BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
DASAR TEORI
2.6 Kelebihan
Harga produksi lebih murah.
Jenis batu bara yang dapat dipergunakan adalah batu bara yang berkalori rendah (low rank coal), yang
selama ini kurang diminati pasaran.
Dapat dipergunakan sebagai bahan pengganti bahan bakar pesawat jet (jet fuel), mesin diesel (diesel
fuel), serta gasoline dan bahan bakar minyak biasa.
Teknologi pengolahannya lebih ramah lingkungan. Dari pasca produksinya tidak ada proses
pembakaran, dan tidak dihasilkan gas CO2
2.7 Kekurangan
Meningkatkan dampak negatif dari penambangan batubara
Menimbulkan efek global warming sebesar hampir dua kali lipat per gallon bahan bakar.
Keekonomian. Batubara cair akan ekonomis jika harga minyak bumi di atas US $35/bbl, masalahnya
harga minyak bumi sangat fluktuatif, sehingga seringkali investor ragu untuk membangun kilang
pencairan batubara.
Investasi Awal Tinggi
Merupakan Investasi Jangka panjang
Cyclone
Bahan bakar di indonesia yang ketersediaan masih melimpah adalah batubara. Batu bara yang berupa bongkahan batu
sangat sulit untuk diaplikasikan langsung sebagai bahan bakar karena sulit dinyalakan, sulit dikendalikan,
mengeluarkan asap dan abu dan membutuhkan alat pembakaran yang khusus. Untuk mengatasi hal tersebut para
peneliti telah mengembangkan teknologi pengubahan batubara ke bentuk bahan bakar yang lebih baik dalam
penggunaannya. Salah satunya adalah dengan cara membuat batubara menjadi powder atau serbuk. Proses
pengubahan batubara menjadi serbuk atau tepung dilakukan dengan proses menghancurkan batubara dengan alat coal
pulverizer atau coal mill sampai mendapat ukuran serbuk batubara yang diinginkan.
Cyclo burner membakar batu bara dalam bentuk tepung -30 mes atau -0,5 mm. Proses pembakaran dalam silinder
dengan lining refraktori, batubara bersama udara pembakar dari blower masuk kedalam silinder secara tangensial,
berputar menyusur dinding yang bertemperatur 1100-1350C. Temperatur yang lebih tinggi dapat dicapai dengan
batubara berperingkat lebih tinggi. Intensitas pembakaran batubara dalam ruang siklon tinggi dapat menghasilkan
temperatur sampai 1400°C untuk batubara muda. Cyclo burner dapat menggantikan posisi burner BBM diberbagai
fasilitas industri : steam boiler,oil heater, heat exchanger,ketel galvanisasi,calciner,rotary kiln,annealing kiln.
Keunggulan dari penggunaan serbuk batubara sendiri adalah dapat menggunakan batubara peringkat rendah, cepat
start up dan shut down, effisiensi pembakaran tinggi (dibanding chain grate), lidah api dapat diarahkan dan mempunyai
biaya investasi rendah, materialnya yang berbentuk serbuk memudahkan untuk terbakar, akan tetapi untuk membakar
batubara serbuk diperlukan alat pembakar atau burner. Boiler kapasitas 2 ton uap/jam dengan konsumsi solar 160
liter/jam diganti dengan cyclo burner kapasitas 320 kg batubara/jam, penghematan 70%
Serbuk batubara memerlukan perlakuan khusus yaitu dengan proses pembakar siklon atau cyclo, prosesnya adalah
batubara ditiupkan bersama dengan udara pembakar secara tangensial, sehingga bubuk batubara berputar dan terbakar
dalam ruang siklon tersebut secara intensif disebabkan oleh tingkat turbulensi yang tinggi tercipta dalam ruang bakar
siklon sehingga terjadilah pembakaran yang sempurna.
Model burner ini berbentuk silinder, terbuat dari bahan lembaran plat yang dirol, disambung dengan feeder yang
berfungsi sebagai pengumpan batubara ke dalam ruang silinder dan blower sebagai pendorong batubara serbuk masuk
ke ruang silinder sekaligus sebagai pengumpan api yang keluar. Alat ini dirangkai menjadi satu pada posisi vertikal.
