PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kebutuhan
akan
energi
akan
terus
meningkat
sejalan
dengan
perkembangan zaman. Oleh karena itu, bangsa Indonesia melalui UUD 45 telah
mengamanatkan kepada kita untuk mengatur, menggunakan dan memelihara
kekayaan alam nasional tersebut bagi kemakmuran rakyat. Dengan berdasarkan
pada UU no. 8 tahun 1971 didirikanlah perusahaan yang bertugas untuk
mengelola minyak dan gas bumi Indonesia yaitu Preusan Umum Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi Negara (PERTAMINA) yang sampai saat ini merupakan
sebuah BUMN pelaksana tunggal pengusahaan minyak dan gas bumi.
Minyak bumi merupakan produk perubahan secara alami dari zat-zat
organik selama ribuan tahun yang tersimpan di lapisan bumi dalam jumlah yang
sangat besar. Minyak bumi terutama digunakan untuk menghasilkan berbagai
macam bahan bakar diantaranya LPG, gasoline, avigas, jet fuel, kerosin, solar, dan
bahan lain seperti aspal, minyak pelumas, bahan pelarut, lilin, dan bahan
petrokimia.
Minyak bumi mentah (crude oil) adalah cairan coklat kehijauan hingga
hitam yang terdiri dari karbon dan hidrogen. Minyak bumi merupakan campuran
yang sangat komplek, mengandung ribuan senyawa hidrokarbon tunggal mulai
dari yang paling ringan seperti gas metana sampai dengan aspal yang berat dan
berwujud padat. Produksi komersial minyak bumi dimulai pada tahun 1857 dan
sejak itu produksi terus meningkat. Berbagai teori bermunculan untuk
menjelaskan asal minyak bumi. Teori yang paling popular adalah organic source
materials. Teori ini menyatakan bahwa binatang dan tumbuhan-tumbuhan
berakumulasi dalam tempat yang sesuai, jutaan tahun yang lalu, seperti dalam
swamps, delta atau shallow dalam laut. Disana bahan organik akan
terdekomposisi secara parsial dengan bantuan bakteri.
mengandung
logam
dan
conradson
carbon).
Dengan
semakin
Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memberikan
1.3
Sasaran
Makalah ini dimaksudkan sebagai pembelajaran bagi mahasiswa
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
yang dihasilkan dari pengolahan minyak mentah melalui thermal cracking yang
lebih severe. Jadi pada dasarnya proses delayed coking adalah juga proses thermal
cracking yang dilakukan pada temperatur yang relatif sangat tinggi. Sebagai feed
untuk unit ini kebanyakan adalah vacuum residue (short residue). Pada operasi
sebelum adanya delayed coking unit, operasi thermal cracking dijaga sedemikian
rupa sehingga tidak akan terbentuk coke dalam heater/furnace. Namun dengan
berkembangnya teknologi dan semakin meningkatnya kebutuhan oil product,
telah dapat dikembangkan suatu proses dimana pada pemanasan residue sampai
temeperatur yang tinggi didalam heater/furnace tetapi coke tetap tidak terbentuk
didalam heater/furnace tubes. Hal ini dilakukan dengan memberikan velocity yang
tinggi (residence time yang minimum) didalam heater dan menambah
drum/chamber dioutlet heater untuk tempat terjadinya coking, sehinga proses ini
kemudian disebut "delayed coking".
Dari segi reaksi kimiawi sebenarnya tidak berbeda dengan reaksi didalam
proses thermal cracking yang lain, hanya disini sebagai salah satu produk akhir
adalah carbon (coke). Coke dalam kenyataannya masih mengandung sejumlah
volatile matter (vm) atau hydrocarbon (hc) dengan boiling point tinggi. Untuk
menghilangkan atau mengurangi kandungan volatile matter didalamnya, coke
dipanasi lebih lanjut sampai 2000-2300 degf didalam suatu tanur/kiln yang
berputar (unit calciner). Telah banyak kilang-kilang didunia yang memiliki unit
delayed coking baik dengan tujuan untuk memproduksi calcined coke maupun
dalam rangka maximizing oil products. Produk yang lain seperti unsaturated lpg,
naphtha, gas oil kemudian diproses lebih lanjut untuk mendapatkan produk akhir
yang on-spec. Selanjutnya naphtha diolah lebih lanjut di nhdt (naphtha
hydrotreater), gas oil di proses di hydrocracker.
mengandung
logam
dan
conradson
carbon).
