Coal To Liquid Technology (CTL) merupakan salah satu bagian dari Coal Conversion
Technology (CCT) yang bertujuan untuk memanfaatkan nilai guna batubara sebagai bahan
bakar. Seperti yang sudah diketahui bersama bahwa batubara merupakan sumber bahan bakar
selain minyak bumi dan gas alam yang tak dapat terbarukan (non renewable resources).
Namun, berbeda dengan minyak bumi dan gas alam, batubara tersebar merata di seluruh
dunia dalam cadangan yang cukup besar. Sehingga batubara dimanfaatkan sebagai sumber
bahan bakar fosil utama oleh beberapa negara yang miskin sumber daya minyak/gas tetapi
memiliki cadangan batubara yang melimpah seperti China, Amerika Serikat, Jepang, bahkan
Afrika Selatan.
Permasalahan utama dalam penggunaan batubara adalah bahwa batubara merupakan bahan
bakar padat, dan membutuhkan penyalaan awal agar bisa dimanfaatkan sebagai sumber
energi langsung. Selain itu, batubara juga memiliki masalah lain seperti membutuhkan tempat
penyimpanan (stockpile) khusus setelah ditambang karena batubara memiliki sifat reaktif jika
dibiarkan di tempat terbuka dalam waktu yang lama, dan akan segera terbakar dengan
sendirinya (dikarenakan adanya volatile matters), belum lagi permasalahan transportasi yang
membutuhkan penanganan khusus.
1. sumber energi langsung, yaitu dengan cara langsung membakarnya dan mengambil energi
panasnya (seperti di PLTU, dan Industri semen)
2. sumber energi tidak langsung, yaitu dengan cara mengubah batubara ke dalam bentuk/fasa
lain seperti
3. non energi:
Saat ini, terutama di Indonesia, batubara dimanfaatkan sebagai bahan bakar di PLTU, industri
semen, briket batubara, serta pembuatan kokas metalurgi. Padahal, masih tersedia ruang
pemanfaatan lain bagi batubara. Salah satunya adalah batubara cair, dengan proses likuifaksi
Likuifaksi Batubara adalah suatu teknologi proses yang mengubah batubara dan
menghasilkan bahan bakar cair sintetis. Batubara yang berupa padatan diuah menjadi bentuk
cair dengan cara mereaksikannya dengan hidrogen pada temperatur dan tekanan tinggi.
Prinsipnya secara sederhana yaitu mengubah batubara ke dalam bentuk gas terlebih dahulu
untuk kemudian membentuk Syngas (campuran gas CO dan H2). Syngas kemudian
dikondensasikan oleh katalis (proses Fischer-Tropsch) untuk menghasilkan produk ultra
bersih yang memiliki kualitas tinggi.
Gambar 1. Dua konfigurasi proses dasar untuk produksi bahan bakar cair denganIndirect
Liquefaction Process
Secara kimiawi proses akan mengubah bentuk hidrokarbon batubara dari kompleks menjadi
rantai panjang seperti pada minyak. Atau dengan kata lain, batubara terkonversi menjadi
liquid melalui pemutusan ikatan C-C dan C-heteroatom secara termolitik atau hidrolitik
(thermolytic and hydrolytic cleavage), sehingga melepaskan molekul-molekul CO2, H2S,
NH3, dan H2O. Untuk itu rantai atau cincin aromatik hidrokarbonnya harus dipotong dengan
cara dekomposisi panas pada temperatur tinggi (thermal decomposition). Setelah dipotong,
masing-masing potongan pada rantai hidrokarbon tadi akan menjadi bebas dan sangat aktif
(free-radical). Supaya radikal bebas itu tidak bergabung dengan radikal bebas lainnya (terjadi
reaksi repolimerisasi) membentuk material dengan berat molekul tinggi dan insoluble, perlu
adanya pengikat atau stabilisator, biasanya berupa gas hidrogen. Hidrogen bisa didapat
melalui tiga cara yaitu: transfer hidrogen dari pelarut, reaksi dengan fresh hidrogen,
rearrangement terhadap hidrogen yang ada di dalam batubara, dan menggunakan katalis yang
dapat menjembatani reaksi antara gas hidrogen dan slurry (batubara dan pelarut).
Negara yang telah mengembangkan teknologi Direct Liquefaction Process adalah Jepang,
Amerka Serikat dan Jerman. Bagi Indonesia, teknik konversi likuifaksi batubara secara
langsung (Direct Liquefaction Process) dinilai lebih menguntungkan untuk saat ini. Selain
prosesnya yang lebih sederhana, likuifaksi relatif lebih murah dan lebih bersih dibanding
teknik gasifikasi. Teknik ini juga cocok untuk batubara peringkat rendah (lignit), yang
banyak terdapat di Indonesia.
· Tidak memerlukan batubara dengan spesifikasi tertentu. Batubara yang digunakan bisa
dari low grade sub-bituminous sampai low grade bituminous.
· Yield Ratio bisa mencapai 54% berat, lebih besar dari medium atau light oil
· Temperatur standar reaksi adalah 450°C dan Tekanan standar 170 kg/cm2G
· Sebagai pemisah antara fasa cair-gas, digunakan sistem distilasi pengurang tekanan.
Proses NEDOL
· Slurry dibuat dengan mencampurkan 1 bagian batubara dengan 1.5 bagian pelarut,lalu
ditambahkan 3% katalis yang mengandung besi (ferrous catalyst)
· Reaksi likuifaksi terjadi dalam kolom reaktor berjenis suspension bed foaming pada
kondisi standar (Temperatur 450°C, Tekanan 170 kg/cm2G)
· Batubara dikonversi menjadi bentuk cair oleh reaksi antara hidrogen dan pelarut.
· Setelah melewati pemisah fase gas-cair, kolom distilasi bertekanan normal, dan kolom
distilasi isap, batubara cair dipisahkan menjadi naphta, medium oil, heavy oil, dan residu.
· Distilat medium oil dan heavy oil dipindahkan ke kolom reaksi berjenis fixed bed yang
berisi katalis Ni-Mo. Pada kolom reaksi ini, distilat dikonversikan menjadi distilat ringan
pada Temperatur 320°C dan Tekanan 100 kg/cm2G, dan digunakan kembali dalam reaksi
sebagai pelarut (solvent)
Gambar 4
Proses pada Brown Coal Liquefaction, secara umum terdiri atas 3 proses, yaitu: Coal
Pretreatment Process, Slurry Preheating Process, Primary hydrogenation process dan
Secondary hydrogenation process.
· Pretreatment Process merupakan proses peremukan raw brown coal, pengeringan, dan
pembuatan Slurry. Slurry dibuat dengan mencampurkan 1 bagian batubara brown coal
dengan 2.5 bagian pelarut, lalu ditambahkan katalis yang mengandung besi (iron catalyst).
Lalu Slurry diproses ke preheating process.
· Produk yang dihasilkan dikirim ke kolom distilasi dan didistilasi menjadi naphta, light
oil dan medium oil.
· Kolom distilasi bawah yang mengandung padatan dialirkan menuju kolom pemisah
padatan-cairan pada proses pengeringan pelarut. Distilat cair kemudian dibawa ke proses
Secondary hydrogenation dan padatan dibuang.
· Reaktor jenis fixed bed yang diisi katalis Ni-Mo agar proses hidrogenasi dapat terjadi
pada temperatur 300-400°C dan tekanan 150-200 kg/cm2G.
· Kemudian dilakukan distilasi kembali agar dapat dipisahkan menjadi nephta, light
distillate dan medium distillate.
· Setelah proses selesai, dihasilkan 3 barrel batubara cair dari 1 ton batubara brown coal
kering
Gambar 5
3. Batubara yang diturunkan adalah bahan bakar bebas sulfur, rendah partikulat, dan
rendah oksida nitrogen.
4. Bahan bakar cair dari batubara merupakan bahan bakar olahan yang ultra-bersih, dapat
mengurangi risiko kesehatan dari polusi udara dalam ruangan
Dalam penggunaannya, batubara cair sebagai bahan bakar alternatif dinilai dapat:
2. Menimbulkan efek global warming sebesar hampir dua kali lipat per gallon bahan
bakar.
Produksi batubara cair membutuhkan batubara dan energi dalam jumlah yang besar. Proses
ini juga dinilai tidak efisien. Faktanya, 1 ton batubara hanya dapat dikonversi menjadi 2-3
barel bensin. Proses konversi yang tidak efisien, sifat batubara yang kotor, dan kebutuhan
energi dalam jumlah yang besar tersebut menyebabkan batubara cair menghasilkan hampir
dua kali lipat emisi penyebab global warming dibandingkan dengan bensin biasa. Walaupun
karbon yang terlepas selama produksi ditangkap dan disimpan, batubara cair tetap akan
melepaskan 4 hingga 8 persen polusi global warming lebih banyak dibandingkan dengan
bensin biasa.
SASOL CTL
Proses likuifaksi batubara yang dilakukan oleh Afrika Selatan merupakan proses pencairan
batubara yang telah dikenal sejak dimulainya perang dunia pada awal abad ke-20. Di samping
itu, terdapat metode lain dalam pencairan batubara yaitu secara biologis yang dikenal dengan
biosolubilisasi. Teknologi yang relatif baru dan masih dalam tahap pengembangan ini
menggelitik Dr. Pingkan Aditiwati (Dosen Progam Studi Biologi, Sekolah Ilmu dan
Teknologi Hayati), Dr. Dwiwahju Sasongko, Ph.D (Dosen Progam Studi Teknik Kimia,
Fakultas Teknologi Insutri), dan Dr. Dea Indriani (Dosen Progam Studi Biologi, Sekolah
Ilmu dan Teknologi Hayati) untuk melakukan penelitian terkait. Menurut Pingkan, penelitian
batubara dari segi biologis masih jarang dilakukan karena selama ini penelitian mengenai
batubara lebih banyak terfokus pada konversi termal, seperti pirolisis, likuifaksi, gasifikasi,
dan pembakaran. Teknologi biosolubilisasi ini dinilai memiliki beberapa sisi yang
menguntungkan, seperti lebih ramah lingkungan, lebih murah, dan tidak banyak
membutuhkan energi eksternal karena kondisi operasi yang lebih lunak (pada tekanan dan
temperatur ruang) berbeda dengan proses konversi termal yang pada umumnya dilakukan
pada tekanan dan tempertur yang tinggi sehingga kebutuhan energi lebih tinggi.
Berawal dari penelitian biodesulfurisasi (menguraikan sulfur pada batubara) yang dilakukan
oleh mahasiswa doktoral dibawah bimbingan Dr. Pingkan, penelitian berlanjut pada
pencairan batubara dengan menggunakan organisme. Diawali dengan pengidentifikasian jenis
organisme pada batubara dengan melakukan isolasi pada beberapa sampel batubara yang
berada pada lapisan yang berbeda, kemudian dilakukan pengurutan DNA sehingga diperoleh
informasi genetik dari organisme yang terdapat pada batubara. Berangkat dari informasi
tersebut, dikembangkan organisme yang cocok untuk proses pencairan batubara secara
biologis ini, salah satu organisme yang memiliki potensi tinggi dalam biosolubilisasi batubara
adalah jamur Trichoderma sp.
Dalam proses pencairan batubara ini terdapat dua metode yaitu submerged (dalam fasa cair)
dan solid state(dalam fasa padat). Pada awalnya dipilih metode submerged dimana batubara
dihaluskan hingga berukuran 200-400 mesh kemudian didegradasi oleh jamur dengan air atau
larutan sebagai mediumnya. Pada prosesnya, metode ini memiliki kesulitan pada saat
pemisahan air dan pengotor lainnya. Terlebih, ketika telah diterapkan dalam skala besar,
proses pemisahan ini tidak lagi efisien. Sementara itu, metode solid state dilakukan hanya
dengan menaburkan jamur pada batubara yang telah dihaluskan. Metode ini dirasa lebih
efisien dari submerged, oleh karenanya diputuskan akan dilakukannya pengembangan lebih
lanjut biosolubilisasi batubara dengan metode fermentasi solid state. Hasil utama dari proses
biologis ini adalah asam humat yang kemudian dapat difraksinasi sehingga dapat diperoleh
fraksi-fraksi yang setara dengan bahan bakar cair, seperti bensin, solar, dan sebagainya.
Selain itu, dilakukan pula penelitian mengenai perlakuan batubara sebelum proses
biosolubilisasi dengan cara meradiasikan batubara agar ikatan-ikatan kompleksnya
terdegradasi sehingga proses degradasi oleh organisme nantinya akan lebih mudah. "Cita-cita
saya kedepannya, proses biosolubilisasi ini nantinya dapat diaplikasikan langsung dalam
tambang batubara atau in situ sehingga dapat diperoleh bahan bakar cair dari tambang
batubara", ungkap Sasongko.
2.12.10
Likuifikasi adalah pengubah batubara padat menjadi bahan bakar cair. proses pencairan
(liquefaction) ini dibedakan antara proses yang indirect coal liquefaction (tidak langsung) dan
direct coal liquefaction (langsung).
A. Perkembangan Teknologi Liquifikasi
Pengembangan produksi bahan bakar sintetis berbasis batu bara pertama kali dilakukan di
Jerman tahun 1900-an dengan menggunakan proses sintesis Fischer-Tropsch yang
dikembangkan Franz Fisher dan Hans Tropsch. Pada 1930, disamping menggunakan metode
proses sintesis Fischer-Tropsch, mulai dikembangkan pula proses Bergius untuk
memproduksi bahan bakar sintesis. Sementara itu, Jepang juga melakukan inisiatif
pengembangan teknologi pencairan batubara melalui proyek Sunshine tahun 1974 sebagai
pengembangan alternatif energi pengganti minyak bumi.
Pada 1983, NEDO (the New Energy Development Organization), organisasi yang
memfokuskan diri dalam pengembangan teknologi untuk menghasilkan energi baru juga
berhasil mengembangkan suatu teknologi pencairan batubara bituminous dengan
menggunakan tiga proses, yaitu solvolysis system, solvent extraction system dan direct
hydrogenation to liquefy bituminous coal.
Cadangan batubara di dunia pada umumnya tidak berkualitas baik, bahkan setengahnya
merupakan batubara dengan kualitas rendah, seperti: sub-bituminous coal dan brown coal.
Kedua jenis batubara tersebut lebih banyak didominasi oleh kandungan air. Peneliti Jepang
kemudian mulai mengembangkan teknologi untuk menjawab tantangan ini agar
kelangsungan energi di Jepang tetap terjamin, yaitu dengan mengubah kualitas batubara yang
rendah menjadi produk yang berguna secara ekonomis dan dapat menghasilkan bahan bakar
berkualitas serta ramah lingkungan. Dikembangkanlah proses pencairan batubara dengan
nama Brown Coal Liquefaction Technology (BCL).
Pencairan batubara metode langsung atau dikenal dengan Direct Coal Liquefaction-DCL,
dikembangkan cukup banyak oleh negara Jerman dalam menyediakan bahan bakar pesawat
terbang. Proses ini dikenal dengan Bergius Process, baru mengalami perkembangan lanjutan
setelah perang dunia kedua.
DCL adalah proses hydro-craacking dengan bantuan katalisator. Prinsip dasar dari DCL
adalah meng-introduksi-an gas hydrogen kedalam struktur batubara agar rasio
perbandingan antara C/H menjadi kecil sehingga terbentuk senyawa-senyawa hidrokarbon
rantai pendek berbentuk cair. Proses ini telah mencapai rasio konversi 70% batubara (berat
kering) menjadi sintetik cair. Pada tahun 1994 proses DCL kembali dikembangkan sebagai
komplementasi dari proses ICL terbesar setelah dikomersialisasikan oleh Sasol Corp.
Tahun 2004 kerjasama pengembangan teknologi upgrade (antara China Shenhua Coal
Liquefaction Co. Ltd. dengan West Virginia University) untuk komersialisasi DCL rampung,
untuk kemudian pembangunan pabrik DCL kapasitas dunia di Inner Mongolia. Dalam Phase
pertama pabrik ini akan dihasilkan lebih dari 800.000 ton bahan bakar cair pertahunnya.
Phase I:
Dari table di atas dapat dilihat bahwa perkiraan harga produksi tiap-tiap produk BBM sintetik
adalah sebesar USD 24 per barrel, jauh lebih rendah dibandingkan harga minyak mentah
dunia saat ini yang berkisar di atas USD 60/barrel. Dengan beberapa data penunjang saja,
maka break event point-nya sudah dapat dihitung.
Yang menjadikan proses DCL sangat bervariasi adalah beberapa faktor dibawah:
Pencapaian dari sebuah proses DCL sangat tergantung daripada jenis feedstock
/(spesifikasi batubara) yang dipergunakan, sehingga tidak ada sebuah sistem yang bisa
optimal untuk digunakan bagi segala jenis batubara.
Batubara dengan kadar ash yang tinggi lebih cocok untuk proses gasifikasi terlebih
dahulu, sehingga tidak terlalu mempengaruhi berjalannya proses.
Proses Pencairan Batubara Muda rendah emisi (Low Emission Brown Coal
Liquefaction)
Landasan dalam mengembangkan ujicoba produksi (pilot scale) proses pencairan batubara
adalah:
Produk liquid oil yang dihasilkan harus mencapai lebih dari 50%
Proses pengoperasian harus berjalan dengan kontinuitas lebih daripada 1500 jam.
Tahapan proses deashing harus mencapai kadar ash (abu) < 500 ppm.
Ekonomis cadangan batubara global diperkirakan akan mencapai sekitar satu triliun
ton, sekitar setengah yang mana terdiri dari batubara tingkat rendah, seperti batubara sub-
bituminous dan batubara cokelat. Batubara mempunyai perbandingan yang lebih besar pada
cadangan produksi ( R/P) dibandingkan dengan minyak dan gas-alam. Untuk skala penuh
pemanfaatan yang efektif batubara, namun, penggunaan efektif batubara kelas
rendah sangatpenting. Batubara kelas rendah mengandung sebagian besar air, tetapi tidak
sama dengan batubara bituminus dan batubara yang kelasnya lebih tinggi dari lainnya, namun
memiliki suatu sifat pembakaran otomatis dalam kondisi kering. akibatnya, pengembangan
teknologi pencairan batubara cokelat berkembang dengan tujuan menggunakannya untuk
menambah kestabilan persediaan energi di Jepang dengan mengubah batubara kelas
rendah yang sulit digunakan menjadi mudah dipergunakan dan produk bermanfaat, atau
dengan penggunaan itu untuk menghasilkan bahan bakar transportasi bersih seperti bensin
dan diesel minyak.
Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1, proses BCL memiliki empat tahapan: tahap
slurry dewatering, di mana air secara efisien dipindahkan dari Batubara tingkat rendah; tahap
pencairan, di mana peningkatan hasil produksi minyak yang dicairkan dengan menggunakan
suatu katalis limonit yang sangat aktip dan teknologi pendauran ulang dasar; tahap deretan
hidrogenasi di manaheteroatoms (mengandung senyawa sulfur, mengandung senyawa
nitrogen, dll.) minyak pada batubara yang dicairkan dipindahkan untuk memperoleh bensin
mutu tinggi, minyak diesel, dan pecahan terang lainnya; dan langkah pelarutan abu dimana
abu pada batubara ditambahkan katalis secara efisien yang dikeluarkan dari proses tersebut.
