Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Permasalahan pengelolaan persampahan menjadi sangat serius di


perkotaan akibat kompleksnya permasalahan yang dihadapi dan kepadatan
penduduk yang tinggi, sehingga pengelolaan persampahan sering diprioritaskan
penanganannya di daerah perkotaan. Penanganan sampah di Indonesia khususnya
di Kota Banda Aceh, merupakan permasalahan perkotaan yang sampai saat ini
menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintah daerah. Pertambahan
penduduk dan peningkatan aktivitas, mengakibatkan meningkatnya jumlah
sampah disertai permasalahanya.

Data dari Dinas Kependudukan Pencatatan Sipil, Kota Banda Aceh pada
tahun 2016 memiliki total penduduk sebanyak 254.904 jiwa, tersebar di 9
Kecamatan dan 90 gampong. Timbulan sampah yang semakin meningkat setiap
tahunnya akibat bertambahnya jumlah penduduk baik dari tidak terkendalinya
jumlah angka kelahiran maupun urbanisasi. Dengan demikian, diharapkan
pengelolaan sampah harus menjadi lebih baik dan pelayananya dapat ditingkatkan
serta diperlukan peningkatan dalam pengelolaan sampah di Kota Banda Aceh agar
optimal (Dinas Kependudukan Pencatatan Sipil, Kota Banda Aceh 2016).

Salah satu upaya mengatasi permasalahan sampah kota adalah dengan


melakukan daur ulang sampah organik dengan penekanan pada proses
pengkomposan. Pengkomposan merupakan suatu teknik pengolahan limbah padat
yang mengandung bahan organik biodegradable (dapat diuraikan
mikroorganisme). Selain menjadi pupuk organik maka kompos juga dapat
memperbaiki struktur tanah, memperbesar kemampuan tanah dalam menyerap air
dan menahan air serta zat-zat hara lain. Pengkomposan alami akan memakan
waktu yang relatif lama, yaitu sekitar 2-3 bulan bahkan 6-12 bulan (Saptoadi,
2001).

1
Intermediate Treatment Facility (ITF) merupakan tempat pemilahan dan
pengolahan sampah organik menjadi kompos, di tempat ini dilakukan pemilahan
dan didaur ulang sampah organik sehingga dapat digunakan dan memiliki nilai
ekonomis. Tidak hanya kompos, ITF juga merupakan tempat untuk mengolah dan
mendistribusikan biogas yang berasal dari lahan urug (landfill) ke rumah-rumah
warga di Gampong Jawa dan sekitarnya. Sampah organik yang diolah menjadi
kompos berasal dari Landfill dan Pasar Peunayong, karena itu perlu dilakukan
Evaluasi pemilihan sumber sampah organik dan penjadwalan pengambilan
sampah yang akan di bawa ke ITF.

1.2. Sejarah Dinas Lingkungan Hidup, Kebersihan dan Keindahan Kota


Banda Aceh

Dinas Lingkungan Hidup Kebersihan dan Keindahan Kota (DLHK3)


Banda Aceh merupakan dinas yang bertanggung jawab dalam pengelolaan
persampahan di Kota Banda Aceh. Dengan meningkatnya volume sampah yang
dihasilkan di Kota Banda Aceh menyebabkan meningkatnya kinerja yang di
butuhkan dalam mengatasi permasalahan sampah. DLHK3 juga memberikan
kontribusi besar kepada masyarakat mengenai edukasi sampah dengan paradigma
baru tentang 3R (Reuse, Reduce, dan Recycle) sehingga sampah tersebut dapat
digolongkan dan dimanfaatkan dan memiliki nilai jual. Tidak hanya itu, DLHK3
juga telah menyediakan alat transportasi untuk mengangkut sampah dari sumber
dan kemudian dibawa ke Tempat Pemprosesan Akhir (TPA), serta kontainer yang
berfungsi sebagai Tempat Pembuangan Sementara (TPS).

