Anda di halaman 1dari 19

TEXT BOOK READING

VERTIGO

Pembimbing:
dr. Yuanita Mardastuti, Sp.S

Disusun Oleh
Aisyah Aulia Wahida

G4A015038

BAGIAN SMF ILMU PENYAKIT SARAF


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2015

LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui Text Book Reading yang berjudul:


Vertigo

Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat kegiatan kepaniteraan klinik


Di Bagian Ilmu Penyakit Saraf
RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh
Aisyah Aulia Wahida

G4A015038

Disetujui dan disahkan


Tanggal

Juni 2016

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Yuanita Mardastuti, Sp.S

BAB I
PENDAHULUAN

Keluhan pusing merupakan keluhan yang sering dirasakan oleh pasien dan
menyebabkan pasien datang ke klinik untuk meminta pertolongan. Keluhan pusing
atau dizziness ini dapat bermacam-macam, misal pusing berputar, atau perasaan
seperti melayang, dan lain-lain. Untuk itu perlu dipahami oleh para klinisi untuk
menentukan jenis dizziness untuk kemudian menentukan terapi yang akan dilakukan
(Wreksoatmodjo, 2004).
Vertigo merupakan salah satu jenis dari tipe dizziness. Pasien dapat merasakan
pusing berputar, atau benda di sekelilingnya yang terasa berputar. Pengetahuan
mengenai penyebab-penyebab vertigo perlu dikuasai karena ada vertigo dapat berupa
gejala dari suatu penyakit yang mungkin perlu diwaspadai. Untuk itu penegakkan
diagnosis mengenai kausa vertigo harus dapat dilakukan (Wreksoatmodjo, 2004).

BAB II
ISI
A. Definisi
Vertigo berasal dari bahasa Latin vertere yang memiliki arti memutar, hal
ini disebabkan karena pada penderita vertigo, mereka akan merasakan sensasi
seperti berputar. Vertigo termasuk dalam gangguan keseimbangan yang
dinyatakan sebagai pusing, pening, sempoyongan, atau rasa seperti melayang.
Vertigo merupakan suatu sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh seperti
berputar, tanpa adanya sensasi perputaran yang sebenarnya, dapat berupa badan
penderita yang terasa berputar, maupun benda sekelilingnya yang terasa berputar
(Cummings et al., 2005).
Vertigo merupakan subtipe dari dizziness yang diterjemahkan sebagai
sensasi berputar. Subtipe dizziness itu antara lain vertigo, disekuilibrum,
lightheaded presyncop dan tipe lain. Sensasi berputar ini merupakan gejala kunci
yang menandakan adanya gangguan sistem vestibular dan kadang merupakan
gejala adanya kelainan labirin. Selain itu, tidak jarang vertigo ini merupakan suatu
gejala dari gangguan sistemik lain (misalnya akibat konsumsi obat tertentu,
hipotensi, penyakit endokrin, dan lain sebagainya) (Wreksoatmodjo, 2004).
Istilah yang sering dikaitkan dengan vertigo adalah Benign paroxysmal
positional vertigo (BPPV) yang merupakan salah satu jenis vertigo perifer. Kata
benign pada istilah ini dimaksudkan bahwa BPPV merupakan suatu bentuk
vertigo yang berhubungan dengan posisi ini tidak diakibatkan karena adanya
kelainan serius pada sistem saraf pusat. Istilah paroxysmal berhubungan dengan
onset yang tiba-tiba dari BPPV (Bhattacharyya et al., 2008).
B. Epidemiologi
Keluhan pusing atau dizziness ini sering menyebabkan seseorang datang
ke klinik untuk mendapatkan pertolongan. Di Amerika Serikat, keluhan utama
pusing dikeluhkan oleh hampir 5.6 juta orang per tahun. Dari keempat subtipe
dizziness, vertigo terjadi pada sekitar 32% kasus, dan semakin meningkat pada
orang dengan usia yang lebih tua. Di Amerika Serikat, 17% dari 42% kasus yang

