Anda di halaman 1dari 10

PENINGKATAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT

PASCA PEMBANGUNAN BENDUNGAN NIPAH MELALUI


PENGUATAN EKONOMI MASYARAKAT

Yosi Darmawan Arifianto, ST, MT


Widyaiswara Kementerian PUPR

Ir. Joko Mulyono, ME


Jafung Ahli Teknik Pengairan Madya-SDA
Ahli Teknik Bendungan Besar Utama – KNIBB
Assesor Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional – LPJKN

ABSTRAK
Rencana pembangunan bendungan Nipah dimulai tahun 1973 diawali sosialisasi ke
masyarakat serta meminta restu kepada sejumlah ulama dan tokoh masyarakat. Bendungan
Nipah terletak di Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur, dan telah diresmikan oleh
Presiden Joko Widodo, tanggal 19 Maret 2016. Pembebasan lahan dimulai pada 1982,
tetapi pembangunannya berhenti pada 1993. Setelah lama berhenti, pengerjaan fisiknya
dimulai lagi pada 2008. Namun di tahun 2008-2013 terjadi penundaan penggenangan
karena adanya penolakan masyarakat (masalah sosial). Setelah itu di tahun 2013-2015
terjadi kesepakatan unuk menurunkan elevasi mercu bendungan. Suksesnya pembangunan
waduk tersebut tidak lepas dari pendekatan yang dilakukan Bupati Sampang kepada
masyarakat dengan cara persuasif. Pembangunan waduk ini diharapkan memiliki dampak
jangka panjang bagi masyarakat. Ada 1.150 hektar lahan pertanian yang akan produktif
setelah waduk ini diresmikan, Kabupaten Sampang akan menjadi salah satu penyumbang
pangan di negeri ini. Bendungan Nipah dibangun di atas tanah seluas 527 hektar di tiga
desa di Kecamatan Banyuantes, yakni Desa Montor, Nagasareh, dan Tebanah. Waduk itu
juga mencakup lahan di Desa Banyusokah, Kecamatan Ketapang.

Kata kunci : sosial ekonomi, waduk, penguatan ekonomi


1. PENDAHULUAN
Dilihat dari segi geografisnya, kabupaten Sampang Madura terletak di 113°08’-
113°39’ Bujur Timur dan 06°05’-07°13’ Lintang Selatan, adapun batas-batasnya adalah
sebagai berikut: Sebelah Utara Laut Jawa, Sebelah Timur, Kabupaten Pamekasan, Sebelah
Selatan Selat Madura, Sebelah Barat Kabupaten Bangkalan. Meskipun banyak orang yang
menyebut sebagai pulau Madura, namun wilayah ini sebenarnya merupakan bagian dari
Provinsi Jawa Timur. Uniknya wilayah ini memiliki kultur yang relatif berbeda dengan
daerah-daerah yang ada di Jawa Timur. Dalam administrasi pemerintahannya Madura
dibagi menjadi empat kabupaten: Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep. Orang
sering memilah kepulauan Madura menjadi dua bagian: Madura Barat (Sampang dan
Bangkalan) dan Madura Timur (Pamekasan dan Sumenep). Orang Madura memiliki
bahasa tersendiri, yaitu bahasa Madura yang termasuk kelompok bahasa Austeronesia.
Bahasa Madura yang digunakan oleh masyarakat kabupaten Sampang merupakan bahasa
campuran antara bahasa Madura dialek Bangkalan dan bahasa Madura dialek Pamekasan.
Kedua macam dialek itu mempunyai ciri-ciri tertentu yang berbeda antara dialek yang satu
dan yang lain. Unsur-unsur yang berbeda itu meliputi kosa kata, morfologi, fonologi, dan
intonasi.

