Anda di halaman 1dari 12

1.

DINAMIKA AKTUALISASI PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA


Pancasila merupakan dasar negara Indonesia. Pancasila berkembang melalui suatu

tahap atau proses yang memang cukup panjang. Pancasila sendiri berawal dari sumber nilainilai yang telah dimiliki oleh bangsa Indonesia yaitu dalam hal adat istiadat, lalu agamaagama dalam suatu paradigma kehidupan bangsa. Oleh karena itu, nilai-nilai pancasila telah
diyakini kebenarannya. Pancasila kemudian diangkat sebagai dasar Negara sekaligus
diangkat menjadi ideologi bangsa Indonesia. Sebagai suatu ideologi bangsa, pancasila tidak
bersifat statis (tertutup) terhadap perubahan atau pemikiran yang baru, karena pancasila
sendiri bersifat dinamis (terbuka), dimana pancasila sendiri dapat menyesuaikan dengan
keadaan dan perubahan zaman serta pemikiran yang semakin bekembang dari waktu ke
waktu.
Sewaktu berdirinya Negara Republik Indonesia, bangsa Indonesia sepakat untuk
mendasarkan

diri

kepada

ideologi

Pancasila

dan

kepada

UUD

1945.

Namun semua menjadi berubah haluan sejak November 1945 hingga Dekrit Presiden 5 Juli
1959. Pada saat itu pemerintah Indonesia merubah haluan politiknya dengan mempraktikan
sistem demokrasi liberal. Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 berarti haluan politik di
Indonesia telah dirubah. Hal ini dapat terlihat kebijaksanaan pemerintah yang anti terhadap
Barat (kapitalisme) dan pro ke Kiri dengan dibuatnya poros Jakarta-Peking dan JakartaPyongyang. Puncak pada peristiwa ini terjadi pada saat adanya pemberontakan Gerakan 30
September 1965 atau yang dikenal sebagai Pemberontakan G-30-S / PKI. Pada saat peristiwa
ini terjadi merupakan salah satu hal yang menyebabkan pemerintahan Orde Lama dimana
pada saat itu masa pemerintahan dari Ir.Soekarno tumbang dan mulai berkuasanya
pemerintahan Orde Baru yaitu saat pemerintahan Jendral Soeharto.
Pemerintah Orde Baru pun berusaha untuk mengoreksi adanya penyimpangan yang
terjadi yang dilakukan oleh pihak regim sebelumnya dalam pengamalan Pancasila dan UUD
1945. Pemerintah Orde baru sendiri merubah haluan politiknya yang semula mengarah ke
posisi Kiri dan anti Barat menariknya ke posisi Kanan. Namun pada regim Orde Baru telah
muncul 4 regim Pemerintahan Reformasi sampai pada saat ini. Pemerintahan-pemerintahan
regim Reformasi ini sudah seharusnya mampu memberikan koreksi kepada penyimpangan
yang terjadi dalam hal mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 untuk praktik bermasyarakat
dan

bernegara

yang

dilakukan

oleh

pemerintahan

Orde

Baru.

Pengertian dari Pancasila secara etimologi yaitu Pancasila berasal dari bahasa india yaitu
bahasa sansekerta, panca berarti lima, syila (dengan huruf i pendek) berarti batu sendi, alas,
atau dasar. Syiila (dengan huruf i panjang) berarti peraturan, tingkah laku yang baik atau

penting. Syiila itu sendiri dalam bahasa Indonesia menjadi susila artinya tingkah laku yang
baik.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pancasila berarti lima dasar
sedangkan pancasyiila berarti lima aturan tingkah laku yang penting. Kemudian secara
historis, isitlah pancasila pertama kali digunakan oleh masyarakat di India yang beragama
buddha, dan pancasila sendiri berarti lima peraturan. Istilah pancasila yang terdapat dalam
kitab Sutasoma yang dikarang oleh Empu Tantular berarti batu sendi yang lima, selain itu
juga memiliki arti pelaksanaan kesusilaan yang lima, yaitu: Tidak boleh melakukan
kekerasan, tidak boleh mencuri, tidak boleh berjiwa dengki, tidak boleh berbohong, dan tidak
boleh mabuk minuman keras.
Istilah jawa, pancasila disebut dengan istilah molimo yang terdiri dari lima golongan
yaitu mateni (membunuh), maling (mencuri), madhon (berzina), madat (menghisap candu),
main (berjudi). Dari kelima larangan tersebut masih menjadi pegangan moral orang-orang
jawa sampai saat ini. Secara terminologis, pancasila dimulai sejak sidang BPUPKI pada
tanggal 1 Juni 1945, dan istilah Pancasila digunakan oleh Bung Karno untukmemberikan
nama kepada lima dasar atau lima prinsip. Negara Indonesia merdeka menurut beliau sendiri
pancasila

diperolehnya

dari

temannya

yang

seorang

ahli

bahasa.

