Anda di halaman 1dari 31

REFERAT ILMU KEDOKTERAN FORENSIK

PEMBIAYAAN KASUS OTOPSI MELALUI


BPJS

Pembimbing :
dr. C Bambang Widhiatmoko, Sp F

Disusun Oleh:
Dwi Cipta Hermawan, 2008.04.0.0098
Lilik Fauziyah, 2008.04.0.0105
Ailen Oktaviana Hambalie, 2009.04.0.0020
Cherish Romina Prajitno, 2009.04.0.0024
Hendra Setiawan, 2010.04.0.0016
Wenny Octavia 2010.04.0.0017
Dendra Dian Supitra, 2010.04.0.0018
RS BHAYANGKARA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH
2016
1

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkah dan rahmat-Nya, kami bisa menyelesaikan referat dengan judul Pembiayaan
Kasus Otopsi Melalui BPJS dengan lancar. Referat ini disusun sebagai salah satu
tugas wajib untuk menyelesaikan kepanitraan klinik di bagian Forensik RS
Bhayamgkara dengan harapan dapat dijadikan sebagai tambahan ilmu yang
bermanfaat bagi pengetahuan penulis maupun pembaca.
Kami menyadari bahwa referat yang kami susun ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat
diharapkan . Semoga referat ini dapat memberikan manfaat bagi pembelajaran kita.

Surabaya, Mei 2016

Penyusun

DAFTAR ISI
Kata Pengantar...............................................................................................

Daftar Isi........................................................................................................

Bab 1. Pendahuluan.......................................................................................

Bab 2. Tinjauan Pustaka.................................................................................

2.1 Visum et Repertum...............................................................................

2.1.1 Definisi............................................................................................

2.1.2 Dasar hukum...................................................................................

2.1.3 Jenis dan bentuk..............................................................................

2.1.4 Fungsi dan tujuan............................................................................

2.1.5 Bagian bagian...............................................................................

2.1.6 Struktur...........................................................................................

11

2.1.7 Permintaan dan pembuatan.............................................................

13

2.1.8 Otopsi Medikolegal.........................................................................

18

2.1.8.1 Definisi Otopsi..........................................................................

18

2.1.8.2 Klasifikasi otopsi......................................................................

18

2.1.8.3 Tujuan.......................................................................................

19

2.1.8.4 Dasar hukum.............................................................................

19

2.1.8.5 Prosedur....................................................................................

21

2.2 Badan Penyelenggara Jaminan Sosial...................................................

26

2.2.1 Definisi............................................................................................

26

2.2.2 Fungsi..............................................................................................

26

2.2.3 Tugas...............................................................................................

26

2.2.4 Wewenang.......................................................................................

27

Bab 3. Pembahasan........................................................................................

28

Daftar Pustaka................................................................................................

30

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam melakukan tugas dan profesinya, seorang dokter yang pada dasarnya
adalah seorang ahli sering kali harus melakukan pemeriksaan dan perawatan korban
sebagai akibat suatu tindak pidana, baik korban hidup maupun korban mati, juga
untuk pemeriksaan barang bukti lain yang fiduga berasal dari tubuh manusia. Untuk
melaksanakan tugas tersebut maka pihak yang berwenang (penyidik) akan
menyertainya dengan surat permintaan visum et repertum (Hoediyanto; A. Hariadi.
2010).
Visum et Repertum yakni berasal dari kata visual yang berarti melihat dan
repertum yaitu melaporkan. Sehingga jika digabungkan dari arti harafiah ini
adalah apa yang dilihat dan diketemukan sehingga Visum et Repertum merupakan
suatu laporan tertulis dari dokter (ahli) yang dibuat berdasarkan sumpah, mengenai
apa yang dilihat dan diketemukan atas bukti hidup, mayat atau fisik ataupun barang
bukti lain,kemudian dilakukan pemeriksaan menurut pengetahuan yang sebaikbaiknya (Atmadja DS, 2004).
Pembuatan visum et repertum tersebut dimaksudkan sebagai ganti barang
bukti, karena barang bukti yang diperiksa tersebut tidak mungkin bisa dihadapkan di
siding pengadilan dalam keadaan sebagaimana adanya.Hal ini dimungkinkan karena
barang bukti tersebut ada hubungannya dengan tubuh manusia (misalnya : luka,
mayat, atau bagian tubuh lainnya) makan berubah menjadi sembuh atau membusuk
(Hoediyanto; A. Hariadi. 2010).
Otopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, yang meliputi pemeriksaan
terhadap bagian luar maupun dalam, dengan tujuan menemukan proses penyakit
dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi atau penemuan-penemuan tersebut,
menerangkan penyebab kematian serta mencari hubungan sebab akibat antara
kelainan-kelainan yang ditemukan dengan penyebab kematian.
4

