Anda di halaman 1dari 5

Analisa jurnal:Economic geography of electricity consumption: do regional

characteristics matter in Indonesia, 1993-2010?

ANALISIS:
Latar Belakang
Melalui penjelasan dari text utama jurnal di atas yang pertama tama penting untuk dkaji ialah
program program ataupun kebijakan kebujakan dari pemerintah. Indonesia memiliki
kombinasi unik dari potensi ekonomi dengan daerah dan koridor memiliki peran masa depan
strategis sendiri dalam mencapai tujuan nasional 2025. Pada tanggal 27 dari bulan Mei
2011, pemerintah saat meluncurkan Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI) dengan menetapkan enam koridor ekonomi utama. MP3EI
memiliki proyek besar dalam lingkup yang bertujuan untuk mengubah Indonesia menjadi
negara maju dengan salah satu ekonomi terbesar di dunia. Selain dana cukup untuk
pembangunan infrastruktur dari pemerintah pusat dan daerah, salah satu masalah utama
adalah bahwa pelaksanaan kebijakan pembangunan listrik belum diuraikan dalam dokumen
MP3EI. Sehingga membuat kurang nya informasi kepada masyarakat tentang apasaja
program yang akan dilakukan pemerintah, padahal sesungguh nya bila menurut teori Irvig
Sverlon setidak nya pemerintah harus melibatkan masyarakat dalam program kebijakan
maupun program sekurang kurang nya pada tingkat Indirect Influence.
Dalam konteks pembangunan daerah, Indonesia merupakan laboratorium yang sangat baik
untuk mempelajari konsumsi listrik karena kondisi geografis yang unik dan demografi. KBI
meliputi Jawa dan pulau-pulau Sumatera relatif jauh lebih maju bila dibandingkan dengan
KTI yang meliputi Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara dan Maluku-Papua. Perbedaan
antara Barat dan Timur Indonesia dalam hal konsumsi listrik regional dan Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) sangat menyarankan pentingnya untuk mengeksplorasi geografi
ekonomi konsumsi listrik di PLN (Perusahaan Listrik Negara, Perusahaan Listrik Negara)
daerah distributif yang di kelompokkan menjadi 6 koridor ekonomi. Konsumsi listrik telah
memainkan peran penting dalam pembangunan daerah di Indonesia. Pasokan listrik yang
cukup untuk memenuhi permintaan yang sebenarnya dari sektor industri dan rumah tangga
akan mendukung industrialisasi yang pesat dan meningkatkan rasio elektrifikasi di daerah
tertinggal. Jelaslah bahwa listrik merupakan salah satu modalitas yang paling penting untuk
mendukung pembangunan daerah yang berkelanjutan.
Jurnal ini melakukan beberapa dugaan yaitu ; Bagaimana daerah berbeda-beda dalam hal
konsumsi listrik dan pendapatan per kapita? Beberapa hipotesis yang akan diuji adalah: (1)
populasi yang lebih besar di suatu daerah sesuai dengan probabilitas yang lebih besar untuk
daerah tersebut memiliki konsumsi yang lebih tinggi dari listrik dan PDRB per kapita yang
lebih tinggi; (2) tingkat yang lebih tinggi industrialisasi, yang tercermin dari pangsa
manufaktur sektor industri terhadap PDRB, cenderung meningkatkan probabilitas bagi
daerah untuk memiliki konsumsi yang lebih tinggi dari listrik dan PDRB per kapita; (3) peran
yang lebih besar dari listrik terhadap PDRB di suatu daerah cenderung menginduksi
probabilitas untuk wilayah masing-masing memiliki tinggi konsumsi listrik dan PDRB per