Sila-sila Pancasila merupakan suatu kesatuan, maka seluruh esensi sila-silanya merupakan
kesatuan.
Pancasila adalah kepribadian bangsa Indonesia yang bukan dari luar. Adapun unsur
pancasila yang memang sudah ada yang memang dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak zaman
dahulu. Adanya pancasila yang terdapat dalam dirinya sendiri, sebab itu Pancasila adalah
suatu substansi yang memiliki esensi. Esensi kelima sila tersebut adalah sebagai berikut:
a. Ketuhanan

Adalah

Kesesuaian

dengan

Hakikat

dan

Sifat-Sifat

Tuhan

Hakikat Tuhan itu sendiri sebenarnya sulit untuk diketahui, tetapi kita bisa melihat contoh
yang dikemukakan aristosteles tentang adanya causa prima atau sebab pertama yang
memang tidak disebabkan. Berbeda dengan hakikat yaitu sifat-sifat Tuhan yang lebih
mudah kita pikirkan karena Tuhan mempunyai sifat yang tak terbatas.
b. Kemanusiaan

Adalah

Kesesuaian

dengan

Hakikat

Manusia

Susunan kodrat manusia itu sendiri terdiri dari jiwa dan raga, dimana jiwa terdiri atas
akal, rasa, karsa. Serta tubuh terdiri atas unsur-unsur benda mati, tumbuh-tumbuhan, dan
binatang. Sedangkan sifat kodrat pada manusia merupakan suatu kesatuan individu dan
makhluk sosial atau dapat disebut dengan monodualis social, ekonomi, dan politik. Dari
kedudukan kodrat, manusia merupakan kesatuan individu yang berdiri sendiri dan sebagai

makhluk Tuhan atau disebut sebagai monodualis religion. Maka dari itu manusia yang
mempunyai susunan sifat, kedudukan kodrat harus bisa mencintai sesama manusia,
mengembangkan sikap tenggang rasa dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan
c. Persatuan

Adalah

Kesesuaian

Dengan

Hakikat

Satu

Satu merupakan kata yang bulat yang tidak dapat dipecah kembali. Persatuan Indonesia
pada hakikatnya bangsa Indonesia berjumlah jutaan jiwa dan mempunyai bermacammacam adat istiadat, agama, kepercayaan, kebudayaan yang berbeda-beda itu merupakan
satu kesatuan. Maka dari itu dalam pergaulan satu dengan yang lain kita harus bisa
menunjukkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa yang ber bhineka tunggal ika.
d. Kerakyatan

Adalah

Kesesuaian

dengan

Hakikat

Rakyat

Rakyat adalah manusia yang bertempat tinggal pada suatu negara. Istilah dari hakikat
rakyat berarti menunjukkan keseluruhan, jadi bukan bagian-bagian, meskipun
keseluruhan itu sendiri terdiri dari bagian-bagian, maka antara keseluruhan dan bagian
memiliki hubungan yang erat. Maka dari itu kita harus bisa bekerja sama, bergotong
royong untuk mewujudkan cita-cita bangsa bersama-sama.
e. Keadilan

