan tidak disertai dengan daerah yang terbuka dari
mukosa adalah merupakan keunggulan utama dari metoda ini. Kelemahan
utama dari metoda ini adalah tidak selalu dapat digunakan, misalnya pada
mukosa dimana bermuaranya duktus Stensen, serta pada daerah dimana
jaringan bukalnya tidak cukup, akan menghambat proses penyembuhan. Prinsip
dari metoda ini adalah siapkan basis dan flap yang cukup, kemudian pastikan
bahwa sinus bebas dari infeksi (Gans, 1972).
Metoda ini dilakukan dengan cara membuat flap pada mukosa bukal hingga ke
pipi. Pada sebuah kasus dimana terjadi perforasi dengan kehilangan tulang yang
cukup besar. Mula -mula epitel di tepi sekitar soket dibuang, serta ketebalan
49
2. Metoda palatal flap menurut Dunning (Kruger, 1969; Gans, 1972; Archer, 1975;
Killey & Key, 1975):
Sesuai dengan namanya, metoda ini dilakukan dengan cara membuat insisi
pada palatal, dimana arteri palatine terbawa bersama flap sehingga dapat
memberikan vaskularisasi yang baik bagi flap tersebut.
Suatu kasus perforasi sinus maksilaris dengan keadaan yang tidak memungkinkan
untuk dilakukan penutupan dengan metoda bukal flap. Sehingga untuk itu
dilakukan metoda palatal flap, yakni flap yang dibentuk menyerupai tangkai dan
dipuntir kearah soket. Mula-mula insisi dilakukan pada bagian palatal dari soket,
sejajar lengkung rahang dan dengan panjang secukupnya sehingga sesuai untuk
menutupi soket. Sebelum itu sebagian kecil jaringan pada bagian distopalatal
dari soket dieksisi berbentuk V, guna menyediakan tempat bagi flap yang akan
dipuntir, serta untuk mencegah terjadinya lipatan. Kemudian secara hati-hati flap
50
51
berbagai
jenis
mikroorganisme,
sehingga
adanya
perforasi
akan
dentogen dan atau perforasi, sebagai berikut (Killey & Key, 1975).
1. Dari anamnesa diperoleh bahwa sinusitis terjadi setelah mengalami pencabutan
gigi, dan biasanya pada pemeriksaan intra oral ditemukan soket atau luka pasca
pencabutan yang belum sembuh atau tidak menutup.
2. Pada pemeriksaan foto rontgent, tampak kontinuitas dasar sinus terputus.
3.
4.
Cairan yang keluar dari sisi hidung biasanya bersifat purulenta, kotor dan lebih
berbau.
52
BEDAH PREPROSTETIK
Penduhuluan
Secara ideal seseorang akan menggunakan gigi geligi permanen seumur
hidupnya. Akan tetapi, gigi dapat hilang/dicabut karena berbagai alasan, termasuk
penyakit periodontal, karies gigi, kondisi patologis rahang dan trauma. Ilmu
prosthodontia selain bertujuan untuk mengembalikan fungsi dan estetis gigi geligi
karena adanya gigi yang hilang, tetapi juga bentuk muka secara estetis. (Matthew
et al, 2001)
Bedah preprostetik adalah bagian dari bedah mulut dan maksilofasial yang
bertujuan untuk membentuk jaringan keras dan jaringan lunak yang seoptimal
mungkin sebagai dasar dari suatu protesa. Meliputi teknik pencabutan sederhana
dan persiapan mulut untuk pembuatan protesa sampai dengan pencangkokan
tulang dan implan alloplastik (Stephens, 1997)
Bedah preprostetik lebih ditujukan untuk modifikasi
Bentuk prosesus alveolar yang baik (bentuk yang ideal dari prosesus alveolar
adalah bentuk daerah U yang luas, dengan komponen vertikal yang sejajar).
