Pembimbing:
Prof. Heriandi Sutadi, Ph.D., drg., Sp.KGA (K)
drg. Marianti Enikawati
drg. Nurulia Januarti
Pada gigi sulung, terjadinya karies dapat menstimulasi adanya respons terhadap
kompleks dentin-pulpa. Perluasan karies pada dentin dapat menyebabkan pulpa terekspos
sehingga dapat menyebabkan terjadinya nekrosis pulpa. Ketika pulpa sudah terekspos dan
muncul infeksi sehingga terasa sakit, kontrol infeksi dan inflamasi perlu untuk segera
dilakukan bersama dengan perawatan atau tatalaksana yang tepat untuk menghilangkan
infeksi.1
Perawatan endodontik atau perawatan saluran akar (PSA) pada gigi anak merupakan
salah satu alternatif perawatan yang dapat diberikan untuk terjadinya infeksi pulpa gigi anak.
PSA gigi sulung dapat mencegah terjadinya perluasan infeksi dan dapat mempertahankan sisa
jaringan gigi yang sehat sehingga gigi sulung tetap bisa digunakan selama mungkin, sehingga
dapat menciptakan keadaan yang baik untuk eksfoliasi gigi sulung secara normal dan selama
menunggu erupsi gigi permanen yang masih dalam pertumbuhan dan perkembangan.1,2
1. Gigi sulung dari segala dimensi memiliki ukuran yang lebih kecil dari gigi permanen.
2. Mahkota gigi sulung memiliki ukuran mesiodistal yang lebih besar dari ukuran
servikooklusal.
3. Mahkota gigi sulung anterior memiliki permukaan fasial dan lingual lebih prominen
pada 1/3 servikal mahkotanya dibandingkan mahkota gigi permanen.
4. Mahkota gigi sulung posterior memiliki permukaan oklusal yang lebih sempit secara
fasiolingual serta permukaan fasial dan lingual yang lebih konvergen ke arah oklusal
dari mahkota gigi permanen.
5. Akar gigi sulung memiliki porsi atau rasio yang lebih besar dari mahkotanya.
6. Akar gigi molar sulung lebih ramping dan panjang serta lebih melebar pada area
servikal dan lebih mengarah ke apeks dibandingkan akar gigi molar permanen.
7. Gigi sulung memiliki ketebalan enamel yang lebih tipis, hanya sekitar 1 mm saja.
8. Gigi sulung memiliki dentinoenamel junction (DEJ) yang lebih dekat terhadap
enamel.
9. Gigi sulung memiliki kamar pulpa yang lebih lebar dan tanduk pulpa yang lebih
tinggi dari gigi permanen.
10. Dentin pada gigi sulung cenderung lebih porus dari dentin pada gigi permanen,
sehingga lebih rentan terhadap lesi karies.
Di bawah lapisan odontoblas, terdapat sel-sel yang disebut dengan cell-free zone dan
cell-rich zone of Hohl. Cell-free zone merupakan sel yang terletak tepat di bawah lapisan
odontoblas dengan pleksus saraf yang melimpah (pleksus Raschkow) dan kapiler darah yang
menopang dan meregulasi aktivitas odontoblas serta menyediakan inervasi sensorik pada
pulpa. Cell-rich zone of Hohl merupakan sel-sel di bawah cell-free zone dan terdiri atas sel-
sel yang menyerupai odontoblas (odontoblast-like cells).1,2
Bagian dentin dalam lebih porus dibanding dentin superfisial. Selain itu, dentin pada
gigi sulung dan gigi permanen muda cenderung lebih porus dari dentin pada gigi permanen
yang sudah tumbuh sempurna. Maka, pulpa gigi sulung dan gigi permanen muda lebih rentan
terhadap lesi karies, kavitas dalam, dan lesi atau injuri traumatik. Pemeriksaan pulpa pada
gigi permanen muda cenderung kurang memberi hasil yang meyakinkan karena inervasi pula
(pleksus Raschkow) baru akan matang sempurna jika pembentukan akar gigi telah mencapai
tahap akhir.1
Gambar 2.3. Gambaran histologis (A) dentin tersier reaksioner dan (B) dentin tersier
reparatif.1
Dentin tersier reaksioner dan dentin sklerotik akan terbentuk saat telah terjadi
perluasan karies dari enamel ke dentin. Jumlah dari dentin tersier tersebut bergantung pada
kedalaman dan progresivitas (rate of progression) dari lesi karies tersebut. Bila progresivitas
lesi tinggi, dentin tersier reaksioner yang terbentuk akan semakin buruk dan berbentuk
irregular. Jika progresivitas lesi karies lebih cepat dari proses pembentukan dentin tersier
