Anda di halaman 1dari 13

Energi Terbarukan Sebagai Sumber Listrik dan Ekonomi Perdesaan

(Studi Kasus Desa Poncosari)

Prastyoko Pranowo
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Email: prastyokopranowo@yahoo.com
Abstract. Electricity is one of important element in the life of society. In the provision of electricity, Indonesia
still relies on the use of fossil fuels as the main raw material. Electrification program of 97 percent by 2019
that announced by the government will prioritize the use of steam-electric power station (PLTU) as a supplier
of electricity to areas that have not been electricity. Indonesia's dependence on fossil fuels is not a wise thing
if they see the potential of renewable energy which is owned by Indonesia. This paper aims to provide an
overview of the potential of renewable energy in Indonesia as a source of electricity supply for the village
that has not been electricity. Secondary data were obtained through library research used to support the
manufacture of paper. The result is water (micro hydro and tidal), wind and solar energy as part of
renewable energy that has potential as a solution for rural electricity provider. And the adoption of renewable
energy has been proven to stimulate economic activity in Desa Poncosari, Kecamatan Srandakan, Kabupaten
Batul.
Keywords: Electricity, renewable energy

1. PENDAHULUAN
Salah satu kebutuhan yang dimiliki oleh
masyarakat adalah kebutuhan akan listrik.
Listrik menjadi salah satu elemen penting
dalam kehidupan masyarakat terutama
dengan semakin majunya zaman sebagai
akibat dari proses modernisasi dan
globalisasi yang telah terjadi di seluruh
dunia. Indonesia merupakan salah satu
negara dengan jumlah penduduk yang
besar. Berdasarkan hasil sensus penduduk
terakhir yang dilakukan oleh Badan Pusat
Statistik (BPS) pada tahun 2010, jumlah
penduduk
Indonesia
mencapai
237.641.326 jiwa. Penduduk yang tinggal
di perdesaan mempunyai jumlah yang
lebih
besar
dibandingkan
dengan
penduduk yang tinggal di perkotaan, yakni
119.321.070
jiwa
(50,21
persen)
berbanding 118.320.256 jiwa (49,79
persen) (sp2010.bps.go.id).
Jumlah penduduk Indonesia dari tahun ke
tahun terus mengalami pertumbuhan.
Besarnya jumlah penduduk Indonesia
berbanding lurus dengan kebutuhan listrik
masyarakatnya. Berdasarkan data dari

Kementerian Energi dan Sumber Daya


Mineral (ESDM), pada tahun 2015
konsumsi listrik Indonesia mencapai
36.787 MegaWatt (MW) dan setiap
tahunnya bertambah sebesar 3.000 MW.
Kebutuhan akan listrik terus mengalami
kenaikan setiap tahunnya yang mengikuti
pertumbuhan jumlah penduduk, yakni
sekitar 7,5 9 persen per tahun. Tetapi
Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai
badan penyedia listrik nasional hanya
mampu
meningkatkan
kapasitas
penyediaan listrik sebesar 3,5 4 persen
per tahun (esdm.go.id, 2015). Berdasarkan
data tersebut terdapat gap yang tidak dapat
dikatakan sebagai jumlah yang kecil
karena gap kebutuhan akan listrik tersebut
akan terus meningkat setiap tahunnya dan
negara tidak dapat mengikuti peningkatan
akan kebutuhan listrik masyarakatnya.
Pada akhirnya jika keadaan tersebut tidak
dapat diselesaikan secara cepat dan
kebutuhan listrik masyarakat tidak dapat
terpenuhi dapat berimbas pada terciptanya
krisis listrik nasional.
Listrik merupakan suatu energi yang
dibutuhkan oleh masyarakat untuk

menunjang segala aktivitasnya. Tetapi


belum semua masyarakat mendapatkan
akses untuk menikmati listrik yang
disediakan oleh negara, khususnya
masyarakat yang berada di perdesaan.
Sebanyak 12.569 desa di Indonesia masih
belum teraliri listrik (Okezone, 2016).
Mayoritas dari jumlah desa yang belum
teraliri listrik tersebut terdapat di luar
pulau Jawa, yakni di daerah Timur
Indonesia.
Pemerintah
Indonesia
menetapkan tujuan elektrifikasi listrik atau
perluasan daerah yang akan dialiri listrik
minimal sebesar 97 persen pada tahun
2019. Untuk mencapai target tersebut,
Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral ESDM membutuhkan dana sekitar
Rp 40 triliun. Program elektrifikasi ini
difokuskan untuk menerangi daerah di
Indonesia bagian Timur yakni Papua,
Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, NTT,
dan NTB. Pemerintah memfokuskan
elektrifikasi
di
Indonesia
Timur
disebabkan oleh dari 12.569 desa yang
belum teraliri listrik, 10.300 desa tersebut
berada di bagian Timur Indonesia ini.

Untuk mengatasi permasalahan kebutuhan


listrik, umumnya PLN membangun
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Hal ini dapat dilihat dari jumlah PLTU
yang mendominasi jenis pembangkit listrik
di
Indonesia
(hargen.co.id,
2014).
Sebenarnya
pemerintah
melalui
Kementerian ESDM bisa membantu desa
yang belum teraliri listrik dengan membuat
pembangkit
listrik
dengan
energi
terbarukan.
Ada
beberapa
jenis
pembangkit listrik yang menggunakan
energi terbarukan, yakni Pembangkit
Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit
Listrik Tenaga Bayu/Angin (PLTB), dan
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
Walaupun masih ada jenis pembangkit
listrik dengan energi terbarukan lain
seperti Pembangkit Listrik Tenaga Gas
(PLTG) dan Pembangkit Listrik Tenaga
Panas Bumi (PLTP), tetapi kedua jenis
pembangkit listrik tersebut membutuhkan
dana yang tidak sedikit dan untuk skala
yang besar pula.
Makalah
ini
bertujuan
untuk
memberdayakan desa dengan membangun
pembangkit listrik sesuai dengan sumber
daya yang masing-masing desa miliki
sehingga desa tersebut bisa secara mandiri
memenuhi kebutuhan listriknya. Ketiga
jenis pembangkit listrik dengan energi
terbarukan yang sudah disebutkan
sebelumnya diharapkan dapat menjadi
penopang kebutuhan listrik desa secara
mandiri dan dapat menjadi pendorong
pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut.

