GNFHGJ JKJHL JHJHKHKHK
GNFHGJ JKJHL JHJHKHKHK
I.
PENDAHULUAN
Tetanus adalah suatu penyakit toksemia akut yang disebabkan oleh
neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani yang ditandai dengan spasme
otot yang periodik dan berat tanpa disertai gangguan kesadaran. (1,2,3,4,6,7 )
Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang
disebabkan
tetanospasmin.(1,3)
Tetanospamin
merupakan
neurotoksin
yang
Semua jenis luka dapat terinfeksi oleh kuman tetanus, seperti luka laserasi,
luka tembak, luka tusuk, luka bakar, luka gigit oleh manusia/binatang, luka
suntikan, infeksi tali pusat (Tetanus Neonatorum) dan sebagainya. (1,2,3,4,5,6,7 )
II.
ETIOLOGI
Tetanus disebabkan oleh basil gram positif Clostridium tetani.
(1,2,3,4,5,6,7)
Beberapa tipe Cl. tetani dapat dibedakan dengan antigen flagel spesifik, yang
semuanya mempunyai antigen O (somatic) yang dapat terbungkus dan semuanya
menghasilkan neurotoxin yang sama yaitu tetanospasmin. (5) Bakteri ini terdapat
dimana-mana, dengan habitat alamnya ditanah, tetapi dapat juga diisolasi dari
kotoran binatang peliharaan (misal: kuda) dan kotoran manusia. (1,2,3,4,5,6,7 )
Clostridium tetani merupakan bakteri gram positif yang berbentuk batang,
selalu bergerak dan merupakan bakteri obligat anaerob yang menghasilkan spora.(3,5)
Spora yang dihasilkan tidak berwarna, berbentuk oval, menyerupai raket tenis atau
paha ayam.
(1,2,3,5,6)
dalam lingkungan tertentu, tahan terhadap sinar matahari dan bersifat resisten
terhadap berbagai desinfektan dan pendidihan selama 20 menit.(1,2,3,5,6) Spora bakteri
ini dihancurkan secara tidak sempurna dengan mendidihkan dalam air, tetapi dapat
dieliminasi dengan autoklav pada tekanan 1 atmosfir, pada suhu 120 C selama 15
menit. (1,2,3,5,6,)
Sel yang terinfeksi bakteri ini dengan mudah dapat diinaktivasi dan bersifat
sensitive terhadap beberapa antibiotik (metronidazol, penisilin dan lainnya). (1,2,3,6)
Bakteri ini jarang dikultur oleh karena diagnosa berdasarkan gejala klinis. (1, 2,3,6)
Sifat basil anaerob yang terkenal dikarenakan oleh karena ketidakmampuan
bakteri ini menggunakan oksigen sebagai akseptor hidrogen akhir. Kuman ini tidak
punya sitokrom dan sitokrom oksidase serta tidak dapat memecahkan hidrogen
peroksidase. Oleh karena itu bila terdapat oksigen, H2O2 cenderung tertimbun
sampai mencapai kadar toksik dalam tubuh manusia. Bakteri ini mungkin juga tidak
mempunyai superoksida dismutase sehingga memungkinkan penimbunan radikal
bebas anion superoksida yang toksik. (5)
Tidak seperti kebanyakan golongan Clostridia yang lain, Cl. Tetani bukan
organisme yang menginvasi jaringan, malahan menyebabkan penyakit melalui
pengaruh toksin tetanospasmin yang lebih sering disebut toksin tetanus. (3,4) Toksin
tetanus adalah toksin kedua yang paling beracun yang pernah ditemukan dan toksin
ini hanya diungguli kekuatannya oleh toksin botolinum, dosis letal-nya
diperkirakan 10-6 mg/kg.
(1,3)
III.
