Anda di halaman 1dari 21

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Paralisis Periodik (PP) adalah sekelompok penyakit otot yang ditandai dengan
kelemahan flaksid otot yang terjadi dengan interval yang tidak teratur. PP pada umumnya
bersifat episodik. Berdasarkan kadar kalium darah pada saat serangan PP dibedakan 3 jenis
paralisis periodik. Yang pertama ialah paralisis periodik hipokalemi, yang kedua paralisis
periodik hiperkalemi, dan yang ketiga paralisis periodik normokalemi. 1,2
Periodik paralisis hipokalemi adalah kelainan yang ditandai dengan kadar kalium
(kalium) yang rendah (kurang dari 3.5 mmol/L) pada saat serangan, disertai riwayat episode
kelemahan sampai kelumpuhan otot skeletal. Paralisis periodik hipokalemi adalah penyakit
yang jarang ditemui yang mengenai otot volunter dengan karakteristik adanya serangan
paralisis flaksid yang periodik dengan derajat dan frekuensi yang bervariasi. Kadar kalium
dalam darah rendah pada saat serangan dan normal diluar serangan. Karakteristik umum PP
hipokalemia sebagai berikut : (1) diturunkan; (2) umumnya dihubungkan dengan perubahan
kadar kalium serum; (3) kadang disertai myotonia; dan (4) myotonia dan PP primer keduanya
akibat defek ion channel. 1,2
EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian adalah sekitar 1 diantara 100.000 orang, pria lebih sering dari wanita
dan biasanya lebih berat. Usia terjadinya serangan pertama bervariasi dari 120 tahun,
frekuensi serangan terbanyak di usia 1535 tahun dan kemudian menurun dengan
peningkatan usia. 1
FISIOLOGI
Pre-sinaps
NMJ merupakan suatu celah sinaptik yang berperan dalam transmisi saraf dari serabut
saraf ke permukaan sel otot melalui suatu neurotransmiter yaitu Asetilkolin (ACh). ACh
disimpan dalam vesikel-vesikel yang terdapat pada permukaan pre-sinaps. Vesikel-vesikel
ACh tersusun dalam suatu tempat yang disebut zona aktif. Ketika potensial aksi mencapai
ujung saraf terminal, kanal kalsium tipe P/Q akan aktif, Ca 2+ akan menuju ke tepi celah presinaps, dan konsentrasi Ca2+ akan meningkat dengan cepat sehingga akan memacu pelepasan
isi vesikel ACh.3
Membran vesikel akan segera di-reuptake setelah melepaskan ACh. Membran vesikel
ini akan menyatu dengan endosomes pada ujung sel saraf dan vesikel baru yang berisi ACh
akan muncul dari endosome. 3
Celah sinaps
Celah antara ujung sel saraf dengan membran plasma sel otot disebut dengan celah
sinaps. Celah sinaps lebih kurang berjarak 50 nm. Matriks ekstraseluler dari celah sinaps
merupakan suatu kompleks protein yang mengatursintesis dari protein post sinaps dan
mengatur konsentrasi dari asetilkolinesterase (AChE). Membran basalis dari celah sinaps
terdiri dari kolagen dan laminin. Laminin akan membentuk ikatan dengan matriks
ekstraseluler lainnya. 3
1

Setelah dilepaskan dari vesikel, ACh akan berdifusi dengan cepat melalui celah sinaps.
AChE yang terletak pada permukaan post-sinaps akan menghidrolisis ACh sehingga
konsentrasi ACh di celah sinaps akan menurun dengan cepat. Proses ini bertujuan menjaga
agar AchR tidak teraktivasi lebih dari satu kali oleh ACh. 3
AChE inhibitor antara lain piridostigmin dan enrophonium. Obat-obatan ini akan
memperpanjang durasi kerja ACh pada membran post-sinaps. 3
Sel Schwann pada ujung sel saraf diketahui mensekresi ACh binding protein yang dapat
menurunkan efektivitas ACh pada celah sinaps. Proses ini juga bertujuan untung memodulasi
transmisi pada celah sinaps. 3
Post-sinaps
ACh pada celah sinaps akan berikatan dengan AchR pada permukaan membran postsinaps. Ikatan ini akan membuka kanal ion AchR dan menyebabkan masuknya kation
terutama Na ke sel otot yang akan memicu terjadinya depolarisasi. Kontraksi otot akan terjadi
apabila depolarisasi sudah meencapai batas maksimal. 3
Permukaan post-sinaps otor lurik ditandai dengan invaginasi membran plasma yang
dikenal dengan secondary synaptic folds. Lipatan ini berfungsi untuk memperluas
permukaan membran post sinaps. AchR terletak pada puncak secondary synaptic folds.
Selain AchR juga terdapat protein-protein lain yang terletak pada NMJ. 3
Mekanisme terjadinya kontraksi otot
Timbul dan berakhirnya kontraksi otot terjadi dalam urutan tahap-tahap berikut : 4
1. Suatu potensial aksi berjalan di sepanjang sebuah saraf motorik sampai ke ujungnya pada
serat otot.
2. Pada setiap ujung, saraf mensekresi substansi neurotransmiter, yaitu asetilkolin, dalam
jumlah sedikit.
3. asetilkolin bekerja pada area setempat pada membran serat otot untuk membuka banyak
saluran bergerbang asetilkolin melalui molekul-molekul protein dalam membran serat otot.
4. Terbukanya saluran asetilkolin memungkinkan sejumlah besar ion natrium untuk mengalir
kebagian dalam membran serat otot pada titik terminal saraf. Peristiwa ini akan
menimbulkan suatu potensial aksi dalam serat otot.
5. Potensial aksi akan berjalan disepanjang membran serat otot dalam cara yang sama seperti
potensial aksi berjalan disepanjang membran saraf.
6. Potensial aksi akan menimbulkan depolarisasi membran serat otot, dan juga berjalan
disepanjang serat otot, pada tempat dimana potensial aksi menyebabkan retikulum
sarkoplasma melepaskan sejumlah besar ion kalsium, yang telah disimpan didalam
retikulum, kedalam miofibril.
7. Ion-ion kalsium menimbulkan kekuatan menarik antara filamen aktin dan miosin, yang
menyebabkannya bergerak bersama-sama, dan menghasilkan proses kontraksi.
8. Setelah kurang dari satu detik, ion kalsium dipompa kembali kedalam retikulum
sarkoplasma, tempat ion-ion ini disimpan sampai potensial aksi otot yang baru datang lagi,
pengeluaran ion kalsium dari miofibril akan menyebabkan kontraksi otot terhenti.
Dengan mengetahui arti penting kalsium dalam perannya untuk kontraksi otot, maka
hampir seluruh membran sel tubuh mempunyai pompa kalsium yang mirip dengan pompa
2

natrium, dan kalsium bekerja bersama dengan natrium dalam beberapa sel untuk
menghasilkan potensial aksi. Selain itu, terdapat saluran kalsium bergerbang voltase. Saluran
ini sedikit permeabel terhadap ion natrium seperti halnya terhadap ion kalsium. Pada paralisis
periodik hipokalemik, terjadi gangguan saluran kalsium. 4,5

