Anda di halaman 1dari 7

Tektonik Regional

Hall (2012) menyebutkan bahwa Jawa Timur merupakan bagian dari Gondwana berdasarkan hasil analisis
Zircon yang menunjukan bahwa batuan dasar dari cekungan ini memiliki keterkaitan dengan lempeng yang
mendasari Australia Barat.

Evolusi tektonik Jawa Timur diawali pada umur Jura Awal (Hall, 2012). Pada saat itu Jawa Timur masih
merupakan bagian dari Gondwana yaitu blok Argo yang mulai mengalami rifting karena inisiasi blok Banda
yang memisahkan diri dari Sula Spur. Blok Argo drifting kearah utara dan menjadi daerah Passive margin
selama proses drifting tersebut, hingga pada Kapur Awal, Hall (2012) menyatakan blok Argo menjadi
mikrokontinen East Java West Borneo (EJWS) dan blok Banda menjadi mikrokontinen South West Borneo
(SWB) yang keduanya masuk kedalam sistem subduksi Busur Woyla. Pada umur Kapur Awal, SWB telah
menjadi bagian dari Sundaland dan membentuk jalur subduksi yang menerus dari Jawa Barat (Ciletuh-Luk
Ulo) hingga SE Kalimantan (Meratus). pada Kapur Tengah, seri ofiolit dan metamorf di Meratus tersingkap
ke permukaan karena adanya kolisi antara mikrokontinen WS (West Sulawesi) dengan Meratus, lalu
dilanjutkan dengan kolisi antara mikrokontinen EJ (East Java) dan Luk Ulo yang menyebabkan kompleks
ofiolit dan metamorfik di Luk Ulo tersingkap pada umur Kapur Akhir.

Kolisi antara mikrokontinen EJWS dengan Sundaland terjadi pada Kapur Awal membentuk struktur
regional berupa thrust fold belt dengan arah NE-SW. Kemudian pergerakan dilanjutkan dengan arah utara
India menyebabkan batas transform dengan pergerakan ekstensi antara benua India dan Australia yang
memanjang dari busur Woyla. Pada umur Paleosen-Eosen Awal, batas transform berubah secara intensif
menjadi konvergen berarah utara yang mengartikan bahwa adanya subduksi antara lempeng India dan
Australia di bagian Sumatera Utara (Hall, 2012). Akibat pergerakan India tersebut, terbentuk zona strike
slip menganan yang menyebabkan Jawa Timur mengalami pergerakan tektonik ekstensional membentuk
cekungan graben-half graben dan memicu terbentuknya sesar besar Sumatra. (gambar 1)
Gambar 1. Evaluasi Tektonik Jawa Timur Kapur Akhir – Eosen Awal (Hall, 2012)

Pada Eosen Tengah – Miosen Awal, jalur subduksi sudah hampir seperti keadaan resen (Hall, 2012) dan
lempeng filipina mengalami rifting yang menyebabkan inversi sesar regional Jawa Timur (Sribudiyani,
dkk, 2003). Pada Miosen Tengah, tren subduksi dan busur magmatik memiliki arah selatan dan
menerus hingga pulau Bali, Nusa Tenggara hingga Banda karena adanya kolisi Banggai-Sula dan
inisiasi dari Subduction Rollback. Akibat kolisi tersebut, Sribudiyani, dkk, (2003) menyebutkan bahwa
pada periode ini beberapa tempat di Jawa Timur mengalami pengangkatan dan mengalami proses
diagenesa. Memasuki umur Miosen Akhir, zona subduksi lebih mengarah ke utara seperti keadaan
resen (gambar 2)
Gambar 2. Evolusi Tektonik Kolisi Banggai-Sula dan Inisiasi Subduction Rollback (Hall, 2012)

Stratigrafi Regional

Van Bammmelen (1949) dalam Husein (2014) mengklasifikasikan daerah penelitian kedalam zona
perbukitan Rembang. Sehingga stratigrafi regionalnya menurut Prasetyadi (2007) dalam Husein (2014) jika
diurutkan dari yang paling tua adalah sebagai berikut:

1. Batuan Dasar
2. Formasi Ngimbang
3. Formasi Kujung
4. Formasi Kranji
5. Formasi Prupuh
6. Formasi Tawun
7. Formasi Ngrayong
8. Formasi Bulu
9. Formasi Wonocolo
10. Formasi Ledok
11. Formasi Mundu
12. Formasi Ledok
13. Formasi Selorejo
14. Formasi Lidah
15. Endapan Quarter

Miall (2010) dalam Lunt (2019) menyebutkan stratigrafi regional jawa timur terdiri dari 4 siklus sekuen
yang dipengaruhi oleh epeirogenic dan tektonik lokal.

1. Siklus Ngimbang

Sekuen transgresif tahap pertama merupakan bagian dari fasa Pre-rift pembentukan basement dengan
struktur horst-graben, selanjutnya diisi oleh sedimen lakustrin sebagai Syn-Rift terdiri atas siklus sedimen
Formasi Ngimbang dan Formasi CD (Juliansyah, dkk, 2016). Formasi-formasi tersebut diendapkan saat
rezim tektonik ekstensional dengan rate of subsidence yang tinggi (Adhyaksawan, 2003 dalam Gunawan,
dkk., 2017). Litologi Formasi ini mengendapkan Batupasir, Batulanau, dan Batulempung sebagai penciri
endapan fluvio-deltaik (lakustrin) dan ditutup dengan batugamping dibagian atas. Formasi CD (Lunt,
2019).