reaksioner, akan terjadi pelebaran pembuluh darah pulpa dan kemunculan sel inflamasi pada
area tubuli dentin di sekitar lesi karies. Lesi karies dentin yang tidak segera ditangani akan
berisiko memunculkan eksposur pada pulpa. Inflamasi akut akan terjadi pada lesi karies
mencapai pulpa dan menyebabkan terbentuk mikroabses di bawah area pulpa yang terekspos,
dilanjutkan dengan akumulasi sel-sel inflamasi kronis. Saat lesi karies mencapai pulpa
tersebut tidak segera ditangani, gigi tersebut dapat mengalami nekrosis pulpa total atau
nekrosis parsial.1,2
Faktor utama yang menentukan apakah pulpa dalam kondisi nekrosis parsial atau
nekrosis total didasari oleh drainase abses pada gigi. Bila pulpa terekspos dan terjadi
drainase, kemungkinan terdapat sisa jaringan periapikal yang terinflamasi kronis dan
terkategorikan sebagai nekrosis parsial. Namun, jika pulpa terekspos dan drainase terhalang
oleh impaksi makanan atau margin restorasi yang buruk (faktor lokalis), maka kemungkinan
telah terjadi nekrosis total.1
Reaksi pulpa yang ringan sering terjadi pada teknik preparasi dengan tekanan yang
ringan dan disertai perubahan minor pada lapisan odontoblas sebagai hasil akumulasi cairan
tubuli dentin. Reaksi pulpa yang berat umumnya terjadi pada teknik preparasi dengan tekanan
yang besar sehingga memungkinkan terjadinya perdarahan, perluasan inflamasi, dan nekrosis
sel pulpa. Untuk mencegah terjadinya kerusakan pulpa karena pengambilan jaringan yang
berlebihan, perlu dilakukan preparasi seminim mungkin dengan prinsip minimal invasive
dentistry, menggunakan tekanan ringan dan aliran air dari handpiece untuk meminimalkan
efek panas dari preparasi terhadap kompleks dentin-pulpa, dan menghindari pemakaian air-
syringe terlalu lama agar tidak merusak kondisi kompleks dentin-pulpa.1
Masalah medis pada pasien anak memungkinkan terjadinya batasan atau bahkan
mengubah arah rencana perawatan. Hal tersebut disebabkan perawatan pulpa harus
bergantung pada respons penyembuhan yang adaptif bila akan dilakukan perawatan
endodontik.4
Contoh pasien dengan riwayat medis yang menjadi kontraindikasi bagi perawatan
endodontik adalah pasien dengan congenital cardiac disease, pasien immunocompromised,
pasien immunosuppressed, dan pasien dengan healing potential yang buruk. Pasien-pasien
seperti ini perlu segera diberikan tindakan perawatan dental berupa ekstraksi untuk
menghilangkan infeksi di rongga mulutnya seperti kerusakan pulpa yang lebih dalam.4
Sementara itu, terdapat contoh kelainan medis yang bila terdapat pada pasien, pasien
masih diperbolehkan untuk diberikan perawatan endodontik, misalnya pasien dengan
kelainan perdarahan dan oligodonsia. Pasien anak dengan kelainan perdaraham masih
dibolehkan untuk mendapatkan penatalaksanaan endodontik bila operator sudah berkonsultasi
dengan hematolog (dokter Sp.PD) untuk mempertimbangkan aspek-aspek lain sebelum
menentukan apakah gigi tersebut masih dapat dipertahankan atau diekstraksi. Begitu pun
pada pasien anak dengan oligodonsia, perlu dipertimbangkan apakah gigi dapat
dipertahankan atau diekstraksi.4
Dalam menentukan karakteristik nyeri pada gigi anak, perlu dibedakan antara nyeri
spontan, nyeri terstimulasi, dan tidak ada nyeri. Nyeri spontan memiliki karakteristik seperti
dapat timbul kapan saja, berdenyut, tidak berhubungan dengan stimulus luar, dan persisten
sehingga mengganggu pasien pada setiap aktivitas hidupnya. 6 Sementara itu, nyeri
terstimulasi adalah nyeri yang dipicu oleh stimulus osmosis atau termal dan nyeri tersebut
dapat hilang saat tidak adanya stimulus yang diberikan.1
Nyeri terstimulasi pada gigi sulung dan permanen muda umumnya menandakan status
pulpa yang reversibel. Karakteristik nyeri tersebut dapat mengindikasikan perawatan pulpa
yang lebih konservatif seperti pulp capping.2
Nyeri spontan pada gigi sulung menandakan status pulpa yang irreversible.
