Anda di halaman 1dari 40

TETANUS

I.

PENDAHULUAN
Tetanus adalah suatu penyakit toksemia akut yang disebabkan oleh
neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani yang ditandai dengan spasme
otot yang periodik dan berat tanpa disertai gangguan kesadaran. (1,2,3,4,6,7 )
Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang
disebabkan

tetanospasmin.(1,3)

Tetanospamin

merupakan

neurotoksin

yang

diproduksi oleh Clostridium tetani.(1,2,3,4,6,7 )


Tetanus disebut juga dengan "Seven day Disease".(6) Hipocrates sudah
menggambarkan gejala peyakit tetanus pada manusia.(4) Tahun 1882 Nicolaier dan
Rosenbach menemukan bahwa penyakit ini disebabkan oleh bakteri. (4) Kemudian
tahun 1889 oleh Kitasato dan Nicolaier kuman Cl tetani dan toksinnya dapat di
isolasi.(4) Selanjutnya tahun 1890 von Behring dan Kitasato melaporkan
keberhasilan imunisasi dan netralisasi toksin dengan antiserum spesifik yang
merupakan dasar metode imunologi sebagai tindakan pencegahan dan imunisasi
tetanus.(4) Akhirnya pada tahun 1925 Ramon memperkenalkan tetanus toksoid untuk
imunisasi aktif.(4)
Spora Clostridium tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka.
(1,2,3,4,5,6,7 )

Semua jenis luka dapat terinfeksi oleh kuman tetanus, seperti luka laserasi,

luka tembak, luka tusuk, luka bakar, luka gigit oleh manusia/binatang, luka
suntikan, infeksi tali pusat (Tetanus Neonatorum) dan sebagainya. (1,2,3,4,5,6,7 )

II.

ETIOLOGI
Tetanus disebabkan oleh basil gram positif Clostridium tetani.

(1,2,3,4,5,6,7)

Beberapa tipe Cl. tetani dapat dibedakan dengan antigen flagel spesifik, yang
semuanya mempunyai antigen O (somatic) yang dapat terbungkus dan semuanya
menghasilkan neurotoxin yang sama yaitu tetanospasmin. (5) Bakteri ini terdapat
dimana-mana, dengan habitat alamnya ditanah, tetapi dapat juga diisolasi dari
kotoran binatang peliharaan (misal: kuda) dan kotoran manusia. (1,2,3,4,5,6,7 )
Clostridium tetani merupakan bakteri gram positif yang berbentuk batang,
selalu bergerak dan merupakan bakteri obligat anaerob yang menghasilkan spora.(3,5)
Spora yang dihasilkan tidak berwarna, berbentuk oval, menyerupai raket tenis atau
paha ayam.

(1,2,3,5,6)

Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun

dalam lingkungan tertentu, tahan terhadap sinar matahari dan bersifat resisten
terhadap berbagai desinfektan dan pendidihan selama 20 menit.(1,2,3,5,6) Spora bakteri
ini dihancurkan secara tidak sempurna dengan mendidihkan dalam air, tetapi dapat
dieliminasi dengan autoklav pada tekanan 1 atmosfir, pada suhu 120 C selama 15
menit. (1,2,3,5,6,)
Sel yang terinfeksi bakteri ini dengan mudah dapat diinaktivasi dan bersifat
sensitive terhadap beberapa antibiotik (metronidazol, penisilin dan lainnya). (1,2,3,6)
Bakteri ini jarang dikultur oleh karena diagnosa berdasarkan gejala klinis. (1, 2,3,6)
Sifat basil anaerob yang terkenal dikarenakan oleh karena ketidakmampuan
bakteri ini menggunakan oksigen sebagai akseptor hidrogen akhir. Kuman ini tidak
punya sitokrom dan sitokrom oksidase serta tidak dapat memecahkan hidrogen
peroksidase. Oleh karena itu bila terdapat oksigen, H2O2 cenderung tertimbun
sampai mencapai kadar toksik dalam tubuh manusia. Bakteri ini mungkin juga tidak
mempunyai superoksida dismutase sehingga memungkinkan penimbunan radikal
bebas anion superoksida yang toksik. (5)
Tidak seperti kebanyakan golongan Clostridia yang lain, Cl. Tetani bukan
organisme yang menginvasi jaringan, malahan menyebabkan penyakit melalui
pengaruh toksin tetanospasmin yang lebih sering disebut toksin tetanus. (3,4) Toksin

tetanus adalah toksin kedua yang paling beracun yang pernah ditemukan dan toksin
ini hanya diungguli kekuatannya oleh toksin botolinum, dosis letal-nya
diperkirakan 10-6 mg/kg.

(1,3)

Toksin tetanus struktur asam aminonya homolog

dengan struktur asam amino toksin botolinum. (2, 3)

III.

EPIDEMIOLOGI
Tetanus terjadi di seluruh dunia dan endemik pada 90 negara berkembang
dengan insiden yang sangat bervariasi, kejadian di seluruh dunia sekitar 1 juta
kematian pertahun.(1,2,3,6) Bentuk yang paling sering ditemukan adalah tetanus
neonatorum yang (mengakibatkan kematian 500.000 per tahun), wanita yang tidak
terimunisasi akibat infeksi Cl. Tetani pasca partus, pasca abortus atau pasca bedah,
serta pada anak yang tidak terimunisasi. (1)
Di Amerika Serikat sebagian besar kasus tetanus terjadi akibat trauma akut
seperti luka tusuk, laserasi/abrasi pada orang yang tidak di imunisasi, terimunisasi
sebagian dan orang yang sudah di imunisasi tapi tidak disuntik booster secara
periodik.(2,3,6) Sedangkan kasus tetanus neonatorum di Amerika Serikat sangat jarang
yaitu hanya 50 kasus per tahun.(2,3,6)
Hubungan antara jenis kelamin dan ras dengan resiko untuk terkena tetanus
tidak ada, akan tetapi laki-laki lebih cenderung terkena tetanus oleh karena laki-laki
di beberapa kebudayaan negara tertentu lebih sering bekerja di lahan pertanian yang
program imunisasi tetanus di negara tersebut tidak ada. (2,6)
Ada hubungan antara umur dengan resiko terkena tetanus yaitu tetanus berat
lebih sering terjadi pada neonatus dan lansia. (2,6)

IV.