EPIDEMIOLOGI
Tetanus terjadi di seluruh dunia dan endemik pada 90 negara berkembang
dengan insiden yang sangat bervariasi, kejadian di seluruh dunia sekitar 1 juta
kematian pertahun.(1,2,3,6) Bentuk yang paling sering ditemukan adalah tetanus
neonatorum yang (mengakibatkan kematian 500.000 per tahun), wanita yang tidak
terimunisasi akibat infeksi Cl. Tetani pasca partus, pasca abortus atau pasca bedah,
serta pada anak yang tidak terimunisasi. (1)
Di Amerika Serikat sebagian besar kasus tetanus terjadi akibat trauma akut
seperti luka tusuk, laserasi/abrasi pada orang yang tidak di imunisasi, terimunisasi
sebagian dan orang yang sudah di imunisasi tapi tidak disuntik booster secara
periodik.(2,3,6) Sedangkan kasus tetanus neonatorum di Amerika Serikat sangat jarang
yaitu hanya 50 kasus per tahun.(2,3,6)
Hubungan antara jenis kelamin dan ras dengan resiko untuk terkena tetanus
tidak ada, akan tetapi laki-laki lebih cenderung terkena tetanus oleh karena laki-laki
di beberapa kebudayaan negara tertentu lebih sering bekerja di lahan pertanian yang
program imunisasi tetanus di negara tersebut tidak ada. (2,6)
Ada hubungan antara umur dengan resiko terkena tetanus yaitu tetanus berat
lebih sering terjadi pada neonatus dan lansia. (2,6)
IV.
PATOGENESE
Clostridium tetani masuk kedalam tubuh melalui luka.(1,2,3,4,5,6,7 ) Cl. Tetani
sendiri tidak menyebabkan inflamasi dan tempat port d entre tetap tenang tanpa ada
tanda-tanda inflamasi kecuali bila ada tanda infeksi sekunder.(2,3,6) Kuman tetanus
tetap tinggal di daerah luka dan tidak ada penyebaran kuman ke seluruh tubuh.(4)
Clostridium tetani membentuk 2 macam eksotoksin yaitu Tetanolisin dan
tetanospasmin.(3,4) Tetanolisin mampu secara lokal merusak jaringan yang masih
hidup yang mengelilingi sumber infeksi (port d entre) dan mengoptimalkan kondisi
yang memungkinkan multiplikasi bakteri (berkembangnya bakteri ini di jaringan
tubuh).(3,4) Tetanospasmin adalah metalo-exotosin tetanus yang mungkin mencakup
5% dari berat organisme ini sendiri.(3) Toksin ini merupakan polipeptida rantai
ganda dengan berat 150.000 Da, terdiri dari rantai berat (100.000 Da) dan rantai
ringan (50.000 Da) yang dihubungkan oleh suatu ikatan yang sensitif terhadap
protease dan dipecah oleh protease jaringan yang menghasilkan jembatan disulfida
yang menghubungkan 2 rantai ini.(1,2,3,6) Ujung karboksil dari rantai berat terikat
pada membran syaraf dan ujung amino memungkinkan masuknya toksin ini ke
dalam sel syaraf.(3) Rantai ringan bekerja pada presinaps untuk mencegah pelepasan
neurotransmitter dari neuron yang dipengaruhi. (1,2,3,4, 6,7)
Toksin ini mengikat motor neuron terminal syaraf perifer, masuk ke axon
dan melalui transport intraneural yang berjalan retrograde mencapai badan sel
syaraf di batang otak dan medula spinalis. (1,2,3,4,6,7) Kecepatan transport toksin tetanus
pada syaraf ternyata 3,4 mm/jam.(1) Transport terjadi pertama kali pada syaraf
motorik, lalu ke syaraf sensorik dan syaraf otonom. (3) Jika toksin telah masuk ke
dalam sel syaraf, ia akan berdifusi keluar dan akan masuk ke neuron di dekatnya. (3)
Apabila interneuron inhibitori spinal terpengaruh maka gejala-gejala tetanus akan
muncul.(3,7)
Setelah internalisasi ke dalam neuron inhibitori, ikatan disulfida yang
menghubungkan rantai ringan dan rantai berat akan berkurang sehingga akan
membebaskan rantai ringan.(3) Kemudian rantai ringan tetanoplasmin yang
merupakan metallo protease zinc akan membelah sinaptobrevin pada suatu titik
tunggal sehingga mencegah pelepasan neurotransmitter.(1,2,3,6) Sinaptobrevin
merupakan protein membran yang diperlukan untuk keluarnya vesikel intraseluler
yang mengandung neurotransmitter.(1,3,6) Akibatnya neurotransmitter inhibisi yaitu
GABA dan glisin tidak dapat keluar sehingga akan terjadi eksitasi terus menerus
dan spasme otot.(1,2,3,6,7)
Jika diasumsikan kecepatan transport intraneural toksin tetanus sama pada
semua syaraf, maka syaraf yang pendek akan terkena efek toksin tetanus terlebih
dahulu daripada syaraf yang panjang.(2,3) Hal inilah yang menjelaskan urutan efek
gejala tetanus dimulai dari kepala, badan dan ekstremitas pada tetanus generalisata.
