Anda di halaman 1dari 8

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

Sekolah : SMA Negeri 1 Pollung


Mata Pelajaran : Sejarah
Kelas/Semester :X/2
Materi Pokok : Islam dan Proses Integrasi
Pertemuan ke : 32
Alokasi Waktu : 2 x 45 menit

A. Kompetensi Inti
3. Memahami dan menerapkan pengetahuan faktual, konseptual, prosedural dalam ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan
peradabanterkait fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian
yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah
4. Mencoba, mengolah, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan
dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah
keilmuan

B. Kompetensi Dasar
3.8 Menganalisis karakteristik kehidupan masyarakat, pemerintahan dan kebudayaan pada masa kerajaan
kerajaan Islam di Indonesia dan menunjukkan contoh bukti bukti yang masih berlaku pada kehidupan
masyarakat Indonesia masa kini
4.8 Menyajikan hasil penalaran dalam bentuk tulisan tentang nilai-nilai dan unsur budaya yang
berkembang pada masa kerajaan Islam dan masih berkelanjutan dalam kehidupan bangsa Indonesia
pada masa kini

C. Indikator
1. peran perkembangan ulama dan kerajaan-kerajaan Islam dalam proses integrasi
2. peran perdagangan dalam proses integrasi pada masa Islam
3. peran bahasa dalam proses integrasi pada Islam
4. dampak migrasi penduduk terhadap proses integrasi Nusantara

D. Tujuan Pembelajaran
Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta didik diharapkan mampu :
a. menganalisis peran perkembangan kerajaan-kerajaan Islam dalam proses integrasi
b. menganalisis peran perkembangan perdagangan antarpulau dalam proses integrasi, menganalisis peran
bahasa dalam proses integrasi dan menyajikan dalam bentuk tulisan atau gambar tentang proses integrasi
di Nusantara

E. Materi Pembelajaran
1. peran perkembangan ulama dan kerajaan-kerajaan Islam dalam proses integrasi
2. peran perdagangan dalam proses integrasi pada masa Islam
3. peran bahasa dalam proses integrasi pada Islam
4. dampak migrasi penduduk terhadap proses integrasi Nusantara

Ringkasan materi

Peran Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Zaman Islam Dalam Proses Integrasi Nusantara

Baru pada zaman Islam, seseorang dari suatu daerah tertentu dapat menjadi tokoh penting di daerah yang lain,
dengan tidak memandang dari suku apa dia berasal, karena telah diperekatkan oleh ajaran suci Al-Qur’an
bahwa “sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara”.

Kerajaan Islam yang pertama di Jawa adalah Kesultanan Demak. Di zaman Sultan Trenggono, datanglah seorang
ulama dan ahli perang dari Aceh. Itulah Fatahillah, yang diangkat menjadi panglima perang Demak,
menggempur armada Portugis di Sunda Kalapa, lalu mendirikan kota Jakarta. Ini baru satu contoh bahwa
benih-benih persatuan bangsa telah ditanamkan Islam sejak abad ke-16! Tidak usah heran jika Ki Geding Suro,
bangsawan Demak yang pergi ke Palembang, diterima dan diangkat menjadi raja pertama dari Kesultanan
Palembang.

Pati Unus (sebutan Portugis untuk Adipati Yunus) dari Demak mengirimkan angkatan lautnya untuk mengusir
Portugis yang telah menaklukkan Malaka. Sayang sekali balabantuan itu gagal karena kedudukan Portugis
sudah terlalu kuat. Sekalipun demikian, pengharapan akan bantuan dari saudara-saudaranya di Jawa tetaplah
tinggal dalam jiwa anak Melayu, sehingga timbul dari bibir mereka sebuah pantun: Jika jatuh kota Melaka, mari
di Jawa kita dirikan, jika sungguh bagai dikata, badan dan nyawa saya serahkan. Pantun ini telah beratus tahun
menjadi dendang anak Melayu sampai sekarang.

