Anda di halaman 1dari 21

TOKSOPLASMOSIS SEREBRI

PENDAHULUAN
Toksoplasmosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh parasit obligat intraseluler
Toxoplasma gondii. Infeksi ini dapat ditemukan di seluruh dunia tanpa predileksi khusus
pada wilayah tertentu. Pada individu dengan sistem imun yang baik, infeksi primer oleh
parasit ini biasanya bersifat asimtomatik.1 Di Amerika Serikat, 15-29,2% penduduk diketahui
memiliki seropositif terhadap T. gondii, bahkan di Eropa dan negara-negara tropis angka
seropositif mencapai 90% dari populasi.2 Gejala biasanya baru dijumpai pada orang-orang
yang mengalami imunodefisiensi, di mana T. gondii dapat mengalami reaktivasi yang
akhirnya menimbulkan manifestasi klinis.1
Toksoplasma serebri merupakan infeksi opportunistik yang berkaitan dengan sistem
saraf pusat yang paling sering ditemukan pada individu dengan Acquired Immunodefficiency
Syndrome (AIDS). Angka kejadian toksoplasma serebri pada pasien AIDS mencapai 3-40% di
seluruh dunia.3 Di Amerika Serikat, angka kejadian berkisar antara 10-20%. Toksoplasmosis
serebri pada pasien imunodefisiensi hampir selalu berkaitan dengan prognosis yang lebih
buruk. Studi yang sama menyebutkan 23% kematian pada pasien AIDS disebabkan oleh
toksoplasmosis serebri.2
Sejak 2 dekade terakhir setelah ditemukannya AIDS, jumlah penderita AIDS secara
dramatis meningkat tajam. Sampai dengan tahun 1997, sekitar 30 juta orang terinfeksi HIV,
dim ana kasus baru untuk tahun 1997 sebesar 6 juta. Sembilan puluh persen individu yang
terinfeksi ini tinggal di negara berkembang4, termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri,
jumlah penderita terinfeksi HIV tahun 2002 diperkirakan sebanyak 90.000-130.000 orang.
Sebagian besar tersangka HIV ini merupakan pengguna obat narkotika suntik (Intravenous
drug users ).5
Toksoplasmosis serebri adalah infeksi yang dapat ditangani melalui pemberian terapi
antiparasit yang tepat, namun keberadaannya dapat membahayakan jiwa dan menjadi
faktor komorbid yang serius pada pasien yang mengalami imunodefisiensi. 2 Oleh karena itu
keadaan ini penting untuk diketahui, terutama oleh neurologis, agar diagnosis danterapi
dapat diberikan secara cepat dan tepat sehingga menghasilkan keluaran yang lebih baik.

TOKSOPLASMA GONDII
Toxoplasmosis disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii. Parasit ini termasuk
protozoa subfilum apicomplexa, kelas sporozoa, sub kelas coccidia. Toxoplasma gondii
mula-mula ditemukan pada binatang pengerat / rodentia
di Afrika Utara yaitu
6
Ctenodactylus gundi pada tahun 1909 oleh Nicolle dan Manceaux.
Toxoplasma gondii adalah parasit intraseluler pada monocyte dan sel-sel endothelial
pada berbagai organ tubuh. Toxoplasma ini biasanya berbentuk bulat atau oval, jarang
ditemukan dalam darah perifer, tetapi sering ditemukan dalam jumlah besar pada organorgan tubuh seperti pada jaringan hati, limpa, sumsum tulang, otak, ginjal, urat daging,
1