mengalami vertigo, didiagnosis sebagai Benign paroxysmal positional vertigo


(BPPV) yang merupakan bentuk vertigo perifer (Bhattacharyya et al., 2008).
C. Etiologi
Berdasarkan penyebabnya, vertigo dikategorikan menjadi dua jenis, yakni
vertigo perifer dan vertigo sentral. Vertigo sentral dapat terjadi pada daerah pons,
medulla, maupun serebellum. Kasus vertigo jenis ini hanya terjadi sebanyak 2025% dari keseluruhan kasus vertigo. Penyebab vertigo sentral ini cukup
bermacam-macam, antara lain iskemia atau infark batang otak (penyebab
tersering), proses demielinisasi (misalnya pada multiple sclerosis, demielinisasi
paska infeksi), tumor pada daerah serebellopontin, neuropati kranial, tumor
daerah batang otak (Wahyudi, 2012).
Vertigo perifer dapat terjadi karena adanya kelainan atau gangguan pada
end-organ (utrikulus maupun kanalis semisirkularis) maupun saraf perifer.
Beberapa penyebab vertigo perifer antara lain benign paroxysmal positional
vertigo (BPPV), Penyakit Meniere, neuritis vestibula, labirintitis (Abes et al.,
2014).
Gambar 1.1 Skema Klasifikasi Vertigo (Wreksoatmodjo, 2004)

Berikut merupakan perbedaan dari vertigo sentral dan perifer (Hamid et


al., 2012):
Tabel 1.1 Perbedaan Vertigo Perifer dan Vertigo Sentral (Hamid et al., 2012)

Gejala
Onset
Kualitas
Intensitas
Munculnya
Vertigo
Durasi
Eksaserbasi
dengan
pergerakan kepala
Mual dan Muntah
Imbalance
Arah nistagmus
Aksis Nistagmus

Perifer
Mendadak
Berputar
Berat
Episodik
Detik, menit,jam atau hari
Sedang-berat

Sentral
Insidious
Disequilibrum
Ringan-Sedang
Konstan
Minggu atau lebih
ringan

Berat
Ringan
Satu arah
Horizontal atau rotatorik

Ringan
Sedang
bervariasi
Horizontal,
vertikal,
oblik, atau rotatorik
Fase
ireguler
atau
setimbang (equal)
Tidak ada
Jarang
Jarang
Sering

Tipe Nistagmus

Fase lambat dan cepat

Tekanan atau Nyeri Telinga


Hilang Pendengaran
Tinitus
Gejala Neurologis

Kadang-Kadang
Sering
Sering
Jarang

D. Patofisiologi
Adanya gangguan pada alat keseimbangan tubuh seperti organ-organ
vestibuler, visual, ataupun sistem propioseptif dapat menyebabkan gangguan
antara posisi tubuh yang sebenarnya dengan apa yang dipersepsi oleh susunan
sistem saraf pusat. Organ untuk keseimbangan, yakni labirin terdiri dari 3 kanalis
semsirkularis yang berhubungan dengan rangsangan akselerasi angular, serta
utrikulus dan sakulus yang berkaitan dengan rangsangan gravitasi dan akselerasi
vertikal. Rangsangan akan berjalan melalui nervus vestibularis menuju nukleus
vestibularis di batang otak, lalu menuju fasikulus medialis (bagian kranial
muskulus okulomotorius), kemudian meninggalkan traktus vestibulospinalis
(rangsangan eksitasi terhadap otot-otot ekstensor kepala, ekstremitas, dan
punggung untuk mempertahankan posisi tegak tubuh. Serebelum sebagai pusat
integrasi antara respons okulovestibular dan postur tubuh akan menerima impuls
aferen ini (Wahyudi, 2012).

