Kompasiana Nov 16
Kompasiana Nov 16
"Itulah alasan kenapa legislatif diberi hak imunitas oleh UUD 45 karena akan mengawasi
kekuasan yang besar. Eksekutif bisa saja tidak reladiawasi lalu menggunakan kekuasaan
untuk menjegal dan melawan pengawasan," kata Fahri.
Tanggapan Orasi Fahri Hamzah
Hal pertama yang ingin saya tanggapi adalah mengenai pernyataan Fahri Hamzah bahwa
sebagian besar pasal tentang makar di KUHP telah dihapus oleh MK.
Sepengetahuan saya, pasal-pasal makar di KUHP itu tidak pernah dihapus oleh MK,
setidaknya Pasal 107 KUHP tersebut di atas belum pernah dihapus oleh MK.
Yang telah dihapus oleh MK adalah Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP mengenai tindak
pidana pernyataan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap pemerintah.
Dua pasal itu dihapus oleh MK pada 17 Juli 2007 dengan mengabulkan permohonan uji
materil terhadapnya yang diajukan oleh Panji Utomo, yang telah divonis tiga bulan penjara
oleh Pengadilan Negeri Nanggroe Aceh Darussalam karena terbukti bersalah berdasarkan
Pasal 154 KUHP.
Panji Utomo divonis bersalah karena mengeluarkan pernyataan permusuhan, kebencian,
atau penghinaan terhadap Pemerintah dalam aksi unjuk rasa di kantor Badan Rehabilitasi
dan Rekonstruksi NAD pada 2006. Dia merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan
berlakunya pasal tersebut karena dalam aksi itu sebenarnya ia mewakili kepentingan para
pengungsi korban tsunami yang menuntut hak-haknya.
Selain mengajukan uji materil terhadap Pasal 154 dan 155 KUHP, Panji juga mengajukan
uji materil Pasal 107, Pasal 160, Pasal 161, Pasal 207, dan Pasal 208 KUHP yang
dinilainya sebagai pasal karet. Namun, MK hanya mengabulkan permohonan uji materil
terhadap pasal 154 dan 155 KUHP. MK menilai permohonan pengujian pasal selebihnya
tidak ada relevansinya dengan dalil kerugian hak konstitusional pemohon sehingga tidak
perlu dipertimbangkan (Antaranews.com).
Pasal 160 KUHP kembali dimohon uji materilnya ke MK oleh Rizal Ramli pada pertengahan
2009 untuk dihapus, tetapi lagi-lagi ditolak oleh MK. MK hanya mengubah delik formil yang
ada pada pasal tersebut menjadi delik materil.
Tentang hal ini akan dibahas secara khusus di bagian akhir artikel ini.
Apakah benar orasi Fahri Hamzah itu merupakan bagian dari fungsi, tugas dan wewenang
dia sebagai anggota DPR dalam melakukan pengawasannya terhadap pemerintah
(Presiden)?
Sebelum menjawabnya, mari kita simak secara lengkap isi orasi Fahri Hamzah itu secara
detail melalui transkrip yang saya buat ini:
Para guru kita, para habaib, para ustad, para tokoh yang hadir hari ini.
Seperti kata Pak Amien Rais, inilah parlemen jalananterbesar dalam sejarah Republik
Indonesia. Saya dan Pak Fadli memimpin parlemen ruangan. Tapi yang dipimpin para
ulama dan tokoh-tokoh ulama ini adalah parlemen jalanan.
Di Indonesia itu ada dua realitas penting. Yang pertama, yang kita sebut sebagai umat.
Inilah umat, umat Islam, usianya lebih tua daripada negara. Merekalah yang datang
dengan sorbannya, dengan jubahnya, mengusir penjajah dari bumi Indonesia.
Lalu tiba-tiba, sekarang ini sorban dan jubahnya mau diinjak. Bukankah Pangeran
Dipanegoro, Tengku Imam Bonjol berjuang membebaskan negara ini dengan dengan
jubahnya? Umatlah yang berjuang mengusir penjajah dengan pekikan takbir, seperti yang
dilakukan oleh Bung Tomo.
Tiba-tiba sekarang takbir mau dikriminalisasi, orang bertakbir mau dianggap teroris.
Umat usianya lebih tua dari negara. Dan, sekarang umat menguasai ruang parlemen
jalanan ini.
ketua DPR (Fahri Hamzah PKS, dan Fadli Zon -- Gerindra) yang ikut mendukung aksi
tersebut, dengan menyampaikan orasi politiknya, terutama dengan hasutannya kepada
massa untuk melakukan makar terhadap pemerintahan Presiden Jokowi.
PKS juga tidak pernah menegur Fahri, atau membantah apa yang diorasi Fahri itu. Jadi,
apakah PKS juga setuju dengan orasi Fahri Hamzah itu?
Bahwa kemerdekaan Indonesia (semata-mata) merupakan perjuangan dari ulama
berjubah dan bersorban, dengan contoh perjuangan Imam Bonjol dan Pangeran
Diponegoro.
Fahri sengaja menanamkan ke pemikiran massa bahwa kemerdekaan Indonesia itu seolaholah hanya bisa tercapai semata-mata berkat perjuangan pimpinan umat Islam berciri khas
berjubah dan bersorban, hal ini sengaja ditanamkan Fahri ke pemikiran massa untuk
merujuk kepada para pimpinan pengunjuk rasa yang rata-rata berjubah dan bersorban,
seperti Ketua FPI Rizieq Shihab.
Padahal jika mau betul-betul memahami sejarah, perang melawan Belanda yang dipimpin
oleh Imam Bonjol dan Pangeran Diponegoro lebih pada kepentingan kedaerahan daripada
dengan tujuan terbentuknya Republik Indonesia merdeka.
Fahri seolah-olah sengaja menisbikan peran para pejuang (pahlawan) umat Islam yang
nasionalis, tidak berjubah dan bersorban, yang justru mayoritas, dan di penghujung sejarah
kemerdekaan justru mempunyai peran yang sangat signifikan memproklamir dan
mempertahankan kemerdekan Republik Indonesia, seperti Bung Tomo, Ir. Soekarno dan
Muhammad Hatta.
Demikian pula dengan peran para pahlawan lainnya yang bukan beragama Islam, seperti:
Patih Gajah Mada, Hayam Wuruk, Raden Wijaya, Agustinus Adisutjipto (namanya dijadikan
nama Bandara Yogyakarta), Thomas Matulesy Pattimura dari Maluku, Yos Sudarso,
Ignatius Slamet Riyadi, Wage Rudolf Supratman (pencipta lagu Indonesia Raya),
Laksamana Muda TNI John Lie alias Lie Tjeng Tjoa alias Daniel Dharma (namanya
dijadikan nama salah satu kapal perang Indonesia: KRI John Lie), dan Liem Koen Hian,
salah satu anggota BPUPKI yang merancang UUD 1945.
Bahwa Presiden Jokowi telah berkali-kali melanggar hukum, dengan membiarkan
sorban dan jubah (umat Islam) -- yang sekarang menguasai parlemen jalanan diinjak-injak,
takbir akbar dianggap teroris, menghina ulama, mencaci-maki simbol-simbol Islam, dan
membiarkan orang non-muslim menghina simbol-simbol Islam. Oleh karena itu, saatnya
umat Islam bangkit untuk melaksanakan peran parlemen jalanan yang dipimpin oleh Rizieq
Shihab itu.
Pernyataan Fahri Hamzah ini sangat menyesatkan, sesuatu yang diduga kuat memang
disengaja untuk mencipta persepsi sesat massa bahwa Presiden Jokowi seolah-olah telah
melanggar konstitusi, dengan turut berperan dalam penghinaan terhadap ulama dan
simbol-simbol Islam.
Hal itu disengaja agar massa sungguh-sungguh percaya Presiden Jokowi telah melanggar
konstitusi, selanjutnya lebih gampang dibakar, dihasut untuk melakukan tindakan
anarkis/makar.
Presiden Jokowi tidak pernah melanggar konstutsi dengan melakukan semua tuduhan
fitnah Fahri Hamzah itu.
Demikian juga dengan pernyataannya bahwa Presiden Jokowi telah membiarkan orang
non-muslim (Ahok) menghina simbol-simbol Islam.
Faktanya, proses hukum terhadap Ahok dalam kasus tersebut telah dengan cepat dan
tegas ditangani oleh Bareskrim Polri, dan Presiden Jokowi telah berkali-kali dalam
pernyataan dan tindakannya tidak mengintervensi proses hukum kasus Ahok itu.
Pernyataan Fahri bahwa Ahok telah melakukan penistaan agama Islam merupakan suatu
sikap tidak menghargai dan mendahului proses hukum yang sedang ditangani Polri,
dengan memaksa kehendaknyalah yang harus dipenuhi Polri, yaitu Polri mutlak harus
menyatakan Ahok bersalah, ditangkap, dijadikan tersangka, dan dipenjara
Dalam orasinya itu jelas Fahri sedang melakukan pembentukkan opini massa bahwa tidak
ada kemungkinan lain, selain Ahok pasti bersalah, dan harus dipenjarakan.
Jika Polri, setelah menjalankan tugasnya secara sangat profesional, sesuai dengan kaidahkaidah hukum beracara yang berlaku dalam melakukan penyelidikan terhadap kasus Ahok
itu, tidak menemukan bukti Ahok bersalah, sehingga memutuskan menghentikan kasus itu,
Ahok bebas dari tindak pidana penistaan agama, maka itu berarti Presiden Jokowi telah
melakukan intervensi hukum, Kapolri telah berpihak kepada Ahok, melindungi Ahok. Maka,
parlemen jalanan harus segera melaksanakan perannya: mengadili dan melengserkan
Presiden Jokowi, dengan cara menduduki Istana Negara dan/atau Gedung DPR/MPR.
Inilah persepsi yang hendak diciptakan Fahri Hamzah kepada massa, sehingga mereka
semakin dendam kepada Presiden Jokowi dan Ahok.
Fahri ingin mengulangi sukses massa mahasiswa pro-reformasi yang tempo hari dengan
menduduki Gedung DPR/MPR berhasil memaksakan Presiden Soeharto lengser. Hal itu
terlihat dengan setelah mendengar Rizieq Shihab memerintahkan massa pengunjuk rasa
mengepung Gedung DPR/MPR, Fahri Hamzah dengan dalih palsu (memberi tempat
peristirahatan sementara bagi pengunjuk rasa dari luar kota) juga meminta polisi untuk
membuka pintu gerbang Gedung DPR/MPR, membiarkan massa masuk dan istirahat di
sana. Padahal, maksud sebenarnya mereka hendak menduduki Gedung DPR/MPR itu.
Nanti jika massa sudah berhasil masuk di sana, mereka tak akan mau keluar lagi,
sebaliknya justru akan menambah lagi massa yang lebih banyak. Jika aparat tidak
membukakan pintu gerbang, maka mereka yang sudah di dalam bisa melumpuhkan aparat,
dan membuka pintu bagi rekan-rekannya itu, supaya Gedung DPR/MP{R diduduki massa
sebanyak mungkin. Ketika massa sudah sangat banyak, maka Fahri Hamzah bermimpi
sejarah Mei 1998 yang berhasil melengserkan Presiden Soeharto, terjadi lagi.
Ia lupa suasana dan kondisi politik Mei 1998 sangat berbeda dengan yang sekarang.
Dahulu Polri dan TNI sesungguhnya sudah condong tidak lagi menghendaki Soeharto
meneruskan kekuasaannya lagi, sedangkan sekarang Polri dan TNI setia berdiri di
belakang Presiden Jokowi, bersatu padu dengan sebagian besar rakyat untuk
mempertahankan Jokowi demi langgengnya NKRI.
Presiden Jokowi telah memerintahkan kepada Polri dan TNI agar tidak ragu-ragu untuk
menindak dengan tegas segala macam gerakan yang dapat mengakibatkan terpecah
belahnya bangsa ini. Dan, Kapolri Jenderal Tito Karnavian, dan Panglima TNI Jenderal
Gatot Nurmantyo pun sudah berkali-kali menyatakan akan menjalankan sepenuhnya
perintah Presiden itu.
Bahwa berdasarkan uraian-uraian sebelumnya itu, Presiden Jokowi telah terbukti
melanggar konstitusi;
Bahwa ada dua cara untuk melengserkannya, pertama: melalui parlemen ruangan di
Gedung DPR yang menggalang kekuatan menyatakan pendapat: Presiden telah
melakukan perbuatan tercela dan melanggar konstitusi, maka Presiden dapat diimpeachment (dilengserkan) melalui sidang di Mahkamah Konstitusi.
Bahwa cara kedua melengserkan Presiden adalah melalui parlemen jalanan. Untuk
menempuh cara ini, Habib Rizieq Shihab yang lebih tahu.
Bahwa parlemen jalanan dan parlemen ruangan adalah dua hal yang pararel, oleh
sebab itu jika Presiden Jokowi tidak mau bertemu dengan wakil para pengunjuk rasa, tidak
Kapolri Jenderal Tito Karnavian memberi pernyataan yang sebetulnya normatif, ia,
misalnya, tidak mengatakan Fahri Hamzah dapat dijadikan tersangka, tapi, kok Fahri sendiri
yang reaktif berlebihan, ketakutan sendiri?
Fahri mengingatkan kepada Tito, jangan bertindak berdasarkan kemauan penguasa, tetapi
dia sendiri justru yang menghendaki agar Tito bertindak berdasarkan kemauannya, dengan
memanfaatkan statusnya sebagai anggota DPR.
Jelas, pernyataan Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan sikap Polri terhadap laporan
masyarakat yang melaporkan Fahri Hamzah tersebut di atas sudah sesuai dengan hukum,
sudah sesuai dengan tugas dan fungsi Polri. Jadi, seharusnya, Fahri mengikuti saja proses
hukum terhadap dirinya itu. Jika memang tidak bersalah, kenapa harus takut?
Apakah Fahri Hamzah dapat Dipidana Berdasarkan Pasal 160 KUHP?
Lalu, apakah dengan orasinya yang menghasut massa melakukan tindakan makar itu Fahri
Hamzah sudah bisa dipidana berdasarkan Pasal 160 KUHP?
Jawabannya adalah pada prinsipnya belum dapat.
Fahri Hamzah baru bisa dikenakan tindak pidana penghasutan kepada orang lain untuk
melakukan makar, jika tindakan makar itu telah dilakukan, tanpa perlu memandang apakah
tindakan makar itu berhasil ataukah tidak, cukup sudah terbukti upaya berbuat makar itu
sudah dimulai, maka Fahri Hamzah sudah dapat dipidana.
Pasal 87 KUHP: Tindak pidana makar dianggap terjadi apabila telah dimulainya perbuatanperbuatan pelaksanaan dari si pembuat makar.
Aslinya ketentuan Pasal 160 KUHP itu merupakan delik formil, artinya cukup sudah terbukti
seseorang telah menghasut orang lain melakukan tindakan kekerasan, makar, dan tindakan
anarkis lainnta, maka ia sudah bisa dipidana.
Tetapi, pada 22 Juli 2009, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengubah delik formil itu
menjadi delik materil, yang berarti penghasut baru bisa ditindak pidana jika terbukti atas
hasutannya itu orang lain telah melakukan suatu tindakan kejahatan, termasuk makar
sebagaimana yang dihasutkannya itu.
Keputusan MK itu didasarkan pada usulan dua ahli Hukum Pidana sebagai saksi ahli, Prof
J.E. Sahetapy dan Rudy Satriyo agar rumusan delik pasal yang mengatur mengenai
penghasutan dalam KUHP diubah dari delik formil menjadi delik materil, saat MK sedang
melakukan sidang uji materi terhadap Pasal KUHP 160 KUHP yang dimohonan oleh Rizal
Ramli untuk dihapus.
Rizal Ramli mengajukan uji materi terhadap Pasal 160 KUHP itu pada Juli 2009 setelah ia
ditetapkan sebagai tersangka penghasut yang mengakibatkan terjadinya unjuk rasa
kenaikan harga BBM yang anarkis.
Majelis Hakim Konstitusi yang ketika itu diketuai Mahfud MD menolak permohonan yang
diajukan Rizal Ramli itu, dengan menyatakan bahwa delik penghasutan dalam Pasal 160
KUHP sebagai konstitusional bersyarat atau conditionally constitutional.
MK berpendapat meski pasal penghasutan tersebut merupakan warisan kolonial Belanda,
namun substansinya universal, yakni melarang orang menghasut melakukan tindak pidana.
Dengan demikian, pasal ini masih sesuai dengan kebutuhan hukum Indonesia saat ini.
Meski demikian, dalam penerapannya, pasal a quo harus ditafsirkan sebagai delik materil
dan bukan sebagai delik formil. Dengan demikian, dalil pemohon yang menyatakan pasal a
quo lentur, subjektif, dan bergantung pada selera penguasa adalah tidak tepat menurut
hukum.
Jadi, seandainya saja, aksi unjuk rasa besar-besaran lanjutan yang direncanakan akan
dilakukan lagi pada Jumat, 25 November 2016 mendatang, berujung pada kerusuhan yang
mengarah kepada tindakan makar, maka dengan sendirinya Fahri hamzah dapat menjadi
orang pertama yang ditangkap dengan dugaan sebagai aktor penghasut melakukan makar
terhadap pemerintah yang sah.
*****
Tentu saja bukan hanya itu yang menjadikan Ahok sangat mahal di mata Jokowi. Ahok
adalah representasi WNI keturunan yang berhasil menjadi gubernur di ibu kota republik ini.
Benar bahwa WNI ketururunan adalah minoritas di negeri ini. Akan tetapi merekalah yang
menguasai perekonomian negeri ini. Sekarang ini lebih 80 persen ekonomi Indonesia
dikuasai oleh WNI keturunan Tionghoa.
Ketika rakyat banyak dan kaum beragama sibuk berkelahi memperebutkan dan membela
nama Tuhan, kaum minoritas Tionghoa sibuk dengan sangat tekun, sabar dan ulet
membangun ribuan perusahaan. Hasilnya kini, tak ada bidang yang ekonomi di negeri ini
yang tidak dikuasai oleh kaum WNI keturunan. Nyaris setiap kota mereka kuasai 100%.
Lalu siapa yang salah? Tentu saja rakyat banyak yang menyebut dirinya kaum mayoritas.
Mereka sibuk berdebat siapa yang berhak memiliki Tuhan, dan siapa yang kuat
membelanya.
Ketika ada kesenjangan ekonomi antara orang kaya dan miskin, maka sasaran kebencian
lagi-lagi kaum WNI keturunan. Peristiwa 1998 adalah tragedi tak terlupakan bagi WNI
keturunan. Paham atas negeri ini yang tidak ramah bagi kaum WNI keturunan, maka tak
heran jika duit-duit yang diperoleh berkat keuletannya dan tentu saja juga tak luput dari
kong kali kong dengan pejabat yang rakus disogok, disimpan di luar negeri.
Diperkirakan duit WNI yang disimpan di luar negeri berjumlah 11 ribu Triliun Rupiah. Di
Singapura saja, duit WNI yang simpan di sana ada sekitar 4 ribu triliun. Lalu siapa pemilik
duit sebanyak itu? Jelas WNI keturunan dan hanya segelintir dari kaum mayoritas. Lalu
bagaimana caranya menarik kembali dana-dana itu kembali ke Indonesia?
