Anda di halaman 1dari 14

PEMBAHASAN TIPE, EVOLUSI, DAN STRATIGRAFI

CEKUNGAN LARIANG BESERTA GEOLOGI SEKITARNYA


TUGAS MATAKULIAH STRATIGRAFI INDONESIA

Oleh: KELOMPOK 1
KELAS B
Luthfan Harisan Jihadi

270110110007

Ali Fahmi

270110120034

Tedy Ardiansyah

270110120007

Radi Rahmansyah

270110120008

Choiril Firmansyah

270110120009

Dwiki Nur Agrizal

270110120010

Muhaimin Arif

270110120031

Zaky Muhammad Aulia

270110120032

Sergio Serano

270110120033

Febrian Rahmana P.

270110120084

Immanuel Lennard Bona

270110120207

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNIK GEOLOGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2015

1.1 Pendahuluan
Cekungan Lariang yang berada di Kawasan Timur Indonesia terletak di
bagian barat Pulau Sulawesi dan diperkirakan dapat menjadi target eksplorasi baru
yang potensial dengan lapisan reservoir Tersier sebagai sasarannya. Wilayah
cekungan terletak di antara zona tumbukan di sebelah timur dan zona pemekaran
2

Selat Makassar di sebelah barat memiliki luas sebesar 14.150 km . Secara


geografis, Cekungan Lariang berada di antara koordinat 1 3 LS dan 119
120 BT (Gambar 1.1). Batuan dasar cekungan ini berumur Pra-Tersier, dengan
ketebalan antara 1.000 6.500 m pada kedalaman 6.500 m. Wilayah Sulawesi
Barat terutama yang termasuk daerah Cekungan Lariang masih merupakan daerah
yang kurang dikenal dibandingkan dengan daerah Kalimantan Timur yang
dipisahkan oleh Selat Makassar yang telah dikenal dengan baik sebagai provinsi
hidrokarbon. Geologi bagian barat Sulawesi dipengaruhi oleh pemekaran Selat
Makassar di sebelah barat dan tumbukan fragmen-fragmen kontinental, ofiolit,
dan busur kepulauan di sebelah timur.
1.2 Sejarah Eksplorasi
Aktivitas eksplorasi paling awal yang diketahui dilakukan di bagian
selatan Cekungan Lariang adalah pada tahun 1989 1900 dengan dilakukannya
pemboran oleh Doda Oil Company. Daerah ini kemudian disebut sebagai daerah
rembesan minyak Doda. Perusahaan ini gagal menemukan kandungan
hidrokarbon yang komersial yang menyebabkan dilikuidasinya perusahaan ini.
Sejak itu, tidak ada perusahaan yang tertarik melakukan eksplorasi di daerah ini
sampai dengan datangnya ahli-ahli geologi BPM pada tahun 1927 dari
Balikpapan. Pada tahun 1995 Sumur Perintis-1, dibor oleh Mobil Oil Indonesia
mencapai kedalaman 381 m, merupakan sumur perairan dalam pertama di utara
Selat Makassar. Pada tahun 1997, penemuan pertama dari sumur perairan dalam,
Sumur Merah Besar-1, dibor oleh Unocal Indonesia dan kemudian diikuti oleh
penemuan-penemuan berikutnya seperti West Seno, Gendalo, Gandang, Gula,
Gada, dan Ranggas. Penemuan minyak yang paling dalam terdapat pada

kedalaman perairan sekitar 2.000 m. Batas cekungan berdasarkan pada anomali


gaya berat yang menunjukkan anomali negatif dan didukung oleh data isopach.

Gambar 1.1 Peta lokasi Cekungan Lariang.


