Anda di halaman 1dari 12

Liquifikasi

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dunia memiliki cadangan minyak yang dikenal cukup untuk hanya 41 tahun, tapi memiliki cadangan
batubara hingga 155 tahun. Oleh karena itu dibutuhkan alternatif untuk menggantikan energi minyak bumi.
Saat ini telah dikembangkan teknologi pencairan batubara sebagai bahan bakar yang hampir setara dengan
output minyak bumi. Pengembangan teknologi untuk menghasilkan energi baru juga berhasil
mengembangkan suatu teknologi pencairan batubara bituminous dengan menggunakan tiga proses,
yaitu solvolysis system, solvent extraction system, dan direct hydrogenation to liquefy bituminous coal.
Ketiga proses tersebut terintegrasi dalam proses NEDOL (NEDO Liquefaction), suatu proses pencairan
batubara yang dikembangkan oleh NEDO (lembaga kajian teknologi Jepang), dengan tujuan untuk
mendapatkan hasil pencairan yang lebih tinggi.
Peneliti NEDO mengidentifikasi bahwa cadangan batubara di dunia pada umumnya tidak berkualitas
seperti: sub-bituminous coal dan brown coal yang lebih banyak didominasi oleh kandungan air. Peneliti
kemudian mengubah kualitas batubara yang rendah menjadi produk yang berguna secara ekonomis dan dapat
menghasilkan bahan bakar berkualitas serta ramah lingkungan.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
A. Bagaimana Penjelasan proses pengolahan padatan batubara menjadi bahan bakar cair?
B. Bagaimana prospek batubara yang dicairkan?
C. Apa saja kelebihan dan kekurangan batubara yang dicairkan?
D. Bagaimana dampak dari proses pengolahan batubara yang dicairkan?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan ini adalah:
A. Mampu mengetahui proses pengolahan padatan batubara menjadi bahan bakar cair
B. Mampu mengetahui prospek masa depan batubara yang dicairkan
C. Mampu mengetahui kelebihan dan kekurangan batubara yang dicairkan
D. Mampu mengetahui dampak dari proses pengolahan batubara yang dicairkan

1.4 Manfaat Penulisan


Dalam pembuatan makalah Pencairan Batubara dengan Produk Sintetik Oil ini, penulis berharap
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca guna menambah wawasan dan pengetahuan dalam memenuhi
bahan pembelajaran Program Studi Teknik Kimia khususnya pada mata kuliah pilihan yaitu Teknologi
Batubara.

BAB II
DASAR TEORI

2.1 Likuifikasi Batubara


Likuifaksi Batubara adalah suatu teknologi proses yang mengubah batubara menjadi bahan bakar cair
sintetis. Batubara yang berupa padatan diubah menjadi bentuk cair dengan cara mereaksikannya dengan
hidrogen pada temperatur dan tekanan tinggi.
Proses likuifaksi batubara secara umum diklasifikasikan menjadi Indirect Liquefaction Process dan
Direct Liquefaction Process.
A. Indirect Liquefaction Process/ Indirect Coal Liquefaction (ICL)
Prinsipnya secara sederhana yaitu mengubah batubara ke dalam bentuk gas terlebih dahulu untuk
kemudian membentuk Syngas (campuran gas CO dan H2). Syngas kemudian dikondensasikan oleh
katalis (proses Fischer-Tropsch) untuk menghasilkan produk ultra bersih yang memiliki kualitas tinggi.
B. Direct Liquefaction Process/ direct coal liquefaction (DCL)
Pengolahan batubara secara DCL sering disebut dengan proses Bergius. Proses ini dilakukan
dengan cara menghaluskan ukuran butir batubara, kemudian mencampur batubara ini dengan pelarut,
campuran ini dinamakan slurry. Slurry dimasukkan ke dalam reaktor bertekanan tinggi bersama hidrogen
dengan menggunakan pompa. Kemudian, slurry diberi tekanan di dalam sebuah reaktor dan dipanaskan.

2.2 Direct Liquefaction Process (DCL)


DCL adalah proses hydro-cracking dengan bantuan katalisator. Prinsip dasar dari DCL adalah
mengintroduksikan gas hidrogen kedalam struktur batubara agar rasio perbandingan antara C/H menjadi kecil
sehingga terbentuk senyawa-senyawa hidrokarbon rantai pendek berbentuk cair.
Proses ini dilakukan dengan cara menghaluskan ukuran butir batubara, kemudian slurry dibuat dengan
cara mencampur batubara ini dengan pelarut. Slurry dimasukkan ke dalam reaktor bertekanan tinggi bersama-
sama dengan hidrogen dengan menggunakan pompa. Slurrykemudian diberi tekanan 100-300 atm di dalam
sebuah reaktor kemudian dipanaskan hingga suhu mencapai 400-480° C.
Hidrogen bisa didapat melalui tiga cara, yaitu transfer hidrogen dari pelarut, reaksi dengan fresh
hidrogen (penyusunan kembali terhadap hidrogen yang ada di dalam batubara), dan menggunakan katalis
yang dapat menjembatani reaksi antara gas hidrogen dan slurry.