Adalah

Kesesuaian

dengan

Hakikat

Adil

Adil dapat diartikan sebagai menempatkan sesuatu atau hak dan kewajiban pada
tempatnya masing-masing. Berbuat adil kepada diri sendiri berarti berbuat kedua hal
serasi antara hak dan kewajiban, berbuat adil kepada masyarakat berarti berlaku adil antar
sesama warganya. Berbuat adil pada alam berarti tidak boleh semena-mena dan merusak
lingkungan hidup, dsb.
Dinamika

dalam

mengaktualisasikan

nilai

Pancasila

ke

dalam

kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara merupakan suatu keniscayaan agar Pancasila


sendiri tetap relevan dalam fungsinya untuk memberikan pedoman bagi pengambilan
kebijaksanaan dan pemecah masalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di lain
pihak, apatisme dan resistensi terhadap Pancasila sendiri dapat diminimalisir. Substansi dari
adanya dinamika dalam aktualisasi Pancasila dalam kehidupan praksis adalah selalu
terjadinya perubahan serta pembaharuan dalam mentransofrmasikan nilai Pancasila ke dalam
norma dan praktik hidup dengan cara menjaga konsistensi, relevansi dan kontekstualisasinya.
Sedangkan perubahan dan pembaharuan dapat terjadi apabila terdapat dinamika internal (selfrenewal) dan adanya penyerapan terhadap nilai-nilai asing yang cukup relevan untuk
pengembangan dan penggayaan Ideologi Pancasila. Sumber dari semua upaya perubahan dan
pembaharuan yang dilakukan dalam mengaktualisasikan nilai Pancasila yaitu terjaganya
akseptabilitas dan kredibilitas Pancasila oleh warga negara dan warga masyarakat Indonesia.

Menurut Asvi Warman Adam, mulai dari penggagasan ide tentang Pancasila hingga
Pancasila itu terbentuk dibagi dalam empat tahap yang melewati beberapa pemerintahan di
Indonesia. Beliau menyebutnya sebagai Empat Gelombang Pancasila, gelombang pertama
adalah saat penciptaan, gelombang kedua adalah masa perdebatan, gelombang ketiga
dilakukan rekayasa dan gelombang keempat adalah penemuan kembali.
Pada gelombang pertama ini Soekarno dan beserta anggota Tim Sembilan
merumuskan tentang dasar negara yangb kemudian akan dicantumkan dalam Pembukaan
UUD 1945. Dalam pembukaan tersebut dicantumkan dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Namun Hatta kemudian menerima pesan bahwa
masyarakat Indonesia Timur keberatan akan tujuh kata tersebut dan tidak bersedia
bergabung dalam Indonesia jika itu tetap dicantumkan. Setelah dirundingkan kembali, tujuh
kata tersebut dihilangkan dan disempurnakan dalam Ketuhanan yang Maha Esa yang
dapat meng-cover agama-agama yang ada di belahan timur, tengah maupun barat. UUD 1945
kemudian disahkan pada 18 Agustus 1945 tanpa mempermasalahkan lagi syariat islam.
Pada gelombang kedua, tahun 1955 dibentuk badan KOnstituante yang akan
merancang kembali PAncasila. Dinamakan masa perdebatan karena hal utama yang
diperdebatkan adalah apakah Pancasila sebagai dasar negara atau ideologoi lain. Partai islam
serta beberapa tokoh islam seperti Hamka mengajukan islam sebagai dasar negara sementara
partai nasionalis tetap mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara. Oleh Soekarno,
akhirnya badan Konstituante dibubarkan pada tanggal 1 Juli 1959 dan Indonesia kembali
berdasar kepada Pancasila.
Pada Masa Rekayasa, nilai-nilai Pancasila direduksi pada masa pemerintaha Soeharto.
Pancasila. Pancasila dijadikan sebagai asas tunggal untuk setiap organisasi masyarakat dan
partai politik. TAP MPR tentang Penataran Pancasila yang dikeluarkam pada tahun 1978
dikampanyekan secara nasional keseluruh elemen pemerintahan dan pendidikan. Pancasila
hanya dijadikan sebagai objek hafalan dan hasil dari penataran yang dilakukan selama 10
tahun itu tidak memiliki hasil yang jelas.
Pada Masa Penemuan Kembali, BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dibubarkan, sedangkan penataran P4
(Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dihapuskan. Pancasila tetap diajarkan
dalam sekolah dan perguruan tinggi. Hari lahir Pancasila yang pada masa pemerintahan
Soeharto dilarang, mulai diperingati kembali. Ancaman ekonomi dan perpecahan antarelemen masyarakat kembali merujuk pada sesuatu yang dapat merekatkan persatuan dan
kesatuan yakni Pancasila.

