Anda di halaman 1dari 18

Kajian Masteplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan

Ekonomi Indonesia 2011-2025 : Pemicu Konflik Agraria


Di Bumi Pertiwi

Editor :

Bidang Kajian Strategis Dan Advokasi


Ikatan Senat Mahasiswa Pertanin Indonesia
Wilayah III
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang

Tekanan global yang memaksa Negara Indonesia harus menghadapi


pembangunan yang sangat massive baik pada tingkat regional hingga nasional.
Pembangunan yang digalakkan tersebut merupakan manifestasi dari semangat
rezim masa kini yang menjelma sebagai rezim pembangunan. Ketika kembali
melihat ke belakang, implikasi sejarah sangat jelas diperlihatkan. Orde baru,
sebuah babak baru pembangunan Indonesia yang diampu oleh Soeharto setelah
instruksi legendaris Supersemar melahirkan sebuah lonjakan pembangunan
yang secara ekstrim terorientasi pada eksploitasi sumber daya alam untuk
melaksanakan pembangunan- pembangunan nasional. Orde baru kemudian
meninggalkan sebuah warisan paradigma yang hingga kini masih terinsepsi ke
dalam tata kelola pembangunan negeri yang kaya raya ini. Warisan yang hari ini
menjadi alasan terjadinya kemelut konflik agraria di negeri agraris ini.

Kulon Progo, Kendeng, dan Majalengka dan daerah lainnya menjadi saksi
bisu terampasnya hak-hak rakyat atas tanah. Jawa, pulau yang penuh akan
kearifan lokal dengan sumber daya agrarianya kini perlahan akan lenyap
ditimbun tumpukan batu- batu dan semen. Berdalih untuk kepentingan umum,
pabrik dan bandara perlahan mulai menancapkan diri di atas tanah Jawa. Untuk
memenuhi kehausan akan predikat Indonesia sebagai negara maju, hak-hak
rakyat atas tanahnya disingkirkan. Lahan-lahan pertanian perlahan mulai rata
dengan beton-beton bangunan megah. Lantas, inikah yang ingin kita sebut
dengan pembangunan? Ketika Indonesia telah menyandang predikat Negara
maju, namun melakukan pembangunan diatas jeritan dan tangis rakyatnya,
masih pantaskah kita disebut manusia?

Ekspansi pembangunan dilakukan dengan menggarap sumber daya alam


yang dimiliki negara tanpa rasionalitas yang pantas. Upaya-upaya pembangunan
terus digencarkan bahkan dengan menciptakan sebuah rancangan pembangunan
yang spesifik namun dengan pertimbangan mentah. Rancangan yang kemudian
mempetak-petakkan Indonesia kedalam bagian-bagian yang sangat jelas
berorientasi pada peningkatan ekonomi semata. Dikristalisasi dalam regulasi
dan ditanam sebagai dasar pembangunan setiap daerah serta menjadi acuan
dasar bagi pemerintah daerah dalam mengambil keputusan pembangunan.

2. Materplan Percepatan Dan Perluasan Pembangunan Ekonomi


Indonesia
6 tahun yang lalu, sebuah ‘mahakarya’ lahir dari perut rezim SBY. Sebuah
mahakarya yang hingga kini menjadi salah satu alasan pecah dan ramainya
konflik agraria di penjuru negeri termasuk Jawa. MP3EI atau Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia resmi menjadi acuan
segala pembangunan domestik hingga 2025. Masterplan ini kemudian
dikristalisasi ke dalam Peraturan Presiden Nomor 32 tahun 2011 tentang
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-
2025. Menurut Perpres tersebut, MP3EI berfungsi sebagai acuan bagi menteri dan
pimpinan lembaga pemerintah non-kementerian untuk menetapkan kebijakan
sektoral dalam rangka pelaksanaan percepatan dan perluasan pembangunan
ekonomi Indonesia di bidang tugas masing-masing, yang dituangkan dalam
dokumen rencana strategis masing- masing kementerian atau lembaga pemerintah
non-kementerian sebagai bagian dari dokumen perencanaan pembangunan.