Hak tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya
dan keluarganya merupakan hak asasi manusia dan diakui oleh segenap bangsabangsa di dunia, termasuk Indonesia. Di Indonesia, falsafah dan dasar negara
Pancasila terutama sila ke 5, mengakui hak asasi warga atas kesehatan. Hak ini juga
termasuk dalam UUD 1945 pasal 28H dan pasal 34, dan diatur dalam UU
No.23/1992 yang kemudian diganti dengan UU 36/2009 tentang kesehatan. Dalam
UU 36/2009 ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam
memperoleh akses atas sumber daya dibidang kesehatan dan memperoleh pelayanan
kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Sebaliknya, setiap orang juga
mempunyai kewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial.
Pada tahun 2004, dikeluarkanlah UU No.24/2011 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN). UU 40/2004 ini mengamanatkan bahwa jaminan sosial
wajib bagi seluruh penduduk termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui
suatu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Cakupan BPJS salah satunya adalah pelayanan kesehatan tingkat lanjutan,
dimana salah satu pelayanan yang disediakan adalah pelayanan kedokteran forensik.
Oleh karena itu kami akan membahas apakah BPJS dapat melayani tindakan dari
otopsi.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

VISUM et REPERTUM

2.1.1

Definisi Visum et Repertum


Visum et Repertum yakni berasal dari kata visual yang berarti melihat dan

repertum yaitu melaporkan. Sehingga jika digabungkan dari arti harafiah ini
adalah apa yang dilihat dan diketemukan sehingga Visum et Repertum merupakan
suatu laporan tertulis dari dokter (ahli) yang dibuat berdasarkan sumpah, mengenai
apa yang dilihat dan diketemukan atas bukti hidup, mayat atau fisik ataupun barang
bukti lain,kemudian dilakukan pemeriksaan menurut pengetahuan yang sebaikbaiknya (Atmadja DS, 2004)
Dalam undang-undang ada satu ketentuan hukum yang menuliskan langsung
tentang visum et repertum, yaitu pada Staatsblad ( Lembaran Negara ) tahun 1937
No. 350 yang menyatakan : Pasal 1 :Visa reperta seorang dokter, yang dibuat baik
atas sumpah jabatan yang diucapkan pada waktu menyelesaikan pelajaran di
Negeri Belanda ataupun di Indonesia, merupakan alat bukti yang syah dalam
perkara-perkara pidana, selama visa reperta tersebut berisikan keterangan
mengenai hal-hal yang dilihat dan ditemui oleh dokter pada benda yang diperiksa.
(Budiyanto, 1997).
2.1.2

Dasar Hukum Visum et Repertum


1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 133
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang
korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena
peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan
permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter dan atau ahli lainnya.

(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)


dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan
tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau
pemeriksaan bedah mayat.
(3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter
pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh
penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang
memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang
dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.
2. KUHAP Pasal 6
(1) Penyidik adalah:
a. pejabat polisi negara Republik Indonesia;
b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh undang-undang.
(2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
akan diatur Iebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
3. KUHAP Pasal 184
(1) Alat bukti yang sah ialah:
a.
b.
c.
d.
e.

keterangan saksi;
keterangan ahli;
surat;
petunjuk;
keterangan terdakwa.

(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
4. KUHAP Pasal 186
Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang
pengadilan.

5. KUHAP Pasal 187


Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta
secara resmi kepadanya.
2.1.3

Jenis dan Bentuk Visum et Repertum( Hoediyanto; A. Hariadi. 2010).


1. Visum Et Repertum korban hidup :
a. Visum Et Repertum
Diberikan bila korban setelah diperiksa / diobati, tidak terhalang
menjalankan pekerjaan / mata pencaharian.
b. Visum Et Repertum Sementara
Diberikan apabila setelah diperiksa ternyata :

Korban perlu dirawat / diobservasi

Korban terhalang menjalankan pekerjaan / mata pencaharian

Karena belum sembuh, maka Visum Et Repertumnya tidak memuat


kualifikasi luka.
c. Visum Et Repertum Lanjutan
Diberikan apabila setelah dirawat / diobservasi ternyata :

Korban sembuh

Korban belum sembuh, pindah rumah sakit atau dokter lain

Korban belum sembuh, kemudian pulang paksa atau


melarikan diri

Korban meninggal dunia

2. Visum Et Repertum Mayat (harus dibuat berdasar autopsy lengkap)


3. Visum Et Repertum pemeriksaan TKP
4. Visum Et Repertum penggalian mayat
5. Visum Et Repertum mengenai umur
6. Visum Et Repertum Psikiatrik
8

7. Visum Et Repertum mengenai barang bukti lain


2.1.4

Fungsi dan tujuan Visum et Repertum


Maksud pembuatan VeR adalah sebagai salah satu barang bukti (corpus

delicti) yang sah di pengadilan karena barang buktinya sendiri telah berubah pada
saat persidangan berlangsung. Jadi VeR merupakan barang bukti yang sah karena
termasuk surat sah sesuai dengan KUHP pasal 184 (Atmadja DS, 2004). Ada 5
barang bukti yang sah menurut KUHP pasal 184, yaitu (Atmadja DS, 2004).