Gambar 1.2 Bagan Sistem Keseimbangan Manusia (Wreksoatmodjo, 2004)


Beberapa teori menyebutkan mengenai mekanisme ketidakseimbangan
persepsi ini, antara lain:
1. Teori Rangsang Berlebihan
Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan yang
dapat menyebabkan hiperemi kanalis sermisirkularis, sehingga fungsinya
terganggu dan menimbulkan vertigo (Wreksoatmodjo, 2004).
2. Teori Konflik Sensorik
Adanya ketidakcocokan masukan sensorik yang berasal dari berbagai
reseptor sensorik perifer antara mata/visus, vestibulum dan proprioseptik, atau
ketidakseimbangan masukan sensorik dari sisi kiri dan kanan. Akibatnya,
adanya kebingungan sensorik di sentral, sehingga timbul respon yang berupa
nistagmus, (usaha koresi bola mata), ataksia atau kesulitan berjalan (gangguan
vestibuler, serebelum) (Wreksoatmodjo, 2004).
3. Teori Neural Mismatch

Teori ini merupakan perkembangan dari teori konflik sensorik, di


mana otak memiliki memori atau ingatan tentang pola tertentu, sehingga jika
suatu saat ada gerakan yang kurang sesuai dengan pola gerakan yang telah
tersimpan, ada reaksi dari susunan sistem saraf otonom (Wreksoatmodjo,
2004).
4. Teori Otonomik
Teori ini menekankan perubahan reaksi sistem saraf otonom sebagai
usaha adaptasi terhadap perubahan posisi, gekala klinis timbul jika sistem
simpatis terlalu dominan, sebaliknya hilang jika sistem parasimpatis yang
mulai berperan (Wreksoatmodjo, 2004).
5. Teori Neurohumoral
Ada tiga teori yang menyinggung mengenai peranan neurotransmitter
dalam mempengaruhi sistem saraf otonom yang berujung pada vertigo. Teori
tersebut antara lain, teori Histamin (Takeda), teori dopamin (Kohl), dan teori
serotonin (Lucat) (Wreksoatmodjo, 2004).
6. Teori sinap
Teori ini merupakan perkembangan dari teori neurotransmitter dan
perubahan biomolekuler yang terjadi pada proses adaptasi, belajar, dan daya
ingat. Rangsang gerakan menimbulkan stres yang dapat memicu sekresi CRF
(corticotropin releasing factor), selanjutnya dapat mencetuskan mekanisme
adaptasi dengan meningkatkan aktivitas sistem saraf parasimpatik. Teori ini
menunjukkan proses terjadinya gejala penyerta yang sering timbul, antara lain
pucat, berkeringat di awal serangan vertigo akibat aktivitas simpatis,
kemudian berkembang menjadi gejala mual, muntah, hipersalivasi, akibat
dominasi aktivitas susunan sistem saraf parasimpatik (Wreksoatmodjo, 2004).
Patofisiologi pada BPPV berkaitan dengan teori canalolithiasis yang
dicetuskan oleh Hall pada tahun 1979. Teori ini menyatakan adanya debris otolit
dari makula utrikulus yang bermigrasi ke kanalis semisirkularis melalui bagian
non-ampula yang dapat mengakibatkan vertigo dan nistagmus dan menginduksi
aliran endolimfe selama perubahan posisi. Teori ini menjadi dasar terapi BPPV
yakni dengan manuver reposisi kanal (Abes et al., 2014).
E. Penegakkan diagnosis

1. Anamnesis
Anamnesis yang teliti perlu dilakukan untuk membantu menentukan
diagnosis, apakah pasien mengeluh vertigo akibat gangguan vestibular atau
nonvertiginious dizziness yang disebabkan oleh gangguan nonvestibular. Pada
anamnesis perlu ditanyakan apa bentuk dari vertigonya, apakah melayang,
goyang, berputar, dan lain sebagainya. Selain itu perlu ditanyakan juga hal
yang dapat memprovokasi terjadinya vertigo apakah adanya perubahan posisi
kepala dan tubuh, kelelahan, atau ketegangan, misalnya faktor stress
(Wreksoatmodjo, 2004).
Pada anamnesis perlu diketahui keluhan utama pasien, riwayat
penyakit, riwayat penggunaan obat-obatan tertentu, riwayat penyakit yang
sama pada keluarga, dan riwayat gaya hidup pasien (Abes et al., 2014).
Riwayat penyakit stroke juga dapat menimbulkan vertigo, hampir 50% pasien
dengan stroke mengalami vertigo, dan problem keseimbangan (Kerber, 2009).
Penggunaan

