Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Minyak bumi merupakan produk perubahan secara alami dari zat-zat

organik selama ribuan tahun yang tersimpan di lapisan bumi dalam jumlah yang
sangat besar. Minyak bumi terutama digunakan untuk menghasilkan berbagai
macam bahan bakar diantaranya LPG, gasoline, avigas, jet fuel, kerosin, solar, dan
bahan lain seperti aspal, minyak pelumas, bahan pelarut, lilin, dan bahan
petrokimia.
Berbagai teori bermunculan untuk menjelaskan asal minyak bumi. Teori
yang paling popular adalah organic source materials. Teori ini menyatakan bahwa
binatang dan tumbuh-tumbuhan berakumulasi dalam tempat yang sesuai pada
jutaan tahun yang lalu, seperti dalam swamps, delta atau shallow dalam laut.
Disana bahan organik akan terdekomposisi secara parsial dengan bantuan bakteri.
Karbohidrat dan protein dipecah menjadi gasgas atau komponen yang larut
dalam air dan terbawa pergi oleh air tanah. Sedangkan lemak - lemak yang
tertinggal dan bahan bahan yang terlarut, diubah secara perlahan lahan
menjadi minyak bumi melalui reaksi yang menghasilkan bahan - bahan dengan
titik didih rendah. Cairan minyak bumi yang dihasilkan kemudian dapat berpindah
ke pasir alam atau reservoir batu kapur.
Pengolahan minyak bumi menjadi produknya telah dilakukan dibeberapa
unit pengolahan minyak bumi di beberapa wilayah di Indonesia. Salah satu daerah
yang memiliki unit pengolahan minyak bumi adalah Dumai. UP II Dumai
memiliki unit pengolahan yang berbeda dari unit pengolahan di daerah lain,
seperti pada proses pengolahan di CDU. Oleh karena itu, maka pada makalah ini
dibahas mengenai proses pengolahan minyak bumi di CDU. Hal tersebut dapat
memberikan informasi mengenai proses pengolahan minyak bumi pada unit CDU
di Dumai

1.2 Tujuan
Makalah ini dibuat degan tujuan sebagai berikut :
1. Mengetahui pegklasifikasi minyak nabati.
2. Memahami karakteristik minyak nabati.
3. Memahami dan dapat menggambarkan diagram alir proses dan sistem Proses
yang digunakan di Pertamina UP II Dumai.
4. Memahami tentang distilasi atmosferik secara lebih rinci.
5. Memahami dan dapat menggambarkan keluaran proses

yang mencakup

produk utama, produk samping, energi, dan limbah untuk industri proses
pengolahan minyak dan gas bumi.
6. Mendapatkan gambaran tentang wujud pengoperasian sistem pemrosesan atau
fasilitas yang berfungsi sebagai sarana pengolahan minyak dan gas bumi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Minyak Bumi
Minyak Bumi ( Crude Oil ) merupakan hasil tambang yang diperoleh
melalui kegiatan eksplorasi, eksploitasi dan produksi sehingga dapat dikeluarkan
ke permukaan bumi untuk dimanfaatkan bagi kepentingan yang lebih besar, baik
sebagai sumber energi ataupun bahan baku industri, seperti Petrokimia.
Komponen penyusun minyak bumi terdiri dari Hidrogen dan Karbon, juga
terdapat sejumlah kecil pengotor, antara lain Belerang, oksigen dan nitrogen.
Komposisi kimia dan fisika minyak mentah sangat bervariasi, tetapi
komposisi elementer pada umumnya adalah :
Tabel 1. Komposisi Minyak Bumi
Unsur
Carbon

Persentase
84 87

Hidrogen

11 14

Sulfur

0,04 6

Nitrogen

0,1 2

Oksigen
0;1 2
Sumber : Hardjono, 1987
Dasar unsur unsur utama minyak bumi diatas tersebut hanya dua unsur
yang akan diproses untuk mendapatkan minyak bumi dengan kualitas yang baik.
Unsur tersebut adalah karbon dan hidrogen, sedangkan sulfur dan nitrogen akan
dihilangkan
2.2 Klasifikasi Minyak Bumi
2.2.1 Klasifikasi Berdasarkan API
Klasifikasi ini merupakan klasifikasi yang sederhana, dimana ada suatu
kecenderungan bahwa API Gavity minyak mentah tinggi maka minyak mentah
tersebut mengandung fraksi ringan dalam jumlah besar.
Tabel 2. Klasifikasi Minyak Mentah berdasarkan API Gravity
Jenis Minyak Mentah

API Gravity

Spesific Gravity

Ringan

> 39

< 0,83

Ringan Sedang

39 35

0,83 0,85

Berat Sedang

35 32,1

0,85 0,865

Berat

32,1 24,6

0,865 0,905

Sangat Berat

< 24,6

> 0,905

Sumber : Hardjono, 1987


2.2.2 Klasifikasi Berdasarkkan Jenis Ikatan
Berdasarkan jenis ikatannya, fraksi minyak bumi dapat di bagi sebagai
berikut :
a. Seri Parafin, Formula Umumnya CnH2n+2. parafin mempunyai rantai terbuka
dan jenuh, sehingga memiliki kestabilan tinggi dimana pada suhu kamar
tidak dapat bereaksi dengan alkali pekat, sulfat, dan asam nitrat. Contohnya
Butana, Isopentana.
b. Naptha, formula umumnya adalah CnH2n. Naptha termasuk senyawa siklik.
Senyawa ini sitandai dengan susunan karbon yang jenuh dan tertutup,
konfigurasinya

membentuk

gelang

atau

melingkar.

