Abstrak: Metropolitan Bandung Raya merupakan kawasan yang sedang dikembangkan oleh Pemerintah
Provinsi Jawa Barat sebagai pendukung percepatan ekonomi di Jawa Barat. Untuk menunjang perkembangan
kawasan ini diperlukan adanya sarana dan prasarana yang memadai, khususnya infrastruktur pengelolaan
persampahan. Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah menyiapkan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) skala
regional di Legok Nangka, Kecamatan Nagreg, Kabupaten Bandung. Timbulan sampah di wilayah pelayanan
TPA Legok Nangka saat ini mencapai 10.453 m3/hari atau 2.342 ton/hari dan akan semakin meningkat seiring
perkembangan wilayah tersebut. Sampah organik merupakan komposisi dominan dari seluruh jenis yang ada.
besarnya mencapai 71,17%. TPA Legok Nangka direncanakan akan beroperasi selama 20 tahun dari tahun
2017-2036 sehingga beban sampah yang masuk pada awal operasi yaitu tahun 2017 sebesar 7.499 m3/hari. Pada
akhir tahun operasi diprediksi sebesar 11.883 m3/hari sampah yang masuk ke TPA Legok Nangka. Salah satu
solusi dalam mereduksi timbulan sampah kota adalah dengan teknologi pengolahan. Dalam memilih teknologi
pengolahan dibutuhkan pendekatan ilmiah yakni dengan analisis multikriteria. Metode yang digunakan pada
studi ini adalah Analytical Hierarchy Process (AHP) yang didasari oleh penilaian stakeholder pengelolaan
persampahan di Jawa Barat terhadap beberapa kriteria. Responden terdiri dari kalangan pemerintah,
masyarakat, dan akademisi. Pemilihan teknologi pengolahan ditinjau dari beberapa aspek kriteria yaitu sosial,
ekonomi, lingkungan, dan teknis. Alternatif teknologi yang dipilih pada studi ini antara lain produksi refuse
derived fuel dengan biodrying, gasifikasi, anaerobic digestion, dan sanitary landfill. Berdasarkan hasil penilaian
responden secara agregat didapatkan alternatif teknologi terpilih adalah produksi refuse derived fuel dengan
biodrying.
Kata kunci: sampah kota, teknologi pengolahan, pengambilan keputusan, multikriteria, analytical hierarchy
process
Abstract: Greater Bandung Metropolitan Area is a region which is being developed by the Government of West
Java Province as supporter of economic acceleration in West Java. Adequate infrastructure, especially
municipal solid waste management, is needed to support its development. The government has prepared a
regional final processing area located in Legok Nangka, Nagreg District, Bandung Regency. Recently, MSW
generation in service areas of TPA Legok Nangka is reaching10.453 m3/ day or 2.342 tonne/day. This is going
to be increase along with the development of this area. Dominant composition of MSW is organic, it reachs
71,17%. TPA Legok Nangka is planned to be operate for 20 years from 2017 until 2036. Loading of MSW in
2017 is predicted about 7.499 m3/day. In 2037, loading of MSW is predicted about 11.883 m 3/day. MSW
generation can be reduced by treatment technology. In order to select suitable treatment technology, it needs a
scientific approach. In this study, Analytical Hierarchy Process (AHP) is proposed. AHP is a multi-criteria
decision making method which is based on experts judgement. Experts who become respondents in this study is
categorized by three groups, there are government, society, and researcher. Some criterions that have to be
considered by respondents are social aspects, economical aspects, environmental aspects, and technical
aspects. Alternative technology options for TPA Legok Nangka are refuse derived fuel production using
biodrying, gasification, anaerobic digestion, and sanitary landfill. Based on all stakeholders judgement, the
best technology treatment to be applied in TPA Legok Nangka is refuse derived fuel production using biodrying.
Key words: municipal solid waste, processing technology, decision making, multiple criteria, analytical
hierarchy process
1
PENDAHULUAN
Sampah merupakan salah satu permasalahan sanitasi yang dihadapi oleh berbagai
daerah di Indonesia terutama di kota-kota besar. Meningkatnya pembangunan, pertambahan
jumlah penduduk, dan aktivitas di berbagai tingkat sosial ekonomi masyarakat berakibat
jumlah timbulan sampah turut meningkat. Keadaan tersebut tidak diimbangi dengan sarana
dan prasarana yang memadai sehingga sampah menjadi permasalahan yang cukup kompleks.