MP3EI membagi Indonesia menjadi 6 koridor ekonomi yaitu Jawa,


Sumatera, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, Kalimantan, dan Papua-Kepulauan
Maluku. Masing- masing koridor ekonomi tersebut akan menyelenggarakan
pembangunan dan kegiatan ekonomi yang diatur secara spesifik dengan uraian
sebagai berikut :
Koridor Ekonomi Kegiatan Ekonomi
Sumatera Sentra produksi dan pengolahan hasil bumi
dan
lumbung energi nasional
Jawa Pendorong industri dan jasa nasional
Sulawesi Pusat produksi dan pengolahan hasil
pertanian, perkebunan, perikanan, migas
dan pertambangan nasional
Kalimantan Pusat produksi dan pengolahan hasil
tambang dan lumbung energi nasional
Bali-Nusa Tenggara Pintu gerbang pariwisata dan pendukung
pangan nasional
Papua-Kep.Maluku Pusat pengembangan pangan, perikanan,
energi dan pertambangan nasional
Tabel 1. Koridor Ekonomi MP3EI

Berdasarkan buku MP3EI, Jawa ditetapkan sebagai koridor pendorong


industri dan jasa nasional. Secara implisit dapat dijelaskan bahwa selama 2011
hingga 2025 di Jawa akan dibangun infraktruktur yang mendorong kegiatan
ekonomi industri dan jasa termasuk transportasi. Tanah Jawa akan dipenuhi
oleh bandara dan pabrik- pabrik serta kawasan industri. Pertanian sawah Jawa
yang legendaris akan lenyap secara perlahan ditimpa bangunan-bangunan.
Kegiatan produksi pertanian justru ditempatkan di koridor Sulawesi.

Luas Lahan Sawah Jawa dan Sulawesi 2011


4,000,000
3,000,000
2,000,000
1,000,000
-

Jawa Sulawesi
Luas Lahan (Ha) 3,054,529 939,834

Grafik 1. Data BPS 2011 (Diolah)


Menurut data Badan Pusat Statistik (2011) tentang luas lahan sawah
menurut Provinsi di Indonesia, pada tahun 2011 tercatat luasan lahan sawah
atau wetland di Jawa adalah sebesar 3.054.529 hektar. Angka ini berbanding
terbalik dengan luasan lahan sawah di Sulawesi yang hanya sebesar 939.834
hektar. Data yang terlampau jauh tersebut seharusya menjadi pertimbangan
mendasar untuk menentukan kegiatan ekonomi di masing-masing koridor.
Sulawesi dengan lahan sawah yang luasnya hanya 31 % dari luas lahan sawah
di Jawa tentu sangat tidak tepat untuk dijadikan sentra produksi pangan, terlebih
produksi beras hingga kini masih menjadi masalah yang krusial dalam sektor
pangan di Indonesia.

Perencana MP3EI sejatinya telah mengetahui bahwa potensi pangan


Sulawesi jauh lebih rendah dari Jawa. Hal itu dipaparkan dengan jelas di buku
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-
2025. Buku tersebut menjelaskan bahwa Sulawesi hanya menyumbang 10
persen produksi padi nasional dan 15 persen untuk produksi jagung. Buku
tersebut juga menjelaskan bahwa Sulawesi hanya duduk di posisi ketiga sebagai
produsen terbesar pangan nasional setelah Jawa dan Sumatera. Perencana
MP3EI juga memaparkan dengan jelas bahwa Sulawesi memiliki keterbatasan
potensi ekspansi areal pertanian dan produktivitas padi di Sulawesi masih lebih
rendah dari daerah lain di Indonesia. Namun, dengan segala kekurangan
Sulawesi sebagai sentra produksi pangan tetap saja Sulawesi ditetapkan sebagai
sentra pangan. Hal ini yang kemudian menjadi sorotan tajam dan menimbulkan
pertanyaan “sudah tahu tidak berpotensi, mengapa ditetapkan sebagai sentra
pangan?”. Pertanyaan tersebut menjadi kritikan keras bahwa dalam menetapkan
sebuah masterplan pembangunan jangka panjang harus melalui pertimbangan
yang matang dan rasionalitas. Dengan menetapkan Sulawesi sebagai sentra
produksi pangan bukan memperbaiki krisis pangan namun justru akan
mengancam ketahanan pangan.

