1
BUMDe : Menciptaka Kemandiria Des
Dalam Undang-Undang No 6 Tahun 2014 Tentang Desa, dalam pasal 78 ayat 1 tentang
pembangunan desa, tertulis bahwa pembangunan desa bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat. Melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes),
desa diberikan otonomi, yang menjadikan desa bebas untuk mengelola kehidupan
perkonomiannya. Tiga tahun belakangan pemerintah pusat mencoba menggerakkan
perangkat desa di seluruh wilayah Indonesia, mulai dari pelosok sampai urban, agar dapat
mengelola BUMDesnya secara mandiri. Hingga saat ini, pertumbuhan BUMDes telah
mencapai 18.446 unit per Maret 2017, di mana jumlah sebelumnya pada tahun 2014 hanya
1.022 unit.
Kehadiran BUMDes harus didasarkan asas partisipastif, sehingga seluruh elemen
masyarakat dapat terilbat dan muncul rasa kepemilikan akan desa. Kebebasan yang dimiliki
desa juga menjadikan desa bebas untuk mengeksplorasi potensi desanya lebih jauh.
Namun, perlu diingat bahwa kehadiran BUMDes dalam mengelola suatu jenis usaha tidak
boleh mematikan kegiatan ekonomi desa, khususnya usaha diluar ruang lingkup BUMDes.
2
Sumber Daya Manusia yang mampu mengelola SDA tersebut. SDA yang melimpah tanpa
disokong oleh SDM yang baik tidak akan membuahkan hasil yang optimal. Mentoring
merupakan salah satu kegiatan yang perlu dilakukan untuk mengelaborasi dua sumber
daya tersebut. Disamping itu kerjasama antara mentor dan mentee juga diperlukan untuk
mempercepat proses hingga akhirnya mentee dapat lepas landas dan bergerak secara
mandiri.
Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) merupakan salah satu media untuk menampung
dan mengelola sumber daya alam di Desa Ponu. Dengan hadirnya BUMDes, potensi Desa
Ponu akan terkelola dengan baik. Terlebih, warga Desa Ponu belum memiliki kesadaran
dalam manajemen bisnis. Hal ini terlihat dari beberapa produk unggulan yang diolah dan
dipasarkan seadanya. Oleh karena itu, diperlukan seseorang untuk melakukan inisiasi
menggerakan para masyarakat. Menghadirkan BUMDes adalah kuncinya.
Pembentukan BUMDes di Ponu akan lebih baik jika banyak melibatkan partisipasi dari
warga. Satu orang pemimpin berasal dari pemerintah desa kemudian pengelolaan
menggunakan sistem buttom up. Hal ini bertujuan agar masyarakat merasa memiliki dan
ikut berpartisipasi dalam kehidupan BUMDes. Langkah awal untuk pendirian BUMDes dapat
dilakukan dengan cara sosialisasi dan memberikan pemahaman tentang BUMDes. Setelah
masyarakat mengenal BUMDes, dilakukan pendampingan untuk mengelola organisasi
dalam jangka panjang.
Adanya BUMDes akan memberikan dampak positif bagi roda perekonomian desa.
Pendapatan desa akan meningkat sehingga tidak bergantung pada bantuan dana dari pusat.
Masyarakat juga tidak perlu bergantung dengan musim untuk mendapatkan penghasilan.
Lapangan pekerjaan juga akan semakin bertambah. Dalam jangka panjang, potensi-potensi
yang ada di Desa Ponu, baik hasil alam maupun non-hasil alam, akan membawa angin segar
untuk perekonomian Desa Ponu.
3
olah menjadi berbagai produk. Misalnya nugget, bakso, sosis, ikan asap, abon ikan, keripik
kulit, dan lain sebagainya.
Di desa ini telah ada dua kelompok usaha binaan dari Community Resilience and
Economic Development (CAREd), yakni Kelompok Cantika, dan Kelompok Anggrek. Kedua
kelompok ini mengolah ikan menjadi berbagai produk, misalnya saja abon dan ikan krispi.
Sayangnya, manajemen produksi dan pengelolaan sumber daya yang kurang menjadi
hambatan bagi kelompok tersebut.
Melihat hal ini, potensi BUMDes bisa diarahkan untuk mengakomodir pihak pertama
(nelayan dan pemilik tambak) dengan pihak kedua (kelompok pengolahan ikan). Dengan
adanya gabungan dari kedua pihak, tentunya dapat didirikan BUMDes agar dapat
memajukan produk-produk perikanan dengan nilai jual tinggi.
Sektor Tenun
Adanya kelompok tenun di Desa Humusu Wini, yakni Bife Akai Abas, membuat para
perajin tenun cukup terwadahi. Bife Akai Abas hanya memiliki anggota sepuluh orang.
Kelompok tenun yang dikepalai oleh Maria Sako ini sudah berdiri sejak dua tahun yang lalu.
Kendala yang dihadapi adalah terkait sumber daya manusia dan bahan baku untuk membuat
kain tenun. Menenun bukan menjadi prioritas masyarakat dalam mencari nafkah. Mereka
hanya menenun untuk mengisi waktu senggang, atau hanya saat jika ada pesanan.
Pemasarannya juga hanya mengandalkan promosi dari mulut ke mulut. Meskipun demikian,
apabila direncanakan dengan baik, kelompok tenun ini bisa dijadikan sebagai potensi
BUMDes untuk memajukan perekonomian Desa Humusu Wini.
4
Gambar 2. Sektor Kerajinan Tenun
Sektor Garam
Petani garam di Desa Humusu Wini masih mengolah garam dengan sistem
tradisional. Pakem yang dipakai sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu tidak mengalami
banyak perubahan. Kendala yang ada pada pengolahan garam adalah sanitasi produksi, alat
dan sumber bahan bakar memasak, serta pengolahan yang hanya bisa dikerjakan secara
musiman
5
Sektor Kayu Putih
Terdapat sekitar lima hektar kebun kayu putih yang ada di Desa Humusu Wini. Dari
jumlah yang ada, tiga hektar kebun merupakan milik pribadi, sisanya adalah pohon yang
tumbuh secara alami. Tentunya, banyak petani yang juga mengolah minyak kayu putih untuk
dijual. Tetapi, kendala yang muncul berada di proses produksi. Pengolahan secara
tradisional dengan alat yang ala kadarnya merupakan salah satu hambatan untuk
memproduksi dalam jumlah besar. Misalnya, untuk menghasilkan sebotol minyak kayu
putih ukuran 600ml, diperlukan satu drum besar daun kayu putih dari 10 pohon yang harus
diolah. Sedangkan dengan keterbatasan alat produksi, pengolahan untuk ukuran tersebut
diperlukan persiapan hingga satu minggu.
Dengan adanya bantuan peralatan penunjang proses produksi dan pendampingan
pada petani kayu putih, tentunya kayu putih dapat menjadi komoditas strategis yang mampu
menggerakkan roda perekonomian Desa Humusu Wini.