Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN APLIKASI EVIDENCE BASED NURSING PRACTICE

PERKEMBANGAN TERAPI MASSAGE TERHADAP PENYEMBUHAN


PENYAKIT VERTIGO

Disusun Oleh:

Rizky Fauzia Nur Ainia

(G3A020143)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
TAHUN 2020/2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ………..………………………………………………………………………. ii


VERTIGO
A. Definisi ……………………..……………………………………………………………. 1
B. Faktor Risiko …………………………………………………………………………….. 1
C. Etiologi ………………………………………………..…………………………………. 2
D. Patofisiologi ………………………………………………………………………………
3
E. Tanda dan Gejala ………………………………………………………………………… 4
F. Pengkajian ……………………………………………………………………………….. 5
G. Pemeriksaan Fisik …………………………………...…………………………………… 6
H. Pemeriksaan Penunjang ………………………….………………………………………. 7
I. Penatalaksanaan ………………………………………………………………………….. 8
J. Diagnosa Keperawatan …………………………………….………………………..…… 9
K. NOC, NIC, EBN …………………………………………………..……………………. 11
L. Mind Map ………………………...…………………………………………………….. 13
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………...…………………………… 14

ii
iii
VERTIGO

A. Definisi
Vertigo merupakan kumpulan dari gejala pada sistem keseimbangan yang
terganggu. Sistem keseimbangan yang terganggu dapat terjadi pada sistem saraf pusat
ataupun sistem vestibular. Kata vertigo berasal dari bahas Latin, yaitu “vertere” yang
artinya memutar. Sedangkan secara umum, vertigo dapat dibagi menjadi dua, yaitu
vertigo sirkuler (keluhannya seperti merasakan bergerak dari lingkungan sekitar atau
berputar-putar) dan vertikal linier (keluhannya seperti merasa ditarik atau didorong
menjauhi bidang vertikal) (dalam Setiawati dan Susianti, 2016: 91).
Menurut Akbar (2013: 1) menyatakan bahwa vertigo merupakan sensasi gerak
tubuh seperti berputar tanpa sensasi memutar sebenarnya, sekelilingnya merasa berputar
atau tubuhnya yang memutar. Vertigo terjadi akibat adanya gangguan pada sistem
keseimbangan yang ditandai dengan pusing, sempoyongan, pening, dan perasaan seperti
melayang atau dunia terasa berjungkir balik. Benign Paroxysmal Positional Vertigo
(BPPV) merupakan vertigo yang sering ditemukan. BPPV merupakan gangguan
vestibuler yang ditandai dengan gejala pusing berputar disertai keringat dingin, mual, dan
muntah, yang dipicu karena adanya perubahan posisi kepala dengan gaya gravitasi, tidak
ada kaitannya lesi di susunan saraf pusat.

B. Faktor Risiko
1. Usia
Prevalensi kejadian vertigo pada usia >25 tahun berisiko 25% dan pada usia
>40 tahun kejadian mengalami vertigo sebesar 40%. Sedangkan pada usia >60 tahun,
Dizziness melaporkan populasi yang mengalami vertigo sekitar 30%. Disimpulkan
bahwa usia >60 tahun berisiko 7 kali dibandingkan dengan orang yang berusia antara
18-39 tahun, dan rata-rata penderita vertigo terjadi pada usia sekitar 49-80 tahun.
(Kwong et al. dalam Chayati, 2017: 5).
2. Jenis kelamin
Beberapa penelitian menyatakan bahwa sekitar 74% jenis kelamin perempuan
memiliki risiko lebih tinggi mengalami BPPV dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan
pengaruh hormon (Dorigueto et al. dalam Chayati, 2017: 5).
3. Kecelakaan
4. Riwayat keluarga
1
5. Stress berat.
6. Kebiasaan merokok.
7. Mengonsumsi alkohol (Willy, 2018)

