Anda di halaman 1dari 14

1

BAB I
PENYAJIAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama
Jenis kelamin
Umur
Alamat
Status perkawinan
Agama
Pekerjaan

: Tn. G
: Laki-laki
: 32 tahun
: Gg. Alpokat Indah
: Sudah menikah
: Islam
: Swasta

B. Anamnesis
Diambil dari: Auto dan alloanamnesis ( Istri)
Keluhan utama :
Nyeri diseluruh lapang perut
Riwayat penyakit sekarang:
Nyeri muncul mendadak ketika makan saat siang hari SMRS. Nyeri terusmenerus tak tertahankan disertai perut yang mengeras seperti papan diseluruh
lapang. Nyeri tidak berkurang walau dengan perubahan posisi. Os mengeluh
sakit didaerah ulu hati dan BAB cair 2 hari SMRS. Mual (+), muntah (+)
satu kali berisi air. Demam 1 minggu SMRS naik turun disertai pusing, nyeri
otot, nafsu makan menurun, dan perut dirasakan sering kembung. Os berobat
ke puskesmas 2 hari SMRS, panas ada turun, namun 1 hari SMRS demam
lagi dan di sertai sakit ulu hati semakin memberat
Riwayat penyakit dahulu :
Os 1 bulan yang lalu berobat ke dokter keluarga dan didiagnosa mengalami
sakit tifus. Keluarga mengaku Os memiliki riwayat tifus sudah sejak lama.
Sakit di daerah ulu hati sudah lama dan hilang timbul.
HT (-), DM (-), Asma (-)
Riwayat penyakit keluarga:
Keluhan serupa dengan pasien disangkal.

Riwayat sosial, ekonomi dan kebiasaan :


Kesehatan Os. di tanggung BPJS, Os memiliki pola makan tidak teratur dan
sering begadang.

C. STATUS GENERALIS
Keadaan umum

: Tampak sakit berat

Kesadaran

: Compos Mentis

Tanda-tanda vital

TD : 150/80 mmHg

N : 106 x/menit RR : 60x/menit

T : 39,3 C

Kepala

: Normocephali, rambut hitam, distribusi merata.

Mata

: CA +/+, sclera ikterik -/-, refleks cahaya +/+

Telinga

: Sekret -/-, liang telinga lapang/lapang, abses -/-

Hidung

: Deviasi septum(-), sekret (-), perdarahan (-)

Tenggorokan

: Faring tidak hiperemis, Tonsil T1/T1, uvula di tengah.

Leher

: KGB leher dan kelenjar tiroid tidak teraba membesar

Thorax
Paru-paru
Inspeksi : Kedua hemi thorax simetris dalam keadaan statis dan dinamis
Palpasi : Vocal fremitus sama pada paru kiri dan kanan dan benjolan (-)
Perkusi : nyeri (-)
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-

Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba pada intercostal 5 linea midclavicular sinistra,
berdiameter 2 cm.
Perkusi : Bunyi redup
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : perut kembung, sawo matang, lesi (-), benjolan (-),simetris
Auskultasi : bising usus (-)
Perkusi : bunyi hipertimpani di seluruh abdomen,pekak hepar menghilang
Palpasi : Defans Muskular (+),nyeri lepas (-), benjolan (-)
Hati : Permukaan rata, tepi tumpul, tidak ada pembesaran
Limpa : Tidak ada pembesaran, S0
Ginjal : ballotemen (-), bimanual (-)
Ekstremitas

: Akral hangat, CRT < 2 detik, edem (-/-)

D. STATUS LOKALIS
Perut tampak kembung, sikatrik bekas operasi (-), dan terdapat nyeri tekan
seluruh lapangan abdomen, perabaan hangat, defans muskular (+)
Nyeri tekan seluruh abdomen (+)
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tanggal 14 April 2016
- Darah rutin

a.
b.
c.
d.

Hb
Leukosit
Trombosit
Ht

GDS

: 138 mg/dl

Urea

: 25 mg/dl

Kreatinin

: 0,97 mg/dl

BT

: 300 menit

CT

: 800 menit

HbSAg

: NR

F. Diagnosis
Pre bedah
Pasca Bedah
G.

:8,4 g/dL
:16.000/mm3
:478.000/ mm3
:38.9%

: Kolik abdomen, DD : Dispepsia, ISK, appendisitis


: Peritonitis et causa Suspect Perforasi Tifoid

Tatalaksana
-Inj Antrain 1 amp
-Inj Metoclopramid 1 amp
-Inj Pantoprazol 1 amp
-Inj diazepam 5 mg
Tindakan :
-Laparotomi (Cito) (14 April 2016)

H.

