sehingga bumi masih bisa dianggap sebagai bidang datar, umumnya merupakan bagian
pekerjaan pengukuran dan pemetaan dari satu kesatuan paket pekerjaan perencanaan dan
atau perancangan bangunan teknik sipil. Titik-titik kerangka dasar pemetaan yang akan
ditentukan lebih dahulu koordinat dan ketinggiannya itu dibuat tersebar merata dengan
kerapatan teretentu, permanen, mudah dikenali dan didokumentasikan secara baik
sehingga memudahkan penggunaan selanjutnya.
Titik-titik ikat dan pemeriksaan ukuran untuk pembuatan kerangka dasar pemetaan pada
pekerjaan rekayasa sipil adalah titik-titik kerangka dasar pemetaan nasional yang sekarang
ini menjadi tugas dan wewenang BAKOSURTANAL. Pada tempat-tempat yang belum tersedia
titik-titik kerangka dasar pemetaan nasional, koordinat dan ketinggian titik-titik kerangka
dasar pemetaan ditentukan menggunakan sistem lokal.
Pembuatan titik-titik kerangka dasar pemetaan nasional direncanakan dan dirancang
berjenjang berdasarkan cakupan terluas dan terteliti turun berulang memeperbanyak atau
merapatkannya pada sub-sub cakupan kawasan dengan ketelitian lebih rendah.
Bahasan kerangka dasar pemetaan berikut lebih mengutamakan teknik dan cara
pengukuran titik kerangka dasar pemetaan teristris, utamanya cara polygon dan sipat datar.
pengukuran. Selain itu juga perlu diperhatikan bahwa ketelitian posisi titik pemeriksa
harus lebih tinggi dibandingkan dengan ketelitian pengukuran.
Lazim dilakukan dalam suatu sistem pengukuran dan pemetaan, titik pengikat dan
pemeriksa dibuat dan diukur berjenjang turun semakin rapat dari yang paling teliti
hingga ke yang paling kasar ketelitiannya. Sudah tentu titik pengikat dan pemeriksa
yang lebih rendah ketelitiannya diikatkan dan diperiksa hasil pengukurannya ke titik
pengikat dan pemeriksa yang lebih tinggi ketelitiannya.
Titik-titik pengikat dan pemeriksa yang digunakan untuk pembuatan peta disebut
sebagai titik-titik kerangka dasar pemetaan.
Pembuatan titik-titik kerangka dasar pemetaan sebagai titik ikat dan pemeriksaan di
Indonesaia dimulai oleh Belanda dengan membuat titik-titik triangulasi dan tinggi
teliti.
2.1.2 Kerangka Dasar Horizontal
Kerangka dasar horizontal merupakan kumpulan titik-titik yang telah diketahui atau
ditentukan posisi horizontalnya berupa koordinat pada bidang datar (X,Y) dalam
sistem proyeksi tertentu. Bila dilakukan dengan cara teristris, pengadaan kerangka
horizontal bisa dilakukan menggunakan cara triangulasi, trilaterasi atau poligon.
Pemilihan cara dipengaruhi oleh bentukmedan lapangan dan ketelitian yang
dikehendaki.
Titik Triangulasi:
Titikk triangulasi buatan Belanda tersebut dibuat berjenjang turun berulang, dari
cakupan luas paling teliti dengan jarak antar titik 20 - 40 km hingga paling kasar
pada cakupan 1 - 3 km.
Tabel 2.1: Ketelitian posisi horizontral (X,Y) titik triangulasi.
Titik
Jarak
Ketelitian
Metoda
20 - 40 km
0.07 m
Triangulasi
10 - 20 km
0.53 m
Triangulasi
3 - 10 km
3.30 m
Mengikat
1 - 3 km
Polygon
Selain posisi horizontal (X,Y) dalam sistem proyeksi Mercator, titik-titik triangulasi ini
juga dilengkapi dengan informasi posisinya dalam sistem geografis (j ,l ) dan
ketinggiannya terhadap muka air laut rata-rata yang ditentukan dengan cara
trigonometris.