Di Negara-Negara Asia, permintaan energy meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi
yang stabil, dan negara-negara yang memiliki sumber daya batubara tingkat rendah, seperti
Indonesia, mengantisipasi komersil teknologi tersebut.
melalui empat tahun beroperasi dan studi ( 1987- 1990), semua target diatas tercapai.
selanjutnya, skala-data yang diperlukan untuk membangun pabrik pencairan komersial dan
keahlian operasi tanaman diperoleh melalui operasi pabrik percontohan. Sepanjang masa
studi (1990), namun, rendahnya harga minyak dan pasokan stabil di seluruh dunia. sehingga,
peningkatan lebih lanjut pada perekonomian proses pencairan batubara adalah vequired dan
pembersihan minyak cair telah dituntut sebab berhubungan dengan masalah lingkungan
meningkat. maka, pabrik skala tinggi (0.1 t/d) di Kobe Baja, Ltd.’s Proyek Takasago
dibangun untuk melakukan kajian guna memperbaiki proses tersebut. Hasil dari penyelidikan
mencakup pengembangan dari: suatu katalisator limonite, suatu katalisator aktip yang
dibandingkan pada pencairan yang ada katalisator, dan seorang pemimpin yang menangani
kepemilikan, antara lain sebagai karakteristik penggerusan sempurna; metoda untuk menjaga
aktivitas katalitis melalui teknologi pendauran ulang dasar; sederetan teknologi hidrogenasi
sangat penting meningkatkan mutu minyak dari pencairan batubara; dan berbagai perbaikan
untuk meningkatkan keandalan operasional. Hingga kerja pengembangan, suatu proses BCL
yang ditingkatkan (Proses Pencairan Batubara Cokelat yang ditingkatkan: mengacu pada
diagram aliran pada halaman sebelumnya) yang secara signifikan memperbaiki ekonomi,
keandalan, dan kecocokan lingkungan dari proses pencairan batubara cokelat yang didirikan
Jika batubara, yang solid. Dikonversi ke dalam cairan dengan membuatnya bereaksi dengan
hidrogen pada suhu tinggi dan tekanan tinggi. Penanganan masalah trasportasi meluding (dk
tau arti “meluding) dan penyimpanan akan dipecahkan. Pada saat yang sama, hal ini akan
mengakibatkan pembuatan energi bersih melalui desulphurization. Akibatnya, batubara cair
dapat digunakan dalam hampir semua sektor pasar produk minyak bumi yang hadir.
Proses pencairan Batubara secara luas dapat digolongkan ke dalam proses pencairan tidak
langsung dan proses pencairan langsung. Proses-proses yang telah dikembangkan di Jepang,
USA dan Jerman adalah semua proses pencairan langsung. Di sisi lain, proses pencairan tidak
langsung telah diadopsi pada tanaman yang praktis beroperasi di Afrika Selatan.
Proses pencairan tidak langsung (Fischer-Tropsch sintesis proses) dirancang untuk membuat
batubara menjadi gas dan menghasilkan gas sintetik yang terdiri dari CO dan H2, dan untuk
mensintesis fase cair hidrokarbon menggunakan gas sintetis tersebut sebagai bahan baku.
Umumnya , batubara memiliki struktur tiga dimensi yang badan satuannya terdiri dari cincin
terkondensasi aromatik sebagai basa yang melekat pada rantai samping alifatik dan gugus
fungsional oksigen , dihubungkan oleh - rantai CH2 - jembatan O . Jumlah cincin
terkondensasi aromatik bervariasi dengan tingkat karbonisasi , dan lebih dari 10 untuk
antrasit memiliki tingkat karbonisasi tinggi .
Negara-negara yang paling aktif sedang membuat teknologi pencairan batubara adalah
Jepang, Amerika Serikat, dan Jerman, Inggris dan Republik Afrika Selatan. Di Amerika
Serikat , Teluk Corp , telah menyelesaikan pengoperasian 30 t / d sistem pilot plant yang
mempekerjakan proses SRC - II , dan exxon corp , telah menyelesaikan pengoperasian 250 t /
d sistem pilot plant yang mempekerjakan proses EDS . Ashland corp , telah menyelesaikan
pengoperasian 250 t / dsistem pilot plant mempekerjakan proses H - COAL . Di Amerika
Serikat, tahap penelitian sistem pilot plant telah selesai, dan waktu yang tepat untuk aplikasi
praktis telah menunggu sementara penelitian dasar terus berlanjut. Perusahaan Jerman telah
menyelesaikan penelitian pengoperasian 200 t / d pilot plant dengan versi perbaikandari
proses IG , yang dikembangkan terutama oleh Ruhrkohle Grubh dan lain-lain selama perang
dunia 2 . Di Inggris , perusahaan sedang melakukan penelitian pengoperasian 2,5 t / tanaman
d , dan SASOL di Afrika Selatan adalah menjalankan 18.000 bbl / pabrik komersial dengan
proses pencairan tidak langsung , satu-satunya contoh di dunia.
Setelah krisis minyak yang pertama pada tahun 1973, pemerintah Jepang memulai
proyek sinar matahari pada 1974 untuk mengembangkan subsitutes minyak. Sebagai bagian
dari proyek ini, penelitian perkembangan dimulai pada teknologi pencairan batubara. Pada
tahun 1980, NEDO didirikan, dan dua proyek, pengembangan teknologi pencairan batubara
bituminus (150 t/d pilotplant ) dan teknologi pencairan batubara coklat (50 t/d pilot plant)
dimulai. NEDO melaksanakan pengembangan teknis yang bertujuan membangun teknologi
proses dan meningkatkan efisiensi ekonomi dan terpercaya (anda). Pada waktu yang sama,
pengembangan teknis, pengujian dan penyelidikan mengenai upgrade (perbaikan) pencairan
minyak, keselamatan lingkungan pencairan minyak dan bahan-bahan baru sedang diperiksa
sebagai dasar umum untuk semua teknologi ini (Lihat gambar 8-12).
Skala planr komersial pencairan batubara yang dipertimbangkan saat ini adalah sekitar
30.000 t/d (kering batubara). Diperkirakan bahwa produksi tentang 100.000 ~ 110.000 bbl/d
muka pada skala ini. Kapasitas pencairan ini sesuai dengan kapasitas rata-rata per kilang
minyak di industri penyulingan minyak. Pada tahap awal minyak cair, akan digunakan
dengan sekitar 15 ~ 20% dari Konvensi produk minyak bumi dicampur di dalamnya.
Akibatnya, kerjasama dengan industri minyak ini dipertimbangkan. Selain itu, sejak LPG,
fenol, sulfur, dan amonia dapat diperoleh dalam jumlah cukup besar, bekerja sama dengan
industri kimia juga harus dipertimbangkan.
Berikut ini adalah beberapa teknologi yang dikembangkan di bidang likuifaksi batubara :
Untuk mengembangkan teknologi pencairan batubara bituminus hingga tahun 1983, termasuk
proses ekstraksi pelarut, dan proses solvolysis disatukan dan konsep proses NEDOL dibentuk
sebagai proses baru pencairan batubara bituminus. Di masa lalu, penelitian telah dilakukan
sekitar sistem skala kecil, tapi setelah 1986. Desain dan konstruksi proses t/d 1 unit (PSU)
pendukung dimulai pada kota kimitsu , Prefektur chiba. dan penelitian operasi dimulai pada
tahun 1988. Untuk suatu pabrik perintis (150 t/d), detail desain selesai pada tahun 1990 dan
konstruksi pabrik percontohan (pilot plant) mulai tahun 1991 di kashima-machi, Prefektur
ibaragi. Proses NEDOL memiliki fitur berikut:
· Dengan tidak ada jenis batubara ditentukan untuk digunakan, jenis batubara dari
batubara sub-bituminous kelas rendah tingkat rendah batubara bituminus dapat digunakan.
Proses mengoptimalkan setiap jenis batubara tanpa perubahan dalam konsep proses.
· Rasio hasil minyak cair adalah 54% dari berat atau lebih tinggi dalam hal medium dan
lampu minyak (berdasarkan pada mouisture-ash-free).
· standar pencairan kondisi bereaksi pada suhu 450 ° c dan tekanan dari 170 kg/cm2G.
Katalis yang sangat aktif dan murah digunakan dan untuk pemisahan padat-cair, distilasi
pengurangan tekanan sistem yang memungkinkan berskala mudah digunakan.
Dalam proses NEDOL, untuk bubur (slurry) terdiri dari campuran salah satu bagian dari
batubara dan 1,5 bagian pelarut ditambahkan 3% ferrous katalis. Hal ini dipanaskan sampai
sekitar 400 ° c di tungku pra pemanasan Setelah itu, reaksi pencairan diizinkan terjadi
dalam suspensi tidur (suspension bed) foaming jenis reaksi kolom di bawah kondisi standar
suhu: 450 ° c: tekanan: 170 kg/cm2G: wakturetensi bubur : 1 hr. Batubara diubah menjadi
minyak cair oleh reaksi hydrogen gas dan pelarut. Setelah melalui pemisah gas-cair, kolom
distilasi tekanan normal, dan kolom distilasi vacum, minyak cair dipisahkan menjadi
NAFTA, menengah minyak, minyak berat dan residu. Distilat minyak Menengah dan minyak
berat dipindahkan ke dalam fix bed jenis hydrogen reaksi kolom diisi dengan katalis Ni-Mo.
Dalam kolom reaksi ini, sulingan diubah menjadi cahaya disillat di bawah kondisi suhu 320 °
c dan tekanan 100 kg/cm2G dan itu akan beredar dalam sistem sebagai pelarut. Dalam reaksi
disebutkan di atas 54% berat (630 lit/t) berfungsi sebagai target pemulihan modulus cair
minyak batubara.
Walaupun kegiatan ini bergantung pada permintaan dan penawaran minyak, di awal abad ke
21, batubara cair dapat menjadi solusi tingginya harga minyak bumi. hal ini perlu agar
teknologi pencairan batubara dapat selesai pada 2000 – 2005 dan untuk meningkatkan
kualitasnya sehingga dapat diperkenalkan di pasaran. dalam penunjang penelitian
Proyek ini dimulai sebagai bagian dari proyek MITI Sunshine yang bertujuan untuk
mengoptimalkan proses likuifaksi brown coal victoria di daerah Victoria, Australia, yang
memiliki deposit brown coal yang luas.
Pembangunan Pabriknya dimulai pada November 1981 di Kota Morwell yang berdekatan
dengan dengan tambang batubara Latrobe Valley ( cadangan tertambang : 33 miliyar ton)
sekitar 150km dari Melbourne, pusat Victoria. Pembangunan sistem Hydrogenationutama
sebagai tahap kerja pertama selesai pada 1985, dan batubara pertama dimasukan ke pabrik
pada November. Sistem Hydrogenationtambahan , sebagai kerja tahap kedua selesai pada
Desember 1986.
Tes untuk menguji kedua sistem Hydrogenation tersebut dilakukan pada tahun 1987. Pada
Agustus 1988, dilakukan sebuah pengoperasi an selama 1700 jam secara terus menerus.
Hasilnya, diperoleh kestabilan pada semua sistem. Setelah itu, dilakukan berbagai pengujian
untuk meningkatkan rasio dari Likuifaksi. Pengoperasian secara umum dilakukan dengan
tujuan teknologi operasi mencapai efektif. semua operasi telah selesai pada oktober 1990
dengan total 10500 jam pengoperasian. Pembongkaran Pabrik dilakukan setelah
selesai penelitian operasi pada April 1992. Susunan hasil penelitian , mencakup berbagai
data yang didapat dari pabrik telah selsesai sejak 1993.
Kapasitas pengolahan batubara dari 50 t/d (berdasarkan kelembaban abu batubara) dan
kapasitas produksi dari 150 bbl/d minyak, pabrik ini dapat digolongkan menjadi proses
pretreatment, proses pemanasan, proses hidrogenasi utama, dan proses hidrogenasi tambahan.
Proses Pretreatment terdiri dari bagian penghancuran brown coal, pengairan / pengeringan
dan peleburan. Peleburan terdiri dari percampuran brown coal kering and 2,5 bagian dari
pelarut yang terbuat dari penambahan katalisator besi. Pada proses Hidrogenasi utama,
hidrogen ditiup pada kondisi temperatur 430-450 C dan tekanan 150 – 200 Kg / Cm2G agar
terjadi reaksi Likuifaksi. Hasil ini akan dimasukan kedalam alat destilasi untuk didestilasi
menjadi nafta dan minyak.
Didalam Alat Destilasi ini berisi material padat yang dikenakan pemisahan cair-padat dalam
proses pendinginan pelarut. Cairan hasil destilasi ini lalu dikirim ke proses hidrogenasi
tambahan ( Secondary Hydrogenation) sampai material padat terbuang. Reaktor tipe Fix Bed
di sistem hidrogenasi terisi oleh katalis Ni dan Mo sehingga reaktornya mencapai suhu 360 –
400 oC dan tekanan 150 – 200 Kg/cm2G. Kemudian didestilasi lagi sampai tigas kali. Sekitar
tiga Barel minyak batubara bisa dibuat dari satu ton brown coal.
Nama:
1. Ahmad Abu Bakar (0615 3040 2176)
2. Berlianita Putri Irani (0615 3040 0996)
3. Doddy Herryanto (0615 3040 2177)
Dosen Pengampu :
Ir. Fadarina.,M.T
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penggunaan bahan bakar minyak (BBM) sampai saat ini masih sangat dominan dalam
pemenuhan energi di Indonesia. Berdasarkan jenisnya BBM yang paling banyak dikonsumsi
adalah minyak premium, solar dan minyak tanah. Cadangan sumber daya energi di Indonesia
saat ini sudah semakin terbatas. Sebagai gambaran, Indonesia saat ini hanya memiliki 4.300
juta ton cadangan minyak atau hanya sekitar 0,36% dari total cadangan minyak dunia tahun
2006 sebesar 1.208.200 juta ton. Dengan tingkat produksi sebesar 390 juta ton per tahun,
produksi minyak bumi di Indonesia diperkirakan hanya dapat bertahan dalam 11 tahun ke
depan.
Kelangkaan dan mahalnya harga BBM terutama minyak solar berimbas pada seluruh
lapisan masyarakat. Akibatnya semua sektor usaha industri dan perdagangan harus
mengimbangi pula dengan kenaikan harga jual barang. Kesulitan BBM yang terus berlarut
dapat pula menghambat iklim investasi di suatu daerah, dimana perkembangan industri dan
perdagangan sangat erat keterkaitannya dengan ketersediaan BBM.
Sebagai alternatif untuk menggantikan energi minyak bumi, saat ini telah
dikembangkan teknologi pencairan batubara sebagai bahan bakar yang hampir setara dengan
output minyak bumi. Pengembangan produksi bahan bakar sintetis berbasis batu bara pertama
kali dilakukan di Jerman tahun 1900-an dengan menggunakan proses sintesis Fischer-
Tropsch yang dikembangkan Franz Fisher dan Hans Tropsch. Pada 1930, disamping
menggunakan metode proses sintesis Fischer-Tropsch, mulai dikembangkan pula proses
Bergius untuk memproduksi bahan bakar sintesis. Sementara itu, Jepang juga melakukan
inisiatif pengembangan teknologi pencairan batubara melalui proyek Sunshine tahun 1974
sebagai pengembangan alternatif energi pengganti minyak bumi.
Dengan mengacu pada latar belakang di atas, maka kami membuat rumusan masalah
sebagai berikut:
1.3. Tujuan
1.4. Manfaat
TINJAUAN PUSTAKA
Pencairan batubara (Coal Liquefaction) adalah proses mengubah wujud batubara dari
padat menjadi cair. Proses pencairan batubara dapat dilakukan dengan dua metode yaitu
metode langsung dan metode tidak langsung. Pada proses tidak langsung batubara
difragmentasi menjadi CO, CO2, H2, dan CH4 yang kemudian direkombinasikan
menghasilkan produk cair, prosesnya melalui gasifikasi dan kondensasi. Pada proses
langsung batubara cair diproduksi dengan melarutkan dalam suatu pelarut organik lalu
dilanjutkan dengan proses hidrogenasi pada suhu dan tekanan tinggi. Proses pencairan
batubara secara langsung dapat dilakukan melalui pirolisis, ekstraksi pelarut dan hidrogenasi
katalitik.
Pencairan batubara adalah proses yang digunakan untuk mengubah batubara, bahan
bakar padat, menjadi pengganti bahan bakar cair seperti diesel dan bensin. Pencairan batubara
secara historis telah digunakan di negara-negara tanpa keamanan pasokan minyak mentah,
seperti Jerman dan Afrika Selatan. Teknologi yang digunakan dalam pencairan batubara
sudah cukup lama, dan pertama kali diimplementasikan di abad ke-19 untuk penerangan
dalam ruangan. Pencairan batubara dapat digunakan di masa depan guna menghasilkan
minyak untuk transportasi dan pemanasan, mengantisipasi pasokan minyak mentah yang
mungkin terganggu.
Pencairan batubara umumnya lebih mahal daripada memproduksi bahan bakar dari
minyak mentah, tetapi dapat menjadi ekonomis jika minyak mentah langka atau tidak
tersedia. Batubara cair digunakan selama Perang Dunia II oleh tentara Jerman, yang memiliki
pasokan besar batubara tetapi sedikit pasokan minyak bumi, untuk menjalankan tank dan
mesin perang lainnya. Kemudian, selama era apartheid di Afrika Selatan, pencairan batubara
membantu untuk mengganti kelangkaan minyak mentah akibat sanksi embargo. Dalam kasus
terjadi gangguan besar dalam pasokan minyak mentah, unit pencairan batubara dapat
diterapkan dengan cukup cepat, karena kesederhanaan teknologi dan ketersediaan batubara
mentah yang tinggi.
Pencairan batubara (Likuifaksi Batubara) adalah suatu teknologi proses yang
mengubah batubara dan menghasilkan bahan bakar cair sintetis. Batubara yang berupa
padatan diubah menjadi bentuk cair dengan cara mereaksikannya dengan hidrogen pada
temperatur dan tekanan tinggi. Proses likuifaksi batubara secara umum diklasifikasikan
menjadi Indirect Liquefaction Process dan Direct Liquefaction Process.
Proses ini dilakukan dengan cara menghaluskan ukuran butir batubara, kemudian
Slurry dibuat dengan cara mencampur batubara ini dengan pelarut. Slurry dimasukkan ke
dalam reaktor bertekanan tinggi bersama-sama dengan hidrogen dengan menggunakan
pompa. Slurry kemudian diberi tekanan 100-300 atm di dalam sebuah reaktor kemudian
dipanaskan hingga suhu mencapai 400-480° C.
Proses Direct yang sering dilakukan secara komersil, yaitu :
1. Solvent Extraction
Proses ini merupakan proses pencampuran batubara dengan solvent yang mampu
mentransfer hidrogen dari solven batubara pada suhu di atas 500o C dan tekanan di atas 5000
psi. Ada tiga konfigurasi yang dapat dilakukan pada proses ini yaitu:
a. Ekstraksi tanpa adanya hidrogen dengan solvent hasil recycle yang telah
dihidrogenasi pada proses yang terpisah.
b. Ekstraksi dengan adanya hidrogen dengan solvent hasil recycle yang telah
dihidrogenasi.
c. Ekstraksi dengan adanya hidrogen dengan solvent hasil recycle tanpa adanya
hidrogenasi.
Proses hidrogenasi adalah proses reaksi batubara dengan gas hydrogen bertekanan
tinggi. Reaksi ini diatur sedemikian rupa (kondisi reaksi, katalisator dan kriteria bahan baku)
agar dihasilkan senyawa hidrokarbon sesuai yang diinginkan, dengan spesifikasi mendekati
minyak mentah. Sejalan perkembangannya, hidrogenasi batubara menjadi proses alternativ
untuk mengolah batubara menjadi bahan bakar cair pengganti produk minyak bumi, proses
ini dikenal dengan nama Bergius proses, disebut juga proses pencairan batubara (coal
liquefaction). Bergius Process merupakan pencairan batubara metode langsung atau dikenal
dengan Direct Coal Liquefaction-DCL. DCL adalah proses hydro-craacking dengan bantuan
katalisator. Prinsip dasar dari DCL adalah meng-introduksi-an gas hydrogen kedalam struktur
batubara agar rasio perbandingan antara C/H menjadi kecil sehingga terbentuk senyawa-
senyawa hidrokarbon rantai pendek berbentuk cair. Proses ini telah mencapai rasio konversi
70% batubara (berat kering) menjadi sintetik cair.