C. Etiologi
Menurut Shidqiyyah (2018) menyatakan bahwa vertigo perifer disebabkan karena
adanya gangguan pada telinga dalam, gangguan dalam keseimbangan pengontrolan dari
organ kecil yang berkomunikasi dengan otak, cedera kepala, dan obat-obatan tertentu.
sedangkan pada vertigo sentral, penyebabnya karena gangguan pada otak (serebelum)
untuk mengontrol keseimbangan, batang otak sebagai transmisi pesan antara sumsum
tulang belakang dengan serebelum.
Menurut Sura et al. dalam Chayati (2017: 7) menyatakan bahwa penyebab vertigo
berasal dari sistem saraf perifer atau vestibuler perifer, vestibuler sentral, dan kondisi
yang lain. Menurut Wada et al. dalam Chayati (2017: 8) menyatakan bahwa ada
hubungan antara BPPV dengan penyakit yang berkaitan dengan gaya hidup, misalnya
hyperlipidemia dan hipertensi. Sedangkan menurut Sturzenegger dalam Chayati (2017: 8)
menyatakan bahwa vertigo sebenarnya memiliki cukup banyak penyebab, baik vertigo
tipe sentral maupun vertigo tipe perifer. Hal ini disebabkan karena adanya kelainan
anatomi atau dan fisiologi yang terletak pada alat keseimbangan tubuh yang diakibatkan
oleh degenerasi, tumor, infeksi, vaskuler, inflamasi, trauma, dan kongenital. Alat
keseimbangan tubuh yang mengalami gangguan terdiri atas retina (reseptor pada visual),
kanalis semisirkularis (vestibulum), dan proprioseptif (sendi, tendon , dan sensibilitas
dalam) (dalam Setiawati dan Susianti, 2016:91).
Menurut Willy (2018) menyatakan bahwa vertigo disebabkan karena adanya
gangguan pada otak dan telinga, sehingga beberapa kondisi ini dapat menimbulkan
vertigo, yaitu:
1. Migrain  penderita akan merasakan sakit kepala di salah satu sisi.
2. Diabetes  akan menimbulkan komplikasi dari diabetes berupa penurunan suplai
darah ke otak dan pengerasan arteri sehingga akan mengganggu fungsi otak.
3. Kehamilan  vertigo yang muncul pada ibu hamil diakibatkan karena adanya
perubahan hormon, penyempitan pembuluh darah selama periode kehamilan, dan
menurunnya kadar gula darah.

2
4. Sifilis  merupakan penyakit IMS yang disebabkan oleh bakteri. Infeksi penyakit ini
akan menyebabkan pendengaran terganggu, merasa pusing, dan memicu terjadinya
vertigo.
5. Gangguan kecemasan  perasaan panik dan cemas dapat menimbulkan vertigo dan
akibat vertigo dapat memperburuk potensi stress.
6. Tumor otak  tumor serebelum (otak kecil) dapat memicu vertigo.
7. Perubahan tekanan udara  misalnya pada saat menyelam yang dapat memicu
kerusakan pada telinga. Telinga yang mengalami kerusakan adalah penyebab umum
vertigo.
8. Obat  efek samping dari mengonsumsi obat adalah vertigo, misalnya obat
antidepresan, antikejang, antihipertensi, dan obat penenang.
9. Cedera kepala dan leher  terjadinya benturan dapat megakibatkan kerusakan otak
atau telinga bagian dalam yang akan memicu vertigo.
10. Alergi  alergi juga dapat menimbulkan gejala vertigo.