Prinsip kerjanya adalah serbuk batubara dialirkan melalui feeder kemudian ditiupkan bersama dengan udara pembakar
secara tangensial, sehingga serbuk batubara berputar dan terbakar dalam ruang silinder burner tersebut secara intensif
sebab tingkat turbulensi yang tinggi tercipta dalam ruang bakar. Dengan adanya api penyalaan awal yang ada didalam
burner serbuk batubara akan langsung menyala yang akhirnya menghasilkan panas.
Pada desain alat posisi feeder berada diatas dan dilengkapi dengan slide yang digunakan untuk mengatur masa serbuk
batubara yang keluar, sedangkan blower berada dibawah feeder dengan tujuan untuk menyemburkan serbuk batubara
yang keluar dari feeder masuk ke ruang burner.
KOKAS METALURGI
Coking coal adalah batubara yang digunakan dalam proses pembuatan coke atau kokas yang dipakai dalam
industri pembuatan baja dan besi. Istilah lain yang menjadi sinonim untuk coking coal adalah metallurgical coal. Coke
atau kokas sendiri adalah bahan keras yang memiliki porositas dan konsentrasi karbon tinggi yang dihasilkan dari
proses pemanasan batubara bituminous tanpa udara pada temperatur yang sangat tinggi (pirolisis). Coke dihasilkan
dengan memanaskan batubara di dalam coke oven pada keadaan reduksi. Seiring dengan bertambahnya temperatur,
batubara akan menjadi bersifat plastik, mengalami fusi secara bersamaan sebelum mengalami resolidifikasi menjadi
partikel coke. Ini dikenal sebagai proses caking. Produk yang dihasilkan, kokas, utamanya terdiri dari karbon. Satu
short ton batubara menghasilkan sekitar 1.400 pound kokas dan berbagai produk sampingan seperti tar batubara,
minyak ringan, dan amonia, yang disempurnakan untuk menghasilkan berbagai produk kimia. Sekitar 1.100 pound
kokas dikonsumsi untuk setiap short ton pig iron yang dihasilkan.
Green, Calcined Coke, Petroleum, Coal Derived Pitch Coke, Metallurgical Coke, Delayed Coke, Sponge Coke, Needle
Coke (Harry Marsh, 1989)
Proses pembuatan kokas dilakukan dengan memanaskan coking coal di dalam coke oven pada suhu 900 –
1100°C. Pada suhu 900°C, volatile matter mulai menguap jika dipanaskan di dalam tungku tertutup. Setelah volatile
matter menguap semua, bersamaan mulai terbentuk pula kokas yang stabil. Beberapa kandungan dalam batubara yang
mempengaruhi kualitas pembuatan kokas, diantaranya adalah kandungan sulfur, kandungan abu (ash) dan bentuk CSN
(crucible swelling number). Batubara dengan kadar sulfur tinggi mempunyai nilai jual yang rendah jika batubara
dipakai sebagai bahan bakar. Apabila dipakai sebagai kokas metalurgi pada pembuatan baja maka batubara dengan
sulfur yang tinggi akan menimbulkan masalah dengan keberadaan sulfur di dalam produk baja. Oleh karena itu,
berdasarkan standar kualitas batubara, kadar sulfur maksimal adalah 1%. Pada analisa kadar abu, semakin banyak
mineral yang terdapat di dalam batubara maka kadar abunya juga semakin tinggi. Mineral matter tersebut akan
mempengaruhi proses karbonisasi batubara sehingga kadarnya di dalam batubara maksimal 12%. Selain itu,
kemampuan swelling yaitu kemampuan batubara untuk memuai juga mempengaruhi kualitas batubara.
1. Karbonisasi Suhu Rendah Mula-mula dikembangkan sebagai proses untuk mensuplai gas untuk tujuan
penerangan dan menghasilkan bahan bakar yang tidak berasap. Karbonisasi suhu rendah berkisar antara
500°C – 700°C.
