Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN APLIKASI EVIDENCE BASED NURSING PRACTICE

PENGARUH LATIHAN PERGERAKAN SENDI EKSTREMITAS BAWAH


TERHADAP NILAI ANKLE BRACHIAL INDEX (ABI) PADA PASIEN DM TIPE 2

Disusun Oleh:

Zuchruf Penta Hendrawan

(G3A019210)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

TAHUN 2019/2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Diabetes mellitus (DM) merupakan kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik
hiperglikemia atau tingginya kadar glukosa di dalam darah yang diakibatkan gangguan
sekresi insulin, penurunan kerja insulin atau akibat dari keduanya. Risiko berkembangnya
DM tipe 2 akan terus meningkat dengan bertambahnya usia, obesitas, dan kurangnya
aktivitas fisik (American Diabetes Association, 2015).

DM menyebabkan berbagai komplikasi sebagai akibat dari tingginya kadar gula dalam
darah. Komplikasi DM dibagi menjadi dua, yaitu komplikasi akut dan komplikasi kronik.
Komplikasi akut berupa hipoglikemia dan ketoasidosis. Sedangkan komplikasi kronik
berupa mikroangiopati dan makroangiopati yang akan menyebabkan hambatan aliran
darah ke seluruh organ sehingga mengakibatkan nefropati, retinopati, neuropati, dan
penyakit vascular perifer (Smeltzer & Bare, 2010). Menurut Black & Hawks (2008) lebih
dari setengah amputasi ekstremitas bawah non-traumatik berhubungan dengan DM
seperti neuropati sensori dan otonom, penyakit vascular perifer, peningkatan risiko dan
laju infeksi dan penyembuhan yang tidak baik.

Pencegahan dapat dilakukan dengan cara kontrol metabolic yang menekan pada status
nutrisi dan kadar glukosa darah, kontrol vascular dengan cara melakukan latihan kaki dan
pemeriksaan vascular non-invasif salah satunya pemeriksaan ankle brachial index (ABI)
(Ganong, 2008). ABI merupakan salah satu tindakan non-invasif pembuluh darah yang
berfungsi untuk mendeteksi tanda dan gejala klinis dari iskemia, penurunan perfusi
perifer yang dapat mengakibatkan angiopati dan neuropati diabetic (Mulyati, 2009).
Pemeriksaan ABI merupakan pemeriksaan yang sederhana dan non-invasif sehingga
mudah diterima oleh pasien.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu melakukan pengaplikasian evidence based nursing practice:
Pengaruh Latihan Pergerakan Sendi Ekstremitas Bawah terhadap Nilai Ankle
Brachial Index (ABI) pada Pasien DM Tipe 2 di Ruang ICU RS Roemani Semarang
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada pasien diabetes mellitus
b. Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien diabetes
mellitus
c. Mahasiswa mampu menyusun rencana keperawatan pada pasien diabetes mellitus
d. Mahasiswa mampu melakukan implementasi pada pasien diabetes mellitus
e. Mahasiswa mampu melakukan evaluasi pada pasien diabetes mellitus

C. Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan berisi latar belakang, tujuan penulisan, dan sistematika penulisan
BAB II Konsep dasar berisi konsep penyakit, ROM, dan ABI
BAB III Laporan kasus berisi pengkajian, analisa data, diagnosa keperawatan, pathways
keperawatan, dan intervensi pasien diabetes mellitus
BAB IV aplikasi evidence based nursing riset
BAB V Pembahasan terkait aplikasi evidence based nursing riset yang diterapkan
BAB V Penutup berisi kesimpulan dan saran
BAB II
KONSEP DASAR

A. Diabetes Melitus
1. Definisi
DM adalah kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia atau
tingginya kadar glukosa di dalam darah yang diakibatkan gangguan sekresi insulin,
penurunan kerja insulin atau akibat dari keduanya. Risiko berkembangnya DM tipe 2
akan terus meningkat dengan bertambahnya usia, obesitas, dan kurangnya aktivitas
fisik (American Diabetes Association, 2015).

DM tipe 2 merupakan penyakit hiperglikemi akibat insensitivitas sel terhadap insulin.


Kadar insulin mungkin sedikit menurun atau berada dalam rentang normal. Karena
insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta pancreas maka DM tipe 2 dianggap sebagai
non-insulin dependent diabetes mellitus (Slamet (2008) dan Wild (2004) dalam
Fatimah, 2015).

Seseorang dinyatakan menderita DM apabila pada pemeriksaan laboratorium kimia


darah, konsentrasi glukosa darah dalam keadaan puasa pagi hari lebih dari 126 mg/dL
atau 2 jam sesudah makan lebih dari 200 mg/dL atau bila sewaktu/sesaat diperiksa >
200 mg/dL (Misnadiarly, 2009).

2. Etiologi
Berikut faktor risiko penyebab DM tipe 2 (Fatimah, 2015):
a. Faktor risiko yang tidak dapat diubah: riwayat keluarga dengan DM, umur lebih
dari 45 tahun, etnik, riwayat melahirkan bayi dengan berat badan bayi > 4000
gram, atau riwayat pernah menderita DM gestasional dan riwayat berat badan
rendah < 2,5 kg
b. Faktor risiko yang dapat diubah meliputi IMT ≥ 25 kg/m2 atau lingkar perut ≥ 80
cm pada perempuan dan ≥ 90 cm pada laki-laki, kurang aktivitas fisik, hipertensi,
dislipidemi, dan diet tidak sehat
3. Patofisiologi
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu:
a. Resistensi insulin
b. Disfungsi sel B pancreas
DM tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, namun karena sel-sel
sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini
lazim disebut sebagai “resistensi insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi akibat dari
obesitas dan kurangnya aktivitas fisik serta penuaan. Pada penderita DM tipe 2 dapat
juga terjadi produksi glukosa hepatic yang berlebihan namun tidak terjadi
pengerusakan sel-sel B Langerhans secara autoimun seperti DM tipe 1. Defisiensi
fungsi insulin pada penderita DM tipe 2 hanya bersifat relative dan tidak absolut
(Fatimah, 2015).