D. Patofisiologi
Penyebab BPPV adalah kalsium karbonat yang asalnya dari macula di utrikulus
lepas kemudian bergerak ke dalam lumen yang berasal dari salah satu kanal semisirkular.
Kalsium karbonat lebih padat dua kali lipat dari endolimfe, maka akan bergerak sebagai
respon gravitasi dan akseleratif yang lainnya mengalami pergerakan. Saat kalsium
karbonat bergerak dalam kanal semisirkular, maka endolimfe bergerak untuk
menstimulasi ampula pada kanal yang terkena dan menimbulkan vertigo. Vertigo atau
rasa pusing disebabkan terganggunya alat keseimbangan badan yang menyebabkan antara
saraf pusat dengan posisi badan mengalami ketidakcocokkan. Berikut ada beberapa teori
yang menjelaskan kondisi tersebut, yaitu:
1. Teori overstimulation (rangsang berlebihan)
adanya gangguan fungsi akibat rangsang berlebihan sehingga menyebabkan
hiperemi kanalis semisirkularis. Hal ini menimbulkan vertigo, mual, muntah, dan
nistagmus.
2. Teori konflik sensorik
teori ini menjelaskan adanya ketidakcocokkan masukan sensorik dari vestibulum
dan proprioceptive, serta berbagai reseptor sensorik perifer (mata/visus), atau
keasimetrissan masukan sensorik pada sisi kanan dan kiri. Ketidakcocokkan ini
memicu kebingungan sensorik pada sentral kemudian menimbulkan respon berupa

3
sulit berjalan atau ataksia (gangguan serebelum, vestibuler), nistagmus (koreksi bola
mata), merasa berputar, melayang (dari sensasi kortikal). Pada teori ini lebih
menekankan penyebab pada gangguan proses pengolahan sentral .
3. Teori neural mismatch
teori ini adalah perkembangan dari teori konflik sensorik. Pada teori ini
menjelaskan bahwa otak memiliki ingatan tentang gerakan tertentu, maka apabila ada
gerakan yang tidak sesuai dengan pola gerakan yang diingat/disimpan, maka susunan
saraf otonom akan menimbulkan reaksi. Namun, apabila pola gerakan yang baru tadi
dilakukan secara terus-menerus maka akan terjadi adaptasi dan tidak timbul gejala
lagi.
4. Teori otonomik
teori ini menjelaskan adanya reaksi susunan saraf otonom yang mengalami
perubahan sebagai upaya adaptasi perubahan posisi. Apabila sistem simpatis lebih
dominan maka akan menimbulkan gejala klinis, sebaliknya jika sistem
parasimpatisnya lebih dominan maka gejala klinisnya hilang.
5. Teori neurohumoral
munculnya gejala vertigo yang menekan neurotransmitter tertentu dan
mempengaruhi sistem saraf otonom berupa teori dopamine (Kohl), teori histamine
(Takeda), dan teori serotonin (Lucat).
6. Teori sinap
teori sinap adalah teori pengembangan dari teori sebelumnya pada perubahan-
perubahan biomolekuler dan neurotransmisi dari proses adaptasi, daya ingat, dan
belajar. Rangsang gerakan dapat memicu stress dari sekresi CRF. Peningkatan CRF
akan mengaktifkan susunan saraf simpatik kemudian menimbulkan mekanisme
adaptasi dengan peningkatan aktivitas sistem saraf parasimpatik. Gejala yang timbul
pada teori ini, yaitu pucat, aktivitas simpatis mengakibatkan berkeringat pada awal
vertigo, dan dominasi aktivitas susuunan saraf parasimpatis menimbulkan gejala
mual, muntah, dan hipersalivasi (dalam Akbar, 2013: 2-4).