PATOGENESE
Clostridium tetani masuk kedalam tubuh melalui luka.(1,2,3,4,5,6,7 ) Cl. Tetani
sendiri tidak menyebabkan inflamasi dan tempat port d entre tetap tenang tanpa ada
tanda-tanda inflamasi kecuali bila ada tanda infeksi sekunder.(2,3,6) Kuman tetanus
tetap tinggal di daerah luka dan tidak ada penyebaran kuman ke seluruh tubuh.(4)
Clostridium tetani membentuk 2 macam eksotoksin yaitu Tetanolisin dan
tetanospasmin.(3,4) Tetanolisin mampu secara lokal merusak jaringan yang masih
hidup yang mengelilingi sumber infeksi (port d entre) dan mengoptimalkan kondisi
yang memungkinkan multiplikasi bakteri (berkembangnya bakteri ini di jaringan
tubuh).(3,4) Tetanospasmin adalah metalo-exotosin tetanus yang mungkin mencakup
5% dari berat organisme ini sendiri.(3) Toksin ini merupakan polipeptida rantai
ganda dengan berat 150.000 Da, terdiri dari rantai berat (100.000 Da) dan rantai
ringan (50.000 Da) yang dihubungkan oleh suatu ikatan yang sensitif terhadap
protease dan dipecah oleh protease jaringan yang menghasilkan jembatan disulfida
yang menghubungkan 2 rantai ini.(1,2,3,6) Ujung karboksil dari rantai berat terikat
pada membran syaraf dan ujung amino memungkinkan masuknya toksin ini ke
dalam sel syaraf.(3) Rantai ringan bekerja pada presinaps untuk mencegah pelepasan
neurotransmitter dari neuron yang dipengaruhi. (1,2,3,4, 6,7)
Toksin ini mengikat motor neuron terminal syaraf perifer, masuk ke axon
dan melalui transport intraneural yang berjalan retrograde mencapai badan sel
syaraf di batang otak dan medula spinalis. (1,2,3,4,6,7) Kecepatan transport toksin tetanus
pada syaraf ternyata 3,4 mm/jam.(1) Transport terjadi pertama kali pada syaraf
motorik, lalu ke syaraf sensorik dan syaraf otonom. (3) Jika toksin telah masuk ke
dalam sel syaraf, ia akan berdifusi keluar dan akan masuk ke neuron di dekatnya. (3)
Apabila interneuron inhibitori spinal terpengaruh maka gejala-gejala tetanus akan
muncul.(3,7)
Setelah internalisasi ke dalam neuron inhibitori, ikatan disulfida yang
menghubungkan rantai ringan dan rantai berat akan berkurang sehingga akan
membebaskan rantai ringan.(3) Kemudian rantai ringan tetanoplasmin yang

merupakan metallo protease zinc akan membelah sinaptobrevin pada suatu titik
tunggal sehingga mencegah pelepasan neurotransmitter.(1,2,3,6) Sinaptobrevin
merupakan protein membran yang diperlukan untuk keluarnya vesikel intraseluler
yang mengandung neurotransmitter.(1,3,6) Akibatnya neurotransmitter inhibisi yaitu
GABA dan glisin tidak dapat keluar sehingga akan terjadi eksitasi terus menerus
dan spasme otot.(1,2,3,6,7)
Jika diasumsikan kecepatan transport intraneural toksin tetanus sama pada
semua syaraf, maka syaraf yang pendek akan terkena efek toksin tetanus terlebih
dahulu daripada syaraf yang panjang.(2,3) Hal inilah yang menjelaskan urutan efek
gejala tetanus dimulai dari kepala, badan dan ekstremitas pada tetanus generalisata.
(2)

Otot rahang, wajah dan kepala sering terlihat sebagai gejala awal tetanus karena

jalur axon syarafnya lebih pendek.(2,3)


Kekakuan biasa dimulai pada tempat masuk kuman atau pada tempat otot
masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke dalam medula spinalis terjadi
kekakuan yang makin berat pada ekstremitas, otot bergaris pada dada dan perut
sehingga timbul kejang.(3,7) Bilamana toksin mencapai serebri/batang otak akan
menyebabkan kejang spontan.(3,7)
Dengan dihambatnya neurotransmitter inhibisi GABA penurunan kecepatan
aktivasi neuron pada motor neuron akan meningkat sehingga terjadi rigiditas. (2,6)
Pembatasan aktivitas refleks dari penyebaran impuls polisinaps (aktivitas
glikonergik), agonis dan antagonis mungkin akan diperkuat daripada dihambat
sehingga mengakibatkan spasme otot.(2,6) Efek inhibisi juga terjadi pada syaraf
otonom preganglion simpatis di substansia grisea medula spinalis sehingga
berakibat hiperaktivitas syaraf simpatis dan peningkatan kadar katekolamin dalam
plasma.(2,3,6)
Gangguan pada sistem syaraf otonom berpengaruh pada pernafasan,
hemodinamika, metabolisme, hormonal, saluran cerna, saluran kemih dan
neuromuskeler.(7) Spasme laryng, hipertensi, gangguan irama jantung, hiperpireksia,
hiperhidrosis dan henti jantung (pada tetanus berat) merupakan penyulit akibat

gangguan syaraf otonom yang dulu jarang dilaporkan oleh karena penderita sudah
meninggal lebih dahulu sebelum gejala ini muncul.(7) Dengan penggunaan diazepam
dosis tinggi dan pernafasan mekanik kejang dapat diatasi, namun gangguan syaraf
otonom harus dikenali dan dikelola dengan teliti.(7)
Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu: (2,3,6)
1.

Toksin di absorbsi pada ujung syaraf motorik berjalan


retrograde di bawa ke kornu anterior susunan syaraf pusat (SSP).

2.

Toksin diabsorbsi oleh sistem limfatik dan pembuluh darah,


kemudian menyebar ke ujung syaraf seluruh tubuh. Akan tetapi toksin ini
tidak dapat langsung masuk SSP oleh karena BBB menghambat masuknya
toksin ini dari darah ke SSP.

V.

PATOLOGI

Toksin tetanospamin menyebar dari saraf perifer secara ascending


bermigrasi secara sentripetal atau secara retrograde mencapai SSP. Penjalaran
terjadi di dalam axis silinder dari sarung perineural. Teori terbaru berpendapat
bahwa toksin juga menyebar secara luas melalui darah (hematogen) dan
jaringan/sistem limpe. (2,3,6)

VI.

GEJALA KLINIS

Gejala klinis yang dominan adalah kekakuan otot bergaris yang disusul
dengan kejang tonik klonik.(7) Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1
hari atau lebih lama 3 minggu atau beberapa minggu ).(7)
Ada tiga bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni: (1,2,3,6)
1. Localized tetanus (Tetanus Lokal)
2. Cephalic Tetanus
3. Generalized tetanus (Tetanus umum)
Selain itu ada lagi pembagian berupa neonatal tetanus.
Ad 1. Tetanus lokal (Localized Tetanus) (1,2,3,6)
Tetanus lokal merupakan bentuk tetanus yang amat jarang. Pada tetanus
lokal dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah tempat dimana
luka terjadi. Hal inilah yang merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot
tersebut biasanya ringan, kontraksi otot ini bisa bertahan dalam beberapa bulan
tanpa progressif dan biasanya menghilang secara bertahap.
Tetanus lokal bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam
bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Prognosis tetanus bentuk ini
umumnya baik.
Ad.2. Tetanus cephalic (1,2,3,6)
Tetanus cephalic adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi
berkisar 1 2 hari. Tetanus cephalic bisa berasal dari otitis media kronik, luka pada
daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga hidung dan
kepala.
Gejala tetanus cephalic: trismus, disfungsi 1 atau beberapa syaraf kranial
yaitu N III, IV, V, VI, VII, IX dan XII. Syaraf kranial yang paling sering terkena
adalah N VII. Kelainan yang terjadi akibat kelainan syaraf kranial ialah kelopak
mata retraksi dan penglihatan menyimpang (paralysis otot extraokuler), risus
sardonikus dan paralisis spastik otot lidah serta farings (disfagia).