Keterangan saksi
Keterangan ahli
Keterangan terdakwa
Surat-surat
Petunjuk

Ada 3 tujuan pembuatan VeR, yaitu (Atmadja DS, 2004)


Memberikan kenyataan (barang bukti) pada hakim
Menyimpulkan berdasarkan hubungan sebab akibat
Memungkinkan hakim memanggil dokter ahli lainnya untuk
membuat kesimpulan VeR yang lebih baru
Bila VeR belum dapat menjernihkan persoalan di sidang pengadilan, hakim
dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan baru, seperti yang tercantum
dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang memberi
kemungkinan dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti,
apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat hukumnya
terhadap suatu hasil pemeriksaan (Atmadja DS, 2004).
2.1.5

Bagian bagian dari Visum et Repertum (Hoediyanto; A. Hariadi. 2010)


1. Sudut kanan atas dicantumkan alamat kepada siapa SPVR dikirim
(misalnya RS atau dokter), dan disertai tanggal pengirimannya. Kepada
rumah sakit (direktur) sebaiknya tertera tujuannya yaitu :
Kepala bagian / SMF Bedah

2. Sudut

Kepala bagian / SMF Obgyn


Kepala bagian / SMF Penyakit dalam
Kepala bagian I.K.Forensik.
kiri atas dicantumkan alamat peminta VetR, juga tentang nomor

surat, hal dan lampiran jika ada.


3. Bagian tengah disebutkan SPVR korban hidup / mati
4. Keterangan mengenai identitas korban (nama,

umur,

kelamin,

kebangsaan, alamat, agama dan pekerjaan).


5. Keterangan mengenai peristiwanya (modus operandi) antara lain :
Luka karena . . . . . . . . . . . . . . . .
Keracunan (obat/racun . . . . . . . . . .).
Kesusilaan (perkosaan/perzinahan/cabul).
Mati karena (listrik, tenggelam, senjata api/tajam/tumpul).
6. Permintaan pengobatan atau perawatan bila korban tidak keberatan,
untuk korban hidup.
7. Permintaan untuk melaporkan kepada penyidik bila korban sembuh,
pindah dokter atau rumah sakit lain, pulang paksa, melarikan diri atau
meninggal.
8. Kolom untuk keperluan lain jika perlu.
9. Keterangan mengenai identitas penyidik ( peminta visum et repertum)
tentang

nama,

pangkat,

kesatuan,

NRP, dan

alamat.Kemudian

ditandatangani oleh penyidik dan distempel dinas, Keterangan ini


diletakan di kanan bawah.
10. Kemudian di kiri bawah memuat keterangan tentang penerima SPVR
( petugas rumah sakit) dengan identitas nama, tandatangan, tanggal dan
jam penerimaan.Kemudian petugas rumah sakit menandatangani buku
ekspedisi polisi. Biasanya SPVR ini dibuat rangkap dua, satu untuk
rumah sakit, dan satunya untuk arsip polisi.
11. Sedangkan untuk SPVR mayat pada dasarnya sama dengan untuk korban
hidup, tetapi pon 6 dan 7 ditiadakan.
2.1.6

Struktur Visum et Repertum (Hoediyanto; A. Hariadi. 2010).


Unsur penting dalam VeR yang diusulkan oleh banyak ahli adalah sebagai

berikut :

10

1. Pro Justitia
Kata tersebut harus dicantumkan di kiri atas, dengan demikian VeR tidak
perlu bermeterai.
2. Pendahuluan, memuat :
a. Identitas pemohon visum et repertum,
b. Tanggal dan pukul diterimanya permohonan VeR,
c. Identitas dokter yang melakukan pemeriksaan,
d. Identitas subjek yang diperiksa : nama, jenis kelamin, umur,
bangsa, alamat, pekerjaan
e. Tempat dilakukan pemeriksaan,
f. Keterangan dari penyidik mengenai cara kematian, luka, dimana
korban dirawat, dan waktu korban ditemukan meninggal dunia.
g. Keterangan mengenai orang yang menyerahkan atau mengantar
korban pada dokter dan waktu saat korban diterima di rumah
sakit.
3. Pemberitaan (Hasil Pemeriksaan), yaitu terdiri dari :
a. Identitas korban menurut pemeriksaan dokter, berupa umur, jenis
kelamin, tinggi dan berat badan, serta keadaan umumnya.
b. Hasil pemeriksaan berupa kelainan yang ditemukan pada korban
c. Tindakan-tindakan atau operasi yang telah dilakukan.
d. Hasil pemeriksaan tambahan atau hasil konsultasi dengan dokter
lain.
Di dalam bagian ini memakai bahasa Indonesia sedemikian rupa
sehingga orang awam (bukan dokter) dapat mengerti, hanya kalau perlu
disertai istilah kedokteran / asing di belakangnya dalam kurung. Angka
harus ditulis dengan huruf, misalnya 4 cm ditulis empat sentimeter.
Tidak dibenarkan menulis diagnose luka, misalnya luka bacok, luka
tembak. Pemberitaan memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai apa
yang diamati, terutama apa yang dilihat dan ditemukan pada korban /
benda oleh dokter.
11

