Anda di halaman 1dari 3

Khutbah Jumat : 8 Wasiat Nabi Muhammad S.A.

W
.
. . . .
. . .
.
Maasyiral Musilimin Rahimakumullah
Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah Yang Maha Indah yang ke-indahannya tak pernah
menyusut walau dibagi kepada seluruh warga jagad raya. Keindahan inilah yang membuat
manusia betah berada di dunia dan enggan meninggalkannya. Semoga kita semua senantiasa
diberi kesadaran bahwa keindahan di dunia ini hanyalah sementara. Dan tidak menjadikanya
sebagai orientasi dan tujuan dalam hidup ini

Hadirin Jamaaah Jumah yang dirahmati Allah.
Potongan doa di atas nampaknya sangat relevan dalam kehidupan kita sekarang ini. Doa
pengharapan kepada-Nya agar senantiasa memberikan petunjuk kepada kita, supaya tidak
menjadikan dunia se-isinya sebagai cita-cita dalam kehidupan dan orientasi dalam ilmu
pengetahuan. Karena cita-cita dan ilmu pengetahuan hendaknya digunakan untuk meniti jalan
menuju kepada-Nya, bukan mengabdi kepada dunia.
Namun, realita sungguh berbeda. Kehidupan di sekitar kita akhir-akhir ini menunjukkan arah
yang berlawanan. Lihatlah telah muncul istilah Orang Kaya Baru di sekitar kita. Manusiamanusia luar biasa yang dengan bersusah payah dan penuh perjuangan, sampai pada taraf hidup
yang menakjubkan. Mereka telah meninggalkan garis kemiskinan untuk beranjak pada tingkat
kehidupan dengan penuh kemewahan.
Tidak, khutbah ini tidak untuk membincang mereka atau menyirami penyakit hasud dalam hati,
sehingga menjadi lebih subur. Namun, hendak mengingatkan bagaimanakah sebaiknya kita
menyikapi perubahan itu. Karena dunia dan seisinya adalah cobaan bagi manusia.
Jamaah Jumah Rahimakumullah
Di suatu waktu Rasulullah saw. berbincang dengan hangat bersama Abu Dzar al-Ghifari. Hingga
pada suatu saat, al-Ghifari berkata kepada Nabi S.a.w, Ya Rasulullah, berwasiatlah kepadaku.
Beliau bersabda, Aku wasiatkan kepadamu untuk bertaqwa kepada Allah, karena ia adalah
pokok segala urusan.
Memang benar taqwa adalah pangkal segalanya. Namun taqwa itu bagaikan konsep teoritis yang
harus diterjemahkan biar mudah untuk diraih. Bagi kaum awam, taqwa itu cukup sulit untuk
diaplikasikan dalam kehidupan. Bagaimanakah caranya mengikat hati dalam ketaqwaan kepada
Allah swt? Sedangkan hati kita sering tersangkut dalam kepentingan-kepentingan duniawi?
Bagaimanakah caranya? Rasulullah tidak menerangkan tentang hal ini, dan Abu Dzarpun tidak
menanyakannya. Mungkin bagi dia taqwa adalah perkara yang jelas. Namun marilah kita ikuti
percakapan beliau selanjutnya.
Lalu Abu Dzar pun kembali bertanya kepada Rasulullah Ya Rasulallah, tambahkanlah wasiat
apalagi yang penting setelah taqwa.. Rasulullah saw menjawab Hendaklah engkau senantiasa
membaca Al Qur`an dan berdzikir kepada Allah azza wa jalla, karena hal itu merupakan cahaya
bagimu dibumi dan simpananmu dilangit. Ingatlah kita pada doa khatmil Quran yang sangat
masyhur
, ,
,