Dengan
semakin
mereka
bereaksi
dengan
radikal
yang
lain.
Senyawa-senyawa
Vacuum Distillation Unit. Clarified oil yang merupakan produk dari Fluid
Catalytic Crackers (FCC) dan thermal cracking tars dianggap sebagai komponen
umpan yang juga penting yaitu untuk meningkatkan kualitas coke.
Coking yields dan sifat produk tergantung pada karakteristik umpan dan
kondisi operasi. Terkait dengan operasi coking, klasifikasi yang sangat umum
dipakai untuk menggambarkan unsur utama dari residu adalah asphaltenes, resins,
dan aromatics.
Fraksi asphaltene adalah non-volatile, zat amorf (amorphous substance)
dengan berat molekul tinggi yang mengandung banyak koloid yang terdispersi
didalam minyak. Asphaltenes terutama tersusun dari carbon, hidrogen, nitrogen,
oksigen, sulfur, vanadium, dan molekul nickel yang tersusun dalam gugus
kompleks (complex clusters) atau lapisan (layers). Fraksi resin dari residu
mempunyai struktur yang sama dengan asphaltenes. Resin merupakan material
yang kental (viscous), yang menjelujur (tacky materials) dengan volatilitas yang
rendah. Berat molekul resin sedikit lebih rendah daripada asphaltenes dan
mengandung sejumlah material yang lebih terkonsentrasi dari nitrogen dan sulfur.
Sedangkan aromatics adalah struktur yang sederhana yang tersusun dari enam
cincin carbon polisiklis (polycyclic six carbon rings).
Kandungan conradson carbon dari umpan merupakan sifat yang paling
menonjol yang mempengaruhi yield coke. Carbon residue adalah carboneous
material yang dibentuk dan di-pirolisa dari umpan residu dan diukur langsung
dari potensi pembentukan coke dari umpan. Sifat-sifat yang ikut membantu
terjadinya superior coke adalah low sulfur, low volatile matter content, low
metals and ash content, low porosity, low coefficient of thermal expansion (CTE)
dan konduktivitas yang baik. Sifat-sifat yang terakhir ini diukur setelah kalsinasi
(calcining). Kandungan sulfur yang tinggi tidak disukai untuk pembuatan anoda.
Selama proses grafitisasi (graphitization), evolusi sulfur dari kompleks carbonsulfur akan mendorong untuk mematahkan (fracturing) anoda. Kandungan logam
yang tinggi dari coke merusak kedua sifat electrical dan mechanical dari coke.
Volatile carbon matter merupakan sifat coke yang sangat menentukan yang
mempengaruhi harga jual dari green coke yang digunakan untuk industri pabrik
elektroda. Material ini mengandung volatile heavy hydrocarbon yang tersimpan
didalam coke matrix. Selama langkah kalsinasi dari pengkonversian green coke
menjadi calcined coke untuk carbon anodes, hidrokarbon yang berat diuapkan
dan secara esensial dihilangkan untuk memperbanyak hasil coke yang
mempunyai nilai carbon (carbon values) melebihi 98 persen.
Tiga klasifikasi yang umum dari produk coke adalah :
1. Sponge (bunga karang)
Dihasilkan dari high resin asphaltene feedstock. Karena adanya impurities
dan low electrical conductivity, sponge coke tidak cocok untuk pembuatan anoda.
Penampakan fisis sponge coke adalah mengandung pori-pori yang kecil yang
dipisahkan oleh dinding yang tebal. Penggunaan dari coke jenis ini adalah untuk :
a. Pembuatan electrode untuk digunakan dalam electrical furnace dalam pabrik
Titanium oxide, baja
b. Pembuatan anode untuk cell electrolytic dipabrik alumina
c. Digunakan sebagai sumber carbon didalam pembuatan elemen phosphor,
calcium carbide, silica carbide
d. Pembuatan graphite
2. Honeycomb (sarang madu)
Dihasilkan dari low resin-asphaltene feedstock dan setelah kalsinasi dan
grafitisasi dapat menghasilkan anoda dengan kualitas yang memuaskan. Pori-pori
yang elipsoidal terdistribusi secara merata. Pori-porinya unidirectional dan ketika
dipotong melintang minor diameter, struktur honeycomb terlihat jelas.