2.1 Evolusi Cekungan
Secara geomorfologi, Pulau Sulawesi dapat dibagi menurut arah jarum jam
dari selatan, Lengan Selatan, Lengan Utara, Lengan Timur, dan Lengan Tenggara
(Gambar 2.1). Lengan Selatan dan Tenggara dipisahkan oleh teluk yang dalam,
yaitu Teluk Bone dengan kedalaman sekitar 2.000 m.
Tiga arah struktur terdapat di Cekungan Lariang, yakni arah timurlautbaratdaya, baratlaut-tenggara, dan utara-selatan. Semua arah struktur ini terdapat

pada batuan-batuan Kenozoikum dan hanya struktur berarah timurlaut-baratdaya


dan baratlaut-tenggara yang dapat teramati di batuan dasar Mesozoikum (Calvert
dan Hall, 2003). Struktur-struktur utama di Kelompok Toraja dan Formasi Lisu
berarah timurlaut-baratdaya dan sebagian kecil berarah baratlaut-tenggara. Pada
Formasi Pasangkayu Plio-Plistosen tidak dijumpai arah struktur utamanya.
Struktur wilayah Cekungan Lariang juga termasuk bagian dari Sabuk Lipatan
Sulawesi Barat (West Sulawesi Fold Belt) yang terdiri dari kompleks lipatan
dengan arah timurlaut-baratdaya dan utara-selatan (Fraser dkk., 2003) (Gambar
2.2). Dari seismik reflektor, bentukan sabuk lipatan ini juga terlihat dengan jelas
(Gambar 2.3).
Evolusi tektonik di Cekungan Lariang diawali dengan pemekaran Selat
Makassar pada Eosen Tengah dan berlanjut hingga Eosen Akhir yang
menghasilkan struktur graben dan half graben yang terisi oleh endapan-endapan
lautan dan laut tepi (marginal marine). Celah pemekaran Selat Makassar
merupakan celah yang tidak simetris pada kedua tepinya (Calvert dan Hall, 2003,
Guntoro, 1999, Moss dan Chambers, 2000).
Fase penurunan setelah pemekaran (post-rift subsidence) dimulai pada
Eosen Akhir memungkinkan batulempung dan beting-beting batugamping
menutupi daerah tepi Selat Makassar dan sebagian besar Sulawesi barat pada saat
itu merupakan suatu daerah paparan karbonat dan batulempung kemudian
diendapkan pada akhir Oligosen. Pada Miosen awal fragmen-fragmen kontinenal
bertumbukan dengan Lengan Tenggara Sulawesi, namun di Sulawesi Barat tidak
dijumpai bukti-bukti yang berkaitan dengan peristiwa orogenik ini.

Gambar 2.1 Peta geologi regional dan fisiografi Sulawesi


(dimodifikasi dari Hall dan Wilson, 2000 dalam Calvert dan Hall, 2003).

Gambar 2.2 Sabuk Lipatan Sulawesi Barat dan penyebaran sumur (Fraser dkk,
2003).
Di Kalimantan Timur terjadi proses pengangkatan dan inversi selama
Miosen namun hal ini tidak terjadi di sebelah barat Sulawesi. Proses inversi di
Kalimantan Timur disebabkan oleh peristiwa tektonik di Kalimantan, bukan
karena tumbukan di Sulawesi (Calvert dan Hall, 2003). Selama Pliosen
karakteristik sedimentasi di barat, tengah dan timur Sulawesi berubah secara
signifikan. Pengangkatan dan erosi diikuti oleh pengendapan klastik berbutir kasar
yang berasal dari lajur orogenik di sebelah timur Cekungan Lariang, sedangkan di
sebelah barat terjadi sedimentasi syn-orogenic, inversi struktur half-graben

Paleogen, perlipatan dan pembentukan sesar-sesar naik, berkembangnya ketidakselarasan intra-basinal dan pembentukan cekungan-cekungan kecil. Orogenesa
Pliosen menghasilkan pegunungan sekarang yang mencapai ketinggian 3 km.
Berdasarkan data seismik, kompresi terjadi sangat kuat di bagian utara dan tengah
cekungan dan lemah di bagian selatan (Gambar 4).

Gambar 2.3 Bottom Seismic Reflector (BSR) di Sabuk Lipatan Sulawesi Barat
(Fraser dkk, 2003).