Untuk menemukan kembali nilai-nilai Pancasila yang semakin hari semakin


tereduksi oleh globalisasi dan liberalisasi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Menurut
Talcott Parsons dalam bukunya Social System ada empat paradigma fungsi yang harus
dilakukan oleh masyarakat untuk tetap eksis dan lestari.
a. Pertama, pattern maintenance, kemampuan memelihara sistem nilai budaya yang dianut
karena budaya adalah endapan perilaku manusia. Budaya masyarakat itu akan berubah
karena terjadi transformasi nilai dari masyarakat terdahulu ke masyarakat kemudian,
tetapi dengan tetap memelihara nilai-nilai yang dianggapnya luhur, karena tanpa hal itu
akan terbentuk masyarakat baru yang lain.
b. Kedua, kemampuan masyarakat beradaptasi dengan dunia yang berubah dengan cepat.
Sejarah membuktikan banyak peradaban masyarakat yang telah hilang karena tidak
mampu beradaptasi dengan perubahan dunia. Masyarakat yang mampu menyesuaikan diri
dengan perubahan serta memanfaatkan peluang yang timbul akan unggul.
c. Ketiga, adanya fungsi integrasi dari unsur-unsur masyarakat yang beragam secara terusmenerus sehingga terbentuk kekuatan sentripetal yang kian menyatukan masyarakat itu.
d. Keempat, masyarakat perlu memiliki goal attainment atau tujuan bersama yang dari masa
ke masa bertransformasi karena terus diperbaiki oleh dinamika masyarakatnya dan oleh
para pemimpinnya. ( Husodo, Siswono Yudo. 2005. Pancasila dan Keberlanjutan
NKRI. Kompas, 2 Juli.)
Pendapat Parsons di atas dapat dijadikan sebagai acuan untuk mengembalikan nilainilai Pancasila yang semakin memudar. Keempat peradigma fungsi Parsons harus
diimplementasikan masyarakat Indonesia agar dapat tetap hidup dan berkembang yang
terkristalisasi dalam Pancasila sebagai ideology. Kemampuan masyarakat yang tetap mampu
bertahan di tengah arus liberalisasi dan globalisasi dengan tetap mempertahankan nilai-nilai
budaya adalah salah satu caranya. Kebudayaan kini menjadi salah satu yang paling rentan
terhadap ancaman tersebut. Nilai-nilai luhur tetap terus dijaga dapat mempererat persatuan
dan kesatuan bangsa.
Hampir sama dengan Asvi Warman Adam, Kenneth E. Boulding membagi tahap
perkembangan ideology menjadi tiga tahapan: Emergence (kemunculan), Decline
(kemunduran) dan Resurgence of Ideologies (kebangkitan kembali suatu ideology). Dalam
hal ini, kita harus berusaha untuk membangkitkan kembali ideology Pancasila. Pancasila
perlu disosialisasikan kepada masyarakat Indonesia, karena yang perlu kita masing-masing
sadari bahwa dalam sejarah kita mungkin telah melewati Fase Decline namun pada
kenyataannya kita masih berada dalam fase tersebut. Keberhasilan Pancasila sebagai suatu

ideologi akan diukur dari terwujudnya kemajuan yang pesat, kesejahteraan yang tinggi, dan
persatuan yang mantap dari seluruh rakyat Indonesia.
Untuk itu, peran kaum terpelajarlah yang dapat mengartikulasikan keinginan rakyat
yang seharusnya untuk maju dan menjawab tantangan yang dihadapi bangsa sekarang ini
dengan bersatu padu. Konsep dan praktik kehidupan yang Pancasilais terutama harus
diwujudkan dalam keseharian para pemimpin, para penguasa, para pengusaha, dan kaum
terpelajar Indonesia untuk menjadi pelajaran masyarakat luas.
2.