(2)
Otot rahang, wajah dan kepala sering terlihat sebagai gejala awal tetanus karena
gangguan syaraf otonom yang dulu jarang dilaporkan oleh karena penderita sudah
meninggal lebih dahulu sebelum gejala ini muncul.(7) Dengan penggunaan diazepam
dosis tinggi dan pernafasan mekanik kejang dapat diatasi, namun gangguan syaraf
otonom harus dikenali dan dikelola dengan teliti.(7)
Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu: (2,3,6)
1.
2.
V.
PATOLOGI
VI.
GEJALA KLINIS
Gejala klinis yang dominan adalah kekakuan otot bergaris yang disusul
dengan kejang tonik klonik.(7) Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1
hari atau lebih lama 3 minggu atau beberapa minggu ).(7)
Ada tiga bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni: (1,2,3,6)
1. Localized tetanus (Tetanus Lokal)
2. Cephalic Tetanus
3. Generalized tetanus (Tetanus umum)
Selain itu ada lagi pembagian berupa neonatal tetanus.
Ad 1. Tetanus lokal (Localized Tetanus) (1,2,3,6)
Tetanus lokal merupakan bentuk tetanus yang amat jarang. Pada tetanus
lokal dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah tempat dimana
luka terjadi. Hal inilah yang merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot
tersebut biasanya ringan, kontraksi otot ini bisa bertahan dalam beberapa bulan
tanpa progressif dan biasanya menghilang secara bertahap.
Tetanus lokal bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam
bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Prognosis tetanus bentuk ini
umumnya baik.
Ad.2. Tetanus cephalic (1,2,3,6)
Tetanus cephalic adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi
berkisar 1 2 hari. Tetanus cephalic bisa berasal dari otitis media kronik, luka pada
daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga hidung dan
kepala.
Gejala tetanus cephalic: trismus, disfungsi 1 atau beberapa syaraf kranial
yaitu N III, IV, V, VI, VII, IX dan XII. Syaraf kranial yang paling sering terkena
adalah N VII. Kelainan yang terjadi akibat kelainan syaraf kranial ialah kelopak
mata retraksi dan penglihatan menyimpang (paralysis otot extraokuler), risus
sardonikus dan paralisis spastik otot lidah serta farings (disfagia).
Tetanus cephalic akan tetap menjadi tetanus lokal atau bisa akan
berkembang menjadi tetanus generalized. Prognosis tetanus bentuk ini buruk,
dengan angka mortalitas tinggi.
Ad.3 Tetanus generalized (1,2,3,6)
Bentuk ini yang paling banyak diketemukan (85-90% dari semua kasus
tetanus). Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai (50-75%), yang
disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot
leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain
berupa Risus Sardonicus yakni spasme otot-otot muka, opistotonus ( kekakuan otot
punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa
menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianosis asfiksia. Bisa terjadi disuria dan
retensi urine akibat spasme dari sfingter kandung kemih, kompressi fraktur dan
pendarahan di dalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi bisa
juga mencapai 40 C, hal ini lazim karena banyak energi metabolik yang dihabiskan
oleh otot-otot yang spasme.