Gambar 1. Proses
repolarisasi

depolarisasi dan
membran otot

Gambar 2. Proses kontraksi otot skeletal


Saluran kalsium bergerbang voltase homolog dengan saluran natrium subunit .
Terdiri dari 5 rantai polipeptide ( 1, 2, , , dan ). Komponen pusat komplek ini adalah
subunit 1, dimana mempunyai aksi dicelah konduksi-ion. Hampir sama dengan saluran
natrium, saluran kalsium subunit 1 terdiri dari 4 domain yang homolog (D1-D4), yang
masing-masing mempunyai 6 segmen (S1-S6). Segmen S4 merupakan bagian dengan muatan
yang tinggi dan merupakan sensor voltase. 4,5
Pada paralisis periodik hipokalemi, ditemukan adanya kelainan pada kromososm
1q31-q32, dimana pada kromosom ini mengandung gen yang mengkode saluran kalsium
subunit -1 otot rangka. Subunit ini, merupakan bagian penting dari komplek reseptor
dihidropiridin yang berlokasi di sistim tubulus transversa. Bagian ini dipercaya sebagai
sensor voltase yang mengontrol pengeluaran kalsium dari retikulum sarkoplasma dan
memediasi eksitasi-kontraksi otot. Sistim tubulus transversa juga merupakan celah konduksi
kalsium. Bagaimana hubungan fungsi saluran kalsium yang turun dengan keadaan
hipokalemi yang kemudian menyebabkan kelemahan otot, tidak diketahui. 4,5
3

Gambar 3. Neuromuscular junction


Saluran kalsium bergerbang voltase berperan penting dalam mengatur eksitasikontraksi. Pada keadaan normal reseptor ryanodine pada membran sarkoplasma mengawali
terjadinya kontraksi otot sampai mencetuskan depolarisasi yang mengawali pembukaan
saluran kalsium kecepatan rendah pada retikulum sarkoplasma. 4,5
Gangguan pada saluran kalsium bergerbang voltase selain mengganggu aliran kalsium juga
menyebabkan hipokalemi. Keadaan hipokalemi yang disebabkan masuknya ion K ke dalam
otot mengakibatkan hiperpolarisasi membran otot yang menghalangi transmisi
neuromuskuler. Juga terdapat permeabilitas membran sel yang meningkat terhadap Na dan
Cl. 4,5

PATOFISIOLOGI
Mekanisme yang mendasari penyakit ini adalah malfungsi pada ion channel pada
membran otot skelet / channelopathy. 6
Dasar fisiologis kelemahan otot flaksid adalah tidak adanya eksitabilitas membran otot
(yakni, sarkolema). Pada primer dan tirotoksikosis PP, paralisis flaksid terjadi dengan relatif
sedikit perubahan dalam kadar kalium serum, sementara pada PP sekunder, ditandai kadar
kalium serum tidak normal. 5,6
Periodik paralisis hipokalemi merupakan bentuk umum dari kejadian periodik paralisis
yang diturunkan. Dimana kelainan ini diturunkan secara autosomal dominan. Dari
kebanyakan kasus pada periodik paralisis hipokalemi terjadi karena mutasi dari gen reseptor
dihidropiridin pada kromosom 1q. Reseptor ini merupakan calcium channel yang bersama
dengan reseptor ryanodin berperan dalam proses coupling pada eksitasi-kontraksi otot. 5,6
Patofisiologi dari keadaan ini belum begitu jelas, namun agaknya disebabkan oleh
pergeseran intraseluler dari kalium dan fosfat yang disebabkan oleh perubahan pada aktivitas
pompa Na/K adenosine-trifosfatase atau voltage gated calcium channels. Serangan
4

kelemahan didahului oleh masuknya ion K ke dalam sel otot sehingga terjadi hipokalemia
yang mengakibatkan hiperpolarisasi membran otot yang menghalangi transmisi
neuromuskuler. Juga terdapat permeabilitas membran sel yang meningkat terhadap Na dan
Cl. 5,6

Gambar 4. Mekanisme aksi potensial


ETIOLOGI
Periodik paralisis familial (FPP)
Periodik paralisis familial merupakan kelainan yang bersifat autosomal dominan.
Faktor genetik merupakan penyebab dari 2/3 kasus PP. Gejala terutama dialami saat pasien
berusia muda (sampai dengan 5 tahun), lebih banyak pada ras non kaukasia, serta pria lebih
banyak daripada wanita. Patofisiologi dari PP tipe familial belum diketahui dengan pasti.
Kelemahan yang muncul dapat bersifat hipokalemi, normokalemi, atau hiperkalemia. Namun
tipe yang tebanyak dijumpai adalah tipe hipokalemia. 7,8
PP familial tipe hipokalemia banyak dijumpai terutama pada usia muda (anak-anak
sampai dengan usia 5 tanhun, sedangkan pada tipe hiperkalemia lebih banyak dijumpai pada
usia pubertas. Studi elektrofisiologi menunjukan PP hiperkalemia diakibatkan oleh
meningkatnya permealitas membran otot terhadap natrium. Sedangkan pada tipe hipokalemia
disebabkan oleh gangguan pada kanal kalium. Pemeriksaan genetik menunjukan gangguan
pada PP familial tipe hipokalemia terdapat pada ikatan dihidropteridin, sesitivitas voltase
otot, dan kanal kalsium pada otot lurik. 7,8
Periodik paralisis tirotoksikosis (TPP)
TPP adalah jenis PP aquired yang terbanyak. Berdasarkan literatur kasus TPP 90%
didapatkan pada ras oriental. Rasio laki-laki dibanding wanita sebanyak 20:1. Usia rata-rata
terjadinya TPP sekitar usia 20-40 tahun, hal ini sesuai dengan usia terjadinya tirotoksitosis. 1,9
Gejala yang dialami pasien dengan TPP serupa dengan pasien FPP, perbedaan hanya
terletak pada adanya gangguan pada hormon tiroid. Pada saat terjadinya tiroid, status tiroid
dapat sangat bervariasi dari yang nyata sampai yang non simtomatik. 1,9
Patogenesis dari TPP belum diketahui secara pasti. Studi menunjukan adanya
penurunan pada aktivitas pompa kalium dan aktivitas pompa natrium yang yang meningkat.
Pasien dengan TPP memiliki aktivitas Na+/K+-ATPase yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan
baik karena pengaruh langsung dari tirotoksikosis, maupun secara tidak langsung melaluui
stimulasi adrenergik, insulin, maupun aktivitas fisik. 1,9