Prognosis
- Vitam
: ad bonam
- Fungsionam : ad bonam
- Sanationam : ad bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Peritonitis
1. Definisi
Peritonitis merupakan keradangan akut maupun kronis pada peritoneum
parietale, dapat terjadi secara lokal (localized peritonitis) ataupun menyeluruh
(general peritonitis).
Peritoneum sebenarnya tahan terhadap infeksi, bila kedalam rongga
peritoneum disuntikkan kuman maka dalam waktu yang cepat akan diceranakan
oleh fagosit dan akan segera dibuang. Juga bila disuntikkan sejumlah bakteri
subkutan atau retroperitoneal maka akan terjadi pembentukan abses ataupun
selulitis.
Suatu peritonitis dapat terjadi oleh karena kontaminasi yang terus menerus
oleh kuman, kontaminasi dari kuman dengan strain yang ganas, adanya benda
asing ataupun cairan bebas seperti cairan ascites akan mengurangi daya tahan
peritoneum terhadap bakteri. Omentum juga merupakan jaringan yang penting
dalam penmgontrolan infeksi dalam rongga perut.
2. Patogenesis
Reaksi awal keradangan peritoneum adalah keluarnya eksudat fibrinosa
diikuti terbentuknya nanah dan perlekatan-perlekatan fibrinosa untuk melokalisisr

infeksi. Bila infeksi mereda, perlekata akan menghilang, tetapi bila proses akan
berlanjut terus maka pita-pita perlengketan peritoneum akan sampai ke bagian
lengkung usus ataupu organ-organ. Eksudasi cairan dapat berlebihan hingga
menyebabkan dehidrasi yang terjadi penumpiukan cairan di rongga peritoneal.
Cairan dan elektrolit tadi akan masuk kedalam lumen usus dan
menyebabkan terbentuknya sekuestrasi. Dengan disertai perlekatan-perlekatan
usus, maka dinding usus menjadi atonia. Atonia dinding usus menyebabkan
permeabilitas dinding usus terganggu mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan
sirkulasi, oliguri. Sedangkan perlekatan-perlekatan menyebabkan ileus paralitik
atau obstruksi. Ileus menyebabkan kembung, nausea, vomitting, sedangkan reaksi
inflamasi menyebabkan febris.
3. Etiologi
Peritonitis dapat digolongkan menjadi 2 kelompok berdasarkan dari
penyebabnya:
1. Peritonitis Primer (Spontaneus)
Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang langsung
dari rongga peritoneum. Banyak terjadi pada penderita :
- sirosis hepatis dengan asites
- nefrosis
- SLE
- bronkopnemonia dan TBC paru
- pyelonefritis
- benda asing dari luar
2. Peritonitis Sekunder
Disebabkan oleh infeksi akut dari organ intraperitoneal seperti :
1)

Iritasi kimiawi
Perforasi gaster, pankreas, kandung empedu, hepar, lien, kehamilan
extra tuba yang pecah.

2)

Iritasi bakteriil
Perforasi kolon, usus halus, appendix, kista ovarii pecah, ruptur buli
dan ginjal.

3. Peritonitis Tersier
Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman, dan
akibat tindakan operasi sebelumnya
4. Gejala
Pada gejala akan didapatkan berupa nyeri perut hebat (nyeri akan
menyeluruh pada seluruh lapangan abdomen bila terjadi peritonitis generalisata),
mual muntah, dan demam. Namun gejala yang timbul pada setiap orang dapat
sangat bervariasi.
Pada gejala lanjutan, maka perut menjadi kembung, terdapat tanda-tanda
ileus sampai dengan syok. Serta hipotensi.
5.Pemeriksaan Fisik
Secara sistematis maka pemeriksaan fisik abdomen akan menampakkan :
Inspeksi :
Pernapasan perut tertinggal atau tak bergerak karena rasa nyeri.
Palpasi :
Defans muskuler, nyeri tekan seluruh otot perut
Perkusi :
Nyeri ketok seluruh perut, pekak hati menghilang
Auskultasi :
Bising usus menurun sampai hilang
6. Laboratorium
Akan didapatkan leukositosis, hemokonsentrasi, metabolik asidosis,
alkalosis respiratorik.

7. Radiologi
Pada pemeriksaan BOF akan menunjukkan diustensi usus besar dan usus
halus dengan permukaan cairan. Pada diafragma foto akan ditemukan air sickle
cell dibawah diafragma kanan (30% false negatif).