obat-obatan

juga

perlu

diketahui,

obat-obatan

seperti

streptomisin, kanamisin, salisilat, antimalaria dan lain-lain yang diketahui


bersifat ototoksik/vestibulotoksik dan riwayat adanya penyakit sistemik serta
riwayat trauma akustik (Wreksoatmodjo, 2004).

Tabel 1.2 Perbedaan Gangguan Vestibular dan Nonvestibular (Hamid et al.,


2012)
Vestibular
Nonvestibular
Deskripsi

Berputar

Perjalanan Penyakit

Episodik atau menetap

Lightheaded, lemah, linglung,


melayang
Episodik atau menetap

Gejala Berkaitan

Mual,
muntah,
pucat, Parestesi, palpitasi, nyeri kepala,
berkeringat,
hilangnya sinkop
pendengaran, tinitus
Faktor Predisposisi
Anomali Telinga dalam Sinkop
akibat
penyakit
kongenital,
ototoksin, kardiovaskular,
penyakit
operasi telinga
psikiatrik
Faktor Presipitasi
Perubahan posisi kepala Perubahan posisi tubuh, stress,
atau tubuh, infeksi atau ketakutan, ansietas, hiperventilasi
trauma telinga
Gejala klinis yang mungkin perlu ditanyakan pada pasien vertigo
adalah mengenai jenis vertigonya apakah vertigo yang sebenarnya atau psuing
tipe lain. Ada 4 sub tipe dizziness, yang dapat dimengerti melalui tabel
berikut ini:
Tabel 1.3 Perbedaan subtipe dizziness (Cohen et al., 2008)
Vertigo
Presyncopal
Disekuilibrum
Lightheadedn
ess
Gejal Penderita
Kepala terasa Sering
pada
a
merasa
diri seperti
usia
lanjut,
berputar
melayang
hilangnya
terhadap
keseimbangan
lingkungan
tubuh
sekitar,
atau
sebaliknya
Etiol Adanya
Adanya
Seringkali
ogi
ketidakseimban penurunan
pada
pasien
gan sinyal pada perfusi
ke degan penyakit
apparatus
serebral
Parkinson atau
vestibular
penyakit otak

Lain-lain

Sulit
mendeskripsik
an
rasa
pusing, sering
disertai rasa
cemas
Adanya stres
psikologi

Keluhan utama pasien perlu dievaluasi lebih lanjut, antara lain


(Kentala & Rauch, 2003):
a. mengenai apa yang sebenarnya pasien rasakan,
b. onset munculnya gejala,
c. frekuensi timbulnya gejala, intensitas, durasi dan tingkat keparahan saat
ini, dibandingkan dengan episode pertama kali dirasakan
d. Faktor yang memperberat dan memperingan
e. Gejala pendengaran yang mungkin muncul (tinitus,

penurunan

pendengaran, atau telinga terasa penuh)