Gambar 5.
pada tirotoksikosis

Mekanisme paralisis

Hiperinsulinemia juga berpengaruh terhadap terjadinya paralisis pada TPP. Insulin akan
menstimulai aktivitas gen Na+/K+-ATPase. Diet tinggi karbohidrat akan memicu aktivasi
simpatis yang akan menyebabkan sel pankreas melepaskan insulin. Hal ini menjelaskan blocker dapat digunakan pada pasien TPP yang mengalami serangan akut. 1,9
Androgen juga dilaporkkan dapat meningkatkan aktivitas Na +/K+-ATPase. Testosteron
akan merangsang terjadinya hipertrofi mioblas sehingga terjadi peningkatan index massa otot
dan jumlah total Na+/K+-ATPase juga akan meningkat pada laki-laki. Katekolamin
merupakan aktivator kuat untuk aktivitas Na+/K+-ATPase. Katekolamin pada pria akan
dilepaskan lebih banyak pada saat terjadinya stress. Kecendurang serangan TPP yang terjadi
pada pagi hari dianggap berhubungan dengan tingginya kadar katekolamin plasma dan
meningkatnya aktivitas simpatis di pagi hari. 1,9
Aktivitas fisik akan menyebabkan pelepasan kalium dari otot rangka sedangkan pada
saat istirahat akan terjadi influks dari kalium. Hal ini menjelaskan serangan paralisis sering
terjadi pada saat istirahat setelah aktivitas fisik. 1,9

Intoksikasi barium
Intoksikasi barium merupakan penyebab dari PP hipokalemia. Intoksikasi barium dapat
disebabkan oleh keracunan barium karbonat yang terdapat pda kentang atau kontaminasi dari
racun tikus. Meskipun dosis fatal dari barium karbonat adalah 0.8 gram, namun dosis 0.2-0.5
mg/kgBB sudah dapat menyebabkan gejala intoksikasi pada orang dewasa. 1
Intoksikasi barium karbonat dapat menyebabkan beerpindahkan kalsium ekstraseluler
ke intraseluler. Mekanisme pasti hipokalemia belum diketahui dengan pasti, namun diduga
hipokalemia disebabkan oleh aktivasi Na-K-ATPase pada membran sel otot yang
menyebabkan kalium masuk ke dalam sel dan kadar kalium serum akan berkurang. Barium
juga diketahui dapat memblok kanal kalium yang menyebabkan berkurangnya eksfluk kalium
dari otot. Selai itu, barium juga mennurunkan permeabilitas dari membran sel otot tehadap
kalium. 1

Gambar 6.

Patogenesis periodik
paralisis hipokalemia

Gangguan ginjal
Ginjal berfungsi untik mengatur keseimbangan kalium. Kelebihan kalium akan
diekskresikan melalui ginjal (90%) dan saluran cerna (10%. Lokasi regulasi terpenting berada
pada duktus koledokus, di mana terdapat aldosteron. Ekskresi kalium ditingkatkan oleh
aldosteron, peningkatan hantaran natrium ke duktus koledokus (seperti pada penggunaan
diuretik), aliran urin (diuresis osmotik) dan kadar kalium darah tinggi serta juga hantaran ionion negatif ke dalam duktus koledokus (misal bikarbonat). Sedangkan ekskresi diturunkan
oleh ketiadaan relatif atau absolut aldosteron, hantaran natrium ke duktus koledokus, aliran
urin dan kadar kalium darah rendah serta juga gagal ginjal. Ginjal dapat beradaptasi terhadap
perubahan asupan kalium akut dan kronik. Pada saat asupan kalium tinggi secara kronik,
ekskresi kalium ditingkatkan, namun bila tidak ada asupan kalium tetap ada kehilangan wajib
sebesar 10-15 mEq/hari. Oleh karena itu, kehilangan kronik timbul pada keadaan kekurangan
asupan kalium tipe apapun. Ginjal memertahankan peranan penting dalam kesetimbangan
homeostasis kalium, bahkan pada keadaan gagal ginjal kronik. Mekanisme adaptasi ginjal
membuat ginjal dapat memertahankan homeostasis ginjal sampai laju filtrasi ginjal di bawah
15-20 ml/menit. Kemudian, pada keadaan gagal ginjal, terjadi peningkatan proporsi kalium
yang diekskresikan lewat saluran cerna. Usus besar merupakan tempat utama regulasi
ekskresi kalium di saluran cerna. Faktor-faktor di atas membuat kadar kalium tetap normal
pada keadaan-keadaan stabil, bahkan dengan adanya insufisiensi ginjal lanjut. Meskipun
demikian, dengan adanya perburukan keadaan ginjal, asupan kalium dalam jumlah besar
mungkin tidak dapat ditangani dengan baik. 10

