Anda di halaman 1dari 5

KOTAGEDE DI MATA KITA

PIE APIKE?
Sore waktu Indonesia bagian Yogyakarta, seorang tokoh kelahiran kotagede,
Musthofa W. Hasyim, melontarkan wacana tentang kecerdasan kultural. Pak Mus,
begitu kami memanggil sastrawan ini, tidak bermaksud menggunakan istilah itu
untuk hal-hal akademis atau psikologis, tetapi untuk membaca kembali
persoalan sosial-budaya.
Peristiwa masa lampau tidak untuk diwariskan mentah-mentah. Warisan, apapun
itu bentuknya, bukan untuk dibangga-banggakan, tetapi untuk kita pelajari
dengan cerdas. Kita tentu tidak ingin menjadi ahli waris yang pekok sehingga
tidak mudah marah dan dikibuli. Yang kita perlukan sekarang adalah melek
literasi, menafsirkan dan mengolah-kembali warisan masa lampau dengan
cerdas kultural.
Ketika terjadi perselisihan kita oleh para pendahulu diajarkan untuk bertanya,
Opo apik nek ngono? Pun, kalaupun pendapat kita berbenturan dengan yang
lain, kita sekali lagi diajarkan untuk bertanya terlebih dahulu, Nah, iki pie
apike?
Para pendahulu jelasnya menginginkan generasi penerusnya hidup dalam
keselarasan, hidup saling berdampingan, dan tidak bertentangan dengan prinsip
kemanusiaan kita. Mereka tidak ingin watak beringas, kedangkalan berpikir dan
mengutamakan kekerasan menguasai watak generasi ahli warisnya.
Diakui atau tidak, sebenarnya, mereka telah mendidikan kita agar cerdas
membaca. Persoalan muncul kemudian ketika penguasa memonopoli sumbersumber bacaan, mata air pengetahuan. Referensi sejarah yang ditulis setelah
Perang Jawa (Perang Diponegoro) jelas menunjukkan hal itu. Hari ini kita disuguhi
oleh warisan-warisan produk kolonial yang justru menjauhkan kita dari para
pendahulu, mengasingkan diri kita sendiri.
Aryo Penangsang tidak mati dibunuh. Ia diasingkan ke Prabu Mulih, Palembang.
Keturunan dan silsilahnya sampai hari ini masih ada. Mangir keturunan
Wanabaya itu tidak mati oleh intrik Ki Juru Mertani atau di tangan Panembahan
Senopati, tapi ulah para pendengki dengan membenturkannya pada batu gilang
ketika berwudhu. Hari ini, kata Pak Mus, yang kita perlukan adalah kecerdasan
membaca-kembali agar kita tidak mudah salah memahami bahwa antara budaya
dan agama bertentangan.
Apa kita pernah membaca bagaimana mantra diganti dengan doa atau sesajen
diganti dengan sedekah? Apa artinya konsep tata kota lama, keberadaan
keraton, masjid, alun-alun, pasar, dan sebagainya; maksud rumah-rumah Jawa
yang menghadap ke selatan? Kita, masyarakat kotagede, termasuk beruntung
sebab memiliki warisan. Setidaknya, itu semua dapat menjadi bekal agar kita
mengenal para pendahulu, bekal agar kita dapat mengenal apa dan siapa diri
kita.

Munculnya konflik atau krisis sosial di antaranya adalah akibat kita tidak cerdas
membaca, membaca apapun, termasuk membaca persoalan dan warisan yang
kita miliki. Nah, saiki pie apike?
Masyarakat Pasar
Menurut literatur Kotagede dipadati pedagang dan pengrajin pada masa Perang
Diponegoro (1825-1830) karena oleh Belanda ditetapkan sebagai kawasan aman.
Hal ini untuk mencegah meluasnya peperangan dengan Keraton Kasunanan
Surakarta. Memasuki abad ke-20 sampai dengan masa revolusi kotagede sudah
menjadi pusat perdagangan emas, perak, tembaga, kain katuk, dan batik
terbesar di Jawa.
Barangkali terlalu jauh jika kita membaca masa lampau. Satu persoalan yang
tengah kita hadapi adalah perluasan dominasi industri-pasar. Sampai-sampai apa
yang kita sebut warisan tadi sangat mungkin untuk dipasarkan. Warisan rumah
yang berisi ingatan kultural dan nilai-nilai keutamaan untuk generasi berikutnya,
bisa saja tidak dijaga atau dijual.
Di Kotagede dulu pernah ada perpustakaan yang kini menjadi toko sepatu. Ironis.
Rumah dan perpustakaan barangkali hanya tempat, yang terdiri dari tanah, batu,
kayu, ataupun buku. Tetapi, apakah pernah kita benar-benar mengerti mengapa
mereka, para pendahulu kita itu, mewariskan itu kepada kita? Untuk apa, untuk
siapa?
Ah, barangkali pertanyaan pie atau opo apike? yang dulu pernah diajarkan, kita
ganti dengan pertanyaan yang kekinian: opo untunge? Apa untungnya punya
warisan yang tidak bernilai bagi kita?