jantung dan jaringan otot lainnya. Toxoplasma gondii hanya dapat hidup dalam biakan
jaringan atau telur, dan dapat dilihat melalui pewarnaan Giemsa. Parasit ini tumbuh optimal
pada suhu 37-39C.6
Terdapat 2 macam bentuk dari toxoplasma yaitu bentuk intraseluler seperti bulan
sabit yang langsing, dengan ujung yang satu runcing sedang lainnya tumpul dan bentuk
ekstraseluler bulat atau lonjong. Ukuran parasit micron 4-6 mikron, dengan inti terletak di
ujung yang tumpul.7
Dalam siklus hidupnya, Toxoplasma gondii terdiri atas 3 bentuk, yaitu: 7
a. Trofozoit (takizoit dan bradizoit)
Takizoit berbentuk oval dengan ukuran 3-7 um, dapat menginvasi semua sel
mamalia yang memiliki inti sel. Dapat ditemukan dalam jaringan selama masa akut
dari infeksi. Takizoit menginfeksi sel host intermediatnya, bermultiplikasi dalam
sitoplasma dari vakuola parasit, kemudian melisiskan sel tersebut, dan kemudian
menyebar menginvasi sel-sel sekelilingnya. Mendatangkan respon inflamasi dan
respon imun humoral dan selular.Takizoit mati akibat pengeringan, pembekuan,
dan asam lambung. Takizoit dapat ditemukan pada semua organ, kebanyakan pada
otak, otot skeletal, dan otot jantung. Infeksi intraseluler dapat ditemukan pada sel
mamalia, kecuali sel eritrosit. Multiplikasi intraseluler berlanjut sampai sel host lisis
atau jaringan kista dibentuk. Pada manusia yang imunokompeten, host takizoit
dieliminasi, dan kista jaringan terbentuk. Pada pasien imunokompromais, replikasi
takizoit menyebabkan terbentuknya nekrosis fokal.
b. Kista
Kista jaringan berisi beberapa ribu bradizoit dan akan tetap ada seumur hidup
hostnya. Kista sering ditemukan pada otak, otot skeletal, otot jantung/miokardium,
namun kista ini dapat pula ditemukan pada berbagai jaringan. Kista ini akan mati
pada suhu > 61C selama 4 menit atau dibekukan pada suhu < -20C dalam waktu
minimal 24 jam. Infeksi menyebar bila memakan daging yang mengandung kista
jaringan yang tidak dimakan dengan baik karena relatif tahan terhadap asam
lambung. Kista jaringan yang ruptur kemudian akan melepaskan bradizoitnya.
Kemudian bradizoit akan bertransformasi menjadi takizoit di epitel usus halus,
kemudian menyebar secara hematogen atau limfogen.
c. Ookista
Siklus seksual dari Toxoplasma gondii ditandai dengan pembentukan ookista.
Pembentukan ini berlangsung dalam host definitifnya, yaitu kucing. Ookista hanya
ditemukan pada kotoran kucing. Ookista yang dikeluarkan melalui feses kucing
masih dalam bentuk nonsporulasi, setelah 2-3 hari dalam temperatur tanah yang
optimal, kista akan bersporulasi dan menjadi bentuk yang infeksius bagi mamalia
dan host intermediatnya. Pada kondisi yang hangat dan lembab, ookista dapat
bertahan hingga 1 tahun. Pada hospes perantara tidak dibentuk stadium seksual
tetapi dibentuk stadium istirahat yaitu kista. Bila kucing makan tikus yang

mengandung kista maka terbentuk kembali stadium seksual di dalam usus halus
kucing tersebut.

Gambar 1. Siklus hidup Toxoplasma gondii pada hospes definitif

(diambil dari Frenkel JK. Pathophysiology of Toxoplasmosis. Am J Trop Med Hyg. 1975; 24:
439-43.)

Infeksi T. gondii pada manusia dapat terjadi melalui berbagai cara yaitu yang
pertama toksoplasmosis kongenital, transmisi parasit ini kepada janin terjadi intra uterine
melalui plasenta bila ibunya mendapat infeksi primer pada saat kehamilan. Bentuk infeksi
yang kedua adalah toksoplasmosis yang didapat, infeksi ini dapat terjadi bila seseorang
3

mengkonsumsi daging mentah atau kurang matang yang mengandung kista parasit T.
gondii atau melalui tertelannya ookista yang dikeluarkan oleh kucing penderita melalui
fesesnya. Kemungkinan yang ketiga adalah infeksi di laboratorium yaitu melalui jarum suntik
dan alat laboratorium lain yang terkontaminasi oleh parasit T. gondii. Kemungkinan
keempat adalah melalui transplantasi organ dari donor penderita toksoplasmosis laten,
penyebaran terakhir ini mulai sering ditemukan bersamaan dengan maraknya transplantasi
organ akhir-akhir ini.8
Setelah terjadi infeksi T. gondii ke dalam tubuh akan terjadi proses yang terdiri dari
tiga tahap yaitu parasitemia, pembentukan antibodi, dan yang terakhir adalah fase kronik di
mana terjadi pembentukan kista jaringan. Toxoplasma gondii dapat menyerang semua sel
yang berinti sehingga dapat menyerang semua organ dan jaringan tubuh hospes kecuali sel
darah merah. Bila terjadi invasi oleh parasit ini yang biasanya di usus , maka parasit ini akan
memasuki sel hospes ataupun difagositosis.8
Sebagian parasit yang selamat dari proses fagositosis akan memasuki sel,
berkembang biak yang selanjutnya akan menyebabkan sel hospes menjadi pecah dan
parasit akan keluar serta menyerang sel - sel lain. Dengan adanya parasit ini di dalam sel
makrofag atau sel limfosit maka penyebaran secara hematogen dan limfogen ke seluruh
bagian tubuh menjadi lebih mudah terjadi. Parasitemia ini dapat berlangsung selama
beberapa minggu. Pembentukan antibodi merupakan tahap kedua setelah terjadinya
infeksi. Tahap ketiga rnerupakan fase kronik, terbentuk kista-kista yang menyebar di
jaringan otot dan syaraf, yang sifatnya menetap tanpa menimbulkan peradangan lokal.8

Gambar 2. Siklus hidup Toxoplasma gondii dan manifestasinya dalam tubuh manusia

(diambil dari Kamerkar S, Davis PH. Toxoplasma on The Brain: Understanding Host-Pathogen
Interactions in Chronic CNS Infections. Journal of Parasitology Research. Hindawi Publishing
Corp. 2012. 1-11)