E. Tanda dan Gejala


Menurut Strosser et al. dalam Chayati (2017: 7) menyatakan bahwa gejala vertigo
dapat berupa pandangan kabur, ketidakseimbangan posisi, disorientasi, dan mual. Gejala
ini dapat mengakibatkan beberapa masalah fisik dan psikis seperti cemas, emosional,
intoleran aktivitas, sehingga kualitas hidup si penderita mengalami penurunan. Pada
4
pasien vertigo dapat melakukan penghindaran dari stress psikologi, menarik diri dari
akvitias sosial, dan kegiatan fisik.
Menurut Shidqiyyah (2018) gejala utama vertigo, yaitu pusing berputar tujuh
keliling, seperti dirinya atau sekelilingnya bergerak padahal sebenarnya dirinya sedang
diam berdiri. Gejala umumnya akan merasakan pusing, kepala kliyengan atau berputar,
dan keseimbangannya menghilang. Selain pusing, gejala yang lain dapat berupa:
1. Mual, muntah, demam
2. Nistagmus (pergerakan bola mata abnormal) mata gelap.
3. Hilangnya pendengaran apabila semakin parah dapat menimbulkan miniere
(tekanan dalam telinga mengalami perbedaan), labirintis (infeksi dari keseimbangan),
atau tinnitus (telinga berdenging).
4. Berkeringat sampai pingsan akibat suplai oksigen dan zat makan lainnya yang
menuju otak tidak memadai karena aliran darah berkurang sementara.
5. Penurunan kesadaran kondisi pusing kemudian merasa akan jatuh dapat
menimbulkan kesadaran yang berkurang ditandai dengan kesulitan berbicara,
penglihatan kabur, respon lambat, sulit berjalan, hal ini kemudian dapat
mengakibatkan pingsan.

F. Pengkajian
1) Identitas klien.
2) Keluhan utama ex: pasien datang ke RS dengan keluhan pusing berputar.
3) Riwayat kesehatan masa lalu pernah mengalami gejala vertigo atau penyakit yang
memicu vertigo sebelumnya atau belum, ex: penyakit anemia, hipertensi, hipotensi,
jantung, penyakit paru, dan trauma akustik.
4) Riwayat kesehatan sekarang gambaran awal munculnya gejala vertigo.
5) Riwayat kesehatan keluarga apakah di dalam keluarga ada yang memiliki riwayat
vertigo atau tidak.
6) Bentuk vertigo apakah merasa berputar tujuh keliling, goyang, melayang, merasa
seperti menaiki perahu, dan lain-lain.
7) Keadaan yang memprovokasi munculnya vertigo ketegangan, keletihan, perubahan
posisi kepala dan badan.
8) Profil waktu vertigo yang muncul hilang timbul, akut atau perlahan-lahan, kronik,
progresif, paroksismal, atau membaik.
9) Gangguan pendengaran ada atau tidaknya lesi vestibular.
5
10) Penggunaan obat-obatan misalnya obat salisilat, antimalaria, streptomisin,
kanamisin (dalam Setiawati dan Susianti, 2016: 92).

G. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum : ex: tampah lelah.
2) Kesadaran : ex: mengalami penurunan kesadaran.
3) TTV
a) TD yang diukur dalam posisi duduk, berdiri, berbaring.
b) Suhu.
c) Nadi.
d) RR
4) Periksa bising karotis.
5) Irama denyut jantung.
6) Pulsasi nadi perifer.
7) Pemeriksaan neurologis
a) Fungsi serebeler/vestibuler
 Uji romberg  posisi berdiri, kaki dirapatkan, kedua mata terbuka lalu
tertutup, lakukan selama 20-30 detik. Pada kelainan vestibuler saat mata
tertutup penderita akan merasa bergoyang menjauhi garis tengah lalu kembali,
dan pada saat mata terbuka penderita merasa tetap berdiri tegak. Pada kelainan
serebeler penderita akan merasa bergoyang, baik pada saat mata terbuka
maupun tertutup.
 Tandem gait  berjalan menggunakan tumit kaki kanan atau kiri pada ujung
kaki kiri atau kanan dengan bergantian. Perjalanan terasa menyimpang pada
kelainan vestibuler dan akan terasa jatuh pada kelainan serebeler.
 Uji unterberger  posisi berdiri, kedua lengan lurus ke depan secara
horizontal, jalan di tempat dengan lutut diangkat setinggi-tingginya selama 1
menit. Penderita akan merasa berputar ke lesi pada gerakan seperti melempar
cakram disertai nistagmus, saat ke arah lesi fase lambat, apabila mengalami
kelainan vestibuler,
 Uji tunjuk barany (Past-ponting test)  jari telunjuk ekstensi, posisi lengan
lurus ke depan dan diangkat ke atas lalu diturunkan hingga menyentuh
telunjuk si pemeriksa, lakukan ini terus-menerus dengan mata membuka dan