2. Karbonisasi Suhu Tinggi Proses karbonisasi terjadi pada peruraian suhu 750°C – 1500°C.Hasil dari peruraian
suhu tersebut adalah kokas. Kokas adalah bahan bakar untuk tanur dan sebagai bahan pereduksi. Produk
utama yang dihasilkan dari proses karbonisasi, antara lain: 1. Kokas 2. Tar (organik) 3. Gas (penerangan
jalan) 4. Cairan (hidrokarbon cair)
Kegunaan kokas adalah dalam proses peleburan besi adalah sebagai berikut:
1. Sebagai bahan bakar untuk memproduksi energi panas supaya berlangsungnya reaksi kimia dalam proses
peleburan.
2. Sebagai agen pereduksi untuk penyedia gas carbon monoksida (CO) pada proses mereduksi biji besi (iron
ore) menjadi besi murni (pig iron).
3. Sebagai tempat tumpuan untuk proses pemisahan antara besi cair (hot metal) dengan abu cair (slug).
Kelebihan Kokas
1. penyedia energi yang baik dalam bentuk panas dan penyedia gas karbon monoksida sebagai agen pereduksi
biji besi dalam proses peleburan besi
2. Digunakan sebagai bahan bukan untuk bahan bakar, tetapi untuk bahan dalam proses pengecoran.
Kekurangan Kokas
1. Menimbulkan polusi
2. Tingkat panas yang tinggi harus dikendalikan sehingga batubara tidak pecah dan hancur akibat batubara
mengalami pertambahan atau penyusutan volume. Batubara
Pirolisis
Pirolisis batubara merupakan salah satu proses penting pada teknologi konversi 2 batubara. Pirolisis batubara
pada dasarnya adalah proses pemanasan batubara dengan suhu meningkat dengan tanpa adanya atau sedikit udara atau
reagen lainnya yang tidak memungkinkan terjadinya reaksi gasifikasi. Selama proses pirolisis terjadi, batubara akan
terdekomposisi dan menghasilkan condensable gases yang disebut dengan tar, non-condensable gases yang disebut
dengan gas dan padatan mikrokristalin yang disebut dengan char. Produk hasil pirolisis batubara tidak hanya
menghasilkan energi yang bersih tetapi juga dapat digunakan sebagai bahan baku untuk industri kimia. Produk
pirolisis batubara yang berpotensi besar sebagai bahan baku industri kimia adalah char dan tar (Kabe dkk., 2004;
Riegel dan Kent, 2003).
Char adalah produk hasil pirolisis batubara yang berbentuk padat. Batubara bituminus merupakan jenis
batubara dengan kualitas baik yang tergolong ke dalam jenis coking coal/metallurgical coal yang apabila dipirolisis
akan menghasilkan char yang memiliki struktur kohern yang sering disebut dengan kokas metalurgi. Kokas metalurgi
digunakan sebagai bahan bakar dan agen pereduksi dalam produksi baja, besi, fosfor, kalsium karbida, elektroda
karbon dan beberapa industri lainnya. Selanjutnya apabila kokas ini digasifikasi, akan menghasilkan syngas yang
merupakan bahan baku industri petrokimia. Tar adalah produk hasil pirolisis batubara yang berbentuk cair. Tar dapat
digunakan sebagai bahan baku industri kimia seperti karet sintesis, polimer, obatobatan, pelarut, grafit dan coating.
Tar hasil pirolisis batubara juga merupakan 3 sumber senyawa benzen dan turunannya yang sangat penting seperti
naftalen yang merupakan bahan dasar industri polimer seperti plastik. Sejumlah proses baru terus dikembangkan
untuk menghasilkan tidak hanya hasil char dan tar yang optimum, tetapi juga gas yang dihasilkan. Kokas metalurgi
pada dasarnya adalah char hasil pirolisis batubara jenis bituminus pada suhu rendah (773-973 K) dan waktu tinggal
fase uap lama. Proses pembuatan kokas dengan metode pirolisis seperti ini disebut dengan karbonisasi. Pirolisis
batubara bituminus akan menghasilkan hasil char dan tar yang tinggi dengan hasil gas yang rendah (Cortes dkk.,
2009).
Meskipun demikian, telah dilakukan beberapa modifikasi pada proses karbonisasi dengan tujuan tertentu.