Di Jawa Barat pada tahun 2005 silam terjadi peristiwa longsornya TPA Leuwigajah yang
menelan korban jiwa. Peristiwa ini menjadi sebuah pelajaran bagi pemerintah sebagai
penyedia sarana prasarana persampahan untuk memperbaiki pengelolaan sampah di
daerahnya masing-masing.
Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Pembangunan dan Pengembangan Metropolitan dan Pusat Pertumbuhan di Jawa
Barat, Pemerintah Provinsi Jawa Barat akan membangun TPA skala regional Legok Nangka
yang melayani wilayah Metropolitan Bandung yaitu Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten
Bandung, Kabupaten Bandung Barat, sebagian Kabupaten Garut, dan sebagian Kabupaten
Sumedang.Wilayah Metropolitan Bandung merupakan pusat pertumbuhan yang memiliki
keunggulan karena lokasi, sejarah, dan/atau kebijakan pemerintah sehingga dapat
dimanfaatkan sebagai penggerak percepatan pembangunan di daerah sekitarnya. Seiring
dengan berkembangnya wilayah tersebut, dibutuhkan infrastruktur yang memadai khususnya
di bidang persampahan. Aspek pengolahan sampah guna mereduksi timbulan dan
meningkatkan umur operasional TPA merupakan salah satu hal yang penting dalam
pengelolaan persampahan. Untuk memilih alternatif teknologi pengolahan yang dapat
diterapkan di TPA Regional Legoknangka, diperlukan adanya pendekatan ilmiah. Metode
yang digunakan adalah metode analisis multikriteria menggunakan Analytical Hierarchy
Process (AHP) yang didasari oleh pendapat para pakar dan pemangku kepentingan di bidang
pengelolaan persampahan di Jawa Barat. Opsi teknologi pengolahan yang digunakan dalam
penelitian ini antara lain:
1. Produksi Refuse Derived Fuel (RDF) menggunakan biodrying
RDF adalah hasil pemilahan sampah kota berdasarkan fraksi yang dapat dibakar dan
tidak dapat dibakar. Nilai kalor yang dimiliki RDF lebih tinggi dari sampah kota yang
tidak dipilah yaitu berada di sekitaran 12-13 MJ/kg (Cheremisinoff, 2003). Sampah kota
yang belum diolah memiliki kadar air tinggi, nilai kalor rendah, dan ukuran partikel yang
heterogen. Hal tersebut menyebabkan penggunaan sampah kota sebagai bahan bakar
menjadi kurang menarik. Mengolah sampah kota menjadi RDF memberikan banyak
keuntungan, antara lain adalah nilai kalor tinggi dan cenderung bersifat konstan, bentuk
fisik dan karakteristik yang homogen, kemudahan dalam penyimpanan dan transportasi,
rendahnya emisi polutan dan mengurangi udara berlebih saat pembakaran (Caputo &
Pelagagge, 2002).
RDF dihasilkan dari proses segregasi material sampah yang terbakar dan tidak dapat
terbakar lalu diolah melalui proses screening dan pengeringan. Metode pengeringan pada
produksi RDF antara lain secara Mechanical Biological Treatment (MBT) dan Mechanical
Heat Treatment (MHT). Pada studi ini pemanfaatan sampah menjadi RDF dilakukan
dengan metode MBT yakni biodrying. Biodrying adalah suatu teknologi yang
memanfaatkan mikroorganisme untuk mendekomposisi sampah secara aerobik (Velis
dkk., 2009).
2. Gasifikasi
Gasifikasi merupakan teknologi termal yang mengubah kandungan karbon dan
hidrogen dalam sampah menjadi syngas dan residu padat seperi arang dan abu. Pada
2
gasifikasi terjadi proses pembakaran secara parsial, dimana oksigen yang digunakan
kurang dari pembakaran sempurna sesuai stoikiometri (Arena, 2012). Kualitas syngas
dipengaruhi oleh udara pada pembakaran. Gasifikasi menggunakan udara dengan oksigen
murni akan menghasilkan syngas dengan nilai kalor tinggi, sedangkan penggunaan udara
bebas menghasilkan syngas dengan nilai kalor lebih rendah. Reaktor gasifikasi bekerja
pada suhu 1000C sampai 1600C. Temperatur tinggi berguna untuk melelehkan abu
menjadi slag.