f. Efek pengobatan
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk meneliti faktor-faktor penyebab,
apakah kelainan sistemik, otologik atau neurologik vestibuler atau serebelar.
Faktor sistemik yang dapat menyebabkan gangguan ini antara lain aritmia
jantung, hipertensi, hipotensi, gagal jantung, kongestif, anemia ataupun
hipoglikemi. Dalam menghadapi kasus vertigo, pertama harus ditentukan
bentuk vertigonya, letak lesi, kemudian penyebab yang mungkin agar dapat
ditentukan terapi kausal yang tepat dan terapi simtomatik yang sesuai
(Wreksoatmodjo, 2004).
Pemeriksaan fisik umum dilakukan untuk memeriksa tanda vital,
apakah ada tanda-tanda infeksi, penyakit sistemik, atau ada gangguan
pernafasan dan/atau metabolik. Terdapat penurunan turgor kulit pada keadaan
dehidrasi, pucat dengan anemia, ruam dengan infeksi, sianosis dengan
hipoksemia. Adanya abrasi, ekimosis, atau laserasi memberikan dugaan ke
arah trauma (Hamid et al., 2012).
Pemeriksaan fisik khusus meliputi pemeriksaan kanalis auditoris dan
membran timpani. Kanalis auditoris eksterna dinilai apakah ada serumen,
eritema, darah atau cairan purulen, bocornya cairan serebrospinal, atau benda
asing. Membran timpani dinilai apakah tampak eritema atau tidak, traumatik,
atau kolesteatom. Pemeriksaan tajam pendengaran juga dapat dilakukan untuk
menilai fungsi pendengaran pasien (Hamid et al., 2012).
Pemeriksaan neurologis dapat dikhususkan pada beberapa tes tertentu,
antara lain:

a. Uji Romberg, penderita berdiri dengan kedua kaki dirapatkan, mula-mula


dengan kedua mata terbuka kemudian tertutup. Biarkan pada posisi
demikian selama 20-30 detik. Harus dipastikan bahwa penderita tidak
dapat menentukan posisinya (misalnya dengan bantuan titik cahaya atau
suara tertentu). Pada kelainan vestibuler hanya pada mata tertutup badan
penderita akan bergoyang menjauhi garis tengah kemudian kembali lagi,
pada mata terbuka badan penderita tetap tegak. Sedangkan pada kelainan
serebelar badan penderita akan bergoyang baik pada mata terbuka maupun
pada mata tertutup (Wreksoatmodjo, 2004).
b. Tandem Gait penderita berjalan lurus dengan tumit kaki kiri/kanan
diletakkan pada ujung jari kaki kanan/kiri ganti berganti. Pada kelainan
vestibuler perjalanannya akan menyimpang, dan pada kelainan serebeler
penderita akan cenderung jatuh (Wreksoatmodjo, 2004).
c. Uji Unterberger, penderita diminta berdiri dengan kedua lengan lurus
horisontal ke depan dan jalan di tempat dengan mengangkat lutut setinggi
mungkin selama satu menit. Pada kelainan vestibuler posisi penderita akan
menyimpang/berputar ke arah lesi dengan gerakan seperti orang melempar
cakram; kepala dan badan berputar ke arah lesi, kedua lengan bergerak ke
arah lesi dengan lengan pada sisi lesi turun dan yang lainnya naik.
Keadaan ini disertai nistagmus dengan fase lambat ke arah lesi
(Wreksoatmodjo, 2004).
d. Past pointing test (uji tunjuk Barany), penderita diminta untuk
mengekstensikan jari telunjuk dan lengan lurus ke depan, penderita
disuruh mengangkat lengannya ke atas, kemudian diturunkan sampai
menyentuh telunjuk tangan pemeriksa. Hal ini dilakukan berulang-ulang
dengan mata terbuka dan tertutup. Pada kelainan vestibuler akan terlihat
penyimpangan lengan penderita ke arah lesi (Wreksoatmodjo, 2004).
e. Uji Babinsky-Weil, pasien dengan mata tertutup berulang kali berjalan
lima langkah ke depan dan lima langkah ke belakang seama setengah
menit; jika ada gangguan vestibuler unilateral, pasien akan berjalan
dengan arah berbentuk bintang (Wreksoatmodjo, 2004).