Karakteristik nyeri tersebut pada gigi sulung dapat mengarahkan perawatan pulpa seperti
pulpektomi, PSA, atau ekstraksi.2 Berbeda dengan gigi sulung, karakteristik nyeri spontan
pada gigi permanen muda justru mengarahkan perawatan pulpotomi, apeksogenesis,
apeksifikasi, dan teknik regeneratif lainnya.1
Kondisi tidak ada nyeri pulpa pada gigi sulung maupun gigi permanen pada pasien anak
kadang memunculkan kesulitan diagnosis antara status pulpa gigi tersebut yang masih sehat
atau justru sudah mengalami nekrosis atau degenerasi. Hal tersebut ditambah dengan belum
mampunya pasien anak, terutama yang berusia prasekolah, dalam menjelaskan karakteristik
nyeri yang dirasakannya, sehingga perlu dibantu oleh orang tua atau wali dalam penjelasan
keluhan nyeri yang dirasakannya, diiringi dengan pemeriksaan klinis dan radiografis untuk
dapat menegakkan diagnosis status pulpa pada gigi anak.3
Dalam pemeriksaan klinis bagi penegakan diagnosis status pulpa pada gigi anak, baik
melalui pemeriksaan ekstraoral (EO) dan pemeriksaan intraoral (IO), serta pemeriksaan
penunjang berupa pengambilan foto radiograf, terdapat tanda-tanda yang dapat diperhatikan
pada kasus kerusakan gigi dengan keterlibatan pulpa pada gigi sulung, gigi permanen muda,
maupun permanen dewasa.1 Tanda-tanda klinis yang dapat diperhatikan adalah adanya:
Diskolorasi gigi,
Karies,
Pembengkakan dan tanda kemerahan di regio vestibulum sekitar gigi,
Drainase purulen,
Fraktur gigi ekstensif, dan/atau
Restorasi gigi yang hilang atau restorasi gigi dengan kerusakan marginal karena
karies sekunder.
Pemeriksaan EO seperti palpasi dan observasi visual bentuk wajah dapat mengarah
pada status pulpa gigi. Adanya pembengkakan, tanda kemerahan, dan limfadenopati
submandibular yang terdeteksi secara EO dapat dicurigai sebagai terjadinya abses
dentoalveolar akut.1
Pemeriksaan IO seperti observasi visual, palpasi, perkusi, tes mobilitas, dan tes vitalitas
gigi dilakukan untuk menentukan status pulpa gigi sulung maupun gigi permanen muda. Bila
terdapat mobilitas gigi pada anak, hal tersebut bisa disebabkan oleh kehilangan tulang akibat
inflamasi periapikal (kegoyangan patologis) atau resorpsi akar fisiologis sebagai proses
eksfoliasi gigi sulung diikuti erupsi gigi permanen (kegoyangan fisiologis). Cara
membedakan kegoyangan patologis dengan fisiologis tersebut adalah dengan
membandingkan gigi tersebut dengan gigi ipsilateral (kanan-kirinya). Bila gigi ipsilateral
tidak menunjukkan mobilitas sedangkan gigi tersebut mengalami kegoyangan, kemungkinan
gigi tersebut mengalami kerusakan tulang akibat inflamasi periapikal.1,2
Pemeriksaan dengan tes perkusi pada gigi anak dapat dilakukan dengan ujung jari dan
tidak disarankan menggunakan ujung instrumen plastis. Bila perkusi positif, dapat dicurigai
adanya kerusakan pulpa yang menyebabkan periodontitis apikalis akut atau trauma dental.2
Tes vitalitas gigi dapat dilakukan dengan uji termal dan/atau uji elektrik untuk
mengetahui respon vital gigi. Namun, tes vitalitas ini tidak dianjurkan karena dapat
menimbulkan kecemasan pada pasien anak atau masalah manajemen perilaku lainnya. 1,2 Hal
tersebut menyebabkan perlunya pemeriksaan penunjang berupa foto radiograf.