2. KAJIAN LITERATUR
Indonesia merupakan negara yang
memiliki sumber daya alam yang
melimpah. Salah satu hal yang menjadi
bukti melimpahnya sumber daya alam di
Indonesia adalah banyaknya negara yang
melakukan penjajahan terhadap Indonesia
yang dimulai sejak zaman kerajaan atau
pada era kolonialisme. Sumber daya alam
adalah sesuatu yang berada di dalam
maupun diluar bumi yang sifatnya masih

potensial dan belum dilibatkan dalam


proses produksi (Pongtuluran, 2015, 40).
Selain itu sumber daya alam juga dapat
diartikan sebagai segala sumber daya
hayati dan non-hayati yang dimanfaatkan
umat manusia sebagai sumber pangan,
bahan baku dan energi. Dengan kata lain,
sumber daya alam adalah faktor produksi
dari alam yang digunakan untuk
menyediakan barang dan jasa dalam
kegiatan ekonomi (Fauzi, 2006, 4).
Selain itu, sumber daya alam dapat
didefinisikan sesuai dengan klasifikasi atau
jenisnya, yakni sumber daya alam yang
dapat diperbaharui dan tidak dapat
diperbaharui. Sumber daya alam yang
dapat diperbaharui adalah sumber daya
yang dapat diganti baik dengan campur
tangan manusia atau oleh alam itu sendiri
(Vaughn, 2007, 1). Sumber daya alam
yang dapat diperbaharui juga dapat
didefinisikan sebagai sumber daya alam
yang dapat tercipta kembali dalam waktu
yang relatif singkat, baik oleh alam
maupun teknologi (Pongtuluran, 2015, 41).
Contohnya adalah hutan, air, hewan,
perikanan, dan pertanian. Hal penting yang
harus diperhatikan terkait dengan sumber
daya alam yang dapat diperbaharui adalah
walaupun sumber daya jenis ini dapat
diganti tetapi jika dieksploitasi secara
berlebihan sember daya ini akan berubah
menjadi sumber daya yang tidak dapat
diperbaharui.
Sumber daya alam yang tidak dapat
diperbaharui adalah sumber daya alam
yang terciptanya kembali memerlukan
waktu yang sangat lama, dia berproses
secara alami dalam jangka waktu ribuan
tahun bahkan jutaan tahun (Pongtuluran,
2015, 42). Sumber daya alam yang tidak
dapat
diperbaharui
memerlukan
manajemen
yang
baik
dalam
penggunaannya karena sumber daya ini
memerlukan waktu yang sangat lama
untuk terbentuk dan jika habis mungkin
tidak akan tersedia lagi. Contohnya adalah
logam, minyak bumi, besi, dan batubara.

Melimpahnya sumber daya alam yang


dimiliki oleh Indonesia merupakan potensi
energi yang sangat menjanjikan. Potensi
energi berdasarkan kepada konferensi
energi dunia yang diselenggarakan di
Jakarta pada tahun 1980 adalah jumlah
seluruh energi yang terdapat di alam dan
yang dapat diperoleh dengan cara-cara
teknis. Potensi energi yang melimpah
dapat digunakan sebagai sumber listrik
bagi masyarakat, khususnya adalah energi
terbarukan. Penggunaan energi terbarukan
sebagai sumber listrik menjadi kian
penting seiring dengan kelangkaan energi
yang tidak dapat diperbaharui dan
perubahan iklim akibat dari global
warming yang sudah melanda dunia.
Energi terbarukan dapat diartikan sebagai
energi yang diperoleh secara alami seperti
air, angin, dan matahari yang terus
menerus mengalir dan secara cepat diserap
dan digunakan sehingga energi semacam
ini tidak akan pernah habis dan selalu
tersedia terus menerus (Rusbiantoro, 2008,
77).
Berdasarkan data yang diperoleh dari
Kementerian ESDM Indonesia memiliki
potensi energi terbarukan yang cukup
besar, yakni mini/micro hydro sebesar 450
MegaWatt (MW), Biomass 50 GigaWatt
(GW), energi surya 4,80 kWh/m2/hari,
energi angin 3-6 m/det dan energi nuklir 3
GW. Selain itu, hasil kajian Bappenas
menunjukkan bahwa arus laut dapat
dijadikan sebagai sumber energi alternatif
terbarukan (renewable energy). Menteri
PPN/Kepala Bappenas mengatakan bahwa
gelombang dari arus laut di Indonesia
memiliki
potensi
kapasitas
energi
sekurangnya 5,6-9 TerraWatt (TW). Bila
dikonversikan menjadi listrik, arus laut ini
bisa menghasilkan energi 30.000-50.000
kali lipat lebih banyak dibandingkan
kapasitas energi pembangkit PLTA
Jatiluhur dengan kapasitas 187 MW
(pkps.bappenas.go.id, 2010). Berbagai
jenis energi terbarukan tersebut merupakan
energi potensial yang dapat digunakan
sebagai bahan baku bagi pembangkit

listrik di perdesaan yang disesuaikan


dengan
karakteristik
masing-masing
daerah.

3. METODE
Makalah ini disusun untuk mengetahui
potensi energi terbarukan yang dapat
digunakan sebagai sumber pembangkit
listrik di perdesaan yang belum teraliri
listrik. Pembangunan pembangkit listrik
disesuaikan dengan karakteristik atau
potensi sumber daya energi yang dapat
digunakan. Penulisan makalah ditunjang
dengan data sekunder yang diperoleh
melalui studi kepustakaan.