Ketika pengaruh Belanda masuk di Kerajaan Mataram, memberontaklah Trunojoyo, pahlawan dari Madura,
terhadap Sunan Amangkurat I. Datang Karaeng Galesong dari Makassar menggabungkan diri dengan Trunojoyo
untuk melawan Belanda. Tidak dikaji lagi apakah dia orang Madura atau Makassar, karena mereka telah diikat
oleh akidah yang sama. Meskipun bahasa Madura lain dengan bahasa Makassar, mereka bertemu dalam bahasa
Melayu yang telah berkembang pada saat itu sebagai bahasa persatuan di Nusantara.

Syekh Yusuf Tajul-Khalwati ulama Makassar mengembara ke Banten, diangkat oleh Sultan Ageng Tirtayasa
menjadi mufti kesultanan, dan bersama-sama berjuang melawan Belanda. Si Untung diberi gelar Surapati oleh
Sultan Cirebon dan diberi gelar Wironegoro oleh Sultan Mataram, padahal dia asalnya budak dari Bali, tetapi
karena dia telah Islam dan berjuang melawan Belanda, dia diterima menjadi bangsawan Jawa.

Tatkala usai Perang Diponegoro di Jawa, Belanda mengirim Sentot Ali Basyah ke Minangkabau untuk
memerangi kaum Paderi yang dipimpin Tuanku Imam Bonjol. Sesampainya di Minangkabau Sentot segera
berbalik arah dan bersekutu dengan kaum Paderi, demi dilihatnya yang dihadapinya adalah saudara-saudaranya
seagama.

Pada zaman sebelum Islam pembauran antar suku di Nusantara belum pernah terjadi, sebab belum ada rasa
persaudaraan antar suku. Itulah sebabnya mengapa di Bandung ada Jalan Diponegoro dan Jalan Sultan Agung,
tapi tidak kita jumpai Jalan Gajah Mada!

Berabad-abad sebelum lahir faham nasionalisme, jiwa dan rasa satu bangsa pertama kali ditanamkan oleh Islam!
Perhatikan saja nama ulama-ulama termasyhur kita zaman dahulu: Syaikh Abdurrauf al-Jawi al-Fansuri
(Pansur), Syaikh Abdussamad al-Jawi al-Falimbani (Palembang), Syaikh Nawawi al-Jawi al-Bantani (Banten),
Syaikh Arsyad al-Jawi al-Banjari (Banjar), Syaikh Syamsuddin al-Jawi as-Sumbawi (Sumbawa), Syaikh Yusuf al-
Jawi al-Maqashshari (Makassar), dan lain-lain. Semua mengaku Jawi (‘bangsa Jawa’), dari suku mana pun dia
berasal.

Berabad-abad sebelum istilah ‘Indonesia’ diciptakan oleh ahli geografi James Richardson Logan tahun 1850,
nenek moyang kita menamakan diri ‘bangsa Jawa’, sebab orang Arab sejak zaman purba menyebut kepulauan
kita Jaza’ir al-Jawa (Kepulauan Jawa). Sampai hari ini, jemaah haji kita masing sering dipanggil ‘Jawa’ oleh orang
Arab. “Samathrah, Sundah, Sholibis, kulluh Jawi!” demikian kata seorang pedagang di Pasar Seng, Makkah.
“Sumatera, Sunda, Sulawesi, semuanya Jawa!”