TOKSOPLASMOSIS SEREBRI
DEFINISI
Toxoplasmosis adalah suatu penyakit zoonosis yang biasanya ditularkan dari hewan
baik hewan peliharaan misalnya anjing, kucing, burung ataupun dari hewan ternak
misalnya babi, sapi, kambing, domba dan sebagainya. 8 Toxoplasma gondii sebagai parasit
penyebab toksoplasmosis adalah patogen obligat intraseluler yang dijumpai secara
5

kosmopolitan di seluruh dunia. Infeksi T. gondii biasanya bersifat laten dan tidak selalu
menyebabkan keadaan patologis pada hospesnya, penderita seringkali tidak menyadari
bahwa dirinya terinfeksi sebab tidak mengalami tanda - tanda dan gejala - gejala yang jelas,
terutama pada penderita yang mempunyai imunitas tubuh yang baik. Toxoplasmosis akan
memberikan kelainan yang jelas pada penderita yang mengalami penurunan imunitas. 2
Pasien dengan HIV memiliki risiko terkena toksoplasmosis akibat reaktivasi T. gondii,
reaktivasi ini lebih sering terjadi bila CD4 kurang dari 100 sel/L atau CD4 kurang dari 200
sel/L bila disertai infeksi penyerta yang lain. 9 Infeksi oportunistik yang umum terjadi pada
pasien HIV/AIDS dan hubungannya dengan jumlah CD4 digambarkan secara lebih rinci pada
tabel di bawah ini.
Tabel 1. Infeksi oportunistik yang umum ditemukan pada pasien HIV/AIDS dan korelasinya
dengan kadar CD4

(disadur dari Tan IL, Smith BR, Geldern GvG, Mateen FJ, McArthur JC. HIV-associated
Opportunistic Infections of The CNS. Lancet Neurol. 2012; 11: 605-17.)

Toksoplasmosis serebri muncul pada kurang lebih 10% pasien AIDS yang tidak
diobati.2 Reaktivasi T. gondii laten pada pasien HIV/AIDS biasanya bermanifestasi sebagai
toksoplasmosis serebri. Penggunaan Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART)
menurunkan insidensi toksoplasmosis serebri dari 3,9/100 penderita menjadi 1/100
penderita per tahunnya.9 Keadaan ini dapat mengancam jiwa bila tidak didiagnosis dan
diterapi dengan cepat. Toksoplasmosis serebri merupakan indikator prognosis yang buruk
pada pasien AIDS, 23% kematian pada asien AIDS disebabkan oleh toksoplasmosis serebri. 10
PATOGENESIS TOKSOPLASMOSIS SEREBRI
Infeksi parasit T. gondii pada manusia dapat disebabkan melalui jalur fekal-oral atau
transplasental. Konsumsi daging mentah atau daging yang mengandung kista yang dimasak
dengan kurang sempurna, air atau sayuran mentah yang mengandung ookista dari feses
kucing merupakan sumber primer infeksi T. gondii melalui jalur oral. 11 Sementara infeksi
transplasental terjadi akibat kehamilan yang terjadi pada wanita yang mengalami infeksi
akut dari T. gondii.12 Risiko infeksi kongenital akibat penyebaran transplasental berkisar
antara 20-50% tergantung dari trimester terjadinya infeksi. Infeksi yang terjadi pada
trimester pertama berhubungan dengan keluaran yang lebih buruk dan dapat berakhir
dengan abortus spontan atau kecacatan yang berat. Toksoplasmosis kongenital perlu
dicurigai pada bayi yang baru lahir bila ditemui gejala klasik berupa trias hidrosefalus,
kalsifikasi intrakranial, dan chorioretinitis. 12
Manusia merupakan hospes intermediat dari T. gondii, sementara kucing merupakan
hospes definitifnya. Kucing yang terinfeksi menyebarkan parasit T. gondii melalui feses yang
mengandung ookista. Bila tertelan oleh manusia, ookista akan menjadi takizoit yang
kemudian akan mengalami replikasi. Takizoit kemudian akan melakukan penetrasi ke inti sel
dan membentuk vakuola. Hal ini akan menyebabkan kematian sel, di mana kematian sel
akan menginisiasi respon inflamasi. Pada hospes imunokompeten, imunitas yang dimediasi
sel akan menjaga agar infeksi tersebut tidak terus berlangsung dan menjaga T. gondii berada
dalam keadaan laten pada tubuh manusia. Proses pembentukan kista berawal dari takizoit
yang ada di darah akan mengaktivasi sel T untuk menghasilkan CD154 atau disebut juga
CD40, CD154 kemudian merangsang sel dendritik dan makrofag untuk mensekresikan
interleukin (IL-12). Sel T akan menghasilkan interferon gamma (IFN-) sebagai respon dari
adanya interleukin di dalam darah. Interferon gamma inilah yang kemudian berperan
penting dalam mengontrol pertumbuhan T. gondii dalam tubuh manusia melalui stimulasi
makrofag dan sel-sel nonfagositik lainnya. Pada individu yang imunokompeten, respon
tersebut akan terjadi dengan baik dan membuat takizoit berubah menjadi bradizoit yang
secara morfologi serupa dengan takizoit namun memiliki kecepatan replikasi yang lebih
rendah. Bradizoit kemudian berubah menjadi kista yang akan tersimpan di otak, otot
jantung, atau otot-otot skeletal dalam tubuh manusia. Kista akan tersimpan seumur hidup
dan terjadilah fase infeksi kronik dari T. gondii. 13
Individu dengan HIV/AIDS umumnya terinfeksi oleh HIV tipe 1. Infeksi limfosit CD4
oleh HIV-1 dimediasi oleh perlekatan virus kepermukaan sel reseptor CD4, yang
7

