Anda di halaman 1dari 120

Audit

Kecurangan
Pengantar

Disusun Oleh:
Tim Penyusun Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Sekolah Tinggi Akuntansi Negara


2007

Pengantar Audit Kecurangan


Oleh Tim Penyusun Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK)
Departemen Keuangan Republik Indonesia
Bekerja sama dengan Yayasan Pendidikan Internal Audit (YPIA)

Desain sampul dan isi : Tim YPIA

Diterbitkan pertama kali oleh :


Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
Jl. Bintaro Utama Sektor V
Bintaro Jaya Tangerang 15223
Indonesia
Telp : 021 7361654 - 56
Fax

: 021 7361653

Cetakan Pertama : Desember 2007

Buku ini bisa di download bebas melalui Website :


www.stan-star.ac.id

Kata

Sambutan

Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah pada tahun 2007 ini


Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dipercaya oleh Asian Development
Bank (ADB) untuk melaksanakan salah satu kegiatan reformasi birokrasi yakni
penyusunan program pelatihan auditor internal non-gelar bagi Inspektorat di
daerah. Hal ini didasarkan pada tekad pemerintah untuk melakukan reformasi
dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam kerangka good governance
mencakup reformasi audit pemerintahan daerah.
Dalam hubungan ini, pemerintah telah menetapkan proyek yang
disebut dengan State Audit Reform Sector Development Project (STAR-SDP).
Pelaksanaan STAR-SDP mendapat dukungan pendanaan yang berasal dari
Asian Development Bank (ADB) dan pemerintah Belanda.
Sejalan dengan tekad untuk menyukseskan penyelenggaraan otonomi
daerah, pemerintah juga menetapkan bahwa STAR-SDP mencakup proyek
peningkatan kuantitas dan kualitas auditor di lingkungan pemerintah daerah
melalui program pendidikan jangka pendek (non-gelar). Proyek pendidikan
non-gelar bagi auditor inspektorat daerah ini diserahkan kepada STAN
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) Departemen Keuangan
RI dan pelaksanaannya harus melibatkan konsultan independen serta didukung
oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).
Modul ini merupakan bagian dari kegiatan STAR-SDP tersebut yang
dikhususkan bagi auditor inspektorat daerah. Semoga modul ini bermanfaat
bagi para auditor inspektorat daerah dan para instruktur pelatihan audit internal
sektor publik serta pihak lain yang tertarik untuk mendalami audit internal
sektor publik.
Selaku pimpinan STAN saya sangat bangga dengan kegiatan ini dan
peningkatan yang telah dicapai khususnya dalam hal pengembangan Sumber
Daya Manusia (SDM) aparatur negara, namun tidak cukup sampai di sini, kita
harus dapat mencapai kinerja yang lebih baik di masa mendatang.

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Akhirnya pada kesempatan ini, atas nama Direktur Sekolah Tinggi


Akuntansi Negara saya mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang
penuh dedikasi telah bekerja keras dalam pembuatan modul ini dan juga pihak
BAPPENAS serta Tim Teknis STAR-SDP STAN yang telah mendukung dengan
kemampuan profesionalisme sehingga proyek ini dapat berhasil dengan baik.
Semoga di tahun-tahun mendatang kita tetap meningkatkan kinerja.

Suyono Salamun, Ph.D


Direktur Sekolah Tinggi Akuntansi Negara

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

Daftar

Isi

DAFTAR ISI...........................................................................................

PENDAHULUAN....................................................................................

iii

Bab I Otonomi Daerah dan Potensi Korupsi di Indonesia..............

01

1. Otonomi Daerah.....................................................................

01

2. Potensi Korupsi......................................................................

03

Bab II Mencegah Terjadinya Fraud....................................................

09

1. Memahami Perilaku Pelaku Fraud.........................................

09

2. Mencegah Fraud....................................................................

10

3. Membangun Sistem Pengendalian Internal............................

12

4. Kelemahan Sistem Pengendalian Internal dalam Pencegahan


Fraud.....................................................................................

17

5. Membangun Budaya Jujur, Terbuka dan Pemberian


Bantuan.................................................................................

18

6. Penanggung Jawab Upaya Pencegahan Fraud.....................

20

7. Peran Inspektorat dalam Pencegahan Fraud.........................

21

Bab III Audit Kecurangan (Fraud Auditing).......................................