Pada pembentukan hidrogen coal ini, batubara terkonversi menjadi liquid melalui
pemutusan ikatan C-C dan C-heteroatom secara termolitik atau hidrolitik (thermolytic and
hydrolytic cleavage), sehingga melepaskan molekul-molekul CO2, H2S, NH3, dan H2O.
Untuk itu rantai atau cincin aromatik hidrokarbonnya harus dipotong dengan cara
dekomposisi panas pada temperatur tinggi (thermal decomposition). Setelah dipotong,
masing-masing potongan pada rantai hidrokarbon tadi akan menjadi bebas dan sangat aktif
(free radical). Supaya radikal bebas itu tidak bergabung dengan radikal bebas lainnya (terjadi
reaksi repolimerisasi) membentuk material dengan berat molekul tinggi dan insoluble, perlu
adanya pengikat atau stabilisator, biasanya berupa gas hidrogen. Hidrogen bisa didapat
melalui tiga cara yaitu: transfer hidrogen dari pelarut, reaksi dengan fresh hidrogen,
rearrangement terhadap hidrogen yang ada di dalam batubara, dan menggunakan katalis yang
dapat menjembatani reaksi antara gas hidrogen dan slurry (batubara dan pelarut).
Peranan katalis dalam pencairan batubara adalah untuk memasukkan atom H yang
berasal dari dissosiasi katalitik molekul H2 ke dalam batubara atau campuran batubara-pelarut
sehingga menaikkan ketersediaan hidrogen aktif. Hidrogen tersebut akan berfungsi untuk
menghidrogenasi senyawa aromatis, mempromosikan reaksi pemutusan ikatan dan
menstabilkan radikal bebas serta mencegah reaksi repolimerisasi produk-produk terlarut
(Mochida et.al.1998). Katalis yang digunakan dalam BCL adalah limonit (FeOOH).
Menurut proses Nedol, terdapat dua metode dalam proses pencairan batubara yang
menggunakan proses hidrogenasi. Metode-metode tersebut, yaitu :
o Tidak memerlukan batubara dengan spesifikasi tertentu. Batubara yang digunakan bisa
dari low grade sub-bituminous sampai low grade bituminous.
o Yield Ratio bisa mencapai 54% berat, lebih besar dari medium atau light oil
o Temperatur standar reaksi adalah 450°C dan Tekanan standar 170 kg/cm2
o Membutuhkan katalis yang sangat aktif namun tidak mahal
o Sebagai pemisah antara fasa cair-gas, digunakan sistem distilasi pengurang tekanan.
o Digunakan pelarut terhidrogenasi yang dapat digunakan kembali untuk mengawasi
kualitas pelarut agar dapat meningkatkan Yield Ratio dari batubara cair dan mencegah
fenomena “cooking” pada tungku pemanas.
a. Slurry dibuat dengan mencampurkan 1 bagian batubara dengan 1.5 bagian pelarut,lalu
ditambahkan 3% katalis yang mengandung besi (ferrous catalyst)
b. Slurry dipanaskan sampai suhunya mencapai 400°C dalam preheating furnace.
c. Reaksi likuifaksi terjadi dalam kolom reaktor berjenis suspension bed foaming pada
kondisi standar (Temperatur 450°C, Tekanan 170 kg/cm2)
d. Batubara dikonversi menjadi bentuk cair oleh reaksi antara hidrogen dan pelarut.
e. Setelah melewati pemisah fase gas-cair, kolom distilasi bertekanan normal, dan kolom
distilasi isap, batubara cair dipisahkan menjadi naphta, medium oil, heavy oil, dan
residu.
f. Distilat medium oil dan heavy oil dipindahkan ke kolom reaksi berjenis fixed bed
yang berisi katalis Ni-Mo. Pada kolom reaksi ini, distilat dikonversikan menjadi
distilat ringan pada Temperatur 320°C dan Tekanan 100 kg/cm2, dan digunakan
kembali dalam reaksi sebagai pelarut (solvent)
Teknologi yang mengubah kualitas batubara yang rendah menjadi produk yang
berguna secara ekonomis dan dapat menghasilkan bahan bakar berkualitas serta ramah
lingkungan.
Langkah pertama adalah memisahkan air secara efisien dari batubara yang berkualitas
rendah. Langkah kedua melakukan proses pencairan di mana hasil produksi minyak yang
dicairkan ditingkatkan dengan menggunakan katalisator, kemudian dilanjutkan dengan
proses hidrogenasi di mana heteroatom (campuran sulfur-laden, campuran nitrogen-laden,
dan lain lain) pada minyak batubara cair dipisahkan untuk memperoleh bahan bakar bermutu
tinggi, kerosin, dan bahan bakar lainnya. Kemudian sisa dari proses tersebut (debu dan unsur
sisa produksi lainnya) dikeluarkan.
Proses pada Brown Coal Liquefaction, secara umum terdiri atas 3 proses, yaitu: Coal
Pretreatment Process, Slurry Preheating Process, Primary hydrogenation process dan
Secondary hydrogenation process.
Proses dari Brown Coal Liquefaction dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Pretreatment Process merupakan proses peremukan raw brown coal, pengeringan, dan
pembuatan Slurry. Slurry dibuat dengan mencampurkan 1 bagian batubara brown coal
dengan 2.5 bagian pelarut, lalu ditambahkan katalis yang mengandung besi (iron
catalyst). Lalu Slurry diproses ke preheating process.
b. Primary hydrogenation process dilakukan dengan mengalirkan gas hidrogen pada
Temperatur 430-450°C dan tekanan 150-200 kg/cm2 agar dapat terjadi proses likuifaksi.
c. Produk yang dihasilkan dikirim ke kolom distilasi dan didistilasi menjadi naphta, light
oil dan medium oil.
d. Kolom distilasi bawah yang mengandung padatan dialirkan menuju kolom pemisah
padatan-cairan pada proses pengeringan pelarut. Distilat cair kemudian dibawa ke proses
Secondary hydrogenation dan padatan dibuang.
e. Reaktor jenis fixed bed yang diisi katalis Ni-Mo agar proses hidrogenasi dapat terjadi
pada temperatur 300-400°C dan tekanan 150-200 kg/cm2.
f. Kemudian dilakukan distilasi kembali agar dapat dipisahkan menjadi nephta, light
distillate dan medium distillate.
g. Setelah proses selesai, dihasilkan 3 barrel batubara cair dari 1 ton batubara brown coal
kering
Diagram Alir Proses Brown Coal Liquefaction
1. Keekonomian
Harga minyak bumi sangat fluktuatif, sehingga seringkali investor ragu untuk
membangun kilang pencairan batubara. Batubara cair akan ekonomis jika harga
minyak bumi di atas US $35/bbl.
2. Biaya investasi kilang pencairan batubara komersial, cukup mahal .
2. Menimbulkan efek global warming sebesar hampir dua kali lipat per gallon bahan
bakar
Produksi batubara cair membutuhkan batubara dan energi dalam jumlah yang besar.
Proses ini juga dinilai tidak efisien. Faktanya, 1 ton batubara hanya dapat dikonversi
menjadi 2-3 barel bensin. Proses konversi yang tidak efisien, sifat batubara yang kotor,
dan kebutuhan energi dalam jumlah yang besar tersebut menyebabkan batubara cair
menghasilkan hampir dua kali lipat emisi penyebab global warming dibandingkan dengan
bensin biasa. Walaupun karbon yang terlepas selama produksi ditangkap dan disimpan,
batubara cair tetap akan melepaskan 4 hingga 8 persen polusi global warming lebih
banyak dibandingkan dengan bensin biasa
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pencairan batubara (Coal Liquefaction) adalah proses mengubah wujud batubara dari
padat menjadi cair. Proses pencairan batubara dapat dilakukan dengan dua metode yaitu
metode langsung (Direct Liquefaction Process) dan metode tidak langsung (Indirect
Liquefaction Process). Pada proses tidak langsung batubara difragmentasi menjadi CO, CO2,
H2, dan CH4 yang kemudian direkombinasikan menghasilkan produk cair, prosesnya melalui
gasifikasi dan kondensasi. Pada proses langsung batubara cair diproduksi dengan melarutkan
dalam suatu pelarut organik lalu dilanjutkan dengan proses hidrogenasi pada suhu dan
tekanan tinggi. Proses pencairan batubara secara langsung dapat dilakukan melalui pirolisis,
ekstraksi pelarut dan hidrogenasi katalitik. Pada pembentukan hidrogen coal menggunakan
proses hidrogenasi, yang dimana termasuk kedalam pencairan batubara secara langsung
(Direct Liquefaction Process). Terdapat dua metode pembentukan hidrogen coal, yaitu
Bituminous Coal Liquefaction dan Brown Coal Liquefaction.
BAB IV
PERTANYAAN
PERTANYAAN :
1. Robby Asmedy.
Jelaskan mekanisme reaksi yang ada flowsheet?
Jawab :
Batubara + pelarut + katalis + hidrogen batubara cair
Dimana batubara yang digunakan itu berupa jenis batubara Subbituminus dan
Bituminus, sedangkan pelarutnya berupa sour gas dan untuk katalis yang digunakan
berupa katalis Fe (iron) atau Ni (nikel)
Dimana pada flowsheet diatas aliran masuk gas berada pada bagian bawah reactor,
sedangkan Coal slurry masuk pada bagian samping dari reactor itu tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
- http://harlitalla.blogspot.com/2012/06/pencairan-batubara.html
- http://rinririns.blogspot.com/2013/02/coal-to-liquid.html
- http://scientificindonesia.wordpress.com/proses-pengolahan-batubara/
- http://dwitaariyanti.blogspot.com/2012/06/liquefaction-process-1-2.html
- http://www.iea.org/publications/freepublications/publication/statistics_manual_indonesian
.pdf
- http://eprints.unsri.ac.id/139/1/Pages_from_PROSIDING_AVOER_2011-33.pdf\
- http://bataviase.co.id
- http://blogodril.blogspot.com/2010/03/batubara-yang-dicairkan-konversi-energi.html
- http://scientificindonesia.wordpress.com/proses-pengolahan-batubara/
03SEP2013Leave a comment
Daftar isi:
Pengenalan.
Tipikal produk.
Reaksi kimia.
Kondisi operasi.
Tipikal proses FT.
Referensi.
Pengenalan
Bahan baku utk menghasilkan syngas pada dasarnya adalah senyawa apapun yg mengandung
atom karbon dan hydrogen. Contohnya adalah batubara, gas alam, biomassa, dan limbah
organik. Setelah bahan2 baku tsb diumpankan ke unit spt gasifikasi (utk bahan baku batubara,
biomassa, dan limbah organic) atau gas reforming (utk bahan baku gas alam), syngas yg
diproduksi tidak ada bedanya lg. Produk utamanya adalah syngas, yaitu CO dan H 2.
Ditambah dgn gas2 sampingan spt CO2, H2O, dan gas2 hidrokarbon ringan spt methane.
Secara historis, proses FT ini dimulai di Jerman dalam persiapannya menjelang perang dunia
kedua. Afrika Selatan lewat SASOL mengembangkan lebih lanjut utk menghasilkan liquid
fuel dari coal, yg terkenal dgn nama coal to liquid (CTL). Usaha ini dilakukan dalam rangka
menutupi kekurangan impor bahan bakar karena embargo akibat politik apartheid mereka [2].
Shell lewat teknologi MDS (Middle Distillate Synthesis), yg mereka kembangkan sendiri,
membangun GTL pertamanya di Bintulu, Malaysia pada tahun 1993. Pearl GTL di Qatar
adalah GTL plant terbesar di dunia saat ini dan merupakan replika scale-up dr GTL plant di
Bintulu.
Khusus utk GTL (gas to liquid), pertimbangan bisnis dan strategisnya dapat diringkas sbb [3]:
Konsumsi bahan bakar global yg meningkat Ketersediaan melimpah bahan bakar yg bersih
dan ekivalen dgn bahan bakar konvensional
Market bahan bakar yg sudah tertata rapi Bbrp perusahaan mengklaim bahwa penjualan
LNG memberikan keuntungan yg lbh baik
drpd GTL
Kualitas produk yg lbh tinggi daripada produk Efisiensi karbon dan efisiensi energy yg lbh
dari konvensional minyak bumi rendah drpd proses2 perminyakan yg setara.
Efisiensi karbon yg rendah dapat dilihat sekilas dr reaksinya secara umum (lihat di bagian
“reaksi kimia”). Klo kita hitung, cuma sekitar 44wt% dari feed syngas (CO dan H 2) yg akan
menjadi hydrokarbon. Sisanya adalah air. Utk proyek2 GTL di Qatar, air yg diproduksi
secara masif ini sgt berguna utk berbagai keperluan, baik itu utk industri maupun utk
municipal.
Tipikal produk
Hasil tipikal synthesis FT dari syngas, biasa disebut syncrude (synthetic crude), adalah sbb
[2]:
Wax 0% 20-25%
Oxygenates 10-15% ~ 5%
Licensor spt Sasol dan Shell memiliki unit hydroprocessing masing2 utk meningkatkan
kualitas dari syncrude ini. Hasil dari hydroprocessing unit ini adalah produk2 (naphtha, jet
fuel/kerosene, diesel) yg bisa digunakan di unit2 konvensional lain.
GTL naphtha
GTL naphtha adalah naphtha yg sgt baik sbg umpan unit steam cracking di industry
petrokimia. Dibandingkan dgn naphtha konvensional dari crude oil, hasil steam cracking dari
GTL naphtha menghasilkan yield ethylene dan propylene yg lbh tinggi [3]. Yield C5+ dari
GTL naphtha lbh rendah drpd dari naphtha konvensional. Ini jg menandakan bahwa ring
benzene (yg berada di C5+) hasil dari GTL naphtha sgt minimal. Hal ini disebabkan oleh
karakteristik proses synthesis FT itu sendiri yg mmg menghasilkan rantai lurus paraffin.
United Airlines menggunakan jet fuel dgn 40%nya berasal dari GTL jet fuel. Sasol berhasil
mendaftarkan synthetic jet fuelnya sbg Jet A-1 pada tahun 2008 dan sbg supplier pertama FT
jet fuel utk penerbangan komersiil pada tahun 2010 [3].
GTL diesel
GTL diesel adalah produk berkualitas tinggi dgn bilangan cetane yg sgt tinggi dan kandungan
sulfur yg sgt rendah. Tetapi, GTL diesel memiliki karakteristik lubrikasi yg relatif lebih
rendah dan kandungan energi yg lbh rendah drpd diesel konvensional. Oleh sebab ini, GTL
diesel lbh cocok digunakan sbg bahan campuran drpd sbg bahan bakar diesel secara
keseluruhan.
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Coal To Liquid Technology (CTL) merupakan salah satu bagian
dari Coal Conversion Technology (CCT) yang bertujuan untuk
memanfaatkan nilai guna batubara sebagai bahan bakar. Seperti yang sudah
diketahui bersama bahwa batubara merupakan sumber bahan bakar selain
minyak bumi dan gas alam yang tak dapat terbarukan (non renewable
resources). Namun, berbeda dengan minyak bumi dan gas alam, batubara
tersebar merata di seluruh dunia dalam cadangan yang cukup besar.
Sehingga batubara dimanfaatkan sebagai sumber bahan bakar fosil utama
oleh beberapa negara yang miskin sumber daya minyak/gas tetapi memiliki
cadangan batubara yang melimpah seperti China, Amerika Serikat, Jepang,
bahkan Afrika Selatan
Baru-baru ini hampir semua daerah di Indonesia mengalami krisis
kelangkaan minyak, Indonesia yang merupakan salah satu negara eksportir
minyak mentah justru mengalami krisis kelangkaan minyak di dalam
negerinya sendiri. Hal ini terjadi karena kilang minyak yang kita miliki
tidak mampu mengolah minyak mentah yang kita miliki (karena kondisi
kilang yang sudah tua), sehingga kita harus mengimpor minyak mentah
kualitas tinggi dari negara lain yang harganya melambung tinggi.
Sementara minyak mentah yang kita miliki harus diekspor untuk diolah
melalui kilang-kilang modern milik negara maju.
Saat ini, terutama di Indonesia, batubara dimanfaatkan sebagai
bahan bakar pengganti bahan bakar minyak bumi yang langkah dan krisis
itu di PLTU, industri semen, briket batubara, serta pembuatan kokas
metalurgi. Padahal, masih tersedia ruang pemanfaatan lain bagi batubara.
Salah satunya adalah batubara cair, dengan proses likuifaksi.
Likuifaksi Batubara adalah suatu teknologi proses yang mengubah
batubara dan menghasilkan bahan bakar cair sintetis. Batubara yang berupa
1
padatan diuah menjadi bentuk cair dengan cara mereaksikannya dengan
hidrogen pada temperatur dan tekanan tinggi.
Proses likuifaksi batubara secara umum diklasifikasikan menjadi
Indirect Liquefaction Process dan Direct Liquefaction Process.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini
adalah sebagai berikut :
1 Bagaimana penjelasan tentang pencairan batubara?
2 Bagaimana penjelasan tentang pencairan batubara secara langsung
(Direct Liquation Process)?
3 Bagaimana kelebihan pencairan batubara?
4 Bagaimana proses pencairan batubara dengan produk hidrogen coal?
Tujuan
Adapun tujuan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah
sebagai berikut :
1. Mampu menjelaskan mengenai pencairan batubara.
2. Mampu menjelaskan mengenai pencairan batubara secara langsung
(Direct Liquation Process).
3. Mampu menjelaskan mengenai proses pencairan batubara dengan
produk synthetic oil.
4. Mampu mengetahui kelebihan dari pencairan batubara.
Manfaat
Dalam pembuatan makalah Pencairan Batubara dengan Produk
Sintetik Oil ini, penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca guna menambah pengetahuan dalam memenuhi bahan
pembelajaran semester 5 Jurusan Teknik Kimia khususnya pada mata kuliah
Pemanfaatan Batubara.
BAB II
PEMBAHASAN
2
Pengertian Likuifaksi Batubara(Coal liquefaction)
Coal liquefaction adalah suatu teknologi proses yang mengubah
batubara menjadi bahan bakar cair sintetis. Batubara yang berupa padatan
diubah menjadi bentuk cair dengan cara mereaksikannya dengan hidrogen
pada temperatur dan tekanan tinggi.Cairan yang terbentuk tersebut
selanjutnya difraksionasi/ dikilang untuk menghasilkan berbagai macam
bahan bakar cair seperti bensin, solar, minyak tanah dan lain-lain. Teknologi
ini sudah lama di kuasai negara maju seperti Jerman, Inggris, Amerika
Serikat, Australia dan Jepang. Penguasaan negara Jerman yang baik
terhadap teknologi inilah yang merupakan salah satu faktor yang
mendukung kemenangan Jerman dalam Perang Dunia I.
Tujuan dari likuifaksi batubara adalah untuk mengkonversi atau
meng-upgrading batubara yang mempunyai nilai kalor yang rendah yang
tidak laku di pasaran menjadi salah satu bentuk bahan bakar atau energi
alternatif yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi.