DINAMIKA PELAKSANAAN UUD 1945


Undang-Undang Dasar 1945 berlaku di Indonesia dalam dua kurun waktu. Pertama

yaitu sejak ditetapkannya oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, yang berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 2 tanggal 10 Oktober diberlakukan surat mulai tanggal 17 Agustus
1945, sampai dengan berlakunya konsititusi RIS pada saat pengakuan kedaulatan tanggal 27
Desember 1949. Kedua yaitu dalam kurun waktu sejak diumumkannya Dekrit Presiden 5 Juli
1959 sampai sekarang, dan ini terbagi atas masa orde lama, masa orde baru dan masa era
global. Berikut akan dibahas pelaksanaan UUD 1945 dalam dinamika ketatanegaraan RI.
a. Masa Awal Kemerdekaan
Sejak berlakunya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, maka mulai saat itu
berlakulah tata hukum baru yang bersumber dari proklamasi kemerdekaan Indonesia dan
tidak berlakunya kembali tata hukum lama (zaman kolonial). Untuk mengganti seluruh
tata hukum peninggalan kolonial dalam UUD 1945, Pasal II Aturan Peralihan menyatakan
bahwa segala bentuk badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku
selama belum diadakannya yang baru menurut Undang-Undang Dasar. UUD 1945
sebagai hukum dasar tertulis dalam gerak pelaksanaannya pada kurun 1945-1949, jelas
tidak dilaksanakan dengan baik, karena kita memang sedang dalam masa pancaroba,
dalam usaha membela dan mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diproklamirkan.
Sistem pemerintahan dan kelembagaan yang ditetapkan UUD 1945 jelas belum dapat
dilaksanakan karena dalam masa ini sempat diangkat anggota DPA. Sedangkan MPR dan
DPR pada saat itu belum dapat dibentuk. Pada saat itu masih diberlakukan Aturan
Peralihan Pasal IV yang menyatakan bahwa sebelum MPR, DPR, dan Dewan
Pertimbangan Agung dibentuk menurut UUD segala kekuasaan akan dijalankan oleh
Presiden dengan bantuan Komite Nasional. Pada tanggal 3 November 1945 atas usul BPKNIP pemerintah mengeluarkan suatu maklumat yang ditanda tangani oleh Wakil
Presiden tentang pembentukan partai politik. Tujuan pemerintah antara lain adalah agar

dengan adanya partai-partai politik itu dapat dipimpin dari segala aliran paham yang ada
dalam masyarakat ke dalam jalan yang teratur.
b. Masa Orde Lama
Pada bulan September 1955 dan Desember 1955 diadakan pemilihan umum, dimana
masing-masing anggota memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota
Konstituante. Tugas Konstituante adalah untuk membuat suatu Rancangan UndangUndang Dasar sebagai pengganti UUDS 1950, yang menurut Pasal 134 akan ditetapkan
secepatnya bersama-sama dengan pemerintah. Untuk mengambil suatu keputusan
mengenai Undang-Undang Dasar, maka Pasal 137 UUDS 1950 menyatakan sebagai
berikut:
1) Untuk mengambil keputusan tentang Rancangan Undang-Undang Dasar baru, maka
sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota Konstituante harus hadir
2) Rancangan tersebut diterima jika disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah
anggota yang hadur.
3) Rancangan yang telah diterima oleh Konstituante, dikirimkan kepada Presiden untuk
disahkan oleh pemerintah
4) Pemerintah harus mengesahkan rancangan itu dengan segera, serta mengumumkan
undang-Undang Dasar itu dengan keluhuran.
Lebih dari dua tahun bersidang, pada saat itu Konstituante belum berhasil untuk
merumuskan Rancangan Undang-Undang Dasar baru. Perbedaan pendapat yang terjadi
perdebatan dalam gedung Konstituante mengenai dasar negara telah menjalar ke luar gedung
Konstituante dan diperkirakan pula akan menumbulkan ketegangan politik dan fisik di
kalangan masyarakat. Dalam masa orde lama, Presiden selaku pemegang kekuasaan eksekutif
dan pemegang kekuasaan legislatif bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat telah
menggunakan kekuasaannya dengan tidak semestinya. Presiden telah mengeluarkan produk
legislatif yang pada hakikatnya adalah undang-undang dalam bentuk penetapan Presiden,
tanpa persetujuan DPR.
c. Masa Orde Baru
Gagalnya memperebutkan kekuasaan oleh G-30-S / PKI, telah dapat diungkapkan dan
dibuktikan, baik melalui sidang pengadilan maupun bahan dan keterangan lainnya, baik
melalui sidang pengadilan maupun bahan dan keterangan lainnya bahwa PKI-lah yang
mendalangi secafra sadar dan berencana coup detat itu. Perbuatan jahat itu bukan hanya
telah menimbulkan banyak korban jiwa dan harta yang cukup besar dan melanggar
hukum dan UUD yang berlaku, melainkan juga telah jelas mempunyai tujuan untuk