Pengunaan datum yang berlainan berakibat koordinat titik yang sama menjadi
berlainan bila dihitung dengan datum yang berlainan itu. Maka mulai tahun 1974
mulai diupayakan satu datum nasional untuk pengukuran dan pemetaan dalam satu
sistem nasional yang terpadu oleh BAKOSURTANAL.
Jaring Kerangka Geodesi Nasional (JKGN)
peta berdasarkan datum ini menggunakan sistem proyeksi peta UTM (Universal
Traverse Mercator).
Dalam pelaksanaannya jaring kontrol geodesi yang dengan menggunakan cara
doppler ini sudah merupakan satu kesatuan sistem, tetapi belum homogen dalam
ketelitian karena adanya perbedaan-perbedaan dalam cara pengukuran maupun
penghitungannya. Meski demikian ketelitian titik-titik doppler ini memadai untuk
pemetaan rupabumi skala 1 : 50 000.
Mulai tahun 1992, BAKOSURTANAL berhasil mewujudkan Jaring Kontrol Geodesi
(Horizontal) Nasional yang mencakup seluruh wilayah Indonesia,
berkesinambungan secara geometris, satu datum dan homogin dalam ketelitian.
Pengadaan JKG(H)N ini menggunakan teknologi Global Positioning
System (GPS).dan datum yang digunakan mengacu pada sistem ellipsoid referensi
WGS84. Ketelitian relatif jarak basis antar titik-titik JKG(H)N Orde 0 (nol) mencapai
fraksi 1x10-7 hingga 1x10-8 ppm, dengan simpangan bakudalam fraksi sentimeter.
JKGN Orde 0 meliputi 60 titik/stasion.
Jejaring JKG(H)N Orde 0 diperapat dengan cara serupa dan disebut JKG(H)N Orde 1
yang ditempatkan di setiap kabupaten dan mudah pencapaiannya. Ketelitian relatif
jarak basis antar titik-titik JKG(H)N Orde 1 ini mencapai fraksi 2x10-6 hingga 1x107
Penempatan JKG(H)N Orde 0 dan 1 ini juga menempati berberapa titik yang telah
diketahui posisi sebelumnya pada berbagai sistem datum. Dengan demikian bisa
ditentukan pula hubungan WGS84 terhadap datum yang ada. Tahun 1996
BAKOSURTANAL menetapkan wilayah Republik Indonesia sebagai satu kesatuan
wilayah kegiatan survai dan pemetaan menggunakan Datum Geodesi Nasional
1995 disingkat DGN-95 dan posisi pada bidang datar berdasarkan sistem proyeksi
peta UTM.
Jaring Kerangka Geodesi Nasional Orde 2 dan 3 (BPN)
Badan Pertanahan Nasional (BPN) mulai tahun 1996 menetapkan penggunaan DGN95 sebagai datum rujukan pengukuran dan pemetaan di lingkungan BPN dengan
pewujudannya berupa pengadaan Jaring Kontrol Geodesi Nasional Orde 2, Orde 3
dan Orde 4.
Kerapatan titik-titik JKGN Orde 2 10 km dan 1 - 2 km untuk JKGN orde 3. Kedua
kelas JKGN BPN ini diukur dengan menggunakan teknik GPS, diikatkan dan diperiksa
hasil ukurannya ke titik-titik JKGN Bakosurtanal Orde 0 dan 1. Posisi horizontal (X,Y)
JKGN BPN dalam bidang datar dinyatakan dalam sistem proyeksi peta TM-3, yaitu
sistem proyeksi transverse mercator dengan lebar zone 3. Khusus untuk JKGN BPN
Orde 4, dengan kerapatan hingga 150 m, pengukurannya dilakukan dengan cara
poligon yang terikat dan terperiksa pada JKGN BPN Orde 3 serta hitungan
perataannya menggunakan cara Bowditch.