Sejarah berdirinya Dinas yang melingkupi sektor kebersihan di Banda


Aceh untuk pertama kalinya dibentuk pada tahun 1976, yaitu berdasarkan Qanun
Nomor 5 Tahun 1976 tentang Pembentukan Dinas Kebersihan dan Pertamanan
Kotamadya Daerah Tingkat II Banda Aceh. Sebelumnya tugas dan kewenangan
bidang kebersihan dan pertamanan berada pada Dinas Pekerjaan Umum Daerah
Tingkat II Banda Aceh, sesuai Surat Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah
Tingkat II Banda Aceh Nomor 2/18/PU/1970 tanggal 01 Januari 1970. Pada tahun

2
2001 dilakukan penataan kembali Susunan Organisasi dan Tata Kerja (SOTK)
Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Banda Aceh melalui Qanun Kota Banda
Aceh Nomor 9 Tahun 2001. Tentang SOTK Dinas Kebersihan dan Pertamanan
Kota Banda Aceh. Namun dengan keluarnya Qanun Kota Banda Aceh Nomor 2
tahun 2008 tentang SOTK Perangkat Daerah Kota Banda Aceh, maka Dinas
Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Banda Aceh resmi berubah nama
menjadi Dinas Kebersihan dan Keindahan Kota (DK3) Banda Aceh.

Sejak dikeluarkannya Qanun Kota Banda Aceh Nomor 1 Tahun 2016


Tentang Perubahan Atas Qanun Kota Banda Aceh Nomor 2 Tahun 2008 Tentang
SOTK Perangkat Daerah Kota Banda Aceh, maka DK3 Banda Aceh telah
menyatu dengan Kantor Lingkungan Hidup (KLH) dan berubah nama menjadi
Dinas Lingkungan Hidup, Kebersihan dan Keindahan Kota (DLHK3) Banda
Aceh. Kini DLHK3 merupakan Struktur Organisasi Tata Kerja baru, dalam urusan
pengelolaan lingkungan hidup, Kebersihan dan Keindahan Kota di Banda Aceh.

1.3. Visi DLHK3

Visi DLHK3 adalah untuk menjadikan kota yang penduduknya beriman


dan berakhlak mulia, menjaga persatuan dan kesatuan, toleran dalam perbedaan,
taat hukum, dan memiliki ruang publik yang luas, dan juga sejalan dengan misi
ke-5 dari 7 (tujuh) misi pembangunan Kota Banda Aceh yaitu “Melanjutkan
Pembangunan Infrastruktur Pariwisata yang Islami, maka kondisi lingkungan
yang tertata rapi, bersih, hijau, indah dan nyaman menjadi hal yang mutlak harus
dipenuhi. Dari aspek pengelolaan sampah, maka kondisi bersih, dapat dicapai bila
sampah dapat dikelola dengan baik.

1.4. Misi DLHK3

DLHK3 memiliki misi untuk mewujudkan divisi tersebut yaitu :

1. Meningkatkan kemampuan aparatur tentang manajemen dan


kelembagaan DLHK3.

3
2. Memperluas cakupan pelayanan persampahan ke seluruh wilayah Kota
Banda Aceh.

3. Meningkatkan peran serta masyarakat dan dunia usaha dalam


pengelolaan sampah.

4. Mengembangkan tekhnologi pengolahan sampah menjadi produk


bernilai tambah.

5. Menegakkan hukum dan melengkapi peraturan perundangan untuk


meningkatkan sistem pengelolaan persampahan, retribusi sampah dan
pengelolaan Ruang Terbuka Hijau (RTH).

6. Membangun/menata/memelihara Ruang Terbuka Hijau (RTH).

7. Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat melalui penyediaan jasa


penerangan jalan umum (PJU).

1.5. Struktur Organisasi Dinas Lingkungan Hidup, Kebersihan dan


Keindahan Kota Banda Aceh

Berdasarkan Peraturan Wali kota Banda Aceh Nomor 11 Tahun 2016


tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Kota Banda Aceh, maka
struktur organisasi DLHK3 kota Banda Aceh dapat dilihat pada Gambar 1.1.

4
Gambar 1.1. Struktur organisasi DLHK3 Kota Banda Aceh.
Sumber : DLHK3 Kota Banda Aceh

1.6. Rumusan Masalah


1. Bagaimana pemilihan sumber sampah organik yang akan digunakan di
ITF?
2. Bagaimana penjadwalan pengambilan sampah organik dari sumber ke
ITF?