Pada awal perkembangan DM tipe 2, sel B menunjukkan gangguan pada sekresi


insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin.
Apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan selanjutnya akan terjadi
kerusakan sel-sel B pancreas akan terjadi secara progresif seringkali akan
menyebabkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin
eksogen. Pada penderita DM tipe 2 memang umumnya ditemukan kedua faktor
tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin (Fatimah, 2015).

4. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang sering dijumpai pada pasien DM adalah (Bararah & Jauhar,
2013):

a. Poliuria (peningkatan volume urine)


b. Polidipsia (peningkatan rasa haus) akibat volume urine yang sangat besar dan
keluarnya air yang menyebabkan dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi intrasel mengikuti
dehidrasi ekstrasel karena air intrasel akan berdifusi keluar sel mengikuti
penurunan gradien konsentrasi ke plasma yang hipertonik (sangat pekat).
Dehidrasi intrasel merangsang pengeluaran ADH (antidiuretic hormone) dan
menimbulkan rasa haus.
c. Rasa lelah dan kelemahan otot akibat gangguan aliran darah pada pasien diabetes
lama, katabolisme protein diotot dan ketidakmampuan sebagian besar sel untuk
menggunakan glukosa sebagai energi.
d. Polifagia (peningkatan rasa lapar).
e. Peningkatan angka infeksi akibat penurunan protein sebagai bahan pembentukan
antibody, peningkatan konsentrasi glukosa disekresi mukus, gangguan fungsi
imun dan penurunan aliran darah pada penderita diabetes kronik.
f. Kelainan kulit gatal-gatal, bisul. Gatal biasanya terjadi di daerah ginjal, lipatan
kulit seperti di ketiak dan dibawah payudara, biasanya akibat tumbuhnya jamur.
g. Kelainan ginekologis, keputihan dengan penyebab tersering yaitu jamur terutama
candida.
h. Kesemutan rasa baal akibat neuropati. Regenerasi sel mengalami gangguan akibat
kekurangan bahan dasar utama yang berasal dari unsur protein. Akibatnya banyak
sel saraf rusak terutama bagian perifer.
i. Kelemahan tubuh, penurunan energi metabolik yang dilakukan oleh sel melalui
proses glikolisis tidak dapat berlangsung secara optimal.

5. Penatalaksanaan
a. Tes Diagnostik
a) Adanya glukosa dalam urine. Dapat diperiksa dengan cara benedict (reduksi)
yang tidak khasuntuk glukosa, karena dapat positif pada diabetes.
b) Diagnostik lebih pasti adalah dengan memeriksa kadar glukosa dalam darah
dengan cara Hegedroton Jensen (reduksi).
1) Gula darah puasa tinggi < 140 mg/dl.
2) Test toleransi glukosa (TTG) 2 jam pertama < 200 mg/dl.
3) Osmolitas serum 300 m osm/kg.
4) Urine = glukosa positif, keton positif, aseton positif atau negative
(Bare & Suzanne, 2002)
b. Penatalaksanaan Medis

DM jika tidak dikelola dengan baik akamn menimbulkan berbagai penyakit dan
diperlukan kerjasama semua pihak ditingkat pelayanan kesehatan. Untuk
mencapai tujuan tersebut dilakukan berbagai usaha dan akan diuraikan sebagai
berikut (Bare & Suzanne, 2002):

a) Perencanaan Makanan
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang
dalam hal karbohidrat, protein dan lemak yang sesuai dengan kecukupan gizi
baik yaitu :

1) Karbohidrat sebanyak 60 – 70 %

2) Protein sebanyak 10 – 15 %

3) Lemak sebanyak 20 – 25 %

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut
dan kegiatan jasmani. Untuk kepentingan klinik praktis, penentuan jumlah
kalori dipakai rumus Broca yaitu Barat Badan Ideal = (TB-100)-10%,
sehingga didapatkan =

1) Berat badan kurang = < 90% dari BB Ideal


2) Berat badan normal = 90-110% dari BB Ideal
3) Berat badan lebih = 110-120% dari BB Ideal
4) Gemuk = > 120% dari BB Ideal.
Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari BB Ideal dikali kelebihan kalori
basal yaitu untuk laki-laki 30 kkal/kg BB, dan wanita 25 kkal/kg BB,
kemudian ditambah untuk kebutuhan kalori aktivitas (10-30% untuk pekerja
berat). Koreksi status gizi (gemuk dikurangi, kurus ditambah) dan kalori
untuk menghadapi stress akut sesuai dengan kebutuhan.

Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut diatas dibagi


dalam beberapa porsi yaitu :

1) Makanan pagi sebanyak 20%

2) Makanan siang sebanyak 30%

3) Makanan sore sebanyak 25%

4) 2-3 porsi makanan ringan sebanyak 10-15 % diantaranya.

b) Latihan Jasmani

Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang
lebih 30 menit yang disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penyakit
penyerta.
Sebagai contoh olah raga ringan adalah berjalan kaki biasa selama 30 menit,
olehraga sedang berjalan cepat selama 20 menit dan olah raga berat jogging.

c) Obat Hipoglikemik
1) Sulfonilurea
Obat golongan sulfonylurea bekerja dengan cara :

a) Menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan.


b) Menurunkan ambang sekresi insulin.
c) Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa.
Obat golongan ini biasanya diberikan pada pasien dengan BB normal dan
masih bisa dipakai pada pasien yang beratnya sedikit lebih. Klorpropamid
kurang dianjurkan pada keadaan insufisiensi renal dan orangtua karena
resiko hipoglikema yang berkepanjangan, demikian juga gibenklamid.
Glukuidon juga dipakai untuk pasien dengan gangguan fungsi hati atau
ginjal.