AFSIS atau ASEAN Food Security Information System (2015)


menjelaskan bahwa rasio persediaan beras dengan permintaan dalam negeri
(Indonesia) semakin turun akibat kurangnya produksi dan akibat impor
berlebih. Pada tahun 2016, rasionya hanya 2,6%, bandingkan dengan 4,7% pada
tahun 2014, yang mana angka ini adalah angka terendah di antara semua Negara
anggota ASEAN dan juga jauh di bawah angka 20% yang dianggap sebagai
angka optimum. Hal ini menunjukkan bahwa krisis beras di Indonesia masih
perlu dibenahi. Dengan penempatan Sulawesi - yang memiliki luasan lahan
sawah atau wet land sangat jauh di bawah Jawa - sebagai sentra pangan, tentu
sangat sulit untuk membenahi produksi beras nasional. Dalam konteks
ketahanan pangan dan pemanfaatan sumber daya agraria, MP3EI sangatlah
tidak tepat sebagai acuan pembangunan.
3. Keeliruan Desain MP3EI
Rancangan seperti ini selanjutnya akan melahirkan konflik-konflik agraria
baru di daerah yang terdampak. Transformasi dari Jawa yang didominasi lahan
pertanian khususnya sawah menjadi bandara, pelabuhan, maupun pabrik akan
memicu terjadinya alih fungsi lahan besar-besaran. Kondisi ini jelas akan
memicu pecahnya konflik agraria baik secara vertikal maupun horizontal.
Perbedaan standing position maupun kepentingan ekonomi akan melahirkan
konflik horizontal yang akan berimbas pada hancurnya tatanan sosial
masyarakat.

Tak jauh dengan Jawa, Sulawesi yang secara geografis dipenuhi dengan hutan
belantara akan mengalami nasib yang serupa. Penebangan hutan akan ramai
dilakukan untuk membuka lahan pertanian yang baru demi mengejar
ketertinggalan atas luasan lahan yang begitu jauh dengan Jawa. Masyarakat adat
Sulawesi yang mayoritas tinggal dalam hutan akan tergeser akibat deforestasi.
Dampak-dampak seperti ini seharusnya menjadi pertimbangan mendalam bagi
planner MP3EI. Pembangunan yang direncanakan sama sekali tidak sesuai
dengan kearifan lokal yang ada.
Gambar 1. Data BPS 2013 (Diolah)

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2013) tentang proyeksi penduduk


Indonesia 2010-2035, distribusi penduduk Indonesia dominan berada pada
Pulau Jawa dan Pulau Sumatera, 78% penduduk Indonesia berada di dua pulau
ini. Data tersebut dengan sangat jelas menyampaikan bahwa pada tahun 2025
kepadatan penduduk Indonesia akan sangat terkonsentrasi di Jawa dan
Sumatera. Idealnya, data ini menjadi dasar pertimbangan bahwa kebutuhan
pangan seharusnya terkonsentrasi pada dua pulau ini. Ketika sentra produksi
pangan jauh dari konsumen (penduduk) maka resiko hancurnya ketahanan
pangan semakin besar. Dengan jauhnya sentra pangan juga akan menyebabkan
lonjakan harga komoditas pangan sebagai akibat dari biaya distribusi.

Pilihan komoditi pangan dalam dua koridor tersebut (Sumatera dan Jawa)
justru berorientasi pada ekspor dan bukan memenuhi konsumsi pangan
masyarakat lokal, contohnya karet dan sawit. Ini akan menimbulkan masalah
terhadap sistem keseimbangan pangan masyarakat. Pengembangan sentra
pangan di dua koridor tersebut lebih diarahkan pada industrialisasi pangan,
dimana pemerintah mendorong korporasi atau pemilik modal besar untuk
terlibat dalam industri ini. Kebijakan ini akan menciptakan dominasi korporasi
sehingga cenderung akan menciptakan liberalisasi pangan yang beresiko
terhadap kerawanan pangan.

