Anda di halaman 1dari 3

Politisasi Agama

Oleh: Itsnaini M. Alwi


Indonesia merupakan negara yang berasaskan ideologi Pancasila.
Lima bulir sila tersebut menjadi dasar bangsa Indonesia dalam kehidupan
bernegara. Ketuhanan yang Maha Esa merupakan bunyi dari sila
pertama, yang menunjukkan bahwasanya kepercayaan terhadap Tuhan
yang Maha Esa merupakan esensi pokok dalam bernegara. Sila pertamana
ini merupan representasi dari sila-sila berikutnya, karena orang yang
percaya pada Tuhan Yang Maha Esa pasti berperilaku manusiawi, pasti
mempertahankan kesatuan Indonesia, pasti bermusyawarah dalam
mengambil keputusan, dan pasti menegakkan keadilan sosial (Effendy,
2001: 151). Apabila mengacu pada konsep Eliade, agama masuk pada
wilayah Yang Sakral, yaitu wilayah yang supernatural, sesuatu yang
ekstraordinasi, tidak mudah terlupakan, dan teramat penting (Pals, 2012:
233). Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila klaim keagamaan
semata-mata dijadikan dasar dan acuan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Dalam UUD 1945 pasal 28E ayat 1 yang berbunyi Setiap orang
berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, disebutkan
bahwasanya mayarakat Indonesia diberikan hak dan kebebasan dalam
memeluk agama, tanpa ada suatu paksaan apapun. Dalam konteks ini
keyakinan beragama dan beribadah ditujukan kepada masing-masing
individu. Namun dalam konteks lain, agama tidak lagi menjadi wilayah
pribadi, tetapi sudah menjadi domain publik. Seperti dalam zakat,
kendatipun memiliki makna sosial yang tinggi, kegiatan membayar zakat
tetap merupakan wilayah kegiatan agama. Dalam kerangka seperti itu,
agama tidak lagi dalam pengertian ritus, tetapi dalam pengertian ajaran
sosial kemasyarakatan (Effendy, 2001 : 21). Dalam praktik kehidupan
beragama, menempatkan agama di wilayah publik tidak seenaknya
menempatkan
agama
minoritas
dibawah
agama
mayoritas.
Menempatkannya dalam ruang publik berarti menempatkannya sesuai
porsi dan proporsinya sehingga agama memiliki manfaat dan daya ubah
dalam kehidupan bermasyrakat. Sehingga agama mampu memberikan
etika kemasyrakatan karena berangkat dari realitas kemajemukan agama.
Aneka kekuatan beragama harus diberdayakan sehingga kebutuhankebutuhan masyarakat terpenuhi. Masing-masing agama hendaknya bahu
membahu untuk menjawab tantangan masyarakat sekaligus menjadikan
kehidupan bernegara semakin bermoral dan beretika. Dengan menjadikan
agama sebagai sesuatu yang menjadi moralitas dan etika masyarakat
maka tidak ada lagi gerakan mempolitisir agama atau bahkan
mengagamakan politik.
Berbicara tentang perpolitikan di Indonesia, tentunya memiliki
relevansi yang kuat dengan keagamaan. Sebagaimana yang telah
disebutkan bahwasanya Indonesia negara yang beragam dan beragama.
Tak jarang apabila kaum mayoritas atau minoritas beragama
mengkonstruksikan agamanya dalam ranah politik, sehingga muncullah

partai-partai politik yang berasaskan agama sebagai sumber landasan


dalam berjuang. Tak hanya itu, dalam agenda-agenda besar perpolitikan
(pemilu raya, pilkada, dan lain-lain) agama seringkali menjadi sesuatu
yang dipolitisasikan. Partai-partai yang berasas agama atau bahkan yang
berasas nasionalis/kebangsaan seringkali menggunakan simbol atau
praktik agama yang mana hal tersebut dijadikan alat legitimasi politik
untuk menarik massa dan untuk mendapatkan kekuasaan dalam pemilu.
Kasus politisasi agama begitu marak terjadi di negeri ini, contoh yang
seringkali dijumpai adalah memanfaatkan kedekatan dengan Kyai atau
Ulama dalam pesantren tertentu. Uniknya hal ini tidak hanya dilakukan
oleh kalangan partai Islam saja, akan tetapi partai Nasionalis yang
dipimpin oleh seorang non muslim tak segan berkunjung dan meminta
doa kepada seorang Kyai dalam sebuah pesantren tertentu. Dari contoh
tersebut telah jelas bahwasanya politisasi agama merupakan cara yang
paling ampuh digunakan oleh partai politik untuk meraih dukungan. Para
partai politik menganggap penggunaan agama dalam politiknya tidak
dapat dilepaskan dalam kehidupan berpolitiknya.
Menurut Durkheim, agama adalah sistem simbol yang dengannya
masyarakat dapat menyadari dirinya (Durkheim dalam Ritzer, 2004: 105).
Dalam realitas gebayarnya kegiatan-kegiatan keagamaan dan meriahnya
simbol-simbol agama tidak selamanya ditafsirkan sebagai kebangkitan
kesadaran beragama. Sebab tidak jarang fenomena tersebut hanya
sekedar memenuhi tuntutan mekanisme politik dalam mempertahankan
kekuasaan. Oleh karena itu dalam menghadapi pemilu, masyarakat
hendaknya waspada dan tidak mudah terjebak oleh simbol-simbol
seremonial keagamaan. Untuk menemukan pilihan yang terbaik,
hendaknya masyarakat harus kritis dan mempertajam analisa politik dan
sosial. Karena tidak jarang terjadi, apabila kekuasaan telah diraih dalam
bentuk formal, simbol-simbol agama akan sirna dan barangkali akan
muncul kembali apabila musim pemilu tiba.

Daftar Rujukan
Effendy, dkk. 2001. Demokrasi, Agama, dan Politik Indonesia. Semarang:
Mata Air
Pals, Daniel L. 2012. Seven Theories of Religion. Yogyakarta: IRCiSoD
Ritzer, George. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan
Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Dari Internet:
https://portal.mahkamahkonstitusi.go.id/eLaw/mg58ufsc89hrsg/UUD_1945_Perub
ahan.pdf

Anda mungkin juga menyukai