Gambar 1. Pulau Madura, Provinsi Jawa Timur


Masyarakat Madura sangat taat beragama. Selain ikatan kekerabatan, agama
menjadi unsur penting sebagai penanda identitas mereka. Bagi orang Madura, Islam sudah
menjadi bagian tak terpisahkan dari jati diri. Jika ada orang Madura yang memeluk agama
lain selain Islam, identitas kemaduraannya bisa hilang sama sekali. Lingkungan sosialnya
akan menolak dan orang yang bersangkutan bisa terasing dari akar Maduranya. Selain itu,
masyarakat Madura memiliki jatidiri suka bekerja keras, berani mempertahankan
kebenaran, senang merantau dan mereka tergolong sebagai pemeluk Islam yang fanatik.
Kedengarannya aneh jika ada orang Madura yang tidak beragama Islam. Tidak
mengherankan jika di dalam beberapa rumah mereka terdapat langgar-langgar (mushalla)
pribadi, meskipun tak jauh dari tempat tinggal mereka terdapat masjid sebagai tempat
beribadah pada tingkat desa atau dusun. Dalam banyak segi, langgar menjadi simbol bagi
kesatuan umat setempat dengan seorang kyai langar sebagai pemimpinannya. Hampir di
setiap rumah orang Madura, terdapat bangunan langgar yang sekaligus sebagai simbol
ketaatan mereka terhadap agama Islam yang diyakininya.
Di samping itu, Madura terkenal dengan sebutan pulau garam, seribu pesantren,
dan “Serambi Madinah”. Citra Madura sebagai “masyarakat santri” sangat kuat. Menjadi
seorang haji, misalnya, merupakan impian setiap orang, dan mereka akan berusaha keras
untuk mewujudkannya. Seolah-olah “kesempurnaan hidup” telah dapat dilampauinya jika
bisa mengunjungi tanah suci melaksanakan ibadah haji. Para pemeluk agama Islam di
Madura juga telah mendirikan beberapa lembaga pendidikan Islam seperti madrasah dan
pesantren. Pesantren merupakan pendidikan yang sangat longgar terutama dari segi
pendanaan. Selama pesantren masih dibutuhkan masyarakat, peranan pemimpin agama di
Madura tetap akan besar. Dengan begitu, kyai bagi masyarakat Madura adalah figur
seorang yang dipatuhi dan dipercayai. Dengan kata lain, kyai adalah “kiblat” bagi
masyarakat Madura untuk mengembalikan segala persoalan yang berkaitan dengan agama
maupun keduniaan. Kepercayaan dan kepatuhan seperti itu telah membudaya dan menjadi
tradisi yang turun temurun.
Bendungan Nipah bisa dimanfaatkan untuk mengairi sawah seluas 1.150 Ha. 925
Ha diantaranya sawah baru hasil pengembangan sawah tadah hujan. Sisanya, seluas 225
Ha, areal sawah yang sudah ada. Membangun bendungan akan menjamin produksi pangan
kita di masa depan. Karena kunci ketahanan pangan adalah ketersediaan air. Dengan
bendungan juga kita bisa melaksanakan konservasi sumber daya air, perikanan dan
menciptakan destinasi wisata baru.
Gambar 2. Bendungan Nipah

Data Teknis Bendungan Nipah: (Sumber: Kementerian PUPR, 2018)

Tipe : Bendungan Urugan Batu Inti Tegak


Debit Banjir Rencana : 219,760 m3/dt
Tinggi Bendungan : 22,50 m
Lebar Puncak : 7,00 m
Panjang Bendungan : 110,85 m
Luas DAS : 82,75 km2
Kapasitas Tampungan : 6,13 x 106 m3