Studi Sophie Chao (2013) menunjukan banyak konflik lahan di Indonesia


merupakan konsekuensi dari banyaknya akuisisi lahan oleh pihak swasta dan
lemahnya pengaturan lahan karena maraknya praktek – praktek korupsi di
sistem birokrasi terutama di institusi pertanahan. Namun, MP3EI dengan prinsip
‘not business as usual’ justru didesain untuk membuka peluang bagi swasta
untuk akuisisi lahan masyarakat. MP3EI juga mengarahkan pembangunan
pertanian ke arah perkebunan sawit. Padahal KPA mencatat bahwa perkebunan
khususnya sawit berdiri sebagai sektor terbanyak yang menyumbang konflik
agraria sampai 2016, bahkan pada tahun 2013 mencapai angka 180 kasus
dengan luasan 527.939 hektar. Sawit Watch juga mencatat bahwa kenaikan luas
area perkebunan di Indonesia paling tajam ada pada tahun 2010 ke 2011 artinya
setelah MP3EI diberlakukan luasan lahan perkebunan di Indonesia semakin
meningkat.

Perusahaan Status Luas


Kepemilikan (Ha)
Sime Darby Malaysia 289.422
sinar mas group Indonesia 278.400
astra agro lestari Indonesia 272.994
IndoAgri Indonesia 230.919
Guthrie Berhad Malaysia 221.685
Wilmar Group Singapore 186.623
PTPN IV BUMN 136.737
Sampoerna Agro Indonesia 114.827
Bumitama Agri Singapore 113.383
PP London Sumatera Plantation Indonesia 106.407
PTPN III BUMN 105.290
Bakrie Sumatera Plantation Indonesia 103.288
Kuala lumpur Kepong Malaysia 98.792
tabung haji Plantation Malaysia 82.147
PTPN V BUMN 77.064
Golden hope plantation Malaysia 12.883
Tabel 2. Data : Prakarsa, 2013 (Diolah)
Dominasi korporasi yang diciptakan MP3EI terhadap lahan perkebunan
semakin kasat mata. Prakarsa (2013) mencatat bahwa setelah berlakunya
MP3EI lahan perkebunan sawit semakin didominasi oleh kepemilikan swasta.
Astra Agro Lestari, Sinar Mas Group dan Indogri duduk diposisi 2,3 dan 4.
Lebih parah lagi, perusahaan dengan luasan terbesar adalah kepemilikan asing
yaitu Malaysia. Dari 16 besar perusahaan yang tercatat, 7 diantaranya adalah
milik asing. Kontrol Negara terhadap aset lahan perkebunan sawit melalui
BUMN mulai tersingkirkan. PTPN hanya memiliki lahan perkebunan sawit
sebesar 319.091 hektar. Angka tersebut sangat-sangat kecil dari kepemilikan
asing yang sebesar 1.004.935 hektar. Artinya, Negara melalui BUMN hanya
menguasai lahan 13,12% dari total luasan 16 perusahaan tersebut, sisanya
dimiliki swasta Indonesia dan asing.

Grafik 2. Data : Ditjend Perkebunan Kementerian Pertanian, 2015 (Diolah)

Menurut data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian


(2015), angka pengusahaan lahan sawit oleh PBN (Perkebunan Besar Negara)
sangat-sangat jauh dengan angka pengusahaan lahan sawit oleh PBS
(Perkebunan Besar Swasta). Pada tahun 2015, pengusahaan lahan perkebunan
sawit oleh PBN hanya sebesar 750.160 hektar, sedangkan pengusahaan lahan
oleh PBS sebesar 5.975.109 hektar. Artinya, Negara melalui perkebunan
Negara hanya menguasai 12,5% lahan perkebunan di Indonesia dan sisanya
dikuasai oleh swasta. Melihat trend kenaikan dari 2011 (resminya MP3EI)
hingga 2016, angka gradien kenaikan pengusahaan lahan oleh PBN hanya
16.831 hektar per tahun sedangkan angka gradien kenaikan oleh PBS mencapai
angka 338.529 hektar per tahun. Setiap tahunnya ada 338.529 hektar lahan yang
mulai dikuasai oleh korporasi. Data tersebut jelas menunjukkan bahwa MP3EI
membuka celah-celah bagi korporat untuk menguasai sumber daya agraria di
sektor perkebunan melalui investasi.