2.1.3 Kerangka Dasar Vertikal
Kerangka dasar vertikal merupakan kumpulan titik-titik yang telah diketahui atau
ditentukan posisi vertikalnya berupa ketinggiannya terhadap bidang rujukan
ketinggian tertentu. Bidang ketinggian rujukan ini bisa berupa ketinggian muka air
laut rata-rata (mean sea level - MSL) atau ditentukan lokal. Umumnya titik kerangka
dasar vertikal dibuat menyatu pada satu pilar dengan titik kerangka dasar horizontal.
Pengadaan jaring kerangka dasar vertikal dimulai oleh Belanda dengan menetapkan
MSL di beberapa tempat dan diteruskan dengan pengukuran sipat datar teliti.
Bakosurtanal, mulai akhir tahun 1970-an memulai upaya penyatuan sistem tinggi
nasional dengan melakukan pengukuran sipat datar teliti yang melewati titik-titik
kerangka dasar yang telah ada maupun pembuatan titik-titik baru pada kerapatan
tertentu. Jejaring titik kerangka dasar vertikal ini disebut sebagai Titik Tinggi Geodesi
(TTG).
Hingga saat ini, pengukuran beda tinggi sipat datar masih merupakan cara
pengukuran beda tinggi yang paling teliti. Sehingga ketelitian kerangka dasar vertikal
(K) dinyatakan sebagai batas harga terbesar perbedaan tinggi hasil pengukuran sipat
datar pergi dan pulang. Pada Tabel 2.2 ditunjukkan contoh ketentuan ketelitian
sipat teliti untuk pengadaan kerangka dasar vertikal. Untuk keperluan pengikatan
ketinggian, bila pada suatu wilayah tidak ditemukan TTG, maka bisa menggunakan
ketinggian titik triangulasi sebagai ikatan yang mendekati harga ketinggian teliti
terhadap MSL.
Tabel 2.2 Tingkat ketelitian pengukuran sipat datar.
Tingkat / Orde
3 mm
II
6 mm
III
8 mm
Alat ukur sudut yang digunakan dengan ketelitian satu sekon, dan sudut diukur
dalam
4 seri pengukuran.
Alat ukur pengamatan matahari untuk menentukan jurusan awal dan jurusan akhir.
Jarak antar titik polygon 0.1 - 2 km dan ketelitian alat ukur jarak 10 ppm.
Gambar 2.1: Poligon terbuka terikat di ujung dan akhir untuk pembuatan
kerangka peta.
1. Diperlukan titik ikat dan pemeriksa di awal dan akhir lokasi pekerjaan:
a. Telah terdapat kedua titik ikat/pemeriksa: diperlukan pengamatan azimuth,
b. Belum terdapat kedua titik: pengamatan ( , ) dan posisinya dalam
sistem umum dan
serta pengamatan azimuth.
AKHIR
AWAL
XI
perancangan jalan secara umum tidak perlu seteliti untuk pekerjaan pengairan.
Keberadaan titik ikatan di lokasi berpengaruh pada volume pekerjaan pengikatan.
Contoh:
Bila pada Contoh 2.1 di atas, titik-titik KDH yang dipasang juga merupakan titik-titik
KDV, maka diperlukan, misalnya:
a. Sistem tinggi menggunakan sistem nasional, dan
b. Kesalahan beda tinggi terbesar 6 Dkm mm.
Berdasarkan keperluan ketelitian tinggi ini, diturunkan ketentuan sipat datar
kerangka dasar:
Alat ukur sipat datar yang digunakan mampu untuk membaca sampai ke fraksi mm,
pengukuran beda tinggi dilakukan pergi pulang dan masing-masing pengukuran
dilakukan dua kali.
Salah penutup beda tinggi antar BM dan pengukuran kurang atau sama
dengan 6 Dkm
Peninjauan lapangan:
Pengumpulan informasi keadaaan lapangan seperti titik-titik yang sudah
ada, medan dan kesampaian lapangan, administrasi teknis dan non-teknis
seperti perijinan dan lain-lainnya.