menyebabkan kematian sel dengan meningkatkan tingkat apoptosis pada sel yang
terinfeksi. Selain menyerang sistem kekebalan tubuh, infeksi HIV juga berdampak pada
sistem saraf dan dapat mengakibatkan kelainan struktural dan fungsional pada neuron dan
sel-sel pendukungnya (glial).14
Pada manusia dengan imunitas tubuh yang rendah, terutama pada pasien HIV, dapat
terjadi reaktivasi dari infeksi T. gondii yang awalnya bersifat laten. Mekanisme bagaimana
HIV menginduksi infeksi oportunistik seperti toxoplasmosis sangat kompleks. Ini meliputi
deplesi dari sel T CD4, kegagalan produksi IL-2 dan IFN-gamma, kegagalan aktivitas limfosit T
sitokin. Sel-sel dari pasien yang terinfeksi HIV menunjukkan penurunan produksi IL-12 dan
IFN-gamma secara in vitro. Hal ini memainkan peranan yang penting dari perkembangan
toxoplasmosis dihubungkan dengan infeksi HIV. Sebagaimana diketahui, pada individu
pengidap HIV terjadi gangguan CD4 T cells, di mana pada penderita HIV jumlahnya akan
berkurang secara signifikan. Sebagai akibatnya, CD154 akan berkurang dan hal tersebut
berkorelasi dengan berkurangnya interleukin serta interferon. Berkurangnya respon hospes
terhadap T. gondii inilah yang memungkinkan terjadinya reaktivasi infeksi yang pada
awalnya bersifat laten. Kista jaringan menjadi ruptur dan melepaskan tropozoit yang
bersifat invasif (takizoit). Takizoit akan menghancurkan sel dan menyebabkan fokus
nekrosis.13 Infeksi T. gondii pada manusia secara skematis tergambar pada gambar di bawah
ini.
Gambar 3. Siklus hidup Toxoplasma gondii pada manusia

(diambil dari Frenkel JK. Pathophysiology of Toxoplasmosis. Am J Trop Med Hyg. 1975; 24:
439-43.)

Tabel 2. Respon sel-sel pada susunan saraf pusat terhadap infeksi Toxoplasma gondii

(diambil dari Kamerkar S, Davis PH. Toxoplasma on The Brain: Understanding Host-Pathogen
Interactions in Chronic CNS Infections. Journal of Parasitology Research. Hindawi Publishing
Corp. 2012. 1-11.)

DIAGNOSIS
Diagnosis toksoplasmosis serebri dibuat dengan melihat gejala klinik dan
pemeriksaan penunjang. Toksoplasmosis serebri ditandai dengan onset yang subakut
hingga kronik. Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa defisit neurologis fokal (69%),
nyeri kepala (55%), bingung / kacau (52%), dan kejang (29%). Pada suatu studi didapatkan
adanya tanda ensefalitis global dengan perubahan status mental pada 75% kasus, adanya
defisit neurologis pada 70% kasus, nyeri kepala pada 50% kasus, demam pada 45% kasus,
dan kejang pada 30% kasus.2
Defisit neurologis yang biasanya terjadi adalah kelemahan motorik dan gangguan
bicara. Bisa juga terdapat gangguan nervus kranialis, gangguan penglihatan, gangguan
sensorik, disfungsi serebelum, meningismus, movement disorders dan manifestasi
neuropsikiatri. Gejala defisit fokal dari toksoplasmosis biasanya cepat sekali berkembang
dan perburukan kondisi dapat terjadi dengan cepat. 3
9

Gejala konstitusional seperti demam, sakit kepala berat yang tidak memberikan
respon optimal terhadap pengobatan mungkin ditemukan, namun tidak semua pasien
menunjukkan gejala-gejala umum infeksi tersebut. Tanda dan gejala toksoplasmosis serebri
dikaitkan dengan tingkat kekerapannya digambarkan pada tabel di bawah ini. 3
Tabel 3. Tanda dan gejala yang umum ditemukan pada toksoplasmosis serebri

(diambil dari Porter SB, Sanbe MA. Toxoplasmosis of The Central Nervous System in The
Acquired Immunodefficiency Syndrome. N Engl J Med 1992; 327. 1643-1648.)
Dalam menegakkan diagnosis toksoplasmosis serebri diperlukan beberapa
pemeriksaan penunjang, yaitu pemeriksaan serologi, neuroimaging, PCR, dan penentuan
diagnosis definitif dengan pemeriksaan histopatologi melalui biopsi jaringan. 2
T. gondii dapat dideteksi melalui pemeriksaan serologi antibodi antitoksoplasma
(IgM dan IgG). IgM positif atau meningkat dapat diinterpretasikan sebagai adanya infeksi
yang bersifat akut. IgM biasanya menjadi negatif atau menurun kadarnya beberapa minggu
hingga beberapa bulan setelah infeksi primer. IgM biasanya negatif pada proses reaktivasi,
oleh karena itu pemeriksaan IgM biasanya tidak berguna pada kasus dugaan toksoplasmosis
serebri yang secara patogenesis diakibatkan oleh proses reaktivasi T. gondii. Namun pada
10