2) Biguanid
Preparat yang ada dan aman dipakai yaitu metformin.Sebagai obat tunggal
dianjurkan pada pasien gemuk (imt 30) untuk pasien yang berat lebih
(imt 27-30) dapat juga dikombinasikan dengan golongan sulfonylurea
3) Insulin
Indikasi pengobatan dengan insulin adalah :
- Semua penderita DM dari setiap umur (baik IDDM maupun NIDDM)
dalam keadaan ketoasidosis atau pernah masuk kedalam ketoasidosis.
- DM dengan kehamilan/ DM gestasional yang tidak terkendali dengan
diet (perencanaan makanan).
- DM yang tidak berhasil dikelola dengan obat hipoglikemik oral dosif
maksimal. Dosis insulin oral atau suntikan dimulai dengan dosis rendah
dan dinaikkan perlahan – lahan sesuai dengan hasil glukosa darah
pasien. Bila sulfonylurea atau metformin telah diterima sampai dosis
maksimal tetapi tidak tercapai sasaran glukosa darah maka dianjurkan
penggunaan kombinasi sulfonylurea dan insulin.
d) Penyuluhan untuk merancanakan pengelolaan sangat penting untuk
mendapatkan hasil yang maksimal. Edukator bagi pasien diabetes yaitu
pendidikan dan pelatihan mengenai pengetahuan dan keterampilan yang
bertujuan menunjang perubahan perilaku untuk meningkatkan pemahaman
pasien akan penyakitnya, yang diperlukan untuk mencapai keadaan sehat yang
optimal. Penyesuaian keadaan psikologik kualifas hidup yang lebih baik.
Edukasi merupakan bagian integral dari asuhan keperawatan diabetes

6. Pengkajian Fokus (Doenges, 2011)

a. Aktivitas / istrahat.
Tanda :

1) Lemah, letih, susah, bergerak / susah berjalan, kram otot, tonus otot
menurun.
2) Tachicardi, tachipnea pada keadaan istrahat/daya aktivitas.
3) Letargi / disorientasi, koma.
b. Sirkulasi
Tanda :

1) Adanya riwayat hipertensi : infark miokard akut, kesemutan pada ekstremitas


dan tachicardia.
2) Perubahan tekanan darah postural : hipertensi, nadi yang menurun / tidak ada.
3) Disritmia, krekel : DVJ
c. Neurosensori
Gejala :

Pusing / pening, gangguan penglihatan, disorientasi : mengantuk, lifargi, stuport /


koma (tahap lanjut). Sakit kepala, kesemutan, kelemahan pada otot, parestesia,
gangguan penglihatan, gangguan memori (baru, masa lalu) : kacau mental, refleks
fendo dalam (RTD) menurun (koma), aktifitas kejang.

d. Nyeri / Kenyamanan
Gejala : Abdomen yang tegang / nyeri (sedang berat), wajah meringis dengan
palpitasi : tampak sangat berhati – hati.

e. Keamanan
Gejala :

1) Kulit kering, gatal : ulkus kulit, demam diaporesis.


2) Menurunnya kekuatan immune / rentang gerak, parastesia / paralysis otot
termasuk otot – otot pernapasan (jika kadar kalium menurun dengan cukup
tajam).
3) Urine encer, pucat, kuning, poliuria (dapat berkembang menjadi oliguria /
anuria jika terjadi hipololemia barat).
4) Abdomen keras, bising usus lemah dan menurun : hiperaktif (diare).
f. Pemeriksaan Diagnostik
Gejala :

1) Glukosa darah : meningkat 100 – 200 mg/dl atau lebih.


2) Aseton plasma : positif secara menyolok.
3) Asam lemak bebas : kadar lipid dan kolesterol meningkat.
4) Osmolaritas serum : meningkat tetapi biasanya kurang dari 330 m osm/l.
7. Pathways Keperawatan

8. Diagnosa Keperawatan

a. Defisit volume cairan berhubungan dengan hiperglikemia, diare, muntah,


poliuria, evaporasi.
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
defisiensi insulin/penurunan intake oral : anoreksia, abnominal pain, gangguan
kesadaran/hipermetabolik akibat pelepasan hormone stress, epinefrin, cortisol,
GH atau karena proses luka.
c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya luka.
d. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan fungsi leucosit/ gangguan
sirkulasi.
e. Resiko gangguan persepsi sensoris : penglihatan berhubungan dengan perubahan
fungsi fisiologis akibat ketidakseimbangan glukosa/insulin atau karena
ketidakseimbangan elektrolit.
f. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan energi, perubahan
kimia darah, insufisiensi insulin, peningkatan kebutuhan energi, infeksi,
hipermetabolik.
g. Nyeri berhubungan dengan adanya ulcus (luka diabetes mellitus).
h. Penurunan rawat diri berhubungan dengan kelemahan.
i. Kurang pengetahuan mengenai penyakitnya, prognosis penyakit dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kesalahan interprestasi (Doengoes, 2001)

9. Intervensi

a. Defisit volume cairan berhubungan dengan hiperglikemia, diare, muntah, poliuria,


evaporasi

Tujuan :

Klien akan mendemonstrasikan hidrasi adekuat, dengan kriteria :

1) Nadi perifer dapat teraba, turgor kulit baik.