4. Kesimpulan
Memuat hasil interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah dari fakta yang ditemukan sendiri oleh dokter pembuat VeR,
dikaitkan dengan maksud dan tujuan dimintakannya VeR tersebut. Pada
bagian ini harus memuat minimal 2 unsur yaitu jenis luka dan kekerasan
dan derajat kualifikasi luka. Hasil pemeriksaan anamnesis yang tidak
didukung oleh hasil pemeriksaan lainnya, sebaiknya tidak digunakan
dalam menarik kesimpulan. Pengambilan kesimpulan hasil anamnesis
hanya boleh dilakukan dengan penuh hati-hati. Kesimpulan VeR adalah
pendapat dokter pembuatnya yang bebas, tidak terikat oleh pengaruh
suatu pihak tertentu, dan dilakukan pengamatan oleh kelima panca indra
(penglihatan, pendengaran, perasa, penciuman, perabaan.). Tetapi di
dalam

kebebasannya

tersebut

juga

terdapat

pembatasan,

yaitu

pembatasan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, standar profesi dan


ketentuan hukum yang berlaku. Kesimpulan VeR harus dapat
menjembatani antara temuan ilmiah dengan manfaatnya dalam
mendukung penegakan hukum. Kesimpulan bukanlah hanya resume
hasil pemeriksaan,melainkan lebih ke arah interpretasi hasil temuan
dalam kerangka ketentuan hokum-hukum yang berlaku.

12

5. Penutup
Memuat pernyataan bahwa keterangan tertulis dokter tersebut dibuat
dengan mengingat sumpah atau janji ketika menerima jabatan atau
dibuat dengan mengucapkan sumpah atau janji lebih dahulu sebelum
melakukan pemeriksaan serta dibubuhi tanda tangan dokter pembuat
VeR.
Pada Visum et Repertum ini juga dapat dilampirkan beberapa hal, antara lain
: (Hoediyanto; A. Hariadi. 2010)
o
o
o
o

Fotografi forensik
Identitas, kelainan-kelainan pada gambar tersebut
Penjelasan istilah kedokteran
Hasil pemeriksaan lab forensik (toksikologi, patologi, sitologi,
mikrobiologi)

2.1.7

Permintaan dan pembuatan Visum et Repertum


Sesuai dengan HIR ( Het Herziene Indonesia Reglement) pasal 154 yang

menyatakan bahwa Jika pengadilan negeri menganggap perkara itu dapat


menjadi lebih terang kalau diperiksa atau dilihat oleh ahli, maka ia dapat
mengangkat ahli itu baik atas permintaan kedua pihak, maupun karena jabatannya
.Oleh karena itu pihak-pihak yang berhak dapat meminta keterangan dari ahli .
Adapun pihak yang berhak meminta VeR, antara lain : (Hoediyanto; A. Hariadi.
2010)
a. Penyidik
Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 58 tahun 2010 pasal 2
menyatakan Penyidik adalah pejabat kepolisian negara dan pejabat
pegawai negeri sipil.
Menurut KUHAP Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 pasal 7
menyatakan penyidik mempunyai wewenang :
a) menerima Iaporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya
tindak pidana;
13

b) melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;


c) menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal diri tersangka;
d) melakukan penangkapan,

penahanan,

penggeledahan

dan

penyitaan;
e) melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f) mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g) memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi;
h) mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan
b. Hakim Pidana
Hakim pidana dapat juga meminta keterangan ahli seperti terulis
dalam KUHAP 180 ayat 1 yang menyatakan Dalam hal diperlukan
untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang
pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat
pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan.
Hakim pidana biasanya tidak langsung meminta keterangan ahli,
akan tetapi hakim dapat memerintahkan kepada jaksa untuk melengkapi
Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dengan visum et repertum, kemudian
jaksa melimpahkan permintaan hakim kepada penyidik (Hoediyanto; A.
Hariadi. 2010).
c. Hakim Perdata
Sebagaimana halnya hakim

pidana, hakim perdata pun berhak

meminta keterangan ahli seperti yang tertulis dalam Het Herziene


Indonesia Reglement (HIR) pasal 154 ayat 1 yang menyatakan Jika
pengadilan negeri menganggap perkara itu dapat menjadi lebih terang
kalau diperiksa atau dilihat oleh ahli, maka ia dapat mengangkat ahli
itu, baik atas permintaan kedua pihak, maupun karena jabatannya
Karena disidang pengadilan perdata tidak ada jaksa, maka hakim
perdata dapat langsung meminta visum et repertum kepada dokter.