wanita hamil pemeriksaan IgM diperlukan, karena infeksi primer dari T. gondii dapat
menyebar secara transplasental.2 Berbeda dengan IgM, pemeriksaan IgG dilakukan untuk
mengetahui adanya infeksi T. gondii yang bersifat laten. Serum IgG mulai muncul saat infeksi
primer T. gondii terjadi, kemudian meningkat kadarnya hingga mencapat puncak pada bulan
pertama hingga kedua, setelah itu kadarnya kemudian menurun namun akan tetap psitif
dan dapat dideteksi seumur hidup.2 Penelitian menunjukkan bahwa IgG ditemukan positif
pada 100% pasien yang terbukti mengalami toksoplasmosis pada sistem saraf pusat. 4 Selain
melalui pemeriksaan IgM dan IgG, pemeriksaan serologis untuk T. gondii juga dapat
dilakukan dengan Indirect Fluorescent Antibody Test(IFA), tes aglutinasi, atau Enzyme Linked
Immunosorbent Assay (ELISA).2 Namun demikian, pemeriksaan ELISA diketahui kurang
sensitif dibandingkan pemeriksaan IgG dalam mendiagnosis toksoplasmosis serebri. 4
Pemeriksaan neuroimaging berupa CT scan kepala atau MRI kepala dengan kontras
diindikasikan pada penderita HIV dengan CD4 rendah yang memperlihatkan gejala klinis
berupa defisit neurologis fokal.2 Sebuah penelitian dilakukan pada tahun 1992 yang
melibatkan 115 individu dengan diagnosis toksoplasmosis serebri. Gambaran CT scan kepala
dengan kontras pada pasien tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar lesi bersifat
multipel, berbentuk cincin hipodens dengan penyengatan homogen pada pemeriksaan
dengan kontras, dan disertai edema vasogenik pada jaringan sekitarnya. 3 Ensefalitis
toksoplasma jarang muncul dengan lesi tunggal (27%) atau tanpa lesi (3%).3 Karakteristik
gambaran neuroimaging pada pasien toksoplasmosis serebri sesuai penelitian tersebut
terlampir pada tabel di bawah ini.

11

Tabel 4. Gambaran neuroimaging pada toksoplasmosis serebri

(diambil dari Porter SB, Sanbe MA. Toxoplasmosis of The Central Nervous System in The
Acquired Immunodefficiency Syndrome. N Engl J Med 1992; 327. 1643-1648.)
Gambaran neuroimaging post kontras mungkin akan memperlihatkan adanya nodul
kecil yang berlokasi di tepi daerah yang cincin yang menyengat kontras. Gambaran tersebut
dikenal dengan istilah eccentric target sign.15 Ditemukannya gambaran tersebut akan
semakin meningkatkan kecurigaan terhadap lesi akibat T. gondii (patognomonis dengan
spesifisitas 95%), namun hanya ditemukan pada sekitar 30% pasien sehingga sensitivitasnya
rendah (sensitivitas 25%), dan lebih sulit ditemukan pada CT scan dibandingkan MRI. 16
Eccentric target sign terdiri atas 3 zona, yaitu inti lesi yang menyengat kontras, daerah inti
ini berada di daerah perifer atau bersifat eksentrik, zona kedua adalah daerah hipointens,
dan zona terakhir adalah cincin yang menyengat kontras. Sebuah hipotesis menyebutkan
bahwa gambaran ini terjadi sebagai akibat adanya pembuluh darah yang melebar dan
berkelok-kelok sebagai respon inflamasi yang menembus sulkus dikelilingi wilayah nekrosis
dengan dinding berisi histiosit dan pembuluh darah. 16 Pada pemeriksaan MRI T1-weighted
imaging, lesi toksoplasma biasanya nampak hipointens dibandingkan dengan jaringan
sekitar. Sementara pada pemeriksaan MRI T2-weighted imaging, lesi memberikan gambaran
hiperintens.16 MRI sendiri merupakan pemeriksaan neuroimaging yang lebih disarankan
dalam kasus suspek toksoplasma serebri, karena pemeriksaan ini lebih sensitif dibandingkan

12

dengan CT scan kepala.2 Beberapa gambar di bawah ini menunjukkan lesi toksoplasmosis
serebri dilihat menggunakan beberapa pemeriksaan neuroimaging.
Gambar 4. Gambaran CT Scan kepala postkontras pada pasien toksoplasmosis serebri yang
menunjukkan lesi multipel di daerah frontal dan basal ganglia berbentuk cincin dengan
eccentric target sign dan edema luas di sekitarnya

(diambil dari Lee HJ, Chaddha SK. Cerebral Toxoplasmosis. A Radiological Case Report.
Applied Radiology 2013. 17-19)
Gambar 5. Gambaran MRI pada pasien toksoplasmosis serebri

13

Keterangan: (a) Gambaran MRI T2-weighted imaging potongan aksial menunjukkan lesi
terutama di basal ganglia kanan (lesi lebih kecil ditemukan pada basal ganglia kiri) yang
relatif iso-hipointens dibandingkan parenkim sekitar dikelilingi daerah hiperintens yang
merupakan gambaran adanya edema vasogenik. (b) Potongan aksial pada MRI T1-weighted
imaging postkontras menunjukkan lesi multipel yang menyengat kontras (diambil dari Smith
AB, Smirniotopoulos JG, Rushing EJ. Central Nervous System Infections Associated with
Human Immunodefficinecy Virus Infection: Radiologic-Pathologic Correlation. AFIP Archives.
2008. 2033-55.)