Perkembangan Singkat Teknologi Likuifaksi
Pengembangan produksi bahan bakar sintetis berbasis batu bara
pertama kali dilakukan di Jerman tahun 1900-an dengan menggunakan
proses sintesis Fischer-Tropsch yang dikembangkan Franz Fisher dan Hans
Tropsch. Pada 1930, disamping menggunakan metode proses sintesis
Fischer-Tropsch, mulai dikembangkan pula proses Bergius untuk
memproduksi bahan bakar sintesis. Sementara itu, Jepang juga melakukan
inisiatif pengembangan teknologi pencairan batubara melalui proyek
Sunshine tahun 1974 sebagai pengembangan alternatif energi pengganti
minyak bumi.
Pada 1983, NEDO (the New Energy Development Organization),
organisasi yang memfokuskan diri dalam pengembangan teknologi untuk
menghasilkan energi baru juga berhasil mengembangkan suatu teknologi
3
pencairan batubara bituminous dengan menggunakan tiga proses, yaitu
solvolysis system, solvent extraction system dan direct hydrogenation to
liquefy bituminous coal.
Cadangan batubara di dunia pada umumnya tidak berkualitas baik,
bahkan setengahnya merupakan batubara dengan kualitas rendah, seperti:
sub-bituminous coal dan brown coal. Kedua jenis batubara tersebut lebih
banyak didominasi oleh kandungan air. Peneliti Jepang kemudian mulai
mengembangkan teknologi untuk menjawab tantangan ini agar
kelangsungan energi di Jepang tetap terjamin, yaitu dengan mengubah
kualitas batubara yang rendah menjadi produk yang berguna secara
ekonomis dan dapat menghasilkan bahan bakar berkualitas serta ramah
lingkungan. Dikembangkanlah proses pencairan batubara dengan
namaBrown Coal Liquefaction Technology (BCL).
Proses Likuifaksi Batubara
Indirect Coal Liquefaction (ICL)
Prinsipnya secara sederhana yaitu mengubah batubara ke dalam
bentuk gas terlebih dahulu untuk kemudian membentuk syngas
(campuran gas CO dan H2). Syngas kemudian dikondensasikan oleh
katalis (proses Fischer-Tropsch) untuk menghasilkan produk ultra bersih
yang memiliki kualitas tinggi. Proses Fisher Tropsch adalah sintesis
CO/H2 menjadi produk hidrokarbon atau disebut synthetic oil. Synthetic
oil banyak digunakan sebagai bahan bakar mesin industri /transportasi
atau kebutuhan produk pelumas (lubricating oil).
4
Gambar 2.1 Dua Konfigurasi Proses Dasar untuk Produksi Bahan Bakar
Cair denganIndirect Liquefaction Process
Syngas Production – Bagian ini terdiri dari coal handling, drying dan
grinding yang kemudian diikuti dengan gasifikasi. Unit pemisahan udara
menyediakan oksigen untuk gasifier. Syngas cleanup terdiri dari proses
hydrolysis, cooling, sour-water stripping, acid gas removal, dan sulfur
recovery. Gas dibersihkan dari komponen sulfur dan komponen lain yang
tidak diinginkan sampai pada level yang terendah untuk melindunginya
dari downstream catalysts. Panas yang dipindahkan pada gas-cooling
step direcover sebagai steam, dan digunakan secara internal untuk
mensuppli kebutuhan power plant. Proses sour-water stripping akan
menghilangkan ammonia yang dihasilkan dari nitrogen yang ada pada
batubara. Sulfur dalam batubara akan dikonversikan menjadi hydrogen
sulfide (H2S) dan carbonyl sulfide (COS). Proses hidrolisis digunakan
untuk mengkonversikan COS dalam syngas menjadi H2S, yang direcover
pada acid-gas removal step dan dikonversikan menjadi elemental sulfur
pada sebuah Claus sulfur plant. Sulfur yang diproduksi biasanya dijual
sebagai low-value byproduct.
Synthesis Gas Conversion – Bagian ini terdiri dari water-gas
shift, a sulfur guard bed, synthesis-gas conversion reactors, CO2
removal, dehydration dan compression, hydrocarbon dan hydrogen
5
recovery, autothermal reforming, dan syngas recycle. A sulfur guard bed
dibutuhkan untuk melindungi katalis konversi gas sintesis yang dengan
mudah diracuni oleh trace sulfur pada cleaned syngas. Clean synthesis
gas dipindahkan untuk mendapatkan hydrogen/carbon monoxide ratio
yang diinginkan, dan kemudian secara katalitik dikonversikan menjadi
bahan bakar gas.
Dua cara utama melibatkan konversi ke hight-quality diesel dan
distillate menggunakan Fischer-Tropsch route, atau konversi ke highoctane
gasoline menggunakan proses metanol menjadi gasoline (MTG) .
Fischer-Trosch (F-T) syntesis menghasilkan spektrum dari hidrokarbon
paraffin yang ideal untuk diesel dan bahan bakar
Katalis yang digunakan dalam Fischer-Trops adalah besi atau
cobalt. Keuntungan katalist besi dengan cobalt berlebih untuk
mengkonversi coal-derived syngas yang mana besi memiliki kemampuan
mengaktivasi reaksi water-gas shift dan secara internal mengatur low
H2/CO ratio dari coal derived syngas yang diperlukan dalam reaksi
Fischer-Trops. Jenis reactor yang digunakan dalam reaksi F-T adalah
fixed-bed tubular reactor dan teknologi ini diaplikasikan di Shell’s
Malaysian GTL. Sasol juga mengkomersialisasikan teknologi CTL di
Afrika Selatan yang menggunakan Fixed bed reactor, circulatingfluidized
bed dan fixed-fluidized bed reactor. Syngas dan produk F-T
yang tidak terkonversi harus dipisahkan setelah langkah sintesis F-T. CO2
dapat dipisahkan dengan menggunakan teknik absorbsi. CO 2 dengan
kemurnian tinggi biasanya dibuang langsung ke udara bebas.
Proses pendinginan digunakan untuk memisahkan air dan
hidrokarbon ringan (terutama metana, etana, dan propane) dari produk
liquid hydrocarbon yang dihasilkan pada proses sintesis F-T. Gas
hidrokarbon ringan dan gas sintesis yang tidak terkonversi dikirim ke
proses hydrogen recovery.Purge dari fuel gas digunakan untuk menyuplai
bahan bakar pada proses CTL. Akhirnya sisa gas dialirkan ke
6
autothermal reforming plant untuk mengkonversi hidrokarbon ringan
menjadi syngas untuk direcycle ke reaktor F-T.
Product Upgrading - FT liquid dapat dimurnikan menjadi LPG,
gasoline, dan bahan bakar diesel. Pilihan lain adalah melalui partial
upgrading seperti yang ditunjukkan dari gambar 2.4 untuk menghasilkan
F-T syncrude. Kandungan wax yang tinggi di raw F-T liquid memerlukan
hidroprosessing untuk membuat syncrude yang dapat dialirkan melalui
pipa . Pilihan upgrading minimum termasuk hidrotreating dan
hidrocracking dari F-T wax. Produk yang dihasilkan adalah F-T LPG dan
F-T syncrude, yang dapat dikirim ke conventional petroleum refinery
untuk difraksinasi menghasilkan produk yang dapat diolah lebih lanjut.
Direct Coal Liquefaction (DCL)
DCL adalah proses hydro-cracking dengan bantuan katalisator.
Prinsip dasar dari DCL adalah mengintroduksikan gas hidrogen kedalam
struktur batubara agar rasio perbandingan antara C/H menjadi kecil
sehingga terbentuk senyawa-senyawa hidrokarbon rantai pendek
berbentuk cair. Proses ini telah mencapai rasio konversi 70% batubara
(berat kering) menjadi sintetik cair. DCL juga dikenal dengan sebutan
Bergius Proccess.
Proses ini dilakukan dengan cara menghaluskan ukuran butir
batubara, kemudian slurry dibuat dengan cara mencampur batubara ini
dengan pelarut. Slurry dimasukkan ke dalam reaktor bertekanan tinggi
bersama-sama dengan hidrogen dengan menggunakan pompa. Slurry
kemudian diberi tekanan 100-300 atm di dalam sebuah reaktor kemudian
dipanaskan hingga suhu mencapai 400-480° C.
Secara kimiawi, proses akan mengubah bentuk hidrokarbon
batubara dari kompleks menjadi rantai panjang seperti pada minyak.
Dengan kata lain, batubara terkonversi menjadi liquid melalui pemutusan
ikatan C-C dan C-heteroatom secara termolitik atau hidrolitik
(thermolytic and hydrolytic cleavage), sehingga melepaskan molekul-
7
molekul CO2, H2S, NH3, dan H2O. Untuk itu rantai atau cincin aromatik
hidrokarbonnya harus dipotong dengan cara dekomposisi panas pada
temperatur tinggi (thermal decomposition). Setelah dipotong, masingmasing
potongan pada rantai hidrokarbon tadi akan menjadi bebas dan
sangat aktif (free-radical). Supaya radikal bebas itu tidak bergabung
dengan radikal bebas lainnya (terjadi reaksi repolimerisasi) membentuk
material dengan berat molekul tinggi dan insoluble, perlu adanya
pengikat atau stabilisator, biasanya berupa gas hidrogen. Hidrogen bisa
didapat melalui tiga cara yaitu: transfer hidrogen dari pelarut, reaksi
dengan fresh hidrogen, rearrangement terhadap hidrogen yang ada di
dalam batubara, dan menggunakan katalis yang dapat menjembatani
reaksi antara gas hidrogen dan slurry (batubara dan pelarut).
Faktor yang menjadikan proses DCL sangat bervariasi :
Spesifikasi batubara yang dipergunakan, sehingga tidak ada sebuah sistem
yang bisa optimal untuk digunakan bagi segala jenis batubara.
Jenis batubara tertentu mempunyai kecenderungan membentuk lelehan
(caking perform), sehingga menjadi bongkahan besar yang dapat membuat
reaktor kehilangan tekanan dan gradient panas terlokalisasi (hotspot). Hal
ini biasanya diatasi dengan mencampur komposisi batubara, sehingga
pembentukan lelehan dapat dihindari.
Batubara dengan kadarash yang tinggi lebih cocok untuk proses gasifikasi
terlebih dahulu, sehingga tidak terlalu mempengaruhi berjalannya proses.
Ini salah satu contoh yaitu negara jepang, sebagai salah satu negara
pengembang teknologi Likuifaksi Batubara terkenal dengan salah satu
proyeknya yaitu NEDOL memiliki 2 metode likuifaksi batubara yaitu
Bituminous Coal Liquefaction dan Brown Coal Liquefaction.
Bituminous Coal Liquefaction.
Dalam proses Bituminous Coal Liquefaction, Proyek
NEDOL berhasil menggabungkan 3 proses, yaitu: Solvent
Extraction Process, Direct Hydrogenation Process, dan Solvolysis
Process.
Spesifikasi proses NEDOL adalah sebagai berikut:
8
Tidak memerlukan batubara dengan spesifikasi tertentu.
Batubara yang digunakan bisa dari low grade sub-bituminous
sampai low grade bituminous.
Yield Ratio bisa mencapai 54% berat, lebih besar dari medium
atau light oil
Temperatur standar reaksi adalah 450°C dan Tekanan standar
170 kg/cm2G
Membutuhkan katalis yang sangat aktif namun tidak mahal
Sebagai pemisah antara fasa cair-gas, digunakan sistem
distilasi pengurang tekanan.
Digunakan sebagai pelarut terhidrogenasi yang dapat
digunakan kembali untuk mengawasi kualitas pelarut agar
dapat meningkatkan Yield Ratio dari batubara cair dan
mencegah fenomena “cooking” pada tungku pemanas.
Proses NEDOL Slurry dibuat dengan mencampurkan 1
bagian batubara dengan 1.5 bagian pelarut,lalu ditambahkan 3%
katalis yang mengandung besi (ferrous catalyst) Slurry dipanaskan
sampai suhunya mencapai 400°C dalam preheating furnace.Reaksi
likuifaksi terjadi dalam kolom reaktor berjenis suspension bed
foaming pada kondisi standar (Temperatur 450°C, Tekanan 170
kg/cm2G). Batubara dikonversi menjadi bentuk cair oleh reaksi
antara hidrogen dan pelarut. Setelah melewati pemisah fase gascair,
kolom distilasi bertekanan normal, dan kolom distilasi isap,
batubara cair dipisahkan menjadi naphta, medium oil, heavy oil,
dan residu.Distilat medium oil dan heavy oil dipindahkan ke kolom
reaksi berjenis fixed bed yang berisi katalis Ni-Mo. Pada kolom
reaksi ini, distilat dikonversikan menjadi distilat ringan pada
Temperatur 320°C dan Tekanan 100 kg/cm2G, dan digunakan
kembali dalam reaksi sebagai pelarut (solvent)
9
Gambar . Diagram alir proses Bituminous Coal Liquefaction
Brown Coal Liquefaction
Proses pada Brown Coal Liquefaction, secara umum terdiri
atas 3 proses, yaitu: Coal Pretreatment Process, Slurry Preheating
Process, Primary hydrogenation process dan Secondary
hydrogenation process.
Pretreatment Process merupakan proses peremukan raw
brown coal, pengeringan, dan pembuatan Slurry. Slurry dibuat
dengan mencampurkan 1 bagian batubara brown coal dengan 2.5
bagian pelarut, lalu ditambahkan katalis yang mengandung besi
(iron catalyst). Lalu Slurry diproses ke preheating process.
Primary hydrogenation process dilakukan dengan
mengalirkan gas hidrogen pada Temperatur 430-450°C dan tekanan
150-200 kg/cm2G agar dapat terjadi proses likuifaksi.
Produk yang dihasilkan dikirim ke kolom distilasi dan
didistilasi menjadi naphta, light oil dan medium oil. Kolom
distilasi bawah yang mengandung padatan dialirkan menuju kolom
pemisah padatan-cairan pada proses pengeringan pelarut. Distilat
cair kemudian dibawa ke proses Secondary hydrogenation dan
padatan dibuang.
Reaktor jenis fixed bed yang diisi katalis Ni-Mo agar
proses hidrogenasi dapat terjadi pada temperatur 300-400°C dan
tekanan 150-200 kg/cm2G. Kemudian dilakukan distilasi kembali
agar dapat dipisahkan menjadi nephta, light distillate dan medium
distillate. Setelah proses selesai, dihasilkan 3 barrel batubara cair
dari 1 ton batubara brown coal kering
10
Gambar. Diagram alir proses Brown Coal Liquefaction
Kelebihan dan KekuranganBatubara Cair
Kelebihan Batubara Cair
Beberapa kelebihan batubara cair, yaitu :
Harga produksi lebih murah.
Jenis batu bara yang dapat dipergunakan adalah batu bara yang
berkalori rendah (low rank coal), yang selama ini kurang diminati
pasaran.
Dapat dipergunakan sebagai bahan pengganti bahan bakar
pesawat jet (jet fuel), mesin diesel (diesel fuel), serta gasoline dan
bahan bakar minyak biasa.
Teknologi pengolahannya lebih ramah lingkungan. Dari pasca
produksinya tidak ada proses pembakaran, dan tidak dihasilkan
gas CO2. Kalaupun menghasilkan limbah (debu dan unsur sisa
11
produksi lainnya), masih dapat dimanfaatkan untuk bahan baku
campuran pembuatan aspal. Bahkan sisa gas hidrogen masih laku
dijual untuk dimanfaatkan menjadi bahan bakar.
Kekurangan Batubara Cair
Beberapa kekurangan batubara cair, yaitu :
Keekonomian. Harga minyak bumi sangat fluktuatif, sehingga
seringkali investor ragu untuk membangun kilang pencairan
batubara. Batubara cair akan ekonomis jika harga minyak bumi di
atas US $35/bbl.
Investasi Awal Tinggi. Biaya investasi kilang pencairan batubara
komersial, cukup mahal .
Merupakan Investasi Jangka panjang. Break Even Point (BEP)
baru dicapai setelah 7 tahun beroperasi, sedangkan tahap
pembangunan memakan waktu 3 tahun.
Dampak Positif dan Negatif Batubara Cair
Dampak Positif Batubara Cair
Beberapa dampak positif batubara cair, yaitu :
Mengurangi ketergantungan pada impor minyak serta
meningkatkan keamanan energy.
Batubara cair dapat digunakan untuk transportasi, memasak,
pembangkit listrik stasioner, dan di industri kimia.
Batubara yang diturunkan adalah bahan bakar bebas sulfur,
rendah partikulat, dan rendah oksida nitrogen.
Bahan bakar cair dari batubara merupakan bahan bakar olahan
yang ultra bersih, dapat mengurangi risiko kesehatan dari polusi
udara dalam ruangan.
Dampak Negatif Batubara Cair
Beberapa dampak negative penggunaan batubara cair, yaitu :
Meningkatkan dampak negatif dari penambangan batubara.
Penyebaran skala besar pabrik batubara cair dapat menyebabkan
peningkatan yang signifikan dari penambangan batubara.
Penambangan batubara akan memberikan dampak negatif yang
berbahaya. Penambangan ini dapat menyebabkan limbah yang
12
beracun dan bersifat asam serta akan mengontaminasi air tanah.
Selain dapat meningkatkan efek berbahaya terhadap lingkungan,
peningkatan produksi batubara juga dapat menimbulkan dampak
negatif pada orang-orang yang tinggal dan bekerja di sekitar
daerah penambangan.
Menimbulkan efek global warming sebesar hampir dua kali lipat
per gallon bahan bakar.Produksi batubara cair membutuhkan
batubara dan energi dalam jumlah yang besar. Proses ini juga
dinilai tidak efisien. Faktanya, 1 ton batubara hanya dapat
dikonversi menjadi 2-3 barel bensin. Proses konversi yang tidak
efisien, sifat batubara yang kotor, dan kebutuhan energi dalam
jumlah yang besar tersebut menyebabkan batubara cair
menghasilkan hampir dua kali lipat emisi penyebab global
warmingdibandingkan dengan bensin biasa. Walaupun karbon
yang terlepas selama produksi ditangkap dan disimpan, batubara
cair akan tetap melepaskan 4 hingga 8 persen polusiglobal
warming lebih banyak dibandingkan dengan bensin biasa.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pencairan batubara (Coal Liquefaction) adalah proses mengubah wujud batubara
dari padat menjadi cair. Proses pencairan batubara dapat dilakukan dengan dua
13
metode yaitu metode langsung (Direct Liquefaction Process) dan metode tidak
langsung (Indirect Liquefaction Process). Pada proses tidak langsung batubara
difragmentasi menjadi CO, CO2, H2, dan CH4 yang kemudian direkombinasikan
menghasilkan produk cair, prosesnya melalui gasifikasi dan kondensasi. Pada
proses langsung batubara cair diproduksi dengan melarutkan dalam suatu pelarut
organik lalu dilanjutkan dengan proses hidrogenasi pada suhu dan tekanan tinggi.
Proses pencairan batubara secara langsung dapat dilakukan melalui pirolisis,
ekstraksi pelarut dan hidrogenasi katalitik.
DAFTAR PUSTAKA
Rochman, Fatchur. 2013. Gasifikasi dan Likuifaksi Batubara. [Online]. Tersedia:
http://fatchur-newames.blogspot.com/2013/11/gasifikasi-dan-likuifaksibatubara.
html. [28 Agustus 2013].
Ririn. 2013. Coal to Liquid. [Online]. Tersedia:
http://rinririns.blogspot.com/2013/02/coal-to-liquid.html. [28 Agustus
2013].
14
Gomes, Gary. 2012. Proses Liquifaction. [Online]. Tersedia:
http://silentdiamlovetekim.blogspot.com/. [28 Agustus 2013].
Letshare. 2010. Likuifikasi Batubara. [Online]. Tersedia:
http://letshare17.blogspot.com/2010/12/likuifikasi-batu-bara.html. [28
Agustus 2013].
http://bataviase.co.id
http://blogodril.blogspot.com/2010/03/batubara-yang-dicairkan-konversienergi.
htm.
http://scientificindonesia.wordpress.com/proses-pengolahan-batubara/
15
BAB I
PENDAHULUAN
1.3.Manfaat
1) Mengetahui teknologi yang dipakai pada proses gasifikasi batubara.