Pemeriksaan khusus lain adalah pemeriksaan oto-neurologi, yang


bertujuan untuk menentukan letak lesinya di sentral atau perifer, antara lain:
a. Uji Dix-Hallpike
Sebelumnya dilakukan pemberian informasi bahwa pemerksaan ini
akan memprovokasi terjadinya vertigo pada pasien. Dari posisi duduk di
atas tempat tidur, penderita dibaringkan ke belakang dengan cepat,
sehingga kepalanya menggantung 45 di bawah garis horisontal, kemudian
kepalanya dimiringkan 45 ke kanan lalu ke kiri. Perhatikan saat timbul
dan hilangnya vertigo dan nistagmus, dengan uji ini dapat dibedakan
apakah lesinya perifer atau sentral (Wreksoatmodjo, 2004).
Perifer (benign positional vertigo): vertigo dan nistagmus timbul
setelah periode laten 2-10 detik, hilang dalam waktu kurang dari 1 menit,
akan berkurang atau menghilang bila tes diulang-ulang beberapa kali
(fatigue). Sentral: tidak ada periode laten, nistagmus dan vertigo berlangsung lebih dari 1 menit, bila diulang-ulang reaksi tetap seperti semula
(non-fatigue) (Wreksoatmodjo, 2004).
b. Tes Kalori
Tes ini baru boleh dilakukan jika sudah dipastikan tidak ada
perforasi membran timpani. Penderita berbaring dengan kepala fleksi 30,
sehingga kanalis semisirkularis lateralis dalam posisi vertikal. Kedua
telinga diirigasi bergantian dengan air dingin (30C) dan air hangat (44C)
masing-masing selama 40 detik dan jarak setiap irigasi 5 menit.
Nistagmus yang timbul dihitung lamanya sejak permulaan irigasi sampai
hilangnya nistagmus tersebut (normal 90-150 detik) (Wahyudi, 2012;
Wreksoatmodjo, 2004).
Dengan tes ini dapat ditentukan adanya canal paresis atau
directional preponderance ke kiri atau ke kanan. Canal paresis ialah jika
abnormalitas ditemukan di satu telinga, baik setelah rangsang air hangat
maupun air dingin, sedangkan directional preponderance ialah jika
abnormalitas ditemukan pada arah nistagmus yang sama di masing-masing
telinga. Canal paresis menunjukkan lesi perifer di labirin atau n. VIII,

sedangkan

directional

preponderance

menunjukkan

lesi

sentral

(Wreksoatmodjo, 2004).
c. Elektronistagmogram
Pemeriksaan ini hanya dilakukan di rumah sakit, dengan tujuan
untuk merekam gerakan mata pada nistagmus, dengan demikian nistagmus
tersebut dapat dianalisis secara kuantitatif (Wreksoatmodjo, 2004).
Pemeriksaan fungsi pendengaran juga dapat dilakukan untuk menilai
apakah ada penurunan fungsi. Pemeriksaan ini antara lain dapat menggunakan
uji garpu tala, dan audiometri (Wreksoatmodjo, 2004).
3. Pemeriksaan Penunjang (Wreksoatmodjo, 2004)
a. Pemeriksaan laboratorium rutin atas darah dan urin, dan pemeriksaan lain
sesuai indikasi.
b. Foto Rontgen tengkorak, leher, Stenvers (pada neurinoma akustik).
c. Neurofisiologi Elektroensefalografi (EEG), Elektromiografi (EMG),
Brainstem Auditory Evoked Potential (BAEP).
d. Pencitraan CT-scan, arteriografi, magnetic resonance imaging (MRI).
F. Terapi
Penatalaksanaan vertigo bergantung pada lama keluhan dan
ketidaknyamanan akibat gejala yang timbul serta patologi yang mendasarinya.
Pada vertigo, beberapa tindakan spesifik dapat dianjurkan untuk mengurangi
keluhan vertigo. Pada BPPV modalitas primer untuk mereposisi partikel dapat
dilakukan manuver Epley particle repositioning maneuver (Abes et al., 2014).

Gambar 1.3 Epley particle repositioning maneuver (Wahyudi, 2012)


Manuver Epley menggunakan 4 posisi dalam manuvernya. Pada setiap
posisi, otokonia akan menuju ke bagian terbawah dari kanal, dan pada akhirya
akan berkumpul ke vestibula. Setiap posisi dipertahankan paling tidak selama 30
detik. Pada suatu penelitian mengenai pasien vertigo yang ditangani dengan terapi
manuver Epley, 70% diantaranya mengalami kesembuhan dua hari setelah
manuver pertama kali dilakukan. Tambahan 9% mengalami resolusi setelah 1
minggu setelah manuver (Ruckenstein, 2001).
Manuver lain yang dapat dilakukan adalah metode Brand-Darrof sebagai
upaya desensitisasi reseptor semisirkularis (Wreksoatmodjo, 2004).