Sangat menarik apa yang pernah dikemukakan Prof.Dr. Hamka sebagai berikut: Sudah beratus-ratus tahun
lebih dahulu sebelum gerakan kebangsaan, orang Islam yang naik haji ke Mekkah, seketika ditanyai siapa nama
dan apa bangsa, mereka telah menjawab nama saya si Fulan dan saya bangsa Jawa! Terus datang pertanyaan lagi:
Jawa apa? Baru dijawab Jawa Padang, Jawa Sunda, Jawa Bugis, Jawa Banjar, dan suku Jawa sendiri disebut Jawa
Meriki. Padahal orang-orang berpendidikan Belanda, kalau datang ke Negeri Belanda, tidaklah dapat
memberikan jawaban setegas itu. Sampai Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, yang ada baru Jong Java, Jong
Sumatra, Jong Celebes, dan berbagai macam Jong. Marilah kita bersaksi kepada sejarah, mari kita buka kartu
sekarang: siapakah yang terlebih dahulu menyadari rasa kebangsaan, kalau bukan bangsa Indonesia yang
beragama Islam? (Rubrik “Dari Hati ke Hati”, majalah Pandji Masjarakat, No.4, 20 November 1966).
Sebelum Islam datang ke Indonesia, bahasa Melayu hanya dipakai di Sumatera dan Semenanjung Malaka.
Bahasa Melayu baru tersebar di Nusantara bersamaan dengan penyebaran Islam. Para ulama, di samping
memperkenalkan agama baru, juga memperkenalkan bahasa baru sebagai bahasa persatuan. Sebagai huruf
persatuan digunakan Huruf Arab-Melayu atau Huruf Jawi, yang dilengkapi tanda-tanda bunyi yang tidak ada
dalam huruf Arab aslinya. Huruf `ain diberi tiga titik menjadi nga; huruf nun diberi tiga titik menjadi nya;
huruf jim diberi tiga titik menjadi ca; dan huruf kaf diberi satu titik menjadi ga. Alhasil, masyarakat dari Aceh
sampai Ternate berkomunikasi dengan bahasa dan aksara yang sama.

Bahasa Melayu juga dipakai dalam berkomunikasi dengan bangsa asing. Surat Sultan Baabullah dari Ternate
kepada raja Portugal tahun 1570, surat Sultan Alauddin Riayat Syah dari Aceh kepada Ratu Elizabeth I di
Inggris tahun 1601, dan surat Pangeran Aria Ranamanggala dari Banten kepada Gubernur-Jenderal VOC Jan
Pieterszoon Coen tahun 1619, semuanya memakai bahasa Melayu. Itulah sebabnya Jan Huygen van Linschoten,
dalam bukunya Itinerario tahun 1595, wanti-wanti berpesan agar orang Eropa yang ingin datang ke Kepulauan
Hindia harus tahu bahasa Melayu, sebab di setiap pelabuhan bahasa itu yang dipakai. Kata van Linschoten,
seseorang yang tidak berbahasa Melayu tidak akan diterima oleh penduduk Hindia sebagai bagian dari
komunitas mereka.

Dari seluruh data dan fakta yang telah kita bahas, jelas sekali betapa besar peranan Islam dalam melahirkan dan
memupuk integrasi bangsa Indonesia. Ketika pada awal abad ke-20 muncul faham nasionalisme yang
berkulminasi pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, gagasan “satu nusa, satu bangsa, satu bahasa persatuan”
itu segera memperoleh respons positif dari masyarakat di seluruh Nusantara. Hal itu disebabkan kenyataan
bahwa benih-benih persatuan dan kesatuan nasional memang telah ditanam dan disemaikan oleh ajaran Islam
berabad-abad sebelumnya di seantero penjuru kepulauan tanah air kita .

Peran Perkembangan Perdagangan Dalam Proses Integrasi Pada Masa Islam

Sudah sejak Zaman dahulu kala, Bangsa Indonesia sudah emmiliki kemampuan berlayar dengan pengetahuan
navigasi yang tinggi. Bahkan, semenjak kedatangan nenek moyang bangsa Indonesia yang Pertama dari daerah
Yunan (Perbatasan Vietnam dengan China), mereka sudah pandai berlayar dengan perahu bercadik sebagai
ciri khasnya, berlayar sampai ke Afrika Timur dan Madagaskar.

Pengetahuan pelayaran dan perkapalan (pembuatan kapal) diteruskan secara turun-temurun dari masa ke
masa atau dari abad ke abad berikutnya sehingga bangsa Indonesia disebut sebagai Bangsa Bahari.