mengganti dasar falsafah negara Pancasila dengan falsafah negara lain. Dalam sejarah
kemerdekaan bangsa Indonesia, PKI telah dua kali mengkhianati negara, bangsa, dan
dasar negara. Atas dasar itulah, rakyat menghendaki dan menuntut dibubarkannya PKI,
namun pimpinan negara pada waktu itu tidak mau mendengarkan dan tidak mau
memenuhi tuntutan rakyat, sehingga timbul apa yang disebut situasi politik antara rakyat
disatu pihak dan Presiden di lain pihak. Dengan dipelopori oleh pemuda/mahasiswa,
rakyat menyampaikan tri tuntutan rakyat (Tritura) sebagai berikut: Bubarkan PKI,
Bersihkan kabinet dari unsur-unsur PKI, dan turunkan harga-harga/perbaiki ekonomi.
Gerakan dalam memperjuangkan tritura ini semakin meningkat, sehingga pemerintah
(Presiden) semakin terdesak. Akhirnya pada tanggal 11 Maret 1966 Presiden Soekarno
mengeluarkan surat perintah kepada Letnan Jendral TNI Soeharto yang intinya
memberikan wewenang kepadanya untuk mengambil langkah-langkah pengamanan yang
dianggap perlu untuk menyelamatkan keadaan. Lahirnya Surat Perintah 11 Maret
(SUPERSEMAR) ini dianggap sebagai lahirnya pemerintahan Orde Baru.
d. Masa Globalisasi
Setelah berakhirnya pemerintahan Presiden Soeharto, terbukalah kesempatan para pakar
untuk membicarakan perlunya Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan amandemen.
Dalam kenyataannya selama 32 tahun pemerintahan orde baru memberikan kekuasaan
yang tinggi kepada Presiden, baik sebagai kepala negara maupun sebagai kepala
pemerintahan, sehingga hasilnya justru lebih parah dari pada yang terjadi pada masa orde
lama. Kenyataan ini menurut Muchsan (1999:3-7) atas dasar indikator berikut ini.
1) Dengan adanya fungsi partai politik sehingga hanya ada dua partai politik dan satu
Golkar, telah memberangus sistem demokrasi
2) Adanya single majority sama dengan one party system
3) Secara material, Presiden memiliki kekuasaan yang tidak terbatas, meliputi kekuasaan
eksekutif, legislatif, dan yudikatif..
4) Semua lembag pengawasan terhadap pemerintah dibuat sedemikian rupa, sehingga
tidak berdaya.
5) MPR yang merupakan corong Presiden menyatakan tidak akan merubah UUD
6) Secara material jabatan Presiden tidak terbatas
7) Lembaga-lembaga tinggi negara yang lain melakukan politik yes men
Dengan pengesahan Perubahan UUD 1945, MPR telah menuntaskan reformasi
konstitusi sebagai suatu langkah demokrasi dalam upaya menyempurnakan UUD 1945
menjadi konstitusi yang demokratis, sesuai dengan semangat zaman yang mewadahi