2) Mengetahui perbedaan dan perbandingan jurnal yang ada.
3) Mengetahui ada pemakaian katalis dalam proses tersebut.
1.4. Tujuan
1) Mengetahui prose- proses dari teknologi yang dipakai pada proses gasifikasi
batubara.
2) Mengetahui dari proses terdapat perbedaan dan perbandingan dari jurnal.
3) Mengetahui ada pemakaian katalis dan macam-macam dalam proses tersebut serta
kelebihannya masing-masing.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada tipe fluidized bed, batubara yang digasifikasi ukurannya lebih kecil
dibandingkan pada moving bed, yaitu beberapa milimeter sampai maksimal 10 mm saja.
Tipikal penggas ini memasukkan bahan bakarnya dari samping (side feeding) dan oksidan
dari bagian bawah. Oksidan disini selain sebagai reaktan pada proses, juga berfungsi sebagai
media lapisan mengambang dari batubara yang digasifikasi. Dengan kondisi penggunaan
oksidan yang demikian maka salah satu fungsi tidak akan dapat maksimal karena harus
melengkapi fungsi lainnya, atau bersifat komplementer. Hal ini mengakibatkan tingkat
konversi karbon pada tipe ini maksimal hanya sekitar 97% saja, tidak setinggi pada tipe
moving bed dan entrained flow yang dapat mencapai 99% atau lebih. (Higman, 2003).
Batubara yang akan diproses harus memiliki temperatur melunak abu (softening
temperature) di atas suhu operasional tersebut. Hal ini bertujuan agar abu yang dihasilkan
selama proses tidak meleleh, yang dapat mengakibatkan terganggunya kondisi lapisan
mengambang. Dengan suhu operasi yang relatif rendah, penggas ini banyak digunakan untuk
memproses batubara peringkat rendah seperti lignit atau peat yang memiliki sifat lebih reaktif
dibanding jenis batubara yang lain. Pengembangan lebih lanjut teknologi penggas jenis ini
sangat diharapkan untuk dapat mengakomodasi secara lebih luas penggunaan batubara
peringkat rendah, biomassa, dan limbah seperti MSW (Municipal Solid Waste).
Kemudian untuk tipe entrained flow, penggas ini sekarang mendominasi proyek –
proyek gasifikasi baik yang berbahan bakar batubara maupun minyak residu. Pada alat ini,
batubara yang akan diproses dihancurkan dulu sampai berukuran 100 mikron atau kurang.
Batubara serbuk ini disemburkan ke penggas bersama dengan aliran oksidan, dapat berupa
oksigen, udara, atau uap air. Proses gasifikasi berlangsung pada suhu antara 1200~18000C,
dengan waktu tinggal batubara kurang dari 1 detik. Dengan suhu operasi sedemikian tinggi,
pada dasarnya tidak ada batasan jenis batubara yang akan digunakan karena abunya akan
meleleh membentuk material seperti gelas (glassy slag) yang bersifat inert.
Meski demikian, batubara sub-bituminus sampai dengan antrasit lebih disukai untuk
penggas jenis ini. Lignit atau brown coal pada prinsipnya dapat digasifikasi, hanya saja
kurang ekonomis karena kandungan airnya yang tinggi yang menyebabkan konsumsi energi
yang besar. Meskipun abu akan meleleh membentuk slag, tapi batubara berkadar abu tinggi
sebaiknya dihindari pula karena dapat mengganggu kesetimbangan panas akibat proses
pelelehan abu dalam jumlah banyak. Batubara dengan suhu leleh abu tinggi biasanya
dicampur dengan kapur (limestone) untuk menurunkan suhu lelehnya sehingga suhu pada
penggas pun dapat ditekan. Gasifikasi suhu tinggi pada penggas ini menyebabkan kandungan
metana dalam gas sintetik sangat sedikit, sehingga gas sintetik berkualitas tinggi dapat
diperoleh.
Terdapat beberapa tipe penggas entrained flow berdasarkan kondisi dan cara
mengumpan bahan bakarnya. Penggas Koppers-Totzek yang merupakan pionir jenis ini
mengumpan batubara serbuk dalam kondisi kering dari bagian bawah, atau disebut dry up.
Gas sintetik akan keluar dari bagian atas alat. Tipe dry up ini juga dijumpai pada penggas
Shell dan Mitsubishi (CCP). Untuk arah umpan dari bawah, selain terdapat bahan bakar
dalam kondisi kering, terdapat pula bahan bakar dalam kondisi basah atau disebut slurry up.
Tipikal jenis ini adalah penggas E-Gas dari Conoco Phillips. Selain slurry up, terdapat pula
metode slurry down, yang dijumpai pada penggas Chevron – Texaco. Secara umum, bahan
bakar berupa batubara kering mengkonsumsi energi yang lebih sedikit dibandingkan dengan
dalam keadaan basah (slurry) sehingga lebih menguntungkan.
Toleransi jenis umpan Batubara kualitas Batubara kualitas Segala jenis batubara,
rendah rendah dan biomassa tetapi tidak cocok
untuk biomassa
Gambar 5. Polygeneration
(Sumber: B. Trap, dkk, Eastman Gasification Services Company)
BAB III
JURNAL
Gambar 6. Diagram Skematik Katalis Exxon Gasifikasi Batubara yang Menunjukkan recycle
Hidrogen dan Karbon Monoksida
3.2. Produksi Hidrogen Yield Tinggi oleh Katalis Gasifikasi Batubara atau Biomassa
3.4. Coal, Oil Shale, Natural Bitumen, Heavy Oil and Peat
Gasifikasi batubara merupakan salah satu teknologi batubara. Tujuan mengkonversi
batubara menjadi gas batubara dinyatakan. Penekanannya adalah pada gasifikasi batubara
terpadu siklus gabungan sebagai salah satu aplikasi gasifikasi batubara karena semakin tinggi
efisiensi dan potensi terbesar untuk memenuhi kontrol emisi yang kuat. Reaksi gasifikasi
batubara, termodinamika, dan kinetika gasifikasi.
Reaksi disajikan secara singkat. Setelah proses gasifikasi batubara dibagi menjadi
beberapa kategori, 4 jenis proses gasifikasi batubara ditunjukkan masing-masing yaitu proses
moving bed, fluidized bed, entrained bed, dan molten bed. Beberapa tipikal atau gasifiers
maju diperkenalkan terbatas pada operasi komersial ini dan operasi tersebut di pabrik
percontohan ukuran besar adalah lurgi gasifier and BGC-L gasifier untuk moving bed proses,
gasifier winkler, gasifier HTW dan gasifier U-Gas atau KRW untuk fluidisasi proses bed dan
gasifier K-T, Prenflo, SCGP, TCGP dan Dow gasifier untuk entrained bed process. Gasifiers
ini dibahas sesuai dengan metode mereka memberi makan pembuangan.
Gas batubara adalah campuran gas. Campuran ini biasanya terdiri dari karbon
monoksida (CO), hidrogen (H2), karbon dioksida (CO2), nitrogen (N2), dan jumlah yang
bervariasi dari metana (CH4). Gas batubara diklasifikasikan berdasarkan nilai kalor. Gas
dengan kadar rendah-panas (juga disebut rendah-Btu) memiliki nilai pemanasan di bawah 7
MJ m-3 dan terutama campuran nitrogen dan karbon dioksida, dengan komponen yang
mudah terbakar, yaitu karbon monoksida, hidrogen, dan metana. Gas dengan kandungan
panas tinggi (atau tinggi Btu) memiliki nilai pemanasan sekitar 37 MJ/m3 dan terutama terdiri
dari metana. Gas tersebut juga disebut gas alam pengganti atau sintetis atau SNG. Medium-
heat-content (atau medium Btu) gas memiliki nilai pemanasan antara 7 dan 15 MJ/m3. Gas di
ujung bawah kisaran ini terdiri dari karbon monoksida dan hidrogen, sedangkan gas di ujung
yang lebih tinggi mengandung lebih banyak metana udara dan abu,kondisi operasi utama,
efisiensi gasifikasi, dan karakteristik.
Batubara pertama kali dihancurkan dan kadang dikeringkan, kemudian dimasukkan
ke dalam gasifier, di mana batubara bereaksi dengan uap dan udara (oksigen). Reaksi
gasifikasi biasanya terjadi pada tingkat tinggi suhu 800-1900°C dan tekanan tinggi hingga 10
MPa. Saat batubara dibakar dengan jumlah udara stoikiometri yang kurang dengan atau tanpa
uap, produknya lowheat-gas isi, yang setelah pemurnian bisa digunakan sebagai bahan bakar
gas. Menggunakan oksigen di tempat udara menghasilkan gas dengan kadar panas sedang.
Gas yang dihasilkan digunakan sebagai sintetis gas. Beberapa CO dalam gas harus
direaksikan dengan uap untuk mendapatkan hidrogen tambahan. Langkah ini disebut
konversi pergeseran, yang membentuk rasio komponen gas yang tepat tergantung pada
kebutuhan gas sintetis yang berbeda untuk memproduksi bahan bakar cair, SNG, amonia,
atau metanol.
BAB IV
PERBANDINGAN JURNAL
BAB V
KESIMPULAN
Jenis katalis yang sering digunakan adalah jenis logam alkali yang dapat
mempercepat proses reaksi dan menghasilkan produk yang baik. Begitu pula dengan jenis
gasifier yang dipakai yaitu dapat ditentukan dengan klasifikasi parameternya seperti ukuran,
toleransi kehalusan partike, toleransi kekerasan partikel, dan sebagainya. Teknologi dari ke
empat jurnal tersebu berbeda-beda tergantung dengan kondisi operasi, jenis batubara yang
dipakai hasil yang diinginkan. Demikian pula akan reaksi yang ada pada pemrosesan
gasifikasi batubara, pada setiap reaksi memiliki ∆H yang berbeda yang akan mempengaruhi
kinetika reaksi pada proses gasifikasi tersebut. Penentuan basis dan hukum termodinamika
juga perlu ditetapkan sebelum reaksi akan dilakukan.
Gasifikasi Batubara
Sedangkan pada pirolisis, batubara dipanaskan dalam kondisi tanpa oksigen. Pada keadaan
demikian, zat terbang (volatile matter) di dalamnya akan terusir keluar. Bila suhu
pemanasannya rendah, proses ini disebut pirolisis suhu rendah (low temperature pyrolysis),
menghasilkan produk berupa bahan bakar padat non asap (coalite). Sedangkan pada pirolisis
suhu tinggi, bila batubara yang diproses adalah batubara kokas, maka akan dihasilkan kokas
yang keras. Selain padatan yang disebut char ataupun kokas, produk sampingan berupa gas
dan material cair yang disebut tar juga akan dihasilkan pada pirolisis. Pada awalnya, gas dan
tar ini tidak dimanfaatkan. Gas hasil pirolisis ini dimulai dimanfaatkan sejak tahun 1800an,
yang digunakan untuk keperluan penerangan. Pemanfaatannya bahkan meluas hingga untuk
bahan bakar (fuel gas), sehingga industri pirolisis yang bertujuan untuk menghasilkan gas
dari batubara pun berkembang pesat. Pada industri ini, gas merupakan produk utama,
sedangkan char atau kokas dan tar merupakan produk sampingan. Sebelum tahun 1960an
ketika bahan baku migas mulai menggeser peranan batubara, suplai gas kota (town gas)
terutama berasal dari pirolisis batubara ini. Adapun untuk tar, pemanfaatannya dimulai pada
pertengahan abad ke-19, ketika perkembangan teknik kimia telah memungkinkan untuk
melakukan distilasi dan pemurnian tar menjadi produk pewarna sintetik dan bahan kimia.
Jadi, sebelum industri kimia yang berbahan baku migas atau disebut dengan petrochemical
berkembang, industri kimia berbasis batubara atau disebut dengan coal-chemical telah lebih
dulu eksis.
Dibandingkan dengan minyak, salah satu kekurangan batubara adalah bentuknya yang berupa
padatan, menyebabkan skala dan nilai pemanfaatannya menjadi terbatas. Pencairan batubara
sebenarnya berangkat dari pemikiran untuk lebih meningkatkan nilai guna batubara seperti
halnya minyak. Seperti disinggung pada bahasan pirolisis di atas, salah satu produk batubara
ketika dilakukan pemanasan adalah tar, yang berupa cairan. Pada dasarnya, batubara dan
minyak merupakan material hidrokarbon yang susunan utamanya terdiri dari karbon (C),
hidrogen (H), dan oksigen (O), hanya saja jumlah unsur hidrogen dalam batubara lebih
sedikit bila dibandingkan dengan minyak. Oleh karena itu, untuk menghasilkan produk cairan
dari batubara yang karakteristiknya menyerupai minyak, perlu diupayakan agar kandungan
hidrogennya diperbanyak sehingga mendekati minyak. Proses ini disebut dengan hidrogenasi
(hydrogenation), dimana batubara dipanaskan dalam kondisi tekanan tertentu, disertai
penambahan katalis. Pencairan batubara dengan metode ini merupakan salah satu pencairan
batubara secara langsung (direct coal liquefaction, DCL) yang disebut dengan proses
Bergius. Metode ini digunakan oleh Jerman selama Perang Dunia I dan II untuk memenuhi
kebutuhan minyak sintetik oleh militer. Selain itu, Jepang pun berhasil mengembangkan
sendiri teknologi DCL ini dengan menggabungkan 3 macam metode pencairan pada batubara
bituminus yaitu, direct hydrogenation, solven extraction, dan Solvolysis. Teknologi tersebut
dikenal dengan proses NEDOL, yang dapat diaplikasikan pula untuk pencairan batubara
muda.
Selain pencairan secara langsung, metode lain untuk menghasilkan minyak sintetik dari
batubara adalah dengan pencairan tidak langsung (indirect coal liquefaction, ICL), yaitu
melalui proses gasifikasi batubara yang akan dijelaskan lebih lanjut di bawah ini. Pada
perkembangannya, pencairan batubara akhirnya lebih banyak menggunakan metode tidak
langsung, yaitu melalui gasifikasi.
Teknologi Gasifikasi
Gasifikasi (gasification) adalah konversi bahan bakar karbon menjadi produk gas – gas yang
memiliki nilai kalor yang berguna. Pengertian ini tidak memasukkan istilah pembakaran
(combustion) sebagai bagian daripadanya, karena gas buang (flue gas) yang dihasilkan dari
pembakaran tidak memiliki nilai kalor yang signifikan untuk dimanfaatkan [Higman, van der
Burgt, 2003]. Karena proses ini merupakan konversi material yang mengandung karbon,
maka semua hidrokarbon seperti batubara, minyak, vacuum residue, petroleum coke atau
petcoke, Orimulsion, bahkan gas alam dapat digasifikasi untuk menghasilkan gas sintetik
(syngas).
Karena bertujuan untuk mengenalkan gasifikasi batubara, maka tulisan ini membatasi
pembahasannya hanya pada ruang lingkup gasifikasi batubara dan aplikasinya.
Pada dasarnya, terdapat 3 cara untuk memproduksi gas sintetik dari batubara, yaitu pirolisis,
hidrogenasi, dan oksidasi sebagian (partial oxidation).
Meskipun produksi gas sintetik pada awalnya memanfaatkan teknologi pirolisis, tapi saat ini
pirolisis lebih banyak diaplikasikan untuk memproduksi bio-oil dari bahan baku biomassa.
Metode yang dipakai adalah flash pyrolysis, dimana biomassa dipanaskan secara cepat tanpa
oksigen pada suhu tinggi antara 450~600℃, dengan waktu tinggal gas (residence time) yang
pendek yaitu kurang dari 1 detik. [Bramer, Brem, 2006].
Sedangkan pada oksidasi sebagian, pemanasan batubara dilakukan dengan mengatur kadar
oksigen dari oksidan yang digunakan selama proses berlangsung. Oksidan tersebut dapat
berupa udara (air), oksigen murni, maupuan uap air (steam). Produk yang dihasilkan oleh
oksidasi sebagian adalah gas sintetik, dimana 85% lebih volumenya terdiri dari hidrogen (H2)
dan karbon monoksida (CO), sedangkan karbon dioksida (CO2) dan metana (CH4) terdapat
dalam jumlah sedikit. Dengan karakteristik produk yang dihasilkan, secara praktikal, istilah
gasifikasi sebenarnya merujuk ke metode oksidasi sebagian. Untuk selanjutnya, penjelasan
tentang gasifikasi batubara akan mengacu ke penggunaan metode oksidasi sebagian.
Gasifikasi Batubara
Terdapat 3 jenis penggas (gasifier) yang banyak digunakan untuk gasifikasi batubara, yaitu
tipe moving bed (lapisan bergerak), fluidized bed (lapisan mengambang), dan entrained flow
(aliran semburan). Karena masing – masing penggas memiliki kelebihan dan kekurangan,
maka alat mana yang akan digunakan lebih ditentukan oleh karakteristik bahan bakar dan
tujuan gasifikasi.
Untuk model moving bed, batubara yang digasifikasi adalah yang berukuran agak besar,
sekitar beberapa sentimeter (lump coal). Batubara dimasukkan dari bagian atas, sedangkan
oksidan berupa oksigen dan uap air dihembuskan dari bagian bawah alat. Mekanisme ini akan
menyebabkan batubara turun pelan – pelan selama proses, sehingga waktu tinggal (residence
time) batubara adalah lama yaitu sekitar 1 jam, serta menghasilkan produk sisa berupa abu.
Karena penggas model ini beroperasi pada suhu relatif rendah yaitu maksimal sekitar 600 0C,
maka batubara yang akan digasifikasi harus memiliki suhu leleh abu (ash fusion temperature)
yang tinggi. Hal ini dimaksudkan agar abu tidak meleleh yang akhirnya mengumpul di bagian
bawah alat sehingga dapat menyumbat bagian tersebut. Disamping produk utama yaitu gas
hidrogen dan karbon monoksida, gasifikasi pada suhu relatif rendah ini akan meningkatkan
persentase gas metana pada produk gas. Karena gas metana ini dapat meningkatkan nilai
kalor gas sintetik yang dihasilkan, maka penggas moving bed sesuai untuk produksi SNG
(Synthetic Natural Gas) maupun gas kota (town gas).Contoh alat tipe ini adalah penggas
Lurgi, yang digunakan oleh Sasol di Afrika Selatan untuk produksi BBM sintetis dan Dakota
Gasification di AS untuk produksi SNG.
Gambar 1. Tipikal penggas jenis moving bed
Pada tipe fluidized bed, batubara yang digasifikasi ukurannya lebih kecil dibandingkan pada
moving bed, yaitu beberapa milimeter sampai maksimal 10 mm saja. Tipikal penggas ini
memasukkan bahan bakarnya dari samping (side feeding) dan oksidan dari bagian bawah.
Oksidan disini selain sebagai reaktan pada proses, juga berfungsi sebagai media lapisan
mengambang dari batubara yang digasifikasi. Dengan kondisi penggunaan oksidan yang
demikian maka salah satu fungsi tidak akan dapat maksimal karena harus melengkapi fungsi
lainnya, atau bersifat komplementer. Hal ini mengakibatkan tingkat konversi karbon pada
tipe ini maksimal hanya sekitar 97% saja, tidak setinggi pada tipe moving bed dan entrained
flow yang dapat mencapai 99% atau lebih. [Higman, van der Burgt, 2003]. Karena penggas
ini beroperasi pada suhu sekitar 600~10000C, maka batubara yang akan diproses harus
memiliki temperatur melunak abu (softening temperature) di atas suhu operasional tersebut.