Jokowi paham bahwa tidak gampang meyakinkan WNI keturunan untuk menyimpan
dananya di Indonesia. Mereka harus yakin dulu bahwa pemerintah benar-benar bersih dari
korupsi dan tidak melakukan diskriminasi terhadap mereka. Hal yang kedua adalah mereka
harus dilibatkan dalam politik untuk ikut membangun bangsa ini. Itulah sebabnya Jokowi
menyetujui Sofian Wanandi sebagai Ketua Tim Ahli Wapres. Sementara di DKI Jakarta,
pusat perputaran duit WNI keturunan, Jokowi sangat mendukung gubernur Ahok yang
double minoritas.
Sepak terjang Jokowi dalam membangun Indonesia lewat slogan revolusi mentalnya, telah
mulai berangsur-angsur mendapat kepercayaan dari WNI keturunan. Itulah sebabnya
Jokowi bersama Sri Mulyani sangat yakin keberhasilan program Tax Amnesty itu. Padahal
Wapres Jusuf Kalla sendiri dan Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo plus anggota
DPR amat pesimistis soal keberhasilan Tax Amnesty itu. Akan tetapi mengapa Jokowi
begitu yakin?
Lewat Sofian Wanandi, Jokowi tahu bawa para konglamerat Indonesia mulai percaya
kepada pemerintahan Jokowi. WNI keturunan percaya bahwa Jokowi mampu memberi
tempat kepada mereka untuk berkontribusi lewat politik untuk membangun negara ini.
Apalagi Jokowi begitu mendukung Ahok di DKI, maka fakta itulah yang membuat mereka
berbondong-bondong ikut program Tax Amnesty. Jokowi telah membuktikan diri sebagai
seorang Pancasilais sejati dan bukanlah seorang rasis.
Terkait kasus penistaan agama yang dituduhkan kepada Ahok, WNI keturunan yakin bahwa
tuduhan itu amat kental nuansa politisnya. Ahok sama sekali tidak bermaksud melakukan
penistaan agama mayoritas. WNI keturunan amat yakin bahwa justru merekalah yang
selama ini dan terutama Ahok yang menjadi korban-korban rasisme paling menderita.
Fakta-fakta sejarah telah membuktikan hal itu. Maka sekarang WNI keturunan terlihat wait
and see melihat apa yang dilakukan Jokowi dalam kegelisahan.
Bagi WNI keturunan, saat ini mereka berada dalam persimpangan jalan. Jika Ahok menjadi
tersangka penistaan agama dan karenanya gagal menjadi calon gubernur DKI Jakarta,
maka itu berarti Jokowi tunduk kepada tekanan ormas sangar dan tekanan politik lawannya.
Itu berarti Indonesia jelas tidak ramah bagi warga keturunan.
Konsekuensinya, WNI keturunan menjadi takut untuk menarik dananya dari luar negeri
terutama dari Singapura untuk menyimpannya di Indonesia. Saat ada demo 4 November
2016, WNI keturunan berbondong-bondong pergi ke luar negeri untuk mengatisipasi jika
benar-benar ada kerusuhan. Padahal suskses tidaknya pemerintahan Jokowi amat
tergantung pada konstribusi WNI keturunan yang sebagian besar menguasai perekonomian
Indonesia.
Sebaliknya jika Ahok bebas, maka kepercayaan WNI keturunan kepada pemerintahan
Jokowi semakin tinggi. Duit WNI dari Singapura dipastikan akan mulai mengalir ke bankbank dalam negeri. Program pembangunan insfrastruktur Jokowi akan terus berjalan.
Mimpinya untuk menjadikan Indonesia menjadi negara maju semakin mendapat titik
terangnya. Apalagi jika Ahok tetap di DKI, maka lengkaplah sudah mimpi Jokowi.
Lalu apa skenario akhir yang dilakukan Jokowi atas Ahok?
Jokowi paham bahwa tidaklah cukup alasan untuk menjadikan Ahok tersangka. Jelas
bahwa ada banyak pihak yang tidak menginginkan Ahok untuk menjadi DKI-1 periode
kedua. Apalagi laporan intelijen menyebutkan bahwa ada aktor politik yang menggerakkan
demo 4 November itu. Hal itu menambah keyakinan Jokowi bahwa jika Ahok berhasil
dijegal maka selanjutnya dirinyalah yang menjadi sasaran. Maka skenario akhir adalah
menyelamatkan Ahok dari amukan para lawannya dan bukan lagi sekedar membelanya.
Jokowi jelas menunggu hasil gelar perkara terbatas yang dilakukan Polri minggu depan.
Sebelum hasilnya diumumkan kepada publik, Jokowi dalam seminggu terakhir melakukan
kunjungan ke beberapa institusi militer dan kepolisian. Ia diketahui menyambangi markas
Kopassus, markas Marinir, Mako Brimob di Kelapa Dua, Depok, mengunjungi basecamp
organisasi ormas-ormas islam seperti PBNU dan PP Muhammadiyah. Apa arti pesan
kunjungan itu?
Pertama, jika Jokowi paham bahwa Ahok salah, dia tidak perlu repot melakukan kunjungan
ke sana kemari dan sibuk beraudensi dengan beberapa pihak di istana. Ia justru akan
blusukan meninjau programnya di beberapa tempat. Namun mengapa ia justru sibuk
melakukan konsolidasi?
Kedua,konsolidasi kekuatan dan menghindari perpercahan. Lewat konsolidasi elemenelemen kekuatan bangsa, Jokowi sedang mengantisipasi gejolak berikutnya jika Ahok
akhirnya bebas dari tuduhan penistaan agama. Dengan kunjungan itu, maka Jokowi
berusaha meminimalisir tekanan dari berbagai pihak sekaligus menghimpun dan unjuk
kekuatan. Ketiga, jika Jokowi tidak berusaha bertemu dengan SBY dan FPI, itu berarti
Jokowi sedang menunjukkan kepada rakyat pihak-pihak itulah yang mencoba merongrong
NKRI demi syawat politiknya.
Jika nantinya tetap saja ada demo lanjutan pada tanggal 25 November 2016, maka publik
akan semakin paham siapa-siapa yang masih ngotot menjegal Ahok. Dan pada saat itulah
Jokowi akan all-out menyelamatkan Ahok. Pada tataran itu, Jokowi tidak lagi dicap sebagai
pembela Ahok tetapi sebagai pihak yang bertanggu jawab untuk menyelamatkan sosok
yang sedang ditindas.
Jokowi akan memberi perintah untuk menindak tegas mereka yang berbuat anarkis. Jika
terjadi chaos, maka Jokowi tidak segan-segan mengumumkan negara dalam keadaan
darurat. Pada saat itu Marinir, Brimob dan Kopassus dan segenap anggota TNI-Polri siap
diperintah Jokowi menyelamatkan negara yang berada dalam situasi darurat.
Jadi skenario akhir Jokowi adalah siap menyelamatkan Ahok yang terus dijepit lawannya
baik dengan kekuatan diplomasi maupun militer. Dengan kata lain, Jokowi siap babak belur
menyelamatkan Ahok, menyelamatkan NKRI dan pemerintah yang sah. Mari kita tunggu
hasil gelar perkara Ahok minggu depan.
Salam Kompasiana
kalangan. Selain dari dalam negeri, mungkin juga ada dari luar negeri terutama dari Arab
sana.
Nah, di sini nantinya Ahok akan menciptakan panggungnya. Ahok akan memanfaatkan
kesempatan untuk kampanye gratis saat dia disorot terus-menerus oleh media.
Pertanyaan-pertanyaan dari penyidik nantinya akan dijawab oleh Ahok dengan mantap dan
penuh gaya. Dan setelah melalui proses selama berminggu-minggu, akhirnya akan jelas
siapa yang bernalar dan siapa yang kehilangan nalar. Lewat investigasi siaran langsung itu
juga akan jelas apakah cukup bukti untuk menuduh Ahok sebagai pemfitnah dan penghina
atau sama sekali Ahok tidak bersalah.
Pertanyaannya apa hasil akhir dari investigasi polisi terhadap kasus Ahok itu?
Kesimpulan yang ada di benak publik selama ini bahwa Ahok tidak bersalah akan terbukti.
Polisi pada akhirnya akan mengambil kesimpulan bahwa Ahok sama sekali tidak menghina
Al-Quran apalagi menghina ulama. Tidak cukup bukti untuk menjerat Ahok dengan pasal
pidana penghinaan agama. Jadi, Ahok akan bebas. Sementara pihak yang dijadikan
tersangka adalah Buni Yani yang jelas-jelas memfitnah Ahok dengan potongan videonya.
Jelas FPI dan partai politik di belakangnya tidak bisa lagi menyalahkan Jokowi. Bukankah
tahap-tahap penyelidikan kasus Ahok telah disiarkan secara langsung dan seluruh rakyat
Indonesia dapat menyaksikkannya? Dari situ juga Jokowi akan membuktikan bahwa ia
sama sekali tidak mengintervensi kasus Ahok itu. Jika akhirnya FPI dan dalang demo
selanjutnya tetap bersih keras bahwa Ahok tetap salah dan tetap harus dipaksakan salah,
maka publik dapat menilainya lebay sambil tertawa terpingkal-pingkal.
Jika akhir kesimpulan polisi bahwa Ahok tidak terbukti menghina Al-Quran dan ulama, maka
Jokowi kembali menunjukkan kelasnya lolos dari jebakan maut SBY. Publik akan kembali
mengingat saat SBY melakukan tour de java selama satu bulan dapat dihancur-leburkan
oleh Jokowi hanya dengan melakukan kunjungan beberapa jam di Hambalang. Di sana
tanpa bicara, Jokowi cukup geleng-geleng kepala. Hambalang adalah tragedi korupsi ala
Demokrat, partainya SBY.
Ke depan, Jokowi akan meminta KPK agar melakukan investigasi 34 proyek listrik yang
telah mangkrak di era SBY. Momentum itu akan digunakan bersamaan dengan bebasnya
Antasari Azhar dari penjara plus pengunduran diri Ruhut Sitompul dari DPR 10 November
ini. Nyanyian Antasari soal Century yang melibatkan SBY akan kembali nyaring didengar.
Belum lagi pemanggilan putera SBY, Ibas, soal skandal Hambalang, akan membuat
pertarungan kian menarik.
Publik juga semakin paham langkah cerdas Jokowi menghadapi demo 4 November lalu
yang berakhir damai di siang hari namun kisruh di malam hari. Lewat manufernya bertemu
dengan Prabowo di Hambalang, pertemuan dengan pimpinan MUI, NU dan
Muhammadiyah, tensi gelegar demo akhirnya turun dengan drastis. Keinginan Amin Rais,
Fadli Zon dan Fahri Hamzah untuk menekan Jokowi di istana, cukup diwakilkan kepada
Wapres Jusuf Kalla.
Izin yang diberikan oleh Fahri kepada pendemo untuk menginap di gedung DPR-MPR
dengan skenario sidang istimewa ala Habib Rizieq, cukup dilawan dengan satu gertakan
larangan dari Kapolda Metro Jaya. Skenario sidang istimewa ala Fahri Hamzah pun gagal
total. Kini Fahri Hamzah dengan panik tanpa nalar mengatakan bahwa sudah tidak ada
yang mendukung Jokowi. Artinya di negara utopia dan mafia ala Fahri, Jokowi sama sekali
tidak lagi didukung.
Menarik untuk menyaksikan siaran langsung kasus Ahok. Menarik untuk menyaksikan
perintah Jokowi agar polisi memproses kasus Ahok itu. Dan lebih menarik lagi menyaksikan
kesimpulan polisi bahwa tidak cukup bukti untuk menjerat Ahok agar dapat masuk penjara.
Dan yang paling menarik untuk selanjutnya adalah menunggu reaksi SBY menyaksikan
kegagalan jebakan mautnya. Sambil seruput teh lemon, mari kita saksikan pertarungan
politik selanjutnya.
Salam Kompasiana
Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI terhadap Ahok Bukan Fatwa, Benarkah Surat Al
Maidah Ayat 51 tentang Pemilihan Pemimpin?
Rois Syuriah PBNU, KH. Ahmad Ishomuddin melalui tulisan di laman Facebook-nya,
mengklarifikasi sikap keagamaan MUI dari Ketua Umum MUI, KH. Ma'ruf Amin yang juga
Rais Aam PBNU. Ishomuddin mengungkapkan, pada Rabu, (26/10/2016) siang, ia bersama
jajaran Syuriah PBNU mengikuti rapat Syuriah PBNU di Lantai IV Gedung PBNU di Jalan
Kramat Raya 164 Jakarta Pusat.
Rapat tersebut langsung dipimpin oleh RaisAam, KH.Ma'ruf Amin yang juga Ketua Umum
MUI Pusat. "Dalam pengantar rapat tersebut beliau lebih dahulu mengklarifikasi tentang
pernyataan sikap keagamaan MUI yang di dunia maya banyak disalah pahami sebagai
fatwa MUI," ujarnya. Link
Jika kita lihat pada surat yang diterbitkan oleh MUI tersebut, pernyataan yang benar adalah
yang berasal dari Ketua Umum MUI Pusat yaitu KH. Maruf Amin. Itu adalah Pendapat dan
Sikap Keagamaan dan bukanlah Fatwa. Entah apa maksud dari sebagian pengurus MUI
mengatakan bahwa surat tersebut adalah Fatwa.
Menetapkan fatwa harus memenuhi metode (manhaj) dalam berfatwa.
KH. Ma'ruf Amin dalam konferensi internasional tentang fatwa di Jakarta tahun 2012,
pernah mengatakan bahwa salah satu syarat menetapkan fatwa adalah harus memenuhi
metodologi (manhaj) dalam berfatwa, karena menetapkan fatwa tanpa mengindahkan
manhaj termasuk yang dilarang oleh agama.
"Sebuah fatwa yang ditetapkan tanpa mempergunakan metodologi, keputusan hukum yang
dihasilkannya kurang mempunyai argumentasi yang kokoh. Oleh karena itu, implementasi
metode (manhaj) dalam setiap proses penetapan fatwa merupakan suatu keniscayaan,"
Kata KH. Maruf Amin.
Ada pun metode yang dipergunakan oleh MUI dalam proses penetapan fatwa dilakukan
melalui tiga pendekatan, yaitu Pendekatan Nash Qath'i, Pendekatan Qauli dan Pendekatan
Manhaji.
Pendekatan Nash Qoth'i dilakukan dengan berpegang kepada nash Al-Qur'an atau Hadis
untuk sesuatu masalah apabila masalah yang ditetapkan terdapat dalam nash Al-Qur'an
ataupun Hadis secara jelas. Sedangkan apabila tidak terdapat dalam nash Al-Qur'an
maupun Hadis maka penjawaban dilakukan dengan pendekatan Qauli dan Manhaji. Link
Jika kita lihat, Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI tidak ada penjelasan mengenai
pendekatan yang dipakai untuk alasan dari keputusan tersebut. Anda bisa membandingkan
dengan fatwa lainnya yang telah dikeluarkan MUI. Misalnya Fatwa MUI tentang penolakan
Pilkada langsung dan saran agar Gubernur, Bupati, Walikota dipilih oleh DPRD. Disana MUI
menjelaskan berbagai hal yang mendasari keputusan Fatwa. Link
Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI bisa dianggap sebagai pemaksaan tafsir surat Al
Maidah Ayat 51
Jika kita lihat isi dari Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI, isinya seperti memaksakan
bahwa tafsir surat Al Maidah ayat 51 adalah larangan menjadikan Nasrani dan Yahudi
sebagai pemimpin.
Poin-poin berikutnya memaksakan bahwa umat Islam wajib meyakini bahwa surat Al
Maidah ayat 51 adalah panduan dalam memilih pemimpin. Bahkan jika ada yang
mengatakan bahwa itu bukan panduan dalam memilih pemimpin bisa dianggap menodai Al
Quran.
Isi surat MUI tersebut menjadi perdebatan di masyarakat. Apalagi MUI tidak menjelaskan
apa alasannya mengambil keputusan tersebut. Tentunya harus dilakukan dengan
memasukkan dalil-dalil Al Quran dan Hadist, agar bisa dinilai dan dimengerti oleh
masyarakat.
Tidak heran jika ada yang berpendapat bahwa isi dari Pendapat dan Sikap Keagamaan
MUI seperti dibuat untuk melawan Ahok di pengadilan nanti. MUI dinilai mulai masuk dalam
arena politik.
Jika mengatakan bahwa surat Al Maidah ayat 51 adalah melarang menjadikan Nasrani dan
Yahudi sebagai pemimpin, bagaimanakah nasib organisasi Islam yang menyatakan boleh
menjadikan non Islam sebagai pemimpin dengan persyaratan, seperti NU misalnya.
(Sumber) Apakah akan dianggap menodai Al Quran?
Atau juga PKS yang pernah mengeluarkan fatwa boleh memilih pemimpin non Islam saat
Pilkada Solo, (Sumber) apakah juga dikatakan menodai Al Quran?
Atau bagaimana dengan sikap MUI yang dulu pernah mengatakan bahwa jika teruji boleh
memilih pemimpin non muslim. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebelumnya, KH
Amidhan, pada tahun 2012 mengatakan jika sudah teruji maka umat Islam diperbolehkan
memilih pemimpin nonmuslim.
"Jika memang sudah teruji adil, maka boleh memilih pemimpin yang nonmuslim," ujar
Amidhan di Jakarta.
Hal itu, kata dia, kalau umat Muslim dihadapkan dua pilihan yakni satu pemimpin Muslim
tapi zalim, dan satu lagi pemimpin nonmuslim tapi adil. Maka pilih yang adil.
"Itu kalau ada bukti-buktinya kalau pemimpin nonmuslim itu adil," tegas dia. (Link) Apakah
ucapan Ketua MUI saat itu juga bisa dikatagorikan menodai Al Quran?
Atau lebih jauh lagi bagaimana nasib tafsir lainnya seperti tafsir Ibnu Katsir, dan juga
terjemahan luar negeri lainnya termasuk terbitan Kerajaan Arab Saudi yang tidak
mengartikan bahwa awliya sebagai pemimpin, Apakah bisa dikatakan menodai Al Quran?
Kontroversi mengenai Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI juga mematik kekecewaan
berbagai kalangan, tidak terkecuali para kyai-kyai pinggiran. Pada acara Deklarasi KyaiKyai Pinggiran yang digelar di Gedung Joeang 45. "Kami menginginkan negara aman,"
katanya dalam konferensi pers yang diselenggarakan di Gedung Joeang 45, Jakarta,
Senin, 31 Oktober 2016.
Mereka juga mengatakan bahwa fatwa bisa terindikasi menggiring dan menimbulkan konflik
horizontal. "Ini sangat membahayakan mengancam keutuhan Negara Republik Indonesia.
Kami menginginkan tuntutan kami dikabulkan, cabut, dan luruskan," tuturnya. Link
Ketika berselisih pendapat, kembalilah pada dalil Al Quran dan As Sunnah (Hadist).