3. Needle (jarum).
Needle coke dihasilkan dari highly aromatic thermal tar atau decanted oil
feedstocks. Pada penampakannya, pori-pori yang unidirectional adalah sangat
kecil (very slender), berbentuk elliptical, dan dihubungkan pada major diameter.
Coke dengan sekelilingnya hampa yg mudah pecah dan setelah pecah membentuk
serpihan (splintery) atau bagian berbentuk jarum (needle). Disamping coke
(typical yield 20% volume on feed) juga dihasilkan :
a. Gas
b. LPG (typical yield : 6-7% volume on feed)
c. Gasoline/cracked naphtha (typical yield : 15-16% volume on feed)
d. Light Coker Gas Oil/LCGO, typical yield : 35-36% volume on feed
e. Heavy Coker Gas Oil/HCGO, typical yield : 30-31%
Cracked distillates Delayed Coking Unit (LCGO dan HCGO) sungguh
berbeda dari distillate yang dihasilkan oleh unit lainnya. Cracked materials lebih
olefinic, lebih padat (denser), kurang stabil, dan incompatible untuk blending
dengan material yang murni (virgin materials). Olefins bersifat tidak stabil,
dengan adanya udara yang cenderung untuk bereaksi membentuk gum. Blending
dari cracked materials dengan virgin materilas pada proporsi tertentu
menyebabkan perubahan pada pelarutan material yang menghasilkan peningkatan
kandungan BS & W-nya, selain juga akan mem-promote terjadinya color
unstability product.
Tabel 2.1 Typical Yield Delayed Coking Unit
Parameter
Wt %
Vol
API
Sulfur,
N2,
Metals,
Charge products
H2
C4
C5
C6
C7 - 196C
196 - 343C
343C
Coke
100.0
0.9
9.5
1.0
1.8
12.2
28.5
12.5
33.6
%
100.0
1.6
2.7
16.2
33.0
13.6
-
6.6
89.0
76.0
53.4
28.6
19.1
-
wt%
4.3
1.0
2.5
3.7
5.9
PPM
3.00
40
1000
2200
7490
wt-ppm
91
270
Green Coke
0,1-0,15
85-87
12-14
13-15
0,3-0,4
0,02-0,03
0,01-0,015
100-200
30-50
0,77-0,84
Calcined Coke
< 0,5
> 99,5
< 0,5
< 0,5
< 1,5
< 0,05
< 0,05
< 0,03
0,04
0,85
(VBD)
Real density
Particle size > 5mm
Resistivity, ohm-cm
Keterangan : * = dry basis
> 2,05
35%
0,08
2.3
penanganan
air
dan
blowdown
(dipakai
secara
intermittent).
Selain kelima seksi tersebut di atas, di dowstream Delayed Coking Unit
biasanya tersedia unit calciner untuk mengubah coke yang diproduksi oleh
Delayed Coking Unit (biasanya disebut green coke) menjadi calcined coke yang
merupakan bahan dasar untuk membuat anode. Di calciner, coke dipanaskan
hingga temperature 1100 s/d 1260 oC terutama untuk menghilangkan volatile
matter.
2.3.1
Seksi coking
Seksi coking terdiri dari coking heaters (2 unit jika 1 train atau 4 unit jika
2 train), coke chambers (2 unit jika 1 train atau 4 unit jika 2 train), sebuah fasilitas
injeksi anti foam, dan sebuah coke chamber condensate receiver. Bottom kolom
fraksinasi (yang disebut sebagai combined feed karena terdiri dari fresh feed dan
recycle liquid) ditarik oleh pompa bottom fraksinasi dan dialirkan ke coking
heaters.
High Pressure Steam diinjeksikan ke heater radiant coil dengan
menggunakan flow controller untuk membantu linear velocity agar tidak terbentuk
coke pada bagian dalam tube heater. Sebagai tambahan, High Pressure Steam juga
tersedia pada inlet tiap tube heater dengan menggunakan hand control, namun
hanya digunakan dalam kondisi emergensi untuk mencegah terjadinya
coking/plugging pada tube heater pada saat emergency stop. Heater effluent
kemudian mengalir ke coke chamber.
Operasi coke chamber umumnya menggunakan cycle 48 jam. Pada saat 1
unit coke chamber mengalami proses coking selama 24 jam, 1 unit coking
chamber lainnya melakukan tahapan proses decoking selama 24 jam juga.