2.3 Indirect Liquefaction Process

A. Tahapan Proses Gasifikasi


Proses reaksi katalis :

H2 (g) + CO (g) --> hidrokarbon


Batu bara yang digunakan untuk proses gasifikasi awal adalah yang mengandung kadar air sekitar
35%. Pembuatan gas diawali dengan membakar batubara dengan gas oksigen bukan udara supaya lebih
efisien. Batu bara akan membara berwarna merah kemudian dimasukkan uap air, jika mulai padam
dialirkan lagi oksigen dan seterusnya. Maka akan dihasilkan campuran gas yang kemudian dimurnikan
seperti terjadi di banyak industri kimia. Selanjutnya diperoleh syngas yaitu H 2 dan CO yang siap
direaksikan menjadi molekul yang lebih tinggi dan banyak dibutuhkan.
Gas sintesis yang dihasilkan dari proses gasifikasi mengandung kontaminan yang berbeda-beda
seperti partikulat, tar, alkali, H2S, HCl, NH3, dan HCN. Kontaminan ini akan menurunkan aktivitas pada
sintesis Fischer-Tropsch karena akan meracuni katalis. Sulfur adalah racun yang tidak dapat dihilangkan
dari katalis yang mengandung kobalt dan besi karena sulfur akan melekat pada sisi aktif katalis. Selain
sulfur, tar yang dihasilkan pada proses gasifikasi dapat menimbulkan kerak pada peralatan dan memasuki
pori pada penyaring ketika terkondensasi. Untuk menghindari terjadinya hal-hal tersebut, tar harus
berada di bawah titik embunnya pada tekanan operasi sintesis Fischer-Tropsch. Oleh karena itu, tar
sebaiknya direngkah menjadi hidrokarbon dengan rantai yang lebih pendek.
Banyak metode gasifikasi yang tersedia untuk memproduksi gas sintesis. Metode-metode ini akan
menghasilkan komposisi gas sintesis yang beraneka-ragam yang mana variasi perbandingan CO dengan
H2 dapat tercapai. Gas sintesis yang diproduksi oleh metode yang berbeda akan mengandung pengotor
yang berbeda-beda. Pengotor ini selanjutnya akan mempengaruhi proses yang akan berlangsung dalam
reaktor Fischer-Tropsch berkaitan dengan racun katalis sehingga diperlukan pencucian gas sintesis.
B. Tahapan Proses Fischer-Tropsch (F-T)
Setelah mengalami gasifikasi, gas sintesis akan diproses dalam reaktor sintesis Fischer-Tropsch.
Pada umumnya, katalis yang digunakan dalam proses ini adalah besi atau kobalt dengan silika sebagai
support. Namun, kualitas gas sintesis hasil gasifikasi belum memenuhi persyaratan dilangsungkannya
sintesis Fischer-Tropsch, karena itu perlu dilakukan pengkondisian terlebih dahulu. Gas sintesa hasil
gasifikasi memiliki rasio H2/CO sekitar 0.6 - 0.8, sedangkan sintesis Fischer-Tropsch membutuhkan
rasio tersebut sekitar 2. Karenanya, gas sintesa akan mengalami shift reaction untuk menambahkan H 2
hingga memenuhi persyaratan berlangsungnya sintesis Fischer-Tropsch. Shift reaction berlangsung
dengan mekanisme sebagai berikut:
CO + H2O -> CO2 + H2
Katalis yang digunakan dalam shift reaction adalah Fe3O4 atau logam-logam transisi yang lain.
Reaksi ini sangat sensitif terhadap temperatur dengan kecenderungan bergeser ke arah reaktan jika
temperatur dinaikkan.
Reaksi Fischer-Tropsch menghasilkan hidrokarbon dengan panjang rantai yang bervariasi dengan
mereaksikan campuran karbon monoksida dengan hidrogen (gas sintesis). Selektivitas cairan yang tinggi
sangat diharapkan untuk mendapatkan jumlah maksimum dari hidrokarbon rantai panjang. Perolehan
C1-C4 akan menurun seiring dengan meningkatnya selektivitas C5+. Keberadaan C1-C4 pada offgas
dapat digunakan secara efisien pada turbin gas sebagai pembangkit listrik.
Proses F-T umumnya beroperasi pada rentang tekanan dan temperatur sebesar 20-40 bar dan 180-
250°C. Semakin tinggi tekanan parsial H2 dan CO akan memberikan selektivitas yang semakin tinggi
untuk C5+. Banyaknya inert pada syngas akan menurunkan tekanan parsial H2 dan CO dan menurunkan
selektivitas
C. Tahapan Upgrading Product
FT liquid dapat dimurnikan menjadi LPG, gasoline, dan bahan bakar diesel. Pilihan lain adalah
melalui partial upgrading untuk menghasilkan F-T syncrude. Kandungan wax yang tinggi di raw F-T
liquid memerlukan hidroprosessing untuk membuat syncrude yang dapat dialirkan melalui pipa . Pilihan
upgrading minimum termasuk hidrotreating dan hidrocracking dari F-T wax. Produk yang dihasilkan
adalah F-T LPG dan F-T syncrude, yang dapat dikirim ke conventional petroleum refinery untuk
difraksinasi menghasilkan produk yang dapat diolah lebih lanjut.
Jika produk akhir yang diinginkan adalah diesel, produk F-T memerlukan hydrocracking. Hidrogen
ditambahkan untuk memutuskan ikatan rangkap setelah F-T-liquids direngkah secara katalitik dengan
menggunakan hidrogen. Produk F-T telah seluruhnya bersih dari sulfur, nitrogen, nikel, vanadium,
asphaltene dan aromatik yang selama ini ditemukan dalam produk pengilangan minyak bumi. F-T diesel
dengan angka cetane yang sangat tinggi juga dapat digunakan sebagai komponen blending untuk
meningkatkan kualitas solar pada umumnya. Produk cair dari sintesa Fischer-Tropsch ini sangat sesuai
untuk digunakan pada kendaraan dengan fuel cell.