Tetanus cephalic akan tetap menjadi tetanus lokal atau bisa akan
berkembang menjadi tetanus generalized. Prognosis tetanus bentuk ini buruk,
dengan angka mortalitas tinggi.
Ad.3 Tetanus generalized (1,2,3,6)
Bentuk ini yang paling banyak diketemukan (85-90% dari semua kasus
tetanus). Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai (50-75%), yang
disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot
leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain
berupa Risus Sardonicus yakni spasme otot-otot muka, opistotonus ( kekakuan otot
punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa
menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianosis asfiksia. Bisa terjadi disuria dan
retensi urine akibat spasme dari sfingter kandung kemih, kompressi fraktur dan
pendarahan di dalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi bisa
juga mencapai 40 C, hal ini lazim karena banyak energi metabolik yang dihabiskan
oleh otot-otot yang spasme.
Kejang dapat terjadi berulang-ulang dan bisa dipicu oleh stimulus yang
ringan misal suara, cahaya dan sentuhan. Paralisis spastik tetanus biasanya menjadi
lebih berat pada minggu pertama sesudah gejala awal timbul, kemudian stabil pada
minggu kedua setelah itu sedikit demi sedikit menjadi lebih baik selama 1-4
minggu.
Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan
di jumpai takikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya
berdasarkan gejala klinis.

Ad.4 Neonatal tetanus (1,2,3,6)

10

Merupakan bentuk infant daripada tetanus generalisata yang paling banyak


terjadi pada negara berkembang dan fatal bila tidak di terapi. Biasanya disebabkan
infeksi Cl. tetani, yang masuk melalui tali pusat sewaktu proses pertolongan
persalinan. Spora yang masuk di sebabkan oleh proses pertolongan persalinan yang
tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah terkontaminasi spora Cl. tetani,
maupun penggunaan obat-obatan untuk tali pusat yang telah terkontaminasi.
Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak
steril, merupakan faktor yang utama dalam terjadinya neonatal tetanus.
Tetanus bentuk ini khas tampak dalam 3-10 hari pasca persalinan dengan
gejala sukar atau tidak mau minum susu disertai lapar dan menangis, iritabilitas,
rigiditas, fasial grimace (mulut mecucu) serta spasme bertambah buruk bila
disentuh. Tetanus neonatorum terjadi pada anak yang dilahirkan dari ibu yang tidak
di imunisasi, imunisasi yang tidak adekuat dan terutama perawatan bekas potongan
tali pusat yang tidak steril. Prognosis tetanus neonatorum buruk, dengan angka
mortalitas 70-90%.
A. Karakteristik dari tetanus: (1,2,3,6)
Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7
hari.
Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekwensinya.
Setelah 2 minggu kejang mulai hilang, tapi kekakuan otot masih bertahan
lama.
Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dan
leher. Kemudian timbul kesukaran membuka mulut (trismus).
Trismus ialah kekakuan otot-otot mengunyah (masseter) sehingga sukar
membuka mulut. Pada neonatus ini menyebabkan mulut mecucu seperti
mulut ikan dan bayi tak mau menetek. Untuk menilai kemajuan kesembuhan
secara klinik, lebar bukaan mulut diukur tiap hari.

11

Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk dan opistotonus.


Opistotonus adalah kekakuan otot-otot yang menunjang tubuh : otot
punggung, otot leher, trunk muscles dsb. Kekakuan yang sangat berat dapat
menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.
Risus sardonicus ialah spasme otot mimik dengan gambaran alis tertarik ke
atas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah serta bibir tertekan kuat.
Gambaran umum yang khas berupa otot dinding perut kaku sehingga
dinding perut seperti papan dan opistotonus, tungkai ekstensi dan lengan
kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran penderita tetap baik. Bila
kekakuan makin berat akan timbul kejang-kejang umum, mula-mula hanya
terjadi setelah dirangsang misalnya dicubit, digerakkan dengan kasar, sinar
yang kuat dsb. Lambat laun masa jeda kejang makin pendek sehingga
anak jatuh dalam status convulsi.
Pada tetanus yang berat akan terjadi:
-

Gangguan pernafasan akibat kejang yang terus menerus atau oleh karena
kekakuan otot larynx yang bila berat menimbulkan anoxia dan kematian.

Pengaruh toksin pada saraf otonom menyebabkan gangguan sirkulasi


(akibat gangguan irama jantung atau kelainan pembuluh darah), dapat
pula menyebabkan suhu badan yang tinggi atau berkeringat banyak.

Kekakuan otot sphincter dan otot polos lain : retensi urinae, retensi alvi,
spasme larinx dsb.

Patah tulang panjang dan fraktur kompresi tulang belakang.

12

B. Anamnesa
Anamnesa yang teliti dan terarah selain membantu menjelaskan gejala
klinik yang kita hadapi juga mempunyai arti diagnostik dan prognostik.
Pada tetanus neonatorum hal-hal yang dapat membantu :
1. Siapa penolong persalinan: tenaga medis/paramedis atau non medis/dukun
bayi, dan telah dilatih atau belum. Ini akan membantu membedakan
persalinan yang bersih / higienik atau tidak.
2. Alat apa yang dipakai untuk memotong talipusat
3. Ramuan/bobok/jamu apa yang dibubuhkan pada tindakan perawatan
potongan tali pusat.
4. Apakah ibu sudah diimunisasi tetanus toksid sebelum atau selama
kehamilannya.
5. Mulai kapan bayi tak dapat menetek (incubation period)
6. Berapa lama selang antar waktu antara gejala kejang yang pertama dengan
bayi tak bisa menetek (period of onset)
Pada anak perlu tambahan keterangan:
1. Apakah ada luka tusuk, luka dengan nanah atau gigitan binatang.
2. Apakah sudah pernah imunisasi DT atau TT dan kapan yang terakhir.
3. Selang waktu antara timbulnya gejala klinik pertama (trismus atau spasme
lokal) dengan kejang yang pertama (period of onset)

13

C. Derajat Keparahan
Terdapat beberapa sistem pembagian derajat keparahan tetanus yaitu
Philips, Dakkar, Udwadia, Ablett dan derajat Surabaya yang dilaporkan. (3,4,6,7)
1. Klasifikasi beratnya tetanus oleh Ablett:(3)

Derajat I (Ringan): Trismus ringan sampai sedang, spastisitas


generalisata, tanpa gangguan pernafasan, tanpa spasme, sedikit
disfagia atau tanpa disfagia.

Derajat II (Sedang): Trismus sedang, rigiditas yang tampak jelas,


spasme singkat ringan sampai sedang, gangguan pernafasan sedang
dengan pernafasan lebih dari 30x/menit, disfagia ringan.

Derajar III (Berat): Trismus berat, spastisitas generalisata, spasme


refleks berkepanjangan, Frekuensi nafas > 40x/menit, serangan apnea,
disfagia berat dan takikardi > 120x/menit.