Sepasang coke chamber beroperasi dengan kerangan empat arah (four way valve)
pada inlet coke chamber untuk memungkinkan switching dari satu coke chamber
ke coke chamber lainnya. Untuk mengetahui level coke pada coke chamber
digunakan level detector radioaktif. Sebagai tambahan terhadap line proses,
disediakan line untuk quench water, steam, condensate removal dan blowdown.
Material yang tidak membentuk coke (fraksi ringan) meninggalkan top coke
chamber melalui vapor line dan dialirkan ke main fractionator dibawah bottom
tray.
Untuk mencegah kemungkinan penyumbatan (plugging) pada overhead
line coke chamber, maka dialirkan HCGO quench yang diambil dari stream gas
oil HCGO. Jika diperlukan, anti foam agent diinjeksikan dengan menggunakan
pompa injeksi anti foam agent kebagian teratas dari masing-masing coke chamber
untuk mencegah foam carry over.
Sebagai tambahan terhadap line proses, disediakan line untuk quench water,
steam, condensate removal, dan blowdown. Material yang tidak membentuk coke
(fraksi ringan) meninggalkan top coke chamber melalui vapor line dan dialirkan
ke main fractionator dibawah bottom tray. Untuk mencegah kemungkinan
penyumbatan (plugging) pada overhead line coke chamber, maka dialirkan HCGO
quench yang diambil dari stream gas oil HCGO. Tahapan proses (cycle) CokingDecoking kedua chamber dapat digambarkan sebagai berikut :
Tabel 2.3 Tahapan Proses (Cycle) Coking-Decoking Coke Chamber
Coke Chamber A
08:00
Start coking
08:00 08:30
08:30 11:00
11:00 16:00
08:00
Coke Chamber B
Selesai proses coking;
switch feed ke A.
Steaming out (4 ton/jam steam) coke chamber;
uap dialirkan ke main fractionator (karena
masih banyak fraksi ringan yang dapat direcover).
Steaming out (8 ton/jam steam) coke chamber;
uap dialirkan ke blow down knock out drum
(blowdown system).
Water quenching (steam = 8 ton/jam & water =
20 m3/jam).
16:00 18:00
Water filling
17:00
18:00 20:00
Water draining
20:00 24:00
00:00 01:00
01:00 03:00
03:00 04:00
04:00 08:00
Warming up
08:00
Selesai coking;
switch feed ke
coke chamber B.
08:00
Start coking
dengan
Jika level detector coke chamber tidak berfungsi maka dapat dilakukan
injeksi antifoam dengan menggunakan time base. Injeksi anti foam dengan
menggunakan time base biasanya mulai dilakukan 10 jam sebelum proses coking
selesai/sebelum switch ke chamber lainnya hingga 1 jam setelah proses coking
selesai/setelah switch ke chamber lainnya (11 jam injeksi). Condensate receiver
dipersiapkan untuk menangani kondensat hidrokarbon yang terakumulasi ketika
off-line coke chamber dipanaskan (intermittent basis). Air dikumpulkan di water
boot dan kemudian dikirim ke wour water degassing drum di sour water stripping
unit. Kondensat hidrokarbon dipompa dengan coke chamber condensate pump
dengan menggunakan flow controller ke line fresh feed pada inlet main
fractionator. Equalizing line diantara receiver dan main fractionator berfungsi
untuk menjaga gas blanket dan mencegah build up vapors di drum.
2.3.2
Seksi Fraksinasi
Seksi fraksinasi terdiri dari main fractionator, LCGO Stripper, HCGO
stripper, charge surge drum, main fractionator overhead receiver, dan tanki
cracked slop. Cold feed ke DCU dipompa dari tangki umpan dengan pompa
storage feed yang dikendalikan oleh flow controller yang di-cascade dengan surge
drum bottom level controller. Cold feed bercampur dengan hot feed dari vacuum
bottom di Vacuum Distillation Unit sebelum masuk ke feed surge drum. Total
fresh feed dari feed surge drum dipompa oleh feed pump dengan dikendalikan
oleh flow controller yang di-cascade ke fractionator bottom level controller.