Kejang dapat terjadi berulang-ulang dan bisa dipicu oleh stimulus yang
ringan misal suara, cahaya dan sentuhan. Paralisis spastik tetanus biasanya menjadi
lebih berat pada minggu pertama sesudah gejala awal timbul, kemudian stabil pada
minggu kedua setelah itu sedikit demi sedikit menjadi lebih baik selama 1-4
minggu.
Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan
di jumpai takikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya
berdasarkan gejala klinis.
10
11
Gangguan pernafasan akibat kejang yang terus menerus atau oleh karena
kekakuan otot larynx yang bila berat menimbulkan anoxia dan kematian.
Kekakuan otot sphincter dan otot polos lain : retensi urinae, retensi alvi,
spasme larinx dsb.
12
B. Anamnesa
Anamnesa yang teliti dan terarah selain membantu menjelaskan gejala
klinik yang kita hadapi juga mempunyai arti diagnostik dan prognostik.
Pada tetanus neonatorum hal-hal yang dapat membantu :
1. Siapa penolong persalinan: tenaga medis/paramedis atau non medis/dukun
bayi, dan telah dilatih atau belum. Ini akan membantu membedakan
persalinan yang bersih / higienik atau tidak.
2. Alat apa yang dipakai untuk memotong talipusat
3. Ramuan/bobok/jamu apa yang dibubuhkan pada tindakan perawatan
potongan tali pusat.
4. Apakah ibu sudah diimunisasi tetanus toksid sebelum atau selama
kehamilannya.
5. Mulai kapan bayi tak dapat menetek (incubation period)
6. Berapa lama selang antar waktu antara gejala kejang yang pertama dengan
bayi tak bisa menetek (period of onset)
Pada anak perlu tambahan keterangan:
1. Apakah ada luka tusuk, luka dengan nanah atau gigitan binatang.
2. Apakah sudah pernah imunisasi DT atau TT dan kapan yang terakhir.
3. Selang waktu antara timbulnya gejala klinik pertama (trismus atau spasme
lokal) dengan kejang yang pertama (period of onset)
13
C. Derajat Keparahan
Terdapat beberapa sistem pembagian derajat keparahan tetanus yaitu
Philips, Dakkar, Udwadia, Ablett dan derajat Surabaya yang dilaporkan. (3,4,6,7)
1. Klasifikasi beratnya tetanus oleh Ablett:(3)
Tolak ukur
Kurang dari 48 jam
Nilai
5
2-5 hari
6-10 hari
11-14 hari
14
Porte dentre
Imunisasi
1
5
Leher/kepala/dinding tubuh
Ekstremitas proksimal
Ekstremitas distal
Tidak diketahui
Tidak ada
1
10
Proteksi lengkap
Penyakit atau trauma yang
0
10
membahayakan jiwa.
Keadaan yang tidak langsung
membahayakan jiwa.
Keadaan
yang
tidak
membahayakan jiwa.
Trauma atau penyakit ringan
Anesthesiologist**
** Sistem penilaian status fisik penderita untuk menentukan resiko penyulit.
Berdasarkan jumlah angka yang diperoleh, derajat keparahan penyakit
dapat dibagi menjadi tetanus ringan (angka < 9), tetanus sedang (angka 9-16)
dan tetanus berat (angka > 16). Tetanus ringan dapat sembuh sendiri tanpa
pengobatan, tetanus sedang dapat sembuh dengan pengobatan baku dan
tetanus berat memerlukan perawatan khusus yang intensif.
15
3. Rasio skala derajat keparahan tetanus dan prognosis berdasar eMedicine: (6)
Luka didapatkan dari luka bakar, luka operasi, komplikasi patah tulang
atau aborsi septik.