53
Mengurangi rasa sakit dan rasa tidak menyenangkan yang timbul dari
pemasangan protesa yang menyakitkan dengan memodifikasi bedah pada
daerah yang mendukung prothesa
Pilihan non bedah harus selalu dipertimbangkan (seperti pembuatan ulang gigi
tiruan, penyesuaian tinggi muko oklusal, memperluas pinggiran gigi tiruan) sebelum
dilakukan bedah preprostetik.
Etiologi perubahan struktur anatomi pada jaringan lunak dan jaringan keras
(Matthew et al, 2001)
1. Hilangnya tulang alveolar
Perubahan luas dapat terjadi pada morfologi rahang setelah gigi hilang.
Tulang rahang terdiri dari tulang alveolar dan tulang basal. Tulang alveolar
dan jaringan periodontal mendukung gigi, dan saat gigi hilang, tulang
alveolar dan jaringan periodontal akan diresorbsi. Tulang alveolar berubah
bentuk secara nyata saat gigi hilang, baik dalam bidang horizontal dan
vertikal. Pada daerah posterior mandibula, tulang yang hilang kebanyakan
dalam bidang vertikal. Setelah terjadi resorbsi secara fisiologis, struktur tulang
rahang yang tinggal disebut dengan istilah residual ridge. Tulang yang ada
setelah tulang alveolar mengalami resorbsi disebut dengan tulang basal.
Tulang basal tidak berubah bentuk secara nyata kecuali ada pengaruh lokal.
Struktur anatomi yang lain dapat menjadi lebih menonjol, genial tubercle dan
perlekatan ototnya dapat menonjol pada pasien yang mengalami resorbsi
alveolar mandibula yang luas. Tori pada mandibula atau maksila dapat
menyebabkan ketidak stabilan gigi tiruan, atau dapat menyebabkan
54
Pemeriksaan Klinis
Hal ini mencakup penilaian intra oral dan ekstra oral secara umum dari
jaringan lunak dan jaringan keras dan analisa khusus dari daerah yang akan
ditempati gigi tiruan. Penilaian tinggi, lebar dan bentuk tulang alveolar secara
umum, dan memperhatikan apakah terdapat undercut tulang dan posisi dari struktur
anatomi jaringan sekitar seperti mental neuro-vascular bundle. Juga dinilai
kedalaman dari sulkus bukal,posisi dan ukuran frenulum, perlekatan otot dan kondisi
dari tulang alveolar.
Kebersihan rongga mulut pasien harus baik sehingga dapat dilakukan
tindakan bedah dan untuk menghindari komplikasi atau hasil pembedahan yang
buruk.
55
Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan radiografi berguna untuk menilai kondisi dari tulang rahang.
Panoramik foto berguna untuk mengetahui kualitas keseluruhan dari tulang alveolar
dan untuk melihat adanya sisa akar gigi atau kelainan patologi yang lain (seperti
kista rahang). Lateral cephalostat atau cephalogram photo dapat digunakan untuk
melihat hubungan skeletal antero-posterior dan tinggi tulang alveolar bagian
anterior. Periapikal photo berguna bila akan dilakukan pengambilan sisa akar
sebelum pembuatan gigi tiruan.
Studi model cetakan berguna memudahkan rencana perawatan (terutama
bila terdapat ketidak sesuaian secara skeletal) dan membantu menjelaskan rencana
prosedur bedah kepada pasien.
Model wax-up dari gigi tiruan membantu untuk memperlihatkan hasil akhir
secara estetis.
tidak
dapat
beradaptasi
dengan
protesa
konvensional
56
57
2. Vestibuloplasty
semua
keadaan
sulkus
vestibular
dangkal
dapat
dilakukan
vestibuloplasty tetapi harus ada dukungan tulang alveolar yang cukup untuk
mereposisi N. Mentalis, M. Buccinatorius dan M. Mylohyiodeus. Banyak faktor
yang harus diperhatikan pada tindakan ini antara lain : Letak foramen
mentalis, Spina nasalis dan tulang malar pada maksila.