Salah satu masalah signifikan yang muncul sebagai bibit konflik agraria
adalah ketenagakerjaan. Dominasi swasta terhadap hak guna usaha lahan tidak
dibarengi dengan penyerapan tenaga kerja yang sesuai. Menurut Peneliti Senior
Prakarsa, Setyo Budiantoro (2016), ketika petani menjual lahannya untuk
kepentingan industri akan ada pula perubahan sosial dan ekonomi kawasan
tersebut. Perubahan itu salah satunya adalah penyerapan tenaga kerja yang
berasal dari luar daerah tersebut. Kondisi seperti ini akan menciptakan kondisi
kecemburuan sosial bagi masyarakat lokal. Masyarakat yang awalnya bekerja
sebagai petani tidak turut diserap sebagai tenaga kerja setelah lahannya
dialihfungsikan untuk industri. Hal ini yang kemudian menyebabkan hilangnya
mata pencarian masyarakat lokal yang kemudian memicu terjadi konflik antara
masyarakat lokal dengan korporasi.
4. Implikasi MP3EI Dalam Membentuk Konflik Agraria
Pesta pertanahan semakin panas setelah jalannya MP3EI. Pembangunan
secara massif mulai digencarkan dengan detail yang telah tersusun rapih.
Keenam koridor ekonomi mulai dibangun perlahan berdasarkan planning
koridorisasi yang sama sekali tidak dilandaskan kearifan lokal. Tak terkecuali
dengan Jawa dan Sulawesi. Lahan pertanian Jawa perlahan mulai
dialihfungsikan menjadi infrastruktur, pabrik dan bandara. Kasus pembangunan
pabrik semen Rembang, bandara di Majalengka dan Kulon Progo menjadi
buktinya. Hutan Sulawesi dan Sumatera mulai mengalami deforestasi. Terbukti
melalui laporan Konsorsium Pembangunan Agraria (KPA) yang menjelaskan
bahwa sektor kehutanan merupakan sektor dengan luasan konflik agraria terluas
hingga 2016.
Transformasi dari Jawa sebagai lumbung pangan menjadi pusat industri
benar- benar direalisasikan. Menko perekonomian mencatat pada tahun 2013
terdapat 67 proyek yang telah dilakukan groundbreaking di pulau Jawa dengan
nilai investasi sebesar 209,4 triliun rupiah. Transformasi agraria ini
menimbulkan perlawanan- perlawanan dari masyarakat yang kemudian tumbuh
menjadi konflik berkelanjutan. Pembangunan dilakukan di wilayah-wilayah
strategis pertanian dan perkebunan yang menjadi mata pencaharian utama bagi
masyarakat lokal. Perlawanan mulai tumbuh menjadi konflik-konflik yang
terwujud dalam aksi konfrontasi.

KPA dalam Laporan Akhir Tahun 2017 mencatat ada 410 kasus konflik
agraria yang 115 kasusnya terdapat di pulau Jawa. Angka ini naik dari tahun
2012 yang tercatat ada 198 kasus. Laporan KPA juga menjelaskan bahwa pada
tahun 2017 luasan wilayah konflik mengalami kenaikan dari tahun 2013 yaitu
dari 318.248,89 hektar menjadi 520.491,87 hektar. Pasca 6 tahun pelaksanaan
MP3EI, data-data membuktikan bahwa kenaikan konflik agraria semakin
‘meroket’ semenjak 2011.
5. Implikasi MP3EI Dalam Pelanggaran HAM
Menurut Komnas HAM (2015), sengketa dan/atau konflik agraria
seringkali disusul dengan kriminalisasi kelompok masyarakat yang berusaha
mempertahankan dan/atau mengambil kembali hak-haknya. Konflik agraria di
Indonesia biasanya disertai dengan perseteruan fisik: perkelahian, tindak
kekerasan dan kriminal, kerusuhan, dan bahkan perang akibat dalam kasus-
kasus sengketa agraria tidak diselesaikan hingga ke akar masalahnya, bahkan
cenderung dibiarkan.