Kecanduan narkotik.
Tetanus Generalisata.
Takikardi > 120 x/menit pada penderita dewasa (pada neonatus > 150
x/menit).
16
Takipnea, Takikardi.
Laringeal spasm.
17
VII.
DIAGNOSA
Diagnosa tetanus mutlak berdasar pemeriksaan fisik, berupa: (1,2,3,6,7)
1.
2.
3.
18
VIII.
DIAGNOSIS BANDlNG
Untuk mendiagnosa banding dari tetanus, tidak akan sukar sekali oleh
karena bisa dilihat dari pemeriksaan fisik, laboratorium tes (dimana cairan
serebrospinal normal dan pemeriksaan darah rutin normal atau sedikit meninggi,
sedangkan SGOT, CPK dan serum aldolase sedikit meninggi karena kekakuan otototot tubuh), serta riwayat imunisasi, kekakuan otot-otot tubuh, trismus, risus
sardonicus dan kesadaran penderita yang tetap normal. (1,2,3,6,7)
1. Rabies: Hidrofobia, disfagia yang mencolok, kejang klonik lebih dominan,
pleositosis CSS, ada riwayat gigitan binatang, orofaringeal spasme ada dan
trismus tidak ada.
2. Keracunan Strichnine (racun tikus): Trismus jarang ada, spasme otot
menyeluruh disertai relaksasi komplit antar spasme.
3. Hipokalsemia: Trismus tidak ada.
4. Meningoencephalitis: Penderita demam, trismus tidak ada, kesadaran
terganggu, CSS abnormal.
5. Polio: Trismus tidak ada, paralisis tipe flaccid dan CSS abnormal.
6. Lesi orofaring (abses parafaring, abses retrofaring dan abses gigi): Trismus
ada, rigiditas seluruh tubuh atau spasme tidak ada.
7. Status epileptikus: Ada riwayat epilepsi dan kesadaran penderita terganggu.
19
IX.
PENATALAKSANAAN
A. TERAPI DASAR
Tujuan terapi ini berupa: (1,2,3,6)
1.
2.
3.
4.
20
Obat pilihan pertama pada tetanus karena aman, bisa penetrasi pada luka
dan abses serta tidak merangsang SSP (tak punya efek antagonis terhadap
GABA
seperti
Penisilin).
Pada
penelitian
yang
membandingkan
lithium
dan
fenitoin.
Cimetidine
akan
21
Penicilin G(6,8)
Bersifat Bakteriosidal, oleh karena berikatan pada Protein pengikat penisilin
(PBPs) yang merupakan transpeptidase yang berikatan silang pada
peptidoglikan pada tahap akhir pembentukan dinding sel bakteri. Pada
akhirnya menghambat pembentukan dinding sel bakteri dan mengaktivasi
enzim autolitik yang bertanggung jawab pada efek bakterisidal. Punya efek
antagonis terhadap GABA.(2,3,8)
Dosis: (6)
Dewasa: 4 juta IU/tiap 4 jam IV. Dosis maksimal tidak lebih 24 juta
IU/hari
aminoglikosida;
menurunkan
eliminasi
obat
22
Dosis: (6)
Dewasa: 15-50 mg/kg BB/hari, IV, dalam dosis terbagi, diberi tiap 6
jam, dosis maksimal 4 gr/hari.
Kontraindikasi:
Alergi terhadap eritromisin, gangguan hepar, pemakaian
bersama astemizole, terfenadine atau cisapride.
Interaksi obat:
Menurunkan klirens metabolisme obat astemizole, terfenadine,
alfentanil, carbamazepine, cisapride, ciclosporine, fenitoin,
midazolam, simvastatin, teofiline dan triazolam. Eritromisin
meningkatkan efek dari warfarin.
Efek samping:
Gangguan GIT, hepatitis kolestasis akut.