Gambar 7. Regulasi

kalium dalam nefron

Hipokalemia
merupakan
kondisi
yang dapat dibabkan oleh gangguan renal maupun ekstrarenal. Berbagai kelainan pada ginjal
dapat menyebabkan hipokalemia, namun penyebab yang paling sering dijumpai adalah renal
tubular ascidosis (baik tipe 1 maupun tipe 2). Distal renal tubular ascidosis (tipe 2)
disebabkan oleh berbagai penyakit seperti sindroma Sjorgren dan sindroma Fanconi.
Kelainan pada ginjal lainnya yang dapat menyebabkan PP antara lain sindroma nefrotik,
acute tubular necrosis, sindrom Barter, dan post ureterosigmoidostomy. 10
Gangguan endokrin
Sindrom Conn atau hiperaldosteron primer juga memiliki gejala hipokalemia. Sindrom
ini lebih banyak dijumpai pada ras oriental. Terapi dari penyakit ini adalah dengan operasi
mengangkat tumor atau pemberian spironolakton. PP juga dapat disebabkan oleh
pseudohiperaldosteronism akibat intoksikasi licorice. Efek PP hipokalemia dapat terlihat pada
penggunaan dosis kecil 100gram/hari dalam jangka waktu lama. Berbeda dengan sindrom
Conn, terapi dari hipokalemia akibat intoksikasi licorice adalah dengan koreksi kalium. 10
Gangguan gastrointestinal
PP hipokalemia dapat disebabkan oleh coeliac disease, tropical sprue, gastroenteritis
akut, dan malabsorbsi akibat short bowel syndrome. 10
KLASIFIKASI
Berdasarkan kadar kalium dalam darah
1. Periodik paralisis hipokalemia 11
PP hipokalemia kelemahan muncul pada waktu bangun pagi, setelah beristirahat,
setelah bekerja, setelah makan makanan tinggi karbohidrat, atau pada iklim dingin.
Paralisis dapat berlangsung beberapa jam sampai adakalanya 2-3 hari. Kadar kalium di
dalam serum dibawah 3 mEk/L. Pada beberapa pasien PP hipokalemia yang berusia tua
gejala berkembang secara progresif, kelemahan yang muncul berupa miopati proksimal.
Serangan paralisis dimulai dengan pindahnya kalium dari ekstraseluler kedalam sel otot
skelet, sehingga kalium serum berkurang sampai 1.5 mEq/l. Penyembuhan spontan
disertai pergeseran kembali kalium intraseluler yang berlebihan kembali ke serum.
Antara serangan simpanan kalium tubuh total dan kalium serum menurun sedikit;
8

konsentrasi kalium intraseluler sedikit lebih rendah, dan kadar Natrium sedikit lebih
tinggi dari normal. Penelitian menunjukkan adanya defek membran pada penyakit
paralisis periodik ini, dan eksitabilitasnya menurun. Salah satu model eksperimental
pada
binatang menunjukkan adanya penurunan permeabilitas kalium. Patofisiologi PP
hipokalemia diduga berhubungan dengan mutasi pada -subunit dari saluran Nav1.4
dan , Cav1.1 pada kanal kalsium otot rangka. Mutasi missense yang pertama
diidentifikasi dalam gen saluran kalsium, CACNA1S (HypoPP1), yang menyumbang
sekitar 60% dari kasus. Kemudian, ditemukan bahwa sekitar 10% dari kasus PP
hipokalemia berhubungan dengan adanya mutasi pada gen kanal natrium yaitu SCN4A
(HypoPP2). Perbedaan fenotipik antara PP hipokalemia tipe 1 (kanan kalsium) dan PP
hipokalemia tipe 2 (kanal natrium) meliputi: (1-3)
Onset PP hipokalemia tipe 1 lebih awal ketimbang tipe 2
Mialgia lebih banyak dijumpai pada PP hipokalemia tipe 2
Pada biopsi otot didapatkan dominasi tubular agregat di PP hipokalemia tipe 2 dan
vakuola pada PP hipokalemia tipe 1
PP hipokalemia 2 dapat dicetuskan oleh acetazolamide
2. Periodik paralisis hiperkalemia 1,2,5
PP hiperkalemia ditandai dengan kelemahan yang selalu muncul setelah bekerja.
Sebagian disertai serangan miotonia dan sebagian tidak. Paralisis tidak berlangsung
lama dan kadar kalium serum lebih dari 4.2 mEk/L. Mutasi T704M dan M1592V pada
gen SCN4A merupakan penyabab dari sebagian besar kasus. PP hyperkalemia
berdasarkan pemeriksaan elektrofisiologik dapat dibedakan menjadi :
Paralisis periodik tanpa miotonia
Paralisis periodik dengan miotonia
Miotonia paradoksikal dengan paralisis periodic
Miotonia paradoksikal tanpa paralisis periodik.
Sebagian besar peneliti sepakat adanya 2 bentuk paralisis periodik hiperkalemik ini
yaitu:
Adynamia episodica Gamstrop dan paramyotonia congenita Eulenberg.
a. Paramyotonia congenita Eulenberg menunjukkan adanya miotonia yang sulit
dibedakan dengan miotonia pada myotonia congenita. Tetapi umumnya miotonia ini
bersifat paradoxical : latihan pada ekstremitas yang terkena justru akan
menimbulkan eksaserbasi miotonia (tidak menghilangkannya). Juga diduga lebih
rentan terhadap dingin dibandingkan miotonia klasik. Paparan terhadap dingin
seringkali memunculkan kekakuan (atau resisten pasif terhadap peregangan),
sebelum awitan suatu paralisis. Dari beberapa data penelitian dapat diambil
kesimpulan bahwa pada paralisis periodik jenis hiperkalemik ini dijumpai
abnormalitas primer pada saluran natrium sarkolemma (mungkin juga chlorid) yang
tergantung pada suhu. Defek ini mungkin pada saluran proteinnya sendiri atau
karena adanya abnormalitas milieu lipid yang menghasilkan interaksi lipid-protein
abnormal dalam saluran ion ini. Pasien miotonik ini juga mempunyai defek
9

konduktans chloride pada suhu fisiologis. Pada paramiotonia ini serabut otot tidak
menunjukkan sifat kontraktil yang abnormal. Diduga bahwa peningkatan
permeabilitas terhadap Na akibat paparan dingin akan meningkatkan natrium
intraseluler, yang kemudian akan kompetisi dengan kalsium untuk reuptake oleh
retikulum sarkoplasma setelah kontraksi otot, mengakibatkan tertundanya relaksasi.
b. Adynamia Episodica Gamstrop merupakan jenis yang langka dan diturunkan secara
otosomal dominan. Serangan umumnya dimulai sebelum usia l0 tahun dan dipicu
oleh rasa lapar, periode istirahat setelah paparan dingin, keadaan basah, atau setelah
olah fisik yang tidak biasanya. Konsumsi garam kalium secara tak sengaja atau
minum bir berlebihan (bir mengandung kalium), dapat pula mencetuskan paralisis.
Episode kelemahan disini lebih ringan dan umumnya kurang dari 1 jam,
dibandingkan pada tipe hipokalemik. Cenderung terjadi selama aktivitas sehari-hari
dan pada laki-laki derajatnya dapat lebih berat. Frekwensi serangan sangat bervariasi
antar individu. Dapat setiap hari antara setengah jam sampai 3 jam; dapat hanya
sehari dua hari. Mula-mula yang dirasakan hanya kekakuan atau kebas pada otot
proksimal utamanya ekstremitas bawah, sebelum terjadi paralisis. Kesulitan menelan
atau gangguan pernapasan sangat jarang terjadi. Frekwensi dan derajat berat
cenderung berkurang pada remaja dan dapat menghilang pada usia dewasa.
Pemeriksaan selama serangan menunjukkan hipotonia dan refleks yang menurun
atau menghilang. Kadang-kadang dapat dimunculkan miotonia dengan perkusi pada
lidah atau otot thenar. Peningkatan kalium dalam serum dan CPK (kurang dari 96
jam), dapat membantu untuk diagnosis. Pada EMG dapat dijumpai : blok sementara
aktivitas listrik pada sebagian serabut otot, sedangkan yang lain justru menunjukkan
hipereksitabilitas. Pada stadium paralisis dapat pula dijumpai fibrilasi, gelombang
positif dan gelombang miotonik. MUP (motor unit potential) menunjukkan
durasinya dan jumlahnya menurun. Studi konduksi saraf normal.
3. Periodik paralisis normokalemia 1,2,5
PP normokalemia merupakan varian yang paling jarang dijumpai. Patofisologinya
belum diketahui. Serangan paralisisnya dapat paling lama dan berat dibandingkan tipe
yang lain. Kadar kalium dalam serum normal atau sedikit menurun. Serangan tidak
dipicu oleh pemberian insulin, glukose ataupun kalium. Studi menunjukan pasien
dengan PP normokalemia sebagian besar memiliki riwayat keluarga yang menderita PP
hiperkalemia. Lebih kurang 50% kasus PP normokalemia juga memiliki mutasi pada
T704AM seperti pada PP hiperkalemia. Vicart et al melaporkan adanya 4 keluarga
dengan mutasi pada kanal Nav 1.4 seperti yang dijumpai pada PP hipokalemia.