58
3. Frenektomi.
Frenektomi, suatu tindakan bedah untuk merubah ikatan frenulum baik frenulum
labialis atau frenulum lingualis.
a. Frenulum labialis
Pada frenulum labialis yang terlalu tinggi akan terlihat daerah yang pucat
pada saat bibir diangkat ke atas. Frenektomi pada frenulum labialis bertujuan
untuk merubah posisi frenulum kalau diperlukan maka jaringan interdental
dibuang. Pada frenulum yang menyebabkan diastema sebaiknya frenektomi
dilakukan sebelum perawatan ortodonti .
Macam-macam frenektomi :
- Vertical incision
- Cross diamond incision
- Tehnik Z Plasty
59
pada
anak-anak
dianjurkan
sedini
mungkin
karena
akan
ankilotomi
4. Alveolplasty
Alveoloplasty adalah prosedur bedah
60
gigi yang
penutupan
luka
dengan
penjahitan.
Selain
dengan
cara
b. Secondary alveolplasty.
Linggir alveolar mungkin membutuhkan recountouring setelah beberapa lama
pecabutan gigi akibat adanya bentuk yang irreguler. Pembedahan dapat
dilakukan dengan membuat flap mukoperiosteal dan bentuk yang irregular
dihaluskan dengan bor, bone cutting forcep dan dihaluskan dengan bone file
setelah bentuk irreguler halus luka bedah dihaluskan dengan penjahitan.
Pada secundary alveolplasty satu rahang sebaiknya sebelum operasi dibuatkan
dulu Surgical Guidance Yang berguna sebagai pedoman pembedahan.
61
Surgical Guidance
5. Alveolar augmentasi.
Pada keadaan resorbsi tulang yang hebat , maka diperlukan tindakan bedah
yang lebih sulit dengan tujuan : Menambah besar dan lebar tulang rahang,
menambah kekuatan rahang, memperbaiki jaringan pendukung gigi tiruan.
Terdapat beberapa cara untuk menambah ketinggian linggir alveolar Yaitu :
a. Dengan cangkok tulang autogenous, tulang dapat diperoleh tulang iliak
atau costae
62
merupakan
suatu
bahan
alloplastik
yang
bersifat
63
6. Oral tori.
Oral tori merupakan tonjolan tulang yang dapat terjadi pada mandibula
atau maksila. Oral tori merupakan lesi jinak, tumbuhnya lambat, tidak
menimbulkan rasa sakit, pada palpasi terasa keras, terlokalisir dan berbatas
jelas, etiologi belum diketahui dengan pasti tetapi beberapa ahli menduga
terjadi karena adanya proses inflamasi pada tulang.
Pembedahan terhadap oral tori jarang dilakukan , kecuali pada keadaan
terdapatnya gangguan pembuatan protesa yang tidak dapat diatasi
sehingga harus dilakukan pembedahan.
Terdapat 2 macam oral tori yaitu :
a. Torus mandibularis
Biasanya terdapat pada lingual rahang bawah didaerah kaninus atau
premolar kiri dan kanan, bisa single atau mulriple. Bila diperlukan dapat
dilakukan eksisi .
64
b. Torus palatinus.
Torus palatinus terdapat pada palatum sepanjang sutura palatinus
media dan dapat meluas ke lateral kiri dan kanan. Ukurannya bervariasi
pada torus palatinus berukuran besar dapat mengganggu fungsi bicara
dan
pengunyahan.
Pembedahan
dilakukan
apabila
terdapat
65
PERDARAHAN
HEMOSTASIS NORMAL
Dalam keadaan normal, darah berbentuk cair dan berada dalam pembuluh
darah dan ruang jantung. Keadaan ini dipertahankan oleh faktor hemostasis, yaitu
hemostasis primer, hemostasis sekunder dan sistem fibrinolisis.
Hemostasis primer terdiri atas pembuluh darah dan trombosit. Hemostasis
sekunder yaitu faktor pembekuan dan anti pembekuan. Sistem fibrinolisis terdiri atas
plasminogen, tissue plasminogen activator, plasminogen activator inhibitor, dan alfa2-antiplasmin.