Clindamisin(6,8)
Bersifat bakteriostat dengan cara berikatan pada ribosom subunit 50s. Bukan
obat pilihan pada tetanus, tapi sebagai obat alternatif bilamana obat pilihan
pertama tidak bisa digunakan. (6,8)
Dosis: (6)
Neonatus < 7 hari: 10-15 mg/kg BB/hari, IV dalam dosis terbagi tiap
8-12 jam.
Neonatus > 7 hari: 10-20 mg/kg BB/hari, IV dalam dosis terbagi tiap
6-12 jam.
Anak-anak: 25-40 mg/kg BB/hari IV, dalam dosis terbagi, tiap 6-8
jam. Dosis maksimal 4800 mg/hari.
23
Kontraindikasi:
Alergi terhadap klindamisin, enteritis regional, kolitis
ulserative dan gangguan hati. Bisa menyebabkan kolitis yang
disebabkan antibiotik ini.
Interaksi obat:
Meningkatkan durasi efek blokade neuromuskuler obat
tubokurarine
dan
mengantagonis
efek
pankuronium.
klindamisin,
Eritromisin
obat
akan
antidiare
Anak-anak:
Usia < 8 tahun kontraindikasi.
Usia > 8 tahun 25-50 mg/kg BB/hari PO, dosis terbagi tiap 6 jam.
Dosis maksimal < 3 gr/hari
Kontraindikasi:
Alergi terhadap tetrasiklin, gangguan hepar yang berat, anak
usia < 8 tahun.
24
Interaksi obat:
Absorbsi tetrasiklin menurun bila diberikan bersama
antasida, susu, vitamin yang mengandung mineral (Ca2+, Al3+,
Mg2+, Fe2+), bismuth subsalisilat; mengurangi efek dari obat
kontrasepsi; meningkatkan efek hipoprotrombinemia dari
antikoagulan.
Efek samping:
Mual, muntah, diare, fotosensitivitas terhadap sinar matahari.
Bisa menyebabkan kelainan gigi pada anak-anak usia < 8
tahun bila diberikan lama dan hal ini juga bisa terjadi bila di
berikan pada ibu hamil. Sindrom Fanconi bisa terjadi pada
orang yang menggunakan tetrasiklin yang sudah kadaluarsa.
Vancomisin(6,8)
Bersifat bakteriosidal dengan cara menghambat sintesis dinding sel dan
sintesis RNA bakteri. Bukan obat pilihan pada tetanus, tapi sebagai obat
alternatif bilamana obat pilihan pertama tidak bisa digunakan. (6,8)
Dosis: (6)
Neonatus < 7 hari dan BB < 1200 gr: 15 mg/Kg BB/hari IV.
Neonatus < 7 hari dan BB 1200-2000 gr: 10-15 mg/Kg BB/12 jam
IV.
Neonatus < 7 hari dan BB > 2000 gr: 10-15 mg/Kg BB/8-12 jam IV.
Neonatus > 7 hari dan BB < 1200 gr: 15 mg/Kg BB/hari IV.
Neonatus > 7 hari dan BB 1200-2000 gr: 10-15 mg/Kg BB/8-12 jam
IV
Neonatus > 7 hari dan BB > 2000 gr: 15-20 mg/Kg BB/8 jam IV.
25
Dewasa: Dosis awal 1 gr/12 jam IV, dosis rumatan tergantung fungsi
ginjal.
Kontraindikasi:
Alergi terhadap vankomisin.
Interaksi obat:
Penggunaan
bersama
dengan
obat-obat
anestesi
akan
26
Anti toksin tetanus (ATT) yang berasal dari kuda biasanya dengan
dosis 50.000-100.000 IU diberikan dengan cara dari jumlah tersebut IV
dan yang -nya IM, sebelum disuntikkan diperlukan pemeriksaan skin tes
(tes sensitivitas) oleh karena sering menimbulkan reaksi hipersensitivitas
dan serum sickness syndrome. (1,3,6)
Keunggulan
ATT
lebih
murah
daripada
TIG
akan
tetapi
27
sampai
480
mg/hari
dengan
atau
tanpa
kurarisasi
28
Tetanus Sedang:
29
X.