2.4 Manfaat Pengolahan Batubara menjadi Cair


 Setiap satu ton batu bara padat yang diolah dalam reaktor Bergius dapat menghasilkan 6,2 barel bahan
bakar minyak sintesis berkualitas tinggi. Bahan ini dapat dipergunakan sebagai bahan pengganti BBM
pesawat jet (jet fuel), mesin diesel (diesel fuel), serta gasoline dan bahan bakar minyak biasa.
 Kualitas batubara cair yang dihasilkan sama dengan minyak mentah, namun harga jualnya bisa lebih
murah 50 persen dibandingkan BBM biasa. Jadi, kalau solar dijual Rp 6.000 per liter, maka harga solar
dari batubara cair hanya Rp 3.000 per liter.
 Teknologi pengolahannya juga lebih ramah lingkungan. Dari pasca produksinya tidak ada proses
pembakaran, dan tidak dihasilkan gas CO2. Kalaupun menghasilkan limbah (debu dan unsur sisa
produksi lainnya), masih dapat dimanfaatkan untuk bahan baku campuran pembuatan aspal. Bahkan sisa
gas hidrogen masih laku dijual untuk dimanfaatkan menjadi bahan bakar.
 Bila teknologi dan harga jual produksi batu bara cair tersebut dianggap tidak kompetitif lagi, perusahaan
dapat berkonsentrasi penuh memperoduksi gas hidrogen dan tenaga listrik yang masih memiliki prospek
sangat cerah.

2.5 Prospek Batubara Cair


Saat ini Indonesia memiliki cadangan sekitar 60 milyar ton batubara yang terdapat di seluruh Indonesia.
Dari sekian banyak itu hampir 85% adalah batubara muda (lignit) atau dengan kata lain batubara dengan
kualitas rendah karena 30% berisi kandungan air disamping itu juga mengandung kalori rendah dengan nilai
jual murah. Sedang batubara yang berkualitas atau dikenal dengan Black Coal sebagian besar untuk di ekspor.
Produk utama FT diesel memiliki kualitas yang lebih tinggi dibanding diesel berbasis minyak bumi.
Maka, bahan bakar cair sintetis berpeluang meningkatkan kualitas BBM melalui "blending". Salah satu
tolok ukurnya adalah kandungan sulfur dalam diesel. Untuk yang terakhir ini Indonesia tertinggal dalam
regulasi kualitas BBM di kawasan Asia Tenggara, khususnya tentang kandungan sulfur yang diijinkan dalam
BBM Diesel, contohnya, Thailand dan Singapura telah mematok tidak lebih dari 500 ppm, namun Indonesia
mengijinkan hingga 3.000 ppm.
Walaupun investasi awal kilang batubara cair (CTL) lebih mahal dibanding kilang minyak bumi dan
biodiesel, sebaliknya harga bahan bakunya relatif lebih murah sehingga konversi ke BBM berbasis batubara
sangat sesuai untuk pemanfaatan cadangan batu bara muda (lignite), yang kurang laku di pasaran. Terlebih
mengingat potensi lignite di Indonesia besar yaitu sekitar 23 miliar ton (60 persen cadangan nasional) atau
setara 37 miliar barel bahan bakar cair sintetis.

2.6 Kelebihan
 Harga produksi lebih murah.
 Jenis batu bara yang dapat dipergunakan adalah batu bara yang berkalori rendah (low rank coal), yang
selama ini kurang diminati pasaran.
 Dapat dipergunakan sebagai bahan pengganti bahan bakar pesawat jet (jet fuel), mesin diesel (diesel
fuel), serta gasoline dan bahan bakar minyak biasa.
 Teknologi pengolahannya lebih ramah lingkungan. Dari pasca produksinya tidak ada proses
pembakaran, dan tidak dihasilkan gas CO2
2.7 Kekurangan
 Meningkatkan dampak negatif dari penambangan batubara
 Menimbulkan efek global warming sebesar hampir dua kali lipat per gallon bahan bakar.
 Keekonomian. Batubara cair akan ekonomis jika harga minyak bumi di atas US $35/bbl, masalahnya
harga minyak bumi sangat fluktuatif, sehingga seringkali investor ragu untuk membangun kilang
pencairan batubara.
 Investasi Awal Tinggi
 Merupakan Investasi Jangka panjang

2.8 Dampak Positif


 Mengurangi ketergantungan pada impor minyak serta meningkatkan keamanan energi.
 Batubara cair dapat digunakan untuk transportasi, memasak, pembangkit listrik stasioner, dan di industri
kimia.
 Batubara yang diturunkan adalah bahan bakar bebas sulfur, rendah partikulat, dan rendah oksida
nitrogen.
 Bahan bakar cair dari batubara merupakan bahan bakar olahan yang ultra bersih, dapat mengurangi
risiko kesehatan dari polusi udara dalam ruangan.

2.9 Dampak Negatif


 Meningkatkan dampak negatif dari penambangan batubara.
 Menimbulkan efek global warming sebesar hampir dua kali lipat per gallon bahan.

Cyclone
Bahan bakar di indonesia yang ketersediaan masih melimpah adalah batubara. Batu bara yang berupa bongkahan batu
sangat sulit untuk diaplikasikan langsung sebagai bahan bakar karena sulit dinyalakan, sulit dikendalikan,
mengeluarkan asap dan abu dan membutuhkan alat pembakaran yang khusus. Untuk mengatasi hal tersebut para
peneliti telah mengembangkan teknologi pengubahan batubara ke bentuk bahan bakar yang lebih baik dalam
penggunaannya. Salah satunya adalah dengan cara membuat batubara menjadi powder atau serbuk. Proses
pengubahan batubara menjadi serbuk atau tepung dilakukan dengan proses menghancurkan batubara dengan alat coal
pulverizer atau coal mill sampai mendapat ukuran serbuk batubara yang diinginkan.

Cyclo burner membakar batu bara dalam bentuk tepung -30 mes atau -0,5 mm. Proses pembakaran dalam silinder
dengan lining refraktori, batubara bersama udara pembakar dari blower masuk kedalam silinder secara tangensial,
berputar menyusur dinding yang bertemperatur 1100-1350C. Temperatur yang lebih tinggi dapat dicapai dengan
batubara berperingkat lebih tinggi. Intensitas pembakaran batubara dalam ruang siklon tinggi dapat menghasilkan
temperatur sampai 1400°C untuk batubara muda. Cyclo burner dapat menggantikan posisi burner BBM diberbagai
fasilitas industri : steam boiler,oil heater, heat exchanger,ketel galvanisasi,calciner,rotary kiln,annealing kiln.