23

1. Kecurangan (Fraud) dan Korupsi serta Jenis dan Akibatnya.

23

2. Audit Kecurangan (Fraud Auditing)........................................

26

Bab IV Deteksi dan Investigasi Fraud................................................

29

1. Deteksi Fraud........................................................................

29

2. Investigasi Fraud...................................................................

40

Bab V Aspek Hukum dari Fraud.........................................................

59

1. Sistem Hukum yang Berlaku di Indonesia..............................

59

2. Hukum Pidana dan Hukum Perdata.......................................

59

3. Proses Hukum Pidana dan Perdata.......................................

69

4. Peran Auditor sebagai Saksi dan Ahli di Persidangan...........

94

LAMPIRAN............................................................................................

99

DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 107

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

Halaman ini sengaja dikosongkan

ii

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

Pendahuluan
Modul Pengantar Audit Kecurangan ini disusun untuk bahan pelatihan
di lingkungan Bawasda Provinsi/Kabupaten/Kota (selanjutnya berdasarkan
PP No. 41 tahun 2007 nomenklatur Bawasda telah diganti dengan Inspektorat).
Oleh karena itu, selanjutnya istilah Inspektorat akan selalu digunakan dalam
modul ini. Di lingkungan Inspektorat, audit kecurangan (fraud auditing) masih
merupakan pengetahuan yang baru.
Dengan semakin gencarnya pemberantasan korupsi secara nasional,
Inspektorat sebagai Lembaga Pengawasan sudah seharusnya dapat berperan
juga dalam menunjang upaya-upaya Pemerintah dalam memberantas apa
yang dikenal umum sebagai perbuatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan
disingkat KKN yang sangat merugikan perekonomian nasional dan daerah
dan secara langsung dan tidak langsung menghambat pembangunan dan
usaha-usaha pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Untuk
menunjang peningkatan peran Inspektorat dalam ikut serta memberantas
KKN, para petugas Inspektorat perlu melengkapi keahliannya mengenai Audit
Kecurangan.
Modul ini masih bersifat pengantar, untuk membekali para pembaca
dengan dasar-dasar audit kecurangan sebagai tahap pengenalan. Tidak
seperti jenis audit lainnya, menurut pengalaman audit kecurangan seringkali
sangat kompleks dalam pelaksanaannya dan memerlukan waktu yang lama
untuk menuntaskannya. Tidak jarang auditor harus meminta bantuan tenaga
yang lebih ahli dan berpengalaman dari Lembaga Pengawasan lainnya
misalnya dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) bahkan bukan tidak mungkin pada
akhirnya harus melibatkan tenaga-tenaga penyidik dari penegak hukum karena
pada tahap akhir hasil suatu audit kecurangan itu akan diproses secara hukum
di pengadilan. Pada tingkat ini, bekal yang harus dimiliki oleh pemeriksa
sudah harus lebih maju dari sekedar pengetahuan pada tataran pengantar.
Perlu dipahami bahwa kecurangan atau fraud di Indonesia meningkat
secara signifikan baik jumlah kerugian yang timbul maupun modusnya, sehingga