6
menutup. Akan tampak menyimpang ke arah lesi pada lengan penderita pada
kelainan vestibuler.
 Uji babinsky-weil  mata tertutup dengan berjalan 5 langkah ke depan dan 5
langkah ke belakang, dilakukan terus-menerus selama 30 detik. Pada kelainan
vestibuler unilateral, penderita berjalan seperti bentuk bintang.
8) Pemeriksaan khusus oto-neurologi
 untuk menentukan letak lesi ada di perifer atau sentral.
a) Uji Dix Hallpike.
b) Tes kalori.
c) Elektronistagmogram.
9) Pemeriksaan fungsi pendengaran
a) Tes garpu tala membedakan tuli perseptif dan konduktif.
 Tes rinne.
 Weber.
 Schwabach.
b) Audiometri
 SISI.
 Bekesy audiometry.
 Ludness balance test.
 Tone decay.
 Pemeriksaan saraf-saraf otak yang lain (kampus visus, okulomotor, acies
visus, otot wajah, sensorik wajah, fungsi menelan).
 Fungsi motorik (ekstremitas lumpuh).
 Fungsi sensorik (parestesi, hipestesi).
 Fungsi serebelar (gangguan cara berjalan, tremor) (dalam Akbar, 2013: 6-11).

H. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium cek darah dan urin.
2) Rontgen dilakukan foto rontgen pada bagian leher, tengkorak, dan neurinoma
akustik (stenvers).
3) Neurofisiologi EEG, EMG, BAEP.
4) CT-scan, MRI, arteriografi (dalam Akbar, 2013: 11).

7
I. Penatalaksanaan
Menurut Setiawati dan Susianti (2016: 93-94) tatalaksana vertigo dibagi menjadi tiga,
yaitu non farmakologi, farmakologi, dan operasi.
1. Non farmakologi
a) Terapi maneuver reposisi partikel atau PRM (Particle Repositioning Maneuver)
menghilangkan vertigo secara efektif pada BPPV, mengurangi risiko jatuh, dan
kualitas hidup meningkat. Namun, dengan dilakukannya maneuver dapat
memberikan efek samping berupa vertigo, nistagmus, mual, dan muntah karena
tersumbatnya debris otolitith ketika adanya perpindahan segmen yang lebih
sempit. Setelah dilakukan maneuver, pasien dianjurkan tetap duduk minimal 10
menit agar mengurangi kerentanan risiko jatuh. Maneuver bertujuan untuk
mengembalikan partikel pada posisi awal (macula utrikulus).
1) Maneuver epley maneuver yang paling sering dilakukan pada kanal vertikal.
Pada manuver ini, pasien menolehkan kepala yang sakit 45o kemudian
berbaring dengan kepala tergantung, dilakukan selama 1-2 menit. Setelah itu,
menoleh kearah sebaliknya 90o dari posisi supinasi ke lateral decubitus,
dilakukan selama setengah menit sampai satu menit. Lalu, dagu diistirahatkan
ke pundak dan secara perlahan kembali duduk.
2) Maneuver semont indikasi pengobatan cupulolithiasis posterior dextra. Pada
maneuver ini, pasien dalam posisi duduk tegak dan kepala dimiringkan 45 o ke
bagian yang sehat, kemudian berbaring dengan pergerakan yang cepat,
dilakukan 1-3 menit. Observasi nistagmus dan vertigo. Kemudian pasien
diminta berbaring di sisi berlawanan dan tidak kembali ke posisi duduk.
3) Maneuver lempert indikasi pengobatan BPPV tipe kanal lateral. Pada
maneuver ini, pasien diminta berguling 360o dari supinasi kemudian kepala
menoleh 90o ke sisi sehat, lalu diikuti membalikkan badan ke posisi lateral
decubitus. Setelah itu, pasien diminta menolehkan kepala ke bawah, diikuti
tubuh ke posisi ventral decubitus. Lalu menoleh lagi 90o dan badan kembali
pada posisi lateral decubitus lalu ke supinasi, setiap gerakan dipertahankan
selama 15 detik.