Tabel 1. Perbandingan PP hipokalemia, hiperkalemia dan normokalemia


10

Kadar kalium serum


Waktu serangan
Berat serangan
Durasi serangan
Faktor pencetus
Faktor paliatif
Miopati
Miotonia

Hipokalemia
1.5 3.0
Pagi hari
Setiap hari s.d sekali
seumur hidup
Rata-rata 12 jam
Dingin, karbohidrat,
insulin, istirahat
setelah aktivitas
Olah fisik ringan
-/+++
-

Normokalemia
Normal atau
rendah
Pagi hari
1-3 bulan sekali
Hari-minggu
KCl
Olah fisik ringan
-/+++
?

Hiperkalemia
5.0 8.0
Siang atau sore
Setiap hari atau
setiap minggu
Beberapa menit s.d 1
jam
KCl, diet rendah
karbohidrat
Olah fisik ringan
-/+
Normat/+

Berdasarkan etiologi
1. Periodik paralisis primer 1,2,7,8
PP primer disebabkan oleh mutasi gen yang mengkode kanal klorida, kanal natrium
atau kanal kalsium pada membran serabut otot dikelompokkan kedalam penyakit
saluran ion atau lebih sering disebut kanalopati. Perubahan kadar kalium serum bukan
defek utama pada PP primer, hal ini dibuktikan dengan kadar kalium yang tetap normal
selama inter-iktal. Semua bentuk PP primer kecuali Becker myotonia kongenital (MC)
juga terkait autosomal dominan atau sporadik (paling sering muncul dari point
mutation).
Tabel 2. Klasifikasi periodik paralisis primer berdasar defek kanal ion
Sodium channel
Hiperkalemi PP
Paramyotonia kongenital
Potassium-aggravated myotonia
Calcium channel
Hipokalemik PP
Chloride channel Becker myotonia kongenital
Thomson myotonia kongenital
2. Periodik paralisis sekunder 1,2,10
PP sekunder adalah berbagai kelompok paralisis periodik yang disebabkan oleh
berbagain penyakit, bukan karena faktor genetik. Keadaan yang dapat menyebabkan PP
sekunder antara lain :
a. PP hipokalemia yang disebabkan oleh :
Tirotoksikosis
Penggunaan thiazide atau loop diuretic
Nefropati
Drug induced : gentamicin, carbenicilin, amphotericin B, tetrasiklin, Vit B12,
alkohol, carbenoxolone
Hiperaldosteronisme primer maupun sekunder
Intoksikasi barium
Gangguan gastrointestinal
b. PP hiperkalemia yang disebabkan oleh :
11

Gagal ginjal kronik


Nefropati diabetik
Penggunaan ACE-i dan diuretik hemat kalium
Andersens cardiodysrhytmic syndrome
Paramyotonia congenita
Pada kelainan terkait autosomal dominan ini, myotonia diperburuk dengan
aktivitas (paradoxical myotonia) atau temperatur dingin. Gejala-gejala paling
berat pada wajah. Kelemahan episodik juga bisa berkembang setelah latihan atau
temperatur dingin dan biasanya berkangsung hanya beberapa menit, tetapi bisa
berlangsung sepanjang hari. Pemberian kalium biasanya memperburuk gejala,
tetapi pada beberapa kasus, menurunkan kadar kalium serum mencetuskan
serangan.
3. Pottasium aggravated myotonia

Berdasarkan abnormalitas kanal ion 6


1. Gangguan kanal kalsium pada otot
PP hipokalemia
2. Gangguan kanal natrium pada otot
PP hiperkalemia
Paramyotonia congenita
3. Gangguan kanal chlorida pada otot
Myotonia congenita
4. Gangguan subunit kanal kalium
Sebagian kecil kasus PP hipokalemia
Sebagian kecil kasus PP hiperkalemia
Sindroma Andersen
5. Gangguan dari proses patologis lainnya
Tirotoksikosis periodic paralysis
DIAGNOSIS
Anamnesis
Anamnesis meliputi usia saat onset, riwayat paralisis yang berulang, riwayat keluarga,
intensitas, dan riwayat penggunaan obat sebelumnya. Pasien pada umumnya datang dengan
keluhan kelemahan anggota gerak yang mendadak, tanpa disertai adanya gejala lain.
Kelemahan ini dialami lebih dari satu kali dan berlangsung dalam hitungan jam sampai
dengan hari. Kelemahan terutama dirasakan lebih berat pada bagian proksimal. Pada sebagian
kecil kasus, kelemahan dapat melibatkan otot pernafasan sehingga menimbulkan gagal nafas
yang berakibat fatal. Kelemahan terutama muncul pada saat istirahat setelah melakukan
aktivitas fisik atau mengkonsumsi obat/makanan tertenstu, hal ini membedakan PP dengan
miasthenia gravis. 1
Onset awal PP hiperkalemia dan paramyotonia congenita terutama pada usia anakanak. Sedangkan pada PP hipokalemia onset serangan dijumpai pada usia 25-30 tahun. Onset
awal yang muncul di atas 25 tahun biasanya dijumpai pada PP sekunder. 1,2
Riwayat keluarga dengan penyakit yang ama dijumpai pada 33% kasus PP primer.
Riwayat keluarga dengan penyakit yang sama harus sitanyakan setidaknya sampai 3 generasi.
Riwayat penggunaan obat sebelumnya juga harus ditanyanya, terutama penggunaan diuretik,
12

