Anda di halaman 1dari 2

Sastra Suku Kluet

Sampai saat ini, masih terdapat sastra lisan yang masih berkembang dan hidup di
komunitas ini. Hal ini terlihat pada saat acara pesta perkawinan yang di dalamnya
terdapat lantunan syair yang diucapkan.

Di dalam masyarakat Kluet, ada dua macam syair yang dikenal, yaitu syair mekato
dan syair mebobo. Kedua syair ini merupakan bukti dari kearifan lokal yang ada di
masyarakat Kluet. Untuk syair mebobo, pada umumnya dipakai oleh linto baro.
Linto baro merupakan sebutan pengantar pihak pengantin laki-laki. Sementara itu,
mekato adalah berbalas pantun yang dilakukan oleh pihak rombongan mempelai
perempuan dan mempelai laki-laki. Biasanya, isi dari pantun tersebut yaitu
permintaan sang mempelai pria yang akan meminang mempelai wanita tersebut.

Selain itu, syair mebono dipakai saat melepaskan anak untuk merantau maupun
ketika sunat rasul. Syair-syair tersebut masih dipergunakan sampai dengan saat ini
oleh masyarakat Kluet. Akan tetapi, kedua jenis syair ini sulit sehingga tidak
sembarang orang bisa menggunakannya. Hanya mereka yang mahir yang mampu
untuk melantunkan kedua syair ini.

Sastra lisan juga sampai ini masih berkembang di masyarakat Kluet. Hal ini ditandai
dengan berbagai peribahasa yang masih mereka gunakan sampai dengan saat ini.
Pada bahasa Kluet, peribahasa dapat disampaikan dengan beragam dialek sesuai
dengan daerahnya masing-masing. Sampai dengan saat ini, ada 3 macam dialek,
yaitu dialek Krueng Kluet, dialek Mengagamat ,serta dialek Payadapur.

Penggunaan bahasa Kluet semakin hari semakin sedikit saja. Bahasa Kluet
digunakan di sekitar Kutacane dan di wilayah timur laut Tapaktuan. Sekitar tahun
2000, diperkirakan bahwa yang menggunakan bahasa Kluet ini kurang lebih
195.000 orang.

Budaya Suku Kluet


Pada dasarnya, suku Kluet mempunyai budaya serta adat yang bermacam-macam.
Ini terjadi karena wilayah kluet ditempati oleh beberapa suku antara lain Aneuk
Jamee, suku Aceh, dan Kluet. Beragamnya suku bukan seharusnya bukan menjadi
pemecah belah persatuan, melainkan membuat kekayaan budaya dari rasa
toleransi dan saling menghargai satu sama lain.

Akan tetapi, kenyataannya berbanding terbalik. Suku yang beragam dengan budaya
yang berbeda-beda menimbulkan perpecahan di antara masyarakat Kluet. Bagi
masyarakat yang mempunyai bahasa ibu Aceh, tidak mau dimasukkan ke dalam
golongan orang Kluwat. Hal yang sama juga terjadi pada mereka yang berbahasa
ibu Kluwat tidak mau digolongkan sebagai orang Aceh. Jelas hal ini memang
berbanding terbalik dengan keadaan dulu saat semua masyarakat bersatu dalam
Chik Kilat Fajar.

Lepas dari segala perpecahan yang datang di internal tersebut, Kluet mempunyai
beragam budaya dan adat yang masih terjaga kelestariannya. Budaya dan adat
tersebut tumbuh dan bertunas dari kearifan lokal masyarakat. Secara turun
temurun, beragam adat istiadat masih dilakukan secara terus menerus. Adat
istiadat tersebut terlihat pada saat prosesi pengobatan , perkawinan, kematian ,
sunah rasul, dan masih banyak prosesi lainnya.

Bahkan karena secara umum mata pencaharian dari masyarakat Kluet sebagai
seorang petani, maka dalam turun ke sawah pun terdapat adat istiadatnya. Adat
yang berlaku hampir sama dengan adat meublang di Aceh.

Di dalam masayarakat Kluet ini juga masih percaya akan beragam mitos.
Contohnya adalah merampot, yaitu sebutan untuk makhluk halus. Meskipun begitu,
nilai-nilai agama Islam masih berdiri dengan kokoh di suku tersebut. Selain itu, sikap
saling tolong menolong dan silahturahmi masih mereka jaga sampai dengan
sekarang.

Memang sungguh ironis kebudayaan yang unik di suku ini sama sekali tidak dilirik
oleh pemerintah. Pemerintah malah terkesan mengabaikan suku pedalaman ini.
Padahal potensi besar dimiliki suku ini, hanya saja perpecahan yang membuat
kondisi antarsuku di wilayah ini terpisah

Anda mungkin juga menyukai