8
4) FPP (Forced Prolonged Position) indikasi BPPV tike kanal lateral. FPP
bertujuan untuk mempertahankan kekuatan posisi lateral decubitus di teliga
yang sakit, dilakukan selama 12 jam.
5) BDE (Brandt-Daroff Exercise) sebagai upaya latihan di rumah dengan
pasien sendiri untuk terapi tambahan kepada pasien yang masih simptomatik
sesudah maneuver epley atau semont. BDE ini juga dapat membantu pasien
dalam penerapan berbagai macam posisi yang menjadi kebiasaan.
2. Farmakologi
Penggunaan farmakologi tidak dianjurkan secara rutin, pada beberapa
pengobatan diberikan hanya untuk jangka pendek dengan gejala vertigo, mual, dan
muntah yang kronis pada pasien BPPV, misalnya pada saat setelah dilakukan terapi
PRM. Pengobatan suppressant vestibular (untuk vertigo) yang diberikan adalah
gorongan:
1) Benzodiazepines (diazepam, clonazepam) mengurangi sensasi berputar, efek
sampingnya berupa kompensasi sentral pada keadaan vestibular perifer terganggu.
2) Antihistamine (dipenhidramin, meclizine) memiliki efek supresif, sehingga
pemberian obat ini akan mengurangi rasa mual muntah akibat motion sickness.
3. Operasi
Prosedur invasi dilakukan pada pasien BPPV kronik dan yang mendapat
serangan BPPV hebat meskipun sudah dilakukan maneuver-manuver. Indikasi operasi
pada intractable BPPV dengan penyakit neurologi vestibular.
1) Singular neurectomy (transeksi saraf ampula posterior) risiko pendengaran
hilang tinggi.
2) Oklusi kanal posterior semisirkular lebih dianjurkan karena risiko kehilangan
pendengaran lebih rendah daripada singular neurectomy.

J. Diagnosa Keperawatan
No
Data Fokus Problem Etiologi
.
1. DO: Risiko jatuh Fisiologis (pusing
− Pasien perempuan berusia 42 tahun. saat menolehkan
− Pasien tampak lemah dan lemas. leher)
− Pasien didiagnosa BPPV sudah 2 minggu.
− Terkadang pendengaran pasien

9
terganggu.
− TTV :
TD = 150/70 mmHg.
Suhu = 37,8o C
Nadi = 98 x/menit.
RR = 24 x/menit.
DS:
− Pasien mengatakan pusing berputar-putar
seolah-olah bergerak dan merasa mual
ingin muntah ketika berdiri.
− Pasien mengatakan pusing ketika
menolehkan kepala dan leher.
− Pasien mengatakan ketika akan berdiri
tiba-tiba penglihatannya kabur, gelap
dalam beberapa saat.
− Pasien mengatakan memiliki riyawat
penyakit labirinitis sejak 2 tahun yang
lalu.
2. DO: Mual Stimulasi
− Pasien tampak lemah dan lemas. penglihatan yang
− Makanan pasien tidak pernah habis. tidak
DS: menyenangkan,
− Pasien mengatakan pusing berputar-putar Labirinitis
seolah-olah bergerak dan merasa mual
ingin muntah ketika berdiri.
− Pasien mengatakan ketika akan berdiri
tiba-tiba penglihatannya kabur, gelap
dalam beberapa saat.
− Pasien mengatakan malas makan karena
mualnya dan ketika makan terasa pahit.
− Pasien mengatakan memiliki riwayat
penyakit labirinitis sejak 2 tahun yang
lalu.