B. Perforasi Ileum
Pada perforasi ileum, maka feses cair dan kuman-kuman segera
mengkontaminir peritoneum dan setelah melewati masa inkubasi (rata-rata 6-8
jam) baru menimbulkan gejala peritonitis. Tetapi ileum sebenarnya memiliki sifat
protective mechanism yaitu sifat bila suatu segemen ileum mengalami perforasi
maka akan segera segemen tadi kaan berkontraksi sedemikian rupa sehingga
menutup lubang perforasi.
Sifat ini berlangsung selama 1-4 jam tergantung keadaan umum dan juga
keadaan usus itu sendiri. Misalkan penderita dengan keadaan umum jelek (KP,
kakeksia) maka sifat ini berlangsung 1 jam atau kurang bahakan tak ada sama
sekali. Juga pada usus yang sakit misalkan pada tifus abdominalis maka
mekanisme ini juga akan berkurang. Secara ringkas disimpulkan bila ileum
mengalami perforasi maka gejala peritonitis timbul sesudah 8-12 jam kemudian.
Penderita harus diobservasi ketat selama minimal 24 jam pertama.
Peritonitis et causa perforasi typhoid, terjadi karena salmonella thypi yang
menyerang jaringan atau organ limfoid, seperti limpa yang membesar. Juga
jaringan limfoid di ileum, yaitu plak peyeri terserang dan hyperplasi (membesar).
Jaringa rapuh dan mudah rusak oleh gesekkan makanan padat yg melaluinya.
Inilah mengapa pasien tiphoid harus diberi makan lunak, agar tidak merusak
lapisan plak peyeri. Plak peyeri yang membesar akan semakin menipis dengan
gesekkan, sehingga pembuluh darah setempat ikut rusak dan timbul pendarahan,
yang kadang-kadang cukup hebat. Bila ini berlangsung terus, ada kemungkinan

dinding usus tidak tahan dan pecah (perforasi), diikuti peritonitis yang dapat
berakhir fatal.
C. DEMAM TIFOID
1. Definisi
Infeksi akut pada usus halus yang disebabkan oleh karena mikroba
Salmonella typhii.
2. Patogenesis
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi kedalam
tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terinfeksi kuman. Sebagian kuman
akan dimusnahkan dalam lambung, tetapi sebagian lagi akan lolos dan memasuki
usus serta berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (Ig A) usus
kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina
propria.
Di lamina propria maka kuman akan dimakan oleh sel sel makrofag.
Kuman yang termakan sel makrofag sebagian masih bertahan hidup dan akan
terbawa ke bagian Peyer Patch di ileum distal dan kelenjar getah bening
mesenterika. Selanjutnya melalui duktus toraksikus maka kuman ini akan dibawa
masuk kedalam sirkulasi darah (menyebabkan bakterimia asimptomatis) dan
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh dan mengakibatkan
bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda dan gejala sistemik.
Didalam hati, kuman akan masuk dalam kandung empedu, berkembang
biak dan bersama dengan cairan empedu disekresikan secara intermittent kedalam
lumen usus. Proses yang sama selanjutnya akan terulang kembali, berhubung
makrofag sudah aktif dan teraktifasi serta hipertrofi maka saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan
menyebabakan reaksi infeksi sistemik perut seperti demam, malaise, mual,
muntah, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan koagulasi.

10

Didalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi


jaringan (S. Thypi intramakrofag akan menimbulkan reski hipersensitivitas tipe
lambat, hiperplasi organ, serta nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat
terjadi akibat akumulasi sel-sel mononuklear dalam dinding usus. Proses patologi
jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan
dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya komplikasi seperti neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan
gangguan orga lainnya.
3. Manifestasi Klinik
Penegakkan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar dapat
diberika terapi yang ideal dan meninimalisir komplikasi yang akan terjadi.
Anamnesa, pemeriksaan fisik, serta ditambah dengan pemeriksaan penunjang
seperti laboratorium yang baik maka merupakan dasar menegakkan diagnosa
demam tifoid. Pemeriksaan laboratorium meliputi uji widal, darah lengkap, dan
kultur darah.
Masa tunas demam tifoid sekitar 10 sampai 14 hari. Gejala klinis yang
timbul sangat bervariasi mulai yang ringan, sedang, sampai yang berat. Dari yang
asimptomatis hingga yang khas dan bahkan disertai dengan komplikasi hingga
kematian.
Pada minggu pertama perjlaanan penyakit ditemukan keluhan dan gejala
serupa dengan infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, mual,
muntah, obstipasi atau diare bahakan rasa tidak nyaman pada perut. Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat, sifatnya meningkat
perlahan lahan terutama di sore hari dan petang hari. Dalam minggu kedua
gejala semakin bertambah jelas, berupa demam, bradikardi relatif, lidah kotor
berselaput, hingga hepatosplenomegali, meteorismus, gangguan mental.
4. Komplikasi