Gambar 6. Potongan koronal pada MRI T1-weighted imaging postkontras. Tanda panah
putih menunjukkan lesi eccentric nodule target sign

(diambil dari Smith AB, Smirniotopoulos JG, Rushing EJ. Central Nervous System Infections
Associated with Human Immunodefficinecy Virus Infection: Radiologic-Pathologic
Correlation. AFIP Archives. 2008. 2033-55.)

Primary CNS Lymphoma (PCL) dan toksoplasmosis serebri merupakan dua infeksi
oportunistik yang bermanifestasi sebagai lesi fokal di otak, keduanya paling sering dijumpai
pada keadaan imunodefisiensi. Sulit untuk membedakan keduanya baik dari gambaran klinis
maupun radiologis. Namun predileksi lokasi dapat membantu untuk membedakan
keduanya. Lesi akibat toksoplasmosis biasanya ditemukan pada substansia alba dari
hemisfer serebri atau substansia grisea pada daerah subkortikal seperti pada basal ganglia. 1
Selain itu pemeriksaan penunjang lain yaitu Single Photon Emission Computed Tomography
(SPECT) juga sangat membantu untuk membedakan keduanya. Pada pasien limfoma akan
ditemukan peningkatan uptake dari Thallium pada pemeriksaan SPECT. Hasil ini tidak

14

ditemukan pada kasus toksoplasmosis. Sensitivitas pemeriksaan SPECT terhadap diagnosis


PCL adalah 86%, sedangkan spesifisitasnya mencapai 100%. 2
Tabel 5. Perbandingan karakteristik gambaran neuroimaging pada lesi fokal serebral pada
pasien HIV/AIDS

(diambil dari Tan IL, Smith BR, Geldern GvG, Mateen FJ, McArthur JC. HIV-associated
Opportunistic Infections of The CNS. Lancet Neurol. 2012; 11: 605-17.)
Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah pemeriksaan penunjang lain
yang dapat menunjang diagnosis toksoplasmosis serebri. Pemeriksaan PCR bertujuan untuk
mendeteksi DNA T.gondii. PCR untuk T.gondii dapat juga positif pada cairan bronkoalveolar
dancairan vitreus atau aquos humor dari penderita toksoplasmosis yang terinfeksi HIV.
Adanya PCR yang positif pada jaringan otak tidak berarti terdapat infeksi aktif karena kista
jaringan dapat bertahan lama berada di otak setelah infeksi akut. Sensitivitas pemeriksaan
PCR untuk diagnosis toksoplasmosis serebri sebenarnya kurang baik karena kisarannya yang
terlalu lebar (11,5-100%), namun spesifisitas pemeriksaan ini sangat tinggi yaitu 96-100%.16
Diagnosis definitif toksoplasmosis serebri ditegakkan melalui pemeriksaan
histopatologi dari sediaan yang diambil saat biopsi otak. Gambaran takizoit atau kista yang
dikelilingi jaringan otak yang mengalami inflamasi yang ditemukan secara mikroskopis dapat
memberikan kepastian diagnosis bagi klinisi. Kista T. gondii akan nampak sebagai gambaran
massa solid yang mengalami inflamasi atau granuloma kistik dengan reaksi mesenkimal sel
glia.2 Toksoplasmosis serebri yang tipikal memberikan gambaran nekrotik pada parenkim
dengan predileksi tersering adalah pada corticomedullary junction, dalam hal ini ganglia
basalis.16 Walaupun diagnosis definitif hanya dapat diperoleh melalui jalan ini, namun biopsi
otak bukanlah prosedur yang rutin dilakukan karena prosedurnya yang invasif dan
memberikan banyak risiko terutama perdarahan dan infeksi. Biopsi direkomendasikan bila

15

diagnosis toksoplasmosis masih diragukan atau pasien diduga kuat mengalami


toksoplasmosis namun tidak memberikan respon setelah mendapatkan terapi. 2
Pemeriksaan cairan serebrospinal bukanlah pemeriksaan yang rutin dilakukan dalam
upaya diagnosis toksoplasmosis serebri. Hal ini berkaitan dengan risiko terjadinya herniasi
serebri, terutama apabila dalam pemeriksaan klinis ditemukan tanda tekanan tinggi
intrakranial seperti papilledema.2 Pemeriksaan ini mungkin dibutuhkan pada pasien yang
diduga kuat mengalami toksoplasmosis serebri dari riwayat imunodefisiensi dan kadar CD4,
namun diagnosis masih belum jelas dan pasien tersebut memberikan gambaran klinis
meningitis. Hasil analisis cairan serebrospinal pada toksoplasmosis serebri dapat
menunjukkan adanya pleositosis ringan dengan predominan mononuklear dan peningkatan
kadar protein, sedangkan kadar glukosa dapat bervariasi. Pada pasien terduga
toksoplasmosis serebri yang telah dilakukan lumbal pungsi untuk analisis cairan
serebrospinal, sejumlah sampel LCS sebaiknya diambil untuk dilakukan analisis genetik
melalui PCR.2
Melihat sulitnya dicapai diagnosis definitif pada kasus toksoplasma serebri, maka
dibuatlah sebuah algoritma diagnosis dan tatalaksana toksoplasmosis serebri. Dengan
mengikuti alur algoritma ini, terapi empirik toksoplasmosis serebri dapat diberikan
walaupun diagnosis definitif belum ditegakkan, sehingga diharapkan memberikan hasil
luaran yang lebih baik.17 Algoritma diagnosis dan penatalaksanaan toksoplasmosis serebri
dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