PROGNOSIS
Penyembuhan tetanus terjadi melalui regenerasi akson terminal dan
penghancuran toksin oleh tubuh.(3) Namun, karena episode tetanus tidak berakibat
produksi antibodi penetralisasi toksin, sehingga imunisasi aktif dengan tetanus
toksoid pada penderita yang telah sembuh dari tetanus adalah suatu keharusan. (2,3,6)
Faktor yang paling mempengaruhi hasil akhir perawatan tetanus dan
merupakan
faktor
yang
paling
penting
adalah
perawatan
pendukung
30
31
XI.
KOMPLIKASI
Komplikasi pada tetanus yaang sering dijumpai: laringospasm, kekakuan
otot-otot pernafasan, terjadinya akumulasi sekresi bisa mengakibatkan pneumonia
dan atelektase, kompresi fraktur vertebrae, laserasi lidah akibat kejang, retensi urine
dan konstipasi akibat spasme spingter dan dehidrasi. Selain itu bisa terjadi gagal
ginjal dan henti jantung.(1,2,3,6)
32
XII.
PENCEGAHAN
Seorang penderita yang terkena tetanus tidak imun terhadap serangan
ulangan artinya resiko terkena tetanus lagi sama dengan orang yang tidak pernah di
imunisasi.(2,3,6) Tidak terbentuknya kekebalan pada penderita setelah penderitanya
sembuh, oleh karena toksin yang masuk ke dalam tubuh tidak sanggup untuk
merangsang pembentukkan antitoksin (karena tetanospamin sangat poten dan
toksisitasnya bisa sangat cepat, walaupun dalam konsentrasi yang minimal yang
mana hal ini tidak dalam konsentrasi yang adekuat untuk merangsang pembentukan
kekebalan).(3,6)
A. Imunisasi Aktif
Sampai pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid
merupakan satu-satunya cara dalam pencegahan terjadinya tetanus. Titer
protektif dari antibodi tetanus adalah 0,01 U/ml. (1,3) Walaupun demikian
tetanus tetap dapat terjadi pada individu yang telah diimunisasi, diperkirakan
mencapai 4 per 100 juta individu.(3) Mekanisme terjadinya kegagalan
imunisasi ini masih belum jelas.(3) Beberapa teori menyatakan bahwa beban
toksin yang melebihi kemampuan pertahanan imunisasi penderita, variabilitas
antigenik antara toksin dan toksoid serta supresi selektif dari respon imun.(3)
33
Imunisasi aktif harus dimulai pada awal masa bayi dengan vaksinasi
gabungan toksoid difteri-toksoid pertusis dan toksoid tetanus (DPT) pada usia
2, 4 dan 6 bulan, dengan booster pada usia 4-6 tahun dan pada interval 10
tahun dengan toksoid tetanus-difteri (Td).(1,2,3,6) Semua individu dewasa yang
imun secara parsial atau tidak imun sama sekali hendaknya mendapat
vaksinasi tetanus seperti halnya pasien yang sembuh dari tetanus. (3) Serial
vaksinasi untuk dewasa terdiri atas 3 dosis: dosis pertama dan kedua diberikan
dengan jarak 4-8 minggu dan dosis ketiga diberikan 6-12 bulan setelah dosis
pertama.(1,3) Dosis ulangan diberikan setiap 10 tahun. (3) Namun demikian
pemberian vaksin lebih dari 5 kali tidak diperlukan.(3)
B. Penatalaksanaan Luka
Penatalaksanaan luka yang baik:
1.