Pemeriksaan radiograf seperti periapikal dan bitewing dapat dilakukan untuk memberi
gambaran kondisi gigi sulung maupun permanen muda. Hal yang dapat diinterpretasi dari
hasil foto radiograf tersebut adalah:
Gambar 2.4 Terapi Indirect Pulp Capping. (A) Gigi sulung atau permanen dengan karies dalam. (B)
Jaringan infected dentin telah diangkat dan ditutup menggunakan semen biokompatibel. (C) Enam
hingga delapan minggu kemudian, kavitas dipreparasi kembali untuk mengangkat jaringan karies yang
ditinggalkan sebelumnya. Terdapat lapisan dentin yang melindungi pulpa.3
Indikasi1:
Lesi karies dalam hingga tertinggal sedikit jaringan dentin yang melindungi
pulpa
Asimptomatik
Tidak adanya patologi pada pulpa radikular di dalam gambaran radiograf
Tatalaksana3–5:
1. Asepsis dan isolasi area kerja.
2. Ekskavasi karies superfisial.
3. Ekskavasi karies perifer, tinggalkan karies dalam yang melindungi pulpa.
4. Finalisasi preparasi kavitas
5. Irigasi menggunakan saline sterile
6. Tempatkan kalsium hidroksida diatas jaringan karies
7. Lakukan penumpatan sementara menggunakan kalsium hidroksida
8. Setelah 6-8 minggu, bongkar restorasi sementara dan ekskavasi karies yang
tertinggal. Menurut rumber lain yaitu Cameron, 2013 dalam The Handbook of
Dentistry dan Pulp Therapy for Primary and Immature Permanent Teeth, jika
hasil pemeriksaan secara klinis dan radiograf menunjukkan penyembuhan
pulpa maka tidak perlu dilakukan pengambilan jaringan karies yang
tertinggal.4,5
9. Lakukan restorasi permanen restorasi sewarna gigi/mahkota logam.
Evaluasi:
Selama margin restorasi tertutup rapat dan terhindar dari kontaminasi bakteri,
prognosis untuk menghambat karies dan pembentukan reparative dentin untuk
melindungi pulpa akan meningkat. Tingkat kesuksesan perawatan indirect pulp
capping lebih tinggi dibandingkan direct pulp capping dan pulpotomy pada kondisi
pulpa normal atau memiliki pulpitis reversibel dan tidak adanya pulpa terekspos.3,5
2.4.1.4 Pulpotomi
Pulpotomi merupakan prosedur amputasi pulpa koronal yang terinfeksi untuk
menjaga vitalitas dan fungsi pulpa radikular. Pada prosedur ini, jaringan pulpa
radikular harus bebas dari inflamasi dan infeksi. Beberapa hal yang menjadi faktor
kesuksesan pulpotomy antara lain; keahlian dalam mengontrol infeksi, pengangkatan
seluruh pulpa koronal yang terinfeksi, menggunakan medikamen yang sesuai, serta
dapat merestorasi mahkota tanpa adanya celah setelah selesai prosedur.1,3,5
Indikasi1:
Eksposure pulpa yang akibat ekskavasi jaringan karies pada gigi sulung
Pulpa normal atau pulpitis reversibel
Tidak adanya tanda resropsi patologis ataupun infeksi pada gambaran
radiograf
Infeksi diyakinkan hanya pada pulpa koronal, pada saat pulpa koronal
diamputasi, pulpa radikular tetap vital dengan ciri: tidak adanya nanah,
nekrosis pulpa, atau perdarahan yang tidak terkontrol oleh cotton pellet setelah
beberapa menit.
Kontraindikasi1:
Adanya riwayat nyeri spontan pada gigi (bukan karena food impaksi)
Gigi yang tidak dapat direstorasi karena penutupan koronal tidak adekuat
pasca pulpotomy
Gigi tidak lama lagi akan eksfoliasi; atau benih gigi permanen sudah
menembus tulang
Adanya gambaran patologi di furkasi atau periapical
Adanya resropsi akar patologis
Pulpa tidak berdarah pada saat diamputasi (nekrosis)
Ketidak mampuan untuk mengontrol perdarahan pulpa radikular setelah
amputasi pulpa koronal
Pulpa mengeluarkan nanah
Adanya fistula
2. letakkan cotton pellet tersebut pada pulpa selama 5 menit untuk fiksasi
jaringan. Perhatikan agar formokresol tidak mengenai gingiva atau
jaringan lunak lainnya karena akan menimbulkan rasa terbakar.