Keunggulan dari penggunaan serbuk batubara sendiri adalah dapat menggunakan batubara peringkat rendah, cepat
start up dan shut down, effisiensi pembakaran tinggi (dibanding chain grate), lidah api dapat diarahkan dan mempunyai
biaya investasi rendah, materialnya yang berbentuk serbuk memudahkan untuk terbakar, akan tetapi untuk membakar
batubara serbuk diperlukan alat pembakar atau burner. Boiler kapasitas 2 ton uap/jam dengan konsumsi solar 160
liter/jam diganti dengan cyclo burner kapasitas 320 kg batubara/jam, penghematan 70%

Serbuk batubara memerlukan perlakuan khusus yaitu dengan proses pembakar siklon atau cyclo, prosesnya adalah
batubara ditiupkan bersama dengan udara pembakar secara tangensial, sehingga bubuk batubara berputar dan terbakar
dalam ruang siklon tersebut secara intensif disebabkan oleh tingkat turbulensi yang tinggi tercipta dalam ruang bakar
siklon sehingga terjadilah pembakaran yang sempurna.

Model burner ini berbentuk silinder, terbuat dari bahan lembaran plat yang dirol, disambung dengan feeder yang
berfungsi sebagai pengumpan batubara ke dalam ruang silinder dan blower sebagai pendorong batubara serbuk masuk
ke ruang silinder sekaligus sebagai pengumpan api yang keluar. Alat ini dirangkai menjadi satu pada posisi vertikal.

Prinsip kerjanya adalah serbuk batubara dialirkan melalui feeder kemudian ditiupkan bersama dengan udara pembakar
secara tangensial, sehingga serbuk batubara berputar dan terbakar dalam ruang silinder burner tersebut secara intensif
sebab tingkat turbulensi yang tinggi tercipta dalam ruang bakar. Dengan adanya api penyalaan awal yang ada didalam
burner serbuk batubara akan langsung menyala yang akhirnya menghasilkan panas.

Pada desain alat posisi feeder berada diatas dan dilengkapi dengan slide yang digunakan untuk mengatur masa serbuk
batubara yang keluar, sedangkan blower berada dibawah feeder dengan tujuan untuk menyemburkan serbuk batubara
yang keluar dari feeder masuk ke ruang burner.

KOKAS METALURGI

Coking coal adalah batubara yang digunakan dalam proses pembuatan coke atau kokas yang dipakai dalam
industri pembuatan baja dan besi. Istilah lain yang menjadi sinonim untuk coking coal adalah metallurgical coal. Coke
atau kokas sendiri adalah bahan keras yang memiliki porositas dan konsentrasi karbon tinggi yang dihasilkan dari
proses pemanasan batubara bituminous tanpa udara pada temperatur yang sangat tinggi (pirolisis). Coke dihasilkan
dengan memanaskan batubara di dalam coke oven pada keadaan reduksi. Seiring dengan bertambahnya temperatur,
batubara akan menjadi bersifat plastik, mengalami fusi secara bersamaan sebelum mengalami resolidifikasi menjadi
partikel coke. Ini dikenal sebagai proses caking. Produk yang dihasilkan, kokas, utamanya terdiri dari karbon. Satu
short ton batubara menghasilkan sekitar 1.400 pound kokas dan berbagai produk sampingan seperti tar batubara,
minyak ringan, dan amonia, yang disempurnakan untuk menghasilkan berbagai produk kimia. Sekitar 1.100 pound
kokas dikonsumsi untuk setiap short ton pig iron yang dihasilkan.

 Jenis-jenis kokas dapat dijabarkan sebagai berikut :

Green, Calcined Coke, Petroleum, Coal Derived Pitch Coke, Metallurgical Coke, Delayed Coke, Sponge Coke, Needle
Coke (Harry Marsh, 1989)

 Proses awal terjadinya kokas dari batubara

Proses pembuatan kokas dilakukan dengan memanaskan coking coal di dalam coke oven pada suhu 900 –
1100°C. Pada suhu 900°C, volatile matter mulai menguap jika dipanaskan di dalam tungku tertutup. Setelah volatile
matter menguap semua, bersamaan mulai terbentuk pula kokas yang stabil. Beberapa kandungan dalam batubara yang
mempengaruhi kualitas pembuatan kokas, diantaranya adalah kandungan sulfur, kandungan abu (ash) dan bentuk CSN
(crucible swelling number). Batubara dengan kadar sulfur tinggi mempunyai nilai jual yang rendah jika batubara
dipakai sebagai bahan bakar. Apabila dipakai sebagai kokas metalurgi pada pembuatan baja maka batubara dengan
sulfur yang tinggi akan menimbulkan masalah dengan keberadaan sulfur di dalam produk baja. Oleh karena itu,
berdasarkan standar kualitas batubara, kadar sulfur maksimal adalah 1%. Pada analisa kadar abu, semakin banyak
mineral yang terdapat di dalam batubara maka kadar abunya juga semakin tinggi. Mineral matter tersebut akan
mempengaruhi proses karbonisasi batubara sehingga kadarnya di dalam batubara maksimal 12%. Selain itu,
kemampuan swelling yaitu kemampuan batubara untuk memuai juga mempengaruhi kualitas batubara.

