Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH INFRASTRUKTUR TEKNOLOGI INFORMASI

DISUSUN OLEH :
VIVI HAPSARI
DINDA PRIATNI SAPAAH
SENO SETIAJI
YUSRI HIDAYATULLAH

(H1L013014)
(H1L013028)
(H1L013048)
(H1L0130)

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA
PURBALINGGA
2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Infrastruktur
Teknologi Informasi ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga
kami berterima kasih pada Bapak Dadang Iskandar selaku Dosen mata kuliah Teknologi
Multimedia yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai infrastruktur teknologi informasi. Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna.
Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang
telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa
saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang
yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di
masa depan.

Purbalingga, 20 Mei 2016

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Teknologi informasi turut berkembang sejalan dengan perkembangan peradaban
manusia. Perkembangan teknologi informasi meliputi perkembangan infrastruktur teknologi
informasi, seperti hardware, software, teknologi penyimpanan data (storage), dan teknologi
komunikasi. Perkembangan teknologi informasi tidak hanya mempengaruhi dunia bisnis,
tetapi juga bidang-bidang lain, seperti kesehatan, pendidikan, pemerintahan, dan lain-lain.
Peranan teknologi Informasi dalam bisnis telah mengubah secara radikal tipe
pekerjaan. Tipe pekerjaan menjadi dominan bisa memiliki peranan penting menggantikan
peran manusia yang memberikan andil besar terhadap perubahan-perubahan yang mendasar
pada infrastruktur, operasi dan manajemen organisasi juga kebutuhan untuk mempertahankan
dan meningkatkan posisi kompetitif, mengurangi biaya serta meningkatkan fleksibilitas.
Penerapan teknologi baru dalam suatu organisasi akan berpengaruh pada keseluruhan
organisasi, terutama pada sumber daya manusia. Dengan demikian, agar komputer bisa
dimanfaatkan secara efektif sehingga dapat menjadi pusat strategi bisnis untuk memperoleh
keunggulan bersaing dan memberikan kontribusi terhadap kinerja maka harus dapat
menggunakan teknologi tersebut dengan baik.
B. Rumusan Masalah
1. Undang-undang apa yang mengatur tentang infrastruktur teknologi informasi?
2. Bagaimana pembagian frekuensi dalam infrastruktur?
3. Bagaimana keadaan infrastruktur pada masa lampau?
4. Bagaimana pembangunan infrastruktur saat ini dan masa depan?
C. Tujuan
1. Untuk melengkapi tugas matakuliah Infrastruktur Teknologi Informasi.
2. Untuk menambah pengetahuan pada penulis dan pembaca tentang infrastruktur
teknologi informasi.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Undang-Undang
Dalam UU No.36/1999 Pasal 3, disebutkan bahwa Telekomunikasi
diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa,
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata,
mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan
hubungan antar bangsa.
Dan selain itu ada juga Selain itu dalam UU No.36/1999 Pasal 26 tersebut juga
disebutkan bahwa "Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau
penyelenggara jasa telekomunikasi wajib membayar biaya hak penyelenggaraan
telekomunikasi yang diambil dari presentase pendapatan". Mengenai susunan dan
besaran tarif penyelenggaraan jaringan dan jasa telekomunikasi yang dimaksud dalam
UU 36/1999 ditetapkan berdasarkan formula yang diatur dalam PP No.52/2000 dan
PERMEN KOMINFO No. 12/2006 sebagai peraturan pelaksana UU tersebut
B. Pembagian Frekuensi
Pembagian frekuensi merupakan suatu hal yang sangat dibutuhkan dalam
industri telekomunikasi. Terutama untuk komunikasi mobile, frekuensi menjadi
sumber daya utama yang harus tersedia. Tetapi pentingnya alokasi frekuensi tersebut
tidak didukung dengan jumlahnya yang sangat terbatas. Di Indonesia. Hampir semua
alokasi frekuensi untuk kebutuhan seluler telah digunakan untuk berbagai macam
teknologi. Berikut ini adalah beberapa gambaran mengenai kondisi saat ini untuk
beberapa pembagian frekuensi di Indonesia.
1. Pita frekuensi 700 MHz.
Pita frekuensi ini digunakan untuk analog TV. Dengan lebar pita selebar 336 MHz
dan digunakan oleh beberapa stasiun broadcast TV. Saat ini telah ada kebijakan
pemerintah untuk mengganti analog TV menjadi digital TV. Dengan kebijakan ini
maka penggunaan frekuensi untuk broadcast TV akan semakin kecil sehingga
dapat menyisakan alokasi frekuensi yang nantinya akan dapat digunakan untuk
layanan mobile broadband.
2. Pita frekuensi 850 MHz.
Pita frekuensi ini digunakan untuk layanan FWA CDMA. Operator yang
menggunakan frekuensi ini ada 4 operator dengan memiliki lebar alokasi