3. Anaerobic Digestion
Anaerobic digestion merupakan proses transformasi biologis sampah dengan bantuan
mikroorganisme tanpa kehadiran oksigen. Mikroorganisme membantu pada proses
degradasi material organik sehingga menghasilkan biogas dan produk lain yang kaya akan
kandungan organik. Tahapan reaksi metabolis seperti hidrolisis, asidogenesis, acetogenesis
dan methanogenesis terjadi pada proses dekomposisi anaerobik (Khalid dkk., 2011)
4. Sanitary Landfill
Pembuangan akhir merupakan prasarana yang harus tersedia karena pilihan teknologi
apapun selalu membutuhkan lahan untuk membuang sisa hasil prosesnya (Fernando,
2007). Sistem pembuangan akhir sampah yang baik adalah menggunakan sistem sanitary
landfill yang dilengkapi dengan sistem pengamanan gas metan dan pengamanan lindi.
Menurut Damanhuri dkk. (2006), mekanisme pengurugan sampah dengan metode sanitary
landfill adalah sampah disebar dan dipadatkan lapis per-lapis lalu ditutup oleh tanah
penutup setiap hari. Gas metan yang dihasilkan dari landfill bersifat mudah terbakar dan
meledak. Untuk mengendalikan pengumpulan gas tersebut, maka di dasar lahan urug
dibuat sistem jaringan pipa atau batu koral untuk aliran pelepasan gas metan ke udara
terbuka. Jika volume sampah yang diurug sangat besar, maka gas metan dibakar pada
setiap ujung pelepasnya ditangkap untuk dikonversi menjadi energi listrik. Demikian juga
dengan lindi, karena adanya proses pembusukan pada sampah, maka lindi dari sampah
tersebut perlu dilakukan pengamanan, untuk menghindari pencemaran terhadap
lingkungan sekitar.
METODOLOGI
Pengumpulan data awal
Tahap pertama adalah pengumpulan data sekunder dari instansi pemerintah. Data
sekunder berupa data kependudukan, data ekonomi kecamatan dan kondisi eksisting
pengelolaan sampah di wilayah pelayanan TPA Legok Nangka.
Penentuan lokasi TPS
Lokasi penelitian untuk mengukur timbulan, komposisi, dan karakteristik sampah
dilakukan di TPS yang berada di wilayah pelayanan TPA Regional Legok Nangka. TPS
dipilih berdasarkan metode proportionate stratified random sampling yaitu teknik
pengambilan sampel secara acak namun memperhatikan strata yang ada di dalam populasi.
Dalam penelitian ini sampel ditentukan berdasarkan tingkat ekonomi kecamatan dimana
lokasi TPS tersebut berada. Klasifikasi ekonomi dikategorikan menjadi tingkat ekonomi
rendah, menengah, dan tinggi. Indikator ekonomi yang digunakan adalah nilai Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita dan jumlah keluarga sejahtera tahap I (KS-I).
Parameter
Kadar Air
Kadar Abu
Nilai Kalor
Kadar Volatil
C-Organik
Nitrogen Total Khjeldaal
Metode
ASTM D 2216-98
Gravimetri SKSNI M-36-1991-03
SKSNIM-36-1991-03
Gravimetri SKSNI M-36-1991-03
ASTM D 5369-93
ASTM D 5198-09
Definisi
Keterangan
Sama pentingnya
Lebih penting
Sangat penting
2, 4, 6, 8
Penentuan kriteria
Pembobotan
Penentuan sub
kriteria
Penentuan alternatif
teknologi
Pembuatan matriks
Penyusunan
Hierarki AHP
perbandingan
berpasangan
Sintetis prioritas
Uji konsistensi
Penarikan
kesimpulan
dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Expert Choice 11. Nilai yang dianalisis
adalah nilai rata-rata dari kuisioner tiap kelompok stakeholder dan seluruh stakeholder.
Langkah terakhir adalah menghitung nilai konsistensi matriks yang bersangkutan. Tingkat
inkonsistensi yang masih dapat diterima pada metode AHP adalah sebesar 10% (Saaty,
1993).