2.2 Pengisian Cekungan Lariang


Skema cross section dari daerah Lariang Selatan yang memiliki panjang
lebih kurang 35 km (Calvert, 2007) Pada daerah Lariang dan Karama, strata
Oligosen memiliki ketebalan hanya 400 m sedangkan strata Eosen memiliki
ketebalan 1000 m hingga 3000 m. Saat pergerakan bagian dari Eosen ke Oligosen,
terjadi:
1. Penurunan dalam material volkaniknya.
2. Penurunan tipe litofasies.
3. Peningkatan sedimentasi karbonat selama Eosen akhir.
4. Peningkatan sedimentasi batulumpur selama Oligosen.

Paparan Paleogen di Sulawesi Barat mungkin kemudian termodifikasi dan


terpindahkan oleh kompresi dan pengangkatan Neogen akhir.
2.3 Tipe Cekungan
Klasifikasi cekungan cukup beragam, tergantung dari berdasarkan aspek
apa klasifikasi tersebut. Cekungan sedimen dapat diklasifikasikan dari berbagai
aspek misalnya dari letaknya, mekanisme keterbentukannya, maupun lingkungan
pengendapannya. Secara tektonik cekungan sedimen dapat pula diklasifikasikan
berdasarkan

letaknya

pada

lempeng,

jenis

deformasi

tektonik,

dan

karakteristiknya. Secara historis, cekungan dapat dibedakan menjadi cekungan


aktif dan cekungan residual.
Einsele (1992) menyebutkan bahwa cekungan yang diakibatkan oleh
tektonik sangat penting keberadaanya untuk akumulasi sedimen. Kingston et al.
(1983) dalam Einsele (1992) merangkum jenis-jenis cekungan tektonik (Tabel
1.1).
Cekungan Lariang dan Karama, berdasarkan Calvert dan Robert (2007),
memiliki ciri keterbentukan akibat rifting (divergen) sehingga membentuk graben
dan half-graben dimana subsidence berlangsung pada perioda awal rifting.
Dengan deskripsi tersebut, menggunakan klasifikasi cekungan yang telah
dirangkum oleh Kingston et al. (1983) dalam Einsele (1992), cekungan Lariang
dan Karama termasuk pada kategori cekungan continental atau cekungan interior
patahan, dengan jenis struktur graben, dan zona rift.

Tabel 2.1 Rangkuman Klasifikasi Tektonik


Kategori
Cekungan
Kontinental
atau cekungan
interior
lembah (sag)
Kontinental
atau cekungan
interior
patahan
Cekungan
atau batas
benua pasif,
cekungan
lembah
margin
Cekungan
lembah
samudra
Cekungan
terkait
subduksi

Jenis
Cekungan
Epikontinental,
Infrakratonik
Struktur
graben, zona
rift,
aulacogen

Strike-slip

Bentukan
Tektonik

Karakteristik
Cekungan

Kontinental

Divergen

Area luas,
subsidence lambat

Kontinental

Divergen

Tensionalrift, tensionshear,
margin
lembahan

Transisional

Divergen
+
shear

Nascent
ocean basin

Samudera

Divergen

Palung,
forearc,
backarc,
interarc

Cekungan
residual
Cekungan
terkait
tumbukan

Lempengan
di bawahnya

Foreland
(peripheral),
retroarc,
broken
foreland
Terrane
basin
Transtensional dan
transpressional

Samudera

Konvergen

Transisional,
samudera

Dominan
divergen

Samudera

Kontinental

Konvergen

Flexure kerak,
konvergen local,
atau transform

Besar, asimetris,
subsidence lambat
Sebagian
asimetris,
kedalaman dan
subsidence
beragam
Subsidence
diakibatkan
penimbunan
sedimen yang
pesat
Asimetris,
subsidence terus
meningakat, uplift
dan subsidence
Mirip dengan
backarc basin

Samudera
Kontinental,
atau/dan
samudera

Cenderung sempit,
dibatasi sesar,
subsidence pesat
pada rifting awal
Asimetris,
sebagian tidak
mengakumulasi
sedimen,
subsidence
menengah-rendah