Berdasarkan prosesnya karbonisasi dibagi atas:

1. Karbonisasi Suhu Rendah Mula-mula dikembangkan sebagai proses untuk mensuplai gas untuk tujuan
penerangan dan menghasilkan bahan bakar yang tidak berasap. Karbonisasi suhu rendah berkisar antara
500°C – 700°C.
2. Karbonisasi Suhu Tinggi Proses karbonisasi terjadi pada peruraian suhu 750°C – 1500°C.Hasil dari peruraian
suhu tersebut adalah kokas. Kokas adalah bahan bakar untuk tanur dan sebagai bahan pereduksi. Produk
utama yang dihasilkan dari proses karbonisasi, antara lain: 1. Kokas 2. Tar (organik) 3. Gas (penerangan
jalan) 4. Cairan (hidrokarbon cair)

 Kegunaan kokas adalah dalam proses peleburan besi adalah sebagai berikut:

1. Sebagai bahan bakar untuk memproduksi energi panas supaya berlangsungnya reaksi kimia dalam proses
peleburan.
2. Sebagai agen pereduksi untuk penyedia gas carbon monoksida (CO) pada proses mereduksi biji besi (iron
ore) menjadi besi murni (pig iron).
3. Sebagai tempat tumpuan untuk proses pemisahan antara besi cair (hot metal) dengan abu cair (slug).

 Kelebihan Kokas
1. penyedia energi yang baik dalam bentuk panas dan penyedia gas karbon monoksida sebagai agen pereduksi
biji besi dalam proses peleburan besi
2. Digunakan sebagai bahan bukan untuk bahan bakar, tetapi untuk bahan dalam proses pengecoran.

 Kekurangan Kokas
1. Menimbulkan polusi
2. Tingkat panas yang tinggi harus dikendalikan sehingga batubara tidak pecah dan hancur akibat batubara
mengalami pertambahan atau penyusutan volume. Batubara

Pirolisis

Pirolisis batubara merupakan salah satu proses penting pada teknologi konversi 2 batubara. Pirolisis batubara
pada dasarnya adalah proses pemanasan batubara dengan suhu meningkat dengan tanpa adanya atau sedikit udara atau
reagen lainnya yang tidak memungkinkan terjadinya reaksi gasifikasi. Selama proses pirolisis terjadi, batubara akan
terdekomposisi dan menghasilkan condensable gases yang disebut dengan tar, non-condensable gases yang disebut
dengan gas dan padatan mikrokristalin yang disebut dengan char. Produk hasil pirolisis batubara tidak hanya
menghasilkan energi yang bersih tetapi juga dapat digunakan sebagai bahan baku untuk industri kimia. Produk
pirolisis batubara yang berpotensi besar sebagai bahan baku industri kimia adalah char dan tar (Kabe dkk., 2004;
Riegel dan Kent, 2003).

Char adalah produk hasil pirolisis batubara yang berbentuk padat. Batubara bituminus merupakan jenis
batubara dengan kualitas baik yang tergolong ke dalam jenis coking coal/metallurgical coal yang apabila dipirolisis
akan menghasilkan char yang memiliki struktur kohern yang sering disebut dengan kokas metalurgi. Kokas metalurgi
digunakan sebagai bahan bakar dan agen pereduksi dalam produksi baja, besi, fosfor, kalsium karbida, elektroda
karbon dan beberapa industri lainnya. Selanjutnya apabila kokas ini digasifikasi, akan menghasilkan syngas yang
merupakan bahan baku industri petrokimia. Tar adalah produk hasil pirolisis batubara yang berbentuk cair. Tar dapat
digunakan sebagai bahan baku industri kimia seperti karet sintesis, polimer, obatobatan, pelarut, grafit dan coating.
Tar hasil pirolisis batubara juga merupakan 3 sumber senyawa benzen dan turunannya yang sangat penting seperti
naftalen yang merupakan bahan dasar industri polimer seperti plastik. Sejumlah proses baru terus dikembangkan
untuk menghasilkan tidak hanya hasil char dan tar yang optimum, tetapi juga gas yang dihasilkan. Kokas metalurgi
pada dasarnya adalah char hasil pirolisis batubara jenis bituminus pada suhu rendah (773-973 K) dan waktu tinggal
fase uap lama. Proses pembuatan kokas dengan metode pirolisis seperti ini disebut dengan karbonisasi. Pirolisis
batubara bituminus akan menghasilkan hasil char dan tar yang tinggi dengan hasil gas yang rendah (Cortes dkk.,
2009).

Meskipun demikian, telah dilakukan beberapa modifikasi pada proses karbonisasi dengan tujuan tertentu.
Wang dkk. (2010) menambahkan katalisator Ca(OH)2 pada pirolisis batubara bituminus Australian Newlands untuk
menghasilkan char yang selanjutnya akan dijadikan bahan baku pada proses gasifikasi. Penambahan katalisator pada
proses pirolisis akan meningkatkan reaktivitas char yang akan sangat berpengaruh pada efisiensi gasifier. Pada
Gasifier jenis fluidized-bed, reaktivitas char yang tinggi berarti konversi karbon sebelum meninggalkan bed tinggi,
sirkulasi yang diperlukan untuk mencapai konversi tinggi menjadi lebih sedikit, dan konversi tinggi berarti volume
gasifier yang diperlukan lebih kecil (Jamil dan Li, 2006). Penambahan katalisator Ca(OH)2 pada proses pirolisis juga
diharapkan akan menurunkan kandungan sulfur pada produk hasil pirolisis (Guan dkk., 2003; Liu dkk., 2012). 4
Proses pirolisis juga dapat dilakukan dengan penambahan gas, baik gas inert atau gas pereaksi dengan tujuan tertentu.
Penambahan gas inert seperti N2 pada proses pirolisis akan meningkatkan porositas pada char sehingga char yang
dihasilkan lebih reaktif (Gale dkk., 1994). Pirolisis dengan penambahan gas pereaksi seperti H2 akan meningkatkan
kemungkinan terjadinya reaksi sekunder pada char dan menghasilkan gas dengan komposisi utama metana dan etana
(Mill, 2000).