Contohnya

Siklopentana, sikloheksena.
c. Olefin, yaitu senyawa hidrokarbon tidak jenuh yang mempunyai struktur
terbuka dengan rumus umumnya CnH2n untuk satu ikatan rangkap dan
CnH2n 2 untuk dua ikatan rangkap.
d. Aromatik, yaitu rantai yang memiliki ikatan benzena, merupakan
komponen terkecil dalam crude oil. Umumnya diinginkan karena memiliki
bilangan oktan yang tinggi.

2.3 Proses Pengolahan Minyak Bumi


2.3.1 Pengolahan Pertama (Primary Processing)
Pengolahan pertama yang utama adalah:
a. Distilasi atmosferik
Tahapan pemisahan yang sangat penting adalah pada proses distilasi
atmosferik. Proses ini didasarkan atas volatilitas komponen-komponennya yang
menggunakan suplai panas pada tekanan atmosferik, yang pada akhirnya
komponen yang lebih volatil (komponen ringan) akan terpisah dan terbawa pada
destilat sedangkan komponen yang kurang volatil (komponen berat) akan
tertinggal di dasar (bottom). Pemisahan dilakukan pada temperatur 300-350oC.
b. Distilasi vakum
Pada distilasi vakum pengoperasiannya dengan menurunkan tekanan operasi
hingga vakum agar temperature didih masing masing fraksi minyak bumi turun.
Tekanan vakum dihasilkan oleh sistem ejektor yang menurunkan tekanan menjadi
sekitar 40 mmHg.
c. Ekstraksi
Ekstraksi dengan pelarut merupakan salah satu proses yang tertua dalam
pengilangan minyak bumi. Pada awalnya, ekstraksi terutama untuk meningkatkan
kualitas kerosen, akan tetapi pada perkembangannya lebih banyak digunakan
untuk peningkatan kualitas minyak pelumas.
d. Absorpsi
Proses ini merupakan proses pemisahan campuran gas dengan menyerapnya
dan melarutkannya ke dalam cairan atau gas pelarut.. Absorpsi biasanya dilakukan
untuk mendaur ulang uap yang mengkondensir dari gas basah.
Contoh reaksi:
K2CO3 + CO2
e.

+ H2O

2 KHCO3

Kristalisasi
Proses ini merupakan

suatu proses pemisahan berdasarkan titik leleh,

contohnya adalah dewaxing dari minyak pelumas, pembuatan lilin (wax).

2.3.2 Pengolahan Lanjut (Secondary Processing)


Proses pengolahan lanjut yang utama adalah :
a. Perengkahan termis dan katalitis (thermal / catalytic cracking)
Pada minyak yang berantai panjang mempunyai nilai oktan yang rendah.
Oleh karena itu dilakukan perengkahan (cracking) supaya diperoleh minyak
beroktan tinggi. Perengkahan ini dilakukan untuk

memecah/memutus rantai

panjang molekul hidrokarbon menjadi rantai yang lebih pendek dengan


menggunakan panas dan katalis.
b. Hydrocracking
Hydrocracker merupakan unit perengkahan minyak bumi (umpan berupa
gas oil yang merupakan hidrokarbon berantai panjang) menjadi hidrokarbon
berantai pendek menggunakan gas hidrogen dan katalis.
Contoh reaksi: katalis
C10H22 +
n-dekana

H2

C6H14 +

hidrogen

heksana

C4H10
butane

c. Pengubahan termis dan katalitis (thermal/catalytic reforming)


Proses pengubahan (reforming) merupakan proses up-grading naphta oktan
rendah menjadi naphta oktan tinggi (reformate/platformate) melalui penataan
ulang struktur molekul hidrokarbon dengan menggunakan panas dan katalis tanpa
terjadi perengkahan hidrokarbon.
Contoh reaksi:
CH3
CH3--(CH2 )5--CH3

n-heptana

metilsikloheksana

H2
hydrogen

d. Polimerisasi
Pada polimerisasi, hidrokarbon dengan berat molekul kecil ditranformasi
menjadi hidrokarbon dengan berat molekul besar tanpa merubah komposisi
hidrokarbon tersebut. Hal ini dapat dilakukan secara termal maupun katalitik.
Contoh reaksi:
2C2H4

C4H8

2C3H6

C6H12

e. Alkilasi
Pada alkilasi, dilakukan penggabungan olefin atau parafin dengan isobutan
sehingga menghasilkan produk alkylate. Alkylate merupakan parafin bercabang
yang memiliki nilai oktan tinggi.
Contoh reaksi:
CH3