Perencanaan:
a. Bentuk kerangka, ketelitian dan penempatan serta kerapatan titik-titik
kerangka,
b. Peralatan ukur yang akan digunakan,
c. Tata-cara pengukuran dan pencatatan yang sepadan dengan ketelitian dan
cara serta
alat yang digunakan,
d. Bentuk dan bahan titik pilar dan cara pemasangannya,
e. Jadual pelaksanaan pekerjaan termasuk jadual personil, peralatan dan
logistik,
f. Tata-laksana pekerjaan administrasi, teknis. Personil, peralatan dan logistik.
a. Pilar dan patok dipasang agar kuat dan stabil pada tenggang waktu yang
direncanakan,
b. Lokasi pilar dan patok harus aman, stabil dan terjangkau serta mudah
pengukurannya,
c. Memasang tanda pengenal pilar dan patok,
d. Membuat deskripsi lokasi, struktur, cara dan pelaksana pemasangan pilar.
Pengukuran:
Pengukuran dilaksanakan sesuai ketentuan yang dibuat pada perencanaan
pengukuran.
Perhitungan:
a. Menghitung dan membuat koreksi hasil ukuran,
b. Mereduksi hasil ukuran,
c. Menghitung data titik kontrol, misalnya azimuth,
d. Menghitung koordinat dan ketinggian.
Bila data KDH akan dinyatakan dalam sistem proyeksi peta tertentu misalnya UTM, maka juga harus dilakukan reduksi data ukuran ke sistem
proyeksi. Hitungan koordinat dan ketinggian definitif menggunakan cara
perataan sederhana BOWDITCH misalnya, atau menggunakan cara perataan
kwadrat (kesalahan) terkecil.
2. Lahan sawah irigasi non-teknis seluas 2 500 ha yang terletak 5 km dari saluran
irigasi primer dan sekunder akan dikembangkan menjadi sawah berigasi teknis. Di
kawasan ini belum tersedia peta topografi skala 1 : 1 000, tetapi di sekitar saluran
irigasi telah tersedia titik-titik KDH/KDV dalam sistem umum dan peta dasar buatan
Bakosurtanal skala 1 : 50 000.
a. Apa kegunaan peta dasar untuk pekerjaan pembuatan peta topografi skala 1 : 1
000 ?
b. Sebutkan jenis pekerjaan pengukuran yang diperlukan untuk pembuatan
KDH/KDV peta ini.
c. Coba susun ketentuan KDH/KDV pemetaan lahan ini dalam sistem umum.
3. Untuk pemetaan kawasan seperti kasus soal 2 di atas sering dibuat poligon
tertutup untuk pembuatan kerangka peta yang diikatkan ke titik KDH/KDV nasional.
Coba turunkan persyaratan hitungan poligon tertutup bila yang diukur sudut-sudut
dalam poligon. Apa keuntungan poligon tertutup ?
Rangkuman
Kerangka dasar pemetaan dibuat untuk ikatan dan pemeriksaan pengukuran untuk
pembuatan peta. Titik kerangka dasar selalu dibuat lebih teliti dibandingkan titik
pengukuran yang lain. Ketelitian kerangka dasar ditentukan sesuai tahapan pekerjaan
perencanaan dan perancangan yang berarti juga cakupan pemetaan. Untuk pekerjaan
rekayasa sipil biasa digunakan cara poligon dan cara sipat datar, masing-masing untuk
pengadaan kerangka dasar pemetaan horizontal dan vertikal. Terdapat beberapa sistem
KDH nasional di Indonesia: triangulasi Belanda, JKGN Orde 0 dan 1 Bakosurtanal dan JKGN
Orde 2 dan 3 BPN. Sistem KDV nasional mengacu pada tinggi muka laut yang terpadu. Saat
ini, pengadaan titik-titik kerangka dasar horizontal banyak dilakukan dengan cara
berbantukan sistem navigasi satelit, misalnya GPS (global positioning systems) yang bisa
untuk menentukan posisi sebarang titik di muka bumi tanpa terlalu bergantung pada cuaca
dan kondisi lapangan lainnya.