Gangguan faktor hemostasis tersebut dapat menyebabkan perdarahan atau
trombosis. Perdarahan, yaitu darah keluar dari pembuluh darah, sedangkan
trombosis, darah membeku di dalam pembuluh darah. Kedua keadaan tersebut
patologis, hanya perdarahan pada menstruasi yang fisiologis.
Pada proses penghentian perdarahan terjadi vasokonstriksi, pembuluh darah,
adhesi trombosit dan aktivasi koagulasi (bagan 1).
Bila terjadi luka, pembuluh darah yang terkena mengalami vasokonstriksi,
yang menyebabkan aliran darah setempat menjadi lambat. Kondisi ini akan
mempermudah terjadinya pembekuan darah. Trombosit melakukan adhesi pada
subendotelium yang terkena trauma, kemudian trombosit melakukan agregasi
membentuk trombosit plak yang menyumbat luka tersebut dan darah berhenti.
Sumbatan ini bersifat sementara atau temporer. Bersamaan dengan itu, terjadi
aktivasi sistem koagulasi, baik melalui jalur ekstrinsik maupun intrinsik. Akivasi sistem
koagulasi ini akan membentuk fibrin yang akan mengganti sumbatan trombosit plak
dan permanen dalam waktu tertentu. Bila sudah terjadi pembentukan fibroblast,
fibrin akan mengalami lisis sempurna oleh sistem fibrinolisis. Penyembuhan luka dalam
keadaan normal mulai hari ke 7 dan sempurna sesudah 14 hari.
66
67
menjadi fibrin polimer, F XIIIa akan mengubah fibrin polimer menjadi fibrin ikat silang
yang lebih stabil. Trombin juga melakukan aktivasi umpan balik F V menjadi F Va, F
VIII menjadi F VIIIa, dan F XIII menjadi F XIIIa (Bagan 2).
Sel darah merah terjaring dalam fibrin dan membentuk bekuan darah yang
menyumbat luka dalam waktu tertentu. Fibrin ini kemudian akan lisis oleh system
fibrinolisis. Fibrin yang tidak distabilkan oleh F XIIIa akan mudah mengalami lisis. Pada
pasien dengan defisiensi F XIII dapat terjadi lisis fibrin yang prematur dan
menyebabkan terjadi perdarahan. Bila pada pasien ditemukan perdarahan pasca
operasi, padahal pada pemeriksaan penjaring hemostasis aPTT, PT dan trombosit
normal, dipikirkan defisiensi F XIII
mengubah
plasminogen
menjadi
plasmin.
Plasmin
inilah
yang
akan
68
percobaan
pembendungan
ini
dimaksudkan
untuk
mengukur ketahanan kapiler, hasil tes ini ikut dipengaruhi juga oleh jumlah
dan
fungsi
trombosit.
Trombositopenia
sendiri
dapat
menyebabkan
Kalau
hasilnya
tetap
lebih
dari
10
menit,
hal
ini
69
3. Hitung trombosit
Dalam keadaan normal jumlah trombosit sangat dipengaruhi oleh
cara menghitungnya dan berkisar antara 150.000-400.000/ul darah.
Pada
umumnya,
jika
morfologi
dan
fungsi
trombosit
normal,
perdarahan tidak terjadi jumlah trombosit lebih dari 100.000/ul. Jika fungsi
trombosit normal, pasien dengan jumlah trombosit diatas 50.000/ul tidak
mengalami perdarahan kecuali terjadi trauma atau operasi. Jumlah trombosit
kurang dari 50.000/ul digolongkan trombositopenia berat dan perdarahan
spontan akan terjadi jika jumlah trombosit kurang dari 20.000/ul.
4. Masa Protrombin Plasma (Protrombine Time/PT)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menguji pembekuan darah melalui
jalur ekstrinsik dan jalur bersama yaitu faktor pembekuan VII, X, V, protrombin
dan fibrinogen.
Nilai normal tergantung dari reagens, cara pemeriksaan dan alat
yang digunakan.
Jika hasil PT memanjang maka penyebabnya mungkin kekurangan
faktor-faktor pembekuan di jalur ekstrinsik dan bersama atau adanya inhibitor.