CH3

CH2=CH2 + CH3-CH-CH3

CH3- C-CH2-CH3
CH3

Etena

Isobutana

Isoheksana

2.3.3 Proses Treating


Proses treating yang utama adalah:
a. Hydrotreating
Hydrotreating bertujuan untuk menghilangkan pengotor yang terdapat pada
umpan. Pada umumnya umpan masih banyak mengandung sulfur, nitrogen dan
oksigen. Dalam reaktor hydrotreating ini, kandungan sulfur dihilangkan dengan
cara membentuk H2S, senyawa yang mengandung nitrogen diubah menjadi
amonia, fenol diubah menjadi senyawa aromatik dan air.
b. Mercaptan oxidation
Mercaptan Oxidation bertujuan untuk menghilangkan

kandungan

merkaptan. Umpan berupa kerosen masuk ke reaktor bersama udara. Di dalam


reaktor, merkaptan dioksidasi oleh udara menjadi disulfida dengan bantuan
katalis.
2.4 Sejarah Pertamina UP II Dumai
Usaha pencarian minyak bumi di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1871
dan 1873 di Langkat Sumatera Utara tepatnya di daerah Telaga Tunggal dimana
ditemukan semburan minyak bumi yang pertama. Akan tetapi, tonggak sejarah
perminyakan di Indonesia baru di mulai pada tanggal 15 Juni 1885 setelah minyak
bumi tersebut diproduksi secara ekonomi untuk keperluan pemerintah kolonial
Belanda. Pencarian minyak bumi selanjutnya dilakukan di daerah lain seperti
pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan.
7

Sejalan dengan penemuan minyak bumi maka didirikan kilang untuk


mengolah minyak bumi yaitu :
a.

Kilang minyak Wonokromo, dibangun oleh De Dordtsche


Petroleum Maattchappij pada tahun 1889 dengan kapasitas 2000 barrel
per hari yang merupakan kilang tertua di Indonesia

b.

Kilang

minyak

Pangkalan

Brandan

dibangun

oleh

De

Koninklijke pada tahun 1891 dengan kapasitas 3500 barrel per hari
c.

Kilang Balikpapan dibangun oleh Royal Deutsch pada tahun


1894

d.

Kilang minyak Cepu dibangun oleh De Dordtsche Petroleum


Maattchappij pada tahun 1894 dengan kapasitas 3500 barrel per hari.

e.

Kilang Sei Gerong dibangun oleh Stanvac pada tahun 1926

f.

Kilang Plaju dibangun oleh Shell pada tahun 1926


Seluruh kilang tersebut dikuasai dan digunakan untuk keperluan pemerintah

kolonial Belanda. Pada masa perang kemerdekaan, perusahaan perusahaan


minyak Belanda tersebut dialihkuasakan kepada pemerintah Indonesia dan dikenal
adanya perusahaan minyak pada masa perang diantaranya Perusahaan Minyak
Republik Indonesia (PERMIRI) dan Perusahaan Tambang Minyak Nasional
(PTMN). Pada perkembangan selanjutnya perusahaan minyak daerah menjadi
perusahaan minyak nasional yang dimulai dari Pangkalan Brandan pada tanggal
10 Desember 1957 yaitu PT Perusahaan Minyak Nasional (PT PERMINA) yang
selanjutnya berkembang perusahaan minyak nasional lainnya, yaitu PT
Pertambangan Minyak Indonesia (PT PERMINDO), PT Pertambangan Minyak
Nasional (PT PERTAMIN) dan PT Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Nasional
(PT PERMIGAN).
Pada tanggal 10 Desember 1958, Pemerintah melebur semua perusahaan
minyak nasional tersebut menjadi Perusahaan Tambang Minyak dan Gas Bumi
(PERTAMINA) yang dipimpin oleh seorang direktur utama yang diangkat oleh
Presiden Republik Indonesia. Landasan hukum PERTAMINA adalah UUD 1945
pasal 33 dan sebagai pelaksanaanya yang utama adalah PERTAMINA
menyediakan bahan bakar minyak untuk keperluan seluruh rakyat Indonesia

