Anda di halaman 1dari 11

PERENCANAAN DAN EVALUASI PROMOSI KESEHATAN MASYARAKAT

CAKUPAN PELAYANAN KESEHATAN JIWA DI PUSKESMAS MASIH SANGAT


RENDAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah RENVAL PKM

Disusun oleh :
DIANTI EKA SAPUTRI
NIM. 4001130026

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
DHARMA HUSADA BANDUNG

2016

CAKUPAN PELAYANAN KESEHATAN JIWA DI PUSKESMAS MASIH


SANGAT RENDAH
PERENCANAAN MODEL PRECEDE-PROCEED

Penilaian kebutuhan kesehatan dapat memfasilitasi partisipasi masyarakat


dalam program kesehatan, menghindari pemborosan sumber daya yang terbatas dan
memberikan dasar untuk analisis program. Mengingat adanya keterbatasan sumber
daya yang tersedia untuk program kesehatan, penilaian kebutuhan kesehatan
merupakan

salah

satu

pertimbangan

penting

dalam

perencanaan

program

pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan pertanyaan perencanaan adalah untuk


memahami apa yang diinginkan masyarakat dan apa yang benar-benar diperlukan (Li
et al. 2009). Mengaplikasikan model PRECEDE-PROCEED pada perencanaan
cakupan akses pelayanan kesahatan jiwa di puskesmas.

A. Fase 1 : sosial assessment, participatory planning, and solution analysis


Renstra Kemenkes 2010-2014 menjelaskan bahwa visi pembangunan
kesehatan

Indonesia

antara

lain

menggerakan

dan

memberdayakan

masyarakat untuk hidup sehat, meningkatkan akses masyarakat terhadap


pelayanan yang berkualitas, meningkatkan surveyor, monitoring dan

informasi

kesehatan

serta

meningkatkan

pemberdayaan

masyarakat.

Kesehatan jiwa merupaan salah satu arah dari visi kesehatan tersebut.
Masalah kesehatan jiwa terutama gangguan jiwa secara tidak langsung
dapat menurunkan produktifitas, apalagi jika gangguan jiwa dimuai pada usia
produktif. Selama ini maslah kesehatan hanya terfokus pada kesehatan fisik,
sementara kesehatan jiwa tampaknya masih terabaikan. Salah satu sisi
masyarakat masih punya stigma negative terhadap kesehatan jiwa dan di
pihak

lain

pemerintah

dalam

program

kesehatan

jiwa

masih

menganaktikirannya. Jika masalah kesehatan jiwa tidak ditangani secara


serius tentu akan berpengaruh kepada Indeks Pembanguna Manusia. Posisi
kesehatan mempunyai kolerasi terhadap tingkat produktivitas masyarakat.
Kesehatan fisik tanpa kesehatan jiwa dan lingkungan yang mendukung, tidak
akan dapat mengasilkan manusia yang mumpuni dan berkualitas.
Perubahan pesat dari masyarakat agraris ke industri beserta
dampaknya, keadaan ini sangat rawan terjadinya masalah terjadinya masalah
kesehatan jiwa. Gangguan kesehatan jiwa menimbulkan penderitaan yang
mendalam bagi individu dan kelurganya, baik mental maupun materi.
Pengertian, pengetahuan dan stigma masyarakat terhadap penderita jiwa
dianggap hina dan memelukan, pemahaman yang masih kurang tentang
kesehatan jiwa di berbagai kalangan, di dukung mayoritas oleh factor
kemiskinan keluarga.
Di daerah pedesaan, proporsi rumah tangga dengan minimal salah satu
anggota rumah tangga mengalami gangguan jiwa berat dan pernah dipasung