Gambar 3. Luas Genangan Waduk Nipah


2. LATAR BELAKANG
Kabupaten Sampang mempunyai potensi untuk dikembangkan yang diharapkan
mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat. Salah satu potensi yang belum digarap
dengan serius adalah bidang pertanian. Pemerintah Kabupaten Sampang telah menetapkan
Kecamatan Banyuates sebagai sentra agrobisnis di Kabupaten Sampang. Hal ini didasari
oleh beberapa pertimbangan adanya beberapa potensi yaitu potensi masyarakat, potensi
lahan dan potensi vegetasi. Potensi masyarakat di kawasan tersebut (termasuk Desa
Nagasareh, Pelanggaran Barat dan Masaran) sangat mendukung untuk dikembangkan
sebagai kawasan agribisnis. Kultur agraris masyarakat yang kuat serta pengalaman usaha
tani yang panjang merupakan peluang besar yang sangat dibutuhkan dalam
mengembangkan kawasan agribisnis. Mereka sudah mempunyai pengalaman yang luar
biasa dalam bercocok tanam. Hanya perlu didorong untuk mampu menerapkan teknologi
produksi baru agar produktifitas hasil usaha taninya meningkat.
Kecamatan Banyuates mempunyai luas lahan pertanian yang paling luas
dibandingkan Kecamatan Sokobanah dan Kecamatan Ketapang yang sama-sama akan
dikembangkan sebagai kawasan agribisnis di Kabupaten Sampang. Luas lahan pertanian
sawah di Kecamatan Banyuatas adalah 1.076 Ha sedangkan non sawah 12.083 Ha
sedangkan untuk lahan non pertanian hanya 964 Ha. Sehingga penggunaan lahan untuk
aktifitas pertanian lebih besar hingga mencapai 91.93 Ha dari luas lahan secara
keseluruhan, atau bisa dikatakan 93% dari luas lahan digunakan untuk aktifitas pertanian
dan sisanya 7% untuk non pertanian. Untuk mendukung program tersebut, Pemerintah
telah membangun Bendungan Nipah di Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang. Salah
satu tujuannya adalah untuk meningkatkan ketersediaan air untuk irigasi sehingga jumlah
lahan beririgasi teknis akan meningkat dari yang semula 225 hektar yang sudah
mendapatkan sumber air dari Bendungan Montor dtambah dengan 925 ha yang merupakan
areal sawah tadah hujan.
Dalam proses pembebasan tanah Waduk Nipah, Pemerintah saat itu melibatkan
unsur militer di dalamnya. Kasus Nipah merupakan tragedi berdarah terjadi pada 25
September 1993. Proses pembebasan tanah berjalan satu arah, sementara masyarakat tidak
dilibatkan untuk berunding, sehingga mereka enggan mengucap kata mufakat alias
menolak. Warga yang saat itu menolak pembangunan dianggap melakukan perlawanan.
Sejumlah warga menjadi korban dalam tragedi berdarah puluhan tahun silam. Mereka
adalah 4 (empat) warga yang mati berkalang tanah akibat menolak pembangunan Waduk
Nipah. Kasus tersebut dikenal dengan nama Peristiwa Waduk Nipah
Konflik bermula dari permasalahan tanah milik masyarakat Nipah yang akan
dijadikan waduk. Jika waduk dioperasikan akan berdampak terhadap lahan pertanian
mereka ikut tergenang. Padahal lahan pertanian ini adalah satu satunya sumber mata
pencaharian mereka yaitu bertani. Tanah bagi masyarakat Nipah sendiri bukan hanya
bermakna ekonomis melainkan juga bermakna kultural. Makna kultural tanah dipahami
masyarakat sebagai sebuah posaka (pusaka) peninggalan leluhur yang harus dijaga dan
dipertahankan. Pemaknaan lokal masyarakat Nipah mengenai tanah inilah yang tidak
dipahami oleh pemerintah. Pemerintah hanya melihat bahwa masyarakat Nipah yang
meliputi 8 (delapan) desa membutuhkan sebuah waduk irigasi untuk meningkatkan
penghasilan pertanian mereka menjadi dua kali lipat. Pasalnya, pemerintah melihat
wilayah Nipah itu hanya sebagai hamparan lahan kering.

3. PERMASALAHAN
Permasalahan yang dihadapi masyarakat disekitar waduk Nipah adalah:
kekurangan air, modal dan sarana produksi, semua bidang usaha (peternakan, pertanian,
kehutanan dan industri) mengalami kekurangan modal (Irigasi Andalan Jawa Timur,
2005). Tingkat Pendidikan penduduk juga sangat rendah. Penduduk dengan tingkat
Pendidikan diatas SLTP hanya 3%, sedangkan tidak tamat SD 14%, dan tamat SD 16%.
Sisanya 67% tidak sekolah. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya perkuatan ekonomi bagi
masyarakat disekitar Bendungan Nipah. Penulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi
kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat, serta mengidentifikasi isu-isu strategis
dalam masyarakat di sekitar Waduk Nipah, serta mengkaji penguatan ekonomi masyarakat
pasca pembangunan Waduk Nipah