Aliran ini kemudian dipanaskan di feed/HCGO heat exchanger, dan kemudian
masuk ke main fractionator melalui distributor. Sebagai alternatif, terdapat line
feed yang masuk ke bottom main fractionator melalui sebuah distributor yang
berada di bawah level liquid normal (50%). Line alternatif ini biasanya dipakai
selama start up atau kapan saja diperlukan untuk mempertahankan panas didalam
kolom. Cracked slop oil dari tangki cracked slop juga dapat ditambahkan ke fresh
feed upstream dari feed/HCGO heat exchanger yang dikendalikan oleh flow
controller.
pressure separator, kolom absorber, kolom debutanizer, dan LPG splitter. Gas dari
fractionator overhead receiver mengalir ke compressor suction drum. Condesate
liquid yang terjadi di compressure suction drum dipompa dengan pompa suction
drum dikembalikan ke fractionator overhead receiver. Setelah di-compress, gas
dialirkan ke high pressure separator dan kemudian ke absorber dikontakkan
dengan circulating HCGO (disebut juga sebagai lean oil) untuk mengambil LPG
yang terkandung di dalam gas. Bottom absorber (disebut juga sebagai rich oil)
kemudian mengalir kembali ke main fractionator. Lean gas dari absorber dialirkan
ke fuel gas system.
Liquid high pressure separator dipompakan ke debutanizer melalui
debutanizer feed/bottom heat exchanger. Debutanizer memisahkan high pressure
separator liquid untuk menghasilkan LPG (top product) dan C5+/cracked naphtha
(bottom product). Bottom debutanizer sebagian dialirkan ke thermosiphon
reboiler dan sebagian lagi diambil sebagai produk dialirkan tangki penyimpan
atau ke unit downstream (naphtha hydrotreater) setelah melalui feed/bottom heat
exchanger dan debutanizer bottom cooler.
Overhead kolom dikondensasi secara parsial di debutanizer overhead
condenser sebelum masuk ke debutanizer overhead receiver. Liquidnya sebagian
dipompa sebagai reflux dan sebagian lagi mengalir ke LPG splitter setelah
dipanaskan di LPG splitter feed/bottom heat exchanger.
2.3.4
clarifier, sebuah jet water storage tank, sebuah blowdown condenser knock out
drum, sebuah blowdown condenser, dan sebuah blowodown condenser separator.
Peralatan water handling dipakai untuk hydraulic decoking, water quench dari
coke chambers, dan fines handling. Line blowdown coke chamber, yang dipakai
secara intermittent selama cooling down dan warming up dari chamber, mengalir
ke blowdown condenser knock out drum.
Liquid yang ada di blowdown separator dan blowdown knock out drum
dipompakan dengan pompa blowdown condenser knock out drum melalui
blowdown condenser knockout drum cooler menuju tanki cracked slop pada seksi
fraksinasi. Vapour dari blowdown knock out drum mengalir ke blowdown
condenser separator. Air yang ada di blowodown condenser separator mengalir ke
C terutama untuk
konvensional yang biasa dipakai untuk mengukur separator karena level yang
diukur adalah level padatan berupa coke. Alat ukur yang biasa digunakan untuk
mengukur level coke chamber adalah level detector radiometric. Level detector
radiometric yang sering digunakan sebagai level detector coke chamber adalah
level detector sinar gamma dan sinar neutron.
Sinar Gamma
Sinar Neutron
Kecil
Besar
Sangat besar
Sangat besar
Mendeteksi semua fluida Dapat di-setting hanya
yang
melalui
diantara
source
dan yang
detector
Harga
Reliability
Maintenance
Teknologi
Murah
Tinggi
Mudah
Teknologi
melalui
diantara
Lama
ruangan
source
dan
detector
Sangat Mahal
Rendah
Susah
yang Teknologi baru
kelemahan sinar gamma yang tidak dapat secara spesifik mengukur ketinggian
foam sama sekali bukan masalah yang besar, karena secara teoritis pembentukan
coke dapat diprediksi karena linear terhadap flow pass coking heater.
Best practice perhitungan yield Delayed Coking Unit dapat digambarkan
dalam tabel berikut :
Tabel 2.5 Best Practice Perhitungan Yield DCU
Coke, wt%
Gas (C4-) wt.%
Gasoline, wt.%
Gas oil, wt.%
Gasoline, vol.%
Gas oil, vol. %
gasoline
(186.5/(131.5 + API) (gasoline wt%) b)
(155.5/(131.5 + API) (gas oil wt%)b)
yield dan kualitas coke. Conradson carbon content umpan merupakan sifat yang
paling menonjol yang menentukan yield dari coke. Kandungan conradson carbon
yang lebih tinggi dari feed menghasilkan coke yield yang lebih tinggi. Sifat-sifat
umpan, yang terdiri dari komponen-komponen asphaltenes, resin, dan aromatic,
Residence Time
Seperti dijelaskan sebelumnya reaksi thermal cracking salah satunya
merupakan fungsi waktu, yaitu residence time. Semakin lama residence time-nya
maka yield coke semakin meningkat. Namun kondisi optimum harus dicapai
untuk mengakomodir yield coke dan kecepatan pembentukan coke pada tube
coking heater maupun pada transfer line (antara coking heater dan switching
valve).