frekuensi yang berbeda beda. Lebar pita untuk keseluruhan alokasi frekuensi ini
adalah 20,25 MHz.
3. Pita Frekuensi 900 MHz.
Pita frekuensi ini digunakan untuk layanan GSM 2G. Operator yang terdapat pada
frekuensi ini ada 3 operator. Masing-masing operator memiliki lebar pita yang
berbeda, Indosat memiliki 10 MHz, Tsel dan XL memiliki 7,5 MHz. Lebar pita
secara keseluruhan pada alokasi frekuensi ini adalah 25 MHz. Dengan jangkauan
yang lebih luas, frekuensi 900 Mhz diharapkan mampu mengusung layanan
mobile broadband. Sebagai contoh, Saat ini 3G di Indonesia berjalan di frekuensi
2100 Mhz dengan bandwidth 5 Mhz. Sedangkan bila 3G diadopsi pada frekuensi
yang lebih rendah, 900 Mhz, maka jangkauan akan meningkat lebih jauh.
4. Pita Frekuensi 1800 MHz.
Pita frekuensi ini digunakan untuk layanan GSM 2G dengan 5 operator yang
beroperasi pada alokasi frekuensi ini. Lebar pita secara keseluruhan adalah 75
MHz. Untuk masing-masing operator mempunyai lebar pita yang berbeda, XL
memiliki 7,5 MHz, Tsel memiliki total 22,5 MHz dengan 3 blok frekuensi yang
terpisah, Isat memiliki total 20 MHz dengan 2 blok frekuensi yang terpisah,
HCPT-Tri memiliki total 10 MHz dan Axis Memiliki 15 MHz.
5. Pita Frekuensi 2100 MHz.
Pita frekuensi ini digunakan untuk layanan UMTS dan terdapat 5 operator yang
menggunakan frekuensi ini dengan masing-masing memiliki lebar pita 10 MHz
atau 2 blok alokasi frekuensi. Total lebar pita frekuensi ini adalah 60 MHz. Pita
frekuensi ini memiliki 12 blok frekuensi dengan masing-masing lebar pita 5 MHz.
6. Pita frekuensi 2300 MHz.
Berdasarkan Peraturan Menkominfo nomor 08/PER/M.KOMINFO/01/2009
tanggal 19 Januari 2009 tentang Penetapan Pita Frekuensi Radio Untuk Keperluan
Layanan Pita Lebar Nirkabel Pada Pita Frekuensi Radio 2.3 GHz ditetapkan
bahwa pita ini menggunakan moda TDD (Time Division Duplex)yang terdiri dari
15 nomor blok dimana nomor blok 1 sampai dengan nomor blok 12 masingmasing lebar frekuensinya 5 MHz sedangkan nomor blok 13 dan nomor blok 14
masing-masing lebar frekuensinya 15 MHz dan nomor blok 15 lebar frekuensinya