Derajat IV (Sangat berat): sama dengan derajat III dan disertai


gangguan otonom berat melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi
berat dan takikardi yang terjadi berselingan dengan hipotensi dan
bradikardi, salah satunya dapat menetap.

2. Klasifikasi beratnya tetanus oleh Philips


Di dasarkan pada 4 tolak ukur, yaitu masa inkubasi, porte dentre,
status imunologi dan faktor yang memberatkan.(4)
Tabel 6.1 Derajat Keparahan Berdasarkan Kriteria Philips (4)
Masa inkubasi

Tolak ukur
Kurang dari 48 jam

Nilai
5

2-5 hari

6-10 hari

11-14 hari

14

Porte dentre

Imunisasi

Faktor yang memberatkan

Lebih dari 14 hari


Internal/umbilikal

1
5

Leher/kepala/dinding tubuh

Ekstremitas proksimal

Ekstremitas distal

Tidak diketahui
Tidak ada

1
10

Mungkin ada/ibu mendapat

Lebih 10 tahun yang lalu

Kurang dari 10 tahun

Proteksi lengkap
Penyakit atau trauma yang

0
10

membahayakan jiwa.
Keadaan yang tidak langsung

membahayakan jiwa.
Keadaan

yang

tidak

membahayakan jiwa.
Trauma atau penyakit ringan

Derajat American Society of

Anesthesiologist**
** Sistem penilaian status fisik penderita untuk menentukan resiko penyulit.
Berdasarkan jumlah angka yang diperoleh, derajat keparahan penyakit
dapat dibagi menjadi tetanus ringan (angka < 9), tetanus sedang (angka 9-16)
dan tetanus berat (angka > 16). Tetanus ringan dapat sembuh sendiri tanpa
pengobatan, tetanus sedang dapat sembuh dengan pengobatan baku dan
tetanus berat memerlukan perawatan khusus yang intensif.

15

3. Rasio skala derajat keparahan tetanus dan prognosis berdasar eMedicine: (6)

Periode inkubasi < 7 hari.

Periode of onset < 48 jam.

Luka didapatkan dari luka bakar, luka operasi, komplikasi patah tulang
atau aborsi septik.

Kecanduan narkotik.

Tetanus Generalisata.

Demam > 104 F (> 40 C).

Takikardi > 120 x/menit pada penderita dewasa (pada neonatus > 150
x/menit).

Tiap-tiap poin diatas mendapatkan nilai 1, kemudian hasilnya dijumlahkan,


Bila skor total:

Skor 0-1 Ringan, dengan angka mortalitas < 10%.

Skor 2-3 Sedang, dengan angka mortalitas 10-20%.

Skor 4 Berat, dengan angka mortalitas 20-40%.

Skor 5-6 Sangat berat, dengan angka mortalitas > 50%.

4. Derajat penyakit Tetanus kriteria Surabaya (7)


Perubahan derajat berat penyakit dapat terjadi sangat cepat, sehingga
seringkali memerlukan perubahan dosis antikonvulsan yang sesuai dengan
perjalanan klinis penderita. Digunakan kriteria derajat berat keparahan
penyakit tetanus Surabaya yang lebih sederhana dibanding cara penilaian
Ablett, Skor Phillips, Skor Dakkar atau modifikasi Patel dan Joag. Penelitian
Rizal menunjukkan adanya kesetaraan kuat antara kriteria Surabaya dan
kriteria Ablett. Penelitian klinis yang menitikberatkan pada perbedaan jenis

16

kejang dapat dilakukan oleh paramedis sehingga perubahan dosis dapat


dilakukan lebih cepat dan tepat.
Derajat I (Tetanus Ringan) :
Trismus dengan lebar antar gigi 2 cm.
Kekakuan umum.
Kejang (-).
Gangguan respirasi (-).
Derajat II (Tetanus Sedang) :
Trismus dengan lebar gigi < dari 1 cm.
Kekakuan umum makin jelas.
Kejang Rangsang (+), tapi kejang spontan (-).
Derajat IIIa (Tetanus berat) :

Trismus berat dengan kedua baris gigi rapat.

Otot sangat spastik, timbul kejang spontan.

Takipnea, Takikardi.

Laringeal spasm.

Derajat IIIb (Tetanus dengan gangguan syaraf otonom) :


Gangguan otonom berat.
Hipertensi berat dan takikardi, atau
Hipotensi dan bradikardia.
Hipertensi berat atau Hipotensi berat.

17

VII.

DIAGNOSA
Diagnosa tetanus mutlak berdasar pemeriksaan fisik, berupa: (1,2,3,6,7)
1.

Anamnesa: Anamnesa terarah untuk diagnostik dan prognostik,


misalnya partus non steril; penderita neonatus dengan usia kurang dari 2
minggu yang datang dengan gejala trismus, otot kaku dan kesadaran baik;
status imunisasi tetanus; masa inkubasi; periode of onset dan adanya riwayat
luka yang mendahului (walau riwayat luka adakalanya sudah penderita
lupakan).

2.

Gejala klinis: Gejala klinik sangat jelas sehingga diagnosa mudah


ditegakkan.

3.

Pemeriksaan lab: Tidak ada pemeriksaan penunjang yang dapat


membantu dalam mendiagnosa tetanus.

Lab rutin biasanya normal, leukositosis dapat terjadi oleh


karena infeksi sekunder atau akibat stress dari spasme tetanus.

EEG dan Elektromiogram tidak menunjukkan pola yang khas


pada penyakit tetanus.

Kultur bakteri: Cl. Tetani seringkali tidak dapat diisolasi dari


luka penderita tetanus dan Cl. tetani bisa dikultur pada luka orang
yang tidak terkena penyakit tetanus.

CSS normal walaupun tekanan CSS dapat meningkat oleh


karena kontraksi otot.

Enzim otot pada serum mungkin meningkat misal SGOT,


creatin kinase, aldolase dan myoglobinuria.

18

VIII.

DIAGNOSIS BANDlNG
Untuk mendiagnosa banding dari tetanus, tidak akan sukar sekali oleh
karena bisa dilihat dari pemeriksaan fisik, laboratorium tes (dimana cairan
serebrospinal normal dan pemeriksaan darah rutin normal atau sedikit meninggi,
sedangkan SGOT, CPK dan serum aldolase sedikit meninggi karena kekakuan otototot tubuh), serta riwayat imunisasi, kekakuan otot-otot tubuh, trismus, risus
sardonicus dan kesadaran penderita yang tetap normal. (1,2,3,6,7)
1. Rabies: Hidrofobia, disfagia yang mencolok, kejang klonik lebih dominan,
pleositosis CSS, ada riwayat gigitan binatang, orofaringeal spasme ada dan
trismus tidak ada.
2. Keracunan Strichnine (racun tikus): Trismus jarang ada, spasme otot
menyeluruh disertai relaksasi komplit antar spasme.
3. Hipokalsemia: Trismus tidak ada.
4. Meningoencephalitis: Penderita demam, trismus tidak ada, kesadaran
terganggu, CSS abnormal.
5. Polio: Trismus tidak ada, paralisis tipe flaccid dan CSS abnormal.
6. Lesi orofaring (abses parafaring, abses retrofaring dan abses gigi): Trismus
ada, rigiditas seluruh tubuh atau spasme tidak ada.
7. Status epileptikus: Ada riwayat epilepsi dan kesadaran penderita terganggu.