16

Gambar 7. Algoritma diagnosis dan tata laksana toksoplasmosis serebri

(diambil dari Tan IL, Smith BR, Geldern GvG, Mateen FJ, McArthur JC. HIV-associated
Opportunistic Infections of The CNS. Lancet Neurol. 2012; 11: 605-17.)

PENATALAKSANAAN
Terapi lini pertama untuk toksoplasmosis serebri adalah kombinasi pirimetamin dan
sulfadiazin. Kedua obat ini dapat melalui sawar-darah otak dengan baik walaupun tidak
ditemui inflamasi.18 Toxoplasma gondii,membutuhkan vitamin B untuk hidup. Pirimetamin
menghambat pemerolehan vitamin B oleh T. gondii sedangkan sulfadiazin akan
menghambat penggunaannya. Pirimetamin 50-100 mg perhari diberikan dengan
17

dikombinasikan dengan sulfadiazin 1-2 g tiap 6 jam. Kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin
dapat memberikan efek yang tidak diharapkan berupa penghambatan sekuensial terhadap
enzim yang membantu pembentukan asam folat. Oleh karena itu, pemberian asam folat 510 mg perhari diindikasikan untuk mencegah depresi sumsum tulang. 3
Pasien yang alergi terhadap golongan sulfa dapat diberikan kombinasi pirimetamin
50-100 mg perhari dengan klindamisin 450-600 mg tiap 6 jam. Pasien alergi terhadap sulfa
dan klindamisin dapat diganti dengan azitromycin 1200 mg/hr, atau klaritromisin 1 gram
tiap 12 jam, atau atovaquone 750 mg tiap 6 jam. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa
pada 95% pasien, perbaikan dapat terlihat melalui neuroimaging setelah 2 minggu terapi. 5
Bila setelah 14 hari terapi pasien tidak menunjukkan perbaikan, atau setelah 3 hari terapi
pasien mengalami perburukan klinis pasien perlu menjalani biopsi lesi untuk menyingkirkan
limfoma yang juga sering ditemukan pada pasien HIV/AIDS. 3
Terapi toksoplasmosis serebri selama 2 minggu awal disebut sebagai fase induksi
awal (loading), dan walaupun perbaikan klinis sudah dapat terjadi selama fase tersebut
pasien tetap memerlukan terapi induksi lanjutan dan terapi rumatan/maintenance sebagai
profilaksis sekunder terjadinya toksoplasmosis serebri. Penelitian menyebutkan bahwa 5080% pasien HIV yang tidak menerima terapi rumatan akan mengalami kekambuhan. Terapi
induksi lanjutan yang dimaksudkan adalah dengan menggunakan regimen yang sama
dengan terapi lini pertama, yaitu pirimetamin dan sulfadiazin namun dengan dosis lebih
rendah (pirimetamin 25-50 mg per hari dan sulfadiazin 500-1000mg) yang dikonsumsi
selama minimal 6 minggu.3 Kembalinya sistem imunitas pada pasien HIV dapat menjadi
penanda dapat dihentikannya terapi rumatan untuk kasus toksoplasmosis. Berdasarkan
panduan tatalaksana untuk infeksi oportunistik pada pasien HIV/AIDS, profilaksis sekunder
toksoplasmosis dapat dihentikan apabila kadar CD4 mencapai lebih dari 200 sel/L selama 6
bulan.10 Melihat panjangnya durasi terapi pada kasus toksoplasmosis serebri, kepatuhan
pasien dalam terapi toksoplasmosis serebri sangat diperlukan, 60% pasien yang
menghentikan pengobatan sebelum waktunya akan mengalami relaps. 4

18

Pemberian kortikosteroid bukan merupakan terapi yang rutin digunakan. Namun


penggunaannya perlu dipikirkan pada pasien yang terus mengalami perburukan klinis dalam
48 jam atau pasien yang secara radiologis diketahui mengalami midline shift dan
menunjukkan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Kortikosteroid yang umum
digunakan pda keadaan tersebut adalah dexamethasone dengan dosis 4mg diberikan tiap 6
jam kemudian diturunkan dosisnya secara cepat selama beberapa hari selanjutnya.
Pemberian steroid perlu dilakukan secara hati-hati pada pasien dengan infeksi HIV karena
akan memperbesar kemungkinan terjadinya infeksi oportunistik sekaligus memberikan
masking-effect dari infeksi tersebut.19

