Polimerisasi stereospesifik
Salah satu perkembangan yang menarik dalam polimerisasi kimia adalah studi dan
pengolahan dari polimer isotaktik. Polimer isotaktik diperoleh dari sebuah monomer dengan
jenis katalis baru. Produknya adalah polimer dengan komposisi kimia dan konfigurasi yang
sama, yang diperoleh dengan radikal atau katalis ion namun memiliki kristalinitas tinggi, massa
jenis tinggi, titik lebur tinggi, dan meningkatkan sifat mekaniknya.
Contohnya adalah polimer vinil dalam larutan. Polimer ini hanya memiliki satu hidrogen
yang dapat diganti pada setiap monomernya dan strukturnya seperti ini ....-CH2-CHR-CH2CHRCH2-CHR-...., dimana R adalah gugus fenil (polistiren) atau sebuah gugus metil
(poliisopropilen) atau subtituent lain.
Rantai ini digulung pada suatu tempat karena perputaran bebas atau parsial dari subtituen
yaitu ikatan karbon, dan struktur stereokimia dari rantai tidak dipengaruhi dari letak gugus H
dan R terhadap atom karbon. Polimer ini solid dan dapat diasumsikan memiliki pola kristal,
rantai harus menyesuaikan bentuknya. Strutur molekul rantainya adalah sebagai berikut.
Polimer nonisotactic (atactic) memiliki gugus R pada bagian atas atau bawah rantai dalam
susunan yang acak. Mereka tidak dapat menyesuaikan bentuknya dan tidak memiliki pola
kristal. Sementara isotaktik polimer memiliki struktur seperti di bawah ini.
Karena susunannya lebih simetris, molekulnya tersusun rapi seperti kristal dan polimernya
memiliki struktur kristal tinggi. Terdapat jenis lain selain isotaktik dan ataktik yaitu
sindiotaktik, yang dimana spesifitasnya berada di tengah-tengah. Strukturnya adalah sebagai
berikut.
Aspek aneh pada jenis reaksi baru ini terjadi pada polietilen, dimana tidak dapat menjadi
stereospesifik karena tidak memiliki subtituen pada atom C, juga meningkatnya kristalinitas,
tingginya massa jenis dan titik lebur, dan sifat fisikanya lebih baik ketika disiapkan dengan
sistem inisiasi untuk polimer isotaktiknya. Hal ini juga ditunjukkan dengan bentuk linier dari
polietilen, dimana polietilen biasa memiliki rantai yang pendek sehingga menghambat
kristalisasi.
METODE POLIMERISASI
A. Metode Polikondensasi
Reaktan direaksikan bersama pada vessel dan dicampur dengan katalis. polikondensasi
dimulai dengan pemanasan dan reaksinya dilanjutkan pada suhu terkontrol hingga derajat
polimerisasi tercapai. Pada reaksi ini pembentukan gel harus dihindari. Kesetimbangan
stokiometri dari reaktan perlu diperhatikan untuk mencapai reaksi yang diinginkan. Tahap
akhirnya adalah untuk menghilangkan produk samping yang terbentuk selama polikondensasi,
berikut skema reaksinya.
Polikondensasi dapat terjadi pada medium larutan atau pelarut, atau reaksinya dapat
berlangsung ketika cair atau lelehan. Pada industri, reaksi monomer polifungsional pada
molekul tridimensional dari resin termoseting adalah putusnya sebuah tahapan dimana polimer
masih dapat larut dan bergabung. Mereka kemudian dibentuk ulang pada fabrikator yang akan
mengubahnya menjadi produk akhir termosetting.
B. Metode Polimerisasi Adisi
Reaksi polimerisasi adisi bersifat eksotermis, sehingga panas reaksinya perlu dikontrol dan
kondisi berkatalis. Terdapat dua kondisi polimerisasi adisi yaitu :
1. Fase homogen
Monomernya berupa gas, cair atau padat (bulk) atau monomer yang larut sempurna
pada pelarut (larutan).
2. Fase heterogen
Monomernya diemulsifikasi pada medium larutan (emulsi) atau tersuspensi di dalam
larutan atau medium lainnya (suspensi).
Prinsip reaksi pada fase heterogen berbeda dengan fase homogen. Pada fase homogen lebih
ditekankan pada dimana tahapan reaksi terjadi, sementara pada heterogen lebih ditekankan
pada bagaimana tahapan reaksi terjadi. Tempat pertama pada fase larutan yang
mengandung agen pengemulsi aktif, katalis, dan sedikit pengontrol pH. Tempat kedua, pada
fase monomer dimana berisi katalis dan bahan lain.