ACE-i, angiotensi receptor blockers, carbenoxolone, gentamicin, carbenicilin, dll.Selain itu,


riwayat penyakit sebelumnya seperti tirotoksikosis, intoksikasi alkohol, gastroenteritis,
oliguria, perdarahan post partum, dan septic abortion. 1,,2,10
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan: kelemahan anggota gerak, biasanya simetris, sisi
proksimal lebih berat. Refleks tendon menurun, sensoris masih baik, dapat disertai aritmia
kordis. Pada kasus PP hipekalemia, kelemahan juga dapat melibatkan kelopak mata. 1,11
Tes provokasi 11
1. Glucose/insulin challenge test
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendiagnosis PP hipokalemia. Saat melakukan
pemeriksaan ini perlu diwaspadai adanya gejala hipoglikemia dan hipokalemia yang
dapat menyebabkan aritmia dan gagal nafas. Hasil false positif dapat terjadi apabila
pemeriksaan dilakukan pada pagi hari di mana kadar kortisol serum mencapai
puncaknya. Konsumsi diet tinggi karbohidrat dan aktivitas fisik sebelum pemeriksaan
dapat meningkatan sensitivitas tes. Preparat glukosa oral maupun intravena dapat
dgunakan pada tes ini, namun prepasat intravena dianggap lebih efektif ketimbang
preparat oral. Dosis yang digunakan yaitu 5 gram/kgBB untuk preparat oral atau 1.5-3
gram/kgBB untuk preparat intravena. Pemberian preparat glukosa intravena harus
diberikan secara bolus lambat habis dalam 60 menit. Selain pemberian glukosa
intravena harus disertai dengan pemberian insulin intravena yang diberikan secara
bolus lambat pada menit ke 30 dan 60. Dosis insulin yang digunakan maksimal 0.1
U/kgBB. Monitoring meliputi monitoring EKG dan kadar kalium darah. Kadar kalium
darah diukur pada menit ke 60, 120, 180, dan apabila muncul gejala kelemahan. Gejala
kelemahan biasanya muncul setelah 3-5 jam pemberian glukosa. Pemeriksaan GDS
dilakukan pada menit ke 45, 60, 90, 120, 180, atau jika dijumpai tanda-tanda
hipoglikemia.
2. Potassium challenge test
Pemeriksaan ini digunakan untuk menegakan diagnosis PP hiperkalemia, paramyotonia
congenita, atau potassium aggravated myotonia. Efek samping yang perlu diwaspadai
dari pemeriksaan ini adalah aritmia akibat dari hiperkalemia. Tes ini dilakukan saat pagi
hari di mana malam sebelumnya pasien berpuasa, harus tersedia monitor EKG, dan
didampingi oleh dokter anestesi. Kontraindikasi dari pemeriksaan ini adalah pasien
telah berada dalam kondisi hiperkalemia dan terdapat gangguan renal. Pemeriksaan ini
dapat dilakukan setelah exercise challenge test ataupun dilakukan secara terpisah.
Pasien awalnya diminta untuk melakukan aktivitas fisik selama 10 menit lalu diberikan
2 gram (27 mEq) KCl per oral, pasien tidak boleh mengkonsumsi makanan atau
minuman manis, lalu pasien diminta beristirahat. Apabila dalam 30 menit tidak
didapatkan adanya kelemahan, maka pemberian KCl 2 gram (27 mEq) dapat diulang
setiap 30 menit. Pemeriksaan dihentikan apabila didapatkan adanya kelemahan,
aritmia,dan kadar kalium darah mencapai 6.0 mEq/L atau dosis total yang diberikan
mencapai 10 gram/133 mEq. Kelemahan biasanya muncul setelah 1.5-3 jam setelah

13

pemberian KCl. Kadar kalium darah dihitung pada awal pemeriksaan, 15 menit setelah
pemberian KCl, 2 jam setelah pemberian dosis terakhir, dan apabila muncul kelemahan.
3. Exercise challenge test
Tes ini dilaskukan untuk menegakan diagnosis PP hiperkalemia, PP hipokalemia, atau
pottasium aggravated myotonia. Pasien diminta untuk melakukan aktivitas fisik dengan
sepeda statis atau treadmill selama 30 menit. Sepeda statis dianggap lebih aman
ketimbang treadmill dalam hal resiko jatuh. Aktivitas fisik diteruskan sampai dengan
tercapai target denyut jantung 120-150 kali/menit. Setelah 30 menit atau setelah target
denyut jantung tercapai, pasien diminta untuk istirahat. Ada tidaknya serangan paralisis
diamati setidak-tidaknya dalam 2 jam paska aktivitas fisik. Kadar kalium serum
dihitung pada saat sebelum tes dan saat terjadinya kelemahan. Pada individu normal,
kadar kalium serum akan meningkat saat aktivitas fisik dan normal kembali saat
istirahat.
4. Cold challenge test
Tes ini dilakukan umtuk menegakan diagnosis PP hiperkalemia dan paramyotonia
congenita. Cara melakukan tes ini yaitu dengan mencelupkan kedua tangan pasien ke
dalam air dingin bersuhu 15 selama 30 menit lalu diamati apakah muncul serangan
paralisis. Evaluasi tes ini dapat dengan menggunakan EMG maupun dengan
menghitung kadar kalium serum selama pemeriksaan. Kadar kalium darah diperiksa
pada saat sebelum melakukan tes, setelah selesai tes, atau jika muncul serangan.
5. Ice-cold water test
Pasien diminta untuk memejamkan mata lalu kedua mata pasien dikompres
menggunakan handuk yang telah dibasahi air es selama 1 menit. Pasien lalu diminta
untuk melirik ke arah atas selama 2 detik lalu melirik ke arah bawah. Pda kasus-kasus
PP hiperkalemia dan normokalemia, setelah tes sklera akan terlihat jelas (kelopak mata
akan membuka lebih lebar.
6. Fasting challenge test
Tes ini dilaskukan untuk menegakan diagnosis PP hiperkalemia, paramyotonia
congenita, atau pottasium aggravated myotonia. Pasien diminta untuk berpuasa selama
12-18 jam, selama puasa pasien hanya diijinkan minum air putih. Setelah puasa, pasien
diminta untuk melalukan aktivitas fisik ringan seperti sepeda statis, push-up, squat,
jalan di tempat, atau treadmill selama 5 menit. Kadar kalium darah diperiksa setiap 4
jam selama puasa, 30 menit setelah puasa, dan apabila muncul serangan.
7. Pemberian epinefrin, nor-epinefrin, atau kortikosteroid juga dapat memicu timbulnya
kelemahan pada PP hipokalemia.