19

Oleh karena kejadian toksoplasmosis serebri berkaitan erat dengan kadar CD4, maka
terapi antiretroviral tentu diperlukan pada pasien HIV/AIDS. Namun pemberiannya pada
pasien yang telah didiagnosis dengan toksoplasmosis serebri memerlukan perhatian khusus
karena dapat memicu terjadinya IRIS. Untuk mencegah hal tersebut, terapi antiretroviral
baru dapat diberikan 2-3 minggu setelah terapi toksoplasma, bergantung dari penilaian
klinisi.19
Fakta bahwa angka mortalitas pasien HIV/AIDS dengan toksoplasmosis serebri
meningkat secara signifikan memberikan dasar yang kuat bagi para klinisi untuk
memberikan terapi empirik pada pasien dengan HIV/AIDS yang memiliki gambaran lesi
multipel terutama bersifat ring-enhancement pada CT Scan walaupun hasil serologi belum
diketahui.19

KESIMPULAN
Toksoplasma gondii merupakan parasit obligat intraseluler yang bersifat
kosmopolitan dan dapat ditemukan di seluruh dunia. Keberadaannya tidak selalu
memberikan manifestasi klinis pada manusia. Trend peningkatan angka kejadian HIV/AIDS
dan semakin berkembangnya transplantasi organ akan berpengaruh terhadap peningkatan
prevalensi toksoplasmosis serebri. Diagnosis yang akurat dan administrasi terapi empirik
toksoplasmosis serebri perlu dilakukan dengan cepat, terutama pada individu yang telah
diketahui memiliki defisit imunitas, karena toksoplasmosis serebri berkembang dan dapat
memburuk dengan cepat, namun terapi yang tepat dapat memberikan hasil yang baik.

20

DAFTAR PUSTAKA

1. Lee HJ, Chaddha SK. Cerebral Toxoplasmosis. A Radiological Case Report. Applied Radiology
2013. 17-19.
2. Jayawerdana S, Singh S, Buryzantseva O, Clarke H. Cerebral Toxoplasmosis in Adult Patients
with HIV Infection. 2008. 17-24
3. Porter SB, Sanbe MA. Toxoplasmosis of The Central Nervous System in The Acquired
Immunodefficiency Syndrome. N Engl J Med 1992; 327. 1643-1648.
4. Pedrol E, Gonzales-Clemente JM, Gatell JM, et al. Central Nervous System Toxoplasmosis in
AIDS Patients: Efficacy of An Intermittent Maintenance Therapy. AIDS. 1990; 4: 511-7
5. Misbach J. HIV-AIDS Susunan Saraf Pusat. Neurologi. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia. 2006.
6. Price S, Wilson L. Human Immunodeficiency (HIV)/Acquired Immunodeficiency Sindrome)
dalam Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC.2006
7. Frenkel JK. Pathophysiology of Toxoplasmosis. Am J Trop Med Hyg. 1975; 24: 439-43.
8. Montoya JG, Liesenfield O. Toxoplasmosis. Lancet Infect Dis. 2004; 363: 1965-76.
9. Renold C, Sugar A, Chave JP, et al. Toxoplasma Encephalitis In Patients With The Acquired
Immunodeficiency Syndrome. Medicine (Baltimore) 1992;71:22439.
10. Jones JL, Hanson DL, Dworkin MS, et al. Surveillance For AIDS-Defining Opportunistic
Illnesses. 19921997. MMWR CDC Surveill Summ 1999;48:122.
11. Mead PS, Slutsker L, Dietz V, et al. Food-Related Illness And Death In The United States.
Emerg Infect Dis. 1999;5:60725.
12. Jones J, Lopez A, Wilson M. Congenital Toxoplasmosis. Am Fam Physician. 2003;67:21318.
13. Bhopale GM. Pathogenesis Of Toxoplasmosis. Comp Immunol Microbiol Infect Dis
2003;26:21322.
14. Kamerkar S, Davis PH. Toxoplasma on The Brain: Understanding Host-Pathogen Interactions
in Chronic CNS Infections. Journal of Parasitology Research. Hindawi Publishing Corp. 2012.
1-11.
15. Kumar GG, Mahadeva A, Guruprasad AS, Kovoor JM, et al. Eccentric Target Sign in Cerebral
Toxoplasmosis Neuropathological Correlate To The Imaging Feature. J Magn Reson
Imaging. 2010; 31(6): 1469-72.
16. Smith AB, Smirniotopoulos JG, Rushing EJ. Central Nervous System Infections Associated with
Human Immunodefficiency Virus Infection: Radiologic-Pathologic Correlation. AFIP Archives.
2008. 2033-55.
17. Tan IL, Smith BR, Geldern GvG, Mateen FJ, McArthur JC. HIV-associated Opportunistic
Infections of The CNS. Lancet Neurol. 2012; 11: 605-17.
18. Infectious Diseases Society of America. Treating Opportunistic Infections Among HIV-Infected
Adults And Adolescents: Recommendations From CDC, The National Institutes Of Health, And
The HIV Medicine Association/ Infectious Diseases Society Of America. MMWR Recomm Rep
2004; 53:1112.
19. AIDS Info. Guidelines for Prevention and Treatment of Opportunistic Infections in HIVInfected Adults and Adolescents. 2013. C1-14.

21

Anda mungkin juga menyukai