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

iii

Audit
Kecurangan
Pengantar

Indonesia termasuk dalam kelompok Negara paling korup di dunia. Menurut


Transparansi International, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia sebesar 2,3 dan
berada di urutan 143 dari 180 yang diamati. Dibanding dengan Negara lain di
kawasan Asia Tenggara, Indonesia berada dalam posisi paling korup ketiga
setelah Myanmar (indeks 1,4) dan Kamboja (2,0). Sementara Filipina masih
sedikit lebih baik dengan indeks 2,5, Vietnam (2,6), Timor Leste (2,6), Thailand
(3,3), Malaysia (5,1) dan Singapore (9,3) (Kompas 27 September 2007). Fraud
merupakan kejahatan tersembunyi, tidak ada yang dilakukan secara terangterangan, tidak ada korban yang segera menyadari bahwa fraud telah terjadi,
namun fraud adalah kejahatan terstruktur yang merusak sendi-sendi tata kelola
baik di perusahaan maupun dalam pelayanan publik. Korupsi sebagai salah
satu bentuk fraud merusak kehidupan berbangsa, menyeng-sarakan rakyat,
dan menjadi penyebab kemiskinan. Oleh karena itu fraud harus diberantas,
setidak-tidaknya ada upaya untuk meminimalkan terjadinya fraud.
Semoga modul ini berguna bagi para peserta pelatihan dalam memahami pengertian kecurangan, pelaku dan pemicunya, upaya pencegahannya,
mengenali gejala atau symptom terjadinya kecurangan, proses investigasinya
serta aspek hukum yang terkait dengan kecurangan.
Beberapa hal perlu dijelaskan terkait dengan isi beberapa bab dalam
modul ini. Bab 1 Otonomi Daerah dan Potensi Korupsi, menjelaskan tentang
otonomi daerah dan sumber pendapatan daerah yang berasal dari APBN
serta potensi terjadinya korupsi terkait dengan semakin derasnya aliran dana
dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah. Pada Bab 2 Mencegah Terjadinya
Fraud, ditekankan pada upaya pencegahan fraud melalui pembangunan
sistem pengendalian internal. Dalam bab ini pengendalian internal versi COSO
diurai lebih teoritis. Pada Bab 3 Audit Kecurangan (Fraud Auditing), diuraikan
pengertian kecurangan atau fraud, jenis-jenisnya serta akibat yang ditimbulkannya. Selanjutnya dijelaskan atribut atau ciri-ciri apa yang harus dimiliki
oleh pemeriksa kecurangan (fraud auditor). Dalam Bab 4 Deteksi dan Investigasi
Fraud, dijelaskan beberapa kategori gejala (symptom) fraud terkait dengan
upaya auditor mendeteksi terjadinya fraud serta tahapan dalam melakukan
investigasi fraud. Dalam Bab ini pengendalian versi COSO yang telah diuraikan
dalam Bab 2 dikemukakan lagi dalam konteks deteksi di lapangan (daerah).
Pada Bab 5 Aspek Hukum dari Fraud, dijelaskan perbedaan fraud yang bersifat
pidana dan perdata, proses hukum terhadap pelaku fraud, alat bukti hukum,
serta peran auditor sebagai saksi dan ahli di pengadilan. Jika dalam Bab 4
dikemukakan tentang pembuktian dalam proses audit, dalam Bab 5 ditekankan
pada alat bukti hukum di Pengadilan.

iv

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

Penyebutan organisasi dalam modul ini, dalam konteks organisasi


Pemerintahan Daerah, berarti Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), sedangkan penyebutan perusahaan berarti Badan-badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Selanjutnya, karena istilah fraud sudah sangat lazim dipakai dalam lingkup
pengawasan, maka dalam modul ini istilah fraud dipakai saling bergantian
dengan istilah kecurangan.

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

Halaman ini sengaja dikosongkan

vi

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

Otonomi Daerah Bab 1


dan Potensi

Korupsi
di Indonesia

Setelah mempelajari bab ini, diharapkan pembaca dapat:


Menguraikan maksud dan tujuan dari otonomi daerah.
Menguraikan tugas dan peran Pemerintahan Daerah dalam rangka
otonomi daerah.
Mengklasifikasikan sumber-sumber pendapatan daerah.
Menjelaskan potensi terjadinya penyimpangan atau kecurangan dalam
pengelolaan keuangan daerah.

1. Otonomi Daerah
Sejak bergulirnya reformasi di Indonesia pada tahun 1998, tuntutan
untuk memperoleh otonomi seluas-luasnya dari daerah semakin menguat untuk
dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat di daerahnya dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, pelayanan umum dan daya saing daerah. Undang-undang No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dipandang sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan
otonomi daerah. Oleh karena itu, ditetapkanlah Undang-undang No. 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-undang No.
22 Tahun 1999. Dengan Undang-undang yang baru ini, Pemerintah Daerah
diharapkan dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan seluas-luasnya, untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan dan peran serta masyarakat serta daya saing daerah dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan
kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penyerahan wewenang pemerintahan yang semula dipegang oleh Pemerintah
Pusat kepada daerah otonomi ini disebut desentralisasi, sabagai kebalikan dari
sentralisasi.