4. PEMBAHASAN
Ketersedian energi, salah satunya adalah
listrik, merupakan komponen yang
mempunyai peran yang sangat penting
untuk menunjang dan memenuhi berbagai
kebutuhan manusia. Selain itu, listrik juga
berperan dalam mendorong pembangunan
nasional yang berkelanjutan. Kebutuhan
listrik di Indonesia mayoritas masih
bergantung pada energi fosil, yakni
minyak bumi dan batubara, sebagai bahan
baku Pembangkit Listrik Tenaga Uap
(PLTU). Seperti yang sudah dibahas
sebelumnya, minyak bumi dan batubara
termasuk ke dalam sumber daya alam yang
tidak
dapat
diperbaharui
dan
membutuhkan waktu yang sangat lama
dalam pembentukannya. Penggunaan
sumber daya alam yang tidak dapat
diperbaharui sebagai sumber utama energi
secara terus-menerus bukanlah sesuatu
yang bijak untuk dilakukan karena sumber
daya tersebut akan habis jika terus
dieksploitasi secara berlebihan.
Permintaan terhadap energi listrik terus
meningkat dari tahun ke tahun sebagai
akibat dari adanya pertumbuhan penduduk.
Sementara itu, cadangan minyak bumi dan
batubara
terus
menipis.
Indonesia
mempunyai
cadangan
minyak
per

september 2015 sebesar 3,7 miliar barrel


dari sekitar 27 miliar barel cadangan
minyak yang terbukti ada (proven reserve)
dimana 22,9 miliar barrel sudah
diproduksi.
Diperkirakan,
cadangan
tersebut akan bertahan sekitar 10 tahunan
lagi.
Meski
demikian,
Indonesia
sebenarnya masih punya 43,7 miliar barrel
cadangan minyak, namun dibutuhkan
eksplorasi berbiaya dan berteknologi
sangat tinggi untuk menambangnya
(Kompas, 2015).
Keadaan yang sama juga terjadi pada
energi fosil batubara yang jumlahnya
semakin
menipis
setiap
tahunnya.
Berdasarkan data yang bersumber dari
Kementerian ESDM, Indonesia memiliki
cadangan batubara sebesar 32,4 miliar ton
yang terdiri dari cadangan terkira sebesar
23,34 miliar ton dan cadangan terbukti
sebesar 9,05 miliar ton (Intisari-online,
2015).
Jumlah
cadangan
batubara
Indonesia
termasuk
besar
jika
dibandingkan dengan penggunaannya.
Tetapi permasalahannya adalah Indonesia
juga melakukan ekspor batubara untuk
memenuhi kebutuhan energi negara lain.
Negara yang mengimpor batubara dari
Indonesia untuk memenuhi kebutuhan
energi mereka diantaranya adalah China
dan India. Kedua negara tersebut memiliki
cadangan batubara yang lebih besar
dibandingkan dengan Indonesia, yakni
China sebesar 1 triliun ton dan India
sebesar 280 miliar ton (Kompas, 2014).
Meskipun kedua negara tersebut memiliki
cadangan batubara yang besar tetapi kedua
negara negara tersebut memilih untuk
mengimpor batubara dari Indonesia untuk
mencukupi kebutuhan listrik dan menjaga
ketahanan energinya. Jika batubara di
Indonesia terus dieksploitasi secara
berlebihan maka pada tahun 2036
Indonesia akan menjadi negara pengimpor
batubara (Intisari-online, 2015).
Penggunaan energi fosil sebagai sumber
energi utama masih belum menunjukkan
tanda-tanda
penurunan.
Sebaliknya
ketergantungan Indonesia terhadap minyak

bumi dan batubara sebagai sumber energi


mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.
Kenaikan penggunaan sumber daya

minyak bumi dapat dilihat dalam tabel


berikut

*dalam ribuan
Sumber: BP Statistical Review of World Energy 2015, indonesia-investments.com

Melalui tabel diatas terlihat bahwa dari


tahun ke tahun kebutuhan minyak bumi
Indonesia terus meningkat. Pada tahun
2014 kebutuhan minyak Indonesia sebesar
1.641.000 barel per harinya. Dari jumlah
tersebut
Indonesia
hanya
sanggup
memproduksi minyak bumi sebesar
800.000 barel per hari dan sisanya harus
melakukan impor. Sementara itu, hal yang
sama juga terjadi terhadap penggunaan
batubara sebagai sumber energi. Menurut
Kepala Divisi Batubara PLN, Hilmi
Najamuddin, Perusahaan Listrik Negara
(PLN) membutuhkan 82 juta ton batubara
untuk mengoperasikan seluruh pembangkit
listrik di Indonesia. Jumlah tersebut
mengalami peningkatan sebesar 17,1
persen dibandingkan realisasi penggunaan
batubara tahun lalu yang mencapai 70 juta
ton (cnnindonesia, 2015).
Indonesia masih bergantung kepada
penggunaan energi fosil sebagai sumber
utama bahan bakar pembangkit listrik.
Hal tersebut dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan listrik penduduk Indonesia yang
meningkat setiap tahunnya. Menurut
Kementerian ESDM, pada tahun 2015
kebutuhan listrik Indonesia mencapai
36.787 MW dengan target pertumbuhan
listrik yang diperkirakan oleh PLN sebesar
8,7 persen pertahun. Dengan target
tersebut, dalam jangka lima tahun ke
depan konsumsi listrik Indonesia akan
mencapai angka sekitar 70.000 MW yang
berarti dibutuhkan tambahan pasokan
listrik sebesar 35.000 MW.
Listrik merupakan salah satu elemen yang
sangat
penting
bagi
terciptanya
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan

nasional. Namun, Indonesia justru sedang


menghadapi potensi krisis listrik jika tidak
membuat langkah yang signifikan untuk
memenuhi kebutuhan listrik secara
nasional. Potensi krisis listrik di masa yang
akan datang ditandai dengan adanya defisit
atau kekurangan pasokan listrik pada
sebelas (11) dari 23 sistem kelistrikan
nasional. Menurut Direktur Pembinaan
Program Ketenagalistrikan Kementerian
ESDM, Alihuddin Sitompul, sebanyak tiga
(3) sistem ketenagalistrikan nasional
berstatus normal, sembilan (9) lainnya
berstatus siaga (cadangan lebih kecil) dan
sebelas (11) sistem ketenagalistrikan
mengalami
defisit.
Sebelas
sistem
ketenagalistrikan yang mengalami defisit,
yakni

Nanggroe Aceh Darussalam dan


Sumatera Utara dengan kapasitas
1.821 MW defisit 5,22 persen.
Sumatera Barat (Sumbar), Riau dan
Jambi (SBT) dengan kapasitas
1.277 MW defisit 9,79 persen.
Sumatera
Selatan
(Sumsel),
Bengkulu, Lampung (SBS) dengan
kapasitas 1.721 MW defisit 8,19
persen.
Kalimantan
Timur
dengan
kapasitas 459 MW defisit 1,04
persen.
Kalimantan Barat dengan kapasitas
362 MW defisit 8 persen.
Belitung dengan kapasitas 35 MW
defisit 14,90 persen.
Kalimantan
Selatan
dan
Kalimantan
Tengah
dengan

kapasitas 504 MW defisit 9,15


persen.
Lombok dengan kapasitas 204 MW
defisitnya 17,35 persen.
Sulawesi Utara dan Gorontalo
dengan kapasitas 307 MW defisit
22,94 persen.
Kendari dengan kapasitas 69 MW
defisit 22,38 persen.
Jayapura dengan pasokan hanya
69 MW (Liputan6, 2015).