Allah Taala berfirman:
(
)
Wahai orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, serta
ulil amri diantara kalian. Jika kalian berselisih dalam suatu hal, maka kembalikanlah kepada
Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir.Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS. An Nisa: 59).
Jika ada perselisihan antara umat mengenai sesuatu hal (misal : tafsir surat Al Maidah ayat
51), maka kembalikan kepada Allah (Al Quran) dan Rasul-Nya (As Sunnah).
Mengambil pendapat ulama yang tidak ada dalilnya berarti menjadikan ulama tersebut
sebagai rahib-rahib selain Allah. Hal ini dijelaskan oleh Allah Taala pada surat At Taubah
ayat 31.
(
)
Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain
Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Maryam; padahal mereka hanya
disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan (QS. At Taubah: 31).
Dan ketika Adi bin Hatim radhiallahuanhu mendengarkan ayat ini, ia berkata: wahai
Rasulullah, sebenarnya kami tidak menyembah mereka. Lalu Rasulullah Shallallahualaihi
Wasallam bersabda:
( . :)
bukankah para rahib itu menghalalkan yang Allah haramkan dan pengikutnya ikut
menghalalkannya, lalu para rahib itu mengharamkan apa yang dihalalkan Allah lalu para
pengikutnya mengharamkannya?. Hatim menjawab: Ya. Rasulullah bersabda: Maka
itulah bentuk penyembahan mereka. Sumber
Jika kita mengikuti kemauan ulama ataupun habib yang tidak ada dalilnya dalam Al Quran
ataupun As Sunnah (Hadist) maka kita dianggap menyembah ulama atau habib tersebut.
Tetapi jika kita mengikuti ulama ataupun habib yang didasari pada Al Quran dan As Sunnah
(Hadist), maka kita tetap menyembah Allah SWT karena yang kita jalankan adalah perintah
Allah dan bukan perintah ulama ataupun habib tersebut.
Disinilah umat Islam harus cerdas, jangan hanya karena diiming-imingi masuk surga, dan
diancam masuk neraka langsung menuruti perintah ulama/habib tanpa mengetahui secara
pasti apakah yang kita lakukan perintah Allah atau bukan.
Jika ternyata itu bukan perintah Allah, maka tanpa sadar ia akan masuk ke dalam golongan
penyembah selain Allah SWT.
Perbedaan tafsir surat Al Maidah ayat 51
Dikarenakan menurut tafsir Ibn Katsir, surat Almaidah ayat 51 berhubungan langsung
dengan 2 ayat berikutnya, maka saya tuliskan tidak hanya surat Al Maidah ayat 51 saja,
tetapi jg dengan ayat 52 dan 53.
Menurut tafsir Ibnu Katsir
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi wali (kalian);sebahagian mereka adalah wali bagi sebahagian yang lain.
Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang
itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orangorang yang dhalim. (QS. 5:51) Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit
dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani),
seraya berkata: Kami takut akan mendapat bencana. Mudah-mudahan Allah akan
mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau suatu keputusan dari sisi-Nya.
Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam
diri mereka. (QS. 5:52) Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan: Inikah orangorang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Allah, bahwasanya mereka benarbenar beserta kamu? Rusak binasalah segala amal mereka, lalu mereka menjadi orangorang yang merugi. (QS. 5:53) (al-Maa-idah: 51-53)
Pada tafsir Ibnu Katsir, kata awliya diartikan sebagai wali dan pada terjemahan Kementrian
Agama RI Indonesia edisi terbaru terbitan tahun 2002 awliya diartikan sebagai teman setia.
Pada tafsir terbitan kerajaan Arab Saudi, Madinah Al Munawarah (The Noble Quran) kata
awliya diartikan teman, pelindung, penolong (friends. protector, helpers). Tafsir terbitan
lainnya (The Glorius Koran) mengatakan bahwa awlia adalah teman (friends).
Hanya tafsir terbitan Departemen Agama RI tahun 1967 saja yang mengartikan pemimpin.
(Link)
Namun arti awliya sebagai pemimpin diterbitan tahun 1967 inipun sudah direvisi
(dilakukan penyempurnaan dan perbaikan) oleh Kementrian Agama Republik Indonesia
pada tahun 2002 menjadi teman setia. Proses perbaikan dan penyempurnaan itu
dilakukan oleh para ulama dan ahli di bidangnya, sementara Kementerian Agama bertindak
sebagai fasilitator. Link
Ini berarti para ulama dan para ahli dibidangnya menganggap kata "pemimpin" dianggap
kurang cocok, sehingga dilakukan penyempurnaan dan perbaikan dengan mengganti kata
pemimpin dengan teman setia.
Yang jadi pertanyaan adalah, mengapa para ulama yang tergabung dalam Majelis Ulama
Indonesia memaksakan bahwa tafsir surat Al Maidah ayat 51 adalah panduan dalam
memilih pemimpin?
Bahkan memaksakan dengan mengatakan umat Islam wajib meyakini bahwa ayat tersebut
adalah panduan dalam memilih pemimpin. Dan haram hukumnya jika mengatakan bahwa
surat Al Maidah 51 bukan pedoman dalam memilih pemimpin, bahkan dinilai sebagai
penistaan terhadap Al Quran.
Sayangnya pada surat Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI tersebut tidak disertai oleh
dalil-dalil Al Quran ataupun As Sunnah. Sehingga tidak dapat dinilai apakah pendapatnya
itu benar atau salah.
Sebagai umat Islam yang cerdas, kita dilarang mengikuti pendapat ulama yang tidak ada
dalilnya, karena mengambil pendapat ulama yang tidak ada dalilnya berarti menjadikan
ulama tersebut sebagai rahib-rahib selain Allah. Seperti yang dijelaskan oleh Allah Taala
pada surat At Taubah ayat 31.
Seharusnya MUI juga melampirkan dalil-dalil Al Quran dan As Sunnah agar dapat dinilai
apakah pendapatnya itu benar atau salah.
Kisah Umar Ibn Khattab dan Abu Musa pada surat Al Maidah ayat 51
Beberapa ulama yang berpendapat bahwa surat Al Maidah ayat 51 adalah mengenai
pedoman dalam memilih pemimpin sebagian besar menggunakan kisah Kalifah Umar Ibn
Khattab dan Abu Musa al-Asyari radhiyallah anhuma, sebagaimana tersebut dalam tafsir
Ibnu Katsir Q.S. Al-Maidah (5): 51, dari riwayat Ibnu Abi Hatim.
Khalifah Umar r.a meminta kepada Abu Musa al-Asyari r.a (gubernur di Bashrah, Irak)
untuk menyampaikan laporan pendapatan pengeluaran dalam pengelolaan negara. Saat itu
Abu Musa telah mengangkat seorang Nasrani sebagai Katib (sekretaris), dan mereka
menghadap kepada Khalifah Umar. Sang Khalifah sangat kagum atas catatan laporan Abu
Musa, dan memujinya. Khalifah Umar: [laporan] Ini sangat rapi, apakah mungkin dia
(sekretaris) juga mengkaji catatan laporan di Masjid [Nabawi] yang datang dari Syam
(Suriah). Abu Musa menjawab, Dia (sekretaris) tidak diperbolehkan masuk masjid.
Khalifah Umar bertanya, Apakah dia sedang junub (menanggung hadats besar)? Abu
Musa menjawab, Tidak, dia seorang Nashrani. Seketika Khalifah Umar bereaksi keras dan
menepuk paha Abu Musa, keluarkan dia (akhrijuhu), lalu membacakan Q.S. Al-Maidah (5):
51.
Link
Kisah Umar Ibn Khattab dab Abu Musa juga ada perselisihan pendapat antar ulama.
Sebagian ulama memakai arti kata akhrijuhu adalah keluarkan dia atau usir dia.
Sedangkan sebagian ulama lainnya mengartikan akhrijuhu sebagai pecat dia.
Untuk kasus ini yang lebih masuk akal adalah mengartikan arti akhrijuhu dengan keluarkan
dia/usir dia dan bukanlah pecat dia Karena kalau kita baca lagi kisah tersebut diatas,
sebab dari kemarahan kalifah Umar Ibn Khattab adalah karena Umar baru mengetahui
bahwa sekretaris ini beragama Nasrani setelah disuruh mengkaji catatan laporan di Masjid
Nabawi. Abu Musa saat itu membawa sekretarisnya yang beragama Nasrani menghadap
Umar Ibn Khattab di Madinah. Padahal ada ketentuan bahwa di Madinah hanya
diperbolehkan untuk orang-orang Islam saja.
Jika akhrijuhu diartikan sebagai keluarkan dia atau usir dia, maka Abu Musa akan
segera mengeluarkan sekretarisnya itu dari Madinah, karena Madinah memang
dikhususkan untuk orang Islam saja. Dan tidak ada pertentangan dikisah tersebut.
Namun jika akhrijuhu diartikan sebagai pecat dia, maka Abu Musa hanya akan memecat
saja dan tidak segera mengeluarkan sekretarisnya dari Madinah. Bahkan mungkin saja
sekretarisnya kaget dan terguncang karena dia dipecat secara mendadak. Kemudian
karena agak shock dia tidak langsung keluar dari Madinah, mungkin menenangkan diri
terlebih dahulu. Ini jelas akan ada pertentangan pada kisah tersebut jika diartikan dengan
pecat dia.
Pembacaan surat Al Maidah ayat 51 oleh Umar Ibn Khattab kepada Abu Musa juga bisa
bermacam-macam tafsirannya. Namun bisa juga Umar Ibn Khattab membacakan surat Al
Maidah ayat 51 untuk mengingatkan agar Abu Musa lebih berhati hati agar tidak melakukan
seperti kisah turunnya surat Al Maidah 51 dimana diceritakan tentang umat Islam yang
kurang teguh imannya saat kalah dalam perang Uhud mencoba mencari teman untuk
berlindung dengan cara berpindah agama ke agama temannya tersebut. Untuk hal ini nanti
bisa dijelaskan pada bagian selanjutnya.
Dapatkah kita berpegang pada kisah Umar Ibn Khattab dan Abu Musaal-Asyari untuk
menafsirkan arti surat Al Maidah ayat 51?
Seperti yang dijelaskan diawal, jika kita berselisih pendapat, maka kembalikan kepada Allah
SWT (Al Quran) dan Rasul-Nya (As Sunnah/Hadist). Kisah tersebut diatas tidak termasuk
dalam Al Quran dan As Sunnah/Hadist. Hanya sebatas kisah para sahabat. Dan surat Al
Maidah ayat 51 turun jauh sebelum masa Kekalifahan Umar Ibn Khatab. Seperti kita
ketahui Khalifah Umar Ibnu Khatab adalah kalifah kedua setelah Nabi Muhammad wafat.
Yaitu setelah masa kalifah Abu Bakar As Siddiq.
Keempat mahjab Ahli Sunnah Wal Jamaah (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam As
SyafiI, dan Imam Hambali) sepakat bahwa rujukan yang paling utama adalah Al Quran dan
As Sunnah (Hadist Nabi). Jika tidak diketemukan rujukan pada keduanya barulah
menggunakan pendapat sahabat Nabi yang tidak bertentangan dengan Al Quran dan As
Sunnah. (Link)
Jadi jelaslah bahwa kita tdk bisa memakai kisah sahabat sebagai rujukan jika ternyata ada
kisah dalam Al Quran ataupun As Sunah (Hadist) yang bisa dijadikan rujukan. Tetaplah
rujukan Al Quran dan As Sunnah yang menjadi rujukan utama kita.
Mungkin saja ini menjadi salah satu alasan kenapa para ulama dan para ahli dibidangnya
pada tahun 2002 mengganti terjemahan Departemen Agama yang mengartikan awlia
sebagai pemimpin, diganti dengan teman setia. Karena kisah tersebut bukan rujukan
utama.
Karena yang dicari oleh kedua orang dalam kisah tersebut bukanlah pemimpin, tetapi
mereka mencari teman yang bisa melindungi mereka dengan cara berpindah ke agama
temannya tersebut.
Kenapa saya tekankan pada kata berpindah agama? Karena pada kisah tersebut
digambarkan secara jelas bahwa mereka mencari perlindungan dengan cara
mengikuti/memeluk agama temannya tersebut (Yahudi dan Nasrani). Pada saat itu
mereka menganggap kalau mereka masih beragama Islam pastilah mereka tetap akan
mendapat bencana dari kaum Quraish. Itu sebabnya mereka mengatakan akan masuk ke
agama temannya tersebut.
Kisah perang Uhud dan turunnya surat Al Maidah 51 53
Kalau kita hubungkan antara surat Al Maidah ayat 51 dengan penyebab turunnya ayat
tersebut (Perang Uhud) maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
Perang Uhud adalah perang antara umat Islam dari Madinah melawan suku Quraish dari
Mekkah. Pada perang Uhud ini pasukan umat Islam mengalami kekalahan dari pasukan
Quraish Mekkah karena pasukan panah umat Islam melanggar perintah Nabi Muhammad
SAW.
Setelah kekalahan tersebut, untuk melindungi dirinya, umat Islam yang kurang teguh
imannya berniat pergi meninggalkan umat Islam untuk mencari perlindungan pada suku
yang beragama Nasrani dan Yahudi. Mereka berniat mencari seseorang yang bisa
dijadikan teman sebagai pelindungnya dengan cara berpindah agama mengikuti agama
temannya tersebut agar tidak mendapat bencana dari kaum Quraish Mekkah.
Lalu turunlah surat Al Maidah ayat 51:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi wali (kalian);sebahagian mereka adalah wali bagi sebahagian yang lain.
Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang
itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orangorang yang dhalim.(QS. 5:51)
Ayat tersebut melarang mencari perlindungan kepada kaum Yahudi dan Nasrani (dengan
cara berpindah agama berdasarkan kisah tadi) karena kaum Yahudi dan Nasrani itu
pastinya akan menjadi pelindung (awliya) bagi temannya sendiri. Jika masih melakukan
(mencari perlindungan dengan berpindah agama) maka termasuk golongan mereka. Dan
Allah tidak akan memberi petunjuk pada golongan orang-orang yang zalim.
Pada ayat berikutnya menjelaskan bahwa mereka melakukan itu karena takut mendapatkan
bencana (dari kaum Quraish Mekkah) Dan Allah menjanjikan kemenangan pada Rasul-Nya
sehingga mereka menjadi menyesal
Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang
munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: Kami takut
akan mendapat bencana. Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan
(kepada Rasul-Nya), atau suatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi
menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.(QS. 5:52)
Allah membuktikan kepada kita, bahkan sampai sekarang, bukti bahwa umat Islam pada
peperangan melawan kaum Quraish Mekkah dimenangkan oleh umat Islam. Sampai
sekarang kita masih melihat bukti tersebut bahwa Mekkah sampai saat ini masih tunduk
dibawah kekuasaan Islam. Bahkan mereka menjadi salah satu umat Islam yang paling taat
bersama dengan umat Islam Madinah.
Kemudian pada ayat berikutnya;
Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan: Inikah orang-orang yang bersumpah
sungguh-sungguh dengan nama Allah, bahwasanya mereka benar-benar beserta kamu?
Rusak binasalah segala amal mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang merugi. (QS.
5:53)
Umat Islam lainnya kecewa dengan orang-orang yang mencari perlindungan kepada Yahudi
dan Nasrani dengan cara berpindah agama tersebut. Orang-orang itu dahulu bersumpah
sungguh-sungguh dengan nama Allah akan tetap berada dijalan Islam dan tetap bersama
Nabi MuhammadSAW, namun ketika umat Islam mengalami kekalahan mereka malah
meninggalkan Islam.
Kenapa pada kisah Asbabul Nuzul tersebut umat Islam yang kurang teguh imannya
tersebut memilih berlindung kepada Yahudi dan Nasrani?
Karena bagi umat Islam, agama Yahudi dan Nasrani adalah agama non Islam yang paling
dekat dengan agama Islam. Karena sama-sama merupakan agama wahyu dari sumber
yang sama (Allah SWT).
Kedekatan umat Islam dengan Nasrani terlihat ketika Nabi Muhammad SAW menyuruh
sebagian umat Islam untuk hijrah ke negeri Habasyah.
Habasyah adalah sebuah negeri di Afrika yang penduduknya beragama Nasrani dan
dipimpin oleh Ashimah an-Najasyi, seorang raja yang adil. Di wilayah kekuasaannya, tidak
ada seorang pun yang terzalimi (Sunan al-Kubr). Hal itu terbukti dari pelayanan yang
dilakukan masyarakat Habasyah kepada rombongan pertama kaum Muslim.
Bahkan saat mendengarkan ayat Al Quran yang dilantunkan oleh Jafar bin Abi Thalib, Raja
Najasyi yang beragama Nasrani menitikkan air mata membasahi jenggotnya. Dan berkata
kepada kaum Muslim.
Sesungguhnya ini dan apa yang dibawa oleh Isa adalah bersumber dari satu lentera,
katanya dengan mata yang masih sembap.
Kisah perintah Nabi Muhammad SAW hijrah ke negeri Habasyah ini juga memberi bukti
bahwa mencari perlindungan ke orang yang beragama Nasrani itu tidaklah terlarang
selama umat Islam tidak berpindah keyakinan atau berpindah agama. Dan saat tinggal di
Habasyah, umat Islam tersebut tetap melakukan kewajiban agamanya sebagai umat Islam.
Kedekatan umat Islam dengan umat Yahudi pun terlihat jelas ketika Nabi Muhammad SAW
saat ke Madinah melihat umat Yahudi berpuasa Asyura pada tanggal 10 Muharam dan
kemudian Nabi ikut melakukan puasa karena menghormati Nabi Musa AS. Dan beliau
memerintahkan umat Islam agar melakukan puasa juga. Hingga sekarang banyak umat
Islam yang melakukan puasa Asyura.
Begitu juga kisah-kisah lain banyak yang mengisahkan bahwa Nabi Muhammad SAW juga
menghormati umat Nasrani dan Yahudi khususnya kaum ahlu dzimmah (ad dzimmi) yaitu
umat non Islam (khususnya Nasrani dan Yahudi) yang tinggal di lingkungan Islam.
Jadi alasan umat Islam yang kurang teguh imannya memilih Yahudi dan Nasrani, bukannya
agama non Islam yang lainnya, dikarenakan umat Islam merasa lebih dekat dengan
Nasrani dan Yahudi karena merasa dari sumber yang sama.
Jika kita memakai arti awliya sebagai pemimpin, maka seolah-olah kita mengambil posisi
bermusuhan dengan umat Nasrani dan Yahudi.
Namun bila kita mengartikan dengan teman setia seperti yang disebutkan diatas, maka
umat Islam tidak dalam posisi bermusuhan dengan Nasrani dan Yahudi, semua dalam
batas agama masing-masing.
Apa yang dilarang oleh surat Al Maidah ayat 51?
Jadi jika kata awliya diartikan sebagaimana kisah penyebab turunnya surat Al Maidah ayat
51, yaitu :
Sebagai teman setia (tafsir departemen Agama) untuk melindungi atau menolong mereka
(friends/protector/helper Tafsir The Noble Quran)
dengan cara berpindah
agama (melebur sehingga tidak ada lagi perbedaan termasuk dalam kepribadian dan
keyakinan.-Tafsir Al Misbah)
jelaslah bahwa yang terlarang adalah menjadikan mereka sebagai teman setia (yang
sangat dekat sekali sampai tidak ada perbedaan dan keyakinan atau sampai membuat kita
berpindah agama dan meyakini agama mereka). Hal itulah yang terlarang.