sehingga seluruh hasil PERTAMINA diserahkan kepada negara untuk digunakan


sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Sejak tahun 1971 hingga kini telah terjadi beberapa perubahan regulasi pada
sektor migas di Indonesia. Perubahan tersebut yaitu dari UU No.8 tahun 1971
yang berisi bahwa Pertamina bertanggung jawab penuh terhadap pemenuhan
seluruh kebutuhan migas dalam negeri. Selanjutnya pada tahun 2001 beralaih
kepada UU No. 22 tahun 2001 yang berisi bahwa pemenuhan kebutuhan migas
dalam negeri tidak hanya dilakukan oleh Pertamina melainkan seluruh perusahaan
migas di dunia yang bersaing secara global dan pada tahun 2003 Pertamina yang
sebelumnya merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah berubah status
menjadi PT. Persero. Perubahan regulasi ini memaksa PT. PERTAMINA untuk
terus melakukan perbaikan dalam berbagai bidang sehingga dapat menjadi
perusahaan migas yang dapat bersaing di pasar global.
Saat ini PT. PERTAMINA memiliki 7 kilang yang tersebar di pulau
Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Papua dengan kapasitas produksi 1.051.700
barrel per hari. Dari 7 kilang tersebut, RU I Pangkalan Brandan telah berhenti
beroperasi sejak tahun 2003 dan direncanakan akan beroperasi kembali pada
tahun 2009 ini dibawah pengawasan RU II Dumai, sehingga kapasitas produksi
kilang PT.PERTAMINA saat ini sekitar 1.046.700 barel per hari.
2.4.1 PT.PERTAMINA (Persero) Unit Pengolahan II Dumai
Pembangunan kilang Pertamina Unit Pengolahan II Dumai dilaksanakan
mulai bulan April 1969 dan merupakan hasil kerjasama Pertamina dengan Far
East Sumitomo Japan.
Saat ini, Pertamina UP II Dumai mengoperasikan 2 buah kilang, dengan
kapasitas total sekitar 180 MBSD, yaitu :
1. Kilang Minyak Putri Tujuh Dumai, dengan kapasitas 130 MBSD.
2. Kilang Minyak Sei Pakning dengan kapasitas 50 MBSD.
Unit yang pertama didirikan adalah Crude Distillation Unit (CDU/100)
yang selesai pada bulan Juni 1971. Unit ini dirancang untuk mengolah minyak
mentah jenis Sumatera Light Crude (SLC) dengan kapasitas 100 MBSD. Tetapi
saat ini, Pertamina UP II Dumai beroperasi dengan menggunakan bahan baku

SLC 85 % dan Duri Crude Oil 15 %, dengan kapasitas produksi rata-rata 127
MBSD. Produk yang dihasilkan dari kilang ini antara lain :
a.

Naphtha.

b.

Kerosene.

c.

Solar/Automotive Diesel Oil (ADO).

d.

Bottom Product berupa 55 % volume Low Sulphur Wax Residu


(LSWR) untuk diekspor ke Jepang dan Amerika Serikat.

Tabel 3. Kapasitas Produksi Kilang PT. PERTAMINA (Persero)


NAMA KILANG

KAPASITAS

RU I Pangkalan Brandan

5.000 BPSD*

RU II Dumai & Sei.Pakning, Riau

170.000 BPSD

RU III Plaju-Sungai Gerong, SumSel

133.700 BPSD

RU IV Cilacap & Cepu, Jawa Tengah

348.000 BPSD

RU V Balikpapan, Kalimantan Timur

260.000 BPSD

RU VI Balongan, Jawa Barat

125.000 BPSD

RU VII Kasim, Papua

10.000 BPSD

TOTAL

1.051.700 BPSD

*BPSD: Barel Per Stream Day

2.5 Prinsip Dasar Distillation Secara Umum


Dalam penyulingan, campuran zat dididihkan sehingga menguap, dan uap
ini kemudian didinginkan kembali ke dalam bentuk cairan. Zat yang memiliki titik
didih lebih rendah akan menguap lebih dulu.
Crude Distilling Unit beroperasi pada tekanan atmosferik yaitu sekitar 1.3
atm. Pada distilasi atmosmerik temperatur umpan yang dipanaskan tidak melebihi
350 oC, karena di atas temperatur tersebut minyak akan mengalami perengkahan
(cracking). Hal ini sangat dihindari karena jika terjadi perengkahan akan
membentuk coke yang akan menyumbat peralatan di CDU dan produk yang
dihasilkanpun tidak seperti yang diharapkan.
Pemisahan komponen-komponen dari suatu campuran cairan melalui
distillasi tergantung pada perbedaan titik didih dan konsentrasi masing-masing
komponen dan campuran cairan tersebut akan mempunyai karakteristik titik didih
10