Permasalahan defisit listrik yang terjadi


pada sebelas sistem ketenagalistrikan
diperparah dengan masih adanya daerah
yang belum mendapatkan pasokan listrik
dari PLN maupun sektor swasta. Menurut
Kementerian ESDM, rasio elektrifikasi di
Indonesia sampai dengan tahun 2015 baru
mencapai 86 persen. Angka rasio
elektrifikasi tersebut membuktikan bahwa
masih banyak daerah yang belum
mendapat
aliran
listrik,
terutama
masyarakat yang berada di perdesaan.
Menteri
ESDM,
Sudirman
Said,
menjelaskan bahwa akses desa terhadap
listrik masih minim. Dari total jumlah
82.190 desa di Indonesia, sebanyak 12.659
desa masih belum dialiri listrik (Merdeka,
2016). Oleh karena itu, pemerintah
memprioritaskan
wilayah
perdesaan,
pedalaman, terpencil, dan tidak mampu
dijangkau oleh PLN dalam program
elektrifikasi.
Program elektrifikasi yang dicanangkan
oleh pemerintah tentu saja tidak mudah
untuk dilaksanakan. Pemerintah perlu
membangun lebih banyak pembangkit
listrik di seluruh Indonesia, terutama di
wilayah Timur Indonesia yang mempunyai
pasokan listrik yang masih sangat sedikit.
Selain itu, pembangkit listrik yang akan
dibangun juga harus mempunyai kapasitas
yang besar agar defisit listrik yang akan
mengarah kepada krisis listrik bisa teratasi.
Persoalan dana merupakan hambatan
utama dalam pembangunan pembangkit
listrik agar target elektrifikasi 96 persen
pada tahun 2019 dapat tercapai.

Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)


biasanya dipilih pemerintah dalam
membangun pembangkit lsitrik berskala
besar. Seperti yang diketahui PLTU
membutuhkan energi tidak terbarukan,
yakni minyak bumi dan batubara, untuk
mengoperasikannya. Pembangunan PLTU
dapat dilakukan jika peruntukannya untuk
kota-kota besar yang ada di Indonesia.
Tetapi pembangunan PLTU bukanlah suatu
solusi untuk menerangi 12.659 desa yang
belum teraliri listrik. Selain membutuhkan
dana yang besar, pembangunan PLTU juga
tidak tepat sasaran jika dilakukan di daerah
perdesaan karena akses yang sulit untuk
sistem kelistrikannya. Oleh karena itu,
penggunaan energi terbarukan merupakan
salah satu jalan yang dapat ditempuh oleh
pemerintah untuk menyukseskan program
eletrifikasinya.
Energi terbarukan berasal dari sumber
daya alam yang dapat diperbaharui. Seperti
yang sudah dibahas sebelumnya, sumber
daya alam yang dapat diperbaharui adalah
sumber daya yang dapat diganti baik
dengan campur tangan manusia atau oleh
alam itu sendiri (Vaughn, 2007, 1). Selain
itu, sumber daya alam yang dapat
diperbaharui juga dapat didefinisikan
sebagai sumber daya alam yang dapat
tercipta kembali dalam waktu yang relatif
singkat, baik oleh alam maupun teknologi
(Pongtuluran, 2015, 41). Sumber daya
alam yang dapat diperbaharui dapat
dijadikan
sebagai
sumber
energi
terbarukan untuk penyediaan listrik bagi
masyarakat perdesaan. Energi terbarukan
yang dapat digunakan sebagai bahan baku
untuk mengoperasikan suatu pembangkit
listrik diantaranya air, angin, dan sinar
matahari (surya).
Pertama adalah air. Air merupakan sumber
daya alam yang dapat diperbaharui dan
dapat dijadikan sumber energi suatu
pembangkit listrik. Potensi tenaga air yang
ada di Indonesia cukup besar, yakni
mencapai
75.000
MW.
Namun
pemanfaatan air sebagai penyedia listrik
nasional baru mencapai 10,1 persen atau

sebesar 7,572 MW. Berdasarkan data yang


dimiliki Kementerian ESDM, potensi
sumber energi tenaga air tersebar di
beberapa provinsi di Indonesia, yakni di
Sumatera sebesar 15.600 MW, Jawa
sebesar 4.200 MW, Kalimantan sebesar
21.600 MW, Sulawesi sebesar 10.200 MW,
Bali-NTT-NTB sebesar 620 MW, Maluku
sebesar 430 MW, dan Papua sebesar
22.350 MW (sda.pu.go.id, 2014).
Satu hal penting yang harus diingat adalah
tidak semua jenis Pembangkit Listrik
Tenaga Air (PLTA) cocok untuk
diaplikasikan di perdesaan. Pada umumnya
jenis PLTA yang ada di Indonesia adalah
PLTA yang menggunakan bendungan atau
waduk besar sebagai sumber tenaganya.
Salah satu contohnya adalah waduk
jatiluhur yang digunakan sebagai sumber
tenaga PLTA. PLTA yang mengandalkan
bendungan atau waduk sebagai sumber
tenaganya tidak sesuai jika dibangun di
daerah perdesaan karena PLTA jenis ini
membutuhkan investasi yang besar, lahan
yang luas untuk membuat pusat listrik
yang mempunyai kapasitas besar, dan
menghabiskan waktu yang lama untuk
persiapannya.
Oleh
karena
itu,
pemanfaatan air sebagai energi terbarukan
yang sesuai untuk wilayah perdesaan,
pedalaman, terpencil, dan tidak mampu
dijangkau oleh PLN adalah mikro hidro
dan pasang surut air laut.
Pemanfaatan energi air pada dasarnya
adalah kegiatan memanfaarkan energi
potensial dari gravitasi. Energi mekanik
aliran air yang merupakan transformasi
dari
energi
potensial
gravitasi
dimanfaatkan untuk menggerakkan turbin
atau kincir. Pada umumnya turbin
digunakan untuk membangkitkan energi
listrik sedangkan kincir digunakan untuk
pemanfaatan energi mekanik secara
langsung. Untuk mendapatkan energi
mekanik dari aliran air, perlu adanya beda
tinggi air yang diciptakan dengan
menggunakan bendungan. Akan tetapi
dalam menggerakkan kincir, aliran air