10 MHz. Pada blok 13 dan 14 ini telah digunakan untuk layanan WiMAX yang
telah dilakukan tender untuk beberapa wilayah regional.
7. Pita Frekuensi 2600 MHz.
Pita ini digunakan untuk layanan broadcasting service satelite (BSS) yang
dilaksanakan oleh Indovision dan terdapat alokasi untuk layanan BWA. Lebar pita
untuk frekuensi ini secara keseluruhan adalah 184 MHz. Total lebar pita tersebut
terbagi yaitu pada pita frekuensi 2520 2670 MHz (150 MHz) digunakan untuk
penyelenggaraan infrastruktur telekomunikasi bagi layanan penyiaran berbayar
melalui satelit Indostar II yang dilaksanakan oleh MNC Sky Vision dan pada pita
2500 2518 (18 MHz) dan 2670 2686 MHz (16 MHz) digunakan untuk
keperluan BWA.
C. Keadaan Infrastruktur pada Masa Lampau
1.
Perkembangan Infrastruktur Teknologi
Pada bidang pendidikan, perkembangan infrastruktur, SDM dan
konten di dalam Teknologi Informasi dan Komunikasi telah dimulai
sejak abad 19 dan mengalami akselerasi yang cukup tinggi pada
awal

abad

20.

Beberapa

program

pengembangan

Teknologi

Informasi dan Komunikasi khususnya Infrasruktur adalah :

Jaringan Internet (2000)


Pada tahun 2000 dikenal sebuah program yang disebut dengan
Jaringan Internet atau Jarnet. Latar belakang program ini adalah
untuk mendukung pemercepatan internetisasi sekolah-sekolah
di Indonesia khususnya pada Sekolah Menengah Kejuruan atau
SMK.

Jaringan Informasi Sekolah (2001 2002)


Program Jaringan Informasi Sekolah atau disingkat JIS memiliki
fungsi utama untuk menjaring seluruh sekolah di dalam satu
wilayah agar saling berbagi informasi, khususnya dalam bidang
Teknologi Informasi dan Komunikasi. Peserta JIS ini tidak
terbatas kepada SMK saja, namun diikuti oleh seluruh SLTA di
daerah tersebut, SLTP dan beberapa SD. Syarat utama untuk
ikut di dalam JIS adalah memiliki minat terhadap TIK

Wide Area Network (WAN) Kota (2002-2003)


Program WAN Kota mencoba menghubungkan jaringan lokal di
semua sekolah yang berada pada satu wilayah dan kemudian
memasang koneksi internet pada salah satu simpul di daerah
tersebut. Hal ini akan mengakibatkan biaya internet yang
seharusnya hanya diatnggung oleh satu sekolah menjadi
tanggungan bersama. Ini akan meringankan dan memudahkan
sekolah-sekolah tersebut untuk turut serta menikmati koneksi
internet.

ICT Center (2004 2006)


Information and Communication Technology (ICT) Center berfungsi sebagai
Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Pengembangan Teknologi Informasi dan
Komunikasi di Kabupaten/Kota. Untuk mempersenjatai fungsi tersebut, maka
ICT Center dibentuk dengan infrastruktur yang melebihi WAN Kota, karena
fungsi utamanya bukan hanya sekedar menghubungkan LAN dalam satu
wilayah saja, melainkan meluas kepada fungsi Capacity Bulding.

Inherent (2006 2007)


Program INHERENT menghubungkan 32 perguruan tinggi sebagai backbone
utama dimana perguruan tinggi lainnya dapat terhubung ke PT backbone
tersebut apabila hendak terhubung dalam satu sistem jaringan.

2.

Perkembangan Teknologi Wireless


Teknologi Generasi Awal / Zero Generation (0G)
Generasi awal (0G) atau Mobile radio telephone ini merupakan
teknologi telepon selular modern permulaan, dimana menggunakan jaringan
gelombang radio (radiotelephone) khusus (terpisah dan tertutup dengan
jaringan lain yang sejenis) dengan jangkauan jaringan yang terbatas dan dapat
terhubung dengan jaringan telepon umum biasa.

Teknologi Generasi Kedua (2G)


Teknologi generasi kedua muncul karena tuntutan pasar dan kebutuhan
akan kualitas yang semakin baik. Generasi 2G sudah menggunakan teknologi
digital. Generasi ini menggunakan mekanisme Time Division Multiple Access
(TDMA) dan Code Division Multiple Access ( CDMA) dalam teknik
komunikasinya.

Teknologi Generasi Dua Setengah (2.5G)

Teknologi 2.5G merupakan peningkatan dari teknologi 2G terutama


dalam platform dasar GSM telah mengalami penyempurnaan, khususnya
untuk aplikasi data. Untuk yang berbasis GSM teknologi 2.5G di
implementasikan dalam GPRS (General Packet Radio Services) dan
WiDEN, sedangkan yang berbasis CDMA diimplementasikan dalam
CDMA2000 1x.