dinamika perkembangan zaman. Perubahan itu menjadi suatu lembaran sejarah lanjutan Bung
Karno dan Bung Hatta dan rekan-rekannya berhasil menegaskan UUD 1945 dalam rapat
BPUPKI dan PPKI.
Perubahan UUD 1945 merupakan salah satu tuntutan yang paling mendasar dari
gerakan reformasi yang berujung pada runtuhnya kekuasaan Orde Baru pada tahun 1998. Hal
ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak lagi melihat faktor penyebab otoritarian Orde Baru
hanya pada manusia sebagai pelakunya, tetapi karena kelemahan sistem hukum dan
ketatanegaraan. Kelemahan dan ketidaksempurnaan konstitusi sebagai hasil karya manusia
adalah suatu hal yang pasti. Kelemahan dan ketidaksempurnaan UUD 1945 bahkan telah
dinyatakan oleh Soekarno pada rapat pertama PPKI tanggal 18 Agustus 1945 .
Gagasan perubahan UUD 1945 menemukan momentumnya di era reformasi. Pada
awal masa reformasi, Presiden membentuk Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat
Madani yang didalamnya terdapat Kelompok Reformasi Hukum dan Perundang-Undangan.
Kelompok tersebut menghasilkan pokok-pokok usulan amandemen UUD 1945 yang perlu
dilakukan mengingat kelemahan-kelemahan dan kekosongan dalam UUD 1945. Gagasan
perubahan UUD 1945 menjadi kenyataan dengan dilakukannya perubahan UUD 1945 oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pada Sidang Tahunan MPR 1999, seluruh fraksi di
MPR membuat kesepakatan tentang arah perubahan UUD 1945 yaitu
a. sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945;
b. sepakat untuk mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. sepakat untuk mempertahankan sistem presidensiil (dalam pengertian sekaligus
menyempurnakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensiil);
d. sepakat untuk memindahkan hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke
dalam pasal-pasal UUD 1945; dan
e. sepakat untuk menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD
1945.
Perubahan UUD 1945 kemudian dilakukan secara bertahap dan menjadi salah satu
agenda Sidang Tahunan MPR dari tahun 1999 hingga perubahan keempat pada Sidang
Tahunan MPR tahun 2002 bersamaan dengan kesepakatan dibentuknya Komisi Konstitusi
yang bertugas melakukan pengkajian secara komprehensif tentang perubahan UUD 1945
berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi.
Perubahan Pertama pada tahun 1999, Perubahan Kedua pada tahun 2000, Perubahan
Ketiga pada tahun 2001, dan Perubahan Keempat pada tahun 2002. Dalam empat kali
perubahan itu, materi UUD 1945 yang asli telah mengalami perubahan besar-besaran dan

dengan perubahan materi yang dapat dikatakan sangat mendasar. Secara substantif,
perubahan yang telah terjadi atas UUD 1945 telah menjadikan konstitusi proklamasi itu
menjadi konstitusi yang baru sama sekali, meskipun tetap dinamakan sebagai UndangUndang Dasar 1945.
Perubahan Pertama UUD 1945 disahkan dalam Sidang Umum MPR-RI yang
diselenggarakan antara tanggal 12 sampai dengan tanggal 19 Oktober 1999. Pengesahan
naskah Perubahan Pertama itu tepatnya dilakukan pada tanggal 19 Oktober 1999 yang dapat
disebut sebagai tonggak sejarah yang berhasil mematahkan semangat konservatisme dan
romantisme di sebagian kalangan masyarakat yang cenderung menyakralkan atau menjadikan
UUD 1945 bagaikan sesuatu yang suci dan tidak boleh disentuh oleh ide perubahan sama
sekali. Perubahan Pertama ini mencakup perubahan atas 9 pasal UUD 1945, yaitu atas Pasal 5
ayat (1), Pasal 7, Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 14 ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20 ayat (1) sampai dengan ayat
(4), dan Pasal 21. Kesembilan pasal yang mengalami perubahan atau penambahan tersebut
seluruhnya berisi 16 ayat atau dapat disebut ekuivalen dengan 16 butir ketentuan dasar.
Gelombang perubahan atas naskah UUD 1945 terus berlanjut, sehingga dalam Sidang
Tahunan pada tahun 2000, MPR-RI sekali lagi menetapkan Perubahan Kedua yaitu pada
tanggal 18 Agustus 2000. Cakupan materi yang diubah pada naskah Perubahan Kedua ini
lebih luas dan lebih banyak lagi, yaitu mencakup 27 pasal yang tersebar dalam 7 bab, yaitu
Bab VI tentang Pemerintah Daerah, Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat, Bab IXA
tentang Wilayah Negara, Bab X tentang Warga Negara dan Penduduk, Bab XA tentang Hak
Asasi Manusia, Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, dan Bab XV tentang
Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Jika ke-27 pasal tersebut
dirinci jumlah ayat atau butir ketentuan yang diaturnya, maka isinya mencakup 59 butir
ketentuan yang mengalami perubahan atau bertambah dengan rumusan ketentuan baru sama
sekali.
Setelah itu, agenda perubahan dilanjutkan lagi dalam Sidang Tahunan MPR-RI tahun
2001 yang berhasil menetapkan naskah Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tanggal 9
November 2001. Bab-bab UUD 1945 yang mengalami perubahan dalam naskah Perubahan
Ketiga ini adalah Bab I tentang Bentuk dan Kedaulatan, Bab II tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, Bab V tentang
Kementerian Negara, Bab VIIA tentang Dewan Perwakilan Daerah, Bab VIIB tentang
Pemilihan Umum, dan Bab VIIIA tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Seluruhnya terdiri
atas 7 bab, 23 pasal, dan 68 butir ketentuan atau ayat. Dari segi jumlahnya dapat dikatakan