Pemeriksaan PT juga sering dipakai untuk memantau efek pemberian
antikoagulan oral.
5. Masa tromboplastin parsial teraktivasi (Activated parsial tromboplastin
time/APTT)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menguji pembekuan darah melalui
jalur intrinsik dan jalur bersama yaitu faktor pembekuan XII, prekalikren,
kininogen, XI, IX, VIII, X, V, protrombin dan fibrinogen.
Nilai normal tergantung dari reagens, cara pemeriksaan dan alat
yang digunakan. Hasilnya memanjang bila terdapat kekurangan faktor
pembekuan intrinsik dan bersama atau bila terdapat inhibitor. Pada hemofilia
A maupun hemofilia B, APPT akan memanjang, tetapi pemeriksaan ini tidak
dapat membedakan kedua kelainan tersebut.
Pemeriksaan ini juga dipakai untuk memantau pemberian heparin.
Dosis heparin diatur sampai APTT mencapai 1,5-2,5 kali nilai kontrol.
6. Trombine time (TT)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menguji perubahan fibrinogen
menjadi fibrin. Prinsip pemeriksaan ini adalah mengukur lamanya terbentuk
bekuan pada suhu 37OC bila ke dalam plasma ditambahkan reagens
trombin.
Nilai normal tergantung dari kadar trombin yang dipakai. Hasil TT
dipengaruhi oleh kadar dan fungsi fibrinogen serta ada tidaknya inhibitor.
70
Hasilnya memanjang bila kadar fibrinogen kurang dari 100 mg/ml atau fungsi
fibrinogen abnormal atau bila terdapat inhibitor trombin seperti heparin atau
FDP (Fibrinogen degradation product)
7. Pemeriksaan Penyaring Untuk Faktor XIII
Pemeriksaan ini dimasukkan dalam pemeriksaan penyaring, karena
baik PT, APTT maupun TT tidak menguji faktor XIII, sehingga adanya defisiensi F
XIII tidak dapat dideteksi dengan PT, APTT maupun TT.
Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai kemampuan faktor XIII
dalam menstabilkan fibrin.
Prinsipnya F XIII mengubah fibrin soluble menjadi fibrin stabil karena
terbentuknya ikatan cross link.
71
PENANGGULANGAN PERDARAHAN
Definisi
Perdarahan adalah keluarnya darah dari pembuluh darah kedalam ruang ekstra
vaskuler, karena hilangnya kontinuitas pembuluh darah.
Klasifikasi
1. Menurut pembuluh darah yang terkena.
Perdarahan arterial
warna darah merah terang.
darah keluar intermiten sesuai denyut jantung
Perdarahan vena
warna darah merah gelap
darah keluar secara tetap
Perdarahan kapiler
keluarnya darah merembes
Perdarahan primer
terjadi pada waktu terputusnya pembuluh darah karena trauma atau
operasi.
Perdarahan intermediate
terjadi dalam 24 jam.
Perdarahan sekunder
terjadi setelah 24 jam.
3. Menurut lokasi
Perdarahan eksternal
darah keluar dari kulit atau jaringan lunak dibawahnya
Perdarahan internal
darah tidak keluar, tetapi masuk kejaringan sekitarnya
Perdarahan mekanik
perdarahan terjadi akibat trauma mekanik atau kecelakaan.
Perdarahan spontan/biokemis
perdarahan
terjadi
akibat
kelainan
atau
gangguan
mekanisme
trombosit
72
Perdarahan di otak
b. Kelainan sistemik
B. Sistemis
Perdarahan akut dan jumlahnya banyak dapat menyebabkan keadaan fatal.
Penekanan langsung
~ Cautery
-
Efektifitas
bertambah
bila
dikombinasikan
dengan
tindakan
penekanan.
73
Misal : Gelatin sponge, Gel Foam, Fibrin Foam, keuntungan dari bahan
ini dapat ditingkatkan didalam luka karena akan diganti
oleh
jaringan fibrosa.
~ Penjepitan dan pengikatan
Pada beberapa kasus perdarahan, terutama perdarahan pada pembuluh
darah diperlukan penjepitan hemostat.