Wang dkk. (2010) menambahkan katalisator Ca(OH)2 pada pirolisis batubara bituminus Australian Newlands untuk
menghasilkan char yang selanjutnya akan dijadikan bahan baku pada proses gasifikasi. Penambahan katalisator pada
proses pirolisis akan meningkatkan reaktivitas char yang akan sangat berpengaruh pada efisiensi gasifier. Pada
Gasifier jenis fluidized-bed, reaktivitas char yang tinggi berarti konversi karbon sebelum meninggalkan bed tinggi,
sirkulasi yang diperlukan untuk mencapai konversi tinggi menjadi lebih sedikit, dan konversi tinggi berarti volume
gasifier yang diperlukan lebih kecil (Jamil dan Li, 2006). Penambahan katalisator Ca(OH)2 pada proses pirolisis juga
diharapkan akan menurunkan kandungan sulfur pada produk hasil pirolisis (Guan dkk., 2003; Liu dkk., 2012). 4
Proses pirolisis juga dapat dilakukan dengan penambahan gas, baik gas inert atau gas pereaksi dengan tujuan tertentu.
Penambahan gas inert seperti N2 pada proses pirolisis akan meningkatkan porositas pada char sehingga char yang
dihasilkan lebih reaktif (Gale dkk., 1994). Pirolisis dengan penambahan gas pereaksi seperti H2 akan meningkatkan
kemungkinan terjadinya reaksi sekunder pada char dan menghasilkan gas dengan komposisi utama metana dan etana
(Mill, 2000).
Penelitian untuk mempelajari detail kinetika reaksi pirolisis batubara diantaranya dilakukan oleh Pitt
(Gavalas, 1982) yang mempelajari kinetika pirolisis batubara bituminus dan menyatakan pada pirolisis batubara terjadi
reaksi unimolekular yang mengikuti reaksi orde satu dengan nilai faktor frekuensi tumbukan yang sama. Anthony dan
Howard (1976) melakukan penelitian pirolisis dengan menggunakan batubara jenis bituminus Pittsburgh Seam dan
lignit Montana. Anthony dan Howard (1976) mengembangkan dan menyederhanakan model kinetika reaksi yang
diajukan oleh Pitt dan menyatakan bahwa energi aktivasi terdistribusi antara E sampai E+dE yang didekati dengan
pendekatan distribusi Gauss atau yang lebih dikenal dengan model distribusi energi aktivasi (Distributed Activation
Energy Model, DAEM). Model lain yang juga umum digunakan dalam mempelajari kinetika pirolisis batubara adalah
model gugus fungsional (Functional Group Model, FG) yang diantaranya diajukan oleh Solomon dkk. (1987a) dan
Serio dkk. (1987). Model FG didasarkan pada asumsi bahwa gas fraksi ringan yang terbentuk selama proses pirolisis,
dihasilkan dari dekomposisi beberapa gugus fungsional dengan reaksi 5 paralel orde satu. Model DAEM dan FG
adalah model umum yang digunakan dalam mempelajari kinetika reaksi pirolisis batubara.
Pembakaran langsung batubara tersebut banyak efek negatifnya, karena kurang aman bagi lingkungan, oleh
karena itu perlu dikembangkan usaha-usaha melalui penelitian untuk meningkatkan nilai guna dan nilai ekonomis
yang tinggi dengan jalan
Linda Suyati, Dkk.: Perengkahan Produk Cair Batubara dengan Katalis NI/Zeolit
JSKA.Vol.X.No.1.April 2007
Mengolah batubara menjadi bahan yang mudah dalam pengangkutan, mudah dalam penggunaannya dan
aman bagi lingkungannya. Salah satu cara untuk mendapatkan batubara yang diinginkan adalah dengan pirolisis yaitu
thermal cracking tanpa adanya oksigen1) . Hasil utama dari pirolisis adalah gas, cairan ( tir batubara) dan residu
(arang).Tir batubara berwarna hitam kecoklatcoklatan dan pada suhu kamar kental. Berat molekul rerata tir batubara
antara 200 sampai 1200 terdiri dari hidrokarbon rantai panjang, oleh karena itu perlu dipecah lagi menjadi rantai yang
lebih pendek untuk mendapatkan senyawa karbon fasa cair dengan fraksi yang lebih ringan 7) . Menurut Vigouroux
(2001), produk pirolisis berupa senyawa-senyawa dengan rantai yang bervariasi. Pemecahan rantai panjang produk
pirolisis menjadi rantai yang lebih pendek dapat dilakukan melaui proses perengkahan katalitik. Zeolit merupakan
katalis yang baik,karena mempunyai pori atau saluran yang besar dan memiliki luas permukaan besar serta tingkat
keasaman yang cukup tinggi 1) Dalam industri pengolahan minyak bumi dan petrokimia, zeolit digunakan sebagai
katalis asam dalam perengkahan. Mengingat zeolit alam sangat melimpah dan murah, maka penggunaannya sebagai
katalis dapat menurunkan biaya produksi 8) . Zeolit memiliki ukuran pori tertentu yang selektif pada proses katalitik.