Sedangkan jika hanya menjadikan teman saja tanpa meyakini keyakinan mereka
(berpindah agama) maka itu tidaklah terlarang.
Ini juga sesuai dengan surat An Nisa ayat 144 :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali
dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang
nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?
Perhatikan kata-kata menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Ini tidak
ada pertentangan dengan Al Maidah ayat 51 yang saya sebutkan. Yaitu berpindah agama.
Atau juga dengan surat Ali Imran ayat 28 :
mengeluarkan fatwa larangan merokok di pom bensin, maka tidak hanya umat Islam saja
yang taat, bahkan umat agama lainpun menaatinya.
BLACK DIAMOND
Setelah Video Ahok Diedit, Kini Keputusan Muktamar XXX NU Pun Diedit Juga
01 November 2016 13:10:5
Masih ingat video Ahok saat berkunjung di Kepulauan Seribu dalam rangka kerjasama
dengan Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta dan juga warga di Kepulauan Seribu? Video
yang diupload di Youtube oleh Pemprov DKI pada tanggal 28 September 2016 awalnya
tidak menjadi masalah bagi umat Islam.
Namun setelah ada pengeditan oleh Buni Yani dengan membuat transkrip yang
menghilangkan salah satu kata, dan dibumbui dengan kata-kata PENISTAAN TERHADAP
AGAMA? umat Islam menjadi terbelah.
Sebagian menganggap bahwa Ahok melakukan melakukan penistaan terhadap agama
Islam dan sebagian lagi mengatakan tidak. Dari sinilah umat Islam mulai bergejolak.
Beberapa orang menganggap umat Islam mulai di politisasi untuk tidak memilih salah satu
calon bahkan berupaya menjegal salah satu calon dan memuluskan jalan bagi calon
lainnya.
Politisasi umat Islam membuat umat Islam membenci umat non islam (Ahok) dan juga
membenci sesama umat Islam lainnya (yang dianggap mendukung Ahok). Tidak cuma itu
saja, umat islam juga dibuat meragukan kitab suci Al Quran dengan isu Al Quran palsu
Untuk lebih jelas mengenai politisasi umat Islam dapat dilihat di tulisan saya pada link ini
Demi mendapat dukungan dari kaum Nahdliyin (NU), Keputusan Muktamar XXX NU di
Lirboyo pun di edit.
Awalnya pada tanggal 23 Oktober 2016 salah satu pengguna twitter dengan akun
@Hamka_Kdz mengajukan pertanyaan kepada @Gus_Sholah (Salahuddin Wahid) yang
merupakan adik kandung dari Abdurrahman Wahid atau biasa dipanggil Gus Dur.
sumber : twitter.com
Pertanyaan dari @Hamka_Kdz seperti yang tertera di gambar diatas adalah :
Assalamualaikum, apa benar ini Kyai @Gus_Solah ? Terima kasih (ditambah dengan
emoticon senyum). @Hamka_Kdz melampirkan gambar tentang Hukum Memilih Pejabat
Dari Kalangan Non Muslim Keputusan Muktamar NU (Keputusan Muktamar XXX NU di
Lirboyo Tanggal 21 s/d 27 Nopember 1999). Yang isinya :
Pertanyaan
Bagaimana hukum orang Islam menguasakan urusan kenegaraan kepada orang non
Islam?
Jawaban
Umat Islam tidak boleh menguasakan urusan kenegaraan kepada orang non Islam kecuali
dalam keadaan darurat,
Pada tanggal 24 Oktober 2016 @Gus_Sholah (Salahuddin Wahid) menjawab dengan kata :
benar itu keputusan muktamar Lirboyo
sumber ; twitter.com
Tidak butuh waktu lama, pada tanggal itu juga jawaban dari Gus Sholah langsung di
Sceenshot oleh Portal Piyungan dan dijadikan berita dengan judul : Gus Sholah :
Keputusan Muktamar NU di Lirboyo Orang Islam Tidak Boleh Memilih Pemimpin Non-Islam.
Link
sumber : portapiyungan.com
Dan tidak lupa sebagai tambahan berita, portalpiyungan menuliskan kata-kata :
Keputusan/Fatwa NU sudah final sejak 1999. Jadi jangan ada lagi yang ngaku-ngaku NU,
ngaku-ngaku santri NU, malah memilih atau mengajak untuk memilih pemimpin non
muslim, atau malah menjadi Timsesnya. Naudzubillah..
sumber : portalpiyungan.com
Dan berita tersebut mulai tersebar ke berbagai portal berita lainnya, sebagian besar
mengutip langsung dari berita portal piyungan.
Jika anda mengetikkan pertanyaan dari netizen tersebut di google.com dan memulai
pencarian, maka akan muncul portal berita yang memposting berita yang mirip dengan
berita di portalpiyungan.
Bahkan ada juga beberapa portal berita yang menyalin langsung dari portal piyungan
dengan menampilkan sumber tentunya.
Dimana letak editannya, dan apa maksud dari pengeditan tersebut?
Yuk kita perhatikan lagi gambar di pertanyaan @Hamka_Kdz.
sumber : twitter
Sumber : Twitter.com
Biar lebih jelas kita perbesar gambarnya dan difokuskan pada bagian jawaban.
sumber : koleksi pribadi
Hasil perbesaran gambar.
Sumber : Koleksi pribadi
Sudah terlihatkah? Disana ada kata-kata yang dihilangkan. Diedit dengan cara dihapus.
Kalau kita jeli, kita akan melihat jejak bekas penghapusannya.
Kira-kira kata apa yang hilang? Apakah banyak atau sedikit?
Yuk kita lihat sebenarnya seperti apa gambar yang sesungguhnya.
sumber : fiqihkontemporer.com
sumber : fiqihkontemporer.com
Gambar sengaja saya potong menjadi 2 bagian agar terlihat lebih jelas.
Kalau dilihat dan dibandingkan lagi antara gambar pada pertanyaan @Hamka_Kdz dengan
gambar dari sumber aslinya ternyata ada kata yang menurut saya sengaja dihilangkan.
Kata yang dihilangkan adalah kata yaitu. Dan jika diperhatikan dengan teliti ada banyak
editan disana.
Gambar pertanyaan @Hamka_Kdz
sumber : twitter.com
Jika dilihat dari gambar diatas, atau jika kita lihat link aslinya yaitu :
http://www.fikihkontemporer.com/2014/01/hukum-memilih-pejabat-dari-kalangan-non.html
maka isi dari Keputusan tersebut adalah sebagai berikut:
-------------------------------------------------------------------------------------------Hukum Memilih Pejabat Dari Kalangan Non Muslim - Keputusan Muktamar NU
Written By siroj munir on Minggu, 22 Juni 2014 | 13.24.00
KEPUTUSAN BAHTSUL MASA'IL AL-DINIYAH AL-WAQI'IYYAH
MUKTAMAR XXX NU
DI PP. LIRBOYO KEDIRI JAWA TIMUR
TANGGAL 21 s/d 27 NOPEMBER 1999
A. Pertanyaan
Bagaimana hukum orang Islam menguasakan urusan kenegaraan kepada orang non
Islam?
B. Jawaban
Orang Islam tidak boleh menguasakan urusan kenegaraan kepada orang non Islam kecuali
dalam keadaan darurat, yaitu:
a. Dalam bidang-bidang yang tidak bisa ditangani sendiri oleh orang Islam secara langsung
atau tidak langsung karena faktor kemampuan.
b. Dalam bidang-bidang yang ada orang Islam berkemampuan untuk menangani, tetapi
terdapat indikasi kuat bahwa yang bersangkutan khianat.
c. Sepanjang penguasaan urusan kenegaraan kepada non Islam itu nyata membawa
manfaat.
Catatan: Orang non Islam yang dimaksud berasal dari kalangan ahl al-dzimmah dan harus
ada mekanisme kontrol yang efektif.
C. Dasar Pengambilan Hukum
1. Al-Quran Al-Karim
"dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk
memusnahkan orang-orang yang beriman." (QS: An-Nisaa Ayat: 141)
2. Tuhfah al-Muhtaj dan Hawasyi al-Syarwani, Juz IX, h. 72
(
)( : , . ( :
3. Hawasyi al-Syarwani, Juz IX, h. 73
4. Kanz al-Raghibin dan Hasyiyah al-Qulyubi, Jilid IV, h. 156
(
( :
--------------------------------------------------------------------------------------------
Pada kasus Buni Yani, penghilangan kata pakai dan penulisan kata-kata PENISTAAN
TERHADAP AGAMA? telah membuat umat Islam terbelah. Disadari atau tidak, selain
membenci umat beragama lain (Ahok) yang dianggap menistakan agama, juga telah
membuat sebagian umat Islam membenci umat Islam lainnya yang dianggap membela
Ahok. Dan efek lainnya juga rencana akan adanya demo besar pada tanggal 4 November
2016.
Kira-kira apa efek yang diharapkan dengan menghilangkan
Muktamar XXX NU di Lirboyo ini?
Selain membuat kebingungan warga NU, salah satu tujuan dari penghilangan ini mungkin
juga adalah ingin mengarahkan warga NU agar tidak memilih atau mengajak untuk memilih
pemimpin non- muslim atau malah menjadi Timsesnya.
Kesimpulan membuat kebingungan warga NU saya dapat dari adanya beberapa netizen
yang bingung dan langsung bertanya kepada Gus Sholah (Salahudin Wahid)
Dan kesimpulan mengarahkan agar warga NU tidak memilih atau mengajak untuk memilih
pemimpin non-muslim saya simpulkan setelah membaca berita di portal piyungan yang
disana ada kata-kata : Keputusan/Fatwa NU sudah final sejak 1999. Jadi jangan ada lagi
yang ngaku-ngaku NU, ngaku-ngaku santri NU, malah memilih atau mengajak untuk
memilih pemimpin non muslim, atau malah menjadi Timsesnya. Naudzubillah..
Namun selain dari dua efek tersebut, ternyata ada efek lain yang sengaja disembunyikan
karena akan besar sekali pengaruh perbedaannya jika dimunculkan.
Apakah efek yang sangat besar tersebut? Nanti akan kita lihat tentang efek tersebut
dibagian akhir, tentunya setelah menjelaskan satu persatu.
Namun jika di urut kronologinya mungkin sebagai berikut :
Ada Keputusan Muktamar XXX NU di Lirboyo tahun 1999 tentang Hukum Memilih Pejabat
Non-Islam
Ada pengeditan tentang Keputusan Muktamar XXX NU di Lirboyo
Ada pertanyaan kepada seseorang. Dalam hal ini penanya memilih bertanya kepada Gus
Sholah dan bukan kepada yang lainnya.
Jawaban di screenshoot dan dijadikan berita dengan ditambahi agar jangan memilih
pemimpin non muslim.
Saya tidak mengatakan bahwa @Hamka_Kdz memiliki hubungan dengan Portalpiyungan
yang seperti teman-teman kompasianer ketahui merupakan salah satu portal berita yang
mendukung PKS. Berhubungan atau tidak cuma mereka dan Allah saja yang tahu.
Portal Piyungan saya munculkan dalam tulisan saya karena ada banyak yang menshare
ulang berita dari portal piyungan tersebut.
Akun @Hamka_Kdz jika dilihat dari cuitannya di twitter sebelum bertanya kepada Gus
Sholah, dia adalah bukan pendukung Ahok.
Kenapa @Hamka_Kdz memilih bertanya tentang Keputusan Muktamar XXX NU di Lirboyo
kepada Gus Sholah dan bukan kepada salah seorang Pengurus Besar Nahdatul Utama?
Ketua Umumnya misalnya. Saya juga tidak tahu.
Bisa saja karena Gus Sholah adalah adik kandung dari Gus Dur sehingga mungkin saja
kata-katanya akan sangat berpengaruh bagi warga NU. Dan lagi Pengurus Besar Nahdatul
Ulama sdh mengambil sikap melarang warganya untuk membawa panji-panji/ bendera NU
dalam rencana demo akbar tanggal 4 November 2016.
Untuk alasan memilih Gus Sholah, mungkin cuma Hamka dan Allah SWT saja yang lebih
tahu. Atau mungkin juga ada beberapa orang yang juga tahu.
Kenapa ada upaya menghilangkan kelanjutan dari Keputusan Muktamar XXX NU di
Lirboyo?
Coba kita telaah lagi kata-kata kelanjutannya dari jawaban Keputusan Muktamar XXX NU di
Lirboyo.
Orang Islam tidak boleh menguasakan urusan kenegaraan kepada orang non Islam kecuali
dalam keadaan darurat, yaitu:
a. Dalam bidang-bidang yang tidak bisa ditangani sendiri oleh orang Islam secara langsung
atau tidak langsung karena faktor kemampuan.
b. Dalam bidang-bidang yang ada orang Islam berkemampuan untuk menangani, tetapi
terdapat indikasi kuat bahwa yang bersangkutan khianat.
c. Sepanjang penguasaan urusan kenegaraan kepada non Islam itu nyata membawa
manfaat.
Catatan: Orang non Islam yang dimaksud berasal dari kalangan ahl al-dzimmah dan harus
ada mekanisme kontrol yang efektif.
Kita bahas satu persatu, namun dalam konteks Pilkada DKI Jakarta 2017 :
Orang Islam tidak boleh menguasakan urusan kenegaraan kepada orang non Islam kecuali
dalam keadaan darurat, yaitu:
Pada poin a,
Dalam bidang-bidang yang tidak bisa ditangani sendiri oleh orang Islam secara langsung
atau tidak langsung karena faktor ketidakmampuan.
Pembahasan :
Di Pilkada DKI Jakarta 2017 ada 3 pasangan calon, 2 pasangan calon beragama Islam dan
1 pasangan calon lainnya yang salah satunya beragama non Islam (Ahok). Jika umat
Islam di DKI Jakarta menganggap bahwa 2 pasangan calon yang beragama Islam tidak
mampu, maka umat Islam diperbolehkan memilih yang non-Islam (Ahok)
Poin b,
Dalam bidang-bidang yang ada orang Islam berkemampuan untuk menangani, tetapi
terdapat indikasi kuat bahwa yang bersangkutan khianat.
Pembahasan :
Jika di Pilkada DKI Jakarta 2017 umat Islam menganggap ada diantara 2 pasangan calon
yang beragama Islam itu yang mampu namun dikhawatirkan berkhianat (misal :
menyelewengkan APBD untuk kepentingannya ataupun kepentingan kelompoknya) maka
umat Islam diperbolehkan memilih pemimpin yang non Islam (Ahok)
Poin c.
Sepanjang penguasaan urusan kenegaraan kepada non Islam itu nyata membawa
manfaat.
Pembahasan :
Jika umat Islam DKI Jakarta menganggap bahwa kepemimpinan non Islam ( Ahok) nyata
membawa manfaat, maka umat Islam diperbolehkan memilih Ahok.
Catatan :
Orang non Islam yang dimaksud berasal dari kalangan ahl al-adzhimah (non Islam
minoritas khususnya kaum Nasrani dan Yahudi yang tinggal di wilayah Islam ) dan harus
ada mekanisme kontrol yang efektif.
Yang jadi pertanyaan, apakah keadaan Pilkada DKI Jakarta 2017 sdh dalam tahap
keadaan darurat? Hal ini juga dipertanyakan oleh netizen kepada Gus Sholah dan ada 2
jawaban yang cukup menarik perhatian saya.
sumber : twitter
Pertanyaan dari akun @AbiAqyl : @Gus_Sholah @Hamka_Kdz...Gus...dan apakah dlm
memilih ahok sdh msk kategori darurat?
@Gus_Solah : sama sekali belum.
sumber : twitter.com
Pertanyaan dari @Jib_Mujib19 : Jk ragu adil, amanah & kompetennya cagub muslim, pa
blh Yai @Gus_Sholah milih cagup non muslim yang diyakini adil, amanah dan kompeten...
@Gus_Solah : Hati dan pikiran anda yang bisa dan harus menentukan, bukan orang lain.
Disinilah kearifan dan kebijaksanaan seorang Gus Sholah sebagai salah satu ulama NU
yang disegani terlihat jelas.
Pada pertanyaan pertama mengenai apakah memilih Ahok masuk dalam katagori darurat,
jawaban dari Gus Sholah adalah sama sekali belum. Dan ketika ada yang menanyakan
Jika ragu adil, amanah & kompetennya cagub muslim, apa boleh memilih cagub non
muslim yang diyakini adil, amanah dan kompeten? Gus Sholah menjawab; Hati dan
pikiran anda yang bisa dan harus menentukan, bukan orang lain.
Meskipun dalam pemikiran Gus Sholah bahwa Pilkada DKI Jakarta belum termasuk
darurat, namun ketika ada yang ragu cagub muslim untuk bisa adil, amanah dan kompeten
dan meyakini cagub non muslim adil, amanah kompeten, seorang Gus Sholah dengan
kearifan dan kebijaksanaannya sebagai seorang ulama besar NU mengatakan hal yang
sangat menyejukkan, yaitu Hati dan pikiran anda yang bisa dan harus menentukan, bukan
orang lain.
Ulama lain bisa saja marah dan memaksakan kehendaknya kepada penanya kedua sambil
mengatakan. Saya bilang belum darurat ya belum, jadi jangan memilih pemimpin non
Islam !! Atau bisa juga bilang; Kalau memilih yang non muslim berarti kamu termasuk
kaum munafik lalu melanjutkan dengan potongan ayat-ayat untuk mendukung
perkataannya sambil mengancam akan masuk neraka.
Namun itu tidak dilakukan oleh Gus Sholah, dia tetap bijak dan menyerahkan kepada hati
dan pemikiran kita sendiri dan bukan orang lain. Bukan pula menyerahkan kepada Gus
Sholah, tanyakan kepada hati nuranimu sendiri.
Intisari dari kedua jawaban itu adalah semuanya tergantung dari hati dan pemikiran kita,
bukan orang lain.
Sebab pemikiran tiap orang pasti berbeda-beda. Pendukung Anies ataupun Agus pasti
menganggap bahwa calonnya berkompeten, adil dan amanah. Dan pendukung Ahok yang
muslim mungkin merasa kandidat lain yang muslim mungkin kurang kompeten, kurang bisa
berlaku adil dan dirasa kurang amanah . Mengikut kata Gus Sholah, Hati dan pikiran anda
yang bisa dan harus menentukan, bukan orang lain.
Nah, disinilah kita bisa mengetahui inti dari pengeditan Keputusan Muktamar XXX NU di
Lirboyo tentang hukum memilih pejabat non-Islam.
Keputusan Muktamar XXX NU jika dipotong sampai kata darurat saja, maka penafsirannya
adalah ; Umat Islam dilarang memilih pejabat non Islam kecuali dalam keadaan darurat.
Stop sampai disana. Daruratnya pun membingungkan. Apakah keadaan perang? Genting,
atau apa?
Dan yang jelas umat beragama lain akan menganggap umat Islam berlaku tidak adil
kepada umat yang beragama lainnya. Padahal Rasul dan Sahabat berlaku adil kepada
umat agama lain yang hidup dilingkungan Islam (ahl al adzimah).