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

01

Audit
Kecurangan
Pengantar

Sebagai konsekuensi dari pemberian kewenangan yang luas dari


Pemerintah Pusat (Pemerintah) kepada daerah, maka pemerintah harus memberi dukungan keuangan yang mencukupi bagi terselenggaranya otonomi
daerah. Untuk maksud tersebut ditetapkanlah Undang-undang No. 33 Tahun
2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-undang No. 25 Tahun 1999 tentang
hal yang sama namun sudah dipandang tidak sesuai lagi dengan perkembangan
keadaaan.
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah
merupakan suatu sistem yang menyeluruh dalam rangka pendanaan penyelenggaraan asas Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
Dekonsentrasi di sini dimaksudkan pelimpahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan atau kepada
instansi vertikal di daerah. Sedangkan Tugas Pembantuan adalah penugasan
dari Pemerintah kepada Daerah dan/atau desa, atau penugasan dari pemerintah
provinsi kepada kabupaten/kota dan atau desa, serta penugasan dari pemerintah
kabupaten/kota kepada desa, untuk melaksanakan tugas tertentu dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaanya kepada
pemberi tugas.
Dengan sistem perimbangan keuangan ini, daerah otonomi mempunyai
beberapa sumber pendapatan yaitu:
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang bersumber dari:
a. Pajak Daerah.
b. Retribusi Daerah.
c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan
d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.
2. Dana Perimbangan, yang terdiri atas:
a. Dana Bagi Hasil, yang bersumber dari pajak dan sumber daya alam.
b. Dana Alokasi Umum (DAU), yaitu dana yang bersumber dari pendapatan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan
dengan tujuan pemerataan kemampuan antar daerah untuk mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
c. Dana Alokasi Khusus (DAK), yaitu dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk
membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah
dan sesuai dengan perioritas nasional.

02

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

3. Lain-lain Pendapatan, yang terdiri dari pendapatan hibah dan pendapatan


dari Dana Darurat. Dana Darurat berasal dari pendapatan APBN untuk
keperluan mendesak yang diakibatkan oleh bencana nasional dan/atau
peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh daerah dengan
menggunakan sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Dibandingkan sebelum berlakunya otonomi daerah yang sumber penerimaan dalam APBD nya sangat terbatas yaitu dari PAD dan Inpres/Banpres,
maka dengan otonomi secara luas, sumber APBD dari aliran APBN semakin
besar. Data aliran dana yang ditransfer ke daerah dari APBN dalam dua tahun
terakhir tampak sebagai berikut (Sumber: Laporan Menteri Keuangan, Kompas
1 Oktober 2007):

Tahun Anggaran
1

2006
(dalam Rp juta)

2005
(dalam Rp juta)

Dana Perimbangan

222.130.618

143.221.256

a. Dana bagi Hasil

64.900.299

49.692.261

b. Dana Alokasi Umum

145.664.185

88.765.428

c. Dana Alokasi Khusus

11.566.134

4.763.567

Dana Otonomi Khusus dan penyesuaian

4.049.336

7.242.612

a. Dana Otonomi Khusus

3.488.284

1.775.312

561.052

5.467.300

226.179.954

150.463.869

b. Dana Penyesuaian

Total Transfer untuk Daerah

2. Potensi Korupsi
Dana yang terus membesar tersebut harus diimbangi dengan pengelolaan yang baik. Jika tidak, akan timbul risiko-risiko yang tidak diinginkan.
Sistem pengelolaan keuangan daerah harus dibenahi dan mereka yang
ditugaskan mengelola harus bisa dipercaya, kompeten dan berintegritas.
Ibarat terjadi panen raya, dapat dibayangkan kemungkinan atau potensi
penyimpangan yang bisa terjadi terkait dengan sifat-sifat manusia yang
serba banyak kelemahan dalam kondisi ekonomi yang masih belum dapat
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Jika pada saat sentralisasi uang Negara menumpuk di Pusat, penyimpangan banyak terjadi di tingkat pegawai Pemerintah Pusat. Setelah
otonomi, KKN dapat berkembang di daerah-daerah. Akhir-akhir ini fakta
menunjukkan banyaknya kasus korupsi di daerah, baik melibatkan Gubernur,