Rendah
2,13
2,20
2,07
2,09
2,49
2,11
Tinggi
2,43
2,48
2,57
2,41
2,67
2,17
Total timbulan sampah wilayah pelayanan TPA Legok Nangka pada tahun 2015
berdasarkan perhitungan ekivalensi penduduk adalah 10.453 m3/hari atau 2.342 ton/hari. TPA
Legok Nangka direncanakan akan beroperasi selama 20 tahun dari tahun 2017-2036 sehingga
dibutuhkan prediksi jumlah timbulan selama di sumber selama tahun operasi. Berdasarkan
hasil perhitungan ekivalensi penduduk, beban sampah yang masuk pada awal operasi yaitu
tahun 2017 sebesar 7.499 m3/hari. Pada akhir tahun operasi diprediksi sebesar 11.883 m3/hari
sampah yang masuk ke TPA Legok Nangka.
Komposisi sampah ditunjukkan pada Gambar 2. Sampah organik merupakan
komposisi dominan dari seluruh jenis yang ada. besarnya mencapai 71,17%. Komposisi
terbesar setelah organik adalah plastik sebesar 11,42% lalu kertas sebesar 6,10%. Selanjutnya
kaca sebesar 2,9%, kayu sebesar 1,92%, kain sebesar 1,53%, logam sebesar 1,29%, kulit
sebesar 0,30%, karet sebesar 0,27%, dan jenis yang tidak teridentifikasi sebesar 3,71%.
1,53
1,92
0,27
0,30
3,71
2,29
1,29
6,10
11,42
71,17
Organik
Plastik
Kertas
Logam
Kaca
Kain
Kayu
Karet
Kulit
Lain-lain
Karakteristik sampah
Selain jumlah timbulan, parameter lain untuk menentukan bahwa sampah memiliki
potensi pemulihan energi adalah karakteristik fisik dan kimia. Parameter fisik terdiri dari
ukuran material sampah, kadar air, dan densitas. Parameter kimia yang digunakan untuk
menentukan teknologi pengolahan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Parameter kimia berdasarkan teknologi pengolahan
Teknologi Pengolahan
Termal
- Pirolisis
- Gasifikasi
Biologi
- Anaerobic digestion
- Biomethanation
Parameter
-
Kadar air
Kadar volatil
Fixed carbon
Nilai kalor
- Kadar air
- Kadar volatil
- Rasio C/N
Kriteria Nilai
< 45%
> 40%
< 15%
> 1200 Kcal/kg
> 50%
> 40%
25-30
Nilai
89,20
11,03
0,89
4.374
Rasio C/N
7,98
Aspek ekonomi
Aspek lingkungan
Aspek teknis
Sub Kriteria
1. Penerimaan masyarakat
Keberadaan teknologi pengolahan sampah sering menciptakan persepsi negatif seperti potensi
pencemaran pada lingkungan sekitar. Penerimaan masyarakat diharapkan dapat mencegah
terjadinya konflik sehingga teknologi yang diterapkan dapat bersifat berkelanjutan.
2. Penyerapan tenaga kerja
Kegiatan operasional dan perawatan membutuhkan pekerja sehingga dapat membuka peluang
lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
3. Penguatan peran serta masyarakat.
Penerapan teknologi pengolahan sampah diharapkan dapat memperkuat partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan sampah misalnya kemauan untuk membayar.
1. Biaya investasi
Biaya investasi dibutuhkan untuk membangun teknologi pengolahan. Jumlah biaya yang
dibutuhkan berpengaruh terhadap keputusan dalam memilih teknologi.
2. Biaya operasional dam pengolahan
Biaya ini berpengaruh terhadap jumlah tipping fee yang dibayarkan oleh pemerintah daerah
terhadap jasa pihak pengelola sampah kota.
1. Pencemaran terhadap tanah dan air
Potensi pencemaran terhadap tanah dan air adalah lindi. Karakteristik lindi mengandung bahan
berbahaya dan sulit terdegradasi. Teknologi terpilih diharapkan menimbulkan dampak minim
pada lingkungan.
2. Pencemaran terhadap udara
Potensi pencemaran terhadap udara adalah emisi gas dan bau.
1. Kemampuan reduksi sampah
Tujuan utama dalam pengolahan sampah adalah dapat mereduksi jumlah sampah sehingga TPA
memiliki umur operasional yang panjang.
2. Kemudahan operasional dan perawatan
Kemudahan dalam operasional dan perawatan dapat mereduksi biaya terutama biaya upah
pekerja.