Dan Jika Keputusan Muktamar XXX NU dibaca secara penuh, tidak dipotong atau diedit
maka penafsirannya seperti kata Gus Sholah, Ketika betul-betul sudah tidak ada pemimpin
muslim yang punya kompetensi, tidak ada yang adil, amanah. Dan calon non muslim betulbetul adil, amanah, kompeten maka diperbolehkan memilih pejabat non muslim.
Jadi ada dua kontradiksi antara Keputusan Muktamar XXX NU yang diedit dengan yang
tidak diedit.
Yang diedit implikasinya adalah umat Islam dilarang memilih pejabat dari kalangan non
Islam.
Sedangkan jika diambil keseluruhan maka artinya adalah umat Islam boleh memilih pejabat
non Islam jika calon pemimpin yang Islam dianggap tidak bisa berlaku adil, amanah, dan
kompeten sedangkan calon pemimpin yang non Islam betul-betul adil, amanah dan
kompeten.
Kenapa ada upaya agar keseluruhan hasil Keputusan Muktamar XXX NU tidak diketahui
(disembunyikan)? Karena hasil Keputusan Muktamar XXX NU di Lirboyo dapat menjadi
acuan/pedoman/landasan bagi umat Islam untuk memilih pejabat yang beragama non
Islam. Dalam hal ini menjadi pedoman dalam memilih Ahok.
Jika umat Islam lain tahu maka akan ada banyak umat Islam yang semakin yakin kepada
Ahok karena dianggap lebih adil, amanah dan kompeten di banding calon yang lainnya.
Jawaban pertanyaan dari Gus Sholah membuktikan bahwa dia benar-benar seorang ulama
yang bijaksana.
Meskipun sempat dengan secara paksa diseret oleh salah satu pihak lewat skenario
bahwa dia seakan-akan mengajak umat Islam untuk tidak memilih calon non Islam lewat
berita screenshoot ditwitternya saat menjawab pertanyaan dengan gambar yang diedit
(seperti jebakan betmen), namun dengan kebijaksanaan dan pemikirannya mampu lolos
dan membuktikan bahwa beliau memang pantas untuk dijadikan panutan bagi kalangan
NU.
Terima kasih Gus atas pencerahannya yang sangat menyejukkan.
Buat para kandidat pasangan calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Bersainglah secara sehat. Buktikan bahwa kalian memang mampu mengalahkan calon
kandidat lain dengan pemikiran dan program-program untuk rakyat Jakarta. Jauhi cara cara
yang kurang baik. Buktikan bahwa kalian mampu berlaku adil, amanah dan berkompeten.
Buat para pendukung pasangan calon, dukunglah pasangan kalian dengan cara yang
sportif. Biarkan kandidat Anda bersaing secara sehat. Jangan malah membuat kandidat
yang anda dukung kehilangan pamornya karena ulah sebagian pendukungnya yang kurang
baik.
Buat umat Islam, jadilah umat Islam yang cerdas dalam menyikapi keadaan agar tidak bisa
dipermainkan dan dimanfaatkan oleh pihak lain untuk mencapai tujuan mereka. Untuk
pilihan dalam Pilkada, seperti perkataan Gus Sholah, Hati dan pikiran anda yang bisa dan
harus menentukan, bukan orang lain.
Salam hormat untuk semuanya tanpa kecuali
BLACK DIAMOND
Veronika Dina
12 November 2016 22:52:26 Diperbarui: 13 November 2016 01:50:46 Dibaca : 463
Komentar : 1 Nilai : 2
Ahok adalah sosok yang sangat 'dicintai' media. Apapun tentang Ahok akan menarik
perhatian media dan tak jarang jadi trending topic. Dugaan penistaan agama yang ditujukan
pada Ahok beberapa waktu lalu selalu mewarnai headline media massa, baik cetak maupun
elektronik. Media berlomba-lomba memberitakan, kebenarannya dipelintir demi
kepentingan tertentu. Ahok yang merupakan calon Gubernur DKI pada Pilgub 2017
mendatang memang menjadi sasaran empuk untuk diserang. Salah satu cara untuk
menjatuhkan Ahok dari kursi No. 1 di DKI Jakarta juga agar loyalis Ahok berkurang.
Ahok Cina, Ahok Nasrani, Ahok bukan orang Jakarta, Ahok minoritas namun dominan.
Itulah sebabnya banyak orang yang iri padanya.
Mereka yang kontra Ahok menggaungkan Ahok melakukan penistaan Agama, menyebut
Ahok kafir, memprovokasi isu-isu berbau SARA. Kebencian membuat mereka membabi
buta. Dengan demikian, kita sulit untuk melihat kedewasaan iman mereka.
Mereka bilang tak boleh menyebarkan isu SARA, tapi mereka mendiskreditkan Ahok
dengan isu-isu SARA.
Mereka bilang Ahok menistakan Al-Quran, tapi apakah mereka sudah benar-benar
mengimplementasikan nilai-nilai mulia dalam Kitab Suci itu dalam hidupnya? Apakah
mereka sudah memakai ayat-ayat suci itu dengan sebagaimana mestinya? apakah Agama
mengajarkan kebencian?
Menyerang Ahok, menuduh, atau bahkan memprovokasi orang lain untuk ikut membenci
Ahok adalah salah satu ciri ketidakdewasaan iman.
Allah Maha Pengampun, Maha Mengerti. Lantas mengapa umatnya jadi saling membenci
dan tak mau mengampuni?
Jika memang Ahok menistakan Al-Quran, manusia tidak memiliki hak untuk menghakimi.
Hal ini cukup transendental.
Jika merasa tersinggung, cobalah untuk bersabar dan berbesar hati. Biar Allah yang
bertindak dan memberi hukuman bagi yang menyebut nama-Nya dengan tidak sopan.
"Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang
menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu." (Matius 5: 39)
Intinya betapa sakitnya kita dihina, diejek, dikhianati, dicemooh, dst bersabarlah. Lapang
dada. Memaafkan dan tidak membalas. Saya yakin dalam Al-Quran pun memuat ayat-ayat
tentang kesabaran dan pengampunan.
Jangan cepat tersulut api kebencian yang dengan sesaat dapat menghancurkan kedamaian
dan persaudaraan dalam berbangsa dan bernegara.
Banyak orang menjadi saling membenci karena ketidaksepahaman isu ini. Pertemanan
menjadi renggang, satu sama lain saling menghujat. Media sosial ramai dengan umpatan
dan hujatan. Tidak hanya kepada Ahok, si kontroversial yang tetap tenang, namun juga
pada sesama pemeluk Islam. Cerdaslah dalam berpikir, bijaklah dalam bertindak. Jangan
biarkan isu ini menjadi pemecah bangsa demi kepentingan golongan tertentu.
dan lagi untuk kita, siapapun, jika belum menguasai Kitab Suci agama lain dengan baik,
jangan coba-coba mengutip atau menyebutkan ayat tertentu. Agama merupakan hal yang
sensitif untuk diperbincangkan di publik, apalagi jika yang bersangkutan bukanlah pemeluk
agama tersebut.
Jangan jadikan ayat membuat hati tersayat, apalagi harus sampai mengakhiri hayat.
Octavarian
13 November 2016 01:21:37 Diperbarui: 13 November 2016 01:39:54 Dibaca : 366
Komentar : 2 Nilai : 1
Semakin hari semakin ramai saja perbincangan tentang kasus yang menimpa Ahok yang
diduga melakukan penistaan agama. Walaupun di media elektronik dan cetak tidak terlalu
ramai jadi bahan diskusi yang mungkin disebabkan karena faktor lain seperti terpilihnya
Donald Trump sebagai presiden USA atau karena memang sudah ada pesan khusus
kepada awak media untuk ikut membantu pemerintah agar suasana yang ada sedikit
cooling down, tokh masalahnya juga sedang diproses oleh aparat hukum yang berwenang.
Kembali kepada persoalan Pilkada DKI 2017 mendatang, sejak terpilihnya Jokowi
sebagaiRI-1 maka penolakan Ahok sebagai orang yang menggantikan Jokowi sebagai
DKI-1 mulai merebak mulai dari letupan-letupan kecil sampai dengan demo massa.
Sejak Ahok memegang tampuk pimpinan DKI-1, sepertinya tiada hari tanpa berita tentang
sepak terjang Ahok mulai dari urusan sapu-sapu bersih di birokrat pemprov, debat dengan
para pengusaha nakal yang kongkalingkong dengan PNS, ribut dengan anggota DPRD,
debat dengan beberapa Menteri kabinet, lembaga negara, awak media elektronik bahkan
kadang kepada rakyat yang ngeyelpun tidak luput dari semprotannya baik konglomerat
sampai yang melarat.
Memangnya apa saja yang dipertaruhkan selama Ahok menjabat sebagai DKI-1
1. Gaya Bicara & Perilaku
Mengapa gaya & perilaku ini jadi salah satu taruhan. Sejak menjabat sebagai wagubpun
gaya dan perilaku yang diperlihatkan oleh Ahok sangat jauh berbeda dengan jokowi pada
saat itu, bagaikan langit dan bumi. Ahok benar seperti tidak mengerti kesantunan budaya
timur.
Sialnya justru yang ini malah laris manis jadi bahan pemberitaan, bahkan ditiap undangan
acara talk showpun orang lebih tertarik membahas isu ini ketimbang bahas program atau
rencana kerja.
Awalnya, sebagian besar masyarakat baik DKI maupun Indonesia cukup shock dengan apa
yang diperlihatkan oleh Ahok, orang kristen dan warga keturunan tionghoa pun ketar ketir
dengan gaya cowboy tersebut akan menimbulkan efek negatif.
Tidak disangka pula bagi lawan politik, hal yang tadinya dianggap sebagai salah satu
kekurangan yang dapat mengurangi nilai justru di mata publik mendapatkan nilai plus dan
support penuh. Bahkan ada yang mengatakan marahnya Ahok itu adalah marahnya rakyat
yang selama ini tidak tahu harus berbuat apa dan melampiaskan kepada siapa.
Taruhan ini dimenangkan oleh Ahok.
2. Integritas, Kejujuran, Konsistensi & Transparansi
Taruhan kali ini rasanya bagi sebagian pejabat merupakan tantangan sendiri yang dapat
dikatakan cukup berat. Bagaimana tidak, yang harus dilakukan kadang kala harus
bertabrakan dengan hampir dengan semua pihak.
Salah satu yang cukup membuat masyarakat terhenyak adalah ketika partai Gerindra
bersikap untuk memberikan dukungan terhadap rancangan undang-undang pemilihan
kepala daerah dikembalikan seperti dahulu yaitu dipilih melalui wakil rakyat. Apa yang
dilakukan Ahok kemudian dalam merespon juga membuat heboh berbagai pihak yaitu
dengan keluar dari keanggotaan partai. Langkah inipun menuai banyak pujian maupun
cercaan dari pihak-pihak yang berkepentingan karena disatu sisi Ahok dianggap tidak tau
balas budi kepada partai yang ikut membesarkannya, disisi lain orang memuji langkah Ahok
karena membuktikan karakter dan ucapannya bukan sekedar omong kosong.
Hal lain yang membuat kuping menjadi merah adalah tantangan Ahok kepada pejabat
ataupun politikus yang mengkritik dirinya terkait isu suap dan lain sebagainya, Ahok
menantang untuk buka-bukaan soal harta dengan menggunakan pembuktian terbalik yang
tentu saja kita sama tau itu pekerjaan sulit atau bahkan bisa dikatakan tidak ada pejabat di
Republik ini yang berani menjawab tantangan semacam itu. Yang ada malah dalam
beberapa kasus ujungnya justru lawan politiknya yang terjerat hukum entah tertangkap
tangan, terbukti manipulasi dan bahkan secara konyol memamerkan barang mewahnya ke
publik.
Mungkin untuk taruhan apakah di pilgub 2017 akan tetap maju secara independen atau
parpol, rasanya di kasus ini saja Ahok kalah walau akhirnya bisa kita dengar juga alasan
logis mengapa akhirnya Ahok maju melalui jalur parpol.
Masih banyak hal yang dapat diungkap terkait dengan taruhan jenis diatas, tetapi
sepanjang kita dengar dan kita ketahui untuk taruhan jenis ini secara umum dimenangkan
Ahok, kalau pertandingan sepak bola bisa dibilang menang 3 - 1
3. Program Kerja dan Janji Kampanye
Tidak mudah mewujudkan semua program kerja serta janji yang pernah diucapkan pada
saat kampanye dengan waktu yang relatif pendek, rintangan yang tidak sedikit baik dari
birokrat pemprov sendiri maupun yang datang juga dari yang seharusnya menjadi rekan
kerja pemerintah dalam hal ini DPRD.
Bukan perkara mudah untuk tetap fokus menuntaskan semua program kerja tapi sambil
direcokin disana sini dengan tujuan agar semua program yang dijanjikan selama kampanye
menjadi tidak sempurna bahkan kalau perlu gagal total.
Hanya dengan kerja keras dan turun tangan langsung dalam memimpin setiap program
maka hasilnya sedikit demi sedikit mulai menunjukkan hasil dan dapat langsung dirasakan
oleh warga.
Suka tidak suka program-program yang dicanangkan dapat dilihat hasilnya secara nyata
dan dapat dilihat perbedaan sebelum dan sesudahnya.
Untuk taruhan ini sepertinya tidak akan ada yang menampik jika dikatakan Ahok
memenangkannya
4. Benturan dengan rasa keadilan
Dalam melaksanakan program kerja, tidak tertutup kemungkinan sebagian warga akan
terimbas baik positif maupun negatif, kalau yang kena imbas positif akan bersyukur akan
tetapi yang terkena imbas negatif sudah pasti responnya adalah perlawanan.
Beberapa kasus yang paling mengemuka selama Ahok memimpin dan paling banyak
menyita perhatian adalah masalah relokasi warga dari tanah negara ke rusunawa. Bagi
pejabat lain, mungkin menghadapi satu lokasi relokasi warga saja sudah cukup
memusingkan, tapi bagi Ahok justru program relokasi warga ini terjadi untuk beberapa
lokasi sekaligus secara berkesinambungan sesuai ketersediaan rusunawa. Bisa
dibayangkan betapa ramainya media cetak dan elektronik dipenuhi berita seperti ini, belum
lagi beberapa oknum pejabat, politisi maupun lembaga masyarakat ikut campur
meramaikan.
Terus terang, program yang tidak populer ini seharusnya membuat citra Gubernur merosot
tajam, yang terjadi adalah sebagian warga merasa apa yang dilakukan Gubernur sudah
benar demi untuk kemajuan ibukota dan sebagian warga yang terkena relokasipun tidak
dibiarkan merana karena mereka diberikan full facility mulai dari kelengkapan tempat
tinggal dan isi serta benefit lainnya sebagai warga seperti KK, KJP dan KJS.
Beberapa oknum politisi dan lembaga masyarakat boleh saja punya nada miring atas hal
ini, tapi berdasarkan respon warga secara umum akhirnya Ahok memenangkan
pertarungan ini.
5. SARA
Setelah semua cara yang ditempuh hampir tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan
akhirnya dikeluarkanlah senjata pamungkas untuk menjegal laju dari Ahok. Dan untuk
kesekian kalinya jika ini yang dijadikan taruhan makan risikonya juga besar.
Untuk taruhan sebelum ini, siapa saja bisa menang tergantung bagaimana dalam
memainkan peran dan memberikan hasil, baik itu hasilnya berupa pencitraan atau hasilnya
asli karena pemakailah yang akan menguji dan menikmati hasilnya.
Tapi untuk yang satu ini apa hendak dikata, Ahok tidak minta dilahirkan sebagai keturunan
Tionghoa, dan sejak kecil dia sudah kristen dan ketika dewasapun tetap memutuskan
sebagai kristen. Di awal posisinya masih terbilang aman, akan tetapi bagai menunggu
durian runtuh saja maka begitu ada yang memelintir hal yang sensitif ini maka peluang
menjatuhkan citra Ahok terbuka luas. Nah inilah yang dimainkan sebagai taruhan terakhir
dan sampai saat ini masih berlangsung.
Bagaimana hasil akhirnya, biarlah proses hukum yang akan menentukan. Akan tetapi
melihat perjudian dengan faktor SARA sebagai taruhan rasanya tidak pantas
dipertontonkan kepada masyarakat luas, mengapa demikian ? satu saja jawabannya yaitu
dalam dunia ini apresiasi diberikan kepada orang yang mempunyai kinerja baik dan
memberikan kontribusi bukan karena apa warna kulit, suku dan kepercayaannya.
Jika Ahok lolos maka bisa dibayangkan reaksi yang akan terjadi, akan ada sebagian
masyarakat yang tidak terima dengan keputusan tersebut. Jika tidak lolospun sebagian lain
akan melakukan perlawanan. Dari beberapa pantauan di sosmed dan media pihak yang
setuju Ahok tidak bersalah dan bersalah tidak lagi terbagi kepada minoritas ataupun
mayoritas, bahkan dalam satu agamapun perbedaan sikap itu sudah mulai muncul dan
semakin hari semakin tajam. Itu sebabnya penulis katakan taruhan kali ini sangat besar
dampaknya, karena siapapun yang memenangkan taruhan ini maka pihak yang lain akan
memiliki luka yang sulit sembuh atau kalaupun sembuh akan memerlukan waktu yang
cukup lama.
Kedepan kiranya taruhan yang model begini jangan lagi terulang, cukup sudah kita melihat
runtuhnya suatu bangsa karena perpecahan yang terjadi bukan dari luar akan tetapi
disebabkan dari dalam negeri sendiri yang dilakukan oleh oknum segelintir orang ataupun
kelompok yang mempunyai kepentingan tertentu. Untuk taruhan jenis ini, baik yang
menang ataupun yang kalah akan sama-sama menderita kerugian yang kadang tak
terperkirakan sebelumnya, secara gamblang rakyat banyaklah yang akan menanggung
kerugian besar dan hanya sekelompok elit tertentu saja yang menangguk untung. Pilihan itu
sekarang ada di tangan kita bersama.
Salam Persatuan dan Jayalah Indonesiaku
29 Oktober 2016 14:41:12 Diperbarui: 30 Oktober 2016 11:47:52 Dibaca : Komentar : Nilai
:
sumber foto : Youtube.com
Hampir semua orang tahu bahwa umat Islam di Indonesia adalah mayoritas.Tidak
terkecuali di DKI Jakarta. Itu sebabnya banyak partai politik di Indonesia yang tergiur untuk
memanfaatkan banyaknya umat Islam di Indonesia. Sebab dalam pemilihan umum ataupun
pilkada, satu suara saja sangat berarti. Apalagi jika mampu mendapatkan suara mayoritas
(umat Islam) ini bisa saja memenangkan partainya dalam pemilihan tersebut.
Upaya penggiringan umat Islam ke dalam pusaran politik di Pilkada DKI Jakarta sudah
mulai dirasakan banyak orang. Umat Islam sendiri sebaiknya sudah mulai cerdas agar tidak
terseret arus politik Pilkada DKI dan tidak mudah dimanfaatkan oleh salah satu pihak
peserta Pilkada DKI Jakarta.