14

d. Hakim Agama
Berdasarkan Undang Undang No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, mengatakan bahwa hakim agama boleh meminta
visum et repertum.
Hakim agama hanya mengadili perkara yang menyangkut agama
islam sehingga permintaan visum et repertum berkenaan dengan hal-hal
di bawah ini :
a) Syarat untuk berpoligami :
isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
b) Syarat untuk melakukan perceraian antara lain :
Salah satu pihak berbuat Zinah
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan

yang dapat membahayakan pihak lain


Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai

suami/istri.
c) Syarat tunggu waktu (iddah) seorang janda
Jika perkawinan putus karena kematian (cerai mati), waktu

tunggu ditetapkan 130 hari.


Jika perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi
yang masih menstruasi ditetapkan 3 kali suci dengan
sekurang-kurangnya 90 hari, dan bagi yang tidak menstruasi

lagi (menopause) ditetapkan 90 hari.


Jika perkawinan putus sedangkan janda tersebut dalam
keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan
bayi yang dikandungnya.

Adapun syarat syarat untuk pembuat visum et repertum, antara lain :


(Hoediyanto; A. Hariadi. 2010)

15

Harus seorang dokter (dokter gigi hanya terbatas pada gigi dan mulut),
dokter atau ahli lainnya (seperti yang tercantum dalam KUHP Pasal 133
ayat 1)
Di wilayah sendiri
Memiliki SIP
Kesehatan baik
Akan tetapi, ketentuan diatas tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya, sebab
untuk korban yang menyangkut : (Hoediyanto; A. Hariadi. 2010)
Luka : diperiksa oleh dokter spesialis bedah
Kejahatan kesusilaan : diperiksa oleh dokter spesialis Kebidanan dan
Penyakit Kandungan
Keracunan : diperiksa oleh dokter spesialis penyakit dalam
Kekerasan pada mata : diperiksa oleh dokter spesialis mata
Sedangkan korban mati: dipeeriksa oleh dokter spesialis Kedokteran
Kehakiman
Oleh karena itu, sebaiknya permintaan visum et repertum ditujukan kepada
(Hoediyanto; A. Hariadi. 2010) :
Dokter spesialis / dokter pemerintah
Dokter spesialis / dokter swasta
Dokter spesialis / dokter TNI / POLRI
Dalam penjelasan pasal 133 ayat (2) KUHAP disebutkan bahwa keterangan
yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli, sedangkan
keterangan yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut
keterangan. Ada 8 hal yang harus diperhatikan saat pihak berwenang meminta
dokter untuk membuat VeR korban hidup, yaitu (Hoediyanto; A. Hariadi. 2010):
1. Harus tertulis, tidak boleh secara lisan.
2. Langsung menyerahkannya kepada dokter, tidak boleh dititip melalui
korban atau keluarganya. Juga tidak boleh melalui jasa pos.
16

3. Bukan kejadian yang sudah lewat sebab termasuk rahasia jabatan dokter.
4. Ada alasan mengapa korban dibawa kepada dokter.
5. Ada identitas korban.
6.

Ada identitas pemintanya.

7.

Mencantumkan tanggal permintaan.

8.

Korban diantar oleh polisi atau jaksa.

Saat menerima permintaan membuat VeR, dokter harus mencatat tanggal dan
jam, penerimaan surat permintaan, dan mencatat nama petugas yang mengantar
korban. Batas waktu bagi dokter untuk menyerahkan hasil VeR kepada penyidik
selama 20 hari. Bila belum selesai, batas waktunya menjadi 40 hari dan atas
persetujuan penuntut umum (Hoediyanto; A. Hariadi. 2010).
2.1.8

Otopsi Medikolegal

2.1.8.1 Definisi Otopsi


Otopsi adalah pemeriksaan
pemeriksaan terhadap bagian luar

terhadap tubuh mayat, yang meliputi


maupun dalam, dengan tujuan menemukan

proses penyakit dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi atau penemuanpenemuan tersebut, menerangkan penyebab kematian serta mencari hubungan sebab
akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan dengan penyebab kematian.
(Mansjoer, dkk, 2000)
2.1.8.2 Klasifikasi Otopsi
Berdasarkan tujuannya, otopsi terbagi atas :
1. Otopsi Anatomi,

dilakukan untuk keperluan pendidikan mahasiswa

fakultas kedokteran. Bahan yang dipakai adalah mayat yang dikirim ke


rumah sakit yang setelah disimpan 2 x 24 jam di laboratorium ilmu
kedokteran kehakiman tidak ada ahli waris yang mengakuinya.
(Mansjoer, dkk, 2000)

17

2. Otopsi Klinik, dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga terjadi


akibat suatu penyakit. (Mansjoer, dkk, 2000)
3. Otopsi Forensik/Medikolegal, dilakukan terhadap mayat seseorang
yang diduga meninggal akibat suatu sebab yang tidak wajar seperti pada
kasus kecelakaan, pembunuhan, maupun bunuh diri. (Mansjoer, dkk,
2000)
2.1.8.3 Tujuan Otopsi Medikolegal

Untuk memastikan identitas seseorang yang tidak diketahui atau


belum jelas.

Untuk menentukan sebab pasti kematian, mekanisme kematian, dan


saat kematian.

