Editor :
Kulon Progo, Kendeng, dan Majalengka dan daerah lainnya menjadi saksi
bisu terampasnya hak-hak rakyat atas tanah. Jawa, pulau yang penuh akan
kearifan lokal dengan sumber daya agrarianya kini perlahan akan lenyap
ditimbun tumpukan batu- batu dan semen. Berdalih untuk kepentingan umum,
pabrik dan bandara perlahan mulai menancapkan diri di atas tanah Jawa. Untuk
memenuhi kehausan akan predikat Indonesia sebagai negara maju, hak-hak
rakyat atas tanahnya disingkirkan. Lahan-lahan pertanian perlahan mulai rata
dengan beton-beton bangunan megah. Lantas, inikah yang ingin kita sebut
dengan pembangunan? Ketika Indonesia telah menyandang predikat Negara
maju, namun melakukan pembangunan diatas jeritan dan tangis rakyatnya,
masih pantaskah kita disebut manusia?
Jawa Sulawesi
Luas Lahan (Ha) 3,054,529 939,834
Tak jauh dengan Jawa, Sulawesi yang secara geografis dipenuhi dengan hutan
belantara akan mengalami nasib yang serupa. Penebangan hutan akan ramai
dilakukan untuk membuka lahan pertanian yang baru demi mengejar
ketertinggalan atas luasan lahan yang begitu jauh dengan Jawa. Masyarakat adat
Sulawesi yang mayoritas tinggal dalam hutan akan tergeser akibat deforestasi.
Dampak-dampak seperti ini seharusnya menjadi pertimbangan mendalam bagi
planner MP3EI. Pembangunan yang direncanakan sama sekali tidak sesuai
dengan kearifan lokal yang ada.
Gambar 1. Data BPS 2013 (Diolah)
Pilihan komoditi pangan dalam dua koridor tersebut (Sumatera dan Jawa)
justru berorientasi pada ekspor dan bukan memenuhi konsumsi pangan
masyarakat lokal, contohnya karet dan sawit. Ini akan menimbulkan masalah
terhadap sistem keseimbangan pangan masyarakat. Pengembangan sentra
pangan di dua koridor tersebut lebih diarahkan pada industrialisasi pangan,
dimana pemerintah mendorong korporasi atau pemilik modal besar untuk
terlibat dalam industri ini. Kebijakan ini akan menciptakan dominasi korporasi
sehingga cenderung akan menciptakan liberalisasi pangan yang beresiko
terhadap kerawanan pangan.
Salah satu masalah signifikan yang muncul sebagai bibit konflik agraria
adalah ketenagakerjaan. Dominasi swasta terhadap hak guna usaha lahan tidak
dibarengi dengan penyerapan tenaga kerja yang sesuai. Menurut Peneliti Senior
Prakarsa, Setyo Budiantoro (2016), ketika petani menjual lahannya untuk
kepentingan industri akan ada pula perubahan sosial dan ekonomi kawasan
tersebut. Perubahan itu salah satunya adalah penyerapan tenaga kerja yang
berasal dari luar daerah tersebut. Kondisi seperti ini akan menciptakan kondisi
kecemburuan sosial bagi masyarakat lokal. Masyarakat yang awalnya bekerja
sebagai petani tidak turut diserap sebagai tenaga kerja setelah lahannya
dialihfungsikan untuk industri. Hal ini yang kemudian menyebabkan hilangnya
mata pencarian masyarakat lokal yang kemudian memicu terjadi konflik antara
masyarakat lokal dengan korporasi.
4. Implikasi MP3EI Dalam Membentuk Konflik Agraria
Pesta pertanahan semakin panas setelah jalannya MP3EI. Pembangunan
secara massif mulai digencarkan dengan detail yang telah tersusun rapih.