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

03

Audit
Kecurangan
Pengantar

Bupati, Walikota dan para anggota DPRD serta Kepala Dinas baik yang masih
aktif maupun yang telah purna bhakti. Jika pada tingkat pimpinan pemegang
kekuasaan sudah memberikan contoh seperti itu, bukan mustahil hal itu
menjadi alasan pembenaran oleh bawahannya untuk melakukan hal yang
sama. Kondisi ini sangat memprihatinkan, karena amanat otonomi untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah seperti dikhianati oleh mereka
yang pada mulanya dipercayai oleh rakyat sebagai pengemban amanat
mereka. Sebagai contoh, Box. 1 mentabulasikan Laporan Hasil Pemeriksaan
BPK atas APBD 2004 dan 2005 Kota Aglabis, padahal Walikota Aglabis
bercita-cita mengembangkan potensi daerahnya secara amat bagus sebagaimana tampak pada Box. 2.

Box : 1
Cuplikan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas APBD 2004 dan 2005
kota Aglabis dengan mengungkap 28 temuan senilai Rp. 6.817.183.031,57 1)
1.

Terdapat Pengeluaran-pengeluaran yang Tidak Dilengkapi dengan Bukti


Pendukung Sebesar Rp928.832.100,00

2.

Terdapat PPh Pasal 21 yang Belum Dipungut Minimal Sebesar Rp190.328.532,00

3.

Pemberian Bantuan Biaya Rehabilitasi Kantor Kejaksaan Negeri Aglabis


Sebesar Rp400.000.000,00 dan Bantuan Biaya Pembangunan Kantor Polsek
Aglabis Sebesar Rp360.000.000,00 Tidak Sesuai Ketentuan

4.

Pemberian Bantuan Pengamanan Pilkada Sebesar Rp20.000.000,00 dan


Bantuan Tetap Kepada Kuasa Hukum Pemerintah Kota Aglabis Sebesar
Rp21.000.000,00 Tidak Efektif

5.

Pengadaan Kendaraan Dinas Roda Dua untuk Korem, Kodim dan Polres
Sebanyak Tiga Unit Tidak Sesuai Ketentuan

6.

Pengeluaran Belanja Tidak Tersangka Digunakan untuk Pelunasan Pinjaman


Anggota DPRD Periode 1997-1999 Sebesar Rp17.946.000,00

7.

Terdapat Kelebihan Pembayaran Pengeluaran Dana Pilkada Kota Aglabis


Tahun Anggaran 2005 Sebesar Rp53.800.000,00

8.

Bantuan Bahan Bakar Minyak dan Akomodasi Perjalanan Dinas ke Named


untuk Anggota dan Sekretariat KPU Kota Aglabis Sebesar Rp14.776.000,00
Dibayarkan Tidak Sesuai Ketentuan

9.