mencapai 18,2 persen. Sementara di daerah perkotaan, proporsinya hanya


mencapai 10,7 persen. Nampaknya, hal ini memberikan konfirmasi bahwa
tekanan hidup yang dialami penduduk pedesaan lebih berat dibanding
penduduk perkotaan. Dan mudah diduga, salah satu bentuk tekanan hidup itu
meski tidak selaluadalah kesulitan ekonomi.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka perlu pelayanan kesehatan
jiwa yang komprehensif, holistic, dan paripurna. Kegiatan dapat dilakukan
dengan mengerakan dan memberdayakan seluruh potensi yang ada di
masyarakat, baik warga masyarakat sendiri, tokoh masyarakat, dan profesi
kesehatan. Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan kepada
masyarakat harus memiliki tenanga yang handal agar promosi, prevalensi,
kurasi, dan rehabilitasi terhadap masyarakat yang menderita sakit, beresiko
sakit, maupun masyarakat yang sehat dapat dilakukan secara menyeluruh,
termasuk didalamnya adalah pelanyanan kesehatan jiwa.
Perawat sebagai salah satu tenanga kesehatan yang ada di puskesmas
diharapkan

mampu

memberikan

pelayanan

keperawatan

secara

komperehensif, holistic, kontinyu, dan paripurna kepada masyarakat yang


mengalami maslah psikosisosial dan gangguan jiwa diwilayah kerja. Masalah
kesehatan jiwa mempunyai lingkup yang sangat luas dan kompleks serta tidak
terpisahkan (integral) dari kesehatan terutama dalam menunjang terwujudnya
kualitas hidup manusia yang utuh. Gangguan jiwa merupakan salah satu
masalah kesehatan dan masih banyak ditemukan di masyrakat.
B. Fase 2 : epidemiological, behavioral, and environmental assessment

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas Tahun 2013)


Prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia 1,7 per mil.
Gangguan jiwa berat terbanyak di DI Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan,
Bali, dan Jawa Tengah. Proporsi RT yang pernah memasung ART gangguan
jiwa berat 14,3 persen dan terbanyak pada penduduk yang tinggal di
perdesaan (18,2%), serta pada kelompok penduduk dengan kuintil indeks
kepemilikan terbawah (19,5%). Prevalensi gangguan mental emosional pada
penduduk Indonesia 6,0 persen. Provinsi dengan prevalensi ganguan mental
emosional tertinggi adalah Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, DI
Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur.
Disamping gangguan jiwa berat, Riskesdas 2013 juga melakukan
penilaian gangguan mental emosional pada penduduk Indonesia seperti pada
Riskesdas 2007. Gangguan mental emosional adalah istilah yang sama dengan
distres psikologik. Kondisi ini adalah keadaan yang mengindikasikan
seseorang sedang mengalami perubahan psikologis. Berbeda dengan
gangguan jiwa berat psikosis dan skizofrenia, gangguan mental emosional
adalah gangguan yang dapat dialami semua orang pada keadaan tertentu,
tetapi dapat pulih seperti semula. Gangguan ini dapat berlanjut menjadi
gangguan yang lebih serius apabila tidak berhasil ditanggulangi.
Prevalensi gangguan mental emosional penduduk

Indonesia

berdasarkan Riskesdas 2007 adalah 11,6 persen dan bervariasi di antara


provinsi dan kabupaten/kota. Pada Riskesdas tahun 2013, prevalensi
gangguan mental emosional dinilai kembali dengan menggunakan alat ukur

serta metode yang sama. Adapun hasil Riskesdas 2013 di provinsi se


Indonesia seperti terlihat pada grafik berikut.