,

Keduanya bagaikan deposito bagi diri kita, bunganya dapat dipergunakan untuk menerangi
perjalanan kita di dunia, sedangkan tabungannya adalah kekayaan yang dapat mengamankan
kehidupan di akhirat nanti.
Abu Dzar merasa masih ada hal lain yang hendak disampaikan Nabi Muhammad saw. iapun
berkata meminta Ya Rasulullah, tambahkanlah. Rasulullah menjawab Janganlah engkau
banyak tertawa, karena banyak tawa itu akan mematikan hati dan menghilangkan cahaya
wajah.
Tertawa adalah hal yang kelihatan sangat sepele, tetapi Rasulullah saw melihat itu sebagai
sesuatu yang memiliki dampak psikologis dalam jiwa manusia. Karena kebanyakan manusia
ketika tertawa akan melupakan segala kewajiban sebagai seorang hamba. Hal ini berbeda
dengan model tertawa Rasulullah saw seperti yang diterangkan dalam sebuah hadits Abdullah
bin al Harits yang mengatakan, Tertawanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam hanya
sekedar senyum. (HR. Tirmidzi) Dan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
Senyummu kepada saudaramu merupakan sedekah. (HR. Tirmidzi)
Kalau demikian, apa maksud stasiun televise berbondong-bondong menghadirkan acara humor,
lawak ataupun dagelan? Bukankah itu sama artinya sebuah usaha pembodohan? Ataukah hanya
sekedar relaksasi dari kejenuhan hidup ini? Entahlah, yang Jelas Rasulullah telah berwasiat
demikian. Saya rasa kepercayaan kita kepada Nabi Muhammad saw, jauh mengatasi dari pada
berbagai produser acara di televise.
Sebagai muslim yang penuh kehati-hatian dan ingin tahu Abu Dzar pun melanjutkan
pertanyaanya kembali lalu apa lagi ya Rasulullah.? Rasulullah saw pun menjawab Hendaklah
engkau pergi berjihad karena jihad adalah kependetaan ummatku.
Bagaimanakah maksud jihad sebagai kependetaan? Bukankah jihad itu kepahlawanan? Inilah
yang perlu pemahaman mendalam. Kalimat ini sangat padu dengan apa yang pernah disabdakan
oleh Rasulullah saw bahwa jihad terbesar adalah melawan hawa nafsu Kita baru saja kembali
dari jihad kecil menuju jihad yang besar. Para sahabat bertanya, Apa jihad besar itu?, Nabi
SAW menjawab, Jihaad al-qalbi (jihad hati). Di dalam riwayat lain disebutkan jihaad al-nafs.
(lihat Kanz al-Ummaal, juz 4/616; Hasyiyyah al-Baajuriy, juz 2/265).
Masih ada lagi selain itu, karena Abu Dzar kembali meminta Lagi ya Rasulullah? Rasulpun
menjawab Cintailah orang-orang miskin dan bergaullah dengan mereka.
Jamaah Jumah Rahimakumullah
Jikalau keempat hal yang telah lalu seolah sangat bersifat pribadi, maka kali ini mencintai dan
menggauli orang miskin membuktikan adanya unsure sosialis yang tinggi dalam ajaran
Rasulullah saw. mencintai dan bergaul dengan orang miskin merupakan manifestasi dari
kemanusiaan seorang manusia. Dari berbagai ayat dalam al-Quran, kesemuanya menunjukkan
bahwa hubungan itu selalu dihiasi dengan pemberian dan pembagian. Sebagaimana dalam surat
An-Nisa 36.
Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh {294}, dan teman sejawat, ibnu sabil {295}
dan hamba sahayamu.
Lalu Abu Dzar meminta lagi kepada Rasulullah saw dengan berkata Tambahilah lagi.
Rasulullah saw menjawab Katakanlah yang benar walaupun pahit akibatnya.
Qulil haqqa walau kana murra

karena memang kebenaran bagi sebagian keadaan adalah kepahitan itu sendiri. Inilah yang
sedang terjadi di sekitar kita kali ini. Ketika kebohongan sudah mengurat-nadi, seolah kebenaran

enggan menunjukkan diri. Bukan karena malu atau terdesak dengan kebohogan, namun karena
keduanya tak mungkin ada berdampingan dengan bersamaan.
Jamaah Jumah Rahimakumullah
Abu Dzar masih saja bertanya dan meminta, tambahlah lagi untukku!. Rasulullah pun
menjawab Hendaklah engkau sampaikan kepada manusia apa yang telah engkau ketahui dan
mereka belum mendapatkan apa yang engkau sampaikan. Cukup sebagai kekurangan bagimu
jika engkau tidak mengetahui apa yang telah diketahui manusia dan engkau membawa sesuatu
yang telah mereka dapati (ketahui).
Kemudian beliau memukulkan tangannya kedadaku seraya bersabda,Wahai Abu Dzar,
Tidaklah ada orang yang berakal sebagaimana orang yang mau bertadabbur (berfikir), tidak ada
wara` sebagaimana orang yang menahan diri (dari meminta), tidaklah disebut menghitung diri
sebagaimana orang yang baik akhlaqnya.
Itulah beberapa wasiat emas yang disampaikan Rasulullah S.a.w kepada salah seorang sahabat
terdekatnya. Semoga kita dapat meresapi dan mengamalkan wasiat beliau.


Khutbah II




.



.




. !

Anda mungkin juga menyukai