Transform,
dengan atau
tanpa divergen
atau konvergen

Relatif kecil,
memanjang,
subsidence pesat

3.1 Stratigrafi Cekungan


Stratigrafi Cekungan Lariang terdiri dari batuan dasar (basement)
metamorfik Mesozoikum dan sikuen-sikuen batuan sedimen Tersier (Calvert dan
Hall, 2003) (Gambar 5 dan 6). Batuan dasar di Cekungan Lariang berumur
Mesozoikum dan terdiri dari batuan metamorf yang ditutupi oleh serpih hitam dan
batuan-batuan vulkanik berumur Kapur Atas yang terdeformasi lebih lemah.
Menutupi secara tidak selaras di atas batuan dasar ini adalah batuan dari
Kelompok Toraja (Toraja Group) yang terdiri dari dua formasi, yaitu Formasi
Kalumpang dan Formasi Budungbudung. Formasi Kalumpang merupakan bagian
yang lebih tebal, terdiri dari batuan sedimen asal laut dangkal /terestrial dan
Formasi Budungbudung terdiri dari batuan sedimen laut terbuka. Di atas batuan
Kelompok Toraja terdapat Formasi Lisu yang berumur Miosen Awal sampai
Pliosen Awal dan terdiri dari perselingan batulempung dan batupasir greywacke.
Paleobatimetri Formasi Lisu berdasarkan analisis kandungan nannofosil dan fosil
jejaknya menunjukkan pengendapannya terjadi di kedalaman air kurang dari 150
200 m.
Formasi Pasangkayu, yang terletak selaras di atas Formasi Lisu, berumur
Pliosen Awal sampai Plistosen. Litologi formasi ini didominasi oleh konglomerat
dan batupasir dimana semakin dekat ke arah garis pantai yang sekarang proporsi
batulempungnya semakin meningkat. Evolusi stratigrafi Cekungan Lariang
dimulai dengan pengendapan non-marin sedimen Paleogen yang meliputi
batubara, batupasir, dan batulempung di atas batuan dasar Mesozoikum.
Pemekaran (Selat Makassar) dimulai pada Eosen Tengah yang memungkinkan
terendapkannya paket sedimen yang tebal di dalam struktur graben dan half
graben baik yang berada di lingkungan marin maupun di bagian tepiannya
(marginal marine). Penurunan cekungan (subsidence) terjadi pada Eosen AkhirOligosen Akhir kebanyakan diisi oleh endapan karbonat, dan batulempung
diendapkan selama Miosen Awal sampai Miosen Akhir. Tumbukan Miosen Awal
di sebelah timur tidak memiliki dampak yang berarti terhadap perkembangan
stratigrafi di Sulawesi Barat. Pengangkatan dan erosi yang diikuti oleh

pengendapan klastik kasar selama Pliosen telah mengubah secara mencolok


karakter endapannya.

Gambar 3.1 Sketsa model pengendapan Cekungan Lariang (Calvert dan Hall,
2003).

Gambar 3.2 Stratigrafi regional Cekungan Lariang (Calvert dan Hall, 2003).
.
4.1. Kesimpulan
Terdapat dua ketidakselarasan yang berhasil diidentifikasi pada daerah
Lariang dan Karama di Barat Sulawesi. Pertama pada dasar cekungan berumur
Kapur atas terdapat ketidakselarasan antara dua sedimen yang berumur Pliosen
bawah dengan Plio-Pliosen. Endapan sedimen bawah dari endapan non marine