Teknologi Generasi Ketiga (3G)

3G (Third Generation) sebagai teknologi yang dapat unjuk kerja


sebagai berikut :
1. Mempunyai kecepatan transfer data sebesar 144 kbps pada kecepatan user
100 km/jam.
2. Mempunyai kecepatan transfer data sebesar 384 kbps pada kecepatan
berjalan kaki.
3. Mempunyai kecepatan transfer data sebesar 2 Mbps untuk user diam
(stasioner).

Teknologi Generasi Tiga Setengah (3.5G)

Teknologi 3.5 G atau disebut juga super 3G merupakan peningkatan


dari teknologi 3G, terutama dalam peningkatan kecepatan transfer data yang
lebih dari teknologi 3G (>2 Mbps) sehingga dapat melayani komunikasi
multimedia seperti akses internet dan video sharing.

D. Keadaan Infrastruktur Saat Ini dan Masa Depan


1. Keadaan Infrastruktur Saat Ini
Perkembangan teknologi yang begitu cepat memaksa setiap negara di dunia ini
untuk berlomba-lomba membuat inovasi dan mengimplementasikan teknologi
tersebut di negaranya, dan tak terkecuali di Indonesia. Demi menyambut program
pemerintah yang tercantum dalam MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia), semua operator di Indonesia berlomba-lomba
mempersiapkan jaringan backbone di seluruh pelosok nusantara demi tercapainya
IDN (Indonesia Digital Network). Namun sejatinya hal ini justru menjadi cambuk
bagi operator itu sendiri seiring dengan mahalnya biaya investasi jaringan backbone
dan ketidaktegasan regulasi dari pemerintah Indonesia yang masih terkesan abu-abu.

Seperti yang telah kita ketahui, bahwa hampir semua operator di Indonesia
memiliki jaringan backbone sendiri. Terutama Telkom yang menguasai jaringan mulai
dari Sabang sampai Merauke dan juga mempunyai akses ke jaringan backbone
internasional. Karena biaya sewa jaringan backbone yang masih mahal, akhirnya
operator lainnya juga mulai membangun jaringan backbone sendiri. Bahkan hingga
saat ini XL dan Indosat juga mempunyai akses ke jaringan backbone internasional,
dimana gateway internasional-nya berada di Singapore.
Saat ini Indonesia masih belum terhubung dengan Tier 1 dari jaringan backbone
internasional. Padahal Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang sangat
membutuhkan koneksi ke tier 1 jaringan backbone internasional. Secara umum ada 3
tier di jaringan internasional, yaitu Tier 1, Tier 2 dan Tier 3. Tier 1 merupakan global
internet seperti NTT Communications, C&W, UUNet, dan juga Sprint. Sedangkan
Tier 2 merupakan operator internasional seperti OCN, ANC, Hutchison, dan juga
STIX. Dan Tier 3 itu sendiri adalah gabungan operator dan ISP local, seperti Telkom,
XL, Indosat dll.
Oleh karena itu, kondisi tersebut mengharuskan Indonesia untuk terkoneksi
langsung dengan Tier 1 atau setidaknya memiliki redundancy di jaringan backbone
internasional. Karena jika hanya mengandalkan Singapore sebagai satu-satunya
gateway akses internasional, stabilitasnya tidak terjamin dan kurang efisien terlebih