yang berbeda. Sehingga proses distilasi sangat bergantung pada karakteristik


tekanan uap campuran cairan.
2.6 Pengertian Crude Distillation Unit (CDU)
Crude Distilling Unit adalah proses utama dalam rangkaian pengolahan
minyak bumi. Semua pengolahan minyak bumi umumnya diawali dengan proses
ini. Unit ini disebut juga Topping Unit berfungsi untuk memisahkan minyak
mentah menjadi fraksi-fraksinya berdasarkan perbedaan titik didih, dengan proses
distilasi atmosferik pada temperatur 330 oC.
Sebagaimana di ketahui, minyak bumi mengandung bermacam-macam
senyawa hydrocarbon mulai dari yang berantai pendek (C1) sampai dengan rantai
yang panjang. Dimana setiap senyawa karbon tersebut mempunyai karakteristik
sendiri-sendiri. Namun dalam pemisahan atau distilasi minyak mentah, produk
yang didapat berupa fraksi-fraksi dimana setiap fraksi mempunyai range titik
didih tertentu.
Crude Distillation Unit (CDU) beroperasi dengan prinsip dasar pemisahan
berdasarkan titik didih komponen penyusunnya. Kolom CDU memproduksi
produk LPG, naphtha, kerosene, dan diesel sebesar 50-60% volume feed,
sedangkan produk lainnya sebesar 40-50% volume feed berupa atmospheric
residue.
Atmospheric residue pada kilang lama, yang tidak memiliki Vacuum
Distillation Unit/VDU, biasanya hanya dijadikan fuel oil yang value-nya sangat
rendah atau dijual ke kilang lain untuk dioleh lebih lanjut di VDU. Sedangkan
pada kilang modern, atmospheric residue dikirim sebagai feed Vacuum
Distillation Unit atau sebagai feed Residuel Catalytic Cracking (setelah
sebagiannya di-treating di Atmospheric Residue Hydro Demetalization unit untuk
menghilangkan kandungan metal atmospheric residue).
Crude Distillation Unit (CDU) beroperasi dengan prinsip dasar pemisahan
berdasarkan titik didih komponen penyusunnya. Kolom CDU memproduksi
produk LPG, naphtha, kerosene, dan diesel sebesar 50-60% volume feed,
sedangkan produk lainnya sebesar 40-50% volume feed berupa atmospheric

11

residue. Distilasi Atmosferik berfungsi memisahkan minyak mentah (crude oil)


atas fraksi-fraksinya berdasarkan perbedaan titik didih masing-masing pada
keadaan Atmosferik. Atmospheric residue pada kilang lama, yang tidak memiliki
Vacum Distillation Unit/VDU, biasanya hanya dijadikan fuel oil yang value-nya
sangat rendah atau dijual ke kilang lain untuk dioleh lebih lanjut di VDU.
Sedangkan pada kilang modern, atmospheric residue dikirim sebagai feed Vacuum
Distillation Unit atau sebagai feed Residuel Catalytic Cracking (setelah
sebagiannya di-treating di Atmospheric Residue Hydro Demetalization unit untuk
menghilangkan kandungan metal atmospheric residue).

2.7 Teori Crude Distillation Unit ( CDU)


2.7.1
Crude Oil Composition
Crude oil terdiri dari atom carbon dan hydrogen yang bergabung
membentuk molekul hydrocarbon. Berdasarkan struktur molekuler umum,
hydrocarbon dikelompokkan menjadi 4 macam, yaitu paraffin, naphthene,
aromatic, dan olefin.
Serta senyawa lain, yaitu Salts/Garam, Senyawa sulfur, Metal, Sand,
Mineral Matter and Water. Seperti yang telah dijelaskan pada bab pertama di atas.
2.7.2
Feed dan Produk Crude Distillation Unit
Jenis umpan CDU dapat berupa sour crude atau sweet crude tergantung
dari disainnya. Penggunaan crude non-disain tetap dimungkinkan namun terlebih
dahulu harus dilakukan uji coba pemakaian untuk mengetahui efeknya terhadap
unit-unit dowstream

12

Typical produk CDU adalah sebagai berikut :


Tabel 4 . Typical Produk CDU
Jenis Produk
Cut Range Normal TBP, oC
Overhead product (Gas, LPG)
< 30
Naphtha
30-150
Kerosene
150-250
Diesel
250-370
Atmospheric residue
370+
Tingkat ketajaman pemisahan ditentukan berdasarkan gap antara 95%
temperatur distilasi ASTM fraksi dengan boiling point lebih rendah dan 5%
temperatur distilasi ASTM fraksi dengan boiling point lebih tinggi. Best practice
gap tersebut adalah sebagai berikut:
Straight run naphtha/Kerosene

: 20 oF (11 oC).

Kerosene/Diesel
: 10 oF (5,6oC).
2.7.3
Variabel Proses Crude Distillation Unit
Beberapa variabel proses yang berpengaruh pada operasi CDU adalah
sebagai berikut :
a. Flash Zone Temperature
Semakin tinggi flash zone temperature maka semakin banyak yield produk
yang dihasilkan, dan sebaliknya semakin sedikit yield bottom CDU. Namun flash
zone temperatue tidak boleh terlalu tinggi karena dapat mengakibatkan terjadinya
thermal

decomposition/cracking

umpan.