pada sungai dapat dimanfaatkan ketika


kecepatan alirannya memadai.
Sungai yang ada di perdesaan tidak hanya
dapat dimanfaatkan sebagai sistem
pengairan untuk sawah tetapi juga sebagai
sumber listrik potensial bagi masyarakat
setempat. Pembangkit Listrik Tenaga
Mikro Hidro (PLTMH) merupakan
pembangkit listrik yang memanfaatkan
aliran sungai sebagai sumber tenaganya.
Berdasarkan data yang diperoleh dari
Kementerian ESDM, Indonesia memiliki
enam provinsi yang potensi tenaga airnya
besar untuk dimanfaatkan menjadi
PLTMH.
Enam
provinsi
tersebut
diantaranya Papua yang meliputi sungai
Memberamo, Derewo, Ballem, Tuuga,
Wiriagar/Sun, Kamundan dan Kladuk
dengan total potensi mencapai 12.725
MW. Potensi terbesar lainnya yaitu
Kalimantan Timur yang meliputi sungai
Kerayan, Mentarang, Tugu, Mahakam,
Boh, Sembakung dan Kelai dengan total
potensi mencapai 6.743 MW. Sedangkan
empat provinsi lain yang memiliki potensi
adalah Sulawesi Selatan, Kalimantan
Barat, Sumatera Utara dan Aceh.
Salah satu keunggulan dari PLTMH adalah
Pembangunan pembangkit listrik ini tidak
memerlukan sungai besar sebagai sumber
tenaganya tetapi sungai kecil yang
biasanya digunakan masyarakat desa untuk
irigasi sawah juga dapat berfungsi sebagai
sumber tenaga PLTMH. Pembangunan
PLTMH secara komersial memang tidak
menguntungkan.
Oleh
karena
itu,
pemerintah perlu turun tangan secara
langsung untuk membantu perdesaan yang
memiliki potensi dibangunnya PLTMH
sebagai sumber listrik mereka.
Potensi air sebagai sumber energi bagi
pembangkit listrik lainnya adalah energi
pasang surut air laut. Pasang surut air laut
terjadi karena adanya gravitasi atau gaya
tarik dari bulan dan matahari yang
mengakibatkan
gerakan
naik-turun
permukaan air laut. Indonesia merupakan
negara kepulauan dengan luas lautan

kurang lebih sebesar 3.273.810 km


dengan garis pantai sepanjang 99.093
kilometer (nationalgeographic, 2013).
Berdasarkan fakta tersebut, pasang surut
air laut sebagai sumber energi listrik
terbarukan mempunyai potensi yang
sangat besar. Salah satu syarat penggunaan
pasang surut air laut sebagai sumber energi
listrik adalah adanya perbedaan panjang
pasang dan surut minimal sekitar empat (4)
meter (Bockris, 2009, 43). Pemanfaatan
energi potensial yang terkandung dalam
perbedaan pasang dan surut lautan dapat
dilakukan di suatu teluk yang agak cekung
dan dalam. Teluk tersebut kemudian
ditutup dengan sebuah bendungan
sehingga terbentuk suatu waduk (Kadir,
1995, 149). Menurut Diposaptono yang
dikutip oleh Munawaroh dalam jurnalnya
yang berjudul Energi Pasang-Surut
Sebagai Sumber Energi Alternatif Bagi
Pulau-pulau Kecil Nusantara, ada
beberapa wilayah lepas laut pesisir
Indonesia yang memiliki pasang surut
cukup tinggi. Wilayah tersebut antara lain
wilayah laut di timur Riau, laut dan muara
sungai antara Sumatera Selatan dan
Bangka, laut dan selat di sekitar pulau
Madura, pesisir Kalimantan Timur, dan
muara sungai di selatan pulau Papua
(muara sungai Digul) (Munawaroh, tanpa
tahun, 7).
Sumber daya alam yang dapat berperan
sebagai energi terbarukan berikutnya
adalah angin. Penggunaan angin sebagai
energi terbarukan dimanfaatkan melalui
kincir angin dengan baterai sebagai tempat
untuk menyimpan listrik. Penempatan
kincir sebagai alat untuk menangkap
angin mempunyai peran yang sangat
penting. Pembangunan Pembangkit Listrik
Tenaga Bayu/Angin (PLTB) dapat
dilakukan di sekitar pesisir pantai. Pesisir
pantai merupakan tempat yang strategis
karena melimpahnya angin laut dan angin
darat. Seperti yang sudah dibahas
sebelumnya,
dengan
garis
pantau
sepanjang 99.003 km PLTB merupakan
salah satu pembangkit listrik potensial bagi

masyarakat yang belum teraliri listrik.


Selain di pesisir pantai, PLTB juga dapat
dibangun di darat.
Tetapi
tidak
semua
daerah
bisa
menggunakan PLTB sebagai sumber
energi listrik mereka. Kecepatan angin
yang diperlukan untuk mengoperasikan
PLTB berada dalam kisaran minimal 5-6
m/ detik pada ketinggian pusat 10 m.
Seperti pada umumnya negara tropis,
kecepatan angin rata-rata di Indonesia
terbilang kecil, hanya sekitar 3-5 m/ detik.
Hanya sedikit daerah di Indonesia yang
mempunyai kecepatan angin cukup besar.
Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional mengukur kecepatan angin di
Indonesia Timur dan menyimpulkan
daerah dengan kecepatan angin tinggi
adalah Nusa Tenggara Barat dan Timur
dan Sulawesi. Kupang merupakan lokasi
dengan potensi paling besar karena
memiliki kecepatan angin sebesar 5,5 m/
detik (kip-pln.com, 2011).
Potensi sumber energi terbarukan yang
terakhir adalah energi sinar matahari atau
surya. Indonesia memiliki potensi yang
besar dalam penggunaan energi surya
karena berada di jalur khatulistiwa dengan
paparan sinar matahari yang melimpah.
Intensitas radiasi matahari rata-rata sekitar
4.8 kWh/m2 per hari di seluruh wilayah
Indonesia merupakan potensi yang
seharusnya dapat dimanfaatkan dengan
baik. Secara konseptual, penggunaan
energi surya dilakukan dengan cara kacakaca besar yang mengkonsetrasikan
cahaya matahari ke satu garis atau titik.
Panas yang dihasilkan digunakan untuk
menghasilkan uap panas. Ttekanan uap
panas yang tinggi digunakan untuk
menjalankan turbin atau generator yang
akan menghasilkan listrik (Bockris, 2009,
31). Energi surya merupakan energi yang
paling umum dimanfaatkan sebagai
sumber
daya
pembangkit
listrik
dibandingkan energi terbarukan lainnya.
Indonesia sudah terbukti mempunyai
potensi besar dalam penggunaan energi