Pasca berjalannya MP3EI, terjadi ‘ledakan’ konflik agraria di koridor-


koridor ekonomi yang secara ekologis tidak sesuai dengan koridorisasi MP3EI.
Penguasaan korporat terhadap sumber daya agraria semakin meluap dan
merebut hak-hak masyarakat atas sumber penghidupan. Masyarakat lokal yang
merasa bahwa kedudukan mereka sebagai ‘tuan rumah’ mulai tersingkirikan
dan direbutnya sumber daya alam yang telah mereka manfaatkan sejak
generasi- generasi sebelumnya tentu meluapkannya dalam sebuah perlawanan.
Konflik- konflik ini bertransformasi menjadi konfrontasi yang secara struktural
tidak hanya terjadi antara warga dengan pemerintah, bahkan lebih
terkonsentrasi pada warga dengan swasta atau korporat akibat desain MP3EI
yang memicu adanya dominasi swasta dalam kepemilikan lahan. KPA mencatat
pada tahun 2016 sebesar 38,22% konflik yang terjadi adalah antara warga
dengan swasta.

KPA mencatat sampai tahun 2017 terdapat 41 orang tewas akibat konflik
agraria. Angka ini naik dari tahun 2012 yang hanya sebanyak 3 orang.
Sebanyak 224 orang dianiaya, 369 dikriminalisasi, 6 orang tertembak dan 13
orang tewas sampai tahun 2017. Terlibatnya peluru sebagai penyebab hilangnya
nyawa masyarakat sangat menjelaskan bahwa ada pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh pihak aparat. Sebanyak 140 dari 659 konflik yang terjadi sampai
tahun 2017 adalah antara warga dengan Pemerintah serta TNI & Polri. KPA
juga mencatat bahwa aktor pelaku kekerasan dalam konflik agraria adalah Polri
dan disusul dengan intimidasi yang dilakukan oleh aktor swasta.

Konflik-konflik agraria tidak hanya menciptakan pergeseran sosial-


ekonomi masyarakat lokal, namun ikut menciptakan pelanggaran-pelanggaran
HAM. Motif pelanggaran yang dilakukan aparat tidak dapat diidentifikasi
secara jelas. Namun, dari satu sisi tindakan kekerasan oleh aparat dapat
dipandang sebagai upaya pembungkaman mobilisasi massa perlawanan dan
memuluskan jalan bagi korporat-korporat yang hendak mendudukin lahan.
6. Estafet MP3EI SBY Ke Jokowi
Rancangan yang ‘salah desain’ ini hingga kini masih dilanjutkan. MP3EI
menjadi warisan peninggalan rezim SBY kepada Jokowi. Pilihan untuk
melanjutkan atau berhenti menjadikan MP3EI sebagai acuan merupakan hak
Presiden sebagai kepala Negara. Terlebih, MP3EI hanya dikristalisasi ke dalam
sebuah Perpres. Peraturan Presiden merupakan peraturan yang dibuat oleh
Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan Negara sebagai atribusi dari
Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Peraturan Presiden dibentuk untuk menyelenggarakan lebih lanjut
perintah UU atau PP baik secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan
pembentukannya. Kasus ini mengacu pada UUPA 1960. Ketika Perpres yang
dikeluarkan tidak sejalan lagi dengan semangat UUPA 1960, seharusnya
Presiden berhak untuk memberhentikan penyelenggarakan Perpres Nomor 32
tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia 2011- 2025. Faktanya, sampai hari ini MP3EI masih
digunakan sebagai acuan pembangunan nasional.
Gambar 2. Proyek MP3EI Koridor Jawa oleh Pemerintah (Buku MP3EI, 2011)