3. Mengatasi keterbatasan lahan
Bertambahnya jumlah timbulan sampah berpengaruh terhadap lahan yang dibutuhkan untuk
pembuangan. Teknologi terpilih diharapkan dapat mengatasi keterbatasan lahan untuk
pembuangan sampah.
4. Ketersediaan teknologi dan sumber daya manusia
Ketersediaan teknologi dan sumber daya manusia yang paham pada teknologi yang diterapkan
harus dipertimbangkan dalam proses pemilihan.
5. Pemanfaatan produk hasil pengolahan
8
Kriteria
Sub Kriteria
Selain mereduksi volume, pengolahan sampah diharapkan dapat efektif mentransformasi
sampah ke bentuk lain yang memiliki nilai manfaat.
1. Penerimaan masyarakat
(S1)
2. Penyerapan tenaga kerja
(S2)
3. Penguatan peran serta
masyarakat (S3)
Aspek sosial
1.
2.
Aspek ekonomi
1. Anaerobic digestion
(AD)
2. Produksi Refused
Derived Fuel (RDF)
dengan biodrying
3. Sanitary landfill (SL)
4. Gasifikasi (GAS)
Aspek lingkungan
Aspek teknis
Teknis
Lingkungan
Kriteria
Kriteria
Teknis
0,375
Ekonomi
0,186
Sosial
0,227
0
0,2
Bobot Kriteria
0,105
Lingkungan
0,422
Ekonomi
0,074
Sosial
0,4
0,399
0
0,2
0,4
0,6
Bobot Kriteria
Teknis
0,335
Lingkungan
Kriteria
Kriteria
Teknis
0,464
Ekonomi
0,093
Sosial
Lingkungan
0,446
Ekonomi
0,116
Sosial
0,108
0
0,208
Bobot Kriteria
0,23
0
0,5
Bobot Kriteria
0,5
Stakeholder
Pemerintah
Masyarakat
Akademisi
Seluruh stakeholder
Penilaian sub kriteria secara lokal ditunjukkan pada Gambar 5. Penilaian pemerintah
pada aspek sosial, bobot tertinggi adalah penerimaan masyarakat (S1: 0,684). Kelompok
pemerintah menilai terjangkaunya biaya investasi serta operasional dan perawatan adalah
sama penting (E1: 0,5 dan E2: 0,5). Begitu pula dengan aspek lingkungan, kedua sub kriteria
memiliki bobot yang sama (L1: 0,5 dan L2: 0,5). Pada aspek teknis, efektivitas reduksi
sampah memiliki bobot tertinggi (T1: 0,297). Penilaian sub kriteria secara global ditunjukkan
pada Gambar 6. Bobot tertinggi terdapat pada sub kriteria pencemaran udara minim (L2:
0,226)
Analisis sub kriteria kelompok masyarakat secara lokal ditunjukkan pada Gambar 5.
Pada aspek sosial, penguatan peran serta masyarakat merupakan sub kriteria paling penting
(S3: 0,451). Pada aspek ekonomi, biaya investasi terjangkau sama pentingnya dengan biaya
operasional dan perawatan yang terjangkau (E1: 0,5 dan E2: 0,5). Pada aspek lingkungan,
kelompok masyarakat menilai teknologi dengan pencemaran udara yang minim merupakan
yang paling penting (L2: 0,691). Kemudahan operasional dan perawatan teknologi dianggap
paling penting dalam aspek teknis (T2: 0,369). Penilaian sub kriteria secara global dapat
dilihat pada Gambar 6. Sub kriteria paling penting adalah teknologi dengan potensi
pencemaran udara yang minim (L2: 0,288).
Analisis sub kriteria secara lokal ditunjukkan pada Gambar 5. Penerimaan
masyarakat terhadap penerapan teknologi dinilai paling penting dalam aspek sosial (S1:
0,552). Biaya operasional dan perawatan terjangkau dinilai paling penting dalam aspek
ekonomi (E2: 0,634). Dalam aspek lingkungan, teknologi terpilih sebaiknya berpotensi
minim mencemari tanah, air, dan udara (LI: 0,5 dan L2: 0,5). Efektivitas reduksi sampah (T1:
0,33) merupakan sub kriteria paling penting dalam aspek teknis. Gambar 6 menunjukkan
penilaian sub kriteria secara global. Teknologi yang berpotensi minim mencemari tanah dan
air merupakan sub kriteria paling penting (L1: 0,25).