Untuk mengumpulkan dan memeriksa tanda bukti untuk penentuan


identitas benda penyebab dan pelaku kejahatan.

Membuat laporan tertulis yang objektif berdasarkan fakta dalam


bentuk visum et repertum. (Mansjoer, dkk, 2000)

2.1.8.4 Dasar Hukum


Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur pekerjaan dokter
dalam membantu peradilan: (Idries, 1997)

18

a. Pasal 133 KUHAP :


(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang
korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena
peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan
permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter dan atau ahli lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
dilakukan secara tertulis yang dalam surat itu disebutkan dengan
tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau
pemeriksaan bedah mayat.
(3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter
pada rumah sakit harus diperlakukan baik dengan penuh
penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yg memuat
identitas mayat diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki
atau bagian lain badan mayat.
b. Pasal 134 KUHAP
(1) Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian
bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib
memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban.
(2) Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan sejelasjelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan
tersebut.
(3) Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari
keluarga atau pihak yang perlu diberitahu tidak ditemukan, penyidik
segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal
133 ayat (3) undang-undang ini.

19

c. Pasal 179 KUHAP:


(1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran
kehakiman atau dokter ahli lainnya wajib memberikan keterangan
ahli demi keadilan.
(2) Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi
mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa
mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan
keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut
pengetahuan dalam bidang keahliannya.
2.1.8.5 Prosedur Otopsi
Persiapan : (Hamdani, 2000)
1. Melengkapi surat-surat, termasuk surat izin keluarga, surat
permintaan pemeriksaan/pembuatan visum et repertum.
2. Memastikan mayat yang akan diotopsi adalah mayat yang dimaksud
dalam surat tersebut.
3. Mengumpulkan keterangan yang berhubungan dengan terjadinya
kematian selengkap mungkin untuk membantu memberi petunjuk
pemeriksaan dan jenis pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan.
4. Memastikan alat-alat yang akan dipergunakan telah tersedia. Untuk
otopsi tidak diperlukan alat-alat khusus dan mahal, cukup :

Timbangan besar untuk menimbang mayat.

Timbangan kecil untuk menimbang organ.

Pisau, dapat dipakai pisau belati atau pisau dapur yang tajam.

Guntung, berujung runcing dan tumpul.

Pinset anatomi dan bedah.

Gergaji, gergaji besi yang biasanya dipakai di bengkel.

Forseps atau cunam untuk melepaskan duramater.


20

Gelas takar 1 liter.

Pahat.

Palu.

Meteran.

Jarum dan benang.

Sarung tangan

Baskom dan ember

Air yang mengalir

5. Mempersiapkan format otopsi, hal ini penting untuk memudahkan


dalam pembuatan laporan otopsi.
Pemeriksaan luar, terdiri dari : (Hoediyanto; A. Hariadi. 2010)
1. Identifikasi, meliputi :
Jenis Kelamin
Panjang dan Berat badan

21

2.
3.
4.
5.
6.

Umur
Warna kulit, mata, dan rambut
Keadaan gigi geligi
Kelainan pada kulit (tatouage)
Penyakit
Sidik jari, sidik telapak kaki
Pakaian dan benda milik pribadi
Kaku mayat
Lebam mayat
Pembusukkan
Panjang dan Berat badan
Kepala, meliputi :
Luka (ada/tidak)
Bentuk (bulat, lonjong)
Rambut,
kumis,
janggut,

alis

(warna,

panjang,

lurus/berombak/keriting)
Mata
konjungtiva bulbi / selaput biji mata dan konjungtiva
palpebra / selaput kelopak mata (pucat, merah, kuning,
bintik-bintik pendarahan)
Selaput bening / kornea (bening, keruh, parut luka, lensa

kontak)
Selaput pelangi / iris (warna, iridektomi)
Manik mata / pupil (sama lebar, diameter)
Lensa mata (keruh, afakia)
Mata palsu (prothesis)
Hidung (bentuk, cairan yang keluar)
Mulut (bentuk bibir, warna bibir, formula gigi, gigi palsu)
Telinga (bentuk, cairan yang keluar)

22

7. Leher (luka, bekas alur jerat, bekas cekikan)


8. Dada (bentuk simetris, bentuk payudara, luka)
9. Perut (bentuk cekung, membesar, warna daerah usus buntu dan
caecum, keadaan tali pusat, parut, hernia, luka)
10. Alat kelamin laki-laki (rambut kemaluan, zakar / penis, kandung
buah pelir / skrotum, buah pelir / testis, parut luka)
11. Alat kelamin wanita (rambut kemaluan, bibir besar kemaluan /
labium majus, bibir kecil kemaluan / labium minus, selaput dara /
hymen)
12. Dubur / anus (wasir/hemorrhoid, apa yang keluar, parut luka)
13. Anggota gerak (luka, bengkak)
14. Punggung (bentuk, decubitus, luka)
15. Bokong (luka)
Pemeriksaan dalam
1. Dilakukan dengan : (Hamdani, 2000)

Insisi I dimulai di bawah tulang rawan krikoid di garis tengah


sampai prosesus xifoideus kemudian 2 jari paramedian kiri dari
puat sampai simfisis, dengan demikian tidak perlu melingkari
pusat.