naskah Perubahan Ketiga ini memang paling luas cakupan materinya. Tapi di samping itu,
substansi yang diaturnya juga sebagian besar sangat mendasar. Materi yang tergolong sukar
mendapat kesepakatan cenderung ditunda pembahasannya dalam sidang-sidang terdahulu.
Karena itu, selain secara kuantitatif materi Perubahan Ketiga ini lebih banyak muatannya,
juga dari segi isinya, secara kualitatif materi Perubahan Ketiga ini dapat dikatakan Sangay
mendasar pula.
Perubahan yang terakhir dalam rangkaian gelombang reformasi nasional sejak tahun
1998 sampai tahun 2002, adalah perubahan yang ditetapkan dalam Sidang Tahunan MPR-RI
tahun 2002. Pengesahan naskah Perubahan Keempat ditetapkan pada tanggal 10 Agustus
2002. Dalam naskah Perubahan Keempat ini, ditetapkan bahwa
a. Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah
dengan perubahan pertama, kedua, ketiga, dan perubahan keempat ini adalah UndangUndang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18
Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959
serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959 oleh Dewan Perwakilan
Rakyat;
b. Penambahan bagian akhir pada Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 dengan kalimat Perubahan tersebut diputuskan dalam
Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-9 tanggal 18
Agustus 2000 Sidang Tahunan Majelis permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dan
mulai berlaku pada tanggal ditetapkan;
c. Pengubahan penomoran Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) Perubahan Ketiga Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi Pasal 3 ayat (2) dan (3); Pasal 25E
Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menjadi Pasal 25A;
d. Penghapusan judul Bab IV tentang Dewan Pertimbangan Agung dan pengubahan
substansi Pasal 16 serta penempatannya ke dalam Bab III tentang Kekuasaan
Pemerintahan negara;
e. Pengubahan dan/atau penambahan Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3),
Pasal 11 ayat (1); Pasal 16; Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3); Bab XIII, Pasal 31
ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2); Bab XIV,
Pasal 33 ayat (4) dan ayat (5); Pasal 34 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4); Pasal 37
ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III;

Aturan Tambahan Pasal I dan II Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945.
Secara keseluruhan naskah Perubahan Keempat UUD 1945 mencakup 19 pasal,
termasuk satu pasal yang dihapus dari naskah UUD. Ke-19 pasal tersebut terdiri atas 31 butir
ketentuan yang mengalami perubahan, ditambah 1 butir yang dihapuskan dari naskah UUD.
Paradigma pemikiran atau pokok-pokok pikiran yang terkandungdalam rumusan pasal-pasal
UUD 1945 setelah mengalami empat kali perubahan itu benar-benar berbeda dari pokok
pikiran yang terkandung dalam naskah asli ketika UUD 1945 pertama kali disahkan pada
tanggal 18 Agustus 1945. Bahkan dalam Pasal II Aturan Tambahan Perubahan Keempat UUD
1945 ditegaskan, Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasalpasal. Dengan demikian, jelaslah bahwa sejak tanggal 10 Agustus 2002, status Penjelasan
UUD 1945 yang selama ini dijadikan lampiran tak terpisahkan dari naskah UUD 1945, tidak
lagi diakui sebagai bagian dari naskah UUD. Jikapun isi Penjelasan itu dibandingkan dengan
isi UUD 1945 setelah empat kali berubah, jelas satu sama lain sudah tidak lagi bersesuaian,
karena pokok pikiran yang terkandung di dalam keempat naskah perubahan itu sama sekali
berbeda dari apa yang tercantum dalam Penjelasan UUD 1945 tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Jimly Asshidiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2005,
hal.1
Drs. H. Kaelan, m.s. 2000. Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta.
e. Husodo, Siswono Yudo. 2005. Pancasila dan Keberlanjutan NKRI. Kompas, 2 Juli.)

Anda mungkin juga menyukai