Moderasi Beragama ala Jalaluddin Rumi: Fenomena Menguatnya Polarisasi
Masyarakat dalam Pesta Demokrasi
Debi Fajrin Habibi
IAIN Syekh Nurjati Cirebon
Indonesia adalah bangsa yang memiliki keanekaragaman bahasa, budaya bahkan
agama. Masyarakat Indonesia dikenal memiliki semangat beragama yang tinggi serta kehidupan yang sangat menjunjung tinggi keselamatan agama. Jika agama dijadikan sebagai alat politik, tentu akan berdampak pada polarisasi masyarakat dalam pesta demokrasi. Melihat kondisi yang terjadi pada beberapa tahun lalu, iklim politik Indonesia acapkali diwarnai dengan kasus politisasi agama sehingga mencederai prinsip demokrasi. Sentimen agama yang mulai muncul untuk kepentingan politiknya masing-masing, semisal kasus penistaan agama menjadi alat untuk menyerang elektabilitas seseorang dalam kompetisi elektoral. Pada kasus lainnya, trend politik yang menggandeng tokoh pemuka agama atau ulama semakin mencuat pada kontestasi politik. Tentu hal ini dapat dilihat bahwa politisasi agama sudah ada sejak penetapan para calon pemimpin yang khawatir dapat menimbulkan kebencian atas nama agama dan lebih jauh lagi akan menyebabkan polarisasi di tengah masyarakat. Dinamika polarisasi masyarakat seperti inilah yang kerap timbul dengan menjadikan agama sebagai alat kepentingan politik. Para tokoh partai politik akan senantiasa berlomba-lomba menggiring opini masyarakat untuk memilih partai yang agamis. Jika tidak, maka religiusitasnya dianggap tidak kuat. Praktik tersebutlah yang dapat melahirkan perpecahan antar golongan dan menguatnya polarisasi masyarakat atas penggabungan agama dan politik. Harmonisasi Agama dan Cinta Jalaluddin Rumi Jika dalam hubungan agama dan Pancasila dapat ditemukan pada sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, maka konsep Ketuhanan pulalah yang menjadi fokus utama dari seorang Jalaluddin Rumi dalam menginterpretasikan rasa cintanya terhadap Tuhan. Implementasi Pancasila tidak mungkin bertentangan dengan ajaran-ajaran agama. Sebab, nilai- nilai yang terkandung dalam Pancasila itu merupakan isi jiwa atau cerminan kepribadian bangsa Indonesia sehingga mudah diterima oleh semua agama yang tercatat resmi oleh negara. Sejalan dengan itu, Gus Dur menyampaikan bahwa tidak relevan lagi seseorang untuk menelisik keharmonisasian agama dan Pancasila, karena agama-agama akan tetap menjadi referensi umum dan harus memperhitungkan keberadaan Pancasila sebagai pedoman hidup bernegara yang menjamin seluruh pihak tanpa terkecuali. Rumi sendiri memberikan ajaran keberagamaan universal tentang Tuhan yang melebihi batas seluruh doktrin keyakinan dan konsepsi manusia dengan sebutan agama cinta. Maqam ini hanya didapat jika seorang hamba telah menjalin hubungan intim terhadap Yang Dicintai. Apabila rasa cinta itu telah hadir dan mendominasi seorang hamba, maka eksistensi kebencian tidak akan bermakna lagi. Agama cinta dapat menyatukan hati semua orang tanpa adanya batas, sehingga tidak lagi muncul kebencian maupun penghinaan antar suku, agama, budaya, ideologi dan bangsa. Seseorang dapat mengungkap hakikat Tuhan tidak cukup dengan ibadah lahiriah saja, akan tetapi dipupuk terus pintu batinnya agar mampu melebihi amalan formal. Para teolog yang stagnan mendefinisikan isu konsepsi hakikat Tuhan, akan mudah tergiring opini yang memicu perpecahan dan perselisihan umat. Bukan hanya itu saja, Rumi pun mengkritisi dunia filsafat yang cenderung melampaui batas karena mengabaikan perasaan hati manusia. Implementasi Moderasi ala Jalaluddin Rumi sebagai Pengurai Polarisasi Masyarakat Dalam upaya mengurai polarisasi masyarakat terhadap pesta demokrasi, tentu perlu adanya pemahaman akan moderasi ala Jalaluddin Rumi yang harus diimplementasikan. Terdapat ayat Al-Qur’an yang menjadi salah satu poros agar terciptanya