8. Therapeutic test
Pemberian injeksi furosemide, thiazide, NaCl 0.9%, 10 cc Ca gluconas 20%, atau
salbutamol dapat mengurangi beratnya serangan pada PP hipokalemia.
14

Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang terpenting adalah pemeriksaat kadar kalium darah.
Kadar kalium abnormal sering djumpai pada PP sekunder, sedangkan pada PP primer kadar
kalium pada umumnya dalam batas normal. Kadar magnesium darah yang rendah dijumpai
pada kasus PP sekunder. Perlu diingat kesalahan saat mengambil darah dapat menyebabkan
pemeriksaan tidak valid, seperti torniquet yang terlalu kencang dan hemolisis darah dapat
meningkatkan kadar kalium serum. 10
Pemeriksaan analisa gas darah dibutuhkan untuk menginterpretasikan K + yang rendah.
Alkalosis biasa menyertai hipokalemia dan menyebabkan pergeseran K+ ke dalam sel.
Asidosis menyebabkan kehilangan K+ langsung dalam urin. 10
Hipokalemia merupakan kelainan elektrolit yang sering terjadi pada praktek klinis yang
didefinisikan dengan kadar kalium serum kurang dari 3,5 mEq/L, pada hipokalemia sedang
kadar kalium serum 2,5-3 mEq/L, dan hipokalemia berat kadar kalium serumnya kurang dari
2,5 mEq/L. Gejala hipokalemi ini terutama terjadi kelainan di otot. Konsentrasi kalium serum
pada 3,0-3,5 mEq/L berhubungan dengan suatu keadaan klinis seperti kelemahan otot ringan,
fatigue, dan mialgia. Pada konsentrasi serum kalium 2,5-3,0 mEq/L kelemahan otot menjadi
lebih berat terutama pada bagian proximal dari tungkai. Ketika serum kalium turun hingga
dibawah dari 2,5 mEq/L maka dapat terjadi kerusakan struktural dari otot, termasuk
rhabdomiolisis dan mioglobinuria. Peningkatan osmolaritas serum dapat menjadi suatu
prediktor terjadinya rhabdomiolisis. 10
Pemeriksaan laboratorium lain yang dapat dilakukan antara lain urinalisa, gula darah,
ureum, kreatinin, FT3, FT4, TSH, serta aldosteron serum. Pemeriksaan ini dilakukan untuk
menentukan apakah PP disebabkan oleh penyebab primer atau sekunder. Kadar fosfat
anorganik juga dijumpai rendah pada ksaus PP sekunder. Pemeriksaan CPK dan mioglobin
yang meningkat dapat dijumpai pada kasus PP paska serangan. 10

Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksaan EKG pada PP tipe hipokalemia (kadar kalium serum <3.0 mEq/L)
menunjukan adanya bradikadia, gelombang T yang mendatar, P-R interval yang memanjang,
Q-T interval yang memanjang serta tampak adanya gelombang U. 1,10,11

15

Gambar 8. Gambaran
keadaan hipokalemia

EKG pada

Gambaran EKG pada PP hiperkalemia dapat menunjukan adanya gambata gelombang


T yang tinggi, gelombang P yang mendatar, kompleks QRS yang memanjang, dan elevasi
segmen S-T. Pada tahap lanjut dapat didapatkan blok sampai dengan asistol. 1

Gambar 9.
EKG pada

Gambaran
hiperkalemia

Elektromiografi (EMG)
Long exercise test (McMannis test) merupakan pemeriksaan EMG dengan durasi
perekaman yang lebih panjang ketimbang perekaman EMG rutin. Elektroda diletakan di
tangan lalu lalukan perekaman untuk melihat baseline gelombang EMG. Lalu pasien diminta
melalukan gerakan meremas sebanyak 10 kali selama 25 detik lalu diikuti istirahat selam 5
detik. Gerakan ini terus dilakukan selama 5 menit. Selama periode istirahat (5 detik)
dilakukan perekaman. Perekaman juga dilakukan setiap menit selama 10 menit paska
16

aktivitas fisik. Lalu perekaman dilakukan setiap 2 menit selama 40 menit. Tes ini postif pada
80% pasien dengan PP baik tipe hipokalemia maupun hiperkalemia. 1,2,5
Pasien dengan PP hiperkalemia pada umumnya menunjukan penurunan amplitudo pada
pemeriksaan EMG dengan long exercise test (McMannis test). Sedangkan pasien dengan PP
hipokalemia jarang menunjukan adanya kelainan pada long exercise test (McMannis test). 1,2,5

Gambar 10.

Long exercise
test (McMannis test)

Gambar
11. Perbandingan Long exercise test pada berbagai kelainan otot
Hydrogen-MRI
Pemeriksaan hydrogen MRI dapat menunjukan adanya degenerasi lemak dan jaringan
ikat serta edema pada otot. Gambaran T1 dapat menunjukan perbedaan densitas otot, lemak,
dan jaringan ikat. 1

Sodium-MRI
Pemeriksaan ini belum secara luas dipergunakan. Sodium-MRI dapat menunjukan
adanya miopati pada periodik paralisis. Otot yang mengalami kelainan memiliki kadar
natrium yang lebih tinggi ketimbang otot yang normal. 1

17

Gambar 12.
Gambaran
MRI pada otot

Sodiumnormal
dan otot pasien dengan PP

CT Scan non kontras


CT Scan pada pasien PP dapat menujukan adanya jaringan otot yang digantikan oleh
jaringan lemak. CT scan kurang sensitif apabila dibandingkan dengan MRI karena CT scan
tidak dapat menunjukan adanya edema pada otot. 1

Gambar

13.
Gambaran CT scan pada otot pasien dengan PP

Biopsi otot
Biopsi otot diambil dari m. Gastronecmius dengan guiding dari MRI. Biopsi otot tidak
dapat membedakan jenis PP hipokalemia, hiperkalemia, atau normokalemia. Hasil yang
normal tidak menyingkirkan diagnosis PP. Gambaran hasil biopsi pada pasien PP dapat
berupa vakuola dan sarkoplasma yang terisi dengan PAS dan atrofi dari serabut otot.
18