Gangguan mental emosional diharapkan tidak berkembang menjadi lebih


serius apabila orang yang mengalaminya dapat mengatasi atau melakukan
pengobatan sedini mungkin ke pusat pelayanan kesehatan atau berobat ke
tenaga kesehatan yang kompeten.(Sumber Hasil Riskesdas 2013).
Data BPS juga menunjukkan, meski biaya hidup di daerah pedesaan
lebih rendah bila dibandingkan dengan daerah perkotaan, intensitas atau
kejadian kemiskinan (incidence of poverty) di daerah pedesaan juga lebih
tinggi. Pada bulan September 2013, misalnya, 14,42 persen penduduk di
daerah pedesaan tergolong miskin dengan pengeluaran per kapita per bulan
lebih kecil dari Rp275.229,-. Selain itu, kondisi serba kekurangan yang
dialami penduduk miskin pedesaan kenyataannya lebih buruk dari penduduk
perkotaan. Hal ini tercermin dari indeks kedalaman kemiskinan (poverty gap

index) dan indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index) di daerah


pedesaan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan daerah perkotaan.
Menariknya, bila dilihat menurut provinsi, prevalensi gangguan jiwa berat
paling tinggi ternyata terjadi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan, sekitar 3 dari setiap 1.000 orang
penduduk DIY mengalami gangguan jiwa berat.
C. Fase 3 : educational and ecological assessment
Terkait dengan itu, pemerintah khususnya Kementerian Kesehatan telah
mencanangkan program Indonesia bebas pasung dengan berusaha menemukan
pasien pasung di masyarakat. Namun, penemuan pasien pasung hanya focus
pada pelayanan kuratif dan rehabilitative, belum menyelesaikan masalah
kesehatan jiwa. Pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia masih menyelesaikan
masalah di hilir dan bersifat pasif.
Focus pelayanna pun masih di institusi atau rumah sakit jiwa. Kehadiran
rumah sakit jiwa di Indonesia telah ada sejak 1882, dan saat ini hampir semua
provinsi mempunyai satu atau lebih rumah sakit jiwa. Namun, pelayanan
masih terkesan pasif. Artinya menunggu masyarakat membawa orang dengan
masalah kejiwaan ke rumah sakit jiwa. Pelayanan pasif merugikan masyarakat
karena :
1. Masyarakat tidak tahu kapan memutuskan pasien ke rumah sakit jiwa
2. Akses ke rumah sakit jiwa jauh karena umumnya berada di ibu kota
provinsi sehingga tidak jarang pasien dibawa ke palayanan kesehatan jiwa
sudah dalam kondisi kronis.

Hasil ini didukung hasil penelitian di Jakarta bahwa 45% pasien yang
mengelami gangguan jiwa pertama-tama mencari pelayanan ke alternative,
dan setelah kronis baru mencari pelayanan kesehatan jiwa. (keliat dkk, 2011).
Orang yang telah di rawat dirumahsakit jiwa juga banyak yang telah
mampu dipulangkan ke rumah. Namun karena ketidaksiapan puskesmas
dalam melanjutkan perwatan di masyarakat, menyababkan mereka kembali
dirawat di rumah sakit jiwa. Hal ini tidak baik bagi orang yang sedang sakit
karena semakin lama di rumah sakit jiwa akan memundurkan fungsi sosial
mereka. Hasil penelitian menunjukan 46% pasien yang dirawat di lima rumah
sakit di pulau Jawa mempunyai kemampuan tinggal di masyarakat (keliat dkk,
2011), tetapi mereka tidak pulang karena tidak tersedianya pelayanan
kesehatan jiwa di puskesmas.
D. Fase 4 : administrative and policy assessment and intervention aligment
Kebijakan kesehatan jiwa masyarakat terdapat 4 (empat) perubahan yaitu
dari berbasis rumah sakit (hospital base) menjadi berbasis masyarakat,
ditangani disemua pelayanan kesehatan yang ada, dahulu rawat inap sekarang
mengandalkan pelayanan rawat jalan (ambulatory) dan dahulu korban
penderita gangguan jiwa perlu disantuni sekarang dapat diberdayakan.
Kebijakan tersebut diperkuat dengan Keputusan Mentri Kesehatan RI No.
406/Menkes/SK/VI/2009 tentang Pedoman Pelayanan Kesehatan Jiwa
Komunitas. Secara Umum Tujuan yang ingin dicapai adalah meningkatkan