2) Vital sign dalam batas normal, haluaran urine lancer.
3) Kadar elektrolit dalam batas normal
Intervensi :

Intervensi Rasional
1. Kaji pengeluaran urine 1. Membantu dalam memperkirakan kekurangan
volume total, tanda dan gejala mungkin sudah
ada pada beberapa waktu sebelumnya, adanya
proses infeksi mengakibatkan demam dan
keadaan hipermetabolik yang menigkatkan
kehilangan cairan
2. Pantau tanda-tanda vital 2. Perubahan tanda-tanda vital dapat diakibatkan
oleh rasa nyeri dan merupakan indikator
untuk menilai keadaan perkembangan
3. Monitor pola napas penyakit.
3. Paru-paru mengeluarkan asam karbonat
melalui pernapasan menghasilkan alkalosis
respiratorik, ketoasidosis pernapasan yang
berbau aseton berhubungan dengan
4. Observasi frekuensi dan pemecahan asam aseton dan asetat
kualitas pernapasan 4. Koreksi hiperglikemia dan asidosis akan
mempengaruhi pola dan frekuensi
pernapasan. Pernapasan dangkal, cepat, dan
sianosis merupakan indikasi dari kelelahan
pernapasan, hilangnya kemampuan untuk
5. Timbang berat badan melakukan kompensasi pada asidosis.
5. Memberikan perkiraan kebutuhan akan cairan
pengganti fungsi ginjal dan keefektifan dari
6. Pemberian cairan sesuai dengan terapi yang diberikan.
indikasi 6. Tipe dan jenis cairan tergantung pada derajat
kekurangan cairan dan respon

b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


defisiensi insulin/penurunan intake oral: anoreksia, abnominal pain, gangguan
kesadaran/hipermetabolik akibat pelepasan hormone stress, epinefrin, cortisol, GH
atau karena proses luka.
Tujuan :
Klien akan mengkonsumsi secara tepat jumlah kebutuhan kalori atau nutrisi yang
di programkan dengan kriteria :

1) Peningkatan barat badan.


2) Pemeriksaan albumin dan globulin dalam batas normal.
3) Turgor kulit baik, mengkonsumsi makanan sesuai program.
Intervensi :

INTERVENSI RASIONAL
1. Timbang berat badan. 1. Penurunan berat badan menunjukkan
tidak ada kuatnya nutrisi klien.
2. Auskultasi bowel sound. 2. Hiperglikemia dan ketidakseimbangan
cairan dan elektrolit menyebabkan
penurunan motilifas usus. Apabila
penurunan motilitas usus berlangsung
lama sebagai akibat neuropati syaraf
otonom yang berhubungan dengan sistem
pencernaan.
3. Berikan makanan lunak / cair. 3. Pemberian makanan oral dan lunak
berfungsi untuk meresforasi fungsi usus
dan diberikan pada klien dgn tingkat
kesadaran baik.

4. Observasi tanda hipoglikemia 4. Metabolisme KH akan menurunkan


misalnya : penurunan tingkat kadarglukosa dan bila saat itu diberikan
kesadaran, permukaan teraba insulin akan menyebabkan hipoglikemia.
dingin, denyut nadi cepat, lapar,
kecemasan dan nyeri kepala.
5. Berikan Insulin. 5. Akan mempercepat pengangkutan
glukosa kedalam sel.

c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya luka.


Tujuan : Klien akan mempertahankan integritas kulit tetap utuh dan terhindar dari
inteksi dengan kriteria :

1) Tidak ada tanda – tanda infeksi.


2) Tidak ada luka.
3) Tidak ditemukan adanya perubahan warna kulit.
Intervensi :

INTERVENSI RASIONAL
1. Observasi tanda – tanda infeksi 1. Kemerahan, edema, luka drainase,
cairan dari luka menunjukkan adanya infeksi.
2. Ajarkan klien untuk mencuci 2. Mencegah cross contamination.
tangan dengan baik, untuk
mempertahankan kebersihan
tangan pada saat melakukan
prosedur.
3. Pertahankan kebersihan kulit. 3. Gangguan sirkulasi perifer dapat terjadi
bila menempatkan pasien pada kondisi resiko
iritasi kulit.
4. Dorong klien mengkonsumsi 4. Peningkatan pengeluaran urine akan
diet secara adekuat dan intake mencegah statis dan mempertahankan PH
cairan 3000 ml/hari. urine yang dapat mencegah terjadinya
perkembangan bakteri.
5. Antibiotik bila ada indikasi 5. Mencegah terjadinya perkembangan
bakteri.

d. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan fungsi leucosit/ gangguan sirkulasi


Tujuan :
Klien akan menunjukkan tidak adanya tanda “inteksi, dengan kriteria :

1) Luka sembuh
2) Tidak ada edema sekitar luka.
3) Tidak terdapat pus, luka cepat mongering.
Intervensi :

INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji keadaan kulit yangrusak 1. Mengetahui keadaan peradangan untuk
membantu dalam menanggulangi atau dapat
dilakukan pencegahan.
2. Bersihkan luka dengan teknik 2. Mencegah terjadinya inteksi sekunder pada
septic dan antiseptic anggota tubuh yang lain.
3. Kompres luka dengan larutan 3. Selain untuk membersihkan luka dan juga
Nacl untuk mempercepat pertumbuhan jaringan
4. Anjurkan pada klien 4. Kelembaban dan kulit kotorsebagai
agarmenjaga predisposisi predisposisi terjadinya lesi.
terjadinya lesi.
5. Pemberian obat antibiotic. 5. Antibiotik untuk membunuh kuman.