kapita; (4) tingkat kemiskinan yang lebih tinggi akan menyebabkan konsumsi listrik yang
lebih rendah dan pendapatan per kapita.
Kebijakan umum di bidang energi, termasuk listrik, sebagian besar pasokan dan harga
berorientasi. Harga listrik yang ditetapkan oleh pemerintah yang melibatkan subsidi besar,
yang sebagian besar bertujuan untuk mengontrol tingkat inflasi. listrik dan bahan bakar
subsidi sebagian besar telah didominasi subsidi pemerintah Indonesia selama 2007-2013.
Konsumsi listrik untuk sektor industri dan bisnis berkaitan erat dengan kualitas pertumbuhan
ekonomi . Sebuah pengembangan energi dan listrik infrastruktur primer yang memadai pasti
diperlukan untuk meningkatkan kapasitas pasokan tenaga listrik. Sejauh ini, kebijakan dan
peraturan listrik lebih menekankan pada sisi penawaran, bukan didorong oleh permintaan
yang sebenarnya. Dalam beberapa tahun terakhir,rasio elektrifikasi telah meningkat secara
signifikan dari 62% (2005) menjadi 67,2% (2010). Pada tahun 2014, rasio elektrifikasi
diproyeksikan mencapai 80%. Namun, kesenjangan antar daerah di Indonesia masih tetap
menjadi tantangan serius. Jakarta daerah istimewa, sebagai ibukota Indonesia, adalah satusatunya provinsi yang memiliki rasio elektrifikasi 100%, sedangkan rasio berkisar sekitar dari
30% menjadi 80% untuk provinsi lain. Rasio elektrifikasi banyak provinsi masih serendah
30% sampai 58%, jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara berkembang lainnya
dengan tingkat yang sama pendapatan per kapita. Dalam hal pengembangan ekonomi
regional, kesenjangan regional cenderung meningkat selama periode 2001-2010 karena
antara pulau dan dalam pulau ketidaksetaraan
Di Indonesia, daerah biasanya ditafsirkan sebagai provinsi dan disricts (kota dan kota)
berdasarkan alasan administrasi. Namun, PLN clasifies daerah berdasarkan seperangkat
provinsi atau hanya provinsi. Baru-baru ini, rezim SBY memperkenalkan koridor ekonomi
sebagai "wilayah" yang terdiri dari beberapa provinsi di pulau yang sama atau beberapa
pulau membentuk sebagai koridor. Tabel 3 merangkum konsep yang berbeda dari daerah di
Indonesia. Oleh karena itu, upaya penelitian kami untuk menguji konsep-konsep yang
berbeda dari daerah dengan menggunakan analisis diskriminan. Kedua set data juga di
kelompokkan menjadi 6 koridor ekonomi sesuai dengan MP3EI, yaitu Sumatera, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, dan Papua-Maluku (Tabel 2). Periode 19932010 ditentukan berdasarkan ketersediaan konsumsi listrik regional dan data pendapatan
daerah. Data PDRB riil disajikan dalam rupiah harga konstan 2000 selama periode 19932010 sedangkan konsumsi daya listrik dinyatakan dalam satuan Kilowatt jam (KWh). Analisis
diskriminan dilakukan dengan menggunakan SPSS versi 21.0.
Untuk setiap koridor ekonomi, rezim SBY mengatur tema MP3EI-nya dan cakupan provinsi.
Koridor ekonomi Sumatera yang menghubungkan pusat-pusat ekonomi utama dari Banda
Aceh (di provinsi NAD), Medan, Pakanbaru, Jambi, Palembang, dan Bandar Lampung
ditetapkan sebagai pusat produksi dan pengolahan sumber daya alam sebagai cadangan
energi nasional. Koridor ekonomi Jawa yang menghubungkan pusat-pusat ekonomi utama
dari Banten, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya ditetapkan sebagai driver
untuk penyediaan industri dan jasa nasional. Pusat-pusat ekonomi utama dari koridor
Kalimantan yang melibatkan Pontianak, Palangkaraya, Banjarmasin dan Samarinda
dirancang untuk pusat produksi dan pengolahan cadangan pertambangan dan energi
nasional. Koridor Sulawesi diharapkan produksi dan pusat pengolahan pertanian, pertanian,
perikanan, minyak dan gas, dan pertambangan nasional, dan menjadi terdepan dalam
melayani pasar Asia Timur, Australia, Oceania, dan Amerika melalui pusat-pusat utama

(Makasar, Mamuju , Kendari, Palu, Gorontalo, Manado). Pusat ekonomi besar dari Bali-Nusa
Tenggara koridor yang Denpasar, Lombok, Kupang. Koridor Papua-Maluku telah dirancang
untuk menjadi pusat pengembangan makanan, perikanan, energi dan pertambangan
nasional yang menghubungkan pusat-pusat ekonomi utama dari Ambon, Sofifie, Sorong,
Manokwari, Timika, Jayapura dan Merauke.