2. Siklus Kujung

Kemudian siklus kujung terjadi ditandai dengan adanya fasa regresi akibat adanya proses tektonik pada
Oligosen Tengah, namun karena rate of subsidence yang tinggi, fasa sekuen secara kontinu berubah
menjadi transgresi pada Oliosen Akhir-Miosen Awal dengan litologi dominan Batugamping Platform
dengan Batugamping Terumbu, berlapisan dengan Lanau, dan endapan laut dalam pada bagian bawah
(Adhyaksawan, 2003 dalam Gunawan, dkk., 2017). Siklus ini mengendapkan Formasi Kujung, Formasi
Kranji, dan Formasi Prupuh.

3. Siklus Tuban

Selanjutnya terjadi fasa regresi yang massif akibat adanya pengangkatan pada umur Miosen Awal (Hall,
2012) yang berdampak pada pertambahan influks sedimen yang signifikan diatas Formasi Kujung. Siklus
sedimen ini terjadi pada fasa tektonik Inversi (Miosen Awal) terdiri atas Formasi Tawun dan Formasi
Ngrayong. Formasi Tawun terdiri atas batuan Sedimen Lanau marin yang ditutup oleh batuan karbonat
yang sering dikenal dengan Formasi Rancak. Formasi Ngrayong yang kaya akan butir pasir diendapkan
diatas Formasi Tuban yang memiliki litologi dominan batuan sedimen halus (lanau) (Pireno & Mudjiono,
2001)

4. Siklus Kawengan-Resen

Kemudian terendapkan Formasi Wonocolo yang terdiri atas sedimen klastik seperti Napal dan Kalsilutit,
dan dengan fasies laut dangkal – dalam pada umur Miosen Tengah. Formasi ini terendapkan pada siklus
wonocolo yang merupakan fasa transgresi.

Pada umur Pliosen terjadi proses tektonik lokal yang membentuk siklus kawengan. Bagian utara dari
Formasi Wonocolo sudah tererosi, Formasi Ngrayong sudah beberapa tempat tererosi yang diatas bidang
ketidakselarasan tersebut diendapkan batugamping patch reef. Hasil erosi batuan tertransportasi ke bagian
selatan cekungan yang banyak struktur antiklin-sinklin. Butiran hasil erosi terendapkan dalam sinklin yang
kedalamanya hampir sama dengan kedalaman formasi Kujung. Sedangkan batuan penyusun antiklin terdiri
atas Batugamping. Endapan tersebut membentuk Formasi Ledok, Formasi Mundu, Formasi Selorejo, dan
Formasi Lidah yang berupakan batuan sedimen klastik.
Gambar 3. Stratigrafi Regional Jawa Timur menurut Prasetyadi (2007) dalam Husein (2014)
Referensi:

Gunawan, Agung, Sapiie, Benyamin, dan Wibowo, Bintoro. (2017). Analisis Geomekanika Pada
Batuan Dasar, di Area JS-1 Ridge Bagian Selatan, Cekungan Jawa Timur Utara. Bulletin of
Geology.1.1-18. 10.5614/bull.geol.2017.1.1.1.

Hall, R. (2012). late jurassic–cenozoic reconstructions of the indonesian region and the indian ocean,
Tectonophysics, 570–571, 1–41, doi:10.1016/j.tecto.2012.04.021, 2012.

Husein, Salahuddin & Titisari, Anastasia & Freski, Yan & Utama, Peter. (2014). Panduan Ekskursi Geologi
Regional 2016 Jawa Timur bagian barat, Indonesia. 10.13140/RG.2.1.1185.3847.

Juliansyah, M. N., Mazied, M., Arisandy, M. (2016). Regional Stratigraphic Correlation across the East
Java Basin: Integrated Application of Seismic, Well, Outcrop and Biostratigraphic Data. Proc.
th
Indonesian Petroleum. Association, 40 Ann. Conv. doi:10.29118/ipa.0.16.510.g

Lunt, P. (2019). The origin of the East Java Sea basins deduced from sequence stratigraphy.
Marine and Petroleum Geology. doi:10.1016/j.marpetgeo.2019.03.038

Mudjiono, R., & Pireno, G.E. (2001). Exploration of the North Madura Platform, Offshore East Java,
Indonesia. Doi:10.29118/ipa.980.707

Sribudiyani, & Muchsin, N. & Ryacudu, R. & Kunto, T. & Astono, P. & Prasetya, Isnan & Sapiie,
Benyamin & Asikin, S. & Harsolumakso, Agus & Yulianto, Imam. (2003). The collision of
east java microplate and its implication for hydrocarbon occurences in the east Java basin.
Proceedings Indonesia Petroleum Association, 29th Annual Convention. pp, 1-12. IPA03-
G-085.

Anda mungkin juga menyukai