yang berumur Kenozoikum dapat berumur Paleosen, tetapi sedimen marine tertua
memiliki pola transgresi dan berumur Eosen Tengah yang menunjukkan awal
terjadinya rifting (pemekaran). Sedimen pada masa Eosen diendapkan di graben
dan half-graben baik di lingkungan laut maupun lingkungan batas dari laut.
Rift atau pematang di Selat Makassar berbentuk asimetris. Zona ekstensi
di tepi batas Barat Kalimantan diaproksimasi memilik tebal dua kali lipat lebih
besar dari tepi batas Timur Sulawesi hingga akhir dari Oligosen, banyak daerah di
Barat Sulawesi merupakan paparan karbonat dan endapan batulempung. Selama
Miosen awal hingga Miosen tengah atau akhir, karbonat dan batulempung
diendapkan pada lingukan laut dangkal. Kolisi pada Miosen Awal di Sulawesi
Barat tidak menyebabkan terbentuknya pegunungan di Barat Sulawesi. Pada
zaman Pliosen, karakter sedimentasi di barat, tengah, dan timur Sulawesi berubah
jauh.
Uplift (pengangkatan) dan erosi diikuti pengendapan dari sedimen klastik
kasar pada orogenic belt. Di sebelah Barat dari orogenic belt ada sedimentasi synorogenic, inverse, dan lipatan diatas half-graben yang berumur paleogen, lipatan
dengan tipe detachment dan thrusting, dan menghasilkan ketidakselarasan di intrabasinal dan cekungan-cekungan kecil. Kontradiksi deformasi di barat Sulawesi
yang berumul Pliosen berbeda dengan Timur Kalimantan yang berumur Miosen
awal. Hal ini menunjukkan bahwa kedua bagian tersebut disebabkan oleh aktivitas
yang berbeda.
Potensi hidrokarbon pada Cekungan Lariang adalah ia berada pada
lingkungan carbonate build up, slope fan deposits, dan fluvial sediment berumur
Eosen

dan

berada

pada

Kelompok

pengendapandan suplai sedimen)

Toraja

(berdasarkan

lingkungan

DAFTAR PUSTAKA
Calvert, S.J., Hall, R., 2003, The Cenozoic Geology of the Lariang and Karama
Regions, Western Sulawesi: New Insight into the Evolution of the
th
Makassar Straits Region, Indonesian Pet. Assoc., 29 Annual Convention
Proceeding.
Einsele, G. 1992, Sedimentary Basins: Evolution, Facies, and Sediment Budget.
Heilderberg: Springer
Fraser, T.H., Jackson B.A., Barber P.M., Baillie P., and Myers K., 2003, The
West Sulawesi Fold Belt and other New Plays within the North Makassar
th
Straits a Prospectivity Review, Indonesian Pet. Assoc., 29 Annual
Convention Proceeding.
Guntoro, A., 1999, The Formation of the Makassar Straits and the Separation
between SE Kalimantan and SW Borneo, Journal of the Asian Earth
Sciences, hal.79-98.
Hadipandoyo, S., Setyoko, J., Riyanto, H., Guntur, A., Suliantara, Sunarjanto, D.,
Gatot, T., Adji., Isnawati, dan Suprijanto, 2005, Kuantifikasi Sumberdaya
Hidrokarbon Kawasan Timur Indonesia. Vol. II hal. 57-63. LEMIGAS,
Jakarta.
Hall, Robert, 2005, Cenozoic Tectonics of Indonesia, Problems and Models: ArcContent Collision?: Sulawesi, Royal Holloway Universityof London, UK.
Hasan, K., 1991, Upper Cretaceous Flysch Succession of the Balangbaru
th
Formation, Southwest Sulawesi, Indonesian Pet. Assoc., 20 Annual
Convention Proceeding, hal.183-208.
Moss, S. J., dan Chambers, J.L.C., 2000, Depositional Modeling and Facies
Architecture of Rift and Inversion Episodes in the Kutai Basin,
th
Kalimantan, Indonesian Pet. Assoc., 27 Annual Convention Proceeding,
Jakarta.
Puspita, S. D., Hall, R., Elders, C. F., 2005, Structural Styles of the Offshore West
Sulawesi Fold Belt, North Makassar Straits, Indonesia, Proceedings,
th
Indonesian Petroleum Association 30 Annual Convention and Exhibition.

Anda mungkin juga menyukai