19

IX.

PENATALAKSANAAN
A. TERAPI DASAR
Tujuan terapi ini berupa: (1,2,3,6)
1.

Mengeliminasi kuman tetani untuk mencegah pelepasan toksin lebih


lanjut.

2.

Menetralisir toksin yang tidak terikat sistem syaraf tubuh dengan


antitoksin.

3.

Efek toksin yang terlanjur terikat di sistem syaraf di minimalisasi dengan


antikonvulsi.

4.

Memberikan perawatan pendukung (terapi suportif).

1. Mengeliminasi sumber infeksi


Jika ada luka maka hendaknya di debridemen untuk menghilangkan spora
dan kondisi anaerob yang menguntungkan bagi Cl. tetani. Eliminasi sumber
infeksi dengan cara membersihkan luka, irigasi luka, eksisi jaringan
nekrotik, membuang benda asing dalam luka serta kompres dengan H 202, hal
ini dilakukan 1 -2 jam setelah ATS dan pemberian Antibiotika. (1,2,3,4,6,7)
Terapi antibiotik diberikan hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif
yang berperan sebagai sumber toksin, bukan untuk toksin yang
dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika
spektrum luas dapat dilakukan. (1,2,3,4,6,7)
Metronidazol (6,8)

20

Obat pilihan pertama pada tetanus karena aman, bisa penetrasi pada luka
dan abses serta tidak merangsang SSP (tak punya efek antagonis terhadap
GABA

seperti

Penisilin).

Pada

penelitian

yang

membandingkan

metronidazole dengan penisilin menunjukkan angka harapan hidup yang


lebih tinggi dibandingkan penisilin oleh karena metronidazol tidak
menunjukkan aktivitas antagonis terhadap GABA sehingga rangsangan
terhadap SSP lebih sedikit.(2,3,6,8)
Dosis: (6)
o Neonatus < 1200 gr: 7,5 mg/kg BB/48 jam IV.
o Neonatus usia < 7 hari dan > 1200 gr: 7,5-15 mg/kg BB/hari IV, dosis
terbagi.
o Neonatus usia > 7 hari dan > 1200 gr: 15-30 mg/kg BB/hari IV, dosis
terbagi.
o Anak-anak: 30 mg/kg BB/hari IV, dosis terbagi tiap 6 jam, dosis
maximal tidak lebih dari 4 gr/hari.
o Dewasa: 500 mg tiap 6 jam atau 1 gr tiap 12 jam.
Kontraindikasi:
Alergi terhadap metronidazol dan ibu hamil trimester I.
Interaksi Obat:
Meningkatnya efek samping dari obat golongan antikoagulan
warfarin,

lithium

dan

fenitoin.

Cimetidine

akan

meningkatkan efek samping metronidazole. Reaksi seperti


disulfiram akan terjadi bila mana metronidazol diminum
bersama dengan alkohol.
Efek samping:
Diare atau konstipasi, anoreksia, rasa logam di lidah,
leukopenia dan ruam kulit.

21

Penicilin G(6,8)
Bersifat Bakteriosidal, oleh karena berikatan pada Protein pengikat penisilin
(PBPs) yang merupakan transpeptidase yang berikatan silang pada
peptidoglikan pada tahap akhir pembentukan dinding sel bakteri. Pada
akhirnya menghambat pembentukan dinding sel bakteri dan mengaktivasi
enzim autolitik yang bertanggung jawab pada efek bakterisidal. Punya efek
antagonis terhadap GABA.(2,3,8)
Dosis: (6)

Anak-anak: 100.000 IU/kg BB/hari, IV/IM, dalam dosis terbagi tiap


4 jam.

Dewasa: 4 juta IU/tiap 4 jam IV. Dosis maksimal tidak lebih 24 juta
IU/hari

Kontraindikasi: Alergi golongan penisilin.


Interaksi Obat:
Probenesid meningkatkan efek dari penisilin; bila digunakan
bersama dengan tetrasiklin akan menurunkan efek dari
penisilin; mempunyai efek sinergisme dengan golongan
antibiotik

aminoglikosida;

menurunkan

eliminasi

obat

methotrexate; menurunkan efek kontrasepsi PO.


Efek samping:
Gangguan GIT, reaksi alergi, urtikaria, demam dan ruam kulit.
Eritromisin(6,8)
Antibiotik yang bersifat bakteristatik yang menghambat sintesis protein
bakteri dengan berikatan pada Ribosom bakteri subunit 50s. Bukan
antibiotik pilihan pada penyakit tetanus, tapi bisa dipakai sebagai alternatif
bila obat pilihan pertama tidak bisa digunakan oleh karena alasan tertentu.
(6,8)

22

Dosis: (6)

Anak-anak: 15-50 mg/kg BB/hari, IV, dalam dosis terbagi, diberi


tiap 6 jam. Dosis maksimal 4 gr/hari.

Dewasa: 15-50 mg/kg BB/hari, IV, dalam dosis terbagi, diberi tiap 6
jam, dosis maksimal 4 gr/hari.

Kontraindikasi:
Alergi terhadap eritromisin, gangguan hepar, pemakaian
bersama astemizole, terfenadine atau cisapride.
Interaksi obat:
Menurunkan klirens metabolisme obat astemizole, terfenadine,
alfentanil, carbamazepine, cisapride, ciclosporine, fenitoin,
midazolam, simvastatin, teofiline dan triazolam. Eritromisin
meningkatkan efek dari warfarin.
Efek samping:
Gangguan GIT, hepatitis kolestasis akut.
Clindamisin(6,8)
Bersifat bakteriostat dengan cara berikatan pada ribosom subunit 50s. Bukan
obat pilihan pada tetanus, tapi sebagai obat alternatif bilamana obat pilihan
pertama tidak bisa digunakan. (6,8)
Dosis: (6)

Neonatus < 7 hari: 10-15 mg/kg BB/hari, IV dalam dosis terbagi tiap
8-12 jam.

Neonatus > 7 hari: 10-20 mg/kg BB/hari, IV dalam dosis terbagi tiap
6-12 jam.

Anak-anak: 25-40 mg/kg BB/hari IV, dalam dosis terbagi, tiap 6-8
jam. Dosis maksimal 4800 mg/hari.

23

Dewasa: 300-900 mg/kali, tiap 6-12 jam. Dosis maksimal 4800


mg/hari.

Kontraindikasi:
Alergi terhadap klindamisin, enteritis regional, kolitis
ulserative dan gangguan hati. Bisa menyebabkan kolitis yang
disebabkan antibiotik ini.
Interaksi obat:
Meningkatkan durasi efek blokade neuromuskuler obat
tubokurarine

dan

mengantagonis

efek

pankuronium.
klindamisin,

Eritromisin
obat

akan

antidiare

memperlambat absorbsi klindamisin.