PENGUKURAN UNTUK PEMBUATAN PETA
Pengukuran untuk pembuatan peta juga biasa disebut pengukuran topografi, atau
pengukuran situasi, atau pengukuran detil, dilakukan untuk dapat menggambarkan unsurunsur: alam, buatan manusia dan bentuk permukaan tanah dengan sistem dan cara
tertentu. Di antara beberapa cara yang dibahas berikut adalah cara offset dan tachymetry.
adalah: (1) alat pembuat sudut siku cermin sudut dan prisma, (2). jalon, dan (3)
pen ukur.
Dari jenis peralatan yang digunakan ini, cara offset biasa digunakan untuk daerah
yang relatif datar dan tidak luas, sehingga kerangka dasar untuk pemetaanya-pun
juga dibuat dengan cara offset. Peta yang diperoleh dengan cara offset tidak akan
menyajikan informasi ketinggian rupa bumi yang dipetakan.
Cara pengukuran titik detil dengan cara offset ada tiga cara: (1) Cara siku-siku (cara
garis tegak lurus ), (2) Cara mengikat (cara interpolasi), dan (3) Cara gabungan
keduanya.
Dalam bahasan berikut lebih mengutamakan pembahasan teknik cara offset,
sedangkan hal teknik pembuatan garis tegak lurus, perpanjangan garis dan
penggunaan prisma yang sudah diuraikan di bab sebelumnya tidak dibahas lagi.
Titik A, B, C dan D adalah titik kerangka dasar yang telah dipasang seperti
ditunjukkan pada Gambar 3.2. Ukur jarak-jarak AB, BC, CD, DA dan AC yang
merupakan sisi-sisi segitiga ABC dan ADC sebagai garis ukur.
Karena garis ukur dibuat dengan membentuk segitiga-segitiga, maka cara ini juga
disebut cara trilaterasi.
3.1.2 Pengukuran Detil Cara Offset
Pengukuran detil cara offset cara ciku-siku:
Setiap titik detil diproyeksikan siku-siku terhadap garis ukur dan diukur jaraknya.
Gambar 3.5: Pengukuran detil cara offset cara mengikat dengan perpanjangan garis titik detil.
Pengukuran detil cara offset cara kombinasi:
Setiap titik detil diproyeksikan atau diikatkan dengan garis lurus ke garis ukur. Dipilih cara
pengukuran yang lebih mudah di antara kedua cara.
Bila kesalahan pengukuran jarak garis ofset l, maka gabungan pengaruh kesalahan
pengukuran jarak dan sudut menjadi: {(l sin )
+ l 2}1/2.
Tempatkan alat ukur di atas titik kerangka dasar atau titik kerangka penolong dan
atur sehingga alat siap untuk pengukuran, ukur dan catat tinggi alat di atas titik ini.
Dirikan rambu di atas titik bidik dan tegakkan rambu dengan bantuan nivo kotak.
Arahkan teropong ke rambu ukur sehingga bayangan tegak garis diafragma berimpit
dengan garis tengah rambu. Kemudian kencangkan kunci gerakan mendatar
teropong.
Kendorkan kunci jarum magnet sehingga jarum bergerak bebas. Setelah jarum
setimbang tidak bergerak, baca dan catat azimuth magnetis dari tempat alat ke titik
bidik.
Kencangkan kunci gerakan tegak teropong, kemudian baca bacaan benag tengah,
atas dan bawah serta cata dalam buku ukur. Bila memungkinkan, atur bacaan
benang tengah pada rambu di titik bidik setinggi alat, sehingga beda tinggi yang
diperoleh sudah merupakan beda tinggi antara titik kerangka tempat berdiri alat dan
titik detil yang dibidik.
Titik detil yang harus diukur meliputi semua titik alam maupun buatan manusia yang
mempengaruhi bentuk topografi peta daerah pengukuran.
c. Titik
dan
H5