terbarukan. Tetapi fakta yang terjadi di


lapangan menunjukkan hal yang berbeda.
Penggunaan energi terbarukan di Indonesia
baru mencapai 6 persen dari total
penggunaan energi nasional (Beritasatu,
2016). Indonesia masih bergantung kepada
penggunaan energi fosil terutama batubara
dalam penyediaan energi listrik melalui
PLTU. Penggunaan energi fosil sebagai
sumber energi bukan merupakan hal yang
bijak untuk dilakukan karena berbagai
permasalahan lingkungan yang dapat
timbul dan cadangan energi fosil yang
semakin menipis. Ditambah dengan
perhatian yang semakin besar terhadap
permasalahan perubahan iklim dan global
warming yang sudah melanda negaranegara di seluruh dunia. Oleh karena itu,
ketergantungan terhadap bahan bakar fosil
haruslah dikurangi karena melimpahnya
sumber energi terbarukan di Indonesia
yang
belum
diberdayakan
secara
maksimal.
Pada
awalnya,
pemerintah
seakan
menutup mata terhadap potensi energi
terbarukan yang dimiliki oleh Indonesia.
Hal tersebut terlihat dari kebijakan
pemerintah yang masih kurang mendukung
pemanfaatan sumber energi terbarukan.
Salah satunya dapat dilihat dari Peraturan
Pemerintah Nomor 5 Tahun 2006 tentang
Kebijakan Energi Nasional. Dalam Bab II
Pasal 2 Peraturan Pemerintah tersebut,
target konsumsi energi yang digunakan di
Indonesia pada tahun 2025 meliputi:

Minyak bumi kurang dari 20%


Gas bumi lebih dari 30%
Batubara lebih dari 33%
Biofuel lebih dari 5%
Panas bumi lebih dari 5%
Energi baru dan terbarukan
lainnya, khususnya, Biomasa,
Nuklir, Tenaga Air Skala Kecil,
Tenaga Surya, dan Tenaga Angin
lebih dari 5%
Bahan bakar lain yang berasal dari
pencairan batubara lebih dari 2%

Selain
itu,
pengembangan
energi
terbarukan juga masih menemui beberapa
kendala.
Menurut
Lembaga
Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) kendalakendala tersebut antara lain pertama,
rendahnya harga jual energi fosil, misalnya
minyak bumi, solar dan batubara di
Indonesia. Kedua, rekayasa dan teknologi
pembuatan sebagian besar komponen
utamanya belum dapat dilaksanakan di
Indonesia, jadi masih harus mengimpor.
Ketiga, biaya investasi pembangunan yang
tinggi menimbulkan masalah finansial
pada penyediaan modal awal. Keempat,
belum tersedianya data potensi sumber
daya yang lengkap karena masih
terbatasnya studi dan penelitian yang
dilakukan. Secara ekonomis belum dapat
bersaing dengan pemakaian energi fosil.
Dan yang terakhir adalah kontinuitas
penyediaan energi listrik rendah, karena
sumber daya energinya sangat bergantung
pada kondisi alam yang perubahannya
tidak tentu (Selasar, 2014).
Penggunaan energi terbarukan sebenarnya
dapat
menggaransi
keberlangsungan
penyediaan listrik di Indonesia karena
sifatnya yang tidak pernah habis. Selain
itu, keunggulan lain dari energi terbarukan
adalah energi terbarukan termasuk ke
dalam energi yang ramah lingkungan dan
merupakan
sumber
energi
tidak
memerlukan biaya untuk mendapatkannya
atau gratis. Melihat berbagai hal tersebut,
pemerintahan era Presiden Joko Widodo
dengan
Kementerian
ESDM
yang
dipimpin oleh Sudirman Said berusaha
menggenjot
pertumbuhan
energi
terbarukan di Indonesia. Salah satu produk
yang dihasilkan oleh bidang eksekutif
adalah Peraturan Pemerintah Nomor 79
Tahun 2014 mengenai Kebijakan Energi
Nasional. PP tersebut telah menetapkan
porsi Energi Baru Terbarukan (EBT)
dalam bauran energi nasional pada tahun
2025 yang meningkat menjadi 23 persen
(Detik, 2016). Terobosan lain yang
dilakukan
oleh
pemerintah
untuk
mendorong penggunaan energi terbarukan

di Indonesia adalah dengan pembangunan


Center of Excellence untuk energi bersih
di Indonesia dan program EBT untuk
listrik
desa
di
daerah
terpencil
(Antaranews,
2016).
Selain
itu,
meningkatnya alokasi anggaran untuk
program energi terbarukan dari Rp 1,04
triliun pada APBN-P 2015 menjadi Rp
1,89 triliun pada APBN tahun 2016
seharusnya dapat menjadi pendorong bagi
perkembangan energi terbarukan di
Indonesia.
Salah satu desa yang menjadi daerah
percontohan bagi perkembangan energi
terbarukan adalah Desa Poncosari,
Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul.
Desa Poncosari merupakan desa dengan
luas wilayah sebesar 1.186,12 hektar
dengan jumlah penduduk sebanyak 13.268
jiwa (rekompakjrf.org, 2012). Mayoritas
penduduk Desa Poncosari memiliki mata
pencaharian sebagai petani dan nelayan.
Selain itu, Desa Poncosari juga dikenal
dengan desa pariwisata yang terdapat di
pesisir pantainya. Pemenuhan kebutuhan
listrik bagi masyarakat yang berada di
pesisir pantai mayoritas menggunakan
energi terbarukan, yakni Pembangkit
Listrik
Tenaga
Hybrid
(PLTH).
Pembangkit Listrik Tenaga Hybrid
merupakan gabungan dari Pembangkit
Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan
Pembangkit Listrik Tenaga Bayu/Angin
(PLTB). Sebanyak 70 persen masyarakat
yang berada di daerah pesisir pantai sudah
menggunakan energi terbarukan, yakni
PLTH sebagai sumber pasokan listrik
mereka. PLTH di pesisir pantai Desa
Poncosari pertama kali dibangun pada
tahun 2010 dan terus berkembang sampai
sekarang. Energi listrik yang dihasilkan
dari turbin angin dan panel surya
digunakan untuk keperluan penerangan
jalan, kebutuhan listrik warung-warung
kuliner di pinggir pantai, pompa air, dan
pembuatan balok es sebanyak 1.000
kilogram es balok per hari untuk
pengawetan ikan, mengisi ulang aki
nelayan untuk digunakan melaut dan