10
Penilaian seluruh stakeholder pada aspek sosial, sub kriteria penerimaan masyarakat
dinilai paling penting (S1: 0,581). Biaya operasional dan perawatan yang terjangkau dinilai
paling penting dalam aspek ekonomi (E2: 0,546). Pada aspek lingkungan, teknologi dengan
potensi pencemaran udara minim menjadi sub kriteria palig penting (L2: 0,567). Kemudahan
operasional dan perawatan dinilai sebagai sub kriteria paling penting dalam aspek teknis (T2:
0,298). Analisis sub kriteria secara global menunjukkan bahwa teknologi yang berpotensi
minim mencemari udara merupakan sub kriteria paling penting(L2: 0,314).
0,8
T5
T5
0,074 0,086
S3
0,098
S3
0,293
S3
0,25
T4
0,138
S2
S3
0,218 0,451
0,7
E2
0,5
E2
0,5
E2
0,634
S2
S2 0,169
0,155
0,6
0,5
E2
0,546
L2
0,5
L2
0,5
L2
0,691
L2
0,567
T3
0,216
T3
T3
0,081 0,127
S1
0,43
0,2
T2
0,216
T2
0,274
0,4
0,3
T4
T4
T4 0,239
0,348 0,224
T3
0,095
S2
0,118
S1
0,684
S1
S1
0,552 0,581
E1
0,5
E1
0,5
E1
E1 0,454
0,366
L1
0,5
L1
0,5
L1
0,309
L1
0,433
T1
0,33
T1
0,297
Ekonomi
Lingkungan
Masyarakat
Pemerintah
Agregat
Akademisi
Pemerintah
Masyarakat
Agregat
Akademisi
Masyarakat
Pemerintah
Agregat
Akademisi
Masyarakat
Pemerintah
Sosial
Teknis
T5; 0,014
T5; 0,01
T4; 0,021
T4; 0,038
T3; 0,009
T2; 0,038
T1; 0,011
T3; 0,039
T2; 0,042
T1; 0,06
T5; 0,055
T4; 0,056
T3; 0,034
T2; 0,062
0,8
L2; 0,288
0,7
T5; 0,023
T4; 0,036
T3; 0,025
T2; 0,048
T1; 0,045
T1; 0,095
L2; 0,226
L2; 0,314
0,6
L2; 0,23
L1; 0,122
0,5
L1; 0,211
0,4
E2; 0,034
E1; 0,033
L1; 0,182
E2; 0,075
0,3
0,2
0,1
T1
0,231
T1
0,102
0,9
T2
0,298
T2
0,369
0,1
T5
T5 0,104
0,148
E1; 0,069
S3; 0,024
S2; 0,049
L1; 0,25
E2; 0,051
E1; 0,048
S3; 0,23
S2; 0,037
S1; 0,17
S1; 0,148
Pemerintah
Masyarakat
E2; 0,058
E1; 0,032
S3; 0,033
S2; 0,025
S1; 0,068
S3; 0,065
Akademis
Agregat
S2; 0,041
S1; 0,123
Agregat
0,9
Akademisi
Inconsistency ratio pada analisis sub kriteria ditunjukkan pada Tabel 8. Rasio pada
penilaian sub kriteria kelompok stakeholder dan seluruh stakeholder di bawah 10% sehingga
penilaian dapat diterima.
Tabel 8 Inconsistency ratio prioritas sub kriteria
Sub Kriteria
Sosial
Ekonomi
Lingkungan
Teknis
Pemerintah
6%
0%
0%
5%
Masyarakat
0%
0%
0%
0%
Akademisi
0%
0%
0%
6%
Agregat
0%
0%
0%
1%
Pemerintah
0,226
0,326
0,194
0,254
3%
Grade
Masyarakat
3
1
4
2
0,318
0,302
0,195
0,186
3%
Grade
1
2
3
4
Akademisi
0,206
0,309
0,175
0,31
4%
Grade
3
2
4
1
Agregat
Grade
0,253
0,303
0,188
0,256
3
1
4
2
1%
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil sampling didapatkan total timbulan sampah di wilayah pelayanan
TPA Legok Nangka sebesar 2.342 ton/hari. Jumlah timbulan sampah per ekivalensi
penduduk adalah sebesar 0,76 kg/orang/hari atau 3,38 liter/orang/hari. Komposisi rata-rata
sampah di WP TPA Legok Nangka yang paling dominan adalah sampah jenis organik
sebesar 71,17%. Kemudian plastik sebesar 11,42% lalu kertas sebesar 6,10%. Selanjutnya
kaca sebesar 2,9%, kayu sebesar 1,92%, kain sebesar 1,53%, logam sebesar 1,29%, kulit
sebesar 0,30%, karet sebesar 0,27%, dan jenis lain yang tidak teridentifikasi sebesar 3,71%.