e. Resiko gangguan persepsi sensoris : penglihatan berhubungan dengan perubahan


fungsi fisiologis akibat ketidakseimbangan glukosa/insulin atau karena
ketidakseimbangan elektrolit.
Tujuan :Klien akan mempertahankan fungsi penglihatan
Intervensi :
INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji derajat dan tipe kerusakan 1. Mengidentifikasi derajat kerusakan
penglihatan
2. Latih klien untuk membaca. 2. Mempertahankan aktivitas visual klien.
3. Orientasi klien dengan 3. Mengurangi cedera akibat disorientasi
lingkungan.
4. Gunakan alat bantu penglihatan. 4. Melatih aktifitas visual secara bertahap.
5. Panggil klien dengan nama, 5. Menurunkan kebingungan dan membantu
orientasikan kembali sesuai untuk mempertahankan kontak dengan realita
dengan kebutuhannya tempat,
orang dan waktu.
6. Pelihara aktifitas rutin. 6. Membantu memelihara panen tetap
berhubungan dengan realitas dan
mempertahankan orientalasi pada
lingkungannya.
7. Lindungi klien dari cedera. 7. Pasien mengalami disorientasi
merupakan awal kemungkinan timbulnya
cedera, terutama macam hari dan perlu
pencegahan sesuai indikasi.
f. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan energi, perubahan kimia
darah, insufisiensi insulin, peningkatan kebutuhan energi, infeksi, hipermetabolik
Tujuan :
Klien akan menunjukkan perbaikan kemampuan aktivitas dengan kriteria :
1) mengungkapkan peningkatan energi
2) mampu melakukan aktivitas rutin biasanya
3) menunjukkan aktivitas yang adekuat
4) melaporkan aktivitas yang dapat dilakukan
Intervensi :

INTERVENSI RASIONAL
1. Diskusikan dengan klien 1. Pendidikan dapat memberikan motivasi untuk
kebutuhan akan aktivitas meningkatkan tingkat aktivitas meskipun pasien
mungkin sangat lemah

2. Berikan aktivitas alternative 2. Mencegah kelelahan yang berlebihan


3. Pantau tanda tanda vital 3. Mengindikasikan tingkat aktivitas yang dapat
ditoleransi secara fisiologis
4. Diskusikan cara menghemat 4. Pasien akan dapat melakukan lebih banyak
kalori selama mandi, berpindah kegiatan dengan penurunan kebutuhan akan
tempat dan sebagainya energi pada setiap kegiatan
5. Tingkatkan partisipasi pasien 5. Meningkatkan kepercayaan diri yang positif
dalam melakukan aktivitas sesuai tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi
sehari-hari yang dapat pasien
ditoleransi

B. Latihan Pergerakan Sendi (ROM)


1. Definisi
ROM adalah jumlah pergerakan maksimum yang dapat dilakukan pada sendi, di salah
satu dari tiga bidang, yaitu sagittal, frontal, atau tranfersal. Bidang sagittal adalah
bidang yang melewati tubuh dari depan ke belakang membagi tubuh menjadi sisi
kanan dan sisi kiri, bidang frontal melewati tubuh dari sisi ke sisi dan membagi tubuh
ke depan dan ke belakang, bagian tranversal adalah bidang horizontal yang membagi
tubuh ke bagian atas dan bawah (Potter & Perry, 2010).

2. Jenis-Jenis
a. ROM Aktif
Merupakan gerakan yang dilakukan oleh pasien dengan menggunakan energinya
sendiri. Perawat memberikan motivasi dan membimbing pasien dalam
melaksanakan pergerakan sendiri secara mandiri sesuai dengan rentang gerak
sendi normal (pasien aktif), kekuatan otot 75% (Suratun, 2008).
b. ROM Pasif
Merupakan energy yang dikeluarkan untuk latihan berasal dari perawat atau alat
mekanik. Perawat melakukan gerakan persendian pasien sesuai dengan rentang
gerak yang normal (pasien pasif), kekuatan otot 50%. Indikasi ROM pasif adalah
pasien penurunan kesadaran, pasien dengan keterbatasan mobilisasi tidak mampu
melakukan beberapa atau semua latihan rentang gerak dengan mandiri, pasien
tirah baring total atau pasien dengan paralisis ekstremitas total (Suratun, 2008).

3. Tujuan
a. Meningkatkan atau mempertahankan fleksibilitas dan kekuatan otot
b. Mempertahankan fungsi jantung dan pernapasan
c. Mencegah kekakuan pada sendi
d. Melancarkan sirkulasi darah
e. Mencegah kelainan bentuk, kekakuan, dan kontraktur

4. ROM pada Kaki

Sendi Gerakan Penjelasan Rentang


Pinggul Fleksi Mengerakan tungkai ke depan 90-120ͦ
dan atas
Ekstensi Menggerakkan kembali ke 90-120ͦ
samping tungkai yang lain
Hiperekstens Menggerakkan tungkai ke 30-50ͦ
i belakang tubuh
Abduksi Menggerakkan tungkai ke 30-50ͦ
samping menjauhi tubuh
Adduksi Menggerakkan tungkai kembali 30-50ͦ
ke posisi media
Rotasi dalam Memutar kaki dan tungkai kea 90ͦ
rah tungkai lain
Rotasi luar Memutar kaki dan tungkai 90ͦ
menjauhi tungkai lain
Sirkumduksi Menggerakkan tungkai -
melingkar
Lutut Fleksi Menggerakkan tumit ke arah 120-130ͦ
belakang paha
Ekstensi Mengembalikan tungkai ke 120-130ͦ
posisi semula
Mata kaki Dorsofleksi Menggerakkan kaki sehingga 20-30ͦ
jari-jari kaki menekuk ke atas
Plantarfleksi Menggerakkan kaki sehingga 45-50ͦ
jari-jari kaki menekuk ke bawah
Kaki Inversi Memutar telapak kaki ke 10ͦ
samping dalam
Eversi Memutar telapak kaki ke 10ͦ
samping luar
Jari-jari Fleksi Menekukkan jari-jari kaki ke 30-60ͦ
kaki bawah
Ekstensi Meluruskan jari-jari kaki 30-60ͦ
Abduksi Menggerakkan jari-jari kaki satu 15ͦ
dengan yang lain
Adduksi Merapatkan kembali jari-jari kai 15ͦ
Sumber: Potter & Perry (2005)