Insisi Y, merupakan salah satu tehnik khusus otopsi dan akan


dijelaskan kemudian.

Insisi melalui lekukan suprastenal menuju simfisis pubis, lalu


dari lekukan suprasternal ini dibuat sayatan melingkari bagian
leher.

23

2. Pengeluaran alat-alat tubuh : (Hoediyanto; A. Hariadi. 2010)


a. Kelenjar Kacangan / Thymus
b. Jantung
c. Saluran Pernapasan
d. Saluran Pencernaan
e. Saluran Urogenital
f. Alat Leher
g. Otak
h. Aorta
i. Sumsum tulang belakang
j. Payudara
3. Yang perlu dicatat dari setiap organ tubuh : (Hoediyanto; A. Hariadi.
2010)
a. Ukuran
b. Bentuk
c. Permukaan, warna
d. Konsistensi
e. Berat
f. Struktur dan warna penampang
4. Struktur organ juga bisa berubah dengan adanya penyakit.
Pemeriksaan khusus juga bisa dilakukan terhadap sistem organ
tertentu, tergantung dari dugaan penyebab kematian. (Chadha,2000)
Contohnya seperti : (Hoediyanto; A. Hariadi. 2010)
a. Percobaan getah paru
b. Percobaan apung paru-paru
c. Emboli lemak
d. Pneumothorax
24

5. Setelah otopsi selesai, semua organ tubuh dimasukkan kembali ke


dalam rongga tubuh. Lidah dikembalikan ke dalam rongga mulut
sedangkan jaringan otak dikembalikan ke dalam rongga tengkorak.
Jahitkan kembali tulang dada dan iga yang dilepaskan pada saat
membuka rongga dada. Jahitkan kulit dengan rapi menggunakan
benang yang kuat, mulai dari dagu sampai ke daerah simfisis. Atap
tengkorak diletakkan kembali pada tempatnya dan difiksasi dengan
menjahit otot temporalis, baru kemudian kulit kepala dijahit dengan
rapi. Bersihkan tubuh mayat dari darah sebelum mayat diserahkan
kembali pada pihak keluarga (Mansjoer, 2000).
2.2

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)

2.2.1

Definisi
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah badan hukum yang

dibentuk dengan Undang-Undang untuk menyelenggarakan program jaminan sosial.


(Asih, 2014)
2.2.2

Fungsi
UU

BPJS

menentukan

bahwa,

BPJS

Kesehatan

berfungsi

menyelenggarakan program jaminan kesehatan. Jaminan kesehatan menurut UU


SJSN diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan
prinsip ekuitas, dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat
pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar
kesehatan. BPJS Ketenagakerjaan menurut UU BPJS berfungsi menyelenggarakan 4
(empat) program, yaitu program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua,
jaminan pensiun, dan jaminan kematian. (Asih, 2014)
2.2.3

Tugas

25

Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana tersebut diatas BPJS bertugas


untuk : (Asih, 2014)
1. melakukan dan/atau menerima pendaftaran peserta;
2. memungut dan mengumpulkan iuran dari peserta dan pemberi kerja;
3. menerima bantuan iuran dari Pemerintah;
4. mengelola Dana Jaminan Sosial untuk kepentingan peserta;
5. mengumpulkan dan mengelola data peserta program jaminan sosial;
6. membayarkan manfaat dan/atau membiayai pelayanan kesehatan sesuai
dengan ketentuan program jaminan sosial
2.2.4

Wewenang
Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud di atas BPJS

berwenang : (Asih, 2014)


1. Menagih pembayaran iuran;
2. Menempatkan Dana Jaminan Sosial untuk investasi jangka pendek dan
jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas,
kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai;
3. Melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan peserta dan
pemberi kerja dalam memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan jaminan sosial nasional;
4. Membuat kesepakatan dengan fasilitas kesehatan mengenai besar
pembayaran fasilitas kesehatan yang mengacu pada standar tarif yang
ditetapkan oleh Pemerintah;
5. Membuat atau menghentikan kontrak kerja dengan fasilitas kesehatan;
6. Mengenakan sanksi administratif kepada peserta atau pemberi kerja yang
tidak memenuhi kewajibannya;
7. Melaporkan pemberi kerja kepada instansi yang berwenang mengenai
ketidakpatuhannya dalam membayar iuran atau dalam memenuhi
kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;

26

8. Melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam rangka penyelenggaraan


program jaminan sosial.
Kewenangan menagih pembayaran iuran dalam arti meminta pembayaran
dalam hal terjadi penunggakan, kemacetan, atau kekurangan pembayaran,
kewenangan melakukan pengawasan dan kewenangan mengenakan sanksi
administratif yang diberikan kepada BPJS memperkuat kedudukan BPJS sebagai
badan hukum publik.
2.2.5