memompa air sumur renteng untuk


kebutuhan petani di pesisir pantai
(mongabay.co.id, 2013). PLTH yang
berada di pesisir Pantai Pandasimo Baru
mampu menghasilkan listrik sebesar 88
KW atau 88.000 Watt. Mantan Menteri
Koordinator (Menko) Maritim Indroyono
Soesilo, yang diberitakan oleh Harian
Jogja menyebutkan terdapat perputaran
uang sebesar lima (5) miliar dalam setahun
di lokasi wisata tersebut (Harian Jogja,
2015). Hal tersebut membuktikan bahwa
energi terbarukan dapat menjadi solusi
penyediaan listrik bagi desa dan dapat
mendorong
pertumbuhan
ekonomi
masyarkatnya. Oleh karena itu, PLTH yang
berada di pesisir Pantai Pandasimo, Desa
Poncosari,
Kecamatan
Srandakan,
Kabupaten Bantul akan menjadi desa
percontohan bagi desa-desa lain yang
belum teraliri listrik dan diharapkan dapat
memacu pertumbuhan ekonomi desa-desa
lainnya.

5. KESIMPULAN
Pemerintah Indonesia mencanangkan
program elektrifikasi nasional sebesar 97
persen pada tahun 2019. Program
pemerataan listrik tersebut mengutamakan
daerah perdesaan yang belum teraliri
listrik dimana masih terdapat 12.569 desa
yang belum tersentuh listrik yang
disediakan oleh Perusahaan Listrik Negara
(PLN). Dalam mendukung tercapainya
program elektrifikasi sebesar 97 persen
pada tahun 2019, pemerintah berusaha
menggenjot pembangunan Pembangkit
Listrik Tenaga Uap (PLTU) di daerah yang
mayoritas
belum
teraliri
listrik.
Ketergantungan Indonesia terhadap energi
fosil sebagai bahan baku untuk
menyediakan listrik patut disayangkan.
Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan
negara dengan potensi energi terbaruka
yang sangat besar. Melimpahnya energi
terbarukan di Indonesia masih belum
dimanfaatkan
secara
maksimal.
Ketergantungan akan energi fosil yang

tidak dapat diperbaharui seharusnya sudah


mulai dikurangi porsinya. Penggunaan
energi fosil secara terus menerus bukanlah
hal yang bijak untuk dilakukan karena
cadangan energi fosil yang semakin
menipis dan permasalahan lingkungan
seperti perubahan iklim dan global
warming yang sudah melanda dunia. Oleh
karena itu, penggunaan energi terbarukan
sebagai bahan baku bagi pemerataan listrik
sebaiknya lebih diutamakan terutama bagi
desa-desa yang belum teraliri listrik.
Terdapat banyak jenis energi terbarukan
yang bisa digunakan sebagai bahan
bakar bagi pembangkit listrik diantaranya
air, angin, dan sinar matahari. Penggunaan
energi terbarukan sudah terbukti dapat
memenuhi kebutuhan listrik masyarakat di
Pesisir Pantai Pandasimo, Desa Poncosari,
Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul.
Selain menjadi pemasok kebutuhan listrik
masyarakat tersebut, Pembangkit Listrik
Tenaga Hybrid (PLTH) yang dibangun
juga dapat mendorong berjalannya
kegiatan
ekonomi
sehingga
dapat
menghasilkan pemasukan bagi masyarakat
desa
tersebut.
Penggunaan
energi
terbarukan sebagai solusi pemerataan
listrik di Indonesia dapat melihat sumber
energi potensial yang tersedia di desa
tersebut. Sumber energi potensial yang ada
di masing-masing desa tentu berbeda dan
sudah menjadi tugas pemerintah untuk
menginisiasi
penggunaan
energi
terbarukan yang murah, mudah, dan ramah
lingkungan.

6. REFERENSI
Buku

Kadir, Abdul. 1995. Energi: Sumber Daya,


Inovasi, Tenaga Listrik dan Potensi
Ekonomi. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia.
Pongtuluran, Yonathan. 2015. Manajemen
Sumber Daya Alam dan Lingkungan.
Yogyakarta: CV Andi Offset.
Rusbiantoro, Dadang. 2008. Global
Warming For Beginner. Yogyakarta:
Penembahan Yogyakarta.
Vaughn, Jacqueline. 2007. Conflicts Over
Natural Resources: a Reference Handbook.
California: ABC-CLIO, Inc.

Jurnal dan Publikasi Ilmiah


Munawaroh. Tanpa Tahun. Energi PasangSurut Sebagai Sumber Energi Alternatif
Bagi Pulau-pulau Kecil Nusantara.
Fakultas Geografi Universitas Gadjah
Mada

Peraturan Perundangan
Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun
2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional

Website
Apriando, Tommy. 2013. Kisah Sukses
Desa Wisata Berbasis Energi Terbarukan
di
Pesisir
Yogyakarta.
http://www.mongabay.co.id/2013/12/06/ki
sah-sukses-desa-wisata-berbasis-energiterbarukan-di-pesisir-yogyakarta/, diakses
pada 25 Maret 2016.

Bockris, John OM. 2009. Renewable


Energies: Feasibility, Time and Cost
Options. New York: Nova Science
Publisher, Inc.

Ariyanti, Fiki. 2015. Defisit Listrik RI


Sudah
dalam
Taraf
Mengerikan.
http://bisnis.liputan6.com/read/2358830/de
fisit-listrik-ri-sudah-dalam-tarafmengerikan, diakses pada 19 Maret 2016.