Susunan kota itu mencerminkan aslinya pada abad ke 16. Tetapi sekarang ini pusat
geografis kota itu bukan di tempat di mana keraton dulu terletak, tetapi pasar.
Penilaian Dr. Mitsuo Nakamura tersebut dituangkan dalam disertasinya di Universitas
Cornell, Amerika Serikat tahun 1976 dengan judul The Crescent Arises Over the Bayan
Tree: A Study of the Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town. Pendapat ini
sangat menarik, karena kota yang memiliki susunan asli dengan usia lebih dari empat abad

Tembok megah dibuat dari bata putih dan bata merah. Menurut buku kecil Riwayat Pasareyan
Mataram jilid III yang bisa diminta di Kompleks Makam, batu bata berukuran 17 x 40 cm itu
penyusunannya tempo dulu tidak menggunakan semen atau kapur tapi direkatkan dengan nira
hasil sadapan pohon kelapa.

Tembok benteng istana atau Cempuri Balu Warti tidak berbentuk segi empat sebagaimana
lazimnya, tapi seperti Semar (tokoh pewayangan yang berpantat besar) tidur membujur ke
utara, dengan bagian pantatnya di sudut tenggara. Bagian benteng yang disebut Bokong
Semar (pantat semar) itu masih lumayan baik. Sudut barat daya berbentuk dua kaki Semar
yang menyatu, sudut barat laut seperti tangan kanan, sudut timur laut tangan kiri. Sementara
itu kepala Semar berada di utara, sedangkan mulut Semar menjadi pintu gerbang.
Yang lebih istimewa, di balik relung-relung tadi acapkali kita menjumpai rumah-rumah adat
Jawa dengan pendopo joglo dari abad 17-19.
Masa perang Diponegoro di Yogyakarta tahun 1825-1830, Belanda mencegah memperluas
peperangan dengan Keraton Kasunanan Surakarta dengan menetapkan Kotagede sebagai
daerah aman. Ini mendorong sejumlah besar pengrajin dan pedagang, juga sebagian pengikut
Pangeran Diponegoro, pindah dari Yogya ke Kotagede.

Periode awal 1900-an sampai menjelang revolusi kemerdekaan, Kotagede telah menjadi
pusat industri dan perdagangan kain katun, batik, perak, emas dan intan yang terbesar di
Hindia Belanda (Indonesia di masa penjajahan). Dalam periode ini ada sekelompok
masyarakat yang hidup secara eksklusif dan memiliki semangat kewirausahaan tinggi, yang
disebut sebagai orang-orang Kalang, memperoleh keuntungan besar dari moneterisasi
ekonomi pedesaan dan peningkatan transportasi. Mereka membangun puluhan rumah mewah
bergaya Eropa serta hidup mewah secara mencolok sehingga menimbulkan kecemburuan
sosial.

Pasca kemerdekaan, banyak usaha-usaha lama yang terputus karena anak-anak muda masuk
ke perguruan tinggi, kemudian mencari pekerjaan sebagai dosen atau pegawai negeri.
Menurut pengamatan M. Natsier, pada dasawarsa 1980-an ketika lapangan pekerjaan mulai
susah, banyak diantara anak-anak muda Kotagede yang kembali terjun ke bisnis. Inilah
generasi pengusaha baru yang kini kembali mengangkat pamor Kotagede, khususnya sebagai

pusat kerajinan perak. Namun demikian, industri batik dan kerajinan penyu serta tembaga
terlanjur hilang, sedangkan kerajinan tanduk tinggal dua pengrajin.

Anda mungkin juga menyukai