Tradisi Bahari yang sudah berabad-abad memberi kemampuan menggunakan angin muson. Sebagai akibatnya,
para pelaut Nusantara mengetahui betul bahwa pada setiap bulan Maret sudah dapat berangkat berlayar dari
Malaka, Aceh, Palembang, atau dari tempat lain di bagian barat Indonesia, ke arah timur, yaitu ke Jawa
(Banten, Jayakarta, Cirebon, Demak, Tuban, Gresik dsb) atau ke Banjar, Gowa, Nusa Tenggara, sampai dengan
Maluku. Sebaliknya mulai bulan Oktober sudah dapat berlayar dari arah timur Indonesia ke arah barat.
Demikian juga, apabila akan berdagang ke arah Negeri China, mereka mengetahui betul bahwa sejak bulan
Juni sudah dapat berlayar ke arah utara dan pada setiap bulan September sudah dapat berlayar kembali ke
Nusantara.

Kemampuan perlayaran juga didukung kemampuan membuat Kapal. Misalnya di Bugis dan Makassar terkenal
dengan kapal Pinisinya, di Jawa yang Paling terkenal adalah kapal Buatan Lasem (timur Semarang), dan di
Maluku yang terkenal kapal buatan pulau Kei. Tentu saja daerah lain banyak pula yang mampu membuat
kapal bagus dan memenuhi syarat pelayaran Samudera.
Wilayah Nusantara yang sangat luas memiliki hasil yang beraneka ragam, daerah yang satu dengan yang
lainnya saling membutuhkan sehingga mendorong timbulnya tukar-menukar barang antar daerah dan
memungkinkan berkembangnya perdagangan antar pulau dan antar daerah di Nusantara. Misalnya, Jawa
dengan hasil beras, Maluku dengan hasil rempah-rempah, sumatera dengan hasil emas dan hasil hutan, Nusa
Tenggara dengan hasil kayu cendana, kalimantan dengan hasil kayu besi (belian), serta Sulawesi dengan hasil
kayu hitam.

Pelayaran dan perdagangan antar pulau dan antar daerah menyebabkan adanya saling mengenal suku-suku
bangsa Indonesia, kemudian berkembang menjadi persaudaraan antar pulau dan antar daerah. Hubungan
perdagangan tersebut juga berkembang dalam hubungan yang lain, misalnya penyebaran agama Islam dan
hubungan perkawinan. Pada zaman penjajahan Belanda, para pedagang Nusantara merasa satu saudara dan
mempunyai rasa senasib sepenanggungan akibat monopoli perdagangan Belanda. Rasa persaudaraan dan rasa
senasib mendorong proses Integrasi Bangsa Indonesia.

Peran Bahasa Dalam Proses Integrasi Pada masa Islam

Suatu kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri bagi bangsa Indonesia meskipun terdiri atas ratusan suku dan
bahasa, tetapi mampu memilki bahasa persatuan dan bahasa resmi, Yaitu Bahasa Indonesia, yang semula berasal
dari bahasa Melayu. Bahkan jauh sebelum merdeka bangsa Indonesia telah memiliki kebulatan tekad untuk
bahasa persatuan yaitu dalam peristiwa Sumpah Pemuda (1928).

Sebenarnya pendukung bahasa Jawa lebih banyak dibandingkan pendukung bahasa melayu yang berfungsi
sebagai Lingua Franca (bahasa Pergaulan). Akan tetapi, daerah persebarannya lebih luas dan kesadaran lebih
mengutamakan terciptanya persatuan bangsa maka bahasa Jawa tidak dijadikan sebagai bahasa persatuan.

Bahasa melayu semula dipakai masyarakat sekitar selat Malaka dan sudah tergolong bahasa yang tua. Sejak
nenek moyang bangsa Indonesia datang ke nusantara, mereka sudah menggunakannya meskipun tentu saja
bukan seperti sekarang. Pada zaman Sriwijaya (abad ke-7 M), prasasti menggunakan bahasa melayu kuno,
misalnya prasati kedukan bukit, Talang Tuo, dan Kota Kapur. Di Jawa Tengah ada prasasti yang menggunakan
bahasa Melayu Kuno, yaitu prasasti Sojomerto (abad ke-7 M). Hal tersebut memberi petunjuk bahwa bahasa
Melayu zaman dahulu juga pernah menjadi bahasa rrsmi dan sudah dikenal luas.