C. Ankle Brachial Index (ABI)


1. Definisi
Adalah tes skrining non-invasif untuk mengidentifikasi penyakit pembuluh arteri
perifer yang besar dengan membandingkan tekanan darah sistolik di pergelangan kaki
yang lebih tinggi dari tekanan darah sistolik brachialis merupakan estimasi terbaik
dari tekanan darah sistolik pusat (Sacks, 2002 dalam Badri, 2014).

2. Langkah-Langkah Pengukuran ABI (Amboyans, dkk, 2012)


a. Pasien harus diistirahatkan setidaknya 5-10 menit dalam kondisi berbaring di
dalam ruangan yang nyaman dan temperatur yang cukup
b. Pasien tidak boleh merokok sekurang-kurangnya 2 jam sebelum pengukuran.
c. Pemilihan ukuran manset mancakup minimal 40% dari diameter lingkar
pergelangan kaki.
d. Manset tidak boleh diletakkan pada bagian distal graft ( dapat meningkatkan
resiko thrombosis ) atau bila dijumpai luka ulserasi.
e. Sama halnya dengan pengukuran tekanan darah di lengan, manset harus
membungkus pergelangan kaki. Batas bawah manset diletakkan 2 cm di atas
malleolus medialis.
f. Sebuah alat handheld Doppler 8-10 MHz digunakan dan pada probe Doppler
diberikan gel sebagai sensor.
g. Setelah alat Doppler diaktifkan, probe diletakkan pada daerah pulsasi dengan
membentuk sudut kemiringan 45-600
h. Manset kemudian dikembangkan secara perlahan sampai 20 mmHg di atas batas
aliran sinyal menghilang ( tidak terdengar lagi ) dan kemudian manset
dikempeskan perlahan untuk mendeteksi tingkat tekanan dimana sinyal aliran
muncul kembali. terhadap permukaan kulit. Probe dapat digerakkan di sekitar area
pulsasi sampai bunyi sinyal yang paling jelas terdengar.
i. Deteksi aliran darah brachial selama pengukuran tekanan sistolik di lengan juga
harus menggunakan alat Doppler.
j. Urutan yang sama dalam pengukuran tekanan darah sistolik pada tiap anggota
gerak harus diberlakukan dengan urutan yang dianjurkan adalah lengan kanan,
arteri tibialis posterior kanan, arteri dorsalis pedis kanan, arteri tibialis posterior
kiri, arteri dorsalis pedis kiri dan lengan kiri.

3. Penilaian ABI
BAB III
LAPORAN KASUS

A. Pengkajian
1. Identitas Pasien
Nama pasien : Tn. L
Umur : tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Suku/ bangsa : Jawa/ Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan :-
Alamat : Semarang

2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Pasien mengatakan badannya lemas, tubuh gemetaran mata berkunang-kunang
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengatakan masuk ke Rumah sakit karena tiba-tiba badannya lemas lalu
pingsan
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan memiliki riwayat DM dan Riwayat TB
d. Riwayat Keluarga
Pasien mengatakan di keluarga tidak ada yang memiliki DM

3. Pola Kesehatan Fungsional

a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan


Pasien mengatakan jika ada keluarga yang sakit maka segera dibawa tempat
pelayanan kesehatan terdekat baik itu puskesmas maupun dokter.
b. Pola nutrisi dan metabolik
Pasien makan dengan porsi sedang 3x sehari serta minum ± 1 lt/ hari, pasien
mengatakan sebelum di rawat kadang makan sesuai dengan kemauannya karena
memiliki obat DM di rumah
c. Pola eliminasi
Pasien BAB 1x / hari dan BAK 4 x / hari tanpa dibantu orang lain
d. Pola aktivitas dan latihan
Saat sebelum sakit pasien beraktivitas seperti biasa yaitu memasak dan melakukan
kegiatan yang lain sesuai dengan rutinitasnya. Diwaktu sakit seperti saat ini pasien
tidak mampu melakukan kegiatan yang biasa ia kerjakan sebelum sakit.
e. Pola motorik dan kognitif
Sebelum sakit pasien selalu mengerjakan pekerjaan rumah tetapi setelah sakit
pasien tidak bisa mengerjakan pekerjaan tersebut akhirnya dibantu anak-anaknya
dalam mengejakan pekerjaan tersebut
f. Pola tidur dan istirahat
Pasien tidak ada keluhan dengan kebiasaan tidurnya yaitu 6- 8 jam/ hari.
g. Pola persepsi diri dan konsep diri
Pasien tahu tentang penyakitnya ia merasa bahwa dirinya akan sembuh setelah
menjalani perawatan dan menjaga pola hidup.
h. Pola hubungan sosial
Hubungan pasien dengan keluarga sangat baik
i. Pola seksualitas dan reproduksi
Pasien berjenis kelamin perempuan dan sudah menopaus
j. Pola mengatasi permasalahan hidup
Pasien selalu memusyawarahkan dengan keluarga bila ada masalah, termasuk
dengan penyakit yang dialami saat ini.