Temperature

thermal

decomposition/cracking tergantung jenis umpan. Pada umumnya temperature


thermal decomposition/cracking crude adalah sekitar 370 oC (UOP menyebutkan
385 oC). Flash zone temperature diatur secara tidak langsung, yaitu dengan
mengatur Combined Outlet Temperatur/COT fired heater.
b. Temperature Top Kolom CDU
Temperature top kolom CDU diatur dengan mengembalikan sebagian
naphtha yang telah dikondensasi sebagai reflux kembali ke top kolom CDU. Jika
temperature flash zone dinaikkan, maka reflux rate harus dinaikkan untuk
menjaga temperature top tetap. Temperature top kolom merupakan salah satu
petunjuk endpoint naphtha. Untuk memperoleh endpoint overhead produk yang

13

lebih rendah maka top temperature harus diturunkan dengan cara menambah
jumlah top reflux.
c. Tekanan Top Kolom CDU
Meskipun tekanan top kolom tidak pernah divariasikan, namun perubahan
kecil pada tekanan top kolom akan menghasilkan perubahan besar pada
temperature pada komposisi umpan yang tetap. Jika tekanan top kolom tidak
dapat dijaga tetap dan operasi CDU hanya mengandalkan quality control produk
hanya berdasarkan pengaturan temperature tray/temperature draw off, maka
komposisi produk akan berubah cukup signifikan. Pressure swing yang sangat
sering akan membuat operasi CDU menjadi tidak stabil. Untuk menjaga stabilitas
tekanan top kolom maka dipasang temperature controller yang di-cascade dengan
flow top reflux.
d. Stripping Steam
Jumlah stripping steam (superheated) yang dimasukkan ke bottom tiap side
cut product stripper digunakan untuk menghilangkan uap ringan yang terlarut
dalam produk, yang akan menentukan flash point produk. Stripping steam dapat
juga dimasukkan ke bagian bawah/bottom kolom CDU sebagai pengganti reboiler
dengan fungsi sama, yaitu menghilangkan fraksi ringan yang ada dalam produk
bottom kolom CDU.
e. Troubleshooting
Beberapa contoh permasalahan, penyebab, dan troubleshooting yang terjadi
di Crude Distillation Unit dapat dilihat dalam tabel 5

Tabel 5 Troubleshooting Crude Distillatio

14

2.8 Umpan dan Produk Crude Distilaion Unit


Jenis umpan CDU dapat berupa sour crude (impurities tinggi) atau
sweet crude (impurities rendah) tergantung dari desainnya. Penggunaan crude
non-disain tetap dimungkinkan namun terlebih dahulu harus dilakukan uji coba
pemakaian untuk mengetahui efeknya terhadap unit-unit dowstream. Adapun UP
II dumai mempunyai bahan mentah minyak dari Sumatera Light Crude dan Duri
Light Crude.
Tabel 6. Karakteristik Produk Distilasi Atmosferik Minyak Bumi Mentah
No.

Rentang Pendidihan Rentang

kasar Nama fraksi/produk

(oC)
ASTM
<30

TBP
<30

C1 - C 4

Gas kilang

30-100

30-90

C4 - C 7

Nafta ringan (straight run

80-200

85-190

C7 - C11

gasoline)
Nafta

165-280

190-270

C10 - C16

Kerosin

atom C n-parafin

15

5
6
7

215-340
290-440
>400

270-320
320-430
>430

C12 - C19

Minyak gas ringan (light

C16 - C28

gas oil)
Minyak

> C25

(heavy gas oil)


Residu (topped crude)

gas

atmosferik

Residu yang diperoleh akan rusak (terurai) jika terus didistilasi pada
tekanan atmosferik dengan temperatur yang lebih tinggi lagi. Oleh karena itu,
residu ini didistilasi lagi pada tekanan vakum.
2.9 Aliran Proses Crude Distillation Unit (Distilasi Atmosferik)
Minyak mentah umpan masih mengandung kotoran garam dan pasir
sehingga perlu dibersihkan terlebih dahulu karena kehadiran zat-zat ini dapat
mempercepat laju korosi bahan konstruksi unit pengolahan, menyebabkan
pengendapan kerak serta penyumbatan pada peralatan kilang. Pengolahan awal
yang dilakukan adalah desalting atau pemisahan garam. Minyak bumi mentah
dipompa dan dipanaskan lalu dicampur dengan air sebanyak 3-10% volume
minyak mentah pada temperatur 90-150 oC. Garam-garam akan larut dan fasa air
dan minyak akan memisah dalam tangki desalter.
Minyak mentah yang tidak mengandung garam dan padatan tersebut
dipanaskan lagi dengan minyak residu panas lalu heater sebelum diumpankan ke
kolom distilasi atmosferik. Produk atas kolom distilasi utama (gas kilang dan
straight run gasoline) ini umumnya masih perlu distabilkan agar tidak terlalu
banyak mengandung hidrokarbon-hidrokarbon yang sangat mudah menguap
seperti butana di dalam kolom distilasi lain yang disebut kolom stabilisasi. Produk
samping dan bawah yang berupa cairan dilucuti oleh kukus dan diuapkan lagi
untuk menyempitkan rentang titik didihnya. Pelucutan ini diselenggarakan dalam
kolom-kolom pelucut kecil yang disusun setelah kolom distilasi utama.
Peralatan utama:Crude Distillation Tower (CDU/ T-1), atmospheric sidestream
stripper (T-2) terdiri dari T-2A (kerosin), T-2B (LGO) dan T-2C (HGO).