Gambaran vakuola lebih banyak dijumpai pada pasien dengan PP hipokalemia tipe 1,
sedangkan pada PP hipokalemia tipe 2 lebih banyak idjumpai gambaran tubular. 1

Gambar

14.
Gambaran
vakuola pada biopsi otot pasien PP

DIAGNOSIS BANDING 1,5


Kelainan neurologi
Miasthenia gravis
Lambert eaton syndome
Narcolepsy
Multiple sclerosis
Transient sichaemic attack
Metabolik
Abnormalitas elektrolit
Porfiria
Overdosis obat seperti ACE-i
Botulism
Intoksikasi alkohol
Intoksikasi opiat
Hipoglikemia
Gangguan endokrin
Infeksi
Poliomielitis
Difteri
Guillain Barre syndrome
Fase prodromal infeksi viral

MANAJEMEN
Periodik paralisis hipokalemia
Pencegahan terhadap serangan dapat diberikan acetazolamide (tablet 250 mg) - 4
tablet per hari; diuretik hemat kalium triamterene 25-100 mg, spironolakton 100 mg, atau
amiloride 5 mg; atau dichlorphenamide. Efek samping dari acetazolamide adalah gangguan
19

senrorik seperti kesemutan. Acetazolamide tidak boleh diberikan pada pasien dengan asidosis
akibat gangguan pernafasan. 1,11,12
Terapi pada saat serangan yaitu KCl tablet 0.2-0.4 mmol/kgBB setiap 30 menit sampai
dengan kelemahan membaik (1 mmol = 75 mg KCl) atau 5-10 gram dapat diulang 1 jam
kemudian. Jika pemberian KCl per oral tidak memberikan perbaikan, maka dapat diberikan
koreksi kalium secara intravena dengan dosis 0.1 mmol/kgBB dalam 10% mannitol (500 ml).
Pemberian koreksi kalium intravena tidak diijinkan pada pasien dengan gagal ginjal. KCl
tidak boleh diberikan bersama dengan glukosa 5% atau NaCl 0.9%. Pada beberapa pasien
pemberian acetazolamide dapat memperburuk kelemahan. Pemberian acetazolamide dapat
diganti dengan pemberian triamterene 25-100 mg/hari atau spironolakton 25-100 mg/hari.
1,11,12

Diet pada pasien dengan PP hipokalemia juga harus diperhatikan. Pasien dengan PP
hipokalemia dianjurkan untuk mengurangi intake garam dan karbohidrat. Sumber karbohidrat
yang dipilih sebaikan jenis yang dimetabolisme tubuh secara lambat seperti roti gandum,
sereal gandum, ubi manis, jagung, serta kacang-kacangan. Pasien juga dianjurkan
mengkonsumsi buah-buah yang mengandung kalium seperti apel, pisang, dan kiwi. Selain
itu, pasien juga dianjurkan mengkonsumsi susu maupun produk susu lainnya yang rendah
gula. 1,11,12
Periodik paralisis hiperkalemia
Pencegahan serangan dapat dilakukan dengan pemberian acetazolamide, thiazide
maupun diuretik. Obat-obatan ini bertujuan untuk menjaga kadar kalium dalam darah tetap
dalam batas normal. PP hiperkalemia pada umumnya tidak memrlukan terapi khusus pada
saat munculnya serangan, serangan dapat diatasi dengan pemberian minuman atau makanan
yang mengandung gula. Apabila makanan manis tidak dapat mengatasi serangan, pasien
dapat diberikan diuretik thiazide atau loop diuretik. Pemberian Ca glukonas 20% intravena
atau glukosa 10% + insulin disarankan pada kasus di mana kadar kalium serum sangat
tinggi.Pemberian salbutamol dapat dipertimbangkan pada kasus di mana terdapat
kontraindikasi dengan diuretik. 2
Periodik paralisis normokalemia
Terapi yang dapat diberikan pada kasus PP normokalemia pada dasarnya sama dengan
kasus PP hiperkalemia. Terapi yang dapat diberikan antara lain : 2
Diet tinggi karbohidrat
Thiazide : chlorthalidone 250-1000 mg/hari
Ca glukonas intravena
Glukosa 10% + insulin intravena

PP sekunder 9,10
Pada kasus PP sekunder, selain mengkoreksi kadar kalium di dalam tubuh, diperlukan
juga terapi spesifik pada penyakit yang mendasari :
20

1. PP tirotoksikosis dapat diberikan -blocker dan carbimazole. Pada kondisi darurat


penggunaan propanolol intravena direkomendasikan.
2. PP akibat intoksikasi barium dapat diberikan antidotum magnesium sulfat 2.5 gram
intravena bolus dosis tunggal. Pada kasuns-kasus akut, dapat dilalukan bilas lambung
menggunakan magnesium sulfat 2.5%.
3. PP akibat dari paramyotonia congenita gejala ajab muncul akibat hiperkalemia yang
diinduksi udara dingin. Penatalaksanaan pada kasus ini meliputi pasien ditempatkan di
ruangan bersuhu hangat dan dapat diberikan glukosa intravena atau thiazide per oral.
4. PP akibat Andersens syndrome harus dirawat di ruang ICU mengingat kondisi aritmia
jantung yang dapat berakibat fatal.
PROGNOSIS
Paralisis periodik dapat ditangani, dan kelemahan progresif dapat dicegah atau bahkan
dapat sembuh. Namun, prognosis paralisis periodik bervariasi. Pasien yang tidak
mendapatkan terapi mengalami kelemahan anggota badan bagian proksimal yang menetap,
yang akan membatasi aktivitas. Kebanyakan kasus akan membaik dengan terapi , sementara
pada kasus yang lain mengalami kelemahan yang progresif. 2
Serangan yang sering berulang akan mengakibatkan kelemahan yang progresif dan
menetap walaupun diluar serangan. 2
Bila hipokalemi ( kadar kalium darah < 2,5 mEq/L ) terjadi dalam waktu lama, akan
menyebabkan rhabdomiolisis, mioglobinuria dan aritmia jantung. Beberapa pasien yang
meninggal, dilaporkan akibat aspirasi pneumoni atau tidak adekuatnya dalam membersihkan
sekresi lendir saluran nafas. Meskipun jarang terjadi kematian akibat kelumpuhan otot-otot
napas atau gangguan konduksi jantung. 2

21

Anda mungkin juga menyukai