11

a. Intestinal
Pada Peyer Patch yang terinfeksi dapat terbentuk luka atau tukak
yang berbentuk lonjong atau memanjang dalam sumbu usus. Bila luka
menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi
perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka perforasi
dapat terjadi. Selain karena faktor luka, perdarahan juga dapat terjadi karena
gangguan koagulasi darah (KID) atau gabungan dari kedua faktor. Sekitar 25
% penderita tifoid menderita perdarahan minor yang tidak membutuhkan
transfusi darah. Secara klinis, perdarahan akut darurat bedah, ditegakkan
bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/ jam dengan faktor hemostasis
dalam batas normal.
Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% penderita yang dirawat. Biasanyan timbul
pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain
gejala umum demam tifoid yang umum terjadi, maka penderita demam
tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di derah
kuadran kanan bawah yang menyebar ke seluruh perut dan akan disertai
dengan tanda-tanda ileus obstruksi. Bila pada foto polos abdomen 3 posisi,
detemukan udara bebas pada rongga peritoneum atau subdiafragma maka
cukup untuk menegakkan perforasi usus. Bising usus melemah, pekak hati
mengilang, ditemukan adanya udara bebas intraabdomen. Tanda perforasi
lain adalah nadi cepat lemah, tekanan darah turun bahkan syok, leukositosis
dengan pergeseran ke kiri juga menuokong perforasi.
Beberapa faktor yang meningkatkan kejadian perforasi adalah
umur (biasanya 20 sampai 30 tahun), lama demam, medalitas terapi,
beratnya penyakit, dan mobilitas penderita.
Antibiotik diberikan secara selektif bukan hanya untuk mengatasi
S. Thypi saja tetapi juga untuk mangatasi kuman yang bersifat fakultatif dan
anaerob pada flora usus. Umumnya diberikan antibiotik spektrum luas

12

dengan

kombinasi

kloramfenikol

dan

penisilllin

intravena.

Untuk

kontaminasi usus dapat diberikan gentamisin atau metronidazol. Cairan


harius diberikan dalam jumlah yang cukup dan pasien dipuasakan dan
dipasang NGT. Transfusi darah diberikan bila terdapat perdarahan hebat
akibat perforasi.
b. Ekstra Intestinal
Meliputi komplikasi hematologik, hepatitis tifosa, pankreatitis
tifosa, miokarditis, neuropsikiatrik, serta sepsis.

13

BAB III
PEMBAHASAN
Tn. G, 32 tahun datang dengan keluhan nyeri diseluruh lapang perut. Nyeri
muncul mendadak ketika makan saat siang hari SMRS. Nyeri terus-menerus
tak tertahankan disertai perut yang mengeras seperti papan diseluruh lapang.
Nyeri tidak berkurang walau dengan perubahan posisi. Os mengeluh sakit
didaerah ulu hati dan BAB cair 2 hari SMRS. Mual (+), muntah (+) satu kali
berisi air. Demam 1 minggu SMRS naik turun disertai pusing, nyeri otot,
nafsu makan menurun, dan perut dirasakan sering kembung. Os berobat ke
puskesmas 2 hari SMRS, panas ada turun, namun 1 hari SMRS demam lagi
dan di sertai sakit ulu hati semakin memberat. Os 1 bulan yang lalu berobat
ke dokter keluarga dan didiagnosa mengalami sakit tifus. Keluarga mengaku
Os memiliki riwayat tifus sudah sejak lama. Sakit di daerah ulu hati sudah
lama dan hilang timbul. HT (-), DM (-), Asma (-).
Pada pasien ini, didiagnosis mengalami Peritonitis et causa suspect
perforasi tifoid. Hal ini ditunjukan adanya perforasi berat dengan tanda- tanda
terdapat nyeri tekan seluruh lapangan abdomen serta defans muskular (+).
Diagnosa tifoid diketahui dikarenakan Os. Memiliki riwayat demam tifoid
yang berulang dan sering kambuh. Komplikasi yang dapat timbul pada demam
tifoid adalah peritonitis. Ileum merupakan tempat yang paling sering
mengalami perforasi usus dibandingkan dengan duodenum dan yeyunum. Hal
ini terjadi karena banyaknya jaringan limfoid (Plak Peyeri) pada bagian distal
dari ileum terminal.

14

DAFTAR PUSTAKA

1. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R. Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta : EGC.
2011.
2. Schwartz, Shires, Spencer. Peritonitis dan Abses Intraabdomen dalam Intisari
Prinsip Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta : EGC. 2000. Hal 489 493
3. Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I. Abdomen dkut. Dalam: Radiologi
Diagnostik. Jakrta: Gaya Baru; 1999.h.256-7.
4. Sjaifoelloh N. Demam tifoid. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1,
Edisi 3. Jakarta: FKUI; 1996.h.435-42.
5. Philips Thorek, Surgical Diagnosis,Toronto University of Illnois College of
Medicine,third edition,1997, Toronto.
6. Schwartz, Shires, Spencer. Principles of Surgery, sixth edition; 1989.
7. Balley and Loves. Short Practice of Surgery, edisi 20. England: ELBS; 1988.

Anda mungkin juga menyukai