perdamaian, karena dari perdamaian inilah seseorang akan berpikir untuk kemashlahatan umat. Tetapi jika mereka condong kepada perdamaian, maka terimalah dan bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (QS. Al-Anfal :61) Dalam ayat tersebut, umat Muslim diperintahkan untuk tetap berbuat toleransi sebagaimana yang diterima dalam perjanjian Hudaibiyah. Walaupun sepintas merugikan umat muslim, tetapi Nabi Saw. memiliki pandangan yang jauh lebih bijaksana. Dan ternyata dari hal itulah terlihat kemenangan kaum muslimin selanjutnya. Ayat di atas juga memuat pesan-pesan perdamaian yang tercipta antar umat beragama. Jika dikontekstualisasikan dalam moderasi ala Jalaluddin Rumi tentu memiliki ajaran tasawuf yang mengajarkan moderasi beragama. Semua hal yang berkaitan tentang metafisik dan perbedaan hanyalah ilusi. Dalam pemahaman yang dititikberatkan Rumi juga terkait persaudaraan manusia, cinta kosmik, cinta Ilahi, pengampunan moral, dan budaya memaafkan. Walaupun terdapat perbedaan prinsip yang bersifat formal, namun memiliki satu tujuan yaitu beribadah kepada Allah Swt. Toleransi seperti inilah yang tidak memandang suku, ras, agama dan sebagainya. Semua itu sama menurut para sufi, selama tujuan dan targetnya adalah cinta Ilahi. Moderasi beragama ala Jalaluddin Rumi ini membagi dua hal dasar dalam teologi kerukunan. Pertama, perihal konsep Tuhan dan manusia yang membuat manusia sebagai tujuan penciptaan. Buah simbolik ini menjadi wujud dari kesempurnaan yang mengakomodir semua komponen. Seperti halnya manusia merupakan kekasih Sang Pencipta yang paling dimuliakan- Nya. Dalam konsen Rumi secara teologis, Tuhan bukan dimiliki oleh agama tertentu, tetapi dimiliki oleh setiap hati manusia. Kedua, menurut Rumi agama adalah jalan menuju yang dicintainya dan cinta sendiri tidak memiliki agama. Jadi sudah jelas bahwa adanya keragaman hanyalah sebuah symbol, bukan substansi. Rumi berharap seorang hamba melampaui batasnya sehingga tercapainya makna hakiki, karena berbagai jenis ritual keagamaan itu adalah sama. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jika dalam diri seseorang telah tertanam cinta kepada Tuhan, maka adanya sebuah perbedaan hanyalah sebuah ilusi dan simbolik. Prinsip teologis itulah yang dapat memberikan jawaba sebagai pengurai polarisasi masyarakat terhadap pesta demokrasi. Agama jangan dijadikan sebuah alat untuk kepentingan politik. Seseorang akan merasakan nikmatnya kedamaian hidup yang hakiki jika tertanam cinta yang hakiki. Bahan Bacaan Desierto, D., & Koyama, M. (2022). Religious Violence and Coalition Politics in History. Department of Economics, 22. Fakhriati, Bustaman, R., Firmanto, A., Sya’ban, A. G., Nurbaety, A., & Kholis, N. (2020). Moderasi Beragama Model Jalaluddin Rumi: Kajian Tasawuf Berbasis Naskah dan Transformasinya ke Nusantara (I). Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi. Hamid, A., Sanusi, A., Lutfi, A., Mubarok, M. S., & Habibi, D. F. (2023). Refleksi Pemilu 2024 terhadap Politisasi Agama di Media Sosial Perspektif Teori Double Movement Fazlur Rahman. The 1st Nurjati Conference, 7. Harjuna, M. (2019). Teologi Kerukunan dalam Perspektif Sufistik: Studi atas Pemikiran Jalaluddin Rumi. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kristoforus, K. (2021). Menalar Hubungan Agama, Pancasila dan Negara Dalam Membangun Moderasi Beragama Di Era Disrupsi Digital. Atma Reksa: Jurnal Pastoral Dan Kateketik, 6(1), 23–32. Kurniawan, B. (2018). Politisasi Agama di Tahun Politik: Politik Pasca-Kebenaran di Indonesia dan Ancaman bagi Demokrasi. Jurnal Sosiologi Agama, 12(1), 133. https://doi.org/10.14421/jsa.2018.121-07 Rahma, A. A. A., & Solihin, M. (2022). Perspektif Tasawuf mengenai Toleransi dalam Beragama di Indonesia. The 2nd Conference on Ushuluddin Studies.