Hal ini bertujuan agar abu yang dihasilkan selama proses tidak meleleh, yang dapat
mengakibatkan terganggunya kondisi lapisan mengambang. Dengan suhu operasi yang relatif
rendah, penggas ini banyak digunakan untuk memproses batubara peringkat rendah seperti
lignit atau peat yang memiliki sifat lebih reaktif dibanding jenis batubara yang lain.
Pengembangan lebih lanjut teknologi penggas jenis ini sangat diharapkan untuk dapat
mengakomodasi secara lebih luas penggunaan batubara peringkat rendah, biomassa, dan
limbah seperti MSW (Municipal Solid Waste). Contoh alat model ini adalah penggas Winkler
yang merupakan pionir penggas fluidized bed, penggas HTW (High Temperature Winkler),
dan KBR (Kellog Brown Root) Transport Gasifier.
Gambar 2. Tipikal penggas jenis fluidized bed
Kemudian untuk tipe entrained flow, penggas ini sekarang mendominasi proyek – proyek
gasifikasi baik yang berbahan bakar batubara maupun minyak residu. Pada alat ini, batubara
yang akan diproses dihancurkan dulu sampai berukuran 100 mikron atau kurang. Batubara
serbuk ini disemburkan ke penggas bersama dengan aliran oksidan, dapat berupa oksigen,
udara, atau uap air. Proses gasifikasi berlangsung pada suhu antara 1200~18000C, dengan
waktu tinggal batubara kurang dari 1 detik. Dengan suhu operasi sedemikian tinggi, pada
dasarnya tidak ada batasan jenis batubara yang akan digunakan karena abunya akan meleleh
membentuk material seperti gelas (glassy slag) yang bersifat inert. Meski demikian, batubara
sub-bituminus sampai dengan antrasit lebih disukai untuk penggas jenis ini. Lignit atau
brown coal pada prinsipnya dapat digasifikasi, hanya saja kurang ekonomis karena
kandungan airnya yang tinggi yang menyebabkan konsumsi energi yang besar. Meskipun abu
akan meleleh membentuk slag, tapi batubara berkadar abu tinggi sebaiknya dihindari pula
karena dapat mengganggu kesetimbangan panas akibat proses pelelehan abu dalam jumlah
banyak. Batubara dengan suhu leleh abu tinggi biasanya dicampur dengan kapur (limestone)
untuk menurunkan suhu lelehnya sehingga suhu pada penggas pun dapat ditekan. Gasifikasi
suhu tinggi pada penggas ini menyebabkan kandungan metana dalam gas sintetik sangat
sedikit, sehingga gas sintetik berkualitas tinggi dapat diperoleh.
Terdapat beberapa tipe penggas entrained flow berdasarkan kondisi dan cara mengumpan
bahan bakarnya. Penggas Koppers-Totzek yang merupakan pionir jenis ini mengumpan
batubara serbuk dalam kondisi kering dari bagian bawah, atau disebut dry up. Gas sintetik
akan keluar dari bagian atas alat. Tipe dry up ini juga dijumpai pada penggas Shell dan
Mitsubishi (CCP). Untuk arah umpan dari bawah, selain terdapat bahan bakar dalam kondisi
kering, terdapat pula bahan bakar dalam kondisi basah atau disebut slurry up. Tipikal jenis ini
adalah penggas E-Gas dari Conoco Phillips. Selain slurry up, terdapat pula metode slurry
down, yang dijumpai pada penggas Chevron – Texaco. Secara umum, bahan bakar berupa
batubara kering mengkonsumsi energi yang lebih sedikit dibandingkan dengan dalam
keadaan basah (slurry) sehingga lebih menguntungkan.
Gas sintetik hasil gasifikasi batubara dapat diproses lebih lanjut atau dimanfaatkan untuk
berbagai keperluan, diantaranya adalah sebagai berikut:
Salah satu alasan mengapa pembuatan bahan bakar sintetik melalui gasifikasi batubara
terus berlangsung sampai sekarang adalah karena cadangan batubara dunia yang begitu
melimpah. Berdasarkan data BP World Energy Review tahun 2004, dengan tingkat
produksi sebesar 4,9 milyar ton per tahun (akhir 2003), cadangan terbukti batubara dapat
bertahan hingga 192 tahun. Sedangkan minyak dan gas, dengan tingkat produksi saat itu,
masing – masing hanya mampu bertahan selama 41 tahun dan 67 tahun saja. Selain itu,
harga minyak yang fluktuatif dan cenderung tinggi menyebabkan bahan bakar sintetik dari
batubara (CTL) menjadi semakin kompetitif. Laporan departemen energi AS (DOE
Annual Energy Outlook 2005) menyebutkan potensi CTL diperkirakan sebesar 2 juta
barel per hari pada tahun 2025, ditambah Cina yang diperkirakan memiliki potensi 1 juta
barel per hari.
Pada pembuatan BBM sintetik, batubara digasifikasi terlebih dulu untuk menghasilkan gas
sintetik yang komposisi utamanya terdiri dari hidrogen (H2) dan karbon monoksida (CO),
kemudian dilanjutkan dengan proses Fischer-Tropsch (FT) untuk menghasilkan
hidrokarbon ringan (paraffin). Hidrokarbon tersebut kemudian diproses lebih lanjut untuk
menghasilkan bensin dan minyak diesel. Karena nilai oktan pada produk bensin yang
dihasilkan rendah, maka dilakukan upaya untuk menghasilkan bensin bernilai oktan tinggi
dari gas sintetik ini. Proses tersebut dilakukan dengan memproduksi metanol dari gas
sintetik terlebih dulu, kemudian metanol diproses untuk menghasilkan bensin bernilai
oktan tinggi. Metode ini disebut MTG (Methanol to Gasoline), yang dikembangkan oleh
Mobil pada tahun 1970an.
Salah satu kisah sukses pembuatan bahan bakar sintetik dari batubara adalah South
African Coal Oil and Gas Corporation atau yang dikenal dengan Sasol di Afrika Selatan,
yang saat ini memproduksi gas sintetik sebesar 55 juta Nm3 per hari menggunakan
penggas Lurgi, dan memproduksi minyak sintetik sebanyak 150 ribu barel per hari melalui
sintesis Fischer-Tropsch.
Berawal dari boikot dunia terhadap politik apartheid sehingga menyebabkan Afsel tidak
dapat membeli minyak mentah di pasaran, pemerintah setempat akhirnya meluncurkan
proyek CTL setelah menyadari bahwa Afsel memiliki cadangan batubara yang melimpah.
Pabrik pertama (Sasol I) selesai didirikan di Sasolburg pada tahun 1954, dan minyak
sintetik pertama dipasarkan pada tahun berikutnya. Pada tahun 1960, keuntungan pertama
(first profit) berhasil diraih oleh Sasol setelah 5 tahun operasional. Pabrik Sasol II
diumumkan pada tahun 1974 ketika harga minyak dunia mencapai US$13/barel saat itu
(setara US$40/barel tahun 2003) akibat perang Oktober di Timteng tahun 1973.
Sedangkan Sasol III diumumkan tahun 1979 ketika harga minyak mencapai US$35/barel
saat itu (setara US$80/barel tahun 2003) akibat revolusi Iran. Sasol II dan Sasol III masing
– masing selesai didirikan pada tahun 1980 dan 1984.
Saat ini, Sasol mempekerjakan 170 ribu karyawan, baik secara langsung maupun tidak
langsung, yang merupakan 2% tenaga kerja sektor formal di Afsel. Selain itu, Sasol juga
menyumbang 4% GDP atau sekitar US$ 7 milyar, serta menyuplai 40% kebutuhan BBM
dalam negeri Afsel (28% dari batubara). [van de Venter, 2005]
(Sumber:
www.fossil.energy.gov/programs/powersystems/gasification/howgasificationworks.html)
Pada pilihan pertama di atas, biaya pemasangan peralatan pembersihan pasca pembakaran
sangat besar. Sebagai contoh, untuk pembangkit berbahan bakar batubara serbuk
(pulverized coal) yang saat ini mendominasi, biaya pemasangan unit desulfurisasi (Flue
Gas Desulfurization, FGD) dapat mencapai 20% dari total biaya pembangunannya. Untuk
pilihan kedua yaitu mekanisme NGCC, meskipun emisi yang rendah dapat dicapai, tapi
ongkos bahan bakar yang relatif tinggi otomatis akan mempengaruhi biaya pembangkitan.
Pilihan ketiga merupakan alternatif terbaik, dimana pembangkitan kombinasi tersebut
mampu menghasilkan emisi yang sangat rendah dengan mengoptimalkan fasilitas
pembangkit yang ada serta menggunakan bahan bakar berbiaya rendah yaitu batubara.
Pembangkit listrik yang memanfaatkan gas sintetik hasil gasifikasi batubara disebut
dengan IGCC (Integrated Gasification Combined Cycle). Pada IGCC, pembangkitan
listrik dihasilkan dari mekanisme kombinasi antara turbin gas, HRSG (Heat Recovery
Steam Generator), dan turbin uap. Tipikal penggas yang digunakan pada IGCC adalah
bertipe entrained flow, seperti E-Gas (Conoco Phillips), Chevron-Texaco (GE Energy),
SFG (Siemens), Mitsubishi, dan Shell.
Secara garis besar, gas sintetik yang dihasilkan oleh penggas akan diproses di pendingin
gas (gas cooler) dan fasilitas pembersih gas (gas clean up) terlebih dulu sebelum mengalir
ke turbin gas. Setelah melewati siklus Brayton, gas buang dari turbin gas kemudian
mengalir ke HRSG, dimana panas dari gas tersebut kemudian dimanfaatkan untuk
menghasilkan uap air. Selain dari turbin gas, panas buangan yang dihasilkan dari proses
pendinginan gas juga dialirkan ke HRSG pula. Uap air dari HRSG inilah yang kemudian
dimanfaatkan untuk menggerakkan turbin uap melalui mekanisme siklus Rankine. Dengan
kombinasi 2 siklus ini, tidaklah mengherankan apabila efisiensi netto pembangkitan pada
IGCC lebih unggul dibandingkan dengan efisiensi pada sistem pembangkitan
konvensional (pulverized coal) yang saat ini mendominasi.
Pada proses pembersihan gas, unsur lain yang tidak ramah lingkungan yang dihasilkan
dari gasifikasi seperti HCN, H2S, NH3, COS, uap air raksa, dan char dibersihkan. H2S dan
COS dapat diproses dengan mudah dan diubah menjadi sulfur padat atau asam sulfat yang
merupakan produk sampingan, sedangkan NH3 dapat dibersihkan dengan menggunakan
air. Uap air raksa dibersihkan dengan melewatkan gas sintetik tekanan tinggi ke lapisan
karbon aktif. Adapun abu akan meleleh selama proses gasifikasi, yang kemudian diubah
menjadi padatan (glassy slag) yang stabil. Material ini dapat digunakan untuk campuran
bahan pada pekerjaan konstruksi.[Phillips, 2006].
Contoh pembangkit ini adalah Nuon IGCC yang terletak di Buggenum, Belanda,
berkapasitas 253MWe. Meskipun saat ini beroperasi secara komersial, pembangkit ini
pada awalnya merupakan demonstration plant yang dikenal dengan proyek Demkolec.
Pembangkit ini menghasilkan efisiensi netto sebesar 43% (Low Heating Value), dengan
performansi baku mutu lingkungan yang sangat bagus. Emisi NOx yang dihasilkan sangat
rendah yaitu kurang dari 10 ppm, kemudian efisiensi pengambilan sulfur di atas 99%,
tingkat emisi flyash, senyawa klorida dan logam berat mudah menguap yang bisa dibilang
nol, serta air limbah yang bisa diresirkulasi kembali sehingga tidak ada buangan air
limbah ke lingkungan.[Chhoa, 2005].
Meskipun IGCC memiliki berbagai kelebihan, tapi masalah utama saat ini adalah biaya
pembangkitannya yang masih tinggi. Secara garis besar, disamping unit pembangkitan,
IGCC juga tersusun dari unit pemisah udara (Air Separation Unit, ASU) yang berfungsi
menyuplai oksigen ke penggas, dan unit penggas itu sendiri. Unit pembangkitan (turbin
gas, turbin uap, HRSG) dan unit ASU merupakan teknologi yang sudah mapan dan
terbukti sehingga dari segi ongkos, tidak mungkin untuk ditekan lagi. Untuk menekan
biaya pembangkitan pada IGCC, satu – satunya cara adalah dengan meningkatkan
performa penggas dan membangun sistem (building block) gasifikasi yang efisien. [van
der Burgt, 1998]. Dengan upaya demikian serta makin makin menguatnya isu lingkungan,
biaya pembangkitan pada IGCC diharapkan akan semakin kompetitif terhadap biaya
pembangkitan pada pembangkit pulverized coal (PC) yang saat ini mendominasi yang
ongkos pembangkitannya cenderung meningkat untuk mengakomodasi baku mutu
lingkungan. Dan pada tahun 2010, di Amerika diharapkan biaya pembangkitan IGCC
akan menyamai ongkos pembangkitan pada PC, yaitu sekitar US$1200/kW.[Arai, 2006].
Karena pada PLTU maupun IGCC dikenal dengan istilah scale merit, maka semakin besar
unit otomatis biaya pembangkitan juga semakin rendah. Salah satu laporan menyebutkan
bahwa IGCC komersial akan bernilai ekonomis pada kapasitas pembangkitan minimal 550
MWe.[Trapp, 2005].
Gas sintetik hasil gasifikasi batubara juga dapat digunakan sebagai bahan baku industri
kimia, diantaranya untuk pembuatan ammonia, pupuk, metanol, DME (Dimethyl Ether),
olefin, paraffin, dan lain – lain.
Selain Shell, GE Energy juga menyediakan teknologi gasifikasi batubara di Cina. Sampai
dengan Oktober 2006, dari 7 proyek yang direncanakan, 3 unit telah telah beroperasi untuk
memproduksi metanol dan ammonia.[Lowe, 2006].
Penutup
Dengan harga yang relatif murah dibandingkan dengan bahan bakar fosil lainnya, kemudian
ketersediaannya yang melimpah, serta penyebaran cadangan yang relatif merata di seluruh
dunia, batubara merupakan sumber energi primer yang menjanjikan. Apabila selama ini
pemanfaatan batubara terkesan terbatas untuk pembangkitan listrik saja, maka gasifikasi
batubara memberikan harapan yang besar untuk pemanfaatan batubara secara optimal di
masa mendatang. Dari paparan di atas dapat pula disimpulkan bahwa batubara memiliki
kekuatan yang besar untuk menarik roda perekonomian suatu bangsa melalui teknologi
gasifikasi.
Gasifikasi batubara tidak semata hanya dapat digunakan untuk satu tujuan saja, misalnya
untuk pembangkitan listrik, tapi dapat pula dirancang untuk tujuan yang lain secara
bersamaan. Sebagai contoh, fasilitas gasifikasi dapat didesain untuk menghasilkan listrik,
memproduksi bahan baku industri kimia, maupun membuat bahan bakar sintetis sekaligus.
Mekanisme ini disebut dengan polygeneration (polygen) atau co-generation (co-gen).
Gambar 5. Polygeneration
Memperhatikan nilai tambah (added value) batubara melalui teknologi gasifikasi dan efek
ekonomis yang ditimbulkannya, dapat dipahami bahwa batubara sesungguhnya lebih dari
sekedar komoditas dagang belaka. Batubara sesungguhnya merupakan sumber daya strategis
untuk menjamin kemandirian energi dan industri suatu bangsa di masa mendatang.
Penulis akan mencoba membandingkan kondisi perbatubaraan di Cina dan Indonesia terkait
hal ini. Meskipun data yang diambil hanya pada tahun 2003 dan 2004 saja, tapi penulis
melihat bahwa tahun tersebut merupakan titik balik penting yang merefleksikan kebijakan
energi pemerintah Cina yang perlu dijadikan pelajaran.
Berdasarkan laporan World Coal Institute (WCI), Cina memproduksi batubara sebanyak
1,502 milyar ton dengan ekspor sebesar 95,1 juta ton (6,3% total produksi) pada tahun 2003.
Di tahun berikutnya, terjadi peningkatan produksi sekitar 450 juta ton sehingga total produksi
menjadi 1,956 milyar ton. Menariknya, meskipun terjadi kenaikan produksi, volume ekspor
batubara Cina justru menurun menjadi 86 juta ton (4,4% total produksi). Bersamaan dengan
penurunan ekspor, volume impor justru naik dari 10,29 juta ton pada tahun 2003 menjadi
18,36 juta ton pada tahun 2004. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akhirnya memaksa
pemerintah Cina untuk memikirkan keamanan energi dalam negeri, dan batubara merupakan
pilihan utama. Hal inilah yang mengakibatkan penurunan ekspor dan meningkatnya volume
impor batubara. Disamping itu, pemerintah Cina juga meluncurkan proyek – proyek
pembangunan pabrik pupuk, metanol, dan industri petrokimia lainnya sampai tahun 2020
untuk mendongkrak perekonomian mereka melalui mekanisme gasifikasi batubara.
Dari laporan WCI pula, produksi batubara Indonesia pada tahun 2003 mencapai 120,1 juta
ton, dengan volume ekspor sebesar 90,1 juta ton (75% total produksi). Kemudian pada tahun
2004 terjadi peningkatan produksi sehingga total produksi batubara Indonesia menjadi 129
juta ton, dengan peningkatan ekspor mencapai 107 juta ton (83% total produksi). Sungguh
ironis bahwa pemerintah tidak mau belajar dari pengalaman, dimana Indonesia yang dulunya
eksportir minyak, sekarang menjadi importir murni sejak tahun 2004. Sangat disayangkan
pula, pemerintah nampaknya menganggap bahwa batubara tidak lebih dari komoditas ekspor
belaka seperti halnya minyak dulu.
Referensi
1. Arai, Y., Beikoku no Sekitan Gasuka Jigyouka Doukou ni tsuite, JCOAL Journal Vol. 3,
January 2006.
2. Bramer, EA., Brem, G., A New Technology for Fast Pyrolysis of Biomass: Development of
the PyRos Reactor, Pamflet Laboratorium Rekayasa Termal, Fakultas Teknik, Universitas
Twente, Belanda, 2006.
3. Childress, J., Repowering Conventional Coal Plants with Texaco Gasification: The
Environmental & Economic Solution, Gasification Technologies Conference, San
Francisco, 2000.
5. Higman, C., van der Burgt, M., Gasification, New York: Gulf Professional Publishing,
2003.
6. Holt, N., Gasification Process Selection – Trade-offs & Ironies, Gasification Technologies
Conference, Washington DC, 2004.
7. http://www.fossil.energy.gov/
11. Trapp, B., dkk, Eastman & Gasification: The Next Step – Building on Past Success,
Gasification Technologies Conference, San Francisco, 2001.
12. van de Venter, E., dkk, Sasol Coal-to Liquids Developments, Gasification Technologies
Conference, San Francisco, 2005.
13. van der Burgt, M., How to Reduce Capital Cost of IGCC Power Stations, 17th EPRI
Conference on Gas-Fired Power Plants, San Francisco, 1998.