Fauzi, Akhmad. 2006. Ekonomi Sumber


Daya Alam dan Lingkungan: Teori dan
Aplikasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.

Azzura, Siti Nur. 2016. Sudirman Said


Target Elektrifikasi indonesia Capai 97
persen
di
2019.
http://www.merdeka.com/uang/sudirman-

said-target-elektrifikasi-indonesia-capai97-persen-di-2019.html, diakses pada 19


Maret 2016.
Dhany, Rista Rama. 2016. Pemerintah
Akan bentuk PLN Khusus Energi
Terbarukan.
http://finance.detik.com/read/2016/01/07/1
70253/3113118/1034/pemerintah-akanbentuk-pln-khusus-energi-terbarukan,
diakses pada 23 Maret 2016.
Djumena, Erlangga. 2015. Cadangan
Minyak Indonesia Tinggal 3,7 Miliar
Barrel.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/20
15/09/07/073500026/Cadangan.Minyak.In
donesia.Tinggal.3.7.Miliar.Barrel, diakses
pada 19 Maret 2016.
Duta, Diemas Kresna. 2015. 2015, PLN
Butuh 82 Juta Ton Batubara untuk
Pembangkit
Listrik.
http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20
150311071443-85-38215/2015-pln-butuh82-juta-ton-batubara-untuk-pembangkitlistrik/, diakses pada 19 Maret 2016.
Hargen.co.id. 2014. Statistik Pembangkit
Listrik
di
Indonesia.
http://www.hargen.co.id/news/2014/05/stat
istik-pembangkit-listrik-di-indonesia,
diakses pada 12 Maret 2016.
Harian Jogja. 2015. Energi Alternatif di
Bantul Jadi Contoh 1.000 Desa Indonesia.
http://www.jogja.co/energi-alternatif-dibantul-jadi-contoh-1-000-desa-indonesia/,
diakses pada 25 Maret 2016.
Hartati, Euis rita. 2016. Penggunaan
Energi Terbarukan Indonesia Baru 6%.
http://www.beritasatu.com/ekonomi/34513
8-penggunaan-energi-terbarukanindonesia-baru-6.html, diakses pada 21
Maret 2016.
Indonesia investments. 2015. Minyak
bumi.
http://www.indonesiainvestments.com/id/bisnis/komoditas/miny
ak-bumi/item267, diakses pada 19 Maret
2016.

Koperasi Induk Pegawai PLN. 2011.


Pembangkit Listrik tenaga Bayu (PLTB) /
Angin. http://www.kip-pln.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=15
8:pltb&catid=57:berita&Itemid=264,
diakses pada 20 Maret 2016.
Kusuma, Hendra. 2016. Butuh Rp 40
Triliun untuk Listriki 10.300 Desa.
http://economy.okezone.com/read/2016/02
/28/320/1323304/butuh-rp40-triliun-untuklistriki-10-300-desa, diakses pada 12
Maret 2016.
Mulyana, Rida. 2014. Pengembangan
Energi Baru dan Terbarukan Kita.
https://www.selasar.com/ekonomi/pengem
bangan-energi-baru-dan-terbarukan-kita,
diakses pada 22 Maret 2016.
Portal Resmi Badan Pusat Statistik. 2010.
Jumlah
dan
Distribusi
Penduduk.
http://sp2010.bps.go.id/, diakses pada 12
Maret 2016.
Portal Resmi Direktorat Jendral Sumber
Daya Air Kementerian PU. 2014.
Pemanfaatan
Potensi
Tenaga
Air
Indonesia.
http://sda.pu.go.id/post/100279/pemanfaat
an-potensi-tenaga-air-indonesia.html,
diakses pada 19 Maret 2016.
Portal Resmi Kementerian ESDM. 2015.
Diperlukan Pasokan Listrik 3.000 MW per
Tahun untuk Kelistrikan Nasional.
http://www.esdm.go.id/berita/39listrik/3661-diperlukan-pasokan-listrik3000-mw-per-tahun-untuk-kelistrikannasionaldiperlukan-pasokan-listrik-3000mw-per-tahun-untuk-kelistrikannasional.html, diakses pada 12 Maret
2016.
Portal Resmi PKPS Bappenas. 2010.
Potensi Hingga 9 TerraWatt, Bappenas
Dorong
Energi
Berkelanjutan.
http://pkps.bappenas.go.id/index.php/berita
/143-berita-internal/787-potensi-hingga-9terrawatt-bappenas-dorong-energiberkelanjutan, diakses pada 18 Maret
2016.

Rahman,
Muhammad
Razi.
2016.
Pemerintah Siapkan PLN Khusus Energi
Terbarukan.
http://www.antaranews.com/berita/538692/
pemerintah-siapkan-pln-khusus-energiterbarukan, diakses pada 23 Maret 2016.
Re-Kompak Desa Poncosari. 2012. Sistem
Informasi Manajemen: Proyek Rehabilitasi
dan
Rekonstruksi
Masyarakat dan
Permukiman Berbasis Komunitas (ReKompak) untuk Wilayah Yogyakarta, Jawa
Tengah,
dan
Jawa
Barat.
http://www.rekompakjrf.org/sim/profildesa
csp.php?
prop=34&kab=3402&kel=3402010001,
diakses pada 25 Maret 2016.
Samantha, Gloria. 2013. Terbaru: Panjang
Garis Pantai Indonesia Capai 99.000
Kilometer.

http://nationalgeographic.co.id/berita/2013
/10/terbaru-panjang-garis-pantaiindonesia-capai-99000-kilometer, diakses
pada 20 Maret 2016.
Sulaeman, Ade. 2015. Cadangan Batubara
Terus Menipis, Indonesia akan jadi
Pengimpor
Batubara
pada
2036.
http://intisari-online.com/read/cadanganbatubara-terus-menipis-indonesia-akanjadi-pengimpor-batubara-pada-2036,
diakses pada 19 Maret 2016.
Suryowati Estu. 2014. Punya Cadangan
Besar, 2 Negara Ini Justru Impor batubara
dari
RI.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/20
14/03/14/1812442/Punya.Cadangan.Besar.
2.Negara.Ini.Justru.Impor.Batubara.dari.RI
, diakses pada 19 Maret 2016.

Anda mungkin juga menyukai