Imunisasi pasif dengan TIG 250 unit IM pada individu dengan luka
derajat sedang (luka remuk, tusuk atau luka projektil peluru; luka
terkontaminasi ludah, tanah, tinja; jejas tarikan; fraktur komplikata)
bahkan TIG 500 unit IM untuk luka kotor dan luka > dari 24 jam. (1,2,3)
Jika TIG tidak tersedia dapat diberikan ATT yang berasal dari kuda
atau sapi dengan dosis 3000-5000 U sesudah dilakukan uji
hipersensitivitas terlebih dahulu.(1,3)
2.
Tidak
Ya
34
1x DT atau DTP
Ya*
Tidak
Ya*
Ya
2x DT atau DTP
Ya*
Tidak
Ya*
Ya
Tidak#
Tidak
Tidak# #
Tidak
3x DT atau DTP
Keterangan:
= kecuali boster terakhir sudah 10 tahun yang lalu atau lebih lama lagi.
##
= kecuali boster terakhir sudah 5 tahun yang lalu atau lebih lama lagi.
non-medis.(1,3)
Imunisasi
wanita
untuk
mencegah
tetanus
neonatorum dengan dosis tunggal toksoid yang berisi 250 Lf Unit mungkin
aman diberikan pada wanita hamil trimester ketiga dan dapat memberikan
cukup antibodi transplasenta untuk melindungi bayinya sampai berumur
sekurang-kurangnya 4 bulan.(1)
35
36
Pembimbing:
dr. Tony Widiyanto Sp. A
Disusun Oleh:
Muhammad Faruk, S.Ked
02700200
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan hidayahNya serta kesempatan untuk mengerjakan Makalah Ilmu Penyakit Anak Dokter Muda
Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, RSUD dr Koesma Tuban
dengan topik: Tetanus.
Terima kasih kepada dr. Tony Widiyanto Sp.A selaku Dosen Pembimbing
dalam pembuatan makalah ini, sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya. Terima kasih atas peran serta seluruh teman-teman Fakultas Kedokteran
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya yang telah banyak membantu.
Mohon maaf sebelumnya apabila ada kesalahan-kesalahan dalam penulisan
makalah ini, sebab masih banyak kekurangan akan ilmu pengetahuan kedokteran.
Oleh karena itu apabila ada masukan atau kritikan akan sangat dihargai, sehingga
makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.
37
Terima kasih.
ii
DAFTAR ISI
Halaman Judul............................................................................................
ii
iii
I.
Pendahuluan ...................................................................................
II.
Etiologi ..........................................................................................
III.
Epidemiologi...................................................................................
IV.
Patogenesa......................................................................................
V.
Patologi...........................................................................................
VI.
Gejala Klinis...................................................................................
VII.
Diagnosa ........................................................................................
16
VIII.
17
IX.
Penatalaksanaan..............................................................................
18
X.
Prognosa ........................................................................................
28
XI.
Komplikasi......................................................................................
30
38
XII.
Pencegahan ....................................................................................
XIII.
Daftar Pustaka
31
iii
DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman. E. Richard MD: Tetanus, Nelson Ilmu Kesehatan Anak, volume 2,
Bab 193, edisi 15th, W.B.Saunders Company, Philadelphia, 1996, 1004-1007.
2. Harrison: Tetanus in: Principles of lnternal Medicine, volume 1, chapter 124,
ed. 16th, McGrawHill. Inc, New York, 2005, 840-842.
3. Sudoyo. Aru. W: Tetanus, Ilmu Penyakit Dalam, jilid 3, edisi 4, Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, Jakarta, Juni 2006,
1799-1807.
4. Sjamsuhidajat R. De Jong, Wim: Tetanus, Buku Ajar Ilmu Penyakit Bedah,
edisi 2, bab 2, EGC, Jakarta, 2004, 22-24.
5. Jawetz, Melnick, Adelberg: Clostridium Tetani, Mikrobiologi Kedokteran,
jilid 1, bab 12, edisi 1, Salemba Medika, Jakarta, 2001, 294-296.
6. www.pediatri\emedicine\Tetanus Article by Sonali Ray, MD.mht
7. www.pediatri\ePDT ANAK.htm\Tetanus.htm.
39
40