Keenam koridor ekonomi mulai dibangun perlahan berdasarkan planning
koridorisasi yang sama sekali tidak dilandaskan kearifan lokal. Tak terkecuali
dengan Jawa dan Sulawesi. Lahan pertanian Jawa perlahan mulai
dialihfungsikan menjadi infrastruktur, pabrik dan bandara. Kasus pembangunan
pabrik semen Rembang, bandara di Majalengka dan Kulon Progo menjadi
buktinya. Hutan Sulawesi dan Sumatera mulai mengalami deforestasi. Terbukti
melalui laporan Konsorsium Pembangunan Agraria (KPA) yang menjelaskan
bahwa sektor kehutanan merupakan sektor dengan luasan konflik agraria terluas
hingga 2016.
Transformasi dari Jawa sebagai lumbung pangan menjadi pusat industri
benar- benar direalisasikan. Menko perekonomian mencatat pada tahun 2013
terdapat 67 proyek yang telah dilakukan groundbreaking di pulau Jawa dengan
nilai investasi sebesar 209,4 triliun rupiah. Transformasi agraria ini
menimbulkan perlawanan- perlawanan dari masyarakat yang kemudian tumbuh
menjadi konflik berkelanjutan. Pembangunan dilakukan di wilayah-wilayah
strategis pertanian dan perkebunan yang menjadi mata pencaharian utama bagi
masyarakat lokal. Perlawanan mulai tumbuh menjadi konflik-konflik yang
terwujud dalam aksi konfrontasi.
KPA dalam Laporan Akhir Tahun 2017 mencatat ada 410 kasus konflik
agraria yang 115 kasusnya terdapat di pulau Jawa. Angka ini naik dari tahun
2012 yang tercatat ada 198 kasus. Laporan KPA juga menjelaskan bahwa pada
tahun 2017 luasan wilayah konflik mengalami kenaikan dari tahun 2013 yaitu
dari 318.248,89 hektar menjadi 520.491,87 hektar. Pasca 6 tahun pelaksanaan
MP3EI, data-data membuktikan bahwa kenaikan konflik agraria semakin
‘meroket’ semenjak 2011.
5. Implikasi MP3EI Dalam Pelanggaran HAM
Menurut Komnas HAM (2015), sengketa dan/atau konflik agraria
seringkali disusul dengan kriminalisasi kelompok masyarakat yang berusaha
mempertahankan dan/atau mengambil kembali hak-haknya. Konflik agraria di
Indonesia biasanya disertai dengan perseteruan fisik: perkelahian, tindak
kekerasan dan kriminal, kerusuhan, dan bahkan perang akibat dalam kasus-
kasus sengketa agraria tidak diselesaikan hingga ke akar masalahnya, bahkan
cenderung dibiarkan.
KPA mencatat sampai tahun 2017 terdapat 41 orang tewas akibat konflik
agraria. Angka ini naik dari tahun 2012 yang hanya sebanyak 3 orang.
Sebanyak 224 orang dianiaya, 369 dikriminalisasi, 6 orang tertembak dan 13
orang tewas sampai tahun 2017. Terlibatnya peluru sebagai penyebab hilangnya
nyawa masyarakat sangat menjelaskan bahwa ada pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh pihak aparat. Sebanyak 140 dari 659 konflik yang terjadi sampai
tahun 2017 adalah antara warga dengan Pemerintah serta TNI & Polri. KPA
juga mencatat bahwa aktor pelaku kekerasan dalam konflik agraria adalah Polri
dan disusul dengan intimidasi yang dilakukan oleh aktor swasta.
Gambar 3. Proyek MP3EI Koridor Jawa oleh Campuran (Buku MP3EI, 2011)
Buku tersebut menjelaskan bahwa kunci sukses dari strategi ini (koridor
Bali-NT sebagai pintu gerbang pariwisata) adalah dengan pengadaan akses
seperti peningkatan rute penerbangan ke daerah-daerah pariwisata di sekitar
Bali (gambar4). Dari sini, dapat diambil benang merahnya bahwa pembangunan
bandara NYIA di Kulon Progo seakan memiliki urgensi tinggi untuk dibangun
karena : 1) Periode selesainya hanya tersisa 1 tahun lagi dan; 2) kunci
kesuksesan koridor Bali-NT sebagai pintu gerbang pariwisata.