10
Prioritas Masalah Keperawatan
1) Risiko jatuh b.d Fisiologis (pusing saat menolehkan leher).
2) Mual b.d Stimulasi penglihatan yang tidak menyenangkan, Labirinitis.

K. NOC, NIC, EBN


Diagnosa
No. NOC NIC SESUAI EBN EBN
Keperawatan
1. Risiko jatuh b.d Pengetahuan: Terapi latihan: Perkembangan
Fisiologis (pusing pencegahan jatuh keseimbangan terapi massage
saat menolehkan Setelah dilakukan 1. Evaluasi fungsi terhadap
leher) tindakan keperawatan sensorik (misalnya penyembuhan
selama 3x24 jam, penglihatan, penyakit vertigo
diharapkan pasien dapat pendengaranm dan (Yulianto,
mengetahui penjegahan propriopsi). Furqon, dan
jatuh, fungsi sensori 2. Instruksikan pasien Doewes, 2016).
penglihatan dan untuk melakukan Kesimpulan:
pendengaran membaik, latihan Perkembangan
dengan kriteria hasil: keseimbangan, terapi massage
1. Tekanan darah normal seperti berdiri dikategorikan
yaitu 120/80 mmHg. dengan satu kaki, baik dalam
2. Pasien dapat melakukan membungkuk ke penyembuhan
latihan untuk depan, peregangan vertigo dengan
mengurangi risiko jatuh. dan resistensi yang persentase 92%.
3. Pasien dapat melakukan sesuai.
prosedur perpindahan 3. Berikan informasi
yang aman. mengenai
Fungsi Sensori: alternative terapi.
pendengaran 4. Bantu pasien
1. Pasien mampu berlatih berdiri
mendengar dengan dengan mata
jelas/tajam pada telinga tertutup untuk
kanan maupun kiri. jangka pendek
Fungsi sensori: secara berkala

11
penglihatan untuk
1. Pandangan pasien sudah menstimulasi
tidak kabur, tidak propriosepi.
terganggu, dan tidak 5. Sediakan sumber
gelap. daya untuk
2. Pasien tidak merasakan program
pusing. keseimbangan,
latihan, atau
program edukasi
(pencegahan)
jatuh.
6. Rujuk pada terapi
fisik dan/atau
okupasional untuk
latihan habituasi
vestibular.
Pencegahan jatuh
1. Sediakan alat bantu
(misalnya tongkat
dan walker) untuk
menyeimbangkan
gaya berjalan.
2. Monitor
kemampuan untuk
berpindah dari
tempat tidur ke
kursi dan
sebaliknya.
3. Letakkan tempat
tidur mekanik pada
posisi yang paling
rendah.
4. Sediakan
pencahayaan yang
12
cukup dalam rangka
meningkatkan
pandangan.
5. Sediakan lantai
yang tidak licin.
6. Lakukan program
latihan fisik rutin
yang meliputi
berjalan.
7. Berkolaborasi
dengan anggota tim
kesehatan lain
untuk
meminimalkan efek
samping dari
pengobatan yang
berkontribusi pada
kejadian jatuh.