2.4.5
bottoms (fresh feed + recycle; atau total flow pass coking heater) dibagi dengan
volume fresh feed. Jika CFR turun maka coke yang dihasilkan akan lebih keras
coke volatile carbon matter content akan berkurang akibat jumlah umpan yang
mengalir dalam tube coking heater berkurang (sehingga linear velocity pun
berkurang yang akan mengakibatkan residence time meningkat) pada temperature
coking heater yang sama. Selain itu, kandungan impurities pun akan meningkat
karena hidrokarbon yang menguap tidak membawa serta logam dan sulfur.
Combined feed ratio dapat divariasikan dengan mengatur kecepatan penarikan
gas oil (LCGO atau HCGO). Kenaikan penarikan gas oil akan menurunkan ratio.
Typical combined feed ratio Delayed Coking Unit adalah 1,2 s/d 1,4.
Coke
chamber
Gantry
crane
Coke pit
Belt Conveyor
Gambar 2.3 Coke Chamber, Gantry Crane, Coke Pit, Belt Conveyor
2.5
konvensional yang biasa dipakai untuk mengukur separator karena level yang
diukur adalah level padatan berupa coke. Alat ukur yang biasa digunakan untuk
mengukur level coke chamber adalah level detector radiometric. Level detector
radiometric yang sering digunakan sebagai level detector coke chamber adalah
level detector sinar gamma dan sinar neutron.
Secara teoritis sebenarnya ketinggi coke dalam coke chamber dapat
diperkirakan (linear terhadap total flow pass coking heater), namun level detector
tetap sangat diperlukan untuk :
a. Mencegah terjadinya foam over ke main fractionators
b. Mengetahui ketinggian foam yang mungkin terjadi saat proses coking di coke
chamber.
c. Optimasi penggunaan antifoam.
d. Mengetahui ketinggian coke saat selesai proses coking.
Tabel 2.6 Perbandingan level detector sinar gama dabn sinar newton
dikosongkan atas dasar suatu time cycle tertentu, sedang fraksinator dioperasikan
secara kontinyu untuk memproduksi lpg, coker naphtha dan coker gas oil. Paling
sedikit harus ada dua coke drum, namun ada pula yang lebih seperti di up ii
dumai yang mempunyai empat coke drum dengan pembagian : dua diisi / in
operation (coking) dan dua yang lain dikosongkan (decoking) typical waktu
pengoperasian dari coke drum adalah sbb : operasi waktu (jam) pengisian dengan
coke 24 memindah (switch) dan steaming out 03 pendinginan (cooling down) 03
drain 02 buka tutup dan decoking 05 tutup kembali dan test 02 pemasangan
kembali 07 spare time 02 48 operating variable dalam delayed coker antara lain
adalah :
a.
b.
c.
d.
cracking dan reaksi coking sehingga akan menaikkan pula jumlah gas dan coker
naptha yang dihasilkan dan sebaliknya produksi coker gas oil yang berkurang.
Menaikkan tekanan di fractionator mempunyai pengaruh yang sama dengan
menaikkan temperatur outlet heater, karena dengan kenaikan tekanan di
fractionator akan menambah jumlah vapor yang terkondensasi termasuk gas oil
yang akan dikembalikan sehingga di-recycle bersama feed ke heater. Temperatur
dari uap hydrocarbon ex coke drum yang semakin tinggi akan menaikkan end
point dari produk coker gas oil sehingga jumlah gas oil yang direcycle menjadi
berkurang akibatnya produksi coke akan berkurang pula. Dalam operasi delayed
coker secara umum dapat dinyatakan bahwa semakin banyak gas oil yang
direcycle akan menaikkan cracking yang selanjutnya akan menghasilkan gas,
coker naphtha, dan coke yang lebih banyak dan menurunnya produksi coker gas
oil.