Samarinda, 2006
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………....1
1.1.Latar Belakang………………………………………………………..........1
1.2.Rumusan Masalah .……………………...………………………………...2
1.3.Manfaat ……………………………………………………………………2
1.4.Tujuan……………………………………………………………………...2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA….……...........……………………………..........3
2.1. Teknologi pemanfaatan barubara....…….........……………………….........3
2.2. Teknologi gasifikasi batubara…. ……….........……………………….........4
2.3 Gasifikasi batubara.…………….……….........……………………….........5
2.4. Aplikasi gasifikasi batubara …....…….........………………………..........10
BAB III JURNAL… ………………………...…………………………………...14
3.1. Proses Gasifikasi Batubara dengan Menggunakan Katalsi Exxon…......…14
3.2. Produksi Hidrogen Yield Tinggi oleh Katalis Gasifikasi Batubara........…17
3.3. Efek Katalis Logam Alkali dalam Gasifikasi Arang Batubara…...………18
3.4. Coal, Oil Shale, Natural Bitumen, Heavy Oil and Peat…………………..19
BAB IV PERBADINGAN JURNAL…………………………………………….23
BAB V KESIMPILAN………………………………………………………...…24
DAFRAR PUSTAKA
Pendahuluan
Hidrogenasi merupakan reaksi hidrogen dengan senyawa organik, Reaksi ini terjadi
dengan penambahan hidrogen secara langsung pada ikatan rangkap dari molekul yang tidak
jenuh sehingga dihasilkan suatu produk yang jenuh. Proses hidrogenasi merupakan salah satu
proses yang penting dan
banyak digunakan dalam pembuatan bermacam-macam senyawa organik. Proses ini
umumnya terdiri dari adisi sepasang atom hidrogen ke sebuah molekul. Reaksi dilakukan
pada suhu dan tekanan yang berbeda tergantung pada substrat dan aktivitas katalis.
Proses hidrogenasi merupakan salah satu proses yang penting dan banyak digunakan
dalam pembuatan bermacam-macan senyawa organik. Industri yang menggunakan proses
hidrogenasi antara lain adalah industri sorbitol methanol, margarine, ammonia dan lain-
lainnya Kebanyakan hidrogenasi menggunakan gas hidrogen (H2), namun ada pula beberapa
yang menggunakan sumber hidrogen alternatif, proses ini disebut hidrogenasi transfer.
Dunia memiliki cadangan minyak yang dikenal cukup untuk hanya 41 tahun, tapi
memiliki cadangan batubara hingga 155 tahun. Oleh karena itu dibutuhkan alternatif
untuk menggantikan energi minyak bumi. Saat ini telah dikembangkan teknologi
pencairan batubara sebagai bahan bakar yang hampir setara dengan output minyak
bumi. Pengembangan teknologi untuk menghasilkan energi baru juga berhasil
mengembangkan suatu teknologi pencairan batubara bituminous dengan menggunakan tiga
proses, yaitu solvolysis system, solvent extraction system, dan direct hydrogenation to liquefy
bituminous coal. Ketiga proses tersebut terintegrasi dalam proses NEDOL (NEDO
Liquefaction), suatu proses pencairan batubara yang dikembangkan oleh NEDO (lembaga
kajian teknologi Jepang), dengan tujuan untuk mendapatkan hasil pencairan yang lebih
tinggi.
BAB II
PEMBAHASAN
Proses NEDOL
Slurry dibuat dengan mencampurkan 1 bagian batubara dengan 1.5 bagian pelarut,lalu
ditambahkan 3% katalis yang mengandung besi (ferrous catalyst)
Slurry dipanaskan sampai suhunya mencapai 400°C dalam preheating furnace.
Reaksi likuifaksi terjadi dalam kolom reaktor berjenis suspension bed foaming pada
kondisi standar (Temperatur 450°C, Tekanan 170 kg/cm2G)
Batubara dikonversi menjadi bentuk cair oleh reaksi antara hidrogen dan pelarut.
Setelah melewati pemisah fase gas-cair, kolom distilasi bertekanan normal, dan kolom
distilasi isap, batubara cair dipisahkan menjadi naphta, medium oil, heavy oil, dan
residu.
Distilat medium oil dan heavy oil dipindahkan ke kolom reaksi berjenis fixed bed
yang berisi katalis Ni-Mo. Pada kolom reaksi ini, distilat dikonversikan menjadi
distilat ringan pada Temperatur 320°C dan Tekanan 100 kg/cm2G, dan digunakan
kembali dalam reaksi sebagai pelarut (solvent)
Gambar 2: Diagram alir proses Bituminous Coal Liquefaction
BAB III
KESIMPULAN
Hidrogenasi adalah istilah yang merujuk pada reaksi kimia yang menghasilkan adisi
hidrogen (H2). Proses ini umumnya terdiri dari adisi sepasang atom hidrogen ke sebuah
molekul. Katalisator untuk proses hidrogenasi adalah platina, palladium dan nikel,
dimana platina dan palladium membentuk katalis yang sangat aktif, yang dapat
mengkatalis pada suhu dan tekanan rendah.
Likuifaksi Batubara adalah suatu teknologi proses yang mengubah batubara dan
menghasilkan bahan bakar cair sintetis. Batubara yang berupa padatan diubah menjadi bentuk
cair dengan cara mereaksikannya dengan hidrogen pada temperatur dan tekanan tinggi.
Proses likuifaksi batubara secara umum diklasifikasikan menjadi Indirect Liquefaction
Processdan dan Direct Liquefaction Process.
2 metode likuifaksi batubara yaitu Bituminous Coal Liquefaction dan Brown Coal
Liquefaction. Dalam proses Bituminous Coal Liquefaction, Proyek NEDOL berhasil
menggabungkan 3 proses, yaitu: Solvent Extraction Process, Direct Hydrogenation Process,
dan Solvolysis Process. Proses pada Brown Coal Liquefaction, secara umum terdiri atas 3
proses, yaitu: Coal Pretreatment Process, Slurry Preheating Process, Primary hydrogenation
process dan Secondary hydrogenation process.
DAFTAR PUSTAKA
Coal Liquefaction – Bagian dari plant ini terdiri dari tahap coal cleaning dan preparation
(membuang ash dalam batubara), grinding (penghalusan ukuran, dan drying (pengeringan),
coal liquefaction (tahap pencairan batubara), ekstraksi padatan dan cairan, serta recycle gas
hidrogen. Batubara yang telah dikeringkan kemudian dihaluskan ukurannya dan kemudian
dilikuifikasi pada temperature 750-800oF dan tekanan 3200 psig. Kondisi yang sulit tersebut
mendorong proses craking dari batubara untuk menghasilkan liquid dan gas hidrokarbon.
Pada umumnya 2 stage system ebulating-bed reactor digunakan dengan feed dan tambahan
intermediate dari hydrogen. Fraksi berat dari liquid produk yang mengandung solid mineral
dari batubara dipisahkan dari nafta dan produk distilat yang kemudian dikirim menuju unit
pemisahan liquid-solid untuk diekstraksi dari solid dengan pelarut superkritis. Fraksi liquid
berat kemudian direcycle menuju liquefaction reactor untuk dikonversi menjadi produk
ringan. Hasil Eksraksi dapat berperan sebagai hidrogen donor yang berfungsi sebagai pelarut
dalam proses liquifikasi batubara direaktor. Gas dikeluarkan langsung dari reaktor dan
fraksinasi produk likuifikasi kemudian dikirim menuju hidrogen dan hydrocarbon gas
recovery. Hidrogen yang terecovery direcyle kembali ke reaktor likuifikasi atau dikirim ke
upgarding produk. Gas plant merecover campuran butane dan propane sebagai produk yang
dapat dijual dan menghasilkan fuel gas (metana dan etana) yang dapat digunakan dalam
proses pemanasan dan pembangkit tenaga listrik.
Hydrogen production- Hidrogen dihasilkan dari gasifikasi sebagian feed batubara dan
ekstraksi ash, yang masih mengandung residu karbon. Plant ini terdiri dari unit pembersihan
syngas (syngas clean up) , water-gas shift, dan pemurnian hidrogen untuk menghasilkan
hidrogen dengan kemurnian yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai feed dalam proses
likuifikasi yang terjadi di dalam reaktor. Sebuah unit pemisahan udara (air separation plant)
diperlukan untuk menghasilkan oksigen murni untuk proses gasifikasi. Sebagai alternatif, gas
alam dapat dipakai sebagai penghasil gas hidrogen menggunakan steam methane reforming
atau parsial oksidasi. Harga dan ketersediaan dari gas alam memberikan pilihan terbaik dari
generasi hidrogen.
Product Upgrading - Pada umumnya direct liquid kurang berkualitas jika digunakan
sebagai feed langsung untuk tahap pemurnian petroleum. Oleh karena itu, nafta dan distillate
hidrotreater digunakan untuk meng-upgrade komponen tersebut agar lebih berkualitas.
Pengotor sulfur, nitrogen, dan oksigen didalam raw coal liquid akan dibuang dari proses dan
komponen seperti olefin serta aromatik akan dijenuhkan dan kemudian sebagian lainnya akan
dicracking.
Suatu blok diagram alir untuk sebuah plant indirect liquefaction yang memanfaatkan
sintesis Fisher-Tropsch untuk menghasilkan bahan bakar liquid. Komponen utama dari plant
ini adalah :
Syngas Production – Bagian ini terdiri dari coal handling, drying dan grinding yang
kemudian diikuti dengan gasifikasi. Unit pemisahan udara menyediakan oksigen untuk
gasifier. Syngas cleanup terdiri dari proses hydrolysis, cooling, sour-water stripping, acid gas
removal, dan sulfur recovery. Gas dibersihkan dari komponen sulfur dan komponen lain yang
tidak diinginkan sampai pada level yang terendah untuk melindunginya dari downstream
catalysts. Panas yang dipindahkan pada gas-cooling step direcover sebagai steam, dan
digunakan secara internal untuk mensuppli kebutuhan power plant. Proses sour-water
stripping akan menghilangkan ammonia yang dihasilkan dari nitrogen yang ada pada
batubara. Sulfur dalam batubara akan dikonversikan menjadi hydrogen sulfide (H2S) dan
carbonyl sulfide (COS). Proses hidrolisis digunakan untuk mengkonversikan COS dalam
syngas menjadi H2S, yang direcover pada acid-gas removal step dan dikonversikan menjadi
elemental sulfur pada sebuah Claus sulfur plant. Sulfur yang diproduksi biasanya dijual
sebagai low-value byproduct.
Synthesis Gas Conversion – Bagian ini terdiri dari water-gas shift, a sulfur guard bed,
synthesis-gas conversion reactors, CO2 removal, dehydration dan compression, hydrocarbon
dan hydrogen recovery, autothermal reforming, dan syngas recycle. A sulfur guard bed
dibutuhkan untuk melindungi katalis konversi gas sintesis yang dengan mudah diracuni oleh
trace sulfur pada cleaned syngas. Clean synthesis gas dipindahkan untuk mendapatkan
hydrogen/carbon monoxide ratio yang diinginkan, dan kemudian secara katalitik
dikonversikan menjadi bahan bakar gas.
Dua cara utama melibatkan konversi ke hight-quality diesel dan distillate
menggunakan Fischer-Tropsch route, atau konversi ke high-octane gasoline menggunakan
proses metanol menjadi gasoline (MTG) . Fischer-Trosch (F-T) syntesis menghasilkan
spektrum dari hidrokarbon paraffin yang ideal untuk diesel dan bahan bakar.
Katalis yang digunakan dalam Fischer-Trops adalah besi atau cobalt. Keuntungan
katalist besi dengan cobalt berlebih untuk mengkonversi coal-derived syngas yang mana besi
memiliki kemampuan mengaktivasi reaksi water-gas shift dan secara internal mengatur low
H2/CO ratio dari coal derived syngas yang diperlukan dalam reaksi Fischer-Trops. Jenis
reactor yang digunakan dalam reaksi F-T adalah fixed-bed tubular reactor dan teknologi ini
diaplikasikan di Shell’s Malaysian GTL. Sasol juga mengkomersialisasikan teknologi CTL di
Afrika Selatan yang menggunakan Fixed bed reactor, circulating-fluidized bed dan fixed-
fluidized bed reactor. Syngas dan produk F-T yang tidak terkonversi harus dipisahkan setelah
langkah sintesis F-T. CO2 dapat dipisahkan dengan menggunakan teknik absorbsi. CO2
dengan kemurnian tinggi biasanya dibuang langsung ke udara bebas.
Proses pendinginan digunakan untuk memisahkan air dan hidrokarbon ringan
(terutama metana, etana, dan propane) dari produk liquid hydrocarbon yang dihasilkan pada
proses sintesis F-T. Gas hidrokarbon ringan dan gas sintesis yang tidak terkonversi dikirim ke
proses hydrogen recovery.Purge dari fuel gas digunakan untuk menyuplai bahan bakar pada
proses CTL. Akhirnya sisa gas dialirkan ke autothermal reforming plant untuk mengkonversi
hidrokarbon ringan menjadi syngas untuk direcycle ke reaktor F-T.
Product Upgrading - FT liquid dapat dimurnikan menjadi LPG, gasoline, dan bahan
bakar diesel. Pilihan lain adalah melalui partial upgrading seperti yang ditunjukkan dari
gambar 2.4 untuk menghasilkan F-T syncrude. Kandungan wax yang tinggi di raw F-T liquid
memerlukan hidroprosessing untuk membuat syncrude yang dapat dialirkan melalui pipa .
Pilihan upgrading minimum termasuk hidrotreating dan hidrocracking dari F-T wax. Produk
yang dihasilkan adalah F-T LPG dan F-T syncrude, yang dapat dikirim ke conventional
petroleum refinery untuk difraksinasi menghasilkan produk yang dapat diolah lebih lanjut.
Referensi:
http://silentdiamlovetekim.blogspot.com/2012/02/proses-liquefaction.html
http://rivarivamaulidya.blogspot.com/2012/10/klasifikasi-sumber-daya-dan-
cadangan.html
http://www.geoservices.co.id/silabus%202013/Brosur%20Gasifikasi%20Batubara%20d
an%20UCG.pdf
COAL TO LIQUID
Coal To Liquid Technology (CTL) merupakan salah satu bagian dari Coal Conversion Technology (CCT)
yang bertujuan untuk memanfaatkan nilai guna batubara sebagai bahan bakar. Seperti yang sudah
diketahui bersama bahwa batubara merupakan sumber bahan bakar selain minyak bumi dan gas
alam yang tak dapat terbarukan (non renewable resources). Namun, berbeda dengan minyak bumi
dan gas alam, batubara tersebar merata di seluruh dunia dalam cadangan yang cukup besar.
Sehingga batubara dimanfaatkan sebagai sumber bahan bakar fosil utama oleh beberapa negara
yang miskin sumber daya minyak/gas tetapi memiliki cadangan batubara yang melimpah seperti
China, Amerika Serikat, Jepang, bahkan Afrika Selatan.
Permasalahan utama dalam penggunaan batubara adalah bahwa batubara merupakan bahan bakar
padat, dan membutuhkan penyalaan awal agar bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi langsung.
Selain itu, batubara juga memiliki masalah lain seperti membutuhkan tempat penyimpanan
(stockpile) khusus setelah ditambang karena batubara memiliki sifat reaktif jika dibiarkan di tempat
terbuka dalam waktu yang lama, dan akan segera terbakar dengan sendirinya (dikarenakan adanya
volatile matters), belum lagi permasalahan transportasi yang membutuhkan penanganan khusus.
1. sumber energi langsung, yaitu dengan cara langsung membakarnya dan mengambil energi
panasnya (seperti di PLTU, dan Industri semen)
2. sumber energi tidak langsung, yaitu dengan cara mengubah batubara ke dalam bentuk/fasa lain
seperti briket batubara (proses karbonisasi/pirolisis) batubara cair (proses likuifaksi) gasifikasi
batubara (menghasilkan Synthesis Natural Gas, SNG)
3. non energi:
Saat ini, terutama di Indonesia, batubara dimanfaatkan sebagai bahan bakar di PLTU, industri semen,
briket batubara, serta pembuatan kokas metalurgi. Padahal, masih tersedia ruang pemanfaatan lain
bagi batubara. Salah satunya adalah batubara cair, dengan proses likuifaksi
Likuifaksi Batubara adalah suatu teknologi proses yang mengubah batubara dan menghasilkan bahan
bakar cair sintetis. Batubara yang berupa padatan diuah menjadi bentuk cair dengan cara
mereaksikannya dengan hidrogen pada temperatur dan tekanan tinggi.
Proses likuifaksi batubara secara umum diklasifikasikan menjadi Indirect Liquefaction Processdan
Direct Liquefaction Process.
1. Indirect Liquefaction Process/ Indirect Coal Liquefaction (ICL)
Prinsipnya secara sederhana yaitu mengubah batubara ke dalam bentuk gas terlebih dahulu untuk
kemudian membentuk Syngas (campuran gas CO dan H2). Syngas kemudian dikondensasikan oleh
katalis (proses Fischer-Tropsch) untuk menghasilkan produk ultra bersih yang memiliki kualitas
tinggi.
Gambar 1. Dua konfigurasi proses dasar untuk produksi bahan bakar cair denganIndirect
Liquefaction Process
Proses ini dilakukan dengan cara menghaluskan ukuran butir batubara, kemudian Slurry dibuat
dengan cara mencampur batubara ini dengan pelarut. Slurry dimasukkan ke dalam reaktor
bertekanan tinggi bersama-sama dengan hidrogen dengan menggunakan pompa. Slurry kemudian
diberi tekanan 100-300 atm di dalam sebuah reaktor kemudian dipanaskan hingga suhu mencapai
400-480° C.
Secara kimiawi proses akan mengubah bentuk hidrokarbon batubara dari kompleks menjadi rantai
panjang seperti pada minyak. Atau dengan kata lain, batubara terkonversi menjadi liquid melalui
pemutusan ikatan C-C dan C-heteroatom secara termolitik atau hidrolitik (thermolytic and hydrolytic
cleavage), sehingga melepaskan molekul-molekul CO2, H2S, NH3, dan H2O. Untuk itu rantai atau
cincin aromatik hidrokarbonnya harus dipotong dengan cara dekomposisi panas pada temperatur
tinggi (thermal decomposition). Setelah dipotong, masing-masing potongan pada rantai hidrokarbon
tadi akan menjadi bebas dan sangat aktif (free-radical). Supaya radikal bebas itu tidak bergabung
dengan radikal bebas lainnya (terjadi reaksi repolimerisasi) membentuk material dengan berat
molekul tinggi dan insoluble, perlu adanya pengikat atau stabilisator, biasanya berupa gas hidrogen.
Hidrogen bisa didapat melalui tiga cara yaitu: transfer hidrogen dari pelarut, reaksi dengan fresh
hidrogen, rearrangement terhadap hidrogen yang ada di dalam batubara, dan menggunakan katalis
yang dapat menjembatani reaksi antara gas hidrogen dan slurry (batubara dan pelarut).
Negara yang telah mengembangkan teknologi Direct Liquefaction Process adalah Jepang, Amerka
Serikat dan Jerman. Bagi Indonesia, teknik konversi likuifaksi batubara secara langsung (Direct
Liquefaction Process) dinilai lebih menguntungkan untuk saat ini. Selain prosesnya yang lebih
sederhana, likuifaksi relatif lebih murah dan lebih bersih dibanding teknik gasifikasi. Teknik ini juga
cocok untuk batubara peringkat rendah (lignit), yang banyak terdapat di Indonesia.
Dalam proses Bituminous Coal Liquefaction, Proyek NEDOL berhasil menggabungkan 3 proses, yaitu:
Solvent Extraction Process, Direct Hydrogenation Process, dan Solvolysis Process.
· Tidak memerlukan batubara dengan spesifikasi tertentu. Batubara yang digunakan bisa dari
low grade sub-bituminous sampai low grade bituminous.
· Yield Ratio bisa mencapai 54% berat, lebih besar dari medium atau light oil
· Temperatur standar reaksi adalah 450°C dan Tekanan standar 170 kg/cm2G
· Sebagai pemisah antara fasa cair-gas, digunakan sistem distilasi pengurang tekanan.