5
1.7. Tujuan Pelaksanan Kerja Praktik
Tujuan yang ingin dicapai mahasiswa dari kerja praktik ini adalah :

1. Agar mahasiswa mampu menghadapi dunia kerja di perusahaan


khususnya dalam bidang Persampahan.
2. Mahasiswa dapat mengetahui rute dan jadwal pengambilan sampah
organik dari sumber ke ITF
3. Mahasiswa mampu mengolah data di lapangan menggunakan software
terkait.
4. Mahasiswa mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pengalaman
dalam hal engineering praktis, kemampuan berkomunikasi, dan
bersosialisasi di dalam dunia industri.
5. Serta dapat memperdalam ilmu dan kemampuan melalui implementasi
teori yang di dapat saat di bangku kuliah ke dunia kerja.

1.8. Ruang Lingkup Kerja Praktik


Ruang Lingkup Kerja Praktik Selama di ITF TPA Gampong Jawa, Kota
Banda Aceh Adalah sebagai berikut:

1. Tahap survey rute pengambilan dan penjadwalan sampah dari sumber ke


ITF
Tahap ini dimulai dari jadwal pengambilan oleh petugas ITF
menuju Sumber sampah di pagi hari hingga selesai di landfill dan sore hari
hingga selesai di Pasar Peunayong.

2. Tahap Penurunan Sampah dari Becak Viar

Tahap ini dimulai dari penurunan sampah yang diambil oleh


petugas ITF dengan menggunakan becak viar, setelah sampai di ITF
sampah tersebut dimasukkan kedalam Hidrolisis

6
3. Tahap Pemilahan Sampah

Tahap ini dilakukan proses pemilahan sampah seperti sampah


sayur sayuran, buah-buahan, dedaunan, rumput, dan lainnya.

4. Tahap Penimbangan Sampah

Tahap ini terdiri dari atas penimbangan sampah yang telah


dilakukan pemilahan serta diukur volume dan berat sampah.

5. Tahap Pelaporan Hasil

Tahap ini terdiri atas hasil pencatatan data berat dan volume
sampah organik , jenis-jenisnya, dan sumber sampah.

1.9. Alat

Alat yang digunakan dalam dalam pelaksanaan kerja praktik ini adalah
timbangan, meteran, ketrokan, buku, pulpen, masker, sarung tangan, dan kamera
handphone.

7
BAB II

PENGUMPULAN DATA

2.1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Kerja Praktik

Waktu pelaksanaan kerja praktik berlangsung dari tanggal 01 Agustus sampai


dengan 31 Agustus 2018. Kerja Praktik dilaksanakan di Dinas Lingkungan Hidup,
Kebersihan dan Keindahan Kota Banda Aceh, Jl. Pocut Baren No. 30, Kp.
Laksana, Kec. Kuta Alam, Kota Banda Aceh.

2.2. Pelaksanaan Kerja Praktik


1. Urutan pelaksanaan kerja praktik:
a. Pengenalan dan pengarahan di lapangan oleh pembimbing.
b. Pelaksanaan kerja praktik dalam instansi di bawah bimbingan
pembimbing lapangan.
c. Pembuatan laporan dan analisis data hasil pengamatan lapangan.
d. Penyerahan laporan dan pertanggung jawaban hasil laporan jika
diperlukan.
2. Selama pelaksanaan kerja praktik instansi mempunyai wewenang penuh
terhadap pelaksanaannya.
3. Setelah pelaksanaan kerja praktik, mahasiswa harus membuat laporan
Kerja Praktik.
4. Penilaian kerja praktik terdiri dari penilaian pembimbing lapangan dan
Dosen pembimbing dari Universitas.
2.3. Rincian kegiatan Kerja praktik
2.3.1. Minggu Pertama

Kegiatan yang dilakukan pada minggu pertama pelaksanaan Kerja Praktik


ini yaitu melakukan Apel Pagi setiap hari senin sampai hari kamis, Observasi ke
TPA Gampong Jawa dengan tujuan untuk meninjau sistem pengelolaan dan
pengolahan landfill, Instalasi Pengolahan Limbah Tinja (IPLT), dan ITF.