Efek samping:
Diare, mual, ruam kulit, gangguan fungsi hati dan
neutropenia.
Tetrasiklin(6,8)
Bersifat bakteriostatik dengan cara menghambat sintesis protein. Bukan obat
pilihan pada tetanus, tapi sebagai obat alternatif bilamana obat pilihan
pertama tidak bisa digunakan. (6,8)
Dosis: (6)

Anak-anak:
Usia < 8 tahun kontraindikasi.
Usia > 8 tahun 25-50 mg/kg BB/hari PO, dosis terbagi tiap 6 jam.
Dosis maksimal < 3 gr/hari

Dewasa: 1-2 gr/hari PO dalam dosis terbagi.

Kontraindikasi:
Alergi terhadap tetrasiklin, gangguan hepar yang berat, anak
usia < 8 tahun.

24

Interaksi obat:
Absorbsi tetrasiklin menurun bila diberikan bersama
antasida, susu, vitamin yang mengandung mineral (Ca2+, Al3+,
Mg2+, Fe2+), bismuth subsalisilat; mengurangi efek dari obat
kontrasepsi; meningkatkan efek hipoprotrombinemia dari
antikoagulan.
Efek samping:
Mual, muntah, diare, fotosensitivitas terhadap sinar matahari.
Bisa menyebabkan kelainan gigi pada anak-anak usia < 8
tahun bila diberikan lama dan hal ini juga bisa terjadi bila di
berikan pada ibu hamil. Sindrom Fanconi bisa terjadi pada
orang yang menggunakan tetrasiklin yang sudah kadaluarsa.
Vancomisin(6,8)
Bersifat bakteriosidal dengan cara menghambat sintesis dinding sel dan
sintesis RNA bakteri. Bukan obat pilihan pada tetanus, tapi sebagai obat
alternatif bilamana obat pilihan pertama tidak bisa digunakan. (6,8)
Dosis: (6)

Neonatus < 7 hari dan BB < 1200 gr: 15 mg/Kg BB/hari IV.

Neonatus < 7 hari dan BB 1200-2000 gr: 10-15 mg/Kg BB/12 jam
IV.

Neonatus < 7 hari dan BB > 2000 gr: 10-15 mg/Kg BB/8-12 jam IV.

Neonatus > 7 hari dan BB < 1200 gr: 15 mg/Kg BB/hari IV.

Neonatus > 7 hari dan BB 1200-2000 gr: 10-15 mg/Kg BB/8-12 jam
IV

Neonatus > 7 hari dan BB > 2000 gr: 15-20 mg/Kg BB/8 jam IV.

Anak-anak: 10 mg/Kg BB/6 jam IV, dosis maksimal 1 gr/kali.

25

Dewasa: Dosis awal 1 gr/12 jam IV, dosis rumatan tergantung fungsi
ginjal.

Kontraindikasi:
Alergi terhadap vankomisin.
Interaksi obat:
Penggunaan

bersama

dengan

obat-obat

anestesi

akan

menyebabkan eritema, reaksi anafilaksis; bila digunakan


bersama dengan aminoglikosida akan meningkatkan resiko
nefrotoksik bila dibandingkan penggunaan aminoglikosida
saja.
Efek samping:
Flebitis pada tempat injeksi; rasa dingin dan demam, ototoksik
dan nefrotoksik.
2. Netralisasi toksin (antitoksin)
Antitoksin menurunkan mortalitas dengan menetralisasi toksin yang
beredar di sirkulasi dan toksin di sekitar luka yang belum berikatan dengan
sel syaraf, walaupun toksin yang telah melekat pada sel syaraf tidak
terpengaruh dengan pemberian antitoksin.(2,3,6) Oleh karenanya antitoxin
harus diberikan sesegera mungkin untuk menetralisasi toksin sebelum
sampai SSP.(1,2,3,6)
Dosis optimal Human Tetanus Immunoglobulin (TIG) belum
ditentukan, dosis sekali injeksi IM 500 IU sama efektifnya dengan dosis
yang lebih tinggi, tapi dosis setinggi 3000-6000 IU juga dianjurkan untuk
pasien dewasa maupun anak-anak.(1,2,3,6) Dosis TIG tambahan tidak
diperlukan oleh karena waktu paruhnya yang panjang. (3) Pemberian TIG
secara injeksi diinfiltrasikan ke dalam luka sekarang tidak perlu, oleh karena
manfaatnya tidak jelas.(1,3)

26

Anti toksin tetanus (ATT) yang berasal dari kuda biasanya dengan
dosis 50.000-100.000 IU diberikan dengan cara dari jumlah tersebut IV
dan yang -nya IM, sebelum disuntikkan diperlukan pemeriksaan skin tes
(tes sensitivitas) oleh karena sering menimbulkan reaksi hipersensitivitas
dan serum sickness syndrome. (1,3,6)
Keunggulan

ATT

lebih

murah

daripada

TIG

akan

tetapi

kekurangannya waktu paruhnya lebih pendek dan pemberiannya sering


menimbulkan reaksi hipersensitivitas.(3)
Dilakukan imunisasi TT/DT/DTP bersamaan dengan pemberian antitoksin
tetapi pada sisi yang berbeda dan juga dengan alat suntik yang berbeda.(1,6,7)
3. Antikonvulsi
Oleh karena semua pasien tetanus datang dengan spasme otot terutama
laringospasme yang paling berbahaya, maupun kejang menyeluruh maka
diperlukan obat relaksan otot atau antikonvulsi untuk meminimalisir efek
toksin tetanus yang sudah terlanjur terikat pada sel syaraf. (2,3) Obat yang
ideal adalah obat yang dapat menekan aktivitas spasmodik tanpa
menyebabkan sedasi berlebihan dan hipoventilasi.(3)
Diazepam yang merupakan golongan benzodiazepine (suatu agonis
GABA) yang paling banyak digunakan untuk mengendalikan spasme pada
tetanus.(3) Lorazepam yang mempunyai masa kerja lebih panjang dan
midazolam yang mempunyai waktu paruh pendek adalah obat alternatif. (2,3)
Barbiturat dan klorpromazine bisa dipergunakan sebagai obat pilihan kedua.
(2,3)

Diazepam dapat diberikan melalui rute yang bervariasi, murah dan

dipergunakan secara luas akan tetapi hasil metabolisme diazepam di hepar


yaitu oksazepam dan dismetildiazepam dapat terakumulasi di tubuh
sehingga mengakibatkan koma berkepanjangan.(3) Midazolam dapat
digunakan dengan akumulasi metabolit yang lebih sedikit daripada
diazepam.(3)

27

Dosis diazepam pada neonatus bolus 5 mg IV dan dosis rumatan


maksimal neonatus 120 mg/hari IV.(7) Dosis diazepam untuk anak-anak
bolus 10 mg IV dan dosis rumatan maksimal 240 mg/hari IV.(7) Bila dengan
dosis 240 mg/hari masih kejang (tetanus sangat berat), maka harus
dilanjutkan dengan bantuan ventilasi mekanik dan dosis diazepam dapat
ditingkatkan

sampai

480

mg/hari

dengan

atau

tanpa

kurarisasi

(pankuronium, vekuronium, rekuronium, pipekuronium dan rokuronium). (3,7)