Penjahitan cat gut, silk atau benang yang dapat diresorbsi
~ Penjahitan
membantu untuk menambah tekanan ekstra vaskuler
~ Istirahat
Menbatasi gerakan penderita.
b. Sistemik
Mengembalikan Volume darah
Dikenal dua cara yaitu :
~ Kristaloid :
Larutan glukosa 5%
Larutan NaCl 0,9%
Larutan Ringer Laktat
~ Kolloid :
Pemberian secara tranfusi darah dengan preserved blood atau fresh
whole blood.
Pemberian faktor-faktor pembekuan darah
Pemberian preparat yang berefek dalam :
~ Memperkuat pembuluh darah
~ Menaikkan resistensi kapiler
~ Mengurangi permeabilitas kapiler
Misal : Adona, Anaroxyl, Transamin dll.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1. Test fungsi vaskuler
Capilary fragility Rumple Leede (Torniquet Test)
2. Test fungsi trombosit
Menghitung jumlah trombosit
Penilaian retraksi bekuan
Bleeding time
74
75
DAFTAR PUSTAKA
1. Aitkenhead,A.R., & Smith G., 1990, Textbook of Anaesthesia, 2nd ed., New York:
Churchill Livingtone.
2. Andreasen J.O., 1997, textbook and Color Atlas of Tooth Impactins Diagnosis
Treatment Prevention, 1sted., Mosby.
3. Archer W.H., 1975, Oral and Maxillofacial Surgery, 5th ed., W.B. Saunders
4. Birn H and Winther J.E., Pedoman dalam Minor Surgery. UI Press
5. Dimitroulis W., 1997, A Synopsis of Minor Oral Surgery, First Publisher, Oxford
Boston
6. Donoff R.B., 1997, Dentoalveolar Surgery in Donoff R.B et al (editor) Manual of
Oral and Maxillofacial Surgery, 3rd ed.,St. Louis Mosby Yearbook inc
7. Dym H., 2001, The Impacted Canine, in Atlas of Minor Oral Surgery, W.B.
Saunders Co., Toronto
8. Gans B.J., 1972, Atlas of Oral Surgery, 1st ed., The CV Mosby Co.,St Louis
9. Hopkins, 1989, Atlas Berwarna Bedah Mulut Preprostetik (terjemahan), EGC.,
Jakarta
10. Howard, S.S., 1974. The Interrelationship between The Maxillary Sinus and
Endodontics. Jour. O.S. 38 No. 8 Oktober
11. Killey, H. C. & Key L.W., 1975, The Maxillary Sinus and its Dental Implications 1st
ed., John & Wright & Sons Ltd. Bristol
12. Kruger G.O., 1984, Oral and Maxillofacial Surgery, 6th ed Mosby Co.,St. Louis
Toronto
13. Matthew et al., Surgical aids to Prosthodontics,Including Osseintegrated
Implant in Pedlar J., et al 2001, Oral and Maxillofacial Surgery. Edinberg.
Churchill Livingstone
14. Ogden G.R., 2001, Removal of Unerupted Teeth, in Pedlar S, Frame J.W., Oral
and Maxillofacial Surgery an Objective Based Textbook, Edinburg, Churchill
Livingstone
15. Pagana K.D. & Pagana T.J., 1995, Diagnostic and Laboratory Tast Reference.
2nd ed., St Louis : Mosby Year Book.
16. Panchal et al. Minor Preprosthetic Surgery in Dym, Harry et al. 2001. Atlas of
Minor Surgery, Philadelphia : W.B. Saunders Co.
17. Pedersen W.G., 1996, Alih Bahasa Purwanto, Basoeseno, Buku Ajar Praktis
Bedah Mulut, Penerbit Buku EGC, Jakarta.
18. Pedersen, 1998, Oral Surgery 1st ed Philadelphia, W.B. Saunders Co.
19. Pedlar J., 2001, Oral and Maxillofacial Surgery. An Objective based textbook,
Churchill Livingstone
76
77
78