Jika dirunut, maka MP3EI sangat berimplikasi pada kasus pabrik semen
di Rembang. MP3EI yang menempatkan Jawa sebagai sentra industri dan
transportasi, dan untuk membangun segala infrastruktur jelas butuh semen
sebagai bahan dasar pembangunan. Oleh karena itu maka pabrik semen di
Rembang seakan sangat urgent dibangun sampai-sampai Gubernur Jawa
Tengah berani untuk melanggar ketentuan dengan menerbitkan kembali IPL
yang telah dimenangkan oleh MA sebelumnya. Dalam konteks ini, terlihat
bahwa MP3EI tengah menjadi pertimbangan bagi Gubernur Jawa Tengah dalam
mengambil keputusan pembangunan. Ketiga kasus tersebut sangat
menggambarkan bahwa Indonesia hari ini berada di tengah fase 2 yang
menggencarkan pembangunan infrastruktur dan industri (gambar 5). Dari sini,
dapat diperlihatkan bahwa jika sampai 2020 MP3EI masih diselenggarakan
maka akan ada puluhan atau mungkin ratusan spot konflik agraria yang dapat
muncul akibat pembangunan infrastruktur..
7. KESIMPULAN
Berdasarkan kajian dan berbagai pendekatan diatas, dapat disimpulkan
bahwa MP3EI merupakan rancangan pembangunan jangka panjang yang keliru.
MP3EI tidak dibangun diatas kearifan lokal dan kondisi ekologis masing-
masing koridor. Dengan prinsip “not business as usual”, MP3EI bukan
membangun daerah dari masyarakat daerah itu sendiri tapi justru membuka
celah penguasaan lahan bagi korporat dalam dan luar negeri. MP3EI tidak
relevan untuk dijadikan acuan pembangunan domestik terlebih karena
terorientasi pada produksi komoditas untuk ekspor bukan untuk pemenuhan
pangan lokal. Jika terus dilanjutkan MP3EI akan terus menciptakan konflik-
konflik agraria baru di Jawa dan daerah lainnya. Ledakan-ledakan konflik akan
terjadi selama semangat pembangunan MP3EI terus dijalankan.
8. Saran
1. Pengkajian ulang terhadap Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025
2. Jadikan Jawa dan Sumatera sebagai koridor sentra produksi pangan
Indonesia
3. Penyelarasan MP3EI dengan komitmen pemerintahan pemerintah terhadap
reforma agraria yang tertuang dalam butir-butir Nawacita
4. Peninjauan ulang skala prioritas produksi komoditas pangan
5. Pembuatan UU baru yang memperbarui Perpres Nomor 32 tahun 2011 untuk
pembatasan kepemilikan lahan oleh korporasi di setiap provinsi
DAFTAR PUSTAKA
http://www.kemendag.go.id/files/pdf/2012/12/06/master-
plan-2011-2025-id0- 1354731495.pdf
http://www.pertanian.go.id/file/Statistik_Lahan_2014.pdf
http://www.kpa.or.id/news/blog/ini-data-konflik-agraria-di-tanah-air-sepanjang-
tahun-2017/
http://kontras.org/lampiran/Laporan%20Akhir%20Tahun%20Catatan%20Ag
raria%202013% 20KPA.pdf
http://theprakarsa.org/new/ck_uploads/files/201401%20FGD%20JAKARTA.pd
f
http://ditjenbun.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/file/statistik/2016/S
AWIT%202014- 2016.pdf
http://www.bappenas.go.id/files/5413/9148/4109/Proyeksi_Penduduk_I
ndonesia_2010- 2035.pdf
https://www.komnasham.go.id/files/20161008-laporan-tahunan-komnas-ham-
2015-
$R0EQA7F.pdf
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160901092111-20-155294/bpn-
terbitkan-25-juta- sertifikat-untuk-atasi-konflik-tanah/