8
2.3.2. Minggu Kedua

Kegiatan yang dilakukan pada minggu ini yaitu melakukan apel pagi setiap
hari senin hingga hari kamis, kemudian melakukan Observasi ke rumah Kompos
Ilie di Ulee Kareng dan melakukan kunjungan ke ITF TPA untuk penyerahan
kegiatan dari kantor ke lapangan sekaligus pembagian kelompok.
2.3.3. Minggu Ketiga

Kegiatan yang dilakukan pada minggu ketiga adalah melakukan sampling


timbulan sampah organik dan jenis-jeisnya di ITF. Kegiatan in dilakukan selama 8
hari berturut-turut.

2.3.4. Minggu Keempat

Kegiatan yang dilakukan pada minggu keempat ini adalah melakukan apel
pagi seperti biasanya dan melakukan konsultasi kepada Pembimbing Lapangan
dari hasil sampling yang telah dilakukan selama 8 hari berturut-turut

2.4. Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan pada saat pengumpulan data ialah metode


sampling berdasarkan SNI 19-3964-1994 dan metode observasi. Data primer
meliputi data rute, timbulan sampah organik, dan sumber sampah. Data sekunder
meliputi jadwal pengambilan sampah dari sumber ke ITF.

Metode Observasi Dalam Pembelajaran. Metode Observasi ialah


pengamatan langsung menggunakan alat indera atau alat bantu untuk
penginderaan suatu subjek atau objek. Observasi juga merupakan basis sains yang
dilakukan dengan menggunakan panca indera atau instrument sebagai alat bantu
penginderaan (Purnomo, 2008).

Metode observasi yang dilakukan adalah dengan mencatat dan


mengevaluasi pemilihan sumber sampah organik dan jadwal pekerja pada saat
pengambilan sampah organik dari sumber hingga kembali ke ITF.

9
2.5. Sumber data

Sumber data yang diperoleh ialah melalui data primer yang dilakukan
secara sampling sesuai dengan SNI 19-3964-1994 dan secara Observasi, pada
data primer meliputi timbulan sampah organik, dan sumber sampah. Data
sekunder meliputi jadwal pengambilan sampah dari sumber ke ITF.

10
BAB III

PEMBAHASAN
3.1. Landasan Teori
3.1.1. Pengertian Sampah

Sampah merupakan sesuatu yang dihasilkan oleh aktivitas atau kegiatan


manusia yang tak bisa digunakan lagi. sampah yang mudah membusuk sering
disebut dengan sampah organik dan yang sulit membusuk disebut sampah
anorganik (Slamet, 1994).

Hampir di seluruh dunia sekitar 95% sampah dibuang kepermukaan tanah


tanpa pengelolaan. Di Indonesia sampah menjadi urusan pemerintah, dikumpulkan
dari berbagai sumber, diangkut ke tempat Penampungan Sampah Sementara (TPS)
dan selanjutnya dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Dengan sistem
seperti ini, masih banyak masalah yang muncul antara pemerintah daerah dan
masyarakat seperti banyak warga yang tidak setuju bila di daerahnya digunakan
sebagai lokasi TPA karena selain dapat mengganggu karena baunya, TPA juga
merupakan salah satu sumber penyakit. Maka dengan adanya permasalahan
tersebut solusi terbaik yaitu dengan mengurangi jumlah sampah yang masuk ke
TPA supaya umur TPA yang sudah ada dapat lebih panjang, yaitu dengan
pemilahan sampah organik dan anorganik. Sampah organik dapat dimanfaatkan
sebagai bahan pembuatan kompos sementara. Sampah anorganik bisa
dimanfaatkan menjadi kerajinan tangan agar dapat dimanfaatkan kembali
(Monica Sitanggang, 2017).

3.1.2. Pengertian Pengomposan

Pengomposan merupakan suatu proses dekomposisi (penguraian) berbagai


materi organik seperti sampah dedaunan, rumput, sisa makanan, kotoran ternak,
dan serbuk gergaji. Proses pengomposan berlangsung dalam kondisi aerobik yang
terkendali dan menghasilkan materi yang relatif stabil untuk dapat lebih cepat
diserap oleh tanaman yang disebut dengan kompos. Dengan proses pengomposan,

11
kompos dapat dikontrol tingkat kematangan dan kandungan unsur hara yang
dibutuhkan (Wahyono, 2011).
Menurut Djuarni (2008), kompos mampu menangani limbah pertanian
sekaligus berfungsi sebagai pupuk alami. Kompos merupakan hasil fermentasi
atau hasil dekomposisi bahan organik seperti tanaman, hewan atau limbah
organik. Secara ilmiah kompos diartikan sebagai partikel tanah yang bermuatan
negatif sehingga dapat dikoagulasikan oleh kation dan partikel tanah untuk
membentuk granula tanah.

3.1.3. Teknologi Open Windrow


Teknologi pembuatan pupuk kompos sudah begitu berkembang, mulai dari
teknologi yang sederhana sampai yang canggih, mulai dari sistem terbuka hingga
sistem tertutup di dalam reaktor dengan menggunakan injeksi udara. Teknologi
komposting yang paling sesuai untuk kondisi Indonesia, berdasarkan kondisi
iklim, ekonomi dan sosial budaya adalah sistem dengan tumpukan terbuka (open
windrow). Teknologi open windrow merupakan salah satu cara pembuatan
kompos dengan cara menumpuk memanjang materi organik yang akan dijadikan
kompos dan dilakukan Pembalikan secara periodik beserta dengan proses
penyiraman dalam rangka menciptakan kadar air yang optimal. Penyiraman
dilakukan sesuai kebutuhan. Proses komposting tersebut sebaiknya dilakukan di
plant komposting, yang merupakan bangunan beratap dengan dinding terbuka.
Sedangkan lantainya sebaiknya disemen. Teknologi open windrow merupakan
sistem yang sederhana, namun tetap mengacu pada ilmu komposting modern,
sehingga kompos yang dihasilkan berkualitas baik (Wahyono, 2003).
Proses pengomposan merupakan proses aerob, oleh karena itu diperlukan
paling sedikit 50% konsentrasi oksigen di udara dapat mencapai seluruh bagian
bahan organik yang dikomposkan. Untuk memperoleh aerasi yang baik, maka
ukuran dari bahan baku sebaiknya 2,5 - 7,5 Cm. Sampah kota umumnya sudah
memiliki ukuran tersebut, sedangkan untuk sampah kota yang memiliki ukuran
terlalu besar, seperti ranting pohon, kayu, daun yang lebar, perlu dilakukan
pemotongan atau pencacahan terlebih dahulu. Parameter utama yang

12
mempengaruhi proses komposting adalah rasio C/N, kadar air, konsentrasi
oksigen, ukuran partikel, suhu, pH dan ketersediaan mikroorganisme (Wahyono,
2003).

3.2 Lokasi Kerja Praktik


3.2.1. TPA
Kerja Praktik dilaksanakan di TPA atau ITF Gampong Jawa, Kecamatan
Kutaraja, kota Banda Aceh. Secara Geografis berada pada 5°34'38.97" LU s/d
95°18'54.06" BT (Gambar 3.1). ITF TPA Gampong Jawa berjarak sekitar 3 km
dari pusat kota, 1 Km dari kawasan pemukiman, 0,05 Km dari Krueng Aceh, 0,30
Km dari bibir pantai.

Gambar 3.1. Lokasi ITF TPA Gampong Jawa.


Sumber : DLHK3 Kota Banda Aceh

Gambar 3.2. Siteplan TPA kota Banda Aceh.


Sumber : DLHK3 Kota Banda Aceh

13
3.3. Pembahasan
3.3.1 Pengelolaan Sampah Organik menjadi pupuk kompos di
Intermediate Treatment Facility (ITF)

1. Sarana dan Prasarana

Intermediate Treatment Facility memiliki beberapa sarana dan prasarana


untuk menunjang proses pengolahan sampah organik menjadi pupuk kompos,
sarana yang digunakan adalah becak viar, garpu, sekop, timbangan, meteran, dan
wadah untuk menimbang sampah yang masuk ke ruangan hidrolisis.

Intermediate Treatment Facility memiliki prasarana gedung penunjang


untuk proses pengolahan sampah organik menjadi pupuk kompos, yaitu 14
ruangan hidrolisis yang memiliki panjang 5.1 meter dan memiliki lebar 3 meter,
13 ruang digunakan untuk proses pengomposan dan 1 ruang digunakan sebagai
ruang mesin pendistribusi gas metana dari landfill. 3 hangar dengan luas hangar 1
(15.1 x 10.3 m) digunakan sebai tempat penjemuran dan pengayakan sampah
organik. Hangar 2 (16.3 x 8.3 m) digunakan sebagai tempat penyimpanan sampah
anorganik. Hangar 3 (15.2 x 5.3 m) sebagai gudang tempat penyimpanan mesin
pencacah. 1 kantor (6.1 x 5.1 m), 1 Ruang mesin (3.1 x 3.1 m), dan 2 unit tangki
penampung gas. Prasarana yang ada dapat dilihat pada gambar 3.3.

14
Gambar 3.3. Prasarana di ITF.
Sumber : Ody Gunawan, 2018

15
2. Pengelolaan Sampah Organik Menjadi Kompos

Pengolahan sampah organik di ITF mulai dari sumber sampai dengan


menjadi produk secara umum dapat dilihat pada gambar 3.4.

SAMPAH DARI MASUK RUANG PENGERINGAN


SUMBER HIDROLISIS DI HANGAR

PENCACAHAN PENCACAHAN
PENGAYAKAN
KEDUA PERTAMA

PACKING
(PRODUK)

Gambar 3.4. Proses Pengolahan Sampah Organik Menjadi Kompos.

Sumber : Ody Gunawan, 2018

3. Kegiatan Pengelolaan sampah organik menjadi pupuk kompos.

a. Pengambilan sampah organik dari sumber

Pengambilan sampah organik di Landfill dan Pasar peunayong. Sampah di


landfill diambil oleh pekerja dengan cara memilah diantara sampah yang telah
dibuang ke landfill dan hanya mengambil sampah organik. Sampah di pasar
peunayong diambil oleh pekerja secara langsung di tempat penampungan sampah

16
sementara yang ada di pasar tanpa dipilah, karena sampah yang dominan adalah
sampah organik
b. pengangkutan sampah organik dari sumber ke ITF

Sampah yang diambil dimasukkan kedalam tong sampah dan dibawa


menggunakan becak viar untuk selanjutnya dibawa ke tempat pengolahan kompos
di ITF
c. penimbangan berat sampah dan volume

Sampah yang diambil lalu ditimbang dan juga dicatat berat beserta
jenisnya yang akan diproses di ruang hidrolisis untuk menjadi kompos.
d. Sampah Organik Di ruang Hidrolisis

17
Semua sampah organik yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam ruang
hidrolisis dan dilakukan penyiraman dan pembalikan 2 sampai 3 hari agar kadar air
merata.
e. Pengeringan sampah organik

Sampah yang telah matang dikeringkan dengan di jemur untuk dapat dilakukan
pencacahan sebelum menjadi produk kompos.
f. pencacahan sampah organik

Sampah yang sudah benar benar kering lalu dimasukkan kemesin pencacah.
Sampah melalui 2 kali pencacahan, untuk pencacahan pertama bertujuan agar sampah
yang ukurannya besar seperti batang ubi dan kulit buah-buahan menjadi halus, setelah itu
dilakukan pencacahan kedua agar sampah menjadi lebih halus.

18
g. Pengayakan sampah organik

Sampah yang telah melalui 2 kali pencacahan lalu diayak untuk


mendapatkan hasil yang bagus dan tidak ada materi lain yang masuk.
h. pengemasan (packing) sampah yang telah menjadi kompos

Sampah yang telah melalui pengayakan lalu dimasukkan kedalam kantong


plastik, ditimbang hingga 5 kilogram dan ditutup dengan mesin press.
i. Hasil pengomposan

Sampah yang telah menjadi kompos siap dijual dan digunakan.