Penelitian untuk mempelajari detail kinetika reaksi pirolisis batubara diantaranya dilakukan oleh Pitt
(Gavalas, 1982) yang mempelajari kinetika pirolisis batubara bituminus dan menyatakan pada pirolisis batubara terjadi
reaksi unimolekular yang mengikuti reaksi orde satu dengan nilai faktor frekuensi tumbukan yang sama. Anthony dan
Howard (1976) melakukan penelitian pirolisis dengan menggunakan batubara jenis bituminus Pittsburgh Seam dan
lignit Montana. Anthony dan Howard (1976) mengembangkan dan menyederhanakan model kinetika reaksi yang
diajukan oleh Pitt dan menyatakan bahwa energi aktivasi terdistribusi antara E sampai E+dE yang didekati dengan
pendekatan distribusi Gauss atau yang lebih dikenal dengan model distribusi energi aktivasi (Distributed Activation
Energy Model, DAEM). Model lain yang juga umum digunakan dalam mempelajari kinetika pirolisis batubara adalah
model gugus fungsional (Functional Group Model, FG) yang diantaranya diajukan oleh Solomon dkk. (1987a) dan
Serio dkk. (1987). Model FG didasarkan pada asumsi bahwa gas fraksi ringan yang terbentuk selama proses pirolisis,
dihasilkan dari dekomposisi beberapa gugus fungsional dengan reaksi 5 paralel orde satu. Model DAEM dan FG
adalah model umum yang digunakan dalam mempelajari kinetika reaksi pirolisis batubara.

Pembakaran langsung batubara tersebut banyak efek negatifnya, karena kurang aman bagi lingkungan, oleh
karena itu perlu dikembangkan usaha-usaha melalui penelitian untuk meningkatkan nilai guna dan nilai ekonomis
yang tinggi dengan jalan

Linda Suyati, Dkk.: Perengkahan Produk Cair Batubara dengan Katalis NI/Zeolit

JSKA.Vol.X.No.1.April 2007

Mengolah batubara menjadi bahan yang mudah dalam pengangkutan, mudah dalam penggunaannya dan
aman bagi lingkungannya. Salah satu cara untuk mendapatkan batubara yang diinginkan adalah dengan pirolisis yaitu
thermal cracking tanpa adanya oksigen1) . Hasil utama dari pirolisis adalah gas, cairan ( tir batubara) dan residu
(arang).Tir batubara berwarna hitam kecoklatcoklatan dan pada suhu kamar kental. Berat molekul rerata tir batubara
antara 200 sampai 1200 terdiri dari hidrokarbon rantai panjang, oleh karena itu perlu dipecah lagi menjadi rantai yang
lebih pendek untuk mendapatkan senyawa karbon fasa cair dengan fraksi yang lebih ringan 7) . Menurut Vigouroux
(2001), produk pirolisis berupa senyawa-senyawa dengan rantai yang bervariasi. Pemecahan rantai panjang produk
pirolisis menjadi rantai yang lebih pendek dapat dilakukan melaui proses perengkahan katalitik. Zeolit merupakan
katalis yang baik,karena mempunyai pori atau saluran yang besar dan memiliki luas permukaan besar serta tingkat
keasaman yang cukup tinggi 1) Dalam industri pengolahan minyak bumi dan petrokimia, zeolit digunakan sebagai
katalis asam dalam perengkahan. Mengingat zeolit alam sangat melimpah dan murah, maka penggunaannya sebagai
katalis dapat menurunkan biaya produksi 8) . Zeolit memiliki ukuran pori tertentu yang selektif pada proses katalitik.
Pori berperan dalam modifikasi molekul. Molekul yang melebihi ukuran pori akan mengalami perengkahan. Molekul
hidrokarbon yang dapat melalui pori zeolit berkisar antara C5 sampai C10 3) Penelitian yang dilakukan oleh Rokhati
(1999) dengan memakai katalis zeolit yang tadinya reaksi berlangsung pada temperatur tinggi tetapi dengan katalis
proses reaksi bisa berlangsung pada temperatur yang lebih rendah. Dalam penelitian ini dipakai katalis nikel yang
diembankan pada zeolite

Pirolisis merupakan suatu proses dekomposisi material organic dengan panas tanpa mengandung oksigen.
Bila oksigen ada pada suatu reactor pirolisis maka akan bereaksi dengan material sehingga membentuk abu(ash).
Untuk menghilangkan oksigen, pada proses pirolisis biasanaya di bantuk oleh aliran gasn inner sebgai fungsi untuk
mengikat oksigen dan mengeluarkan dari reactor. Produk pirolisis berupa gas, fluida carir dan padat berupa carbon
dan abu. (Septa, 2009)

Pirolisis terbagi 2, yaitu :


1. Pirolisis primer
Pirolisis primer adalah proses pembentukan arang yang terjadi pada suhu 150oC – 300oC. Proses pengarangan ini
terjadi karena adanya energi panas yang mendorong terjadinya oksidasi sehingga molekul karbon yang komplek
terurai sebagian besar menjadi karbon atau arang.

2. Pirolisis sekunder
Pirolisis sekunder adalah proses perubahan arang / karbon lebih lanjut menjadi karbon monoksida, gas hydrogen dan
gas – gas hidrokarbon

Pirolisis atau devolatilisasi disebut juga sebagai gasifikasi parsial. Suatu rangkaian proses fisik dan kimia terjadi
selama proses pirolisis yang dimulai secara lambat pada T < 100 °C dan terjadi secara cepat pada T > 200 °C.
Komposisi produk yang tersusun merupakan fungsi temperatur, tekanan, dan komposisi gas selama pirolisis
berlangsung. Proses pirolisis dimulai pada temperatur sekitar 230 °C, ketika komponen yang tidak stabil secara
termal, seperti volatile matters pada batubara, pecah dan menguap bersamaan dengan komponen lainnya. Produk
cair yang menguap mengandung tar dan PAH (polyaromatic hydrocarbon). Produk pirolisis umumnya terdiri dari
tiga jenis, yaitu gas ringan (H2, CO, CO2, H2O, dan CH4), tar, dan arang.