4. PEMBAHASAN
Pembangunan Bendungan Nipah merupakan solusi untuk pertumbuhan wilayah di
kawasan di dataran rendah seperti Desa Montor, Tebanah dan desa-desa sekitarnya karena
mampu memperluas lahan pertanian yang berigasi teknis seluas 225 Ha (semula irigasi
semi teknis) dan 925 Ha (semula tanah tadah hujan). Sehingga ditinjau dari dampak
positifnya memang cukup besar dalam rangka mengurangi keterbatasan air di Pulau
Madura khususnya Kabupaten Sampang. Namun dampak negatifnya juga cukup besar.
Pembebasan lahan untuk daerah. Tangkapan bendungan seluas 357,073 ha yang tersebar di
7 desa menimbulkan dampak sosial, ekonomi dan budaya yang besar. Pembebasan lahan
yang dilakukan sejak 1981 telah memberikan ganti rugi kepada 1,871 kepala keluarga,
namun hingga tahun 2013 proses pembebasan lahan masih belum selesai karena klaim
masyarakat bahwa lahannya masuk ke dalam daerah tangkapan masih terus terjadi.
Meskipun bangunan bendungan sudah selesai namun proses penggenangan masih
belum dilakukan, menunggu terselesaikannya proses pembebasan lahan. Permasalahan
lainnya adalah sebagian besar masyarakat yang telah menjual lahannya hingga saat ini
belum pindah dari daerah tangkapan sedangkan uang ganti rugi telah habis. Dari aspek
sosial, permasalahan besar yang dihadapi oleh masyarakat di sekitar kawasan Bendungan
Nipah adalah rendahnya tingkat pendidikan penduduk. Sebagian besar penduduk tidak
tamat SD dan atau masih berpendidikan SD (71.1%) sedangkan sisanya berpendidikan
SMP. Jumlah penduduk yang lulus SLTA dan Sarjana masih sangat terbatas. Hal ini
menyebabkan sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani yang unskilled
labour dan mereka kesulitan untuk beralih ke sektor lain. Sehingga potensi munculnya
pengangguran baru sangat besar yang akan menimbulkan multiplier effect yang negatif
untuk daerah di sekitarnya. Permasalahan krusial lainnya adalah besarnya jumlah
penduduk yang terdampak bendungan dan mereka masih berada pada kawasan tangkapan
air. Jumlah mereka berkisar 9.355 jiwa.

Dari hasil penelusuran dilapangan, permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat di


sekitar Bendungan Nipah adalah sebagai berikut :
1. Tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah.
2. Rendahnya lapangan pekerjaan khususnya di luar bidang pertanian.
3. Pendapatan penduduk yang rendah yang berimplikasi pada rendahnya tingkat
kesejahteraan hidup.
4. Kurangnya akses pemasaran.
5. Rendahnya manajemen usaha.
6. Keterbatasan modal kerja.
7. Rendahnya daya beli masyarakat.
8. Rendahnya kemampuan petani dalam melaksanakan proses produksi.
9. Sarana dan prasarana kurang memadai (seperti kerusakan jalan dan minimnya sarana
air bersih).
10. Pengetahuan masyarakat akan pentingnya waduk masih rendah.
Untuk mengatasi berbagai permasalahan diatas, perlu dilakukan usaha-usaha sebagai
berikut:
1. Menginventarisir potensi masyarakat di daerah genangan (sekitar waduk). Dari hasil
identifikasi lapangan diperoleh potensi antara lain:
a. Potensi di Bidang Pertanian,
• jagung, dapat ditanam disetiap musim tanam karena membutuhkan air lebih
sedikit dibandingkan padi
• Rumput gajah, banyak ditanam di desa Montor dan Tebanah.
• Semangka Kuning, banyak dibudidayakan di Desa Montor dan telah dikirim
sampai surabaya
b. Potensi di Bidang Perkebunan,
Jambu Mete dan Mangga, banyak terdapat di Desa Nagasareh dan Desa Tapa’an,
selama ini hanya dijual mentah dan harganyapun murah
c. Potensi di Bidang kerajinan (home industry),
• Kerajinan anyaman tikar, banyak dijumpai di Desa Tapa’an, dan berpotensi
dikembangkan.
• Mebelair dan genteng di Desa Tolang, yang menjadi andalan penduduk
setempat.
d. Potensi di Bidang Perikanan dan pariwisata, setelah adanya waduk memungkinkan
masyarakat mengelola waduk tersebut untuk perikanan darat dan air tawar serta
pariwisata, misalnya wisata memancing ikan.
2. Menginventarisir kebutuhan masyarakat di daerah sekitar waduk. Dari hasil
identifikasi lapangan diperoleh antara lain:
• Melaksanakan pelatihan-pelatihan teknis untuk membekali masyarakat,
misalnya pelatihan untuk meningkatkan produksi jagung, pelatihan untuk
meningkatkan produksi jambu mete, pelatihan teknis budidaya perikanan darat
dan air tawar, dan lain-lain.
• Melaksanakan Pelatihan Manajemen Usaha bagi Masyarakat atau UKM
(Usaha Kecil Menengah)
• Melaksanakan Pelatihan Perluasan Pemasaran Hasil Produksi
3. Pembentukan Kelompok Usaha, misal Kelompok Usaha Nelayan, Kelompok Usaha
Tani, serta P3A (Perkumpulan Petani Pemakai Air). Upaya memberdayakan
masyarakat dalam kegiatan pengelolaan bendungan, bukan barang baru karena peran
masyarakat petani (P3A) yang sudah lama dirintis, yakni dalam pengelolaan jaringan
irigasi sejak tahun 1980-an.
4. Bantuan Modal Usaha
5. Pendampingan oleh Pemerintah serta melaksanakan monitoring dan evaluasi.
6. Dalam rangka kesinambungan (sustainability) kegiatan pembangunan, lebih
memberdayakan peran masyarakat untuk ikut memelihara waduk atau bendungan