Diazepam sebaiknya diberikan dengan syringe pump, jangan dicampur
dalam botol cairan infus.(7) Bila tidak ada syringe pump maka diazepam
diberikan bolus tiap 2 jam (12 x/hari).(7)
Dosis midazolam untuk anak-anak 0,05-0,2 mg/Kg BB IV kemudian terapi
rumatan 0,06 mg/Kg BB/jam IV.(6) Dapat dipertimbangkan penggunaan
antikonvulsan lain seperti magnesium sulfat (MgSO4), bilamana ada
gangguan syaraf otonom.(7) Pada pemberian MgSO4 membutuhkan
pemantauan neurologis (refleks patella) dan fungsi pernafasan serta
pengukuran kadar magnesium serum tiap hari.(3)
B. TERAPI SUPORTIF (1,2,3,6,7)
Penatalaksanaan respirasi: pemberian oksigen, bebaskan jalan nafas
dengan intubasi atau trakeostomi jika diperlukan.
Hindarkan aspirasi dengan menghisap lendir perlahan-lahan dan sering
memindahkan posisi penderita untuk mencegah pneumonia.
Perawatan dengan stimulasi minimal di ruang isolasi untuk menghindari
rangsangan dari luar seperti suara, cahaya dan rangsangan sentuhan oleh
karena dapat menyebabkan kejang.
Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan
penderita membuka mulut dan menelan. Nutrisi bisa diberikan secara
enteral maupun perenteral.

28

Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.


Pemantauan/monitoring kejang dan tanda penyulit.

Ringkasan Penatalaksanaan tetanus: (7)


Tetanus Ringan:

Diberikan pengobatan dasar tetanus

Tetanus Sedang:

Terapi dasar tetanus.

Perhatian khusus pada keadaan jalan nafas.

Pemberian cairan perenteral, bila perlu nutrisi perenteral.

Tetanus Berat/Sangat Berat:

Terapi sama dengan tetanus sedang, ditambah:

Perawatan dilakukan di ICU, diperlukan intubasi atau tracheostomi.

Balans cairan di monitor secara ketat.

Apabila ada spasme sangat hebat perlu ventilasi mekanik dengan


pankuronium bromida 0,02 mg/Kg BB intravena, kemudian diikuti 0,05
mg/Kg BB/kali yang diberikan tiap 2-3 jam.

Apabila terjadi aktivitas simpatis yang berlebih akibat gangguan otonom,


berikan -bloker seperti propanolol atau antagonis adrenergik campuran bloker dan -bloker seperti labetalol.

29

X.

PROGNOSIS
Penyembuhan tetanus terjadi melalui regenerasi akson terminal dan
penghancuran toksin oleh tubuh.(3) Namun, karena episode tetanus tidak berakibat
produksi antibodi penetralisasi toksin, sehingga imunisasi aktif dengan tetanus
toksoid pada penderita yang telah sembuh dari tetanus adalah suatu keharusan. (2,3,6)
Faktor yang paling mempengaruhi hasil akhir perawatan tetanus dan
merupakan

faktor

yang

paling

penting

adalah

perawatan

pendukung

(penatalaksanaan oksigenasi).(1,2,3) Mortalitas paling tinggi pada anak yang amat


muda dan pada lansia, masa inkubasi yang pendek, onset kejang yang cepat serta
keterlambatan untuk terapi.(1,2,3,6) Prognosis paling baik dihubungkan dengan dengan
masa inkubasi yang lama, tanpa demam dan tetanus terlokalisasi.(1,2,3,6)
Prognosa tetanus neonatal jelek bila: (1,2,3,6,7)
1. Umur bayi kurang dari 7 hari
2. Masa inkubasi 7 hari atau kurang
3. Periode timbulnya gejala kurang dari 18 jam
4. Dijumpai muscular spasm.
Case Fatality Rate (CFR) tetanus berkisar 44-55% dengan obstruksi jalan
nafas, gagal nafas dan gagal ginjal sebagai penyebab yang utama, sedangkan CFR
tetanus neonatorum dari 10% dengan perawatan intensif di ICU, sampai > 60%

30

tanpa perawatan intensif di ICU.(2,3,6) Tetanus sefalik mempunyai prognosa paling


jelek karena kesukaran bernafas dan pemberian makanan.(3)
Perawatan intensif modern hendaknya dapat mencegah kematian akibat
gagal nafas akut tetapi pada kasus tetanus berat gangguan otonom menjadi lebih
tampak.(2,3) Sebelum adanya ICU 80% kematian terjadi akibat gagal nafas akut yang
terjadi pada awal. Trujillo dkk melaporkan bahwa 40% kematian setelah adanya
perawatan intensif adalah henti jantung mendadak dan 15% akibat komplikasi
respirasi (pneumonia berkaitan dengan ventilator dan peneumonia aspirasi).(2,3)
Tetanus yang berat umumnya membutuhkan perawatan di ICU sampai 3-5 minggu,
pasien mungkin membutuhkan bantuan ventilasi jangka panjang.(3) Tonus yang
meningkat dan spasme minor dapat terjadi berbulan-bulan, namun pemulihan dapat
sempurna, kembali ke fungsi normalnya. (3) Pada beberapa penelitian pada pasien
yang selamat dari tetanus sering dijumpai menetapnya problem fisik dan psikologis.
(3)

31

XI.

KOMPLIKASI
Komplikasi pada tetanus yaang sering dijumpai: laringospasm, kekakuan
otot-otot pernafasan, terjadinya akumulasi sekresi bisa mengakibatkan pneumonia
dan atelektase, kompresi fraktur vertebrae, laserasi lidah akibat kejang, retensi urine
dan konstipasi akibat spasme spingter dan dehidrasi. Selain itu bisa terjadi gagal
ginjal dan henti jantung.(1,2,3,6)

32

XII.

PENCEGAHAN
Seorang penderita yang terkena tetanus tidak imun terhadap serangan
ulangan artinya resiko terkena tetanus lagi sama dengan orang yang tidak pernah di
imunisasi.(2,3,6) Tidak terbentuknya kekebalan pada penderita setelah penderitanya
sembuh, oleh karena toksin yang masuk ke dalam tubuh tidak sanggup untuk
merangsang pembentukkan antitoksin (karena tetanospamin sangat poten dan
toksisitasnya bisa sangat cepat, walaupun dalam konsentrasi yang minimal yang
mana hal ini tidak dalam konsentrasi yang adekuat untuk merangsang pembentukan
kekebalan).(3,6)
A. Imunisasi Aktif
Sampai pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid
merupakan satu-satunya cara dalam pencegahan terjadinya tetanus. Titer
protektif dari antibodi tetanus adalah 0,01 U/ml. (1,3) Walaupun demikian
tetanus tetap dapat terjadi pada individu yang telah diimunisasi, diperkirakan
mencapai 4 per 100 juta individu.(3) Mekanisme terjadinya kegagalan
imunisasi ini masih belum jelas.(3) Beberapa teori menyatakan bahwa beban
toksin yang melebihi kemampuan pertahanan imunisasi penderita, variabilitas
antigenik antara toksin dan toksoid serta supresi selektif dari respon imun.(3)