Pori berperan dalam modifikasi molekul. Molekul yang melebihi ukuran pori akan mengalami perengkahan. Molekul
hidrokarbon yang dapat melalui pori zeolit berkisar antara C5 sampai C10 3) Penelitian yang dilakukan oleh Rokhati
(1999) dengan memakai katalis zeolit yang tadinya reaksi berlangsung pada temperatur tinggi tetapi dengan katalis
proses reaksi bisa berlangsung pada temperatur yang lebih rendah. Dalam penelitian ini dipakai katalis nikel yang
diembankan pada zeolite
Pirolisis merupakan suatu proses dekomposisi material organic dengan panas tanpa mengandung oksigen.
Bila oksigen ada pada suatu reactor pirolisis maka akan bereaksi dengan material sehingga membentuk abu(ash).
Untuk menghilangkan oksigen, pada proses pirolisis biasanaya di bantuk oleh aliran gasn inner sebgai fungsi untuk
mengikat oksigen dan mengeluarkan dari reactor. Produk pirolisis berupa gas, fluida carir dan padat berupa carbon
dan abu. (Septa, 2009)
2. Pirolisis sekunder
Pirolisis sekunder adalah proses perubahan arang / karbon lebih lanjut menjadi karbon monoksida, gas hydrogen dan
gas – gas hidrokarbon
Pirolisis atau devolatilisasi disebut juga sebagai gasifikasi parsial. Suatu rangkaian proses fisik dan kimia terjadi
selama proses pirolisis yang dimulai secara lambat pada T < 100 °C dan terjadi secara cepat pada T > 200 °C.
Komposisi produk yang tersusun merupakan fungsi temperatur, tekanan, dan komposisi gas selama pirolisis
berlangsung. Proses pirolisis dimulai pada temperatur sekitar 230 °C, ketika komponen yang tidak stabil secara
termal, seperti volatile matters pada batubara, pecah dan menguap bersamaan dengan komponen lainnya. Produk
cair yang menguap mengandung tar dan PAH (polyaromatic hydrocarbon). Produk pirolisis umumnya terdiri dari
tiga jenis, yaitu gas ringan (H2, CO, CO2, H2O, dan CH4), tar, dan arang.
REAKSI-REAKSI PIROLISIS
Pada 1847 kimiawan Jerman Hermann Kolbe mensintesis asam asetat dari zat anorganik untuk pertama kalinya.
Reaksi kimia yang dilakukan adalah klorinasi karbon disulfida menjadi karbon tetraklorida, diikuti dengan pirolisis
menjadi tetrakloroetilena dan klorinasi dalam air menjadi asam trikloroasetat, dan akhirnya reduksi melalui
elektrolisis menjadi asam asetat. (Anonim a,2009)
Monosodium glutamate (MSG) atau sering dikenal di masyarakat sebagai vetsin sampai sekarang masih saja
dipertanyakan orang tentang keamananya untuk kesehatan. Sebagian orang meski ragu-ragu, memilih tidak
menggunakannya daripada terjadi hal yang tidak diinginkan. Sebagian lagi mencoba mengurangi pemakaiannya.
Apa sebetulnya MSG itu dan sejauh mana keamanannya bagi tubuh manusia?
Bisa jadi pendapat MSG menimbulkan kanker betul adanya kalau kita melihatnya dari sudut pandang berikut.
Glutamat dapat membentuk pirolisis akibat pemanasan dengan suhu tinggi dan dalam waktu lama. Pirolisis ini
disebut-sebut sangat karsinogenik.