Tahapan mula-mula dari polimerisasi adalah monomoer ada dalam bentuk yang mudah
terdispersi dengan sebuah lapisan sabun ionisasi, atau terlarut di miscelles atau dilarutkan
pada fase larutan dalam jumlah yang sedikit. Katalis dilarutkan pada fase larutan dan
molekulnya terdapat pada zona larutan miscelles antara dua lapisan hidrokarbon. Jika katalis
terlarut sebagian pada hidrokarbon, sisanya terdapat pada droplet dan lapisan hidrokarbonik
dari miscelles.
Ketika polimerisasi dimulai, pusat aktif akan terbentuk di medium larutan dimana akan
berpindah ke miscelles. Kemudian propagasi dimulai di miscelles dan berlanjut sampai rantai
tumbuh sesuai ukuran tertentu dimana micelle dapat menampung. Rantai tumbuh berkumpul
sampai terlihat seperti partikel polimer di permukaan sabun. Propagasi dan terminasi terjadi
di dalam partikel monomer-polimer sampai semua monomer dari reservoir digunakan
semua.
Inisiasi terjadi di dalam micelles oleh radikal yang terbentuk dalam fase larutan, ketika
partikel monomer-polimer yang mengalami reaksi propagasi dan terminasi. Ketika partikel
baru terserap pada permukaan sabun sehingga menambah ukurannya secara konstan, jumlah
dari micelles sabun berkurang, dan reaksinya akan menghilang. Saat inisiasi berhenti,
kemudian dilanjutkan ke proses propagasi dan terminasi.
Pada dunia industri, polimerisasi emulsi dilakukan pada kettle yang memiliki pengaduk
dan dilengkapi dengan kondenser refluks. Jika salah satu monomer adalah gas, polimerisasi
dilakukan pada sistem tertutup sehingga dapat mendukung tekanan untuk menaikkan
suhunya. Agar suhunya tetap konstan dapat ditambahkan monomer emulsi dingin.
Waktu polimerisasi dipengaruhi oleh suhu dan derajat konversi yang diinginkan.
Polimerisasi emulsi dapat dilakukan pada suhu rendah dan waktu reaksi yang lebih cepat.
Caranya dengan menggunakan sistem redox yaitu sistem reduksi aktivasi.
Polimerisasi emulsi membutuhkan tambahan bahan untuk mensukseskan operasinya.
Bahan tersebut adalah agen pengemulsi yang dapat mendispersikan partikel monomer
seperti sabun dengan rantai asam lemak yang panjang, sulfat dengan rantai alkohol panjang,
dan garam dari asam sulfonat alifatik dan aromatik, polivinil alkohol, polikrilamida, dan
poliakrilat, dan lain-lain. Selain agen pengemulsi dibutuhkan juga katalis seperti senyawa
peroksida dalam air.
Seperti penjelasan sebelumnya, hasil dapat diketahui dalam polimerisasi emulsi melalui
sistem redox. Alasannya dari penjelasan itu adalah sistem redox dapat membuktikan bahwa
laju dapat ditentukan pada tahapan inisiasi. Langkah ini dipengaruhi oleh pembentukan
radikal melalui katalis. pengontrolan suhu reaksi dan dengan tipe nonredox pada polimerisasi
emulsi berkatalis pada kisaran suhu 45-70oC.
Jenis katalis pada polimerisasi pearl yang digunakan adalah peroksida yang umumnya larut
dengan monomernya. Data energi aktivasi untuk reaksi inisiasi dan hubungan antara konsumsi
monomer dan berat molekul rata-rata dari polimer terhadap akar kuadrat dari konsentrasi katalis
ditunjukkan pada persamaan di bawah ini
Jumlah besar dari cairan mengelilingi setiap gelembung yang terhamburkan dan
menghasilkan panas reaksi. Produk yang dihasilkan memiliki berat molekul tinggi dan
sempitnya kurva daripada pada polimerisasi bulk, hal ini diinikasikan dari sedikitnya
pemanasan lokal di dalam polimerisasi suspensi.
Ukuran dari pearl dapat diketahui melalui kesetimbangan kondisi dari laju dan efisiensi
pengadukan; jenis dan kadar dari stabilizer yang digunakan; laju dari konversinya; rasio dari
monomer pada medium suspensi; dan pH reaksinya. Berikut tabel perbandingan antara
polimerisasi bulk, emulsi, dan suspensi.
Tabel di atas dapat disimpulkan bahwa polimerisasi emulsi mengkonversi lebih cepat dan
berat molekul yang dihasilkan lebi besar daripada bulk atau suspensi. Meskipun polimerisasi
suspensi kalah dalam koncversi dan BM namun produk yang dihasilkan lebih murni.
Dibandingkan dengan polimerisasi bulk, produk polimerisasi suspensi akan menghasilkan
kemurnian yang seimbang dan berat molekul yang sedikit besar serta memudahkan kontrol
suhunya.