Berdasarkan tabel diatas, khususnya poin ke-4, pembangunan Bandara


Internasional Jawa Barat (BIJB) atau Bandara Kertajati yang beberapa bulan
lalu sempat menjadi objek perlawanan entitas masyarakat petani di kabupaten
Majalengka, Jawa Barat merupakan salah satu proyek yang direncanakan dalam
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI) 2011-2025. Hal ini sangat menjelaskan bahwa MP3EI hingga rezim
pemerintahan Jokowi-JK masih dipergunakan sebagai acuan pembangunan.
Proyek Bandara Kertajati yang dimulai 2007, yaitu masa pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY), masih terus dilanjutkan. Begitu pula dengan
proyek pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA) yang telah
memasuki tahap groundbreaking di kecamatan Temon, Kabupaten Kulon
Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (gambar 3). Kedua bukti tersebut kembali
menjelaskan dengan jelas bahwa rezim Jokowi melanjutkan estafet MP3EI
sebagai acuan dasar pembangunan sektoral di Indonesia. Hal itu menjelaskan
pula bahwa rezim Jokowi ikut menganut prinsip-prinsip dasar MP3EI yang
menetapkan koridor Jawa sebagai pusat industri dan transportasi.

Gambar 3. Proyek MP3EI Koridor Jawa oleh Campuran (Buku MP3EI, 2011)

Bukti konkrit bahwa transformasi Jawa menjadi sentra transportasi


melalui pembangunan bandara-bandara di pulau Jawa adalah dokumen MP3EI
sendiri. Buku Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia 2011-2025 yang disusun langsung oleh Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian menjelaskan bahwa pembangunan bandara NYIA di
Kulon Progo merupakan salah satu proyek yang saling terkoneksi dengan
koridor Bali-Nusa Tenggara yang ditetapkan sebagai pintu gerbang pariwisata
Indonesia.
Gambar 4. Peta Koneksi Pariwisata Koridor Bali-NT dan Jawa (Buku MP3EI,
2011)

Buku tersebut menjelaskan bahwa kunci sukses dari strategi ini (koridor
Bali-NT sebagai pintu gerbang pariwisata) adalah dengan pengadaan akses
seperti peningkatan rute penerbangan ke daerah-daerah pariwisata di sekitar
Bali (gambar4). Dari sini, dapat diambil benang merahnya bahwa pembangunan
bandara NYIA di Kulon Progo seakan memiliki urgensi tinggi untuk dibangun
karena : 1) Periode selesainya hanya tersisa 1 tahun lagi dan; 2) kunci
kesuksesan koridor Bali-NT sebagai pintu gerbang pariwisata.

MP3EI sangat tidak sejalan dengan Nawacita Jokowi-JK. Jokowi-JK


dalam Nawa Cita poin ke-7 yaitu ” Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan
menggerakkan sektor strategis ekonomi domestik” menjabarkan komitmennya
untuk implementasi reforma agraria melalui akses dan asset reform
pendistribusian aset terhadap petani melalui distribusi hak atas tanah petani
melalui land reform dan program kepemilikan lahan bagi petani dan buruh tani
serta menyerahkan lahan sebesar 9 juta ha. Komitmen ini jelas bertabrakan
apabila pemerintahan Jokowi-JK terus menerapkan MP3EI sebagai acuan
pembangunan. Implementasi MP3EI bukan mendorong redistribusi lahan untuk
petani namun justru membuka peluang sebesar-besarnya bagi swasta untuk
mengakuisisi lahan pertanian, untuk perkebunan maupun untuk pembangunan
industri.

Berdasarkan kajian Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), MP3EI


dijalankan dalam 3 fase. Fase 1 adalah implementasi quick wins yang telah
dilaksanakan dari tahun 2011 sampai tahun 2015. Fase 2 adalah memperkuat
basis ekonomi dan investasi yang dilaksanakan dari tahun 2015 sampai 2020,
dan Fase 3 adalah melaksanakan pertumbuhan berkelanjutan yang dilaksanakan
tahun 2020 sampai 2025. Hari ini, kita berada ditengah fase 2 yang sedang
memperkuat basis ekonomi dan investasi. Fase ini dilakukan dengan
mempercepat pembangunan infrastruktur jangka panjang dan perluasan
pengembangan industri penciptaan nilai tambah. Artinya, sepanjang tahun 2017
ini hingga 2020 Indonesia akan terus menggencarkan pembangunan
infrastruktur dan industri dengan nilai tambah yang tinggi. Hal ini sangat jelas
terlihat dalam potret pembangunan Indonesia hari ini : pembangunan pabrik di
Rembang, pembangunan bandara di Majalengka dan Kulon Progo.

