Anda di halaman 1dari 4

ANALISIS FILM THE MAHUZEs

BERDASARKAN SUDUT PANDANG KEBUTUHAN EKONOMI DAN BISNIS

Analisis ini Ditulis untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Ilmu Ekonomi dan
Bisnis

Dosen Pengampu : Danur Condro Guritno, S.E., M.E.

Oleh:

1. Adi
2. Bella Aprila Azzahra Laksmana E0019075
3. Khansa Diva E0019229
4.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2020
Papua merupakan pulau yang indah dengan kekayaan alam yang melimpah.
Terdiri atas ratusan suku, adat istiadat, dan kekayaan alam di dalamnya, lengkap dengan
segala permasalahan sosial, perampasan sumber daya, pelanggaran HAM yang belum
dituntaskan hingga sekarang. Salah satu permasalahan yang sekarang ada yaitu konflik
antara pemerintah dengan masyarakat adat. Sebagaimana yang digambarkan dalam film
‘The Mahuzes’. Film ini merupakan film dokumenter yang berisikan bagaimana
konflik antara Suku Marind dengan pemerintah. Suku Marind mempunyai banyak
marga salah satunya adalah Mahuze. Berawal dari kunjungan Presiden Joko
Widodo pada tahun 2015, beliau berpidato di depan para pejabat daerah dan
mengatakan bahwa tanah di Kabupaten Merauke seluas 2,5 hektare dapat
digunakan sebagai lahan untuk sawah dan 1,2 hektare diantaranya siap untuk
dijadikan area persawahan. Dengan menggunakan anggaran yang ditaksir
mencapai triliunan rupiah. Anggaran tersebut diperoleh dari investor dan negara.
Proyek ini dinamakan oleh Presiden Joko Widodo sebagai MIFEE (Merauke
Intregated Food and Energy Estate).
Dari film ini, terdapat fakta yang disuguhkan yaitu pada tahun 1954
Belanda membuat sawah pertama di Papua seluas 96 Ha. Dari tahun 1954 hingga
tahun 2014 terdapat 43.000 Ha sawah yang artinya butuh 60 tahun untuk mencetak
sawah seluas itu. Melalui kunjungan Presiden ditetapkan target yang akan dicapai
oleh negara sebesar 1,2 juta hektar dimana sisa lahan yang ada hanya sebesar 500
ribu hektar. Selain itu dipaparkan bahwa terdapat lahan perkebunan kelapa sawit
sebesar 220.000 hektar.
Berdasarkan data, Kabupaten Merauke merupakan kabupaten terbesar yang
ada di Indonesia dengan luas 4,7 juta hektare. Hal ini dianggap pemerintah
Indonesia menjadi salah satu faktor Kabupaten Merauke siap dijadikan lumbung
padi. Memang sejak awal Merauke merupakan penghasil beras terbesar di tanah
Papua. Dan diharapkan dapat meningkatkan nilai ekspor Indonesia sehingga
pendapatan negara bertambah. Selain berdampak langsung terhadap negara,
Badan Pusat Statistik (BPS) Papua mencatat, jumlah penduduk miskin di Provinsi
Papua sebesar 27,76 persen (910.420 jiwa) dari total penduduk 3,28 juta pada
September 2017. Sekitar 1 dari 3 orang Papua hidup di bawah garis kemiskinan.
Dengan adanya Merauke dijadikan lumbung padi, dapat menaikkan pendapatan
masyarakat Merauke sehingga masalah kemiskinan sedikit teratasi. Pemerintah
melakukan berbagai upaya agar masyarakat dapat menggarap lahaan sawah
menjadi padi yang berkualitas. Melalui pelatihan serta penyaluran pupuk, traktor, dan
alat lainnya untuk menggarap lahan sawah.
Apabila kita menilik dari sudut pandang pemerintah, tujuan untuk
menjadikan Papua sebagai lumbung pangan dan energi untuk kepentingan ekspor
demi memajukan perekonomian negara memang sangat baik. Namun, yang
menjadi permasalahan berikutnya adalah bagaimana nasib masyarakat asli Papua,
dan apakah perubahan ini akan mensejahterakan mereka atau justru semakin
mempersulit kehidupan mereka.
Seperti yang dapat kita lihat, hutan memiliki makna yang besar bagi
masyarakat Papua itu sendiri. Mereka menganggap hutan merupakan rahim ibu.
Dimana dalam tanah tersebut terdapat sumber penghidupan mereka, makan dan
minum sampai mati nantinya tanah itulah yang menyimpannya. Dari hutan
mereka dapat memperoleh dari makanan dari berburu binatang dan memanen sagu.
Alam menyediakan segalanya dengan gratis. Sehingga dalam segala kegiatan
perekonomian pun, hutan pula yang dieksploitasi sumber dayanya untuk menjadi
sumber penghasilan masyarakat sekitar.
Ditambah lagi beberapa masyarakat yang juga bermata pencaharian
sebagai petani. Lahan yang biasa digunakan sebagai tempat bercocok tanam pun
digusur paksa untuk dialihfungsikan sebagai perkebunan kelapa sawit. Hal
tersebut tentunya sangat merugikan masyarakat.
Proyek MIFEE yang sudah dijelaskan di atas jelas diketahui membawa
dampak buruk bagi kelangsungan hidup masyarakat Papua, salah satunya
pencemaran air. Selain membabat habis hutan dan menghilangkan sumber pangan
dan sandang pribumi Papua, air sungai akan terkontaminasi oleh limbah. Tidak
hanya limbah kelapa sawit, tetapi juga limbah kayu serpih. Pribumi Papua
kesulitan mencari air bersih dan ikan-ikan di sungai.
Akibat penolakan tersebut, palang yang sengaja dipasang oleh masyarakat
sekitar supaya tidak diserobot dan tidak terjadi pengrusakan hutan adat, dua
oknum sewaan dari perusahaan PT. ACP (Kelapa Sawit) memaksa agar plang
tersebut dilepas. Warga yang kebetulan ada di sekitar tidak berani melawan dan
hanya dapat pasrah melihat hal tersebut. Kini, segala kebijakan yang telah
ditetapkan pun terkesan hanya mengikuti ego pemerintah dan menyengsarakan
masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai