PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
tubuhnya
yang
baik,
cepatnya
menyesuaikan
diri
dengan
lingkungannya dan penyebaran yang sangat luas yaitu mulai dari daerah
tropis hingga daerah kutub.
Diantara anggota filum Arthropoda diketahui ada yang sangat berguna
bagi kehidupan manusia dan sebaliknya diketahui pula ada yang berperan
merugikan manusia dan hewan. Kelompok yang terakhir ini lebih dikenal
sebagai ektoparasit atau pengganggu atau hama. Yang termasuk di dalam
kelompok ektoparasit adalah kelas Insecta (serangga) dan kelas Arachnida
(caplak dan tungau).
Kalajengking tergolong artropoda pengganggu kesehatan. Ia menjadi
perhatian
manusia
karena
kemampuannya
menimbulkan
kesakitan
dan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Arthropoda
Arthropoda adalah phylum yang paling besar dalam dunia hewan dan
mencakup serangga, laba-laba,udang, lipan dan hewan mirip lainnya. Arthropoda
adalah nama lain hewan berbuku-buku. Filum Arthropoda (arthro = sendi atau
ruas; pada = kaki atau juluran) adalah golongan makhluk hewan yang paling
besar di dunia ini. Diperkirakan lebih dari 80% dari seluruh jenis hewan sekarang
ini adalah Arthropoda, menghuni semua jenis habitat yang ada, baik terestrial
maupun akuatik.
Morfologi dasar Scorpion yaitu tubuh terbagi menjadi tiga bagian utama, ekor
atau metasome (mt); perut atau mesosoma (ms); dan kepala daerah atau prosoma
(pr); Struktur yang berbeda juga disorot termasuk pinchers atau pedipalp (pd);
rahang atau chelicerae (ch); chemosensors kontak (pectines-pt), dan racun
apperatus atau telson (t).
Abdomen terdiri atas 12 ruas yang jelas, dengan bagian lima ruas terakhir
membentuk ruas metasoma yang oleh kebanyakan orang menyebutnya ekor.
Ujung abdomen disebut telson, yang bentuknya bulat mengandung kelenjar
racun (venom). Alat penyengat berbentuk lancip tempat mengalirkan venom.
Pada bagian ventral, kalajengking mempunyai sepasang organ sensoris yang
bentuknya seperti sisir unik disebut pektin. Pektin ini biasanya lebih besar dan
mempunyai gigi lebih banyak pada yang jantan dan digunakan sebagai sensor
digunakan
untuk
meng-injeksikan
racun
ke
dalam
tubuh
segmen-segmen
di
mesosoma
terdapat
organ
reproduksi,
dengan
tujuan
untuk
melumpuhkan
atau
bahkan
terhadap
kalajengking,
berapapun
ukurannya.
Racun
dengan
venom
untuk
pertahanan
dan
mendapat
mangsa,
kalajengking sendiri jatuh menjadi mangsa bagi mahluk lain seperti kelabang,
tarantula, kadal pemakan serangga, ular, unggas (terutama burung hantu), dan
mamalia (termasuk kelelawar, bajing dan tikus pemakan serangga).
Seperti halnya predator lainnya, kalajengking cenderung mencari makan
di daerah teritori yang jelas dan terpisah, dan kembali ke tempat yang sama
pada setiap malam. Kalajengking bisa masuk ke dalam komplek perumahan dan
gedung ketika daerah teritorialnya hancur oleh pembangunan, penebangan
hutan atau banir dan sebagainya.
Kalajengking aktif pada malam hari, berdiam dibawah batu, potongan
kayu, dan ditempat yang gelap dan lembab. Binatang ini kadang-kadang masuk
kedalam tempat tinggal manusia terutama selama musim hujan di negeri tropic.
Mereka menangkap mangsanya, biasanya laba-laba serangga, diplopoda
danrodent, di dalam kukunya dan dengan dorongan kebelakang dan kebawah
dari abdomen yang menyerupai ekor memasukkan sengat dengan racunnya
yang dapat membuat lumpuh. Sebagian besar kalajengking aktif di malam hari.
Sebagaimana di tempat yang panas dan kering, kalajengking juga ditemukan di
padang rumput, savana, gua, dan hutan hujan/hutan berganti daun/hutan pinus.
Bisa dari kalajengking berdampak pada sistem syaraf korban. Setiap spesies
memiliki perpaduan yang unik.
2.4 Siklus hidup
Kalajengking mempunyai masa hamil dari beberapa bulan sampai lebih
satu tahun, tergantung jenis, tempat embrio berkembang di dalam ovariuterus
atau dalam divertikula khusus yang bercabang dari ovariuterus. Anak-anak yang
dilahirkan hidup akan anaik ke punggung ibunya. Ibunya membantu mereka
dengan membuatkan kantong melahirkan dengan kaki terlipat untuk menangkap
mereka ketika lahir dan untuk menyediakan mereka menaiki punggung ibunya.
Beberapa jenis kalajengking tidak membentuk kantong lahir.
Rata-rata, seekor betina bisa melahirkan 25-35 ekor anak. Mereka tetap
pada punggungnya, sampai mereka molting untuk pertama kali. Setelah
kalajengking muda putih turun dari punggung betina, moling, kemudian balik lagi
ke punggung induk selama 4-5 hari sebelum meninggalkan induk, biasanya
dalam waktu 1-3 minggu setelah lahir.
Sekali mereka turun, mereka sudah mampu bebas, dan secara periodik
molting untuk mencapai dewasa. Biasanya molting terjadi 5 atau 6 kali selama 26 tahun untuk mencapai dewasa. Rata-rata kalajengking kemungkinan hidup 3-5
tahun, tetapi beberapa spesies bisa hidup sampai 25 tahun. Beberapa jenis
menunjukkan perilaku sosial, seperti membentuk agregasi selama musim dingin,
menggali koloni dan mencari makan bersama.
Pertama kalajengking bertelur di perut ibunya lalu menetas disitu juga.
Lalu keluar anaknya dari perutnya. Lalu anaknya bertumbuh besar dan menjadi
kalajengking dewasa. Kalajengking tidak bermetamorfosis.
Hewan arachnida atau hewan berkaki delapan biasanya memiliki anak
dengan cara bertelur, namun ternyata kalajengking tidak temasuk kedalam
hewan arachnida yang bertelur. Kalajengking justru seperti mamalia, melahirkan
anak.
Cara beranak seperti ini dikenal dengan nama ovovivipar, yaitu telur
berkembang di dalam tubuh hewan betina, janinnya memanfaatkan makanan
dari induk, dan saatnya melahirkan tiba, bayinya akan keluar.
Ketika melahirkan, jumlah anak yang dikeluarkan kalajengking berjumlah
12 ekor atau lebih. Mereka keluar satu per satu. Setelah semua anaknya lahir,
mereka diletakkan diatas punggung induknya hingga anak-anak ini cukup besar
dan kuat untuk hidup sendiri.
2.5 Reproduksi
Kebanyakan
kalajengking
bereproduksi
secara
seksual.
Namun,
kanibalisme oleh sang betina, meskipun kanibalisme seksual ini jarang terjadi
pada kalajengking.
Berkembang
biak
secara
ovovivipar
dan
anak-anaknya
dibawa
dilakukan
kalajengking
untuk
melindungi
diri
adalah
dengan
10
11
aman untuk yang lain. Setetes cairan bisa kalajengking tersusun dari molekul
dan protein kecil pepsida yang bersifat toksik. Artinya, bisa tersebut mempunyai
daya rusak terhadap sel-sel tubuh si mangsa, berupa kelumpuhan atau bahkan
menghancurkan sel dari dalam.
Selain itu, para ilmuwan tersebut juga mencoba meniru cara kerja bisa
kalajengking yang merembes masuk ke dalam sel dan menghancurkan dari
dalam. Mereka membuat senyawa racun pembunuh sel lalu disuntikkan kedalam
sel tumor untuk melawan kanker di tubuh manusia. Senyawa racun kalajengking
lain yang bertugas membuat sel-sel mangsa lumpuh, ditiru untuk disuntikkan
menjadi penghilang rasa sakit.
Racun kalajengking ternyata dapat di pakai sebagai pembersih tumor.
Para peneliti menggunakan bahan sintetisnya sebagai pembawa yodium yang
bersifat radioaktif se-sel tumor otak yang masih tertinggal setelah pembedahan.