3. Ketika cotton pellet diangkat, jaringan akan berubah warna menjadi coklat
dan tidak ada perdarahan. Jika terdapat area pulpa yang tidak ditutupi oleh
foromokresol, ulangi pemberian formorkresol pada daerah tersebut.
4. Isolasi ulang daerah kerja menggunakan cotton roll
5. Aplikasikan basis semen ZOE dan lakukan tumpatan sementara
Indikasi pulpektomi:
Minimal panjang akar adalah 4 mm
Kontraindikasi pulpektomi:
Gigi yang tidak dapat direstorasi
Terdapat resropsi internal
Gigi dengan perforasi lantai kamar pulpa
Resropsi akar patologis melebihi 1/3 apikal
Resorpsi tulang patologis diikuti dengan penurunan perlekatan periodontal
Terdapat kista folikular atau dentigerous
Lesi periapical atau interradikular melibatkan benih gigi permanen
Tatalaksana1:
Berikut merupakan beberapa hal yang dapat disimpulkan terkait material pulp
capping:3
1. Untuk pulp capping indirect, liner GIC paling sering digunakan dibandingkan
dengan ZOE dan Ca(OH)2.
2. Formokresol merupakan bahan yang paling banyak dipilih sebagai medikamen
pulpotomi. Basis ZOE merupakan pilihan utama paska pulpotomi.
3. Prosedur pulpektomi jarang dilakukan pada gigi yang mengalami abses. Jika
prosedur tersebut dilakukan, maka material yang direkomendasikan adalah pasta
kombinasi iodoform dan kalsium hidroksida.
Pada saat ini, belum ada material yang memenuhi seluruh kriteria diatas. Material pengisi
saluran akar yang umumnya digunakan untuk gigi sulung adalah pasta ZOE, iodoform,
dan Ca(OH)2..1
2. Pasta Iodoform
Salah satu contoh pasta iodoform adalah pasta KRI, campuran dari iodoform,
kampor, paraklorofenol, dan mentol. Pasta ini dapat teresorpsi dengan cepat dan
memiliki efek yang baik saat digunakan sebagai medikamen gigi sulung yang
disertai abses. Jika pengisian KRI melebihi hingga ke jaringan periapikal, pasta
ini akan segera tergantikan oleh jaringan normal.
3. Calcium Hydroxide
Kalsium hidroksida dianggap sebagai material pengisi saluran akar yang paling
ideal karena mudah diaplikasikan, tidak memiliki efek toksik terhadap benih gigi
permanen, dan radiopak.
2.6.1 Vital
2.6.1.1 Protective base
Protective liner adalah cairan yang diaplikasikan tipis pada permukaan pulpa
dari preparasi kavitas yang dalam untuk menutupi tubulus dentin yang terekspos,
sebagai protective barrier antara material restoratif dan pulpa. Aplikasi liner harus
diikuti dengan restorasi yang baik untuk meminimalisasi kebocoran dari permukaan
antara restorasi-dentin.6
Indikasi berupa gigi yang memiliki karies kecil atau eksposur mekanis pada
gigi dengan pulpa normal. Evaluasi berupa tidak adanya tanda atau gejala sensitivitas,
rasa sakit, pembengkakan. Tidak ada resorpsi akar internal atau eksternal pada
gambaran radiograf atau perubahan patologis lainnya. Gigi dengan akar imatur harus
diapeksogenesis.4,6
2.6.1.4 Apexogenesis
Apeksogenesis adalah istilah histologis untuk mendeskripsikan kelanjutan
perkembangkan dan pembentukan fisiologis dari akar gigi. Pembentukan apeks di gigi
permanen muda vital dapat dicapai dengan menerapkan perawatan pulpa vital seperti
indirect pulp treatment, direct pulp capping, partial pulpotomy.6
2.6.1.6 Pulpotomy
Pada pulpa tereksposur oleh karies atau iatrogenik, jaringan radikular vital,
dan gigi dapat direstorasi, untuk menjaga jaringan sehat, dan tidak membahayakan
gigi pengganti.4,6
2.6.2 Nonvital
2.6.1.1 Apexification
Apeksifikasi merupakan metode penutupan ujung akar yang tidak terbentuk
sempurna pada gigi permanen nonvital dengan mengangkat bagian koronal dan