k. Pola nilai dan kepercayaan/ agama


Sebelum sakit pasien masih menjalankan ibadah rutin sholat 5x dalam sehari,
karena sakit tidak bisa beribadah hanya bisa berdoa saja.
4. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : Pasien tampak lemah
b. Kesadaran : GCS = E4 –M6 –V5 = 15
c. Tek. Darah : 150/90 mmHg
b. Nadi : 92 x/ menit
c. Pernafasan : 20x/ menit
d. Suhu tubuh : 360 C
a. Pengukuran antropometri : BB : 68kg, TB : 168cm
e. Kulit : Turgor elastis, warna kulit gelap agak kusam.
f. Kepala : Bentuk kepala mesosephal, bersih, tidak berbau, tidak ada lesi, rambut
tumbuh uban (+) lurus.
g. Mata :
h. Hidung : Simetris, bersih, tidak ada polip hidung, cuping hidung tidak ada.
i. Telinga : Simetris, bersih, tidak ada tanda peradangan ditelinga/ mastoid.
Cerumen tidak ada, reflek suara baik dan tidak berdengung.
j. Mulut : Bibir tidak cyanosis, mukosa mulut lembab, tremor ditemukan, tonsil
tidak membesar, tidak ada stomatitis dan 2 gigi Palsu, mulut tidak simetris.
k. Leher : Tidak terdapat pembesaran kelenjar thiroid, tidak ditemukan distensi
vena jugularis. Otot leher tegang.
l. Dada :
Inspeksi : Bentuk simetris, pergerakan dada sewaktu bernafas simetris.
Palpasi : tactil fremitus normal, ictus cordis ada di IC IV-V sinistra..
Perkusi: terdengar suara tympani.
Auskultasi : terdengar bunyi jantung I- II.
m. Perut : Bentuk perut simetris, tidak ditemukan adanya massa, tidak ditemukan
distensi abdominal dan tidak ada pembesaran hepar dan bising usus normal.
n. Ekstrimitas : Tidak ditemukan lesi pada ektrimitas atas maupun bawah dan tidak
ada oedem.

5. Pemeriksaan Penunjang

Nama Tes Hasil Nilai Rujukan


HEMATOLOGI
Darah Lengkap:

Eritrosit 3,93 juta/mm3 3,8-5,2


GDS: 234 mg/dl

6. Terapi

Terapi Rute & Dosis


B. Analisa Data

Data Problem Etiologi


DS: risiko perfusi perifer tidak Hiperglikemia
DO: efektif
- Capillary refill < 2 detik
- Tidak ada luka pada
ekstremitas bawah
- Tidak ada edema pada
ekstremitas bawah
- Rangsang nyeri (+)
- GDS 301 mg/dl
- TD 132/82 mmHg
- Nilai ABI kanan 0,53
dan kiri 0,52

C. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko perfusi perifer tidak efektif (D.0015) berhubungan dengan hiperglikemia
D. Pathways Keperawatan

E. Fokus Intervensi
1. Risiko perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan hiperglikemia
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 jam perfusi perifer adekuat
dengan kriteria hasil:
a. Capillary refill < 2 detik
b. GDS dalam rentang normal (< 200 mg/dl)
c. Nilai ABI dalam rentang normal(1-1,4)
INTERVENSI RASIONAL
Kaji sirkulasi perifer (capillary refill, Mengetahui status sirkulasi perifer
denyut nadi perifer, suhu, warna)
Kaji ankle brachial index Mengetahui nilai sirkulasi perifer
Kaji nilai GDS/6 jam Memantau nilai GDS
Lakukan latihan pergerakan sendi Meningkatkan sirkulasi perifer
(ROM) ekstremitas bawah
Berikan informasi mengenai DM Agar pasien mampu memanajemen
diabetesnya
Kolaborasi pemberian terapi insulin Membantu mengendalikan kadar nilai
dan obat anti-diabetes glukosa darah
BAB IV

APLIKASI EVIDENCE BASED NURSING RISET

A. Identitas Pasien
Tn. L (80 tahun)
B. Data Fokus Pasien
DS: pasien mengatakan badanya terasa lemas dan gemetaran, kepala pusing, penglihatan
buram atau berkunang-kunang
DO:
- Capillary refill < 2 detik
- Tidak ada luka pada ekstremitas bawah
- Tidak ada edema pada ekstremitas bawah
- Rangsang nyeri (+)
- GDS 301 mg/dl
- TD 132/82 mmHg
- Nilai ABI kanan 0,53 dan kiri 0,52
C. Diagnosa Keperawatan yang Berhubungan dengan Jurnal yang Diaplikasikan
Risiko perfusi jaringan perifer tidak efektif berhubungan dengan hiperglikemia

D. EBN yang Diterapkan


Latihan pergerakan sendi ekstremitas bawah (ROM) terhadap nilai ABI
E. Analisa Sintesa