Gambar 1.4 Manuver desensitisasi reseptor semisirkularis metode BrandDarrof (Wreksoatmodjo, 2004)
Pasien duduk tegak di tepi tempat tidur dengan tungkai tergantung; lalu
tutup kedua mata dan berbaring dengan cepat ke salah satu sisi tubuh, tahan
selama 30 detik, kemudian duduk tegak kembali. Setelah 30 detik baringkan
tubuh dengan cara yang sama ke sisi lain, tahan selama 30 detik, kemudian duduk
tegak kembali. Latihan ini dilakukan berulang (lima kali berturut-turut) pada pagi
dan petang hari sampai tidak timbul vertigo lagi. Latihan lain yang dapat dicoba
ialah latihan visual-vestibular; berupa gerakan mata melirik ke atas, bawah, kiri
dan kanan mengikuti gerak obyek yang makin lama makin cepat; kemudian
diikuti dengan gerakan fleksiekstensi kepala (Wreksoatmodjo, 2004).
Penatalaksanaan medikamentosa yang digunakan tujuannya adalah untuk
memperbaiki ketidakseimbangan vestibuler melalui modulasi transmisi saraf,
umumnya digunakan obat yang bersifat antikolinergik (Wreksoatmodjo, 2004).
Obat ini bekerja sebagai supresan vestibuler melalui reseptor muskarinik.
Pemberian antikolinergik per oral memberikan efek rata-rata 4 jam, sedangkan
gejala efek samping yang timbul terutama berupa gejala-gejala penghambatan
reseptor muskarinik sentral, seperti gangguan memori dan kebingungan (terutama
pada populasi lanjut usia), ataupun gejala-gejala penghambatan muskarinik
perifer, seperti gangguan visual, mulut kering, konstipasi, dan gangguan berkemih
(Wahyudi, 2012).

Penggunaan obat histaminergik juga sering digunakan. Obat kelas ini


diwakili oleh betahistin yang digunakan sebagai antivertigo di beberapa negara
Eropa, tetapi tidak di Amerika. Betahistin sendiri merupakan prekrusor histamin.
Efek antivertigo betahistin diperkirakan berasal dari efek vasodilatasi, perbaikan
aliran darah pada mikrosirkulasi di daerah telinga tengah dan sistem vestibuler.
Pada pemberian per oral, betahistin diserap dengan baik, dengan kadar puncak
tercapai dalam waktu sekitar 4 jam. efek samping relatif jarang, termasuk di
antaranya keluhan nyeri kepala dan mual (Wahyudi, 2012).
Kombinasi terapi manuver dan obat-obatan dapat dilakukan. Pada suatu
penelitian

kombinasi

Betahistin

dan

latihan

Brand-Daroff

memberikan

kesembuhan yang lebih cepat dibandingkan terapi salah satu dari terapi tersebut
(Cavaliere et al., 2005). Manuver Epley saja ataupun dikombinasikan dengan
betahistin juga memberikan efek yang sama efektifnya (Guneri & Kustutan,
2011).
Penyakit Meniere sebagai salah satu penyakit dengan gejala vertigo
dianggap disebabkan oleh pelebaran dan ruptur periodik kompartemen
endolimfatik di telinga dalam; selain vertigo, biasanya disertai juga dengan tinitus
dan gangguan pendengaran. Belum ada pengobatan yang terbukti efektif; terapi
profilaktik juga belum memuaskan; tetapi 60-80 % akan remisi spontan
(Wreksoatmodjo, 2004). Dapat dicoba penggunaan vasodilator, diuretik ringan
bersama diet rendah garam; kadang-kadang dilakukan tindakan operatif berupa
dekompresi ruangan endolimfatik dan pemotongan n.vestibularis. Pada kasus
berat atau jika sudah tuli berat, dapat dilakukan labirintektomi atau merusak saraf
dengan