2.7
Troubleshooting
Permasalahan yang terjadi di Delayed Coking Unit bukan hanya
permasalahan yang terkait dengan proses tetapi tidak jarang juga permasalahan
yang terkait dengan mechanical. Beberapa contoh permasalahan, penyebab, dan
troubleshooting yang terjadi di Delayed Coking Unit dapat dilihat dalam table VI
berikut ini :
Penyebab
Terbentuknya coke pada bagian
Troubleshooting
Perbaiki flame pattern.
coking
dalam
Cek
heater
meningkat.
tube
coking
heater
karena:
1
Flame
pattern
tidak
bagus
sehingga
api
umpan,
atur
properties
Perubahan
temperatur
coking
heater.
1
properties
Jika
inlet
pressure
umpan
(umpan
yang
(dari 15 ke 19 kg/cm2)
lebih
ringan
pada
berarti
pembentukan
akan
lebih
mudah
membentuk coke).
sangat
penurunan
(Steam-Air Decoking).
temperatur
excessive,
coking heater.
Strainer pompa bottom main
main fractionator
loss suction
Loss of feed.
Pompa
bottom
Menumpuknya
coke
pada
pompa
bottom
dibuat
tersendiri
fractionator
dan
dibuat
kemungkinan
besar
terjadi
main
fractionator.
demikian
Jika
maka
unit
mengeluarkan
yang
ada
di
mengandung silicon based antifoam yang diinjeksikan ke dalam coke chamber untuk
mencegah foaming) atau dapat juga berasal dari coke yang rontok dari dinding main
fractionator yang terbentuk selama normal operasi karena temperature main fractionator
yang lebih tinggi dari pada seharusnya.
Gantry
rusak.
crane
Mechanical problem
Sementara
gantry
crane
diperbaiki,
pemindahan
coke
oleh
beko
(alat
pengangkut/pemindah semacam
traktor).
1
maka
coke
dapat
(penambahan
cycle
chamber
ditambah
ini
chamber
ke
fractionator
main
semakin
besar.
2
Jika
cycle
sudah
conveyor
untuk
dari area coke pit
(penampung)
rusak.
Transfer
truk.
mentransfer coke
ke
Mechanical problem
bin
coke
menggunakan
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
1. Proses Coking merupakan proses yang menjadi semakin penting
dengan semakin menurunnya kualitas minyak mentah dunia (semakin
berat dan semakin banyak mengandung logam dan conradson carbon.
2. Delayed coking unit (sering disebut coker) menjadi pilihan utama
untuk mengolah minyak mentah dengan kandungan logam dan
conradson carbon yang tinggi
3. Sumber utama dari umpan Delayed Coking Unit adalah reduced crude
dari Vacuum Distillation Unit. Clarified oil yang merupakan produk
dari Fluid Catalytic Crackers (FCC) dan thermal cracking tars.
4. Tiga klasifikasi yang umum dari produk coke adalah sponge (bunga
karang), honeycomb (sarang madu), dan needle (jarum). aliran proses
yang terjadi dapat dikelompokkan menjadi lima seksi yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. Warta Pertamina Edisi Januari 2011 Modernisasi Kilang. Divisi
Komunikasi Korporat Sekretaris Perseroan PT PERTAMINA (PERSERO).
Budhiarto, Adhi. 2009. Buku Pintar Migas Indonesia : Bab IX - Delayed Coking
Unit.
Conners, J.W. 1981. Changes in Petroleum Coke Quality and Future Prospects.
California: Union Oil Company of
Elliot, John D. 1996. Delayed Coker Design and Operation: Recent Trends and
Innovations. USA Corporation
Ellis, Paul J., Hardin, Edward E. 1993. How Petroleum Delayed Coke Forms In A
Drum. Light Metals
Fatimah Zuhra, Cut. 2003. Penyulingan, Pemrosesan dan Penggunaan Minyak
Bumi. Medan : USU digital Library.
Paul. 2012. Delayed Coking. http://raz2305ans.multiply.com/journal/item/4.
Diakses pada 2 Maret 2016
Rianto. 2009. Harburg Industrial. http://www.tu-harburg.de/vt2/HPChE1/7-1Industrial%20_reactions.pdf
Ryan, dkk. 2009. Makalah Pengilangan Minyak Bumi Dan Nabati: Naptha Rerun
Unit, Plat Forming I, Naptha Hydrotreating Unit Dan Plat Forming Iipt.
Pertamina Up II Dumai. http://www.scribd.com/doc/26913865/Baru-DiEdit. Diakses pada 2 Maret 2016