REAKSI-REAKSI PIROLISIS
Pada 1847 kimiawan Jerman Hermann Kolbe mensintesis asam asetat dari zat anorganik untuk pertama kalinya.
Reaksi kimia yang dilakukan adalah klorinasi karbon disulfida menjadi karbon tetraklorida, diikuti dengan pirolisis
menjadi tetrakloroetilena dan klorinasi dalam air menjadi asam trikloroasetat, dan akhirnya reduksi melalui
elektrolisis menjadi asam asetat. (Anonim a,2009)

Monosodium glutamate (MSG) atau sering dikenal di masyarakat sebagai vetsin sampai sekarang masih saja
dipertanyakan orang tentang keamananya untuk kesehatan. Sebagian orang meski ragu-ragu, memilih tidak
menggunakannya daripada terjadi hal yang tidak diinginkan. Sebagian lagi mencoba mengurangi pemakaiannya.
Apa sebetulnya MSG itu dan sejauh mana keamanannya bagi tubuh manusia?

Bisa jadi pendapat MSG menimbulkan kanker betul adanya kalau kita melihatnya dari sudut pandang berikut.
Glutamat dapat membentuk pirolisis akibat pemanasan dengan suhu tinggi dan dalam waktu lama. Pirolisis ini
disebut-sebut sangat karsinogenik.
Masakan protein lain yang tidak ditambah MSG pun, menurut pakar, bisa juga membentuk senyawa karsinogenik
bila dipanaskan dengan suhu tinggi dan dalam waktu yang lama.Karena asam amino penyusun protein, seperti
triptopan, penilalanin, lisin, dan metionin juga dapat mengalami pirolisis. (Anonim b, 2008)
Dinitrogen monoksida, N2O. Oksida monovalen nitrogen. Pirolisis amonium nitrat akan menghasilkan oksida ini
melalui reaksi:

NH4NO3 → N2O + 2 H2O (pemanasan pada 250° C).

Walaupun bilangan oksidasi hanya formalitas, merupakan hal yang menarik dan simbolik bagaimana bilangan
oksidasi nitrogen berubah dalam NH4NO3 membentuk monovalen nitrogen oksida (+1 adalah rata-rata dari -3 dan
+5 bilangan oksidasi N dalam NH4+ dan NO3-). Jarak ikatan N-N-O dalam N2O adalah 112 pm (N-N) dan 118 pm
(N-O), masing-masing berkaitan dengan orde ikatan 2.5 dan 1.5. N2O (16e) isoelektronik dengan CO2 (16 e).
Senyawa ini digunakan secara meluas untuk analgesik. (Saito,2009)

Kelebihan proses pirolisis / pirolisa


1. Tekanan bisa rendah atau keadaan atmosFir biasa
2. Tidak memerlukan tambahan hydrogen atau bahan kimia terhadap kecuali pada hidrokarbonisasi
3. Peralatannya sederhana dan murah

Kerugian proses pirolisa / pirolisis dalam menghasilkan Bahan Bakar cair:


1. Hanya 1/3 jumlah batubara umpan berubah menjadi liquid
2. Kebanyakan liquid yang dihasilkan adalah heavy oil dan secara komersial untuk pengembangan lebih lanjut tidak
ekonois dalam memisahkan char dan abu
3. Char yang dihasilkan sulit mendapatkan pemasarannya dan sukar ditransporkan dan akan lebih menguntungkan
bial unit gasifikasi merupakan integrated unit dengan likuifaksi
4. Liquid yang dihasilkan memerlukan pengolahan

Karbon Aktif

Karbon aktif dapat dibuat dari bahan yang mengandung karbon, baik dari tumbuh-tumbuhan, hewan, maupun
barang tambang. Bahan dari tumbuhan yang cukup bagus dijadikan karbon aktif antara lain kulit singkong (Santoso
dkk., 2014), bonggol jagung manis (Komariah dkk., 2013), tempurung kelapa (Pujiyanto, 2010; Pambayun dkk.,2013),
biji salak (Turmuzi dan Syahputra, 2015), kulit jeruk (Erprihana dan Hartanto, 2014), dan pelepah aren (Esterlita
dan Herlina, 2015). Karbon aktif juga dapat dibuat dari tanah gambut (Anjoko, dkk., 2014).

Karbon aktif adalah suatu material karbon amorf yang memiliki luas permukaan antara 300-2000 m2/gram .
Luas permukaan yang besar ini terdapat dalam struktur pori-pori yang memiliki kemampuan untuk mengadsorpsi gas,
uap, ataupun material yang terlarut dan atau terdispersi dalam cairan (Kirk Otmer, 1972).

Salah satu bahan karbon aktif yang jumlahnya banyak adalah batubara. Batubara sebagai barang tambang
sangat berpotensi untuk diolah menjadi karbon aktif dengan proses produksi yang lebih mudah dan ketersediaan
bahan yang masih melimpah. Total sumber daya batubara di Indonesia diperkirakan mencapai 105 miliar ton,dimana
cadangan batu bara diperkirakan 21 miliar ton (ESDM, 2011). Berdasarkan UU Pertambangan Mineral dan Batubara
(Minerba) Nomor 4 Tahun 2009 pasal 102-103, pemilik IUP (Ijin Usaha Pertambangan) dan IUPK (Ijin Usaha
Pertambangan Khusus) mempunyai kewajiban untuk meningkatkan nilai ekonomis batubara pada proses
penambangan dan pengolahan. Batubara bituminus sangat berpotensi dimanfaatkan menjadi karbon aktif karena
mempunyai kandungan fixed karbon cukup tinggi, yaitu sekitar 54-86% (Kirk dan Othmer, 1980).