16

Peralatan Pendukung : Fraksionasi akumulator (D-1), KO drum (D-2, D-5 & D-3),
heater (H-1 & H-2).
Gambar .Diagram Alir Proses Distilasi Atmosferik
Pada diagram alir diatas crude oil

pada tangki penyimpanan dialirkan

dengan menggunakan pompa ke unit penukar panas E-1 sampai E-7 sehingga
temperaturnya mencapai 210oC dan dialirkan ke tungku pemanas, heater H-1
untuk memanaskannya sampai dengan temperature 330oC. Kemudian umpan
masuk ke kolom distilasi (T-1) untuk memisahkan crude oil tersebut berdasarkan
fraksi-fraksi titik didihnya. Proses pemisahan ini dilakukan pada tekanan
atmosferik. Produk atas menghasilkan fraksi minyak teringan berupa gas dan
naphtha dan dialirkan melewati penukar panas E-8 lalu masuk ke tangki
akumulator D-2, D-5 dan D-3 untuk memisahkan gas-gas yang ringan dengan
naphtha. Gas-gas tersebut dibuang ke flare sedangkan fasa cairnya sebagian
dikembalikan ke kolom distilasi dan sebagian lagi diambil sebagai produk
naphtha (Straight Run Naphtha).

17

Dari tray 32, dengan menggunakan pompa ditarik side stream yang disebut
TPA (Top Pump Around) yang setelah melalui penukar panas E-1 dan didinginkan
dengan menggunakan pendingin air laut dalam E-10 dan dikembalikan ke puncak
menara. Produk samping dari kolom distilasi tersebut dimasukkan ke kolom
stripper, T-2. Fraksi kerosene diambil dari tray 24 dan mengalir ke stripper T-2A
secara gravitasi. LGO (Light Gas Oil) diambil dari tray 12 dan mengalir ke
stripper T-2B secara gravitasi untuk dihilangkan fraksi ringannya. Sedangkan
HGO (Heavy Gas Oil) mengalir ke stripper T-2C. Di kolom ini, fraksi-fraksi
tersebut di-stripping dengan steam untuk mengambil fraksi-fraksi ringannya
sehingga diperoleh kerosin, LGO, dan HGO. Sebagian dari setiap aliran samping
ini dikembalikan ke kolom distilasi sebagai refluks dan sebagian lagi diambil
sebagai produk untuk komponen blending (pencampuran). Produk bawah (bottom
product) berupa long residu (LSWR) sebanyak 56% yang diumpankan ke dalam
Heavy Vacuum Unit( HVU -110 ).
2.10 Variabel Proses Crude Distillation Unit
a. Flash Zone Temperature
Semakin tinggi flash zone temperature maka semakin banyak yield produk
yang dihasilkan, dan sebaliknya semakin sedikit yield bottom CDU. Namun flash
zone temperatue tidak boleh terlalu tinggi karena dapat mengakibatkan terjadinya
thermal

decomposition/cracking

umpan.

Temperature

thermal

decomposition/cracking tergantung jenis umpan. Pada umumnya temperature


thermal decomposition/cracking crude adalah sekitar 370oC (UOP menyebutkan
385oC). Flash zone temperature diatur secara tidak langsung, yaitu dengan
mengatur Combined Outlet Temperatur/COT fired heater.
b. Temperature Top Kolom CDU
Temperature top kolom CDU diatur dengan mengembalikan sebagian
naphtha yang telah dikondensasi sebagai reflux kembali ke top kolom CDU. Jika
temperature flash zone dinaikkan, maka reflux rate harus dinaikkan untuk
menjaga temperature top tetap. Temperature top kolom merupakan salah satu
petunjuk endpoint naphtha. Untuk memperoleh endpoint overhead produk yang

18

lebih rendah maka top temperature harus diturunkan dengan cara menambah
jumlah top reflux.
c. Tekanan Top Kolom CDU
Meskipun tekanan top kolom tidak pernah divariasikan, namun perubahan
kecil pada tekanan top kolom akan menghasilkan perubahan besar pada
temperature pada komposisi umpan yang tetap. Jika tekanan top kolom tidak
dapat dijaga tetap dan operasi CDU hanya mengandalkan quality control produk
hanya berdasarkan pengaturan temperature tray/temperature draw off, maka
komposisi produk akan berubah cukup signifikan. Pressure swing yang sangat
sering akan membuat operasi CDU menjadi tidak stabil. Untuk menjaga stabilitas
tekanan top kolom maka dipasang temperature controller yang di-cascade dengan
flow top reflux.
d. Stripping Steam
Jumlah stripping steam (superheated) yang dimasukkan ke bottom tiap side
cut product stripper digunakan untuk menghilangkan uap ringan yang terlarut
dalam produk, yang akan menentukan flash point produk. Stripping steam dapat
juga dimasukkan ke bagian bawah/bottom kolom CDU sebagai pengganti reboiler
dengan fungsi sama, yaitu menghilangkan fraksi ringan yang ada dalam produk
bottom kolom CDU.
2.11 Permasalahan, Penyebab, dan Troubleshooting yang terjadi di Crude
Distillation
Tabel 7. Permasalahan, Penyebab, dan Troubleshooting yang terjadi di Crude
Distilation
Permasalahan
Endpoint
naphtha tinggi.