Cakupan BPJS di bidang forensik


Adapun cakupan BPJS di bidang forensik tertera pada Peraturan

Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Nomor 1 Tahun 2014 Pasal 59, yang
berbunyi :
(1) Pelayanan Kesehatan rawat jalan tingkat lanjutan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 58 huruf a merupakan pelayanan yang bersifat spesialistik
dan subspesialistik.
(2) Pelayanan kesehatan rawat jalan tingkat lanjutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mencakup :
a. administrasi pelayanan terdiri atas biaya pendaftaran pasien dan
biaya administrasi lain yang terjadi selama proses perawatan atau
pelayanan kesehatan pasien
b. pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi spesialistik oleh dokter
c.
d.
e.
f.

spesialis dan subspesialis


tindakan medis spesialistik sesuai dengan indikasi medis
pelayanan obat dan bahan medis habis pakai
pelayanan alat kesehatan
pelayanan penunjang diagnostic lanjutan sesuai dengan indikasi

medis
g. rehabilitasi medis
h. pelayanan darah
i. pelayanan kodekteran forensik klinik meliputi pembuatan visum
et

repertum

atau

surat

27

keterangan

medik

berdasarkan

pemeriksaan forensik orang hidup dan pemeriksaan psikiatri


forensik
j. Pelayanan jenazah diberikan terbatas hanya bagi peserta
meninggal dunia pasca rawat inap di Faslitas Kesehatan yang
bekerja sama dengan BPJS Kesehatan tempat pasien dirawat
berupa pemulasaran jenazah dan tidak termasuk peti mati
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur pelayanan kesehatan rawat
jalan tingkat lanjutan diatur dengan Peraturan Direksi BPJS Kesehatan

28

BAB 3
PEMBAHASAN
Layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan)
memang belum sempurna. Walaupun BPJS Kesehatan ini mencakup hampir semua
penyakit, akan tetapi masih banyak orang yang merasa tidak puas dengan pelayanan
BPJS yang terbatas. Dimana salah satu contohnya yang dibahas di referat ini adalah
dalam bidang forensik. Seperti yang telah disebutkan pada

Peraturan

Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Nomor 1 Tahun 2014 Pasal 59 ayat 2,


cakupan BPJS dalam bidang forensik hanya termasuk pembuatan visum et repertum
pada orang hidup saja dan pelayanan jenazah hanya diberikan pada yang pasca
rawat inap, dimana pelayanannya hanya berupa pemulasaran jenazah yang terdiri
dari memandikan, mengkafani, menyembahyangi, dan pemakaman jenazah tidak
termasuk peti mati. Oleh karena itu otopsi tidak termasuk dalam tanggungan BPJS.
Adapun biaya pada otopsi untuk penengakkan hukum pidana yang tertera
pada Pasal 136 KUHAP, menyebutkan bahwa :
Semua biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam Bagian Kedua Bab XIV ditanggung oleh
Negara
Namun pada kenyataannya tidak sejalan dengan apa yang tertera pada Pasal
136 KUHAP tersebut, karena BPJS sendiri pendanaannya sudah memiliki pola
masing-masing sesuai dengan peraturan, sehingga sulit untuk dikeluarkan dananya.

DAFTAR PUSTAKA

29

1. Afiah, Ratna Nurul. 1989. Barang Bukti Dalam Proses Pidana. Jakarta: Sinar
Grafika
2. Atmadja DS. Simposium Tatalaksana Visum et Repertum Korban Hidup
pada Kasus Perlukaan & Keracunan di Rumah Sakit. Jakarta: RS Mitra
Keluarga Kelapa Gading, Rabu 10 Juli 2004
3. Budiyanto, Arif; Widiatmaka, Wibisana. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik.
Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik Kedokteran Universitas Indonesia
4. Hamzah, Andi. 1996. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sapta Artha
Jaya.
5. Hoediyanto; A. Hariadi. 2010. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal. Surabaya. Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
6. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia
7. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia
8. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No 10 tahun 2010
tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti di Lingkungan Kepolisian
Negara Republik Indonesia
9. Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1993 Pasal 93 tentang Kecelakaan Lalu
Lintas
10. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2010 tentang Penyidik Polri
11. Prodjohamidjojo, Martiman. 1983. Sistem Pembuktian dan Alat Bukti.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
12. Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman
13. Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
14. Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak
15. Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
16. Undang Undang Negara Republik Indonesia No. 31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer
30

17. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. 2000. Kapita


Selekta : Autopsi. Jakarta : Media Aesculapius.
18. Idries, AM. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik : Prosedur Khusus.
Jakarta : Binarupa Aksara.
19. Hamdani, Njowito. 2000. Ilmu Kedokteran Kehakiman : Autopsi. Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama.
20. Chadha. 2000. Ilmu Forensik dan Toksikologi : Otopsi Mediko Legal. Edisi
kelima.
21. Asih Eka Putri. 2014. Seri Buku Saku 2 : Paham BPJS.

31

Anda mungkin juga menyukai