Bentuk Karbon Aktif ada 3 (tiga jenis) yaitu:

1. Serbuk = 0,18 mm
2. Granular = 0,2 -5 mm
3. Pellet = 0,8-5 mm

Tabel 1. Persyaratan karbon aktif berdasarkan standar nasional Indonesia (SNI) 06-3730-1995 (BSN, 1995)

Jenis Persyaratan Parameter


Kadar air Maksimum 15%
Kadar Abu Maksimum 10%
Kadar Zat menguap Maksimum 25%
Kadar Karbon terikat Minimum 65%
Bilangan Iodin Minimum 750 mg/g
Daya Serap terhadap Larutan Minimum 25%

Penelitian pembuatan karbon aktif dari batubara jenis lignit dengan reagen NaOH 5% berat menghasilkan
karbon aktif yang sudah memenuhi standar SII No.0258-79 untuk kadar air, bagian yang hilang pada pemanasan
950oC, dan daya serap iod (Rahim dan Indriyani, 2010). Penelitian lain adalah pembuatan karbon aktif dari batubara
dengan reagen H2O2 0,2 N. Penelitian ini menghasilkan karbon aktif yang bisa menyerap logam Cu2+ dalam air limbah
sebesar 64,60-88,89% dan Ag+ sebesar 69,97-87,55% (Kusmiyati dkk., 2012).

Tinjauan Pustaka

Proses Pembuatan Karbon Aktif dari Batubara

1. Tahap Oksidasi
Tahap oksidasi adalah tahap yang sangat menentukan dalam pembentukan struktur pori-pori pada pembuatan karbon
aktif. Tahap ini dilakukan pada temperatur 200-300 oC dengan dialiri udara selama 1-4 hari (Pis dkk, 1998).

2. Tahap Karbonisasi
Salah satu tahap dalam proses pembuatan karbon aktif adalah karbonisasi bahan dasar, yaitu proses dekomposisi
termal dengan menggunakan gas pirolisis. Pada tahap karbonisasi zat-zat volatil dihilangkan. Hidrogen, oksigen, dan
hidrokarbon yang tidak terorganisir akan menguap karena dekomposisi pirolisis bahan baku. Proses karbonisasi ini
dipengaruhi oleh temperatur dan lama waktu peresapan, serta karakter dari bahan baku (Edward dan Cook, 1972).

Proses karbonisasi adalah pembakaran bahan baku menggunakan udara terbatas dengan temperatur antara 300 sampai
600oC. Proses ini menyebabkan terjadinya penguraian senyawa organik yang menyusun struktur bahan membentuk
metanol, uap asam asetat, tar, dan hidrokarbon. Material padat yang tertinggal setelah proses karbonisasi adalah karbon
dalam bentuk arang dengan permukaan spesifik yang sempit.

3. Tahap Aktivasi
Dasar dari proses aktivasi adalah memperbesar ukuran pori-pori yang telah terbentuk pada tahap karbonisasi, serta
pembentukan pori-pori baru. Proses aktivasi dibagi menjadi dua tahapan. Tahap pertama adalah menghilangkan
karbon yang tidak terorganisasi, dan sisa tar yang ada dalam pori-pori yang tidak hilang pada tahap karbonisasi karena
temperatur yang rendah. Karbon yang tidak terorganisasi dan tar terdevolatilisasi bersama dengan gas pengaktif
sehingga permukaan karbon aromatik (permukaan luar dan permukaan pori-pori) bisa kontak langsung dengan gas
pengaktif.

Adapun kelebihan dari karbon aktif batubara adalah :

1. Pada pengolahan air untuk penjernihan dan mengurangi kesadahan dengan menyerap bau, rasa, warna,
kaporit, kapur (CaCO3), logam berat
2. Pada pengolahan emas untuk menyerap konsentrasi emas (ore) dalam bentuk Carbon in pulp (CIP), Carbon
in Leach (CIL), Carbon in Clear Solution (CIC) biasanya dari batok kelapa mesh 8-25
3. Pada pemurnian gas dengan menyerap belerang, gas beracun, bau busuk, asap dan pencegahan racun.
4. Pada pengolahan limbah untuk menyerap Bahan Beracun Berbahaya (B3) yaitu menyerap sianida yang
terdapat pada limbah industri serat sintetik (akrilonitril), petrokimia, baja, pertambangan dan pelapisan logam
(electroplating) dengan cara merendam karbon aktif dengan larutan Cu2+ (0,5%) yang menghasilkan daya
serap sianida menjadi 82% dalam waktu 2jam.
5. Untuk menyerap logam berat Raksa/Hg, Cadmium/Cd, Plumbum/Pb/Timbal, Cromium/Cr penyebab sakit
kanker
6. Penyegar/pembersih udara ruangan dari kandungan uap air/gas berbau/beracun, seperti pada mobil, kamar
pendingin, botol obat-obatan serta peralatan-peralatan yang harus sdilindungi dari proses perkaratan.
7. Pada industri obat dan makanan sebagai penyaring, penghilang warna, bau dan rasa tidak enak pada makanan.
8. Pada bidang perminyakan dipakai sebagai bahan penyulingan bahan mentah dan zat perantara

Sedangkan kelemahan dari karbon aktif yaitu:

1. Karbon aktif yang apabila tercampur dengan lumpur sulit untuk diregenerasi sehingga biaya operasional
mahal.
2. Memerlukan tambahan unit pengolah, yaitu unit filter yang berupa penyaring seperti kertas saring.
3. Dalam pembuatan karbon aktif dalam prosesnya harus diaktivasi terlebih dahulu.

Anda mungkin juga menyukai