Seperti yang kita ketahui, pada Pilkada DKI Jakarta 2017 terdapat 3 pasangan calon
Gubernur dan Wakil Gubernur.Pasangan itu adalah Ahok-Djarot yang di usung oleh PDIP,
Nasdem, Golkar dan Hanura atau berjumlah 52 kursi di DPRD. Pasangan kedua, Agus
Harimurti dan Sylviana Murni yang diusung oleh Partai Demokrat, PPP, PAN, dan PKB yang
mempunyai jumlah 28 kursi di DPRD. Pasangan ketiga Anies Baswedan dan Sandiaga Uno
yang di usung oleh partai Gerindra dan PKS memiliki jumlah 26 kursi di DPRD.
Tafsir Surat Al Maidah ayat 51
Penggiringan umat Islam ke dalam pusaran politik Pilkada DKI kalau boleh di urutkan
sebenarnya dimulai dari pembentukan opini tentang surat Al Maidah yang ditafsirkan oleh
sebagian pihak sebagai ayat yang mengatur umat Islam dalam memilih pemimpin.
Seperti yang diungkapkan Nusron Wahid dalam Indonesia Lawyer Club tanggal 11 Oktober
2016 yang ditayangkan salah satu stasiun televisi bahwa, banyak upaya penggiringan opini
yang berkembang di masyarakat dengan menggunakan surat Almaidah ayat 51 untuk
menjegal salah satu pasangan calon.
Tidak cuma Nusron Wahid, banyak juga yang mengamini bahwa ada banyak sekali orangorang yang menggunakan surat Al Maidah ayat 51 untuk membuat umat Islam tidak
memilih calon yang beragama Nasrani ataupun Yahudi. Bahkan ada yang mengatakan
haram hukumnya memilih pemimpin yang beragama Nasrani ataupun Yahudi. Mereka
memaksakan bahwa arti AWLIYA pada surat Almaidah ayat 51 adalah pemimpin. Padahal
Kementrian Agama Republik Indonesia sudah melakukan revisi pada tahun 2002 dan
mengganti kata pemimpin menjadi teman setia.
Untuk pembahasan pada bagian ini nanti akan dijelaskan lebih rinci pada bagian akhir.
Pidato Gubernur DKI Jakarta pada tanggal 27 September 2016 di Kepulauan Seribu.
Sumber : Youtube.com
Penggiringan umat Islam dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 makin kentara ketika ada pidato
Gubernur DKI Jakarta pada tanggal 27 September 2016 di Kepulauan Seribu dimana pada
kesempatan tersebut ada perkataan Ahok yang menyinggung Surat Al Maidah.
Pidato yang juga di upload di Youtube oleh Pemprov DKI pada tanggal 28 September 2017
dengan judul : 27 Sept 2016 Gub Basuki T. Purnama Kunjungan Ke Kep.Seribu dlm
rangka Kerja sama dgn STP awalnya tidak menjadi masalah yang besar bagi umat Islam.
Link :https://www.youtube.com/watch?v=Eka3WM3zsDA
6 Oktober 2016 Akun Facebok Buni Yani mengupload potongan video dengan
menambahkan transkrip yang menghilangkan salah satu kata.
Sumber :http://www.beritateratas.com
Pada tanggal 6 Oktober 2016, tepatnya setelah 9 hari dari pidato Ahok di Kepulauan
Seribu, atau 8 hari setelah Pemprov DKI mengupload di Youtube, Akun Buni Yani
mengupload potongan video Pemprov DKI tersebut dengan menambahkan trasnkrip yang
menghilangkan salah satu kata. Kata-kata dibohongi pakai surat Al Maidah 51 dirubah
menjadi dibohongi Surat Al Maidah 51.
Jagad media sosial langsung heboh, dan menjadi viral.Umat Islam terpecah menjadi 2
karena dengan menghilangnya kata pakai bisa berubah artinya. Karena jika kata-katanya
dibohongi pakai surat Al Maidah 51, artinya adalah ada orang yang membohongi orang
lain dengan menggunakan surat Al Maidah ayat 51. Artinya orangnya yang berbohong dan
bukan Surat Al Maidah nya yang berbohong.Sedangkan jika kata pakainya dihilangkan
menjadi dibohongi Surat Al Maidah 51 artinya bahwa yang dianggap berbohong adalah
Surat Al Maidahnya.
Tak heran karena dihilangkannya salah satu kata tersebut umat Islam terpecah. Salah satu
pihak menganggap Ahok menghina kitab suci Al Quran. Sedangkan pihak lain
menganggap bahwa Ahok tidak menghina kitab suci Al Quran, tetapi menyalahkan orang
yang menggunakan ayat Al Quran untuk membohongi orang lain.
Perpecahan umat Islam makin terlihat jelas di media sosial, masing-masing pihak berusaha
mempertahankan pendapatnya.Bahkan ada yang sampai mengkafirkan orang Islam lainnya
hanya karena tidak sependapat dengan pemikirannya.
7 Oktober 2016 Kotak Adja melaporkan pemilik akun Facebook BY ke Polda Metro Jaya.
"Kami hari ini resmi melaporkan pemilik akun Facebook BY di Polda Metro Jaya," ujar
Ketua Kotak Adja Muannas Alaidid, di Mapolda Metro Jaya, Jumat (7/10).
Dikatakannya, pelaku diduga salah menafsirkan tayangan video Basuki ketika berkunjung
ke Pulau Seribu, sehingga membuat persepsi dan intepretasi yang bias.
"Kami mencermati perkembangan seputar beredarnya video terkait pasangan calon AhokDjarot, yang kemudian memicu menjadi polemik di masyarakat.Kita kemudian mengurut
peristiwa itu dari mana.Hasil investigasi kita menemukan, bahwa ini bermula dari akun
Facebook BY," ungkapnya.
Ia mengungkapkan, setelah ditelusuri ternyata pemilik akun diduga pendukung salah satu
pasangan calon. Karena yang bersangkutan pernah membuat free formulir register salah
satu pasangan calon. Link :http://www.beritasatu.com/megapolitan/391306-potong-videoahok-pemilik-akun-facebook-buni-yani-dilaporkan.html
Ketua Umum Basuki Tjahaja Purnama Mania atau BATMAN, Immanuel Ebenezer,
menyebut Buni Yani merupakan pendukung Anies Baswedan-Sandiaga Uno.Buni Yani
diduga terkait kisruh Surat Al Maidah ayat 51.
"Buni Yani ternyata adalah salah satu dari pendukung pasangan Anies Baswedan dan
Sandiaga Uno, yang kita ketahui dalam setiap pernyataannya, Anies selalu meminta
pendukungnya agar tidak melakukan kampanye SARA," kata Immanuel Ebenezer dalam
keterangannya, Senin (10/10/2016).
Immanuel Ebenezer mempertanyakan konsistensi Anies Baswedan, dan mengharapkan
pihak kepolisian untuk segera menetapkan Buni Yani sebagai tersangka.
Link
:http://wartakota.tribunnews.com/2016/10/11/pendukung-ahok-sebut-buni-yanipendukung-anies-sandiaga
Seperti diketahui, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno adalah pasangan calon yang di
dukung oleh Gerindra dan PKS.
10 Oktober 2016 Ahok meminta maaf kepada semua umat Islam atau orang yang merasa
tersinggung.
Bakal calon petahana Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama akhirnya meminta
maaf kepada seluruh umat Islam atas dugaan penistaan agama. Ahok, sapaan Basuki,
mengaku tak bermaksud melecehkan dengan mengutip salah satu ayat dalam Surat Al
Maidah ayat 51.
"Yang pasti saya sampaikan kepada semua umat Islam, ataupun orang yang merasa
tersinggung, saya sampaikan mohon maaf.Tidak ada maksud saya melecehkan agama
Islam ataupun Al Quran," kata Ahok di Balai Kota, Jakarta, Senin (10/10).
Ahok menuturkan, dia tidak anti-Islam.Selama menjabat sebagai Gubernur DKI, dia tak
pernah menunjukkan diskriminasi terhadap umat Islam. Hal itu ditunjukkan dengan
memberi izin kepada sekolah islam, pemberian Kartu Jakarta Pintar untuk madrasah, dan
membangun masjid.
"Kamu bisa lihat tindak tanduk saya, ada enggak mau musuhin Islam. Makanya saya minta
maaf untuk kegaduhan ini," ujar Ahok.
Link
:http://www.cnnindonesia.com/politik/20161010133557-32-164393/ahok-minta-maafsoal-surat-al-maidah/
Buni Yani buat status sindiran dengan bahasa Inggris terkait permintaan maaf Ahok
Sumber foto : okterus.com
Status dari Buni Yani itu kurang lebih jika diterjemahkan adalah sebagai berikut :
SETELAH PERMINTAAN MAAF
Masyarakat sedang menanti tanggapan dari orang-orang intelektual dibalik Gubernur usai
permohonan maaf diucapkan.
Sebelum meminta maaf, mereka punya pendapat kalau pesan di dalam video tak punya isi
penistaan terhadap agama.
Link
:http://www.okterus.com/11284-ahok-minta-maaf-buni-yani-buat-status-sindiranberbahasa-inggris
Kalau dicermati, permintaan maaf dari Gubernur DKI (Ahok) bukan karena dia mengakui
telah melakukan penistaan agama. Karena dari kata-katanya jelas bahwa .Tidak ada
maksud saya melecehkan agama Islam ataupun Al Quran Ahok meminta maaf karena
kata-katanya telah membuat sebagian orang tersinggung dan telah menjadi kegaduhan.
(lihat kembali permintaan maaf Ahok).
dia menekankan bahwa yang mengetahui hal yang sebenarnya hanyalah Allah dan
Rasulnya. Nusron juga mengatakan bahwa arti AWLIYA itu cuma di Indonesia saja yang
mengartikan PEMIMPIN, sedangkan di Negara lain artinya bukan pemimpin.
Video Ustad Yusuf Mansur yang berlinang air mata melihat Nusron Wahid Melotot
Pembelaan Nusron Wahid terhadap dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubernur
Basuki Tjahaja Purnama disayangkan dai kondang Ustad Yusuf Mansur.
Ustad YM-sapaannya- bahkan menangis sesegukan begitu tahu Nusron terkesan
merendahkan para ulama dalam sebuah diskusi di salah satu stasiun televisi swasta Selasa
(11/10) malam.
Dalam video yang beredar di Youtube, Ustad Yusuf Mansur terpukul lantaran para ulama
diperlakukan secara tidak hormat. Dia juga menitikan air mata sambil memberikan pesan
kepada seluruh umat muslim di Indonesia.
"Kepada anak-anak Indonesia, para remaja.Jangan, jangan ditiru melotot-melotot ke
ulama.Sesalah-salahnya ulama itu, sebenar-benarnya kita.Yang suka maki-maki orang,
yang suka ngomong goblok, jangan ditiru," ujar dia dengan mata berkaca-kaca.
Di kesempatan itu, pria yang dikenal sebagai penulis buku ini menegaskan bahwa ulama
pun tak lepas dari kesalahan.
"Ustad juga banyak salahnya.Banyak dosanya.Tiru yang baik-baiknya.Gak ada orang yang
gak punya keburukan,"pungkas dia.
Link
:http://www.jawapos.com/read/2016/10/13/57058/ustad-yusuf-mansur-menangisnusron-wahid-pelototi-ulamaDalam video tersebut, Ustad YM menganggap Nusron bersikap tidak sopan kepada ulama
karena berbicara sambil melotot melotot. Namun yang jadi perbincangan lain selain
melotot adalah kata-kata Sesalah-salahnya ulama itu sebenar-benarnya kita.
Jujur saja kata-kata ini juga menjadi pertanyaan saya, apakah yang dimaksud dengan
sesalah-salahnya ulama adalah sebenar-benarnya kita Apakah artinya adalah ulama
selalu benar? (seperti aturan ospek, senior selalu benar). Bagaimana dengan ulama yang
terlibat kasus? Apakah dia tidak boleh dikatakan salah? Karena sesalah-salahnya ulama
adalah sebenar-benarnya kita?
Kata-kata ini makin membingungkan jika dibalik sebenar-benarnya kita adalah sesalahsalahnya Ulama? Makin bingungkan? Karena kita sepertinya meskipun kita benar akan
selalu salah. Seperti curhatan seorang lelaki yang selalu salah di mata perempuan, ternyata
dia baru nyadar kalau dia jg selalu salah dimata ulama. Xixixi
Tentu saja kita bisa menafsirkan apa saja tentang ucapan Ustad YM, namun yang paling
tahu arti dari perkataan Ustad YM ya pastinya cuma dia dan Allah SWT saja.
Tadinya saya berharap ada bantahan terhadap kata-kata Nusron Wahid dengan argumen
yang cerdas. Sehingga kita dapat menilai siapakah yang benar. Namun saya kecewa
karena ternyata bukannya membantah, namun dibelokkan ke wajah Nusron yang
memang mempunyai bola mata besar sehingga terkesan melotot.
Dari sini mulai lah sepertinya Nusron Wahid menjadi musuh bersama bagi sebagian
kelompok, karena dianggap membela orang yang diduga menistakan agama Islam.
Bahkan bukan hanya Nusron Wahid saja, di media sosial, orang yang dianggap membela
Ahok langsung di cap kafir ataupun munafik oleh beberapa penentang Ahok.
Nusron ke Yusuf Mansur : Saya Tidak Melotot ke Ulama, Beginilah Wajah Saya
Nusron Wahid merespons pernyataan ustadz Yusuf Mansur yang mengingatkan agar anak
Indonesia tidak bersikap kurang ajar terhadap ulama. Nusron menuturkan dirinya tak
pernah melotot kepada para ulama, namun memang begitu gayanya dalam berdiskusi.
"Maturnuwun ustadz Yusuf Mansur. Saya tidak melotot-melotot kepada ulama. Kalau saya
ngomong ya memang begini. Saya menghormati ulama, ilmu dan kealiman," kata Nusron
saat berbincang dengan detikcom, Rabu (12/10/2016).
"Tapi ya memang beginilah saya dilahirkan dengan wajah seperti ini. Kalau ngomong
kelihatan melotot. Tidak ganteng seperti antum. Ya inilah saya memang marah melihat
keadaan NKRI yang terganggu dengan pemahaman ayat yang sempit. Sebagaimana kyai
dan guru-guru saya juga marah. Semoga antum mahfum. Sebagian kyai dan guru-guru
saya juga marah Indonesia diganggu seperti ini," katanya
Link :http://news.detik.com/berita/d-3318675/nusron-ke-yusuf-mansur-saya-tidak-melototke-ulama-beginilah-wajah-saya
Saat banyak orang mulai menyerang Nusron Wahid, (bahkan bukan hanya Nusron, di
media sosial, semua umat Islam yang dianggap membela Ahok di cap kafir ataupun
munafik oleh penentang Ahok), saya pernah berbincang dengan teman saya, kira kira
apalagi yang akan terjadi. Awalnya sebagian umat Islam (tidak semua umat Islam) dibuat
menyerang orang yang non Islam (Ahok) dan kemudian dibuat umat Islam menyerang umat
Islam lainnya (Nusron Wahid dan juga umat Islam lain yang berseberangan pendapat
dengan mereka). Padahal mereka tahu kalau yang mereka serang juga beragama Islam.
Saya sempat berfikir, kira-kira hal apa lagi yang akan terjadi. Apakah makin besar ataukah
mulai mengecil. Kalau makin membesar, kira-kira apakah yang lebih besar dari membuat
umat Islam memusuhi umat Islam yang lainnya?
Pertanyaan saya ternyata tidak butuh waktu lama, karena tidak lama kemudian umat Islam
dihebohkan oleh Al Quran yang dianggap palsu hanya karena terjemahan AWLIYA pada
surat Al Maidah ayat 51 bukan berarti Pemimpin. Saya baru menyadari, yang lebih besar
dari memusuhi sesama muslim adalah membuat umat Islam meragukan kitab sucinya.
Awalnya membuat umat Islam memusuhi non Islam, lalu membuat umat Islam memusuhi
sesama umat Islam dan kemudian membuat umat Islam meragukan kitab sucinya. Begitu
dasyatkah pertarungan di PILKADA DKI Jakarta 2017 sehingga umat Islam banyak yang
terseret arus pusaran politik Pilkada DKI Jakarta?
:https://www.kemenag.go.id/berita/417806/soal-terjemahan-awliy-sebagai-teman-setia-inipenjelasan-kemenag
Terjemahan Al-Quran Kemenag, lanjut Muchlis, pertama kali terbit
perkembangannya, terjemahan ini telah mengalami dua kali
penyempurnaan, yaitu pada tahun 1989-1990 dan 1998-2002.
penyempurnaan itu dilakukan oleh para ulama dan ahli di
Kementerian Agama bertindak sebagai fasilitator.
Kalau mencerna penjelasan dari Kementrian Agama Republik Indonesia, kata awliya
diartikan pemimpin adalah tafsir Al Quran periode sebelum tahun 2002. Pada tahun 2002
dilakukan revisi/perbaikan yang mengubah arti awliya dari yang artinya pemimpin menjadi
teman setia. Yang melakukan proses perbaikan dan penyempurnaan adalah para ulama
dan ahli dibidangnya.
Yang namanya revisi/perbaikan/penyempurnaan, pasti dianggap lebih baik dari
sebelumnya. Ini artinya kata pemimpin dianggap kurang cocok sehingga diganti dengan
teman setia.
Saya ingin mengutip salah satu kata-kata dari Pgs. Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf AlQuran (LPMQ) Kemenag Muchlis M Hanafi bahwa, terjemahan Al-Quran bukanlah AlQuran. Terjemahan adalah hasil pemahaman seorang penerjemah terhadap Al-Quran. Oleh
karenanya, sebagian ulama berkeberatan dengan istilah terjemahan Al-Quran. Mereka lebih
senang menyebutnya dengan terjemahan makna Al-Quran.
Menurut Muchlis, terbitan terjemah Al-Quran dapat menjadi sarana bagi masyarakat untuk
memahami isi kandungan ayat suci. Namun, ia mengingatkan, dalam memahami ayat-ayat
Al-Quran, hendaknya tidak hanya mengandalkan terjemahan, tetapi juga melalui penjelasan
ulama dalam kitab-kitab tafsir dan lainnya.
Lalu siapakah pemilik akun @TofaLemon yang menyebarkan informasi Al Quran palsu
tersebut?
Dari hasil pencarian di internet didapat bahwa pemilik akun @TofaLemon adalah Mustofa
Nara, seorang caleg gagal dari PKS. Akun ini juga pernah bermasalah dengan GP Anshor
karena cuitannya di twitter dianggap menghina istri mantan Presiden RI KH. Abdurrahman
Wahid, Nyai Sinta Nuriyah. Link :http://beritakurasi.com/2016/06/18/ketua-umum-gp-ansorancam-netizen-penghina-istri-gus-dur/
Lalu kira-kira apa maksud akun Mustofa Nara melemparkan isu Al Quran palsu tersebut?