19
3.3.2 Analisa data

Berdasarkan hasil sampling selama delapan hari berturut-turut, maka dapat


dilihat data timbulan dan sumber sampah seperti pada gambar 3.5 Berikut ini:

Timbulan (kg) dan Sumber Sampah


350
300
TIMBULAN (Kg)

250
200
150 Landfill
100
Pasar Peunayong
50
0
1 2 3 4 5 6 7 8
HARI

Gambar 3.5. Timbulan (kg) dan Sumber sampah organik.

Berdasarkan gambar grafik di atas dapat dilihat bahwa sumber sampah


yang masuk ke ITF yang akan diolah menjadi kompos bersumber dari Landfill
TPA Gampong Jawa dan Pasar Peunayong. Sampah yang paling dominan masuk
berasal dari pasar peunayong yang dominan sisa buah-buahan dan sayuran yang
sudah busuk.

Sampah yang digunakan untuk membuat kompos di ITF bersumber dari


landfill dan Pasar Peunayong. Pengambilan sampah di landfill dilakukan pada
pagi hari atau pada jam 7.30 WIB hingga selesai. Lama waktu pengambilan
adalah hingga semua sampah organik di landfill terpilah. Pengambilan sampah
organik dilakukan secara manual oleh pekerja ITF, dikarenakan sampah harus
dipilah dahulu dari sampah anorganik yang masuk ke landfill, operator alat berat
juga membantu pekerja yang akan mengambil sampah organik. Sampah organik
yang telah diambil dibawa ke ITF untuk dilakukan penimbangan dan pencatatan
jenis-jenis sampah yang akan masuk ke ruangan pengomposan (hidrolisis).

20
Sampah organik yang berasal dari pasar peunayong diambil pada jam
15.30 WIB hingga selesai. sampah yang diambil dari pasar dominan sampah
organik, para pekerja mengangkut semua sampah dari pasar tanpa ada pemilahan
lagi. selanjutnya pekerja membawa sampah tersebut ke ITF untuk dilakukan
penimbangan dan pencatatan jenis- jenis sampah organik yang akan dijadikan
kompos di ruang hidrolisis.

Sampah yang telah ditimbang dan dicatat lalu dimasukkan keruangan


hidrolisis hingga batas maksimal 800-900 kilogram untuk satu ruangan. Setiap
harinya sampah organik yang akan dijadikan kompos di setiap ruangan hidrolis di
sirami air dan juga dilakukan pembalikan agar kadar air yang ada pada sampah
merata. Setelah satu bulan di dalam ruangan hidrolisis sampah organik mulai
melebur hampir seperti tanah, menandakan proses pengomposan berhasil. Sampah
dari ruang hidrolisis yang sudah melebur lalu di jemur hingga benar-benar kering
di hangar untuk selanjutnya dapat dicacah dan dijadikan produk kompos.

Dalam pengambilan sampah organik dari sumber oleh pekerja, ada


beberapa hal yang perlu diketahui bahwa pekerja hanya mengambil sampah dari
landfill pada pagi hari karena sampah yang masuk ke TPA dipagi hari banyak
sampah organik bila dibandingkan dengan waktu lainnya. Pengambilan sampah
organik di Pasar Peunayong oleh pekerja pada sore hari dikarenakan saat jam
tersebut sampah sudah mulai banyak dan sampah pasar tersebut diambil oleh
pekerja. Para pekerja hanya mengambil sampah dari pasar peunayong karena jarak
dari ITF ke sumber sampah organik terdekat adalah Pasar Peunayong, dan juga
karena terbatasnya ruang pengolahan sampah organik untuk menjadi kompos
(ruang hidrolisis). satu ruangan hidrolisis akan penuh dalam waktu 4-5 hari
sedangkan untuk pengolahan sampah organik hingga menjadi kompos memakan
waktu hingga 30 hari lebih. Karena faktor lamanya proses pembusukan sampah
organik hingga menjadi kompos secara alami tanpa penambahan zat pengurai
yang memakan waktu yang relatif lama, maka hanya 2 sumber sampah yang
digunakan sudah memenuhi kuota pengolahan sampah organik hingga menjadi
kompos.