Masakan protein lain yang tidak ditambah MSG pun, menurut pakar, bisa juga membentuk senyawa karsinogenik
bila dipanaskan dengan suhu tinggi dan dalam waktu yang lama.Karena asam amino penyusun protein, seperti
triptopan, penilalanin, lisin, dan metionin juga dapat mengalami pirolisis. (Anonim b, 2008)
Dinitrogen monoksida, N2O. Oksida monovalen nitrogen. Pirolisis amonium nitrat akan menghasilkan oksida ini
melalui reaksi:
Walaupun bilangan oksidasi hanya formalitas, merupakan hal yang menarik dan simbolik bagaimana bilangan
oksidasi nitrogen berubah dalam NH4NO3 membentuk monovalen nitrogen oksida (+1 adalah rata-rata dari -3 dan
+5 bilangan oksidasi N dalam NH4+ dan NO3-). Jarak ikatan N-N-O dalam N2O adalah 112 pm (N-N) dan 118 pm
(N-O), masing-masing berkaitan dengan orde ikatan 2.5 dan 1.5. N2O (16e) isoelektronik dengan CO2 (16 e).
Senyawa ini digunakan secara meluas untuk analgesik. (Saito,2009)
Karbon Aktif
Karbon aktif dapat dibuat dari bahan yang mengandung karbon, baik dari tumbuh-tumbuhan, hewan, maupun
barang tambang. Bahan dari tumbuhan yang cukup bagus dijadikan karbon aktif antara lain kulit singkong (Santoso
dkk., 2014), bonggol jagung manis (Komariah dkk., 2013), tempurung kelapa (Pujiyanto, 2010; Pambayun dkk.,2013),
biji salak (Turmuzi dan Syahputra, 2015), kulit jeruk (Erprihana dan Hartanto, 2014), dan pelepah aren (Esterlita
dan Herlina, 2015). Karbon aktif juga dapat dibuat dari tanah gambut (Anjoko, dkk., 2014).
Karbon aktif adalah suatu material karbon amorf yang memiliki luas permukaan antara 300-2000 m2/gram .
Luas permukaan yang besar ini terdapat dalam struktur pori-pori yang memiliki kemampuan untuk mengadsorpsi gas,
uap, ataupun material yang terlarut dan atau terdispersi dalam cairan (Kirk Otmer, 1972).
Salah satu bahan karbon aktif yang jumlahnya banyak adalah batubara. Batubara sebagai barang tambang
sangat berpotensi untuk diolah menjadi karbon aktif dengan proses produksi yang lebih mudah dan ketersediaan
bahan yang masih melimpah. Total sumber daya batubara di Indonesia diperkirakan mencapai 105 miliar ton,dimana
cadangan batu bara diperkirakan 21 miliar ton (ESDM, 2011). Berdasarkan UU Pertambangan Mineral dan Batubara
(Minerba) Nomor 4 Tahun 2009 pasal 102-103, pemilik IUP (Ijin Usaha Pertambangan) dan IUPK (Ijin Usaha
Pertambangan Khusus) mempunyai kewajiban untuk meningkatkan nilai ekonomis batubara pada proses
penambangan dan pengolahan. Batubara bituminus sangat berpotensi dimanfaatkan menjadi karbon aktif karena
mempunyai kandungan fixed karbon cukup tinggi, yaitu sekitar 54-86% (Kirk dan Othmer, 1980).
1. Serbuk = 0,18 mm
2. Granular = 0,2 -5 mm
3. Pellet = 0,8-5 mm
Tabel 1. Persyaratan karbon aktif berdasarkan standar nasional Indonesia (SNI) 06-3730-1995 (BSN, 1995)
Penelitian pembuatan karbon aktif dari batubara jenis lignit dengan reagen NaOH 5% berat menghasilkan
karbon aktif yang sudah memenuhi standar SII No.0258-79 untuk kadar air, bagian yang hilang pada pemanasan
950oC, dan daya serap iod (Rahim dan Indriyani, 2010). Penelitian lain adalah pembuatan karbon aktif dari batubara
dengan reagen H2O2 0,2 N. Penelitian ini menghasilkan karbon aktif yang bisa menyerap logam Cu2+ dalam air limbah
sebesar 64,60-88,89% dan Ag+ sebesar 69,97-87,55% (Kusmiyati dkk., 2012).