instilasi

aminoglikosid

ke

(Wreksoatmodjo, 2004). Pencegahan

telinga
antara

dalam
lain

(ototoksik

dapat

dicoba

lokal)
dengan

menghindari kafein, berhenti merokok, membatasi asupan garam. Obat diuretik


ringan atau antagonis kalsium dapat meringankan gejala. Simtomatik dapat diberi
obat supresan vestibuler (Wreksoatmodjo, 2004).
KESIMPULAN

1. Vertigo merupakan suatu sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh seperti
berputar, tanpa adanya sensasi perputaran yang sebenarnya, dapat berupa
badan penderita yang terasa berputar, maupun benda sekelilingnya yang terasa
berputar.
2. Vertigo disebabkan oleh adanya gangguan pada alat keseimbangan tubuh
seperti organ-organ vestibuler, visual, ataupun sistem propioseptif dapat
menyebabkan gangguan antara posisi tubuh yang sebenarnya dengan apa yang
dipersepsi oleh susunan sistem saraf pusat.
3. Berdasarkan penyebabnya vertigo dibagi menjadi dua jenis, yakni vertigo
perifer dan vertigo sentral
4. Penegakkan diagnosis dapat dilakukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik (umum, khusus, otoneurologi), dan pemeriksaan penunjang
5. Terapi vertigo didasarkan pada kausanya, jika vertigo yang dialami
merupakan BPPV, maka terapi yang menjadi modalitas utama adalah terapi
manuver reposisi kanalit (contoh: Manuver Epley)

DAFTAR PUSTAKA

Abes, G. T., Magiba-Caro, R., & Chiong, C. M. 2014. Clinical Practice Guidelines
Vertigo in Adults - 2 nd Edition. Phillipine Journal of Otolarungology Head
and Neck Surgery, 1-15.
Bhattacharyya, N., Baugh, R. F., & Orvidas, L. 2008. Clinical practice guideline:
Benign paroxysmal positional vertigo. OtolaryngologyHead and Neck
Surgery, S47-S81.
Cavaliere, M., Mottola, G., & Iemma, M. 2005. Benign paroxysmal vertigo: a study
of two maneuvers with and without betahistine. Acta Otorhinolaryngol Ital,
25: 107-112.
Cohen, J., Fadul, C., Jenkyn, L., & Ward, T. 2008. Evaluation of the Dizzy Patient. In
A. Reeves, & R. Swenson, Disorders of The Nervous System. Dartmouth
Medical School.
Cummings, C., Flit, P., Haughey, B., Robbins, K., JR., T., & Harker, L. 2005.
Otolaryngology: Head and Neck Surgery. Mosby, Inc.
Guneri, E., & Kustutan, O. 2011. The Effects of Betahistine in Addition to Epley
maneuver in Posterior Canal Benign Paroxysmal Positional Vertigo.
Otolaryngol Head Neck Surg.
Hamid, A., Jannis, J., Bustami, M., Musridharta, E., & Prasetyo, E. 2012. Advanced
Neurology Life Support. Jakarta: Pokdi Neuro Intensif PERDOSSI.
Kentala, E., & Rauch, S. 2003. A practical assessment algorithm for diagnosis of
dizziness. Otolaryngol Head Neck Surg, 128: 54-59.
Kerber, K. 2009. Vertigo and Dizziness in the Emergency Department. . Emerg Med
Clin North Am. , 27 (1):39-viii.
Ruckenstein, M. 2001. Therapeutic efficacy of the Epley canalith repositioning
maneuver. Laryngoscope , 111:940-945.
Wahyudi, K. T. 2012. Vertigo. CDK-198, 738-741.
Wreksoatmodjo, B. R. 2004. Vertigo: Aspek Neurologi. Cermin Dunia Kedokteran,
41-46.

Anda mungkin juga menyukai