Realisasi Bantuan Biaya Operasional KPUD Kota Aglabis Tahun Anggaran


2005 Tidak Sesuai Ketentuan Sebesar Rp76.000.000,00

10. Biaya Pemeliharaan Kesehatan Pimpinan dan Anggota DPRD Sebesar


Rp52.000.000,00 Tidak Sesuai Ketentuan

04

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

11. Terdapat Kelebihan Pembayaran Tunjangan Perumahan Tahun Anggaran


2004 Kepada Wakil dan Anggota DPRD Kota Aglabis Masa Bakti 1999-2004
SebesarRp39.000.000,00
12. Realisasi Biaya Penunjang Operasional Pimpinan DPRD Kota Aglabis Tahun
Anggaran 2004 Sebesar Rp430.500.000,00 Tidak Sesuai Ketentuan
13. Realisasi Tunjangan Khusus Tahun Anggaran 2004 Sebesar Rp1.020.000.000,00
untuk Pembayaran Uang Purnabakti Pimpinan dan Anggota DPRD Kota Aglabis
Masa Bakti 1999-2004 Merugikan Keuangan Daerah
14. Pelaksanaan Perjalanan Dinas Luar Daerah Sekretariat DPRD Kota Aglabis
Tahun Anggaran 2004 Senilai Rp50.000.000,00 Dipertanggungjawabkan pada
Tahun Anggaran 2005
15. Realisasi Belanja untuk Tunjangan Perumahan dan Fasilitas Pendukung Rumah
Wakil Ketua dan Anggota DPRD Kota Aglabis Senilai Rp888.200.000,00
Dipertanggungjawabkan Tidak Sesuai Ketentuan Serta PPh Pasal 21 atas
Sewa Rumah dan PPN atas Biaya Fasilitas Pendukung Rumah Belum Dipungut
Sebesar Rp84.809.090,90
16. Terdapat Pembayaran Ganda Biaya Pemungutan Pajak Penerangan Jalan
Umum (PPJU) Tahun Anggaran 2004 Kepada PT PLN Sebesar Rp10.755.788,00.
17. Pembayaran Dimuka Biaya Operasional Pemegang Kas dan Pembantu Pemegang Kas Serta Uang Kesejahteraan Pegawai Honor Tahun 2005 Sebesar
Rp8.800.000,00 Tidak Sesuai Ketentuan.
18. Terdapat Kekurangan Kas Dinas Pendapatan Sebesar Rp11.648.962,00.
19. Terdapat Pengeluaran untuk Pembuatan Peta Digital Kota Aglabis Sebesar
Rp160.500.000,00 Belum Didukung Bukti-Bukti yang Lengkap.
20. Perencanaan Pembangunan Dermaga yang Bersumber dari DAK Non DR
Tahun Anggaran 2004 Sebesar Rp1.040.000.000,00 Kurang Memadai dan
Pencairannya Dilakukan dengan Merekayasa Dokumen Pendukung.
21. Pengadaan Meubelair Gudang Farmasi Keperluan Dinas Kesehatan Kota
Aglabis Senilai Rp35.580.000,00 Dilaksanakan Belum Sesuai Ketentuan.
22. Pengadaan Bahan Test Narkoba untuk Calon Siswa SLTA Senilai
Rp81.000.000,00 Dilaksanakan Tidak Sesuai Ketentuan.
23. Terdapat Kemahalan Harga Pengadaan Barang Sebesar Rp16.800.000,00.
24. Terdapat Pengadaan Alat Sterilizator yang Belum Dimanfaatkan Sebesar
Rp13.800.000,00.
25. Terdapat Denda Keterlambatan Penyerahan Pekerjaan Senilai Rp16.977.360,60
26. Perencanaan dan Pelaksanaan Pekerjaan Reklamasi Pantai Tidak Sesuai
Spesifikasi dan Kontrak
27 Pekerjaan Urugan Biasa Senilai Rp195.839.605,71 Dibayar Lebih Tinggi dari
Kondisi Senyatanya di Lapangan.
28. Kekurangan Volume Pekerjaan Sebesar Rp127.591.776,81 Pada Beberapa
Kontrak Pekerjaan Jalan.

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

05

Audit
Kecurangan
Pengantar

1) Dikutip dari situs resmi BPK : http//:www.bpk.go.id

Box : 2
Cuplikan sambutan Walikota Aglabis2)pada Peresmian Situs Web resmi
Pemerintah Kota tersebut 3)
Sambutan Walikota Aglabis
Pada tempat dan kesempatan pertama kita patut memanjatkan Puji
dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pada kesempatan ini pula saya
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, instansi-instansi terkait, tokoh
masyarakat serta cendekiawan, serta masyarakat Kota Aglabis sendiri yang
dengan caranya masing-masing telah membantu bagi kelancaran situs web ini.
Penerbitan situs web Pemerintah Kota Aglabis ini merupakan ekspresi
dari sebuah kerinduan, wujud dari sebuah hasrat, ungkapan dari sebuah keberanian
untuk memperlihatkan, memperkenalkan serta "menjual" wajah Kota Aglabis
dalam aneka pesona, potensi dan peluang yang dimilikinya.
Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah,
telah mendorong Pemerintah Kota Aglabis dan masyarakatnya untuk memanfaatkan seoptimal mungkin berbagai potensi dan peluang yang ada bagi
percepatan jalannya roda pembangunan guna memulihkan dan menciptakan
kondisi serta landasan perekonomian daerah yang kuat dan handal.
Dalam rangka meningkatkan landasan ekonomi daerah ini, maka
ditempuh upaya menarik investor untuk mau menanamkan investasinya di Kota
Aglabis sesuai potensi dan peluang yang ada. Banyak potensi dan peluang yang
prospektif dari kota ini. Kota Aglabis memiliki potensi sumber daya kelautan yang
tak terkira ragam dan jumlahnya. Perikanan merupakan primadona kota ini.
Berbagai jenis ikan yang sangat laku di pasaran internasional