Tinjauan Pustaka
1. Tahap Oksidasi
Tahap oksidasi adalah tahap yang sangat menentukan dalam pembentukan struktur pori-pori pada pembuatan karbon
aktif. Tahap ini dilakukan pada temperatur 200-300 oC dengan dialiri udara selama 1-4 hari (Pis dkk, 1998).
2. Tahap Karbonisasi
Salah satu tahap dalam proses pembuatan karbon aktif adalah karbonisasi bahan dasar, yaitu proses dekomposisi
termal dengan menggunakan gas pirolisis. Pada tahap karbonisasi zat-zat volatil dihilangkan. Hidrogen, oksigen, dan
hidrokarbon yang tidak terorganisir akan menguap karena dekomposisi pirolisis bahan baku. Proses karbonisasi ini
dipengaruhi oleh temperatur dan lama waktu peresapan, serta karakter dari bahan baku (Edward dan Cook, 1972).
Proses karbonisasi adalah pembakaran bahan baku menggunakan udara terbatas dengan temperatur antara 300 sampai
600oC. Proses ini menyebabkan terjadinya penguraian senyawa organik yang menyusun struktur bahan membentuk
metanol, uap asam asetat, tar, dan hidrokarbon. Material padat yang tertinggal setelah proses karbonisasi adalah karbon
dalam bentuk arang dengan permukaan spesifik yang sempit.
3. Tahap Aktivasi
Dasar dari proses aktivasi adalah memperbesar ukuran pori-pori yang telah terbentuk pada tahap karbonisasi, serta
pembentukan pori-pori baru. Proses aktivasi dibagi menjadi dua tahapan. Tahap pertama adalah menghilangkan
karbon yang tidak terorganisasi, dan sisa tar yang ada dalam pori-pori yang tidak hilang pada tahap karbonisasi karena
temperatur yang rendah. Karbon yang tidak terorganisasi dan tar terdevolatilisasi bersama dengan gas pengaktif
sehingga permukaan karbon aromatik (permukaan luar dan permukaan pori-pori) bisa kontak langsung dengan gas
pengaktif.
1. Pada pengolahan air untuk penjernihan dan mengurangi kesadahan dengan menyerap bau, rasa, warna,
kaporit, kapur (CaCO3), logam berat
2. Pada pengolahan emas untuk menyerap konsentrasi emas (ore) dalam bentuk Carbon in pulp (CIP), Carbon
in Leach (CIL), Carbon in Clear Solution (CIC) biasanya dari batok kelapa mesh 8-25
3. Pada pemurnian gas dengan menyerap belerang, gas beracun, bau busuk, asap dan pencegahan racun.
4. Pada pengolahan limbah untuk menyerap Bahan Beracun Berbahaya (B3) yaitu menyerap sianida yang
terdapat pada limbah industri serat sintetik (akrilonitril), petrokimia, baja, pertambangan dan pelapisan logam
(electroplating) dengan cara merendam karbon aktif dengan larutan Cu2+ (0,5%) yang menghasilkan daya
serap sianida menjadi 82% dalam waktu 2jam.
5. Untuk menyerap logam berat Raksa/Hg, Cadmium/Cd, Plumbum/Pb/Timbal, Cromium/Cr penyebab sakit
kanker
6. Penyegar/pembersih udara ruangan dari kandungan uap air/gas berbau/beracun, seperti pada mobil, kamar
pendingin, botol obat-obatan serta peralatan-peralatan yang harus sdilindungi dari proses perkaratan.
7. Pada industri obat dan makanan sebagai penyaring, penghilang warna, bau dan rasa tidak enak pada makanan.
8. Pada bidang perminyakan dipakai sebagai bahan penyulingan bahan mentah dan zat perantara
1. Karbon aktif yang apabila tercampur dengan lumpur sulit untuk diregenerasi sehingga biaya operasional
mahal.
2. Memerlukan tambahan unit pengolah, yaitu unit filter yang berupa penyaring seperti kertas saring.
3. Dalam pembuatan karbon aktif dalam prosesnya harus diaktivasi terlebih dahulu.