ketika terjadi kondisi force majeure seperti putusnya kabel bawah laut di Singapore,
maka semua network di Indonesia tidak akan bisa mengakses ke jaringan
internasional.
Sebenarnya kita mempunyai banyak pilihan untuk akses ke jaringan backbone
internasional. Selain Singapore ada juga Australia dan beberapa negara di samudra
pasifik, seperti Guam. Namun melihat letak geografis, sepertinya Autralia adalah
pilihan yang tepat untuk membuat redundancy jaringan backbone internasional, bisa
melalui Bali, NTB ataupun NTT. Sehingga jika sewaktu-waktu terjadi gangguan pada
submarine Singapore, kita bisa langsung menggunakan submarine Australia
sebagai second route. Atau bisa juga dibuat pembagian wilayah Indonesia menjadi
dua, yaitu Indonesia Barat dan Indonesia Timur, dimana Singapore sebagai gateway
Indonesia Barat dan Australia sebagai gateway Indonesia Timur.
Hal ini sepertinya masih sulit dilakukan karena jaringan backbone nasional pun
masih belum jelas tata kelolanya. Dimana tak hanya operator telekomunikasi yang
mempunyai jaringan backbone, bahkan banyak perusahaan diluar penyedia jasa
telekomunikasi mempunyai jaringan backbone sendiri. Baik untuk mendukung
kegiatan bisnisnya ataupun menjalankan bisnis baru demi mencari keuntungan lebih.
Masalahnya, kebanyakan dari perusahaan tersebut adalah perusahaan milik negara.
Yang seharusnya bisa bersinergi dan bekerjasama dengan operator milik negara
sebagai partnernya. Terlebih ada beberapa perusahaan tersebut yang berani
menyewakan jaringannya ke operator telekomunikasi. Padahal seharusnya operator
lah yang berhak menjual ataupun menyewakan jaringannya ke perusahaan tersebut.
Dan lagi-lagi egoisme lah yang menjadi dasar terjadinya hiruk pikuk jaringan
backbone di Indonesia.
Parahnya lagi semua perusahaan tersebut beranggapan bahwa mereka berhak
melakukan dan menggelar jaringan backbone. Padahal secara fungsi, perusahaan
tersebut sama sekali tidak berhubungan dengan dunia telekomunikasi. Hal ini tak
terlepas dari kurangnya pengawasan pemerintah dan belum adanya regulasi yang
benar-benar mengatur seluk beluk jaringan backbone di Indonesia. Seharusnya ada
regulasi yang mengatur dan menjelaskan mana yang boleh menggelar dan mana yang
tidak berhak menggelar serta berapa biaya yang harus dibayar untuk menggelar
jaringan backbone itu sendiri.
Usut punya usut, ternyata banyak yang berkepentingan disini, mulai dari
penguasa, para elit politik, dan para petinggi negara. Sehingga pemerintah dalam hal

ini regulator tidak berani mengeluarkan regulasi yang independen terhadap semua
pelaku bisnis di jaringan backbone. Hal ini mengakibatkan pengguna sebagai user
menjadi korbannya. Bayangkan jika terjadi putusnya kabel optik bawah laut di daerah
Papua, maka satu-satunya akses proteksi adalah melalui satelit (VSAT) tapi apakah
VSAT mampu membawa trafik yang bergiga-giga. Sekali lagi, ujung dari hiruk pikuk
permasalahan ini sebenarnya adalah egoisme yang tinggi dari para pelaku bisnis
jaringan backbone dan ketidakpastian dari regulator itu sendiri.
Semua permasalahan diatas muncul karena dari sejak awal tidak ada regulasi
yang jelas dari pemerintah dalam hal ini Kominfo sebagai regulator. Regulasi yang
baik dan tegas harus segera diterbitkan terlebih ini semua semata-mata untuk
kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat. Mengingat penyediaan backbone ini
memerlukan biaya yang besar dan memiliki dampak masa depan yang positif bagi
bangsa dan negara, maka terwujudnya backbone dan pemanfaatannya memerlukan
dukungan komitmen nasional melalui para pemimpin negara baik dari Pemerintah,
Partai Politik, Parlemen dan Masyarakat luas.
Harapanya semua hiruk pikuk jaringan backbone di Indonesia bisa dibenahi
dengan regulasi yang independen. Serta terciptanya sinergi antar operator
telekomunikasi demi mewujudkan jaringan backbone nasional. Yang pada akhirnya
Indonesia bisa terhubung dengan dual international gateway. Semoga pemerintah bisa
segera melakukan negosiasi dengan Australia agar bisa segera mengimplementasikan
program baik tersebut. Oleh karena itu, inovasi dan langkah tersebut harus didukung
sepenuhnya oleh regulator sebagai wakil pemerintah dalam dunia telekomunikasi.
Karena tanpa dukungan dari regulator, langkah tersebut sulit dicapai mengingat harga
bandwidth internasional yang relative mahal dan terbatasnya bandwidth submarine
kita. Untuk itu perlu dilakukan kajian ulang tentang biaya dan perizinan jaringan
backbone di Indonesia. Agar semua operator bisa saling bersinergi mewujudkan
rencana tersebut. Tak hanya itu ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh regulator
seperti review dan penataan ulang jaringan backbone nasional untuk mendukung
terciptanya sinergi antara jaringan backbone nasional dengan jaringan backbone
internasional.
Pada akhirnya untuk menyambut masyarakat berbasis KBSE (Knowledge Based
Society and Economy) dan era IoT (Internet of Things) dimana semuanya berbasis ke
koneksi internet maka kebutuhan akan tersedianya atau adanya jaringan backbone
nasional dan jaringan backbone internasional di Indonesia adalah penting dan tidak