Gambar 5. Tahapan Implementasi MP3EI

Jika dirunut, maka MP3EI sangat berimplikasi pada kasus pabrik semen
di Rembang. MP3EI yang menempatkan Jawa sebagai sentra industri dan
transportasi, dan untuk membangun segala infrastruktur jelas butuh semen
sebagai bahan dasar pembangunan. Oleh karena itu maka pabrik semen di
Rembang seakan sangat urgent dibangun sampai-sampai Gubernur Jawa
Tengah berani untuk melanggar ketentuan dengan menerbitkan kembali IPL
yang telah dimenangkan oleh MA sebelumnya. Dalam konteks ini, terlihat
bahwa MP3EI tengah menjadi pertimbangan bagi Gubernur Jawa Tengah dalam
mengambil keputusan pembangunan. Ketiga kasus tersebut sangat
menggambarkan bahwa Indonesia hari ini berada di tengah fase 2 yang
menggencarkan pembangunan infrastruktur dan industri (gambar 5). Dari sini,
dapat diperlihatkan bahwa jika sampai 2020 MP3EI masih diselenggarakan
maka akan ada puluhan atau mungkin ratusan spot konflik agraria yang dapat
muncul akibat pembangunan infrastruktur..
7. KESIMPULAN
Berdasarkan kajian dan berbagai pendekatan diatas, dapat disimpulkan
bahwa MP3EI merupakan rancangan pembangunan jangka panjang yang keliru.
MP3EI tidak dibangun diatas kearifan lokal dan kondisi ekologis masing-
masing koridor. Dengan prinsip “not business as usual”, MP3EI bukan
membangun daerah dari masyarakat daerah itu sendiri tapi justru membuka
celah penguasaan lahan bagi korporat dalam dan luar negeri. MP3EI tidak
relevan untuk dijadikan acuan pembangunan domestik terlebih karena
terorientasi pada produksi komoditas untuk ekspor bukan untuk pemenuhan
pangan lokal. Jika terus dilanjutkan MP3EI akan terus menciptakan konflik-
konflik agraria baru di Jawa dan daerah lainnya. Ledakan-ledakan konflik akan
terjadi selama semangat pembangunan MP3EI terus dijalankan.

8. Saran
1. Pengkajian ulang terhadap Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025
2. Jadikan Jawa dan Sumatera sebagai koridor sentra produksi pangan
Indonesia
3. Penyelarasan MP3EI dengan komitmen pemerintahan pemerintah terhadap
reforma agraria yang tertuang dalam butir-butir Nawacita
4. Peninjauan ulang skala prioritas produksi komoditas pangan
5. Pembuatan UU baru yang memperbarui Perpres Nomor 32 tahun 2011 untuk
pembatasan kepemilikan lahan oleh korporasi di setiap provinsi
DAFTAR PUSTAKA

http://www.kemendag.go.id/files/pdf/2012/12/06/master-
plan-2011-2025-id0- 1354731495.pdf

http://www.pertanian.go.id/file/Statistik_Lahan_2014.pdf

http://www.kpa.or.id/news/blog/ini-data-konflik-agraria-di-tanah-air-sepanjang-
tahun-2017/

http://kontras.org/lampiran/Laporan%20Akhir%20Tahun%20Catatan%20Ag
raria%202013% 20KPA.pdf

http://theprakarsa.org/new/ck_uploads/files/201401%20FGD%20JAKARTA.pd
f

http://ditjenbun.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/file/statistik/2016/S
AWIT%202014- 2016.pdf

http://www.bappenas.go.id/files/5413/9148/4109/Proyeksi_Penduduk_I
ndonesia_2010- 2035.pdf

Kajian DEMA Faperta UGM

https://www.komnasham.go.id/files/20161008-laporan-tahunan-komnas-ham-
2015-
$R0EQA7F.pdf

http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160901092111-20-155294/bpn-
terbitkan-25-juta- sertifikat-untuk-atasi-konflik-tanah/

Anda mungkin juga menyukai