Hasil Kajian:

Konsumsi listrik per kapita tertinggi di Jawa (874,70 Kwh / kapita), diikuti oleh Sumatera
(388,64 Kwh / kapita), Kalimantan (372,13 Kwh / kapita), Bali-Nusa Tenggara (325,90 Kwh /
kapita), Sulawesi (313,12 Kwh / kapita), dan Papua- Maluku (195,93 Kwh / kapita).
Java merupakan salah satu koridor terkecil dalam hal ukuran pulau antara lain tetapi
memiliki konsentrasi tertinggidari 55,78% dari total penduduk, diikuti oleh Sumatera dengan
22,43% dari total penduduk. Jawa dan Sumatra daerah mewakili KBI dengan 30,63% dari
total luas dan 78,21% dari total penduduk Indonesia. Dalam hal PDRB, KBI kontribusi
82,12% dari PDB nasional. Sebaliknya, empat koridor lainnya dalam KTI, yaitu Kalimantan,
Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, dan Papua-Maluku, hanya mencapai 6.11%, 7.17%, 5.78%,
dan 2,73% dari populasi total di Indonesia masing-masing.
Dalam hal pendapatan per kapita, Kalimantan dengan 13,8 juta per kapita memiliki
pendapatan per kapita tertinggi di antara semua daerah lain, diikuti oleh Jawa (Rp10,76 juta
per kapita), Sumatera (Rp9.24 juta per kapita), Sulawesi (Rp6.59 juta kapita), Papua-Maluku
(Rp6,25 juta per kapita), dan Bali-Nusa Tenggara (4,7 juta per kapita). Wilayah KBI dengan
hanya mewakili 30,63% dari wilayah nasional memiliki porsi 78,21% dari populasi nasional
dan 82,12% dari PDB. Sebaliknya, wilayah KTI, yang mewakili 69,37% dari wilayah
nasional, hanya sebagian dari populasi 21.79% dan memberikan kontribusi hanya 17.88%
dari PDB nasional. Kegiatan konsentrasi penduduk tidak seimbang dan ekonomi antara KBI
dan KTI daerah telah menciptakan kesenjangan yang serius di seluruh wilayah, antara dan
di dalam kepulauan dalam pembangunan ekonomi Indonesia.KBI dengan hanya mewakili
30,63% dari wilayah nasional memiliki porsi 78,21% dari populasi nasional dan 82,12% dari
PDB. Sebaliknya, KTI, yang mewakili 69,37% dari wilayah nasional, hanya sebagian dari
populasi 21.79% dan memberikan kontribusi hanya 17.88% dari PDB nasional. konsentrasi
penduduk tidak seimbang dan ekonomi antara KBI dan KTI daerah telah menciptakan
kesenjangan yang serius di seluruh wilayah, antara dan di dalam kepulauan dalam
pembangunan ekonomi Indonesia .
Jadi dalam urusan kebutuhan listrik dalam penggunaan nya dterhadap keberlangsungan
kehiatan perekonomian daerah jawa masih memengang jumlah penggunaan terbesar
dikarenakan kebutuhanya yang sangat besar dalam memenuhi kebutuhan kebutuhan pabrik
pabrik industri yang musti tercukupi dalam rnagka melakukan proses proses produksinya.