21
BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan
1. Teknologi pengomposan yang diterapkan di Intermediate Treatment
Facility (ITF) di TPA Gampong Jawa adalah Teknologi Open Windrow.
2. Sumber sampah organik yang masuk ke Intermediate Treatment Facility
(ITF) di TPA Gampong Jawa berasal dari landfill dan pasar peunayong.
3. Sampah organik yang masuk ke Intermediate Treatment Facility (ITF) di
TPA Gampong Jawa adalah dari Pasar Peunayong.
4. Proses pemilahan sampah organik di landfill masih dilakukan secara
manual tanpa proses pemilahan awal.
5. Proses pengomposan sampah organik dilakukan secara alami tanpa
penambahan zat kimia.
6. Kapasitas pengolahan untuk satu ruang hidrolisis adalah 800-900 kg
7. Kuota untuk satu ruang hidrolisis terpenuhi dalam 4-5 hari.
8. Proses pengomposan di ruang hidrolisis memakan waktu hingga 1 bulan.
9. Jadwal pengambilan sampah di sumber adalah pada jam 7.30 WIB sampai
selesai untuk landfill dan jam 15.30 WIB sampai selesai untuk Pasar
Peunayong.
10. Lokasi sumber sampah organik yang dipilih selain landfill adalah pasar
peunayong, karena jaraknya paling dekat dengan ITF dan sampah
organiknya banyak
11. Karna keterbatasan ruang pegomposan hanya dua sumber sampah yang
digunakan.

4.2. Saran

Kegiatan Kerja praktik sangat bermanfaat bagi mahasiswa dalam


mendapatkan pengalaman secara nyata dan dapat mengaplikasikan teori yang

22
didapat di perkuliahan ke dunia kerja. Proses pengomposan yang dilakukan di
Intermediate Treatment Facility (ITF) sangat bagus, tetapi waktu pengolahannya
untuk menjadi kompos cukup lama. Agar hasil kompos yang didapat lebih baik
dan waktu pengolahan hingga menjadi kompos lebih singkat dapat menggunakan
dekomposer sepeti EM4 (effective microorganism).

23
DAFTAR PUSTAKA

Dinas Kependudukan Pencatatan Sipil, Kota Banda Aceh 2016

Djuarnani, N., et al. 2005. Cara Cepat Membuat Kompos. AgroMedia Pustaka.
Fitzpatrick GE, Worden EC, Vendrame WA. 2005. Histocial Development
of Composting Technology during the 20th Century. Hortechnology.
Jakarta.
Madelan. 1997. Sistem Pengelolaan Sampah. Instalasi Penerbitan PAM-SKL,
Ujung pandang. Press.

Monica Sitanggang, Ika Bagus P. Syafrudin, 2017. Perencanaan Pengelolaan


Sampah Terpadu. Program Studi Teknik Lingkungan Fakultas Teknik
Universitas Diponegoro, Semarang.

Purnomo Setiady Akbar & Usman, Husaini, 2008, Metodologi Penelitian Sosial,
Jakarta: PT. Bumi Aksara

Saptoadi, Harwin. 2001. “Utilization Of Organic Matter From Municipal Solid


Waste In Compost Industries”. Jurnal Manusia Dan Lingkungan,
Sejati, Kuncoro. 2009. Pengolahan Sampah Terpadu. Yogyakarta: Kanisius.

Slamet, J. S. 1994. Kesehatan Lingkungan. Yokyakarta: Gajah Mada University


SNI 19-3241-1994. Tata Cara Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir
Sampah. Jakarta.
SNI 19-7030-2004. Spesifikasi kompos dari sampah organik domestik. Jakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah. Jakarta : Biro Hukum dan Humas Kementerian Lingkungan Hidup.

Wahyono, S., F.L. Sahwan dan F. Suryanto, 2003. Menyulap Sampah Menjadi
Kompos, Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan, BPPT,
Jakarta.
Wahyono, S., F.L. Sahwan dan F. Suryanto, 2011. Membuat Pupuk Organik
Granul dari Aneka Limbah. PT Agro Media Pustaka, Jakarta.
Wardhana W. A. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Andi Offset.

24

Anda mungkin juga menyukai