Kalau memang akun @TofaLemon adalah Mustofa Nara seperti yang dimaksud, rasanya
tidak mungkin beliau tidak tahu mengenai terjemahan Al Quran bukanlah Al Quran. Dan arti
awliya bukanlah secara pasti adalah pemimpin. Karena terjemahan Al Quran di negara lain
pun artinya bukan pemimpin.
Kalau memang dia tahu namun melontarkan isu Al Quran palsu, ada beberapa
kemungkinan. Kemungkinan pertama dia ingin membuat umat Islam bingung dengan kitab
sucinya. Kemungkinan kedua adalah ingin mempertahankan kata Awliya diartikan sebagai
pemimpin agar bisa menggunakan ayat tersebut demi kepentingan kelompoknya. Itu
sebabnya dia menganggap bahwa terjemahan Al Quran mengenai awliya pada surat Al
Maidah 51yang artinya bukan pemimpin adalah Al Quran palsu.
Umat Islam Indonesia harus cerdas agar tidak mudah dipermainkan oleh pihak lain.
Seperti yang diutarakan sebelumnya, umat Islam di Indonesia adalah mayoritas. Banyak
partai politik di Indonesia yang tergiur untuk memanfaatkan banyaknya umat Islam di
Indonesia untuk mengumpulkan suaranya guna pemenangan jagoannya di Pilkada.
Pada Pilkada DKI Jakarta 2017 ini umat Islam sudah mulai dipolitisir untuk pemenangan
salah satu kandidat ataupun penjegalan kandidat yang lain.
Politisasi umat Islam dimulai dari penggiringan opini dengan membuat seolah-olah surat Al
Maidah ayat 51 mengatur tentang pemilihan pemimpin. Padahal jelas-jelas ayat tersebut
bukanlah tentang pemilihan pemimpin.
Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa ayat ini tentang kejadian perang Uhud, yang
mana pada waktu itu umat Islam kalah perang melawan pasukan Quraish Mekkah. Ada
sebagian umat Islam yang kurang teguh imannya (ada penyakit dalam hatinya) mencoba
mencari teman / perlindungan / pertolongan kepada suku yang beragama Nasrani ataupun
Yahudi agar tidak mendapat bencana dari pasukan Quraish Mekkah.
Maka turunlah surat Al Maidah ayat 51-53 yang melarang umat Islam (yang waktu itu kalah
perang) mencari awliya (teman, pelindung, penolong) pada kaum Nasrani ataupun Yahudi.
Karena mereka (kaum Nasrani dan Yahudi) pasti juga akan menjadi awliya
(teman/pelindung/penolong) bagi kelompoknya sendiri. Dengan kata lain kaum Nasrani dan
Yahudi pasti akan melindungi kelompoknya sendiri ketimbang melindungi pasukan Islam
tersebut. (lihat terjemahan makna Al Quran surat Al Maidah ayat 51,52,53)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi wali (kalian); sebahagian mereka adalah wali bagi sebahagian yang lain.
Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang
itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orangorang yang zalim. (QS. 5:51) Maka kami akan melihat orang-orang yang ada penyakit
dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani),
seraya berkata: Kami takut akan mendapat bencana. Mudah-mudahan Allah akan
mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau suatu keputusan dari sisi-Nya.
Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam
diri mereka. (QS. 5:52) Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan: Inikah orangorang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Allah, bahwasanya mereka benarbenar beserta kamu? Rusak binasalah segala amal mereka, lalu mereka menjadi orangorang yang merugi. (QS. 5:53) (al-Maa-idah: 51-53)
Link : http://www.ibnukatsironline.com/2015/05/tafsir-surat-al-maidah-ayat-51-53_5.html
Itu sebabnya pada Al Quran (The Noble Quran) terbitan Kerajaan Arab Saudi: King Fahd
Complex, For The Printing of The Holy Quran PO Box No 262, Madinah Munawarrah,
K.S.A, 1426 H. arti AWLIYA adalah teman/pelindung/penolong (friends. protector, helpers)
dan bukan pemimpin.
Terjemahan Al Maidah 51 menurut The Noble Qur'an.
"O You who believe! take not the Jews and Christians as Auliya'(friends. protector, helpers),
they are but Auliya', then surely he is one of them. Verily, Allah Guides not those people who
ara the Zalimin(polytheist and wrong-doers and njust)."
(The Noble Quran, English Translation of the meaning and comentary) terbitan Kerajaan
Arab Saudi: King Fahd Complex, For The Printing of The Holy Quran PO Box No 262,
Madinah Munawarrah, K.S.A, 1426 H.
Pemaksaan kehendak bahwa terjemahan awliya adalah pemimpin membuktikan bahwa
ada maksud tertentu. Meskipun kata-kata terjemahan awliya sebagai pemimpin sudah di
revisi oleh para ulama dan para ahli dengan difasilitasi oleh Kementrian Agama RI pada
tahun 2002 menjadi teman setia, namun tetap saja mereka ngotot mempertahankan arti
kata awliya adalah pemimpin. Bahkan ada penggiringan isu untuk membuat seolah-olah
terjemahan kata awliya selain pemimpin adalah Al Quran palsu.
Mengapa mereka ngotot memaksakan diri bahwa arti kata awliya adalah pemimpin?
Padahal sudah direvisi oleh para ulama dan para ahli? Karena jika kata awliya sudah bukan
lagi berarti pemimpin, maka selesailah sudah. Mereka tidak bisa lagi memanfaatkan umat
Islam untuk menjegal pemimpin yang beragama lain.
Penggunaan ayat ini yang dimanfaatkan untuk pemilihan pemimpin bisa memicu
permusuhan dengan agama lain yang merasa tidak terima calonnya dijegal dengan
memanfaatkan ayat dari kitab suci.
Pidato Ahok yang mencoba memberitahu bahwa ada orang yang mencoba membohongi
dengan menggunakan surat Al Maidah 51 di pelintir seolah-olah Ahok memberitahu bahwa
surat Al Maidah ayat 51 lah yang berbohong.
Pada tahap ini dimulailah upaya penjegalan Ahok agar tidak dapat menjadi Gubernur lagi.
Kelompok yang berseberangan dengan Ahok berharap Ahok di hukum. Sehingga jika Ahok
dihukum (penjara) maka dengan mudah mereka meminta agar KPUD mendiskualifikasi
Ahok dari perebutan kursi Gubernur.
Upaya penjegalan Ahok dengan memanfaatkan umat Islam jika dilihat dari kejadiankejadian diatas bisa disimpulkan dimulai dari :
Penggiringan opini bahwa surat Al Maidah ayat 51 adalah ayat tentang pemilihan
pemimpin.
Kemudian dilanjut dengan melemparkan tuduhan kalau Ahok telah menistakan agama
Islam.
Selanjutnya menggiring opini bahwa pembela ahok adalah kaum munafik bahkan kafir
meskipun yang membela adalah umat islam juga.
Dilanjutkan dengan membangun opini bahwa terjemahan awliya pada surat Almaidah ayat
51 adalah pasti pemimpin, selain itu adalah palsu.
Rencana demo besar menuntut pengusutan atas dugaan penistaan agama oleh Ahok.
Selanjutnya bisa ditebak, mengupayakan agar Ahok dipenjara, kemudian mengupayakan
agar Ahok di diskualifikasi oleh KPUD sehingga tercapailah tujuan mereka yaitu menjegal
salah satu calon dan melapangkan jalan calon yang lainnya dengan memanfaatkan umat
Islam yang mayoritas.
Umat Islam harus cerdas. Jangan mudah dihasut dan dimanfaatkan oleh orang lain
ataupun kelompok lain demi mencapai tujuan kelompok tersebut. Jangan mudah
dimanfaatkan seolah-olah membela agama dan dijanjikan mendapat ganjaran surga
namun sesungguhnya ada tujuan lain yang disembunyikan.
Cukuplah sudah kita umat Islam Indonesia bertengkar dengan agama lain akibat perbedaan
penafsiran dari Surat Al Maidah ayat 51. Cukuplah sudah kita bertengkar dengan sesama
umat Islam akibat penggiringan opini bahwa Nusron Wahid dan yang lainnya yang
membela ahok adalah kaum munafik ataupun kafir. Cukuplah sudah kita dibuat ragu dan
kebingungan oleh isu Al Quran palsu.
Kini saatnya kita berubah. Berubah menjadi lebih cerdas dalam menyingkapi kejadiankejadian agar tidak mudah dimanfaatkan oleh pihak lain.
Salam Hormat untuk semua tanpa kecuali.
26 Oktober 2016 18:31:03 Diperbarui: 26 Oktober 2016 19:03:55 Dibaca : 237 Komentar : 3
Nilai : 3
Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui mantan Mensesneg Sudi Silalahi
menyebut dokumen asli Tim Pencari Fakta (TPF) kasus pembunuhan aktivis HAM Munir
hilang. Sudi mengatakan, SBY hanya memegang salinan dokumen TPF tersebut.
"Setelah kami lakukan penelitian, termasuk melibatkan mantan ketua dan anggota TPF
Munir, diyakini bahwa copy tersebut sesuai dengan naskah aslinya," ujar Sudi dalam jumpa
pers di Cikeas, Jawa Barat, Selasa (25/10/2016). Sudi mengatakan itu sambil mengangkat
tinggi-tinggi dokumen salinan TPF Munir. Link berita : http://news.detik.com
Perkataan mantan Mensesneg Sudi Silalahi tentu saja membingungkan banyak orang.
Bagaimana cara menentukan bahwa copy tersebut sesuai dengan naskah aslinya? Apakah
ada diantara mereka yang menghafal dokumen asli TPF kasus pembunuhan aktivis HAM
Munir tersebut kata demi kata?
Jika itu kitab Al Quran, kita dapat memaklumi, karena ada banyak penghafal Al Quran di
muka bumi ini, sehingga jika ada satu kata saja yang berubah mudah diketahui. Tapi,
adakah penghafal dokumen asli TPF kasus pembunuhan Munir? Ini yang masih menjadi
pertanyaan. Bagaimana menentukan bahwa copy tersebut adalah sesuai aslinya jika
aslinya saja tidak ada?
Menurut Sudi, berdasarkan ingatan dari Marsudhi Hanafi (Mantan Ketua TPF Munir), pada
pertemuan antara pemerintah dengan TPF Munir pada akhir Juni 2005 lalu, ada sekitar 6
eksemplar (copy) yang diserahkan kepada pemerintah. Secara simbolik naskah pertama
diserahkan kepada SBY dengan disaksikan oleh orang yang hadir. Naskah yang lain,
diserahkan kepada pejabat lain.
Masalahnya, pejabat-pejabat lain seperti Kapolri, Jaksa Agung, Kepala BIN, Menkum HAM
dan sekretaris kabinet kini sudah berganti-ganti orang. Namun yang pasti rekomendasi TPF
sudah ditindaklanjuti oleh SBY dan instansi terkait.
"Kami para mantan anggota KIB terkait akan terus mencari di mana naskah-naskah
tersebut disimpan. Mengingat hingga saat ini Kapolri telah berganti 7 pejabat, Jaksa Ahung
sudah 4 pejabat, Kepala BIN sudah 5 pejabat, Menteri Hukum dan HAM sudah 5 pejabat
dan Sekretaris Kabinet sendiri sudah 4 pejabat," kata Sudi.
Nah kata-kata ini juga membingungkan banyak pihak, naskah dokumen penting / dokumen
Negara seharusnya tidak melekat pada orang yang memegang jabatan, tapi melekat pada
institusinya. Dan kenapa malah membahas pejabat yang berganti-ganti tersebut? Padahal
dalam berita tersebut juga dijelaskan bahwa yang mereka pegang juga sama saja, bukan
dokumen asli, tetapi 6 eksemplar (copy) yang diserahkan kepada pemerintah. Artinya yang
mereka pegang juga bukan yang aslinya. Jadi kenapa harus repot mencari copy-an
dokumen yang lainnya?
Kenapa tidak berusaha memfokuskan mencari siapa yang memegang dokumen yang asli,
tetapi malah melebarkan menjadi banyak pejabat yang berganti-ganti?
Meski demikian, SBY meminta jajaran lembaga kepresidenan baik saat ini maupun di masa
Presiden SBY yang mengetahui di mana naskah tersebut disimpan, bisa menyerahkan
kepada Presiden Jokowi.
Bahkan para mantan anggota TPF Munir yang menyimpan dokumen itu, demi kebenaran
dan keadilan, diharapkan menyerahkan copynya kepada pemerintah Presiden Jokowi
maupun SBY agar terjaga otentifikasinya.
Kita, meskipun hanya rakyat kecil juga dapat membantu pemerintahan SBY mencarikan
dokumen asli TPF kasus pembunuhan Munir dan jika ketemu bisa menyerahkan kepada
Presiden Jokowi maupun SBY.
Bagaimana cara kita yang rakyat kecil ini membantu mencarikannya? Caranya adalah
setiap kita membeli nasi uduk ataupun gorengan, jangan lupa sisihkan waktu beberapa
detik untuk melihat kertas bungkusnya. Siapa tahu kertas bungkus gorengan kita itu adalah
salah satu dokumen asli TPF kasus pembunuhan Munir. Bukan tidak mungkin kan?
Soalnya bungkus kertas gorengan atau nasi uduk bisa berasal dari mana saja. Bahkan
penulis pernah menemukan bungkus kertas gorengan yang ternyata adalah kertas fotocopy
ijasah milik tetangga penulis. Dan yang mantapnya lagi kertas ijasahnya tersebut ada
legalisirnya. Hihihi
Biar bagaimanapun penulis memberikan apresiasi yang besar dan salut kepada bapak
SBY. Sebab begitu kasusnya menyinggung pemerintahannya, langsung bertindak
mengumpulkan mantan bawahannya dan berusaha mencari dimana dokumen asli tersebut
berada. Meskipun usahanya kali ini belum menampakkan hasil. Setidaknya ini lebih baik
daripada dahulu yang seringnya bilang Saya prihatin
Yuk lebih fokus mencari dokumen asli TPF kasus pembunuhan aktifis HAM Munir. Jangan
malah melebar kemana-mana.
Semoga dokumen asli TPF kasus pembunuhan aktifis HAM Munir dapat segera
diketemukan.
Salam Hormat buat kompasianer semuanya.
penguasa semakin kuat mencengkeram rakyatnya. Nalar dimatikan, diganti jargonjargon kosong.
Peristiwa Malari tidak bisa disamakan dengan people power 1998. Bukan saja terjadi
perubahan politik maha dasyat yang mengakhiri 32 tahun kekuasaan sentralistik
Jenderal Besar Soeharto, peristiwa 1998 juga berimbas pada perubahan tatanan
masyarakat, sosial maupun ketatanegaraan dengan dilakukannya Amandemen
terhadap UUD 1945. Kepala daerah hingga presiden yang semula dipilih oleh
lembaga perwakilan, diubah menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat. Negara
juga menjamin kebebasan berserikat dan memberi ruang yang lebih luas kepada
masyarakat untuk mengekspresikan aspirasinya. Sesuatu yang tidak ada di masa
sebelumnya.
Dari dua hal itu, waktu dan esensi yang dicapai atau perubahan yang terjadi, teori
timeline 20 tahunan yang dikatakan Fahri Hamzah, jelas tidak tepat dan cenderung
maksa. Fahri hanya mencari alas untuk memperkuat provokasinya. Fahri hendak
mengedukasi
massa
bahwa
perubahan
politik,
termasuk
pergantian
kepemimpinan nasional, melalui gerakan massa adalah kehendak sejarah- sudah
tersurat.
Meski semua hal dapat terjadi dan perubahan politik bisa berlangsung dengan
sangat cepat, tetapi jika meihat kondisi saat ini, sulit untuk sampai pada gerakan
massa yang berujung pergantian kepemimpinan nasional. Meski bisa saja
menumpang pada isu-isu sensitif, menunggangi gerakan massa seperti pernah
disampaikan Presiden Joko Widodo, namun belum tentu berhasil karena masih
banyak prasyarat yang dibutuhkan. Salah satunya figur pemersatu, lintas golongan
dan partai politik.
Walau bukan sesuatu yang dilarang, dan sudah menjadi tujuan setiap politisi,
akan lebih bijak jika Fahri tidak mengipasi massa untuk merebut kekuasaan dengan
cara-cara yang mencederai proses demokrasi karena ongkos sosialnya terlalu
besar.
Salam @yb
Islam tak bisa dilepaskan dari sejarah panjang Indonesia, atau bahkan perjalanan
sejak awal hadirnya manusia. Islam bersentuhan secara langsung dengan
perkembangan dunia yang terjadi dalam berbagai bentuk, selama berabad-abad.
Islam, Indonesia, dan manusia, tiga hal yang kerap diperbincangkan di berbagai
tempat oleh para pakar, mahasiswa, bahkan masyarakat biasa di sekitar kita.
Namun tak jarang ketiga hal tersebut diasingkan dari pergumulan fakta budaya dan
sosial. Seolah ada sekat yang memilah keterkaitan antara keislaman,
keindonesiaan, dan kemanusiaan. Ketiga hal tersebut seolah berdiri sendiri. Bicara
islam ya islam, Indonesia ya negara, dan seterusnya.
Melihat berbagai macam pergolakan pemikiran bahkan perilaku yang terjadi dan
berkembang, muncul kegelisahan apakah islam memang bisa menjadi pegangan
dalam menjawab permasalahan yang terjadi di Indonesia bahkan dunia? Apakah
Islam hadir sepenuhnya untuk dijadikan pedoman manusia?
Beruntungnya, kegelisahan di atas seakan terjawab saat Buya Syafii Maarif
menuliskan berbagai refleksi dan pandangan perihal ketiga isu tersebut dalam buku
berjudul Islam, Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan.
Berbeda dengan karya Cak Nur yang pernah membahas ketiga isu tersebut, melalui
buku setebal 332 halaman tokoh muhammadiyah ini menyuguhkan tulisan yang
relatif komprehensif. Melalui proses panjang dan perenungan mendalam, Buya
Syafii Maarif memberikan pandangannya dengan menyebutkan bahwa Islam selalu
masuk ke sebuah kawasan yang secara kultural tidak kosong dan hampa, tetapi
sudah sarat dengan berbagai sistem nilai dan kepercayaan. Tentang catatan Buya
ini, bisa kita cek kehadiran Islam di Nusantara yang telah jelas bahwa dulunya telah
ada Buddha dan Hindu. Namun hingga sekarang, Indonesia masih bisa merawat
keanekaragaman tersebut meskipun Islam telah mendominasi secara jumlah
pemeluknya.
Buya Syafii kemudian menelaah beberapa pandangan founding fathers tentang
keislaman dan keindonesiaan. Beliau mengulas keterkaitan pemikiran antara
Soekarno dan Agus salim, dan bagaimana perdebatan di antara keduanya walaupun
memiliki kesamaan dalam mencapai tujuan menjadikan Indonesia sebagai negeri
yang merdeka. Bahkan perenungan Buya cukup menarik saat membahas Tan
Malaka. Menurutnya Tan Malaka adalah contoh nyata orang yang merdeka, berani
menanggalkan egoisme dirinya dan berpetualang untuk sesuatu yang besar:
kemerdekaan bangsa.
Selain itu, Buya juga menukil beberapa pandangan tokoh senior lainnya yang
pernah beliau temui selama bergaul. Tak jarang berbagai kutipan Rendra, Anhar
Gonggong, Jakob Oetama, Sutan Takdir Alisjahbana hadir di buku ini.