Penyebab
Trobleshooting
produk Adanya fraksi kerosene - Turunkan temperture
terikut

dalam

produk

top

naphtha.

kolom

dengan

CDU

menambah

jumlah top reflux.


-

Turunkan
temperature draw off
kerosene

19

dengan

tidak

sampai

mengganggu
spesifikasi
Derajat

pemisahan -Perubahan

naphtha-kerosene

atau

kerosene-diesel rendah.

komposisi -

umpan.

produk

kerosene.
Atur
temperature
flash zone.

-Perubahan

temperature -

flash zone.
-Perubahan

Atur
draw

temperature

temperature
off

masing-

masing produk.

draw off produk.


Korosi pada overhead -Senyawa
line kolom CDU.

garam
terpisahkan

Supply

air

pendingin

top

CDU

senyawa -

Evaluasi

tidak

corrosion

dengan

inhibitor/filming

sempurna di desalter.
laut -Pompa supply di unit kolom

pemakaian

utilities bermasalah.

amine.
Turunkan feed hingga
temperature/ tekanan

bermasalah/tidak

top

ada supply air laut.

kolom

terlalu

tinggi.

tidak

tidak
Jika
dapat

terkontrol, maka unit


Pompa feed kavitasi.

-Terikutnya air dari tangki -

harus di-shutdown.
Cek dan drain tangki

crude oil ke dalam

umpan

untuk

umpan.

mengurangi air yang


mungkin

ada

di

bagian bawah tangki.


-

Over tangki umpan.

Jika

tidak

dapat

terkontrol, maka unit


harus di-shutdown.

20

Fraksi-fraksi yang diperoleh dengan distilasi minyak mentah umumnya


memiliki dua kelemahan yaitu :
a. Distribusi kuantitas fraksi-fraksi yang diinginkan tidak sesuai dengan
kebutuhan pasar. Contohnya volume total fraksi-fraksi ringan (bensin,
nafta, kerosin dan minyak gas ringan) biasanya lebih kecil daripada
volume total campuran minyak gas atmosferik dan residu, padahal
kebutuhan pasar akan bensin dan BBM distilat jauh lebih besar daripada
BBM residu.
b. Kualitas fraksi-fraksi tersebut sangat rendah dibandingkan dengan kualitas
yang disyaratkan oleh pasar. Contohnya bilangan oktan straight run
gasoline yang diperoleh langsung dari proses distilasi berkisar 67-70,
sedangkan bilangan oktan yang disyaratkan pasar minimal 87 (premium).

21

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Distilasi Atmosferik beroperasi dengan prinsip dasar pemisahan berdasarkan
titik didih komponen penyusunnya pada keadaan atmosferik yaitu pada
tekanan 1 atm.
2. Kolom CDU memproduksi produk LPG, naphtha, kerosene, dan diesel
sebesar 50-60% volume feed, sedangkan produk lainnya sebesar 40-50%
volume feed berupa atmospheric residue.
3. Jenis umpan CDU dapat berupa sour crude atau sweet crude tergantung
dari disainnya. Penggunaan crude non-disain tetap dimungkinkan namun
terlebih dahulu harus dilakukan uji coba pemakaian untuk mengetahui
efeknya terhadap unit-unit dowstream.
4.

Crude Distillation Unit (Topping unit) termasuk Primary processing, yang


merupakan pemisahan fraksi-fraksi minyak mentah atas dasar perbedaan
titik didih.

22

DAFTAR PUSTAKA
A. Meyes, Robert. 1986. Handbook of Petrolium Refining Process. New York:
McGraw-Hill Book Company Inc.
Budhiarto, Adhi, 2008. Buku Pintar Migas Indonesia.
Chrisnanto Fx. 2005. Proses Distilasi Minyak Bumi Buku II. Dumai: PT
PERTAMINA.
Esber, I Shareen. 1983. Catalytic Processingin Petrolium Refining. PennWell Publishing
Company.

H.S, Bell. 1959. American Petrolium Refining. New York: Van Nostrand
Company Inc.
Hani, Ummu. 2008. Evaluasi Kinerja Kolom Fraksinasi Crude Distillasion Unit
(CDU) pada berbagai Operasi Over Kapasitas dengan Simulasi Hysis.
Junita. 2008. Evaluasi Performance Furnace Reformer 702 di Hidrogen Plant.
Karjono. 1995. Proses Pengolahan Migas. Cepu: PPT Migas.
Nelson, W.I. 1969. Petrolium Refinery Engineering. New York: McGraw-Hill
Book Company Inc.
Putra, Zulfan Adi. 2008. Buku Pintar Migas Indonesia.
Operating Manual Crude Distillation Unit PERTAMINA Unit Pengolahan II
Dumai.
William I, Bland & Robert L. Davidson. 1967. Petrolium Processing Handbook.
New York: McGraw-Hill Book Company Inc.

23

Anda mungkin juga menyukai