Teori Yang digunakan

Dalam jurnal ini menggunakan analisis diskriminsi . yang mana Analisis diskriminan adalah
teknik statistik untuk mengelompokkan individu atau objek ke dalam kelompok-kelompok
yang saling eksklusif atas dasar satu set prediktor. Uji keseluruhan hubungan antara
prediktor dan kelompok dalam analisis diskriminan adalah sama dengan uji efek utama
dalam analisis multivariat varians (MANOVA), di mana semua fungsi diskriminan
digabungkan dan variabel pengelompokan dipertimbangkan secara simultan (Tabachnick
dan Fidell, 1996 ).
Analisis fungsi diskriminan dilakukan untuk menunjukkan apa prediktor merupakan faktor
kunci dalam menjelaskan empat kelompok regional )14 daerah di Indonesia dapat dibagi
menjadi empat kelompok berdasarkan PDRB per kapita dan REC per kapita. Kelompok
Regional yang diperlakukan sebagai variabel dependen adalah: konsumsi rendah listrik dan
berpenghasilan rendah (D1), konsumsi listrik rendah tetapi berpenghasilan tinggi (D2),
konsumsi listrik tinggi tetapi berpenghasilan rendah (D3), dan konsumsi listrik yang tinggi
dan berpenghasilan tinggi (D4). Kelompok-kelompok ini sedikit berbeda dengan penelitian
sebelumnya yang menggunakan pertumbuhan ekonomi provinsi dan PDRB per kapita
Analisis diskriminan dilakukan untuk menjelaskan apa adalah penentu utama atas 4
kelompok regional. Prediktor adalah sebagai berikut: (a) Populasi (POP), (b) Industrialisasi
(IND), (c) Listrik (Elec) dan (d) Kemiskinan (POV). Fungsi diskriminand dalam jurnal ini
idasarkan pada persamaan berikut: Di = DI1 POP + Di2 IND + di3 Elec + POV di4
Kesimpulan :
Jadi konsumsi listrik Indonesia dan pembangunan ekonomi regional yang menggabungkan
"geografi" dalam masalah keterbelakangan. Sebagai implementasi kebijakan pembangunan
daerah listrik belum diuraikan dalam dokumen MP3EI, jurnal ini berusaha untuk menjelajahi
beberapa pola spasial konsumsi listrik. Temuan menunjukkan empat kelompok wilayah
sebagai berikut: daerah dengan konsumsi listrik tinggi dan berpenghasilan tinggi (Jawa barat
& DKI , Tengah-Selatan & Kalimantan Timur), konsumsi listrik tinggi tetapi berpenghasilan
rendah (Jawa Timur, Sumatera Utara), konsumsi listrik tinggi tetapi berpenghasilan rendah
(NAD, Sumatera Barat & Riau, Maluku, Papua), baik konsumsi listrik yang rendah dan
pendapatan (Sumatera Selatan, Jawa & DIY Tengah, Kalimantan Barat, Suluttenggo,
Sulawesi Tenggara, Bali, NTB & NTT). karakteristik pemakaian listrik. Temuan ini juga
menyoroti bahwa daerah pinggiran memiliki tingkat kemiskinan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan daerah inti.
Analisis diskriminan terbukti berguna sebagai dasar untuk mengintegrasikan perumusan
listrik serta kebijakan pembangunan daerah. Temuan menunjukkan bahwa Indonesia
membutuhkan listrik dan kebijakan pembangunan daerah yang menggabungkan variasi
regional dalam hal populasi, industrialisasi, pengembangan listrik, dan kemiskinan. Temuan
kami menunjukkan bahwa karakteristik dan keanekaragaman daerah memang penting
dalam koridor ekonomi Indonesia dan daerah. Prioritas pembangunan nasional dan
pelaksanaan MP3EI perlu diikuti dengan tindakan nyata untuk memperbaiki koherensi
antara berbagai tingkat pemerintah (pusat, provinsi, kota, kota), bisnis, akademisi, dan
masyarakat sipil.
Oleh karena itu, penelitian ini merekomendasikan strategi pembangunan yang inklusif,
menggabungkan listrik dan pembangunan daerah, perlu dilaksanakan lebih serius. Tujuan
utama dari strategi ini adalah untuk menjangkau dan upliftthe seluruh masyarakat

(pembangunan untuk semua). Temuan ini menawarkan beberapa wawasan tentang aspek
spasial konsumsi listrik di Indonesia dan pembangunan daerah. Lebih penting lagi,
Indonesia dapat meningkatkan kinerja daerah dengan memperhatikan dimensi spasial
penduduk, industrialisasi, pengembangan listrik, dan kemiskinan.

Anda mungkin juga menyukai