Karakteristik sampel sampah wilayah pelayanan TPA Legok Nangka adalah kadar air
rata-rata sebesar 63,2%. Kadar volatil sebesar 89%, kadar abu sebesar 11%, fixed carbon
sebesar 0,9%, dan nilai kalor rata-rata sebesar 4.374 cal/g. Nilai karbon organik sebesar
66,6% dan NTK sebesar 11,7% sehingga rasio C/N adalah 8.
Hasil dari studi ini dibagi menjadi masing-masing kelompok stakeholder dan
keseluruhan stakeholder. Kelompok pemerintah memilih produksi RDF dengan biodrying
sebagai alternatif teknologi, kelompok masyarakat menilai anaerobic digestion adalah opsi
teknologi terbaik. Kelompok akademisi menilai gasifikasi merupakan pilihan teknologi
12
DAFTAR PUSTAKA
Amurwaraharja, I. P. (2006). Laporan Tesis: Analisis Teknologi Pengolahan Sampah Dengan
Proses Hirarki Analitik dan Metode Valuasi Kontingensi Studi Kasus di Jakarta Timur.
Bogor: Ilmu Pengolahan Sumber Daya Alam dan Lingkungan IPB
Andarini, A. dan Padmi, T. (2012). Laporan Tugas Akhir: Kajian Komposisi, Karakteristik,
dan Potensi Daur Ulang Sampah TPA (Studi Kasus: TPA Galuga, Bogor). Bandung:
Program Studi Teknik Lingkungan ITB
Arena, U. (2012). Process and Technological Aspects of Municipal Solid Waste Gasification:
A Review. Journal of Waste Management. 32: 625639
Caputo, A.C. dan Pelagagge, P.M. (2002). RDF Production Plants I: Design and Costs.
Journal of Applied Thermal Engineering. 22: 423437
Cheremisinoff, N. P. (2003). Handbook of Solid Waste Management and Waste Minimization
Technologies. Burlington: Elsevier Science
Damanhuri, E., Ismaria, I., dan Padmi, T. (2006). Pedoman Pengoperasian dan
Pemeliharaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sistem Controlled Landfill dan Sanitary
Landfill. Bandung: Teknik Lingkungan ITB
Fernando, A. 2007. Laporan Tesis Pemilihan Teknologi Pengolahan Sampah, Pembiayaan
dan Institusi TPA Regional (Studi Kasus: Kota Jakarta Barat, Kabupaten dan Kota
Tangerang serta Kabupaten Serang). Jakarta: Ilmu Lingkungan UI
Peraturan Daerah Nomor 12 tahun 2014 tentang Pengelolaan Pembangunan dan
Pengembangan Metropolitan dan Pusat Pertumbuhan di Jawa Barat
Khalid, A., Arshad, M., Anjum, M., Mahmood, T., dan Dawson, L. (2011). The Anaerobic
Digestion of Solid Organic Waste. Journal of Waste Management 31: 1737-1744
Mohapatra, S. (2013). Technological Options for Treatment of Municipal Solid Waste of
Delhi. Journal of Renewable Energy Research Vol.3 No.3
Saaty, T. L. (1993). Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin, Proses Hirarki Analitik
untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks. Pustaka Binama Pressindo
SNI 19-3964-1994 tentang Metode Pengambilan dan Pengukuran Contoh Timbulan dan
Komposisi Sampah Perkotaan
Velis, C.A., Longhurst, P.J., Drew, G.H., Smith, R., dan Pollard, S.J.T. (2009). Biodrying for
Mechanical-Biological Treatment of Wastes: A Review of Process Science and
Engineering. Journal of Bioresource Technology 100: 2747-2761
13