jaringan radikular nonvital dekat ujung akar dan menempatkan biocompatible agent
seperti kalsium hidroksida pada kanal selama dua hingga empat minggu untuk
mendesinfeksi ruang kanal. Penutupan ujung akar menggunakan apical barrier seperti
MTA atau absorbable wound dressing. Gutta percha digunakan untuk mengisi saluran
akar, jika dinding kanal tipis, ruang kanal dapat diisi dengan MTA atau resin
komposit untuk memperkuat terhadap fraktur.4,6
Evaluasi berupa tidak adanya tanda atau gejala sensitivitas, rasa sakit,
pembengkakan. Tidak ada resorpsi akar internal atau eksternal pada gambaran
radiograf atau perubahan patologis lain, dan gigi lanjut bererupsi.4,6
2.6.1.2 Pulpectomy
Merupakan perawatan saluran akar (endodontik) untuk merawat pulpa
terekspos, terinfeksi, dan atau nekrosis untuk menghilangkan infeksi pulpa dan
periradikular. Seluruh atap pulpa diangkat untuk mendapat akses dan mengambil
semua jaringan pulpa koronal. Dilanjutkan dengan debridement, desinfeksi,
pembentukan saluran akar, obturasi saluran akar dengan bahan pengisi non-
resorbable.4,6
Indikasi berupa gigi yang dapat direstorasi dengan irreversible pulpitis atau
nekrosis pulpa. Evaluasi berupa pengisian tidak boleh lebih atau kurang, tidak ada
gejala setelah perawatan seperti sensitivitas berkepanjangan, pembengkakan, adanya
resolusi dari keluhan sebelum perawatan.4,6
Material lain berupa ferric sulfate 15.5% mendenaturasi protein dan membentuk
kompleks ferric ion, aplikasi yang lebih singkat daripada formokresol yaitu 10-15 detik. MTA
merupakan semen dental dengan bentuk kristal amourphous, obliterasi kanal pulpa sering
terjadi.4
BAB III
KESIMPULAN
Perawatan endodontik pada gigi anak dilakukan untuk mempertahankan fungsi gigi
sekaligus untuk mencegah eksfoliasi dini. Dalam merencanakan perawatan endodontik,
dibutuhkan pemeriksaan lengkap mencakup anamnesis, riwayat medis dan dental,
pemeriksaan klinis, serta pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan radiografik untuk
menegakkan diagnosis yang tepat. Diagnosis penyakit pulpa bergantung pada penjalaran
infeksi pada jaringan, meliputi karies mencapai pulpa vital yang bersifat reversible dan
irreversible serta karies mencapai pulpa nonvital atau nekrosis. Perawatan yang diberikan
bergantung pada diagnosis yang ditegakkan, yaitu pulpotomi, pulpektomi, dan perawatan
saluran akar. Keberhasilan perawatan endodontik pada gigi anak dipengaruhi oleh
penegakkan diagnosis yang baik, penyusunan rencana perawatan yang tepat, pemilihan
material endodontik serta teknik yang sesuai.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hargreaves KM, Berman LH. Cohen’s Pathways of The Pulp. 11th ed. Canada: St.
Louis, Missouri : Elsevier; 2016.
2. Koch G, Poulsen S. Pediatric Dentistry: A Clinical Approach. 3rd ed. Koch G, Poulsen
S, Espelid I, Haubek D, editors. Wiley-Blackwell; 2016.
3. Dean JA. McDonald and Avery’s Dentistry for the Child and Adolescent. 10th ed.
Dean JA, editor. Missouri: Mosby Elsevier; 2016.
4. Cameron AC, Widmer RP. Handbook of pediatric dentistry [Internet]. Edinburg:
Mosby; 2013. Available from: http://www.myilibrary.com?id=759205
5. Kratunova E, Silva D. Pulp therapy for primary and immature permanent teeth: An
overview. Gen Dent. 2018;66(6):30–8.
6. American Academy of Pediatric Dentistry. Guideline on pulp therapy for primary and
young permanent teeth. Reference Manual 2006-07. Pediatr Dent [Internet].
2007;28(6):144–8. Available from:
http://www.aapd.org/media/policies_guidelines/g_pulp.pdf