33

Imunisasi aktif harus dimulai pada awal masa bayi dengan vaksinasi
gabungan toksoid difteri-toksoid pertusis dan toksoid tetanus (DPT) pada usia
2, 4 dan 6 bulan, dengan booster pada usia 4-6 tahun dan pada interval 10
tahun dengan toksoid tetanus-difteri (Td).(1,2,3,6) Semua individu dewasa yang
imun secara parsial atau tidak imun sama sekali hendaknya mendapat
vaksinasi tetanus seperti halnya pasien yang sembuh dari tetanus. (3) Serial
vaksinasi untuk dewasa terdiri atas 3 dosis: dosis pertama dan kedua diberikan
dengan jarak 4-8 minggu dan dosis ketiga diberikan 6-12 bulan setelah dosis
pertama.(1,3) Dosis ulangan diberikan setiap 10 tahun. (3) Namun demikian
pemberian vaksin lebih dari 5 kali tidak diperlukan.(3)
B. Penatalaksanaan Luka
Penatalaksanaan luka yang baik:
1.

Imunisasi pasif dengan TIG 250 unit IM pada individu dengan luka
derajat sedang (luka remuk, tusuk atau luka projektil peluru; luka
terkontaminasi ludah, tanah, tinja; jejas tarikan; fraktur komplikata)
bahkan TIG 500 unit IM untuk luka kotor dan luka > dari 24 jam. (1,2,3)
Jika TIG tidak tersedia dapat diberikan ATT yang berasal dari kuda
atau sapi dengan dosis 3000-5000 U sesudah dilakukan uji
hipersensitivitas terlebih dahulu.(1,3)

2.

Imunisasi aktif dengan vaksinasi, terutama Td untuk individu usia >


dari 7 tahun.(3) Toksoid tetanus dapat diberi bersama TIG atau ATT
asalkan diberikan melalui semprit yang berbeda dan tempat suntikan
yang berbeda. (1,3)

Tabel 12.1 Petunjuk Pencegahan Terhadap Tetanus Pada Luka.(1,4,6,7)


Imunisasi
Sebelumnya
Tidak ada/tidak pasti

Luka Bersih, Kecil


Toksoid
ATS
Ya*

Tidak

Luka Kotor, Luka > 24 jam


Toksoid
ATS
Ya*

Ya

34

1x DT atau DTP

Ya*

Tidak

Ya*

Ya

2x DT atau DTP

Ya*

Tidak

Ya*

Ya

Tidak#

Tidak

Tidak# #

Tidak

3x DT atau DTP
Keterangan:

* = seri imunisasinya harus dilengkapi.


#

= kecuali boster terakhir sudah 10 tahun yang lalu atau lebih lama lagi.

##

= kecuali boster terakhir sudah 5 tahun yang lalu atau lebih lama lagi.

Cara pemberiannya melalui IM ATT 3000-5000 U atau TIG 250-500 U


DT = vaksinasi Difteri-Tetanus.
DPT= vaksinasi Difteri, Pertusis dan Tetanus
C. Pencegahan Tetanus Neonatorum.
Penatalaksanaan yang dimaksud mencakup vaksinasi maternal bahkan
selama hamil, meningkatkan proporsi kelahiran di RS dan pelatihan penolong
kelahiran

non-medis.(1,3)

Imunisasi

wanita

untuk

mencegah

tetanus

neonatorum dengan dosis tunggal toksoid yang berisi 250 Lf Unit mungkin
aman diberikan pada wanita hamil trimester ketiga dan dapat memberikan
cukup antibodi transplasenta untuk melindungi bayinya sampai berumur
sekurang-kurangnya 4 bulan.(1)

35

DIAGNOSA DAN PENATALAKSANAAN


TETANUS

36

Pembimbing:
dr. Tony Widiyanto Sp. A
Disusun Oleh:
Muhammad Faruk, S.Ked

02700200

SMF ILMU PENYAKIT ANAK RSUD R. KOESMA TUBAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
TUBAN, 12 DESEMBER 2007

KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan hidayahNya serta kesempatan untuk mengerjakan Makalah Ilmu Penyakit Anak Dokter Muda
Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, RSUD dr Koesma Tuban
dengan topik: Tetanus.
Terima kasih kepada dr. Tony Widiyanto Sp.A selaku Dosen Pembimbing
dalam pembuatan makalah ini, sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya. Terima kasih atas peran serta seluruh teman-teman Fakultas Kedokteran
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya yang telah banyak membantu.
Mohon maaf sebelumnya apabila ada kesalahan-kesalahan dalam penulisan
makalah ini, sebab masih banyak kekurangan akan ilmu pengetahuan kedokteran.
Oleh karena itu apabila ada masukan atau kritikan akan sangat dihargai, sehingga
makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.

37

Terima kasih.

ii

DAFTAR ISI
Halaman Judul............................................................................................

Kata Pengantar ...........................................................................................

ii

Daftar Isi ....................................................................................................

iii

I.

Pendahuluan ...................................................................................

II.

Etiologi ..........................................................................................

III.

Epidemiologi...................................................................................

IV.

Patogenesa......................................................................................

V.

Patologi...........................................................................................

VI.

Gejala Klinis...................................................................................

VII.

Diagnosa ........................................................................................

16

VIII.

Diagnosa Banding ..........................................................................

17

IX.

Penatalaksanaan..............................................................................

18

X.

Prognosa ........................................................................................

28

XI.

Komplikasi......................................................................................

30

38

XII.

Pencegahan ....................................................................................

XIII.

Daftar Pustaka

31

iii
DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman. E. Richard MD: Tetanus, Nelson Ilmu Kesehatan Anak, volume 2,
Bab 193, edisi 15th, W.B.Saunders Company, Philadelphia, 1996, 1004-1007.
2. Harrison: Tetanus in: Principles of lnternal Medicine, volume 1, chapter 124,
ed. 16th, McGrawHill. Inc, New York, 2005, 840-842.
3. Sudoyo. Aru. W: Tetanus, Ilmu Penyakit Dalam, jilid 3, edisi 4, Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, Jakarta, Juni 2006,
1799-1807.
4. Sjamsuhidajat R. De Jong, Wim: Tetanus, Buku Ajar Ilmu Penyakit Bedah,
edisi 2, bab 2, EGC, Jakarta, 2004, 22-24.
5. Jawetz, Melnick, Adelberg: Clostridium Tetani, Mikrobiologi Kedokteran,
jilid 1, bab 12, edisi 1, Salemba Medika, Jakarta, 2001, 294-296.
6. www.pediatri\emedicine\Tetanus Article by Sonali Ray, MD.mht
7. www.pediatri\ePDT ANAK.htm\Tetanus.htm.

39

8. Katzung, Bertram G: Antibiotika, Farmakologi dasar dan klinik, buku 3, edisi


8, bab 43, 44, 50 dan bab 53, Salemba Medika, Jakarta, 2004, halaman 3-14,
25-26, 41-45, 47-48, 54, 163 dan 243-245.
1982, 626-636.

40

Anda mungkin juga menyukai