dapat ditawar-tawar lagi. Targetnya adalah semua pulau di Indonesia terhubung


dengan submarine nasional. Dan kedepan Indonesia diharapkan mempunyai dua akses
atau lebih menuju jaringan backbone Internasional. Untuk itu sinergi dari regulator
dan operator sangat penting untuk mewujudkan dual international gateway yaitu
Singapore dan Australia. Sehingga tak menutup kemungkinan nantinya Indonesia
akan langsung terkoneksi dengan Tier 1 jaringan backbone internasional. Dan menjadi
negara yang berbasis teknologi serta mampu menjadi contoh bagi negara lain bahwa
negara kepulauan terbesar bisa mewujudkan connected society.

2. Infrastruktur Teknologi Informasi Masa Depan


Pada masa depan nanti akan dikenal suatu teknologi generasi 5 atau disebut 5G.
Untuk mencoba teknologi 5G pada semua perangkat teknologi akses radio diperlukan
suatu plaform yang unik. Salah satu contoh platform yang unik adalah IP Flat
network, tentunya platform ini adalah cikal bakal dari 5G untuk terintergrasi dengan
semua jenis teknologi yang sudah ada saat ini. Dalam memenuhi permintaan
pelanggan secara real time untuk mengakses aplikasi data yang besar melalui jaringan
mobile broadband. Maka operator nirkabel harus beralih ke aksitektur IP Flat
network. Arsitektur ini akan menyediakan cara tersendiri untuk mengindentifikasi
perangkat menggunakan nama simbolik tertentu, tidak seperti arsitektur hirarki yang
digunakan pada IP Address.

Gambar di atas menunjukkan model sistem yang mengusulkan desain arsitektur


jaringan untuk sistem mobile 5G, yang Model all-IP berbasis interoperabilitas
nirkabel dan jaringan mobile. Sistem ini terdiri dari terminal pengguna (yang

memiliki peran penting dalam arsitektur baru) dan sejumlah independen, otonom
teknologi akses radio. Dalam setiap terminal, masing-masing teknologi akses radio
dipandang sebagai link IP ke dunia internet luar. Namun, harus ada radio yang
berbeda untuk setiap antarmuka Radio Access Technology (RAT) di terminal mobile.
Sebagai contoh, jika kita ingin memiliki akses ke empat tikus yang berbeda, kita perlu
memiliki empat berbeda interface tertentu akses-dalam terminal mobile, dan memiliki
semua dari mereka yang aktif pada saat yang sama, dengan tujuan untuk memiliki
arsitektur ini menjadi fungsional.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
http://www.manajementelekomunikasi.org/2012/09/penggunaan-alokasi-pita-frekuensidi.html, diakses pada tanggal 21 Mei 2015
http://pusdrianto.blogspot.co.id/2012/09/perkembangan-teknologi-wireless.html, diakses
pada tanggal 21 Mei 2015
http://www.khalidmustafa.info/2008/05/23/sejarah-pengembangan-infrastruktur-teknologiinformasi-dan-komunikasi-dari-jarnet-hingga-jardiknas-menuju-ke-south-east-asianeducation-network-sea-edunet.php, diakses pada tanggal 21 Mei 2015

Anda mungkin juga menyukai