13
Vestibuler
VERTIGO Non-vestibuler

– Fisiologis: motion – Cerebeller


sickness hemorrhage
– Vestibular Sistem keseimbangan tubuh – Brainstem ischemic
neuronitis (vestibuler) terganggu attacks
– Meniere's disease – Basilar artery migrane
Sensasi seperti brgerak, – Posterior fossa
tumors
berputar
Neuroma akustik
Motion sickness
Mengenai N. VIII
Pusing, sakit kepala Gg. di SSP atau SST keterbatasan kognitif, tidak Ketidakcocokan
mengenal informasi informasi yg di Gerakan berulang dirasakan
Peningkatan tekanan sampaikan ke otak oleh oleh otak melaui N. Optikus, N.
Peristaltik meningkat Spasme saraf /
intra kranial saraf aferen Vestibularis, N.
peningkatan Gelisah, ansietas spinovestibuloserebralis
intrakranial
Mual, muntah
Proses pengolahan
Penurunan pendengar informasi terganggu Otak tidak bisa
Nyeri, sakit kepala MK : Kurang pengetahuan mengkoordinasikan ke-3
an sekunder adanya Anoreksia (kebutuhan belajar) input dengan baik
sumbatan cerumen Transmisi persepsi ke
mengenai kondisi dan
pada liang telinga resept. proprioception
kebutuhan pengobatan
MK: Perubahan terganggu Konflik dalam koordinasi
MK : Gangguan.
NOC : MK : Gangguan nutrisi kurang dari Rasa nyaman nyeri ke-3 input
Disorientasi
Nutritional status: komunkasi verbal kebutuhan tubuh akut / kronis
food and fluid Kegagalan koordinasi otot
intake , nutrient Kesadaran menurun
intake MK : Harga Diri Rendah kelebihan beban kerja
kriteria hasil : Ketidak teraturan kerja otot
 Asupan gizi
terpenuhi NIC : NOC : MK : resiko jatuh
 Asupan makan MK : Koping individual tak efektif
yang cukup MK : Intoleransi aktifitas
- Kaji kebiasaan diet, masukan makanan - Pain level, Pain control,
 Energi yang saat ini Comfort level NIC :
adekuat - Berikan makanan yang terpilih (sudah Kriteria Hasil : NIC : NOC :
dikonsultasikan dengan ahli gizi)
- Gambarkan tanda gejala yang biasa
- Berikan informasi tentang kebutuhan - Kaji tanda-tanda vital pasien - Knowledge: disease
- Mampu mengontrol nyeri, muncul pada penyakit, dengan
nutrisi process, health behavior
mampu menggunakan - Kaji secara komprehensip terhadap nyeri cara yang tepat
- Kolaborasi dengan ahli gizi untuk kriteria hasil :
teknik non farmakologi termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, - Gambarkan proses penyakit
menentukan jumlah kalori dan nutrisi
yang dibutuhkan pasien untuk mengurangi nyeri 1 pencetus.
kualitas, intensitas nyeri dan faktor dengan cara yang tepat
- Ajarkan cara penggunaan terapi non farmakologi - Menyatakan - Identifikasi kemungkinan
- Melaporkan nyeri berkurang
pemahaman tentang penyebab, dengan cara yang tepat
(distraksi, guide imagery, relaksasi)
- Menyatakan rasa nyaman penyakit, kondisi, - Berikan pasien kesempatan
setelah nyeri berkurang - Kolaborasikan dengan tim medis dalam prognosis, dan program bertanya
pemberian analgetik
DAFTAR PUSTAKA

Setiawati, Melly dan Susianti. 2016. “Diagnosis dan Tatalaksana Vertigo”. MAJORITY. Vol.
5, No. 4, Hal. 91-94.

Yuliyanto, Rustam, M. Furqon H, dan Muchsin Doewes. 2016. “Perkembangan Terapi


Massage Terhadap Penyembuhan Penyakit Vertigo”. Journal of Physical Education, Health
and Sport. Vol. 3, No. 2, Hal. 127-133.

Akbar, Muhammad. 2013. Diagnosis Vertigo. Skripsi, tidak diterbitkan, Universitas


Hasanuddin, Makassar.

Chayati, Nur. 2017. Vertigo: Pencegahan dan Simulasi Deteksi Dini di Pedukuhan Ngrame.
Skripsi, tidak diterbitkan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta.

Willy, Tjin. 2018. Vertigo. Oleh www.alodokter.com/vertigo/penyebab diakses pada 24


Maret 2021.

Shidqiyyah, Septika. 2018. Ciri-Ciri Penyakit Vertigo, Penyebab, Bahaya dan Cara
Mengobatinya. Oleh www.liputan6.com/health/read/3801329/ciri-ciri-penyakit-vertigo-
penyebab-bahaya-dan-cara-mengobatinya diakses pada 24 Maret 2021.

Anda mungkin juga menyukai