Sejalan dengan perkembangan perdagangan dan pelayaran Nusantara, selat Malaka, yang menjadi tempat
perdagangan di Nusantara sejak abad ke-15, menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa komunikasi. Karena
dalam komunikasi perdagangan mereka memerlukan bahasa pengantar, bahasa Melayu menjadi pilihannya.
Demikian juga apabila para pedagang dari Sumatera pergi ke bagian timur Nusantara, bahasa pengantar yang
mereka pilih ialah bahasa Melayu. Dengan demikian, pemakaian bahasa Melayu semakin luas.

Pertumbuhan bahasa Melayu sebagai Lingua Franca di Nusantara di samping didukung para pedagang
Nusantara juga di dukung para penyebar agama Islam. Pada abad ke-19 Belanda sudah mulai mendirikan
sekolah untuk kaum pribumi yang menggunakan bahasa Melayu sehingga makin memperluas penggunaan
bahasa Melayu.

Dengan penggunaan bahasa Melayu yang semakin meluas ke seluruh Nusantara, berati bahasa Melayu mampu
menjadi sarana timbulnya rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Bahasa Melayu mampu menjadi faktor
pendukung proses Integrasi Bangsa Indonesia dan menjadi modal utama integrasi bangsa Indonesia pada masa
pergerakan kemerdekaan Indonesia pada abad ke-20.

Dampak migrasi penduduk terhadap proses integrasi nusantara


a. Sudah sejak zaman dahulu di Nusantara terjadi Migrasi penduduk yang biasanya dilaksanakan dengan
kemauan sendiri dan biaya sendiri (Swakarsa dan Swadana). Penyebabnya antara lain, karena adanya
bencana alam, masalah ekonomi, politik, dan sebagainya:
1. Bencana alam, misalnya karena bencana gunung berapi meletus, kerajaan Mataram pindah ke Jawa Timur
(Zaman Mpu Sendok pada abad ke-10).

2. Masalah ekonomi, misalnya kebiasaan orang Minangkabau atau orang Batak merantau untuk memperoleh
perbaikan ekonominya (orang Minang menyebutnya Harajoan). Pada zaman pelaksanaan tanam paksa
(cultuur stelsel) banyak orang pindah dari daerahnya karena kesulitan ekonomi.

3. Masalah politik, misalnya pada zaman Majapahit terjadi migrasi ke Malaka yang dipimpin Paramisora
karena adanya perang saudara di Majapahit;

Para pelaut Makassar-Bugis dipimpin Karaeng-Galesung, Karaeng Bontomaranu, dan Syekh Yusuf migrasi ke
Banten, Jawa Timur serta ke perairan Riau karena tekanan militer Belanda;

Zaman Sultan Agung terjadi migrasi karena kegagalan serangan ke Batavia dan memindahkan penduduk ke
Jawa barat untuk persiapan perang melawan Belanda.

4. Kuli kontrak, misalnya pada akhir abad ke-19 Belanda menerapkan politik ekonomi liberal sehingga
banyak berdiri perkebunan swasta di Jawa dan Luar Jawa (terutama di Sumatera). Untuk keperluan
mencukupi buruh (kuli), diadakan pemindahan penduduk dari Jawa ke Sumatera dengan dalih kuli kontrak
(sebenarnya pemindahan paksa) terutama di daerah Deli, Lampung dan Kalimantan. Disamping ke daerah
perkebunan, juga pemindahan penduduk ke daerah industri, misalnya ke daerah industri gula, teh, kopi dan
tembakau yang biasanya hanya antar daerah di Jawa.