Sejauh ini teknik ini telah di uji pada 18 pasien , dan percobaan medis masih
terus di lakukan, hasilnya sementara menunjukan bahwa proses pengobatan ini
dapat di terima tubuh dan efektif.
Kalangan ilmuwan Kuba menggiatkan riset medis untuk mengembangkan
ramuan tradisional racun kalajengking sebagai obat anti kanker. Demikian prolog
artikel bersumber dari Garit 7 April 2010. Sumber itu mengatakan Kementerian
Kesehatan dan Kalangan Pakar Kuba mengundang peneliti Amerika Serikat dan
para pengusaha guna mengembangkan obat yang diyakini dapat mengobati
penyakit kanker stadium akhir.
Dalam keterangan pers di Havana Kuba, Dokter Jose Fraga dari
Laboratoriom Farmasi dan Biologi Kuba, mengungkapkan racun kalajengking
biru dapat menghambat pertumbuhan sel kanker. Dokter Fraga juga telah
mendaftarkan obat tradisional Kuba yang dikenal dengan nama Escozul tersebut
untuk penjualan internasional. Penelitian terakhir terhadap 8 ribu pasien kanker
menunjukkan hasil positip.
Racun
kalajengking
tidak
berbahaya
bagi
manusia
serta
tidak
menimbulkan efek samping jika diberikan secara oral. Obat tradisional anti nyeri
itu sesungguhnya telah digunakan secara luas oleh warga Kuba, namun pertama
kali dikembangkan di tahun 1990-an di Provinsi Guantanamo. Effektifitas obat
dari racun kalajengking kini semakin meningkatkan penelitian akademis terhadap
kalajengking.
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kalajengking adalah sebuah arthropoda dengan delapan kaki, termasuk
dalam ordo Scorpiones dalam kelas Arachnida. Dalam kelas ini juga termasuk
laba-laba, harvestmen, mites, dan tick. Ada sekitar 2000 spesies kalajengking.
Mereka banyak ditemukan selatan dari 49 U, kecuali New Zealand dan
Antarctica. Di Indonesia sendiri, kalajengking hampir tersebar di seluruh hutan di
wilayah Indonesia, terutama di wilayah Jawa, Sumatera, dan Maluku.
Karakteristik Kalajengking yang paling mudah untuk dikenali adalah
ekornya yang ramping dan panjang melengkung di bagian ujungnya, dan di
bagian ujung tersebut terdapat alat penyengat (yang disebut Telson) yang
digunakan
untuk
meng-injeksikan
racun
ke
dalam
tubuh
mangsanya,
predatornya, atau mungkin juga manusia yang dianggap sebagai ancaman oleh
Kalajengking.
Kebanyakan
kalajengking
bereproduksi
secara
seksual.
Namun,
13
DAFTAR PUSTAKA
Arif Priadi, Tri Silawati. 2006. Sains BIOLOGI : SMA kelas X. Jakarta : yudhistira.
Chapman, R.F. 1983. The insects Structure and Function. Hodder and
Stoughton. London
Daly, H.V., J.T. Doyen & P.R. Ehrlich. 1978. Introduction to Insect Biology and
Diversity. McGraw-Hill, Tokyo
Gerozisis, J & P. Hadlington. 1995. Urban Pest Control in Australia. University of
New South Wales Press Ltd. Australia.
Istamar Syamsuri,dkk.2007.biologi:untuk SMA kelasX semester 2.Jakarta:
erlangga.
Mallis, A. 1983. Handbook of Pest Control. 6th ed. Cleveland, OH: Franzak and
Foster Co.
Mullen, GR & SA Stockwell. 2002. Scorpion (Scorpiones). Dalam Gary Mullen &
Lance Durden. Medical and Veterinary Entomology. Academic Press.
New York, Tokyo.
Ross, H.H. & C.A. Ross. 1982, A Textbook of Entomology. John Wiley, New york
Taboada, O. 1967. Medical Entomology. Naval Medical School, National
Naval Medical center, Bethesda Maryland, USA
Siregar RS. Prof. Dr. Atlas berwarna Saripati Penyakit Kulit. Indonesia. Jakarta :
EGC;2000.
Smith, R. L. 1982. Venomous Animals of Arizona. Tucson: Univ. Arizona, College
of Agriculture, Bulletin 8245.
Soetjipta. 1993. Dasar-Dasar Ekologi Hewan. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Yogyakarta
14