Sebagai senior citizen, Buya Syafii memandang bahwa islam sejalan dengan
gagasan demokrasi. Pada Bab II terlihat jelas saat Buya mengawali pandangannya
melalui berbagai referensi yang dikutip dari para pemikir Mesir, Maroko, dan Kuwait
tentang dukungan terhadap penerimaan sistem demokrasi yang sesuai dengan
garis Islam. Kemudian dimantapkan dengan penelusuran Buya yang menghasilkan
temuan bahwa sejatinya Alquran saja sangat toleran, dengan tidak memaksa
sewenang-wenang dalam mengajak seseorang dalam beragama.
Buku ini disajikan dengan sudut pandang khas Buya Syafii yang apa adanya tanpa
mengurangi kualitas keilmuan dan wawasannya sebagai guru bangsa. Berbagai
kritikannya pun mencuat tanpa tedheng aling-aling.
Pada Bab III contohnya, saat Buya Syafii menguliti tentang Islam di Indonesia.
Sorotan cerdasnya mengemuka saat mengkaji tentang masalah kualitas para
muslimin. Menurutnya Islam di Indonesia memang telah menjadi agama mayoritas,
namun masih minus dalam hal kualitas. Koreksi dari Buya Syafii ini kemudian
dijawabnya dengan perhatian terhadap pendidikan yang perlu ditingkatkan dan
benar-benar menjadi proses penting dalam pembentukan karakter muslimIndonesia yang lebih berkualitas.
Sebagai tokoh penting Muhammadiyah, Buya Syafii mengulas pandangannya dari
sudut pandang rumahnya tersebut. Menurutnya, aspek filosofis dari pendidikan
Muhammadiyah belum secara utuh tertuang dalam berbagai rumusan maupun
dokumen-dokumen yang pernah dihasilkan oleh Muhammadiyah. Buya menekankan
bahwa Muhammadiyah perlu merumuskan filsafat pendidikan Islam yang mampu
mengawinkan antara tuntunan otak dan tuntunan hati. Tidak seperti dunia barat
yang terlalu sibuk dengan urusan otak dan teknik, sementara dunia timur sebagian
masih saja tenggelam dalam spiritualisme dan ilmu tenung.
Menariknya, Buya Syafii juga mengetengahkan sudut pandang NU dalam buku ini.
Pada halaman 244-250 Buya membeberkan bahwa sedang terjadi gelombang baru
pemikiran yang menghempas tentang pendidikan yang sebelumnya dikenal sebagai
gerakan Islam tradisi. Gelombang ini tak lain dari pengaruh Gus Dur.
Setelah membahas pandangan dua organisasi masyarakat muslim terbesar di
Indonesia tersebut, Buya kemudian menawarkan konsep unity of knowledge
(kesatuan ilmu pengetahuan). Dalam konsep ini, apa yang dikenal dengan
pendidikan sekuler dan konsep pendidikan agama telah kehilangan relevansinya.
Seluruh cabang ilmu pengetahuan dalam konsep ini bertujuan untuk membawa
manusia mendekati Allah, sebagai sumber tertinggi dari segala-galanya.
Melalui konsep ini, embel-embel islam di belakang disiplin ilmu akan lebur. Tidak
ada lagi ekonomi islam, kedokteran islam, dan seterusnya, karena semuanya sudah
berada di bawah tenda besar the unity of knowledge.
Sebagai sosok sepuh, Buya juga mencatat beberapa poin penting tentang masa
depan agama. Kondisi global saat buku ini ditulis menjadi suguhan menarik dan
menunjukkan bahwa pembahasan mengenai Islam, keindonesiaan, dan
kemanusiaan yang diangkat dalam buku ini kontekstual terhadap perkembangan
yang terjadi di dunia.
Buya seakan menjawab kegelisahan ketiga hal penting dengan kritik kemudian
memberikan solusinya dengan kemasan kalimat yang menarik, seperti Islam,
keindonesiaan, dan kemanusiaan tidak saja bisa berjalan bersama dan seiring,
tetapi ketiganya dapat menyatu dan dan saling mengisi untuk membangun sebuah
taman sari yang khas Indonesia.
Tak hanya untuk para akademisi, buku ini juga layak menjadi referensi para
pengambil kebijakan di Indonesia sebagai negeri dengan penduduk muslim terbesar
di dunia. Selain itu, apa yang telah disusun oleh Buya Syafii juga sangat tepat jika
dibaca oleh kaum muda. Karena tak jarang dalam buku ini berkali-kali Buya Syafii
memberi highlight kepada generasi muda. Sebagai contoh, pada halaman 327,
sebelum mengakhiri karyanya Buya berpesan:
Mengapa saya punya harapan kepada anak-anak muda Indonesia? Alasannya
sederhana saja karena saya masih melihat potensi anak-anak muda idealis dan
berilmu yang dimiliki bangsa ini untuk suatu ketika bisa membawa kita mendekati
tujuan kemerdekaan; terciptanya keadilan untuk semua, kemakmuran tanpa pilih
kasih, dan persaudaraan tulus antara sesama anak bangsa, apapun sukunya,
apapun agamanya. Bangsa ini kini sedang menanti kehadiran mereka, mereka yang
punya kepekaan, mereka yang punya hati nurani. Semoga penantian itu tidak akan
terlalu lama
Kalau dugaan tersebut ternyata benar, tentu ini erat kaitannya dengan Pilkada DKI
Jakarta. Ini adalah bagian dari taktik SBY untuk memenangkan calon yang
diusungnya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Ini bukan hanya soal hubungan ayahanak, tapi soal memberikan keyakinan kepada AHY bahwa ia masih berada di jalur
kemanangan. Pengorbanannya berhenti dari TNI, harus dibayar mahal:
kemenangan. Namun pada sisi lain, SBY sadar dengan "Kuda"nya. "Kuda" yang
sangat disayangi, sebagai penerus garis politiknya. Ia tahu betul "kuda" taruhannya
bukanlah "kuda perkasa", tak terlalu kenal medan. Tentu tidak sebanding jika
disejajarkan dengan dua "kuda" lainnya yang lebih garang dan menantang. Maka,
untuk membuat "kuda"nya menjadi pemenang, ia tidak bisa head to head secara
langsung. Ia harus membuat dua "kuda" lainnya melemah dan bermasalah.
Gayung bersambut. Momentumnya ia dapatkan ketika Ahok, "kuda" yang paling
ditakuti, tergelincir dengan kalimat yang sensitif, yang kemudian diolah sedemikian
rupa menjadi isu penistaan agama. Sebagai mantan presiden, yang lekat dengan
beberapa tokoh agama, mudah bagi SBY menggerakkannya. Ingat, SBY pernah
merasakan manisnya memainkan isu keyakinan agama ketika memenangkan
pemilihan Presiden melawan Megawati (yang perempuan, tidak pakai kerudung,
tidak bisa menjadi pemimpin secara agama, dll) dua kali berturut-turut. SBY sangat
berpengalaman memainkan isu-isu sensitif seperti itu. Isu pun bergulir, sukses luar
biasa. Melahirkan demo terbesar sepanjang sejarah bangsa ini, hanya untuk
menghancurkan seorang Ahok. Demo yang awalnya menuntut proses hukum,
berubah menjadi tuntutan agar Ahok ditangkap dan ditersangkakan. Seakan
memaksa Jokowi untuk turun gunung menjadi hakim. Meskipun secara hukum
status tersangka tidak secara otomatis menggugurkan Ahok dalam kontestasi
Pilkada, tapi dengan sekali mengatakan "untuk apa pilih Ahok yang tersangka?"
Urusan selesai. Lebih mudah menjatuhnya.
Kalau Ahok sudah dihancurkan, berarti tinggal "kuda tangguh" lainnya yang harus
ditiarapkan. Anies, yang modal sosial dan politiknya jauh di atas AHY menjadi
ancaman selanjutnya. Beredar dugaan, Anies akan dibuat senasib dengan Ahok.
Buni Yani, pengunggah video yang dipersepsikan dekat dengan Anies (dikatakan
sebagai pendukung fanatiknya), menjadi giliran bola selanjutnya untuk dimainkan.
Nanti isunya pun kembali dibikin liar, yang seolah-olah publik membaca, ada peran
pihak Anies cs. dalam upaya penyebaran video tersebut, atau menegasikan Anies
sebagai sosok pengadu domba, dan mempersonifikasikan Anies dalam sosok Buni
Yani yang suka memfitnah. Jelas ini merupakan keuntungan karena AHY akan
semakin leading. Dengan taktiknya, SBY meniscayakan tumbangnya yang lain,
sehingga "kuda" yang diusungnya menjadi satu-satunya finalis yang akan menang.
Posisi Presiden Jokowi yang Dilematis
Demo ini membuat posisi Jokowi delematis. Kalau Ahok dibebaskan, rakyat akan
bergerak dalam skala yang jauh lebih besar. Jumlah kuantitas yang menakutkan
diharapkan mengerdilkan mental Jokowi sebagai pimpinan. Namun, ketika Ahok
kemudian menjadi tersangka, itu artinya Jokowi telah ikut gendang permainan SBY.
Ingat, persepsi publik tentang demo rusuh, tanggal 4 November kemarin, lekat
hubungannya dengan ultimatum yang disampaikan SBY. Kasus yang menimpa Ahok
sebagai batu loncatan untuk mendapatkan target selanjutnya, Jokowi. Taktik busuk
dan politik adu domba ala SBY menemukan tempatnya ketika ada selentingan yang
menyebutkan, bahwa AHY akan dipersiapkan untuk bertarung melawan Jokowi pada
Pilpres 2019 nanti. Melihat realitasnya, ini sepertinya bukan isapan jempol. AHY
adalah representasi SBY, terutama ketika jargon "I want SBY back!" mulai mencuat
ke permukaan.
Jokowi sepertinya mulai "agak risih" dengan pat-gulipat yang dimainkan oleh
pendahulunya itu. Sebagai Presiden, tentu ia banyak mendapatkan informasi "kelas
satu" yang membahayakan bagi pihak-pihak tertentu. Pernyataannya yang datar,
tapi mengesankan kemarahan yang dalam. Ia menginstruksikan agar proses
terhadap kasus Ahok dibuka transparan. Sehingga dengan itu, rakyat bisa menilai
dan memutuskan. Pada saat yang bersamaan, Jokowi akan memutus dana yang
akan mendalangi aksi lanjutan jika benar terjadi. Ia mulai menyentil pembangunan
proyek-proyek yang mangkrak pada masa SBY masih menjadi Presiden. Suatu kali,
Jokowi mengunjungi Hambalang, dan hanya dengan geleng-geleng kepala, banyak
orang paham apa yang Presiden itu maksudkan.
Presiden Jokowi tidak mau pakai cara-cara murahan, ia lebih senang menggunakan
BIN, KPK, PPATK, BPK, dan jalur-jalur konstitusional lainnya. Artinya, politik "prihatin"
dan taktik adu domba yang busuk ala SBY akan menemukan lawan yang setimpal
ketika bertemu dengan Jokowi, yang lebih suka menghukum lawan-lawannya
perlahan-lahan.
Pada akhirnya strategi SBY terbongkar, publik akhirnya membaca bagaimana politik
adu domba yang dimainkannya begitu hebat; bahwa ternyata tidak hanya untuk
menghancurkan Ahok sebagai calon Gubernur DKI Jakarta terkuat, tapi juga untuk
mengalahkan Anies, dan rupanya berbau hasrat untuk menjatuhkan Jokowi. Sekali
mendayung, dua-tiga kepentingan terlampaui. Dua periode menjadi Presiden,
ternyata membuat SBY jauh melebihi kemampuan Megawati (yang tak pernah
menang head to head melawannya). Ini tidak bisa hanya dipandang sebagai taktik
untuk Pilkada DKI Jakarta semata, tapi jauh lebih dari itu, ada kepentingan untuk
kembali menguasai negeri ini.
Selain itu kata "Islam Syariat" di pondok pondok di Madura itu sudah biasa di
ucapkan, hingga menjadi sebua embrio pemikiran yang terlahir di santri santrinya.
ditujukan pada ormas ormas yang pada waktu itu anti bid'ah dan anti tahlilan,
seperti Muhammadiyah dan Persis. menjadi kampanye mereka sebagai olokan bagi
yang anti bid'ah dan tahlilan dengan sebutan Wah apa ormas Islam itu masih Islam
syariat". terutama kata kata anti Bid'ah dilontarkan ustad ustad Muhammadiyah
dan Persis di Madura atau jawa timur. Sebagaimana kita ketahui kelompok syariat
adadiyah di Jawa Timur itu markaznya. Dalam pendekatan Islam menggunakan
pendekatan campuran antara Islam dan adad setempat juga rangkaian dari
berbagai paham seperti Thoriqah thoriqah yang lahir dalam Islam. Kecendrungan
masyarakat Islam dijawa timur mencari Jati diri Islam melalui berbagai "suluk" (tata
cara) atau jalan tidak terpisahkan dari mereka, tetap pada prinsip mencari ganti
bagaimana berIslam sesuai dengan adadiyah. Mungkin sekarang ini disebut dengan
"Jaringan Islam Nusantara" yang menjadi sudut pandang sebuah kelompok Islam
seperti Nahdhatul Ulama.
Kalau kemudian "Buya Syafii Maarif" harus menyatakan adanya "Islam Syariat" lebih
pada sebuah rekontruksi pemikiran lama, yang lahir dalam thoriqah, terlebih bila
jau memandang keakar masalah Islam Syariah yang menjadi modal buya Syafii
Maarif mencerminkan sebuah pendapat filsafat yang disandarkan pada sufiyah.
Bukan masalah baru tetapi sebuah pemikiran yang lahir di Sumatra barat yang
dimotori tokoh tokoh Thoriqah di sumatra barat seperti "Suryalaya dan
Naqsabadiya". Ini masalahnya, bagaimna mungkin pengetahuan saya yang masih
SD bisa dibahasa oleh dosen perguruan tinggi. padahal biasa dicerna anak anak
pesantren yang biasa hidup dalam bingkai pemikiran para kyai. Apakah mungkin
harus mundur berpikir, dari tajdid menjadi tasyabbuh dengan peradaban kolot dan
muqallid yang menafaskan islam berdasarkan retorika sufiyah. ini benar benar
Tradisi adat primordial yang sangat terbelakang. Semoga Buya syafii maarif lebih
cerdas lagi memahami Islam Amin ...salam
partai politik tertentu, secara psikologi saya kira turut memengaruhi arah pemikiran
dan pendapat seseorang.
Apa lagi, kekurang jujuran Buya yang pernah mengatakan tidak kenal dengan
Ahok. Sayangnya, sebuah foto beredar membalik semua itu. Buya dan Ahok
sedang asyik menikmati makan bareng. Secara semiotis, kita bisa mengerti kenapa
Buya berpendapat demikian. Bagi orang awam, makan bersama barangkali lumrah
adanya.
Tapi bagi politisi, tokoh ternama apalagi pejabat publik, sudah lumrah bahwa
makan bersama kerap dijadikan arena lobi-lobi politik dan kepentingan. Sebuah foto
memang multi tafsir. Menjadi hak publik untuk bebas menafsirkannya. Terakhir,
perbedaan pendapat diantara umat dan tokoh Islam semestinya menjadi rahmat
dan memperkaya khazanah pemikiran, bukan justru menjadi alasan untuk saling
caci, hantam dan serang. Tapi bagi saya, dalam soal penistaan agama ini, kapasitas
MUI lebih memadahi untuk dijadikan rujukan, bukan pendapat pribadi yang sangat
berpotensi syarat kepentingan. Demikian.
*Yons Achmad. Pemerhati dunia Islam.
benda di bumi kita. Masihkah Indonesia akan tertolong? Pertanyaan ini masih harus
pula kita renungkan dalam-dalam di lubuk hati kita masing-masing.
Ancaman terbesar bagi NKRI
Sekiranya kita dapat memahami, persoalan apa yang membelenggu negeri ini.
Pertama, runtuhnya moralitas masyarakat. Kejujuran di negeri ini adalah barang
mahal. Terlalu banyak pembual di negeri ini. Pejabatnya gemar menebar sensasi.
Belusukan dan pencitraan menjadi jati diri.
Moralitas kita semakin digerus oleh tontonan-tontonan yang tidak mendidik,
perilaku elite politik yang kekanak-kanakan, dan bangunan tradisi yang lebih barat
dari Barat atau lebih arab dari Arab. Tentunya, ini dapat kita refleksikan secara
mendalam. Bangunan moralitas kita harus dilandasi fondasi yang kokoh. Fondasi
agama, fondasi budaya, dan fondasi konstitusi.
Maraknya kasus pelecehan seksual, kriminalitas, narkoba, pembunuhan, dan
sebagainya tentunya cerminan bahwa bangsa kita masih memiliki penyakit moral.
Penyakit moral ini yang perlu kita obat. Bukan hanya menyalahkan sistem dan
proses pendidikan di sekolah, melainkan juga aspek-aspek pendidikan di luar
sekolah, seperti keluarga, lingkungan, pergaulan, dan tontonan.
Kedua, cita-cita negara yang tak kunjung terwujud. Pancasila hanya menjadi
pajangan di dinding sekolah dan kantor-kantor. Pancasila seolah menjadi barang
museum yang dipamerkan hanya saat upacara bendera berlang-sung. Pancasila
dasar negara. Buya Syafii Maarif pernah mengatakan, Pancasila itu diagungkan
dalam ucapan tapi dikhianati dalam perbuatan.
Terutama sila kelima, sila yang jauh digantung di langit. Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Jika pancasila itu mencita-citakan sebuah keadilan sosial,
lantas kenapa kita sebagai bangsa tak kunjung juga sadar bahwa keadilan adalah
hal mendasar dalam sebuah bangunan negara yang sejahtera.
Banyak pemberontakan terjadi lantaran tidak beresnya sistem keadilan yang
diterapkan oleh para pemangku kekuasaan. Jika Pancasila adalah ideologi suatu
bangsa, di mana kita posisikan ideologi dalam hidup kita?
Tapi bukan itu persoalannya, Pancasila dikhianati dalam perbuatan. Korupsi sanasini, korporasi kapitalis dengan para mafia kebijakan, penindasan kaum lemah
(mustadh'afin), dan bentuk kedzaliman lainnya adalah wujud nyata dari khianatnya
kita terhadap Pancasila.
Ketiga, kebodohan yang terus dipelihara. Pendidikan kita adalah anak tiri yang
kesepian, mengutip lirik lagu Iwan Fals. Karena tidak lebih, sistem pendidikan kita
seperti sebuah transaksi pasar. Sistem pendidikan yang transasksional tentunya
akan berimbas kepada proses pendidikan itu sendiri. Yang terpenting adalah kita
harus menyadari bahwa pendidikan harus didukung seluruh elemen. Dengan
kesadaran ini, tentunya tanggung jawab mendidik generasi muda menjadi pe er kita
bersama.
[1] Ketua Umum Pimpinan Cabang IMM Jakarta Timur, Pegiat Laskar Penulis Ikatan,
Pegiat Komunitas Lestari Batikku.