Migrasi juga terjadi pada kota-kota besar karena faktor pendidikan. Hal itu dimulai sejak diberlakukannya
politik Etis pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Belanda membuka sekolah baik untuk bangsanya
sendiri maupun untuk kaum pribumi secara terbatas, misalnya:
1. Tahun 1892 dibuka sekolah Angka Loro.
2. Tahun 1907 dibuka sekolah Desa (Volkschool), kemudian dibuka sekolah Angka Siji.
3. Vervolkschool (lanjutan sekolah dasar).
4. Hollandsch Inlandsch School (HIS) untuk kalangan atas.
5. Mulo (Meen Uit Gebreid Lager Onderwijs) setingkat SMP.
6. AMS (Alegemeene Meiddle School) setingkat SMA.
7. STOVIA (School Teer Opleiding Van Inlander / Arsten).
8. Normal School (Sekolah Guru).

Sekolah tersebut hanya terdapat di kota besar sehingga terjadilah migrasi penduduk dari desa ke kota atau
dari luar jawa ke jawa. Jumlahnya tidak seberapa, tetapi potensial sebagai ajang pertemuan. Dengan
bertemunya kaum terpelajar dari berbagai daerah, berbagai pulau, dan berbagai suku, sangat mendorong
terjadinya kesadaran bahwa mereka sebangsa dan setanah air. Dengan kata lain, migrasi karena faktor
pendidikan mendorong proses integrasi bangsa Indonesia. Mereka itulah yang nanti menjadi motor gerakan
kebangsaan menuju terwujudnya integrasi bangsa.

F. Metode Pembelajaran
Pendekatan : Scientifik dengan langkah-langkah: mengamati, menanya, mengeksplorasi, mengasosiasikan, dan
mengomunikasikan

Strategi : Learning community dengan discovery dan project

Metode : Ceramah, Diskusi, Tugas dan tanya Jawab


G. Media, Alat, dan Sumber Pembelajaran
Media :

1. Peta jalur perdagangan regional masa Islam


2. LCD/Infokus

Alat/Bahan Sumber Belajar


1.Buku siswa belajar siswa sejarah SMA Kelas X, Puskurbul

2.Buku Sejarah Erlangga Kelas X

3. Buku siswa, buku guru, buku referensi, internet

H. Kegiatan Pembelajaran
Alokasi
Kegiatan Deskripsi
waktu
Pendahuluan  Kelas dipersiapkan agar lebih kondusif untuk proses belajar mengajar 10 menit
mengajar (kerapian dan kebersihan ruang kelas, presensi,
menyiapkan media dan alat serta buku yang diperlukan).
 Guru menegaskan topik pelajaran minggu ke-32 ini, Peran ulama,
peran perdagangan, dan peran bahasa dalam proses integrasi pada
masa Islam
 Peserta didik diberikan motivasi tentang pentingnya kegiatan
lapangan dan kemudian mempresentasikan di depan kelas.
 Guru menyampaikan tujuan dan kompetensi yang harus dikuasai
para peserta didik. Guru harus juga mengingatkan kepada peserta
didik bahwa di dalam pembelajaran ini menekankan kebermaknaan
pencapaian tujuan dan kompetensi, bukan hafalan.
 Peserta didik dibagi menjadi beberapa kelompok kecil, masing-
masing kelompok beranggotakan empat anak (anggota I, II, III dan
IV).
Inti 1) Mengamati 60 menit
Siswa yang sudah tergabung dalam kelompok mengamati gambar yang
ditayangkan guru dalam Powerpoint tentang Peran ulama, peran
perdagangan, dan peran bahasa dalam proses integrasi pada masa Islam
2) Menanya
Melalui pengamatan gambar siswa bertanya tentang gambar yang
ditayangkan
3) Menalar
Siswa dalam kelompok menghubungkan antara gambar yang
ditayangkan dengan materi yang menjadi tanggung jawabnya

4) Mencoba
 Anggota I untuk masing-masing kelompok bertanggung
jawab untuk mengaji dan merumuskan tentang peran ulama
dalam proses integrasi.
 Anggota II bertanggung jawab untuk mengaji dan
merumuskan tentang peran dan perkembangan perdagangan
antarpulau dalam proses integrasi.
 Anggota III bertanggung jawab untuk mengaji dan
merumuskan tentang peran bahasa dalam proses integrasi.
 Anggota IV bertanggung jawab untuk mengaji dan
merumuskan tentang dampak migrasi penduduk terhadap
proses integrasi Nusantara.