Pemberdayaan masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar waduk atau bendungan


diharapkan akan meningkatkan kualitas hidupnya dimana masyarakat tersebut yang secara
langung tidak mendapatkan manfaat dari adanya pembangunan bendungan. Dengan
adanya pemberdayaan perekonomian masyarakat di sekitar waduk ini diharapkan juga
masyarakat ikut serta berperan dalam menjaga dan memelihara bendungan baik secara
langung maupun tidak langsung. Pemberdayaan ekonomi masyarakat ini dalam
kegiatannya melibatkan partisipasi aktif dari mayarakat dan memanfaatkan aset waduk
yang berupa air, lahan, serta sumber daya alam lainnya yang mungkin dapat diberdayakan
untuk kepentingan ekonomi masyarakat. Dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat yang
memanfaatkan aset bendungan, diharapkan membangun mayarakat untuk merasa
memiliki, menjaga dan memelihara bendungan serta prasarana lainnya. Masyarakat
dilibatkan secara aktif dalam proses pemberdayaan ekonomi ini mulai dari awal hingga
terbentuknya jenis usaha yang telah diepakati. Dengan demikian mayarakat akan merasa
memiliki dan ikut bertanggung jawab terhadap keberhasilan usaha tersebut.

5. KESIMPULAN DAN SARAN


Pembangunan bendungan pada umumnya dimaksudkan untuk peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan waduk saat ini diarahkan untuk pembangkit listrik
tenaga air (PLTA), irigasi, pengendali banjir, sumber air minum, usaha perikanan dan
pariwisata. Pembangunan bendungan Nipah diharapkan dapat memberikan kesejahteraan
bagi masyarakat sekitarnya.

Dengan pemberdayaan, masyarakat di sekitar waduk atau bendungan akan mampu


untuk memanfaatkan sumberdaya yang dimilikinya secara optimal dan terlibat secara
penuh dalam mekanisme produksi, ekonomi, sosial dan lingkungan hidupnya. Paling tidak
ada empat kata kunci dalam pemberdayaan masyarakat, adalah :
1. Peningkatan kemampuan masyarakat;
2. Terciptanya kemandirian masyarakat;
3. Meningkatnya taraf kehidupan masyarakat;
4. Terpeliharanya kesinambungan (sustainability) kegiatan pembangunan.

REFERENSI
1. Andrie Kisroh Sunyigono, Eni Sri R, Mutmainnah . Model Penguatan Ekonomi
Masyarakat Di Sekitar Bendungan Nipah, Kabupaten Sampang-Madura Dengan Pola
Grameen Bank.Jurnal Embryo Vol.5 No. 2. Desember 2008 . ISSN: 0216-0188.
2. Irigasi Andalan Jawa Timur. Studi Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Bendungan
Nipah. 2005.
3. Istiana dan Zahri Nasution. Difusi Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pengelolaan
sumberdaya Perikanan (Studi Kasus di Waduk Malahayu, Brebes Jawa Tengah).
Buletin Riset Sosek Kelautan dan Perikanan Vol. 8 No. 1, 2013.

Anda mungkin juga menyukai