peran serta masyarakat dalam upaya pelayanan Kesehatan Jiwa Komunitas ,


sehingga status kesehatan jiwa masyarakat meningkat. Sedangkan tujuan
khusus yang ingin dicapai adalah :
1. Terpaparnya informasi kesehatan jiwa dan deteksi dini gangguan jiwa
kepada tenaga puskesmas, sehingga puskesmas dapat memberikan
pelayanan kesehatan jiwa dan mendeteksi dini gangguan jiwa masyarakat
2. Terpaparnya informasi kesehatan jiwa kepada kader kesehatan, tokoh
masyarakat, tokoh agama, aparat desa, dan kelompok beresiko, agar
terbangun pandangan dan sikap yang positif
3. Berkurangnya dampak sosial akibat penyakit gangguan jiwa seperti
menurunnya stigma, diskriminasi, isolasi dan tertanganinya kasus pasung.
4. Terbangunnya sistem rujukan yang baik sehingga pelayanan kesehatan
jiwa dapat berkesinambungan.
Tapi semua itu tidak akan terwujud jika sumber daya nya tidak terpenuhi.
Seperti kurangnya fasilitas dan sarana prasara yang dibutuhkan untuk
tercapainya program kesehatan jiwa di puskesmas. Sehingga pemerintah harus
mendukung penuh kegitan atau program ini. selain itu juga membutuhkan
tenaga kesehatan yang telah sangat mengerti masalh ini maka perlu di
adakannya pelatihan para keder program kesehatan jiwa.
E. Fase 5 8 : implementation
Tujuan umum program kesehatan jiwa di Puskesmas Pejagoan adalah
untuk Meningkatkan derajat kesehatan jiwa dan kualitas hidup masyarakat.
Sedangkan tujuan khususnya adalah:
1. Meningkatkan pengetahuan,pemahaman,dan

kesadaran

terhadap kesehatan jiwa


2. Meningkatnya upaya untuk mencegah gangguan jiwa

masyarakat

3. Terdeteksi dan tertanggulanginya masalah kesehatan jiwa secara dini


Pada tahap ini para petugas kesehatan harusnya memberikan informasi
kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga kesehatan jiwa. Dengan cara
mengundang para tokoh penting di wilayah kerja puskesmas terlebih dahulu,
memberikan pemahaman tentang kesehatan jiwa sehingga mereka dapat
membantu program yang akan di buat dengan cara menyebarkan informasi
kepada warganya. Selain memberikan penyuluhan kepada kepala desa,
petugas kesehatan juga harus di berikan pembekalan untuk menjadi kader di
unit pelayanan jiwa, agar jika ada pasien yang baru di pulangkan dari rumah
sakit jiwa dapat mendapatkan pelayanan selanjutnya di puskesmas.
Tujuan itu tidak akan pernah tercapai bila hanya mengandalkan
penyuluhan saja, maka dari itu perlu dilakukan pembinaan untuk setiap kader
yang akan memegang program kesehatan jiwa diantaranya :
1. Penyuluhan kesehatan jiwa yang menunjang usaha preventif dan promotif
2. Perawatan jalan bagi para pasien yang mengalami gangguan jiwa
3. Pembuatan WEB dan jejaring sosial sebagai sarana penyebarluasan
informasi kesehatan melalui media internet
4. Pembuatan stiker,brosur, leafleat
5. Penyebaran brosur/ leafleat sebagai sarana penyebarluasan informasi
kesehatan melalui media cetak.
6. Kunjungan rumah
7. Lintas sektor.
GANT CHART

Program kesehatan jiwa di puskesmas


kegiatan
1. penyuluhan
tentang kes. Jiwa
2. pemeriksaan
3. perawatan /
rehabilitasi
4. kunjungan
rumah
5. Rapat
koordinasi

Ja
n

Fe
b

Ma
r

Ap
r

Me
i

Ju
n

Jul

Ag
s

Se
p

Ok
t

No
v

De
s

Anda mungkin juga menyukai