· Digunakan pelarut terhidrogenasi yang dapat digunakan kembali untuk mengawasi kualitas
pelarut agar dapat meningkatkan Yield Ratio dari batubara cair dan mencegah fenomena “cooking”
pada tungku pemanas.
Proses NEDOL
· Slurry dibuat dengan mencampurkan 1 bagian batubara dengan 1.5 bagian pelarut,lalu
ditambahkan 3% katalis yang mengandung besi (ferrous catalyst)
· Batubara dikonversi menjadi bentuk cair oleh reaksi antara hidrogen dan pelarut.
· Setelah melewati pemisah fase gas-cair, kolom distilasi bertekanan normal, dan kolom distilasi
isap, batubara cair dipisahkan menjadi naphta, medium oil, heavy oil, dan residu.
· Distilat medium oil dan heavy oil dipindahkan ke kolom reaksi berjenis fixed bed yang berisi
katalis Ni-Mo. Pada kolom reaksi ini, distilat dikonversikan menjadi distilat ringan pada Temperatur
320°C dan Tekanan 100 kg/cm2G, dan digunakan kembali dalam reaksi sebagai pelarut (solvent)
Gambar 4
Proses pada Brown Coal Liquefaction, secara umum terdiri atas 3 proses, yaitu: Coal
Pretreatment Process, Slurry Preheating Process, Primary hydrogenation process dan Secondary
hydrogenation process.
· Pretreatment Process merupakan proses peremukan raw brown coal, pengeringan, dan
pembuatan Slurry. Slurry dibuat dengan mencampurkan 1 bagian batubara brown coal dengan 2.5
bagian pelarut, lalu ditambahkan katalis yang mengandung besi (iron catalyst). Lalu Slurry diproses
ke preheating process.
· Primary hydrogenation process dilakukan dengan mengalirkan gas hidrogen pada Temperatur
430-450°C dan tekanan 150-200 kg/cm2G agar dapat terjadi proses likuifaksi.
· Produk yang dihasilkan dikirim ke kolom distilasi dan didistilasi menjadi naphta, light oil dan
medium oil.
· Kolom distilasi bawah yang mengandung padatan dialirkan menuju kolom pemisah padatan-
cairan pada proses pengeringan pelarut. Distilat cair kemudian dibawa ke proses Secondary
hydrogenation dan padatan dibuang.
· Reaktor jenis fixed bed yang diisi katalis Ni-Mo agar proses hidrogenasi dapat terjadi pada
temperatur 300-400°C dan tekanan 150-200 kg/cm2G.
· Kemudian dilakukan distilasi kembali agar dapat dipisahkan menjadi nephta, light distillate dan
medium distillate.
· Setelah proses selesai, dihasilkan 3 barrel batubara cair dari 1 ton batubara brown coal kering
Gambar 5
1. Batubara terjangkau dan tersedia di seluruh dunia, memungkinkan berbagai negara untuk
mengakses cadangan batubara dalam negeri -dan pasar internasional- dan mengurangi
ketergantungan pada impor minyak, serta meningkatkan keamanan energi.
2. Batubara Cair dapat digunakan untuk transportasi, memasak, pembangkit listrik stasioner, dan
di industri kimia.
3. Batubara yang diturunkan adalah bahan bakar bebas sulfur, rendah partikulat, dan rendah
oksida nitrogen.
4. Bahan bakar cair dari batubara merupakan bahan bakar olahan yang ultra-bersih, dapat
mengurangi risiko kesehatan dari polusi udara dalam ruangan
Sisi Lain Batubara Cair
Dalam penggunaannya, batubara cair sebagai bahan bakar alternatif dinilai dapat:
Penyebaran skala besar pabrik batubara cair dapat menyebabkan peningkatan yang signifikan dari
penambangan batubara. Penambangan batubara akan memberikan dampak negatif yang berbahaya.
Penambangan ini dapat menyebabkan limbah yang beracun dan bersifat asam serta akan
mengkontaminasi air tanah. Selain dapat meningkatkan efek berbahaya terhadap lingkungan,
peningkatan produksi batubara juga dapat menimbulkan dampak negatif pada orang-orang yang
tinggal dan bekerja di sekitar daerah penambangan.
2. Menimbulkan efek global warming sebesar hampir dua kali lipat per gallon bahan bakar.
Produksi batubara cair membutuhkan batubara dan energi dalam jumlah yang besar. Proses ini juga
dinilai tidak efisien. Faktanya, 1 ton batubara hanya dapat dikonversi menjadi 2-3 barel bensin.
Proses konversi yang tidak efisien, sifat batubara yang kotor, dan kebutuhan energi dalam jumlah
yang besar tersebut menyebabkan batubara cair menghasilkan hampir dua kali lipat emisi penyebab
global warming dibandingkan dengan bensin biasa. Walaupun karbon yang terlepas selama produksi
ditangkap dan disimpan, batubara cair tetap akan melepaskan 4 hingga 8 persen polusi global
warming lebih banyak dibandingkan dengan bensin biasa.
Posted by ririn smurf at 12:29 AM
Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to Facebook
Pengembangan produksi bahan bakar sintetis berbasis batu bara pertama kali dilakukan di Jerman
tahun 1900-an dengan menggunakan proses sintesis Fischer-Tropsch yang dikembangkan Franz
Fisher dan Hans Tropsch. Pada 1930, disamping menggunakan metode proses sintesis Fischer-
Tropsch, mulai dikembangkan pula proses Bergius untuk memproduksi bahan bakar sintesis.
Sementara itu, Jepang juga melakukan inisiatif pengembangan teknologi pencairan batubara melalui
proyek Sunshine tahun 1974 sebagai pengembangan alternatif energi pengganti minyak bumi.
Pada 1983, NEDO (the New Energy Development Organization), organisasi yang memfokuskan diri
dalam pengembangan teknologi untuk menghasilkan energi baru juga berhasil mengembangkan
suatu teknologi pencairan batubara bituminous dengan menggunakan tiga proses, yaitu solvolysis
system, solvent extraction system dan direct hydrogenation to liquefy bituminous coal.
Cadangan batubara di dunia pada umumnya tidak berkualitas baik, bahkan setengahnya merupakan
batubara dengan kualitas rendah, seperti: sub-bituminous coal dan brown coal. Kedua jenis
batubara tersebut lebih banyak didominasi oleh kandungan air. Peneliti Jepang kemudian mulai
mengembangkan teknologi untuk menjawab tantangan ini agar kelangsungan energi di Jepang tetap
terjamin, yaitu dengan mengubah kualitas batubara yang rendah menjadi produk yang berguna
secara ekonomis dan dapat menghasilkan bahan bakar berkualitas serta ramah lingkungan.
Dikembangkanlah proses pencairan batubara dengan nama Brown Coal Liquefaction Technology
(BCL).
Fisher Tropsch adalah sintesis CO/H2 menjadi produk hidrokarbon atau disebut senyawa
hidrokarbon sintetik/ sintetik oil. Sintetik oil banyak digunakan sebagai bahan bakar mesin
industri/transportasi atau kebutuhan produk pelumas (lubricating oil).
(2n+1)H2 + nCO → CnH(2n+2) + nH2O
2. Bergius Proses
Bergius Process merupakan pencairan batubara metode langsung atau dikenal dengan Direct Coal
Liquefaction-DCL. DCL adalah proses hydro-craacking dengan bantuan katalisator. Prinsip dasar dari
DCL adalah meng-introduksi-an gas hydrogen kedalam struktur batubara agar rasio perbandingan
antara C/H menjadi kecil sehingga terbentuk senyawa-senyawa hidrokarbon rantai pendek
berbentuk cair. Proses ini telah mencapai rasio konversi 70% batubara (berat kering) menjadi sintetik
cair.
faktor yang menjadikan proses DCL sangat bervariasi :
• spesifikasi batubara yang dipergunakan, sehingga tidak ada sebuah sistem yang bisa optimal untuk
digunakan bagi segala jenis batubara.
• Jenis batubara tertentu mempunyai kecenderungan membentuk lelehan (caking perform),
sehingga menjadi bongkahan besar yang dapat membuat reaktor kehilangan tekanan dan gradient
panas terlokalisasi (hotspot). Hal ini biasanya diatasi dengan mencampur komposisi batubara,
sehingga pembentukan lelehan dapat dihindari.
• Batubara dengan kadar ash yang tinggi lebih cocok untuk proses gasifikasi terlebih dahulu,
sehingga tidak terlalu mempengaruhi berjalannya proses.
Teknologi yang mengubah kualitas batubara yang rendah menjadi produk yang berguna secara
ekonomis dan dapat menghasilkan bahan bakar berkualitas serta ramah lingkungan.
Langkah pertama adalah memisahkan air secara efisien dari batubara yang berkualitas rendah.
Langkah kedua melakukan proses pencairan di mana hasil produksi minyak yang dicairkan
ditingkatkan dengan menggunakan katalisator, kemudian dilanjutkan dengan proses hidrogenasi di
mana heteroatom (campuran sulfur-laden, campuran nitrogen-laden, dan lain lain) pada minyak
batubara cair dipisahkan untuk memperoleh bahan bakar bermutu tinggi, kerosin, dan bahan bakar
lainnya. Kemudian sisa dari proses tersebut (debu dan unsur sisa produksi lainnya) dikeluarkan.
1. Keekonomian Harga minyak bumi sangat fluktuatif, sehingga seringkali investor ragu untuk
membangun kilang pencairan batubara. Batubara cair akan ekonomis jika harga minyak bumi di atas
US $35/bbl.
2. Investasi Awal Tinggi
Biaya investasi kilang pencairan batubara komersial, cukup mahal .
3. Merupakan Investasi Jangka panjang
Break Even Point (BEP) baru dicapai setelah 7 tahun beroperasi, sedangkan tahap pembangunan
memakan waktu 3 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
http://bataviase.co.id
http://blogodril.blogspot.com/2010/03/batubara-yang-dicairkan-konversi-energi.html
http://scientificindonesia.wordpress.com/proses-pengolahan-batubara/
Scientific Indonesia
Bersama Membangun IPTEK Indonesia
Pada tulisan saya terdahulu yang berjudul “Indonesia di Persimpangan Jalan-Artikel tentang
prospektif energi Indonesia” dikemukakan mengenai batubara sebagai salah satu alternative energi
di masa sekarang dan yang akan datang. Lebih daripada itu, batubara bagi Indonesia adalah salah
satu pilihan dalam menentukan strategi energi. Bila kita membandingakn dengan negara China
sebagai kekuatan baru dunia yang memusatkan lebih dari 70% sumber energinya dari batubara1).
Sementara aktivitas penelitian di asia untuk pemanfaatan batubara berpusat di Jepang, Australia dan
China sendiri.
Adalah kekayaan alam yang dikategorikan sebagai energy fossil terbentuk dari proses metamorfosa
yang sangat lama. Strukturnya kimia batubara samasekali bukan rangkaian kovalen karbon
sederhana melainkan merupakan polikondensat rumit dari gugus aromatik dengan fungsi
heterosiklik2,3). Jumlah polikondensat yang banyak ini saling berikatan sering disebut dengan “bridge-
structure”. Secara optis batubara sering merupakan bongkahan berporus tinggi dengan kadar air
yang sangat berfariasi.
Proses pengolahan batubara sudah dikenal sejak seabad yang lalu, diantaranya:
Secara sederhana, gasifikasi adalah proses konversi materi organik (batubara, biomass atau natural
gas) biasanya padat menjadi CO dan H2 (synthesis gases) dengan bantuan uap air dan oksigen pada
tekanan atmosphere atau tinggi. Rumus sederhananya:
Coal + H2O + O2 à H2 + CO
Fisher Tropsch adalah sintesis CO/H2 menjadi produk hidrokarbon atau disebut senyawa
hidrokarbon sintetik/ sintetik oil. Sintetik oil banyak digunakan sebagai bahan bakar mesin
industri/transportasi atau kebutuhan produk pelumas (lubricating oil).
Hidrogenasi (hydrogenation)
Hidrogenasi adalah proses reaksi batubara dengan gas hydrogen bertekanan tinggi. Reaksi ini diatur
sedemikian rupa (kondisi reaksi, katalisator dan kriteria bahan baku) agar dihasilkan senyawa
hidrokarbon sesuai yang diinginkan, dengan spesifikasi mendekati minyak mentah. Sejalan
perkembangannya, hidrogenasi batubara menjadi proses alternativ untuk mengolah batubara
menjadi bahan bakar cair pengganti produk minyak bumi, proses ini dikenal dengan nama Bergius
proses, disebut juga proses pencairan batubara (coal liquefaction).
Coal liquefaction adalah terminologi yang dipakai secara umum mencakup pemrosesan batubara
menjadi BBM sintetik (synthetic fuel). Pendekatan yang mungkin dilakukan untuk proses ini adalah:
pirolisis, pencairan batubara secara langsung (Direct Coal Liquefaction-DCL) ataupun melalui
gasifikasi terlebih dahulu (Indirect Coal Liquefaction-ICL). Secara intuitiv aspek yang penting dalam
pengolahan batubara menjadi bahan bakar minyak sintetik adalah: efisiensi proses yang mencakup
keseimbangan energi dan masa, nilai investasi, kemudian apakah prosesnya ramah lingkungan
sehubungan dengan emisi gas buang, karena ini akan mempengaruhi nilai insentiv menyangkut tema
tentang lingkungan. Undang-Undang No.2/2006 yang mengaatur tentang proses pencairan
batubara.
Efisiensi pencairan batubara menjadi BBM sintetik adalah 1-2 barrel/ton batubara4). Jika diasumsikan
hanya 10% dari deposit batubara dunia dapat dikonversikan menjadi BBM sintetik, maka produksi
minyak dunia dari batubara maksimal adalah beberapa juta barrel/hari. Hal ini jelas tidak dapat
menjadikan batubara sebagai sumber energi alternativ bagi seluruh konsumsi minyak dunia.
Walaupun faktanya demikian, bukan berarti batubara tidak bisa menjadi jawaban alternativ energi
untuk kebutuhan domestik suatu negara. Faktor yang menjadi penentu adalah: apakah negara itu
mempunyai cadangan yang cukup dan teknologi yang dibutuhkan untuk meng-konversi-kannya. Jika
diversivikasi sumber energi menjadi strategi energi suatu negara, pastinya batubara menjadi satu
potensi yang layak untuk dikaji menjadi salah satu sumber energi, selain sumber energi terbarukan
(angin, solar cell, geothermal, biomass). Tetapi perlu kita ingat bahwa waktu yang dibutuhkan untuk
mempertimbangkannya tidaklah tanpa batas, karena sementara negara2 lain sudah melakukan
kebijakan-kebijakan konkret domestik maupun luar negeri untuk mengukuhkan strategi energi untuk
kepentingan negaranya.
Pencairan batubara metode langsung atau dikenal dengan Direct Coal Liquefaction-DCL,
dikembangkan cukup banyak oleh negara Jerman dalam menyediakan bahan bakar pesawat terbang.
Proses ini dikenal dengan Bergius Process, baru mengalami perkembangan lanjutan setelah perang
dunia kedua.
DCL adalah proses hydro-craacking dengan bantuan katalisator. Prinsip dasar dari DCL adalah meng-
introduksi-an gas hydrogen kedalam struktur batubara agar rasio perbandingan antara C/H menjadi
kecil sehingga terbentuk senyawa-senyawa hidrokarbon rantai pendek berbentuk cair. Proses ini
telah mencapai rasio konversi 70% batubara (berat kering) menjadi sintetik cair. Pada tahun 1994
proses DCL kembali dikembangkan sebagai komplementasi dari proses ICL terbesar setelah
dikomersialisasikan oleh Sasol Corp.
Tahun 2004 kerjasama pengembangan teknologi upgrade (antara China Shenhua Coal Liquefaction
Co. Ltd. dengan West Virginia University) untuk komersialisasi DCL rampung, untuk kemudian
pembangunan pabrik DCL kapasitas dunia di Inner Mongolia. Dalam Phase pertama pabrik ini akan
dihasilkan lebih dari 800.000 ton bahan bakar cair pertahunnya.
Phase I:
Dari table di atas dapat dilihat bahwa perkiraan harga produksi tiap-tiap produk BBM sintetik adalah
sebesar USD 24 per barrel, jauh lebih rendah dibandingkan harga minyak mentah dunia saat ini yang
berkisar di atas USD 60/barrel. Dengan beberapa data penunjang saja, maka break event point-nya
sudah dapat dihitung.
Yang menjadikan proses DCL sangat bervariasi adalah beberapa faktor dibawah:
Pencapaian dari sebuah proses DCL sangat tergantung daripada jenis feedstock /(spesifikasi
batubara) yang dipergunakan, sehingga tidak ada sebuah sistem yang bisa optimal untuk
digunakan bagi segala jenis batubara.
Batubara dengan kadar ash yang tinggi lebih cocok untuk proses gasifikasi terlebih dahulu,
sehingga tidak terlalu mempengaruhi berjalannya proses.
Proses Pencairan Batubara Muda rendah emisi (Low Emission Brown Coal Liquefaction)
1. Pengeringan/penurunan kadar air secara efficient
2. Reaksi pencairan dengan limonite katalisator
3. Tahapan hidrogenasi untuk menghasilkan produk oil mentah
4. Deashing Coal Liquid Bottom/heavy oil (CLB)
5. Fraksinasi/pemurnian light oil (desulfurisasi,pemurnian gas,destilasi produk)
Landasan dalam mengembangkan ujicoba produksi (pilot scale) proses pencairan batubara adalah:
Produk liquid oil yang dihasilkan harus mencapai lebih dari 50%
Proses pengoperasian harus berjalan dengan kontinuitas lebih daripada 1500 jam.
Tahapan proses deashing harus mencapai kadar ash (abu) < 500 ppm.
Optimalisasi/pengembangan proses pengeringan (dewatering) baru.
Literature:
[1] Energy and Advanced Coal Utilization Strategy in China, Prof. Ni Weidou.
[2] ORCHIN, M., REGGEL L., Aromatic Cyclodehydrogenation, J. Am. Chem. Soc., 69, 1947, 505-509.
[3] ORCHIN, M., et al, Aromatic Cyclodehydrogenation, BUREAU of Mines Tech. Paper 708, 1948,
40pp.
[4] Shunichi Yanai and Takuo Shigehisa: CCT Journal, vol.7, p 29 (2003)
[5] Report of the Result of the International Coal Liquefaction Cooperation Project (2003)
[6] A review on coal to liquid fuels and its coal consumption, Mikael Höök*, Kjell Aleklett.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.tekmira.esdm.go.id/HasilLitbang/?p=580
http://ardra.biz/sain-teknologi/ilmu-dan-teknologi-terapan/proses-gasifikasikonversi-
batubara-menjadi-gas/
https://www.itb.ac.id/news/read/4795/home/biosolubilisasi-batubara-teknologi-
produksi-bahan-bakar-cair-dari-batubara
http://rinririns.blogspot.co.id/2013/02/coal-to-liquid.html
http://nikotafeby.blogspot.co.id/2010/02/teknologi-pencairan-batu-bara-cokelat.html
RIDW AN, M., "Tantangan IPTEK
Menyongsong Abad 21", Pidato Ilmiah Pada
Dies Natalis Fakultas Teknik Universitas
Gadjah Mada ke-5l, Yogyakarta, 17 Februari,
(1997).
NURSA Y A, NINGRUM, "Seminar Sehari
Tentang Kebijakan dan Pengembangan
Batubara di Indonesia", Pusat" Penelitian
Energi PUSRI, Palembang, (1998),
Ibid 2
MASDUKI, B, TAFT AZANI A., SUTONDO,
T., HERHADY, RoD., "MHTGR as an
Alternative Primary Energy Sources in the 2111
Century" 2nd Sured Seminar, Yogyakarta,
Indonesia, 12-16 March, (200 I),