5) Membuat Jejaring
 Tiap-tiap peserta didik yang mendapat tugas yang sama
kemudian berkumpul untuk saling membantu mengaji dan
merumuskan materi yang menjadi tanggung jawabnya.
Anggota I berkumpul dengan anggota I, anggota II
berkumpul dengan anggota II, dan begitu seterusnya.
Kumpulan peserta didik yang mendapat tugas yang sama ini
kemudian dikenal dengan sebutan kelompok pakar (expert
group). Sedang kelompok asli yang beranggotakan empat
anak tadi dinamakan home teams. Dengan demikian ada
kelompok pakar yang membahas perkembangan
kerajaankerajaan Islam dan perannya dalam proses integrasi,
ada kelompok pakar yang mengaji peran perdagangan
antarpulau dalam proses integrasi, ada kelompok pakar yang
mendiskusikan peran bahasa dalam proses integrasi, ada
kelompok pakar yang membahas tentang dampak migrasi
penduduk terhadap proses integrasi Nusantara.
 Setelah kelompok pakar selesai mendiskusikan dan
merumuskan materi yang jadi tugasnya kemudian kembali
ke home teams masing-masing.
 Kelompok home teams kemudian mendiskusikan hasil
kajian yang diperoleh dari kelompok pakar. Dengan
demikian di kelompok home teams itu dapat memahami
topik pelajaran “Perkembangan Islam dan Proses Integrasi
Nusantara”. Bila waktu masih cukup beberapa kelompok
home teams dapat ditampilkan untuk presentasi agar
memperkaya materi pelajaran yang sedang dikaji.

Penutup 1) Peserta didik diberikan ulasan singkat tentang materi yang baru 20 menit
saja didiskusikan.
2) Peserta didik dapat ditanya apakah sudah memahami materi
tersebut.
3) Peserta didik diberikan pertanyaan lisan secara acak untuk
mendapatkan umpan balik atas pembelajaran yang baru saja
berlangsung, misalnya: benarkan migrasi penduduk bias
membantu proses integrasi nasional?
4) Sebagai refleksi, guru memberikan kesimpulan tentang pelajaran
yang baru saja berlangsung serta menanyakan kepada peserta
didik apa manfaat yang dapat diperoleh setelah belajar topik ini.
Guru juga menekankan kepada para peserta didik untuk tetap
menjalin kerja sama karena merupakan bagian penting dari
kokohnya Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai wujud
dari integrasi Nusantara.

Tugas rumah. Membuat karangan singkat (2-3 halaman) dengan


judul : “Peran Pelajaran Sejarah Indonesia dalam Proses Integrasi
Nusantara”

I. Penilaian
a.Tes uraian

1. Peserta didik diajukan beberapa pertanyaan untuk dijawab


a. Bagaimana peran ulama dalam proses integrasi Nusantara!
b. Benarkah perdagangan antarpulau membantu proses integrasi Nusantara?
c. Jelaskan peran bahasa Melayu dalam proses integrasi Nusantara, coba bandingkan peran
Bahasa Indonesia dalam proses integrasi Nusantara!
d. Bagaimana dampak migrasi terhadap proses integrasi bangsa ?

∑ Skor Perolehan

Nilai= --------------------------- x 100

Skor Maksimal

Kriteria Nilai :
A = 80 – 100 : Baik Sekali
B = 70 – 79 : Baik
C = 60 – 69 : Cukup
D = 60 ke bawah : Kurang

Mengetahui, Hutapaung, Januari 2018


Kepala Sekolah SMA N 1 Pollung Guru Mata Pelajaran

ALBERT BANJARNAHOR, S.Pd ERMANTO MARPAUNG, S.Pd


NIP. 19640710 199003 1 005 NIP. 19880919 201503 1 003

Anda mungkin juga menyukai