Defisiensi insulin

pe↓ pemakaian glukosa oleh sel

Hiperglikemia

Viskositas darah ↑

Kerusakan pembuluh darah perifer

Gangguan suplai darah

Suplai darah (O2, nutrisi) ↓

Rasa kebas, kesemutan

Risiko perfusi jaringan perifer tidak adekuat

Latihan pergerakan sendi (ROM) ekstremitas bawah

Sirkulasi darah perifer ↑

Nilai ABI ↑
F. Landasan Teori
Peningkatan glukosa darah menyebabkan viskositas darah meningkat sehingga aliran
darah berkurang dan terjadi peningkatan agregability trombosit, akan memacu
terbentuknya mikro thrombus dan penyumbatan mikrovaskular, yang dapat dikaitakn
dengan perkembangan komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular pada penderita DM
(Rosenson, dkk, 2011). Latihan pergerakan sendi merupakan latihan yang dilakukan
untuk memobilisasi semua sendi lewat pergerakan yang berfungsi meningkatkan tonus
otot, massa, dan kekuatan otot serta mempertahankan fleksibelitas sendi dan sirkulasi.
Selama latihan pergerakan sendi ini denyut jantung dan curah jantung bekerja untuk
meningkatkan aliran darah ke seluruh tubuh (Hijriana, 2016). Latihan yang dilakukan
secara kontinu dapat mempengaruhi vaskularisasi ekstremitas bawah serta meningkatkan
nilai ABI pada pendeita DM ke rentang normal, sehingga ke depannya penderita DM
dapat mencegah terjadinya komplikasi di masa mendatang seperti amputasi.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Gibbs (2013) menyebutkan bahwa latihan fisik dapat
melancarkan peredaran darah ke ekstremitas bawah, terjadi perubahan yang signifikan
pada nilai ABI. Di mana latihan tersebut dapat meningkatkan nilai ABI disertai dengan
penurunan HbA1c (Hemoglobin yang berkaitan dengan glukosa) dan terbukti
meningkatkan fungsi endotel sehingga aliran darah ke perifer menjadi lebih baik.
BAB V
PEMBAHASAN

A. Justifikasi Pemilihan Tindakan Berdasarkan EBN


Ulkus diabetic dan amputasi merupakan komplikasi yang paling serius terjadi pada
penderita DM dan penyebab utama kecacatan. Penyakit ekstremitas bawah seperti penyakit
arteri perifer, neuropati perifer, ulserasi kaki merupakan komplikasi yang sering terjadi
pada penderita DM (Shrikhande & McKinsey, 2012). Berbagai upaya dilakukan untuk
mencegah dan mengontrol terjadinya neuropati diabetic dan perbaikan sirkulasi perifer
dengan cara 4 pilar pelaksanaan DM meliputi, edukasi, nutrisi, latihan jasmani, dan
intervensi farmakologis/alternative. Namun, saat dijumpai di lapangan pelaksanaan yang
umum dilaksanakan di rumah sakit hanyalah edukasi, nutrisi, dan intervensi farmakologis.
Sehingga mahasiswa ingin mengetahui keefektifan latihan pergerakan terhadap nilai ABI.

Tujuan dari latihan pergerakan sendi ekstremitas bawah yaitu untuk melancarkan sirkulasi
peredaran darah sehingga diharapkan nilai ABI meningkat ke nilai normal. ABI merupakan
pemeriksaan pembuluh darah untuk mendeteksi tanda dan gejala klinis dari iskemia,
penurunan perfusi perifer yang dapat mengakibatkan angiopati dan neuropati diabetic
(Mulyati, 2009).

B. Mekanisme Penerapan EBN


Mekanisme penerapan dari EBN yang dilakukan adalah:
1. Mahasiswa melakukan penerapan EBN pada pasien DM tipe 2 berjenis kelamin laki-
laki, umur 52 tahun, diagnosis medis DM tipe 2, dan tidak memiliki ulkus diabetic
2. Sebelum dilakukan penerapan, pasien diistirahatkan selama 5-10 menit
3. Mengukur gula darah sebelum dilakukan latihan relaksasi otot progresif.
4. Kemudian pasien diistirahatkan 5 menit
5. Mahasiswa mengajarkan cara latihan relaksasi otot progresif kemudian pasien bisa
mengulangi latihan relaksasi otot progresif.
6. Tiap gerakan dari latihan pergerakan sendi ekstremitas bawah dilakukan pengulangan
10x
7. Setelah selesai dilakukan latihan pergerakan sendi ekstremitas bawah pasien
diistirahatkan kurang lebih 5 menit
8. Kemudian ukur ABI kembali
9. Pengukuran ABI menggunakan spygnomanomater yang tersedia di ruang rawat inap
10. Pengukuran ABI dimulai dari ekstremitas atas yang diukur secara bersamaan
kemudian dilanjut pengukuran di ekstremitas bawah yang juga diukur secara
bersamaan. Nilai ekstremitas atas diambil nilai sistolik, begitu juga untuk nilai
ekstremitas bawah diambil nilai sistolik.

C. Hasil yang Dicapai

Hari Hasil Gula darah Sesudah


Hari ke-1 - 234
Tanggal 28 april
2019
Hari ke-2 - 131 -
Tanggal 29 april
2019
Hari ke3 tanggal - -
1 mei 2019

Hasil penerapan yang dilakukan mahasiswa dengan penelitian dan teori yang telah ada
sebelumnya adalah sejalan, di mana dari hasil penerapan didapatkan nilai ABI meningkat
ke nilai normal. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya yang
dilakukan oleh Hijriana (2016) bahwa latihan dapat meningkatkan nilai ABI jika dilakukan
secara kontinu dan teratur. Hal ini dikarenakan latihan pergerakan sendi dapat
meningkatkan sirkulasi aliran darah.

D. Hambatan
Penerapan ini hanya dilakukan 2 hari saja karena pasien yang dikelola pulang.
BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan penerapan yang telah dilakukan didapatkan nilai ABI sebelum dan sesudah
dilakukan tindakan latihan pergerakan sendi ekstremitas bawah mengalami peningkatan.
Hal ini membuktikan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Sehingga penerapan ini
dapat dilakukan di klinik.

B. Saran
1. Diharapkan ke depannya perawat dapat melaksanakan tindakan ini ke rencana
perawatan sebagai pencegahan komplikasi DM
2. Diharapkan ke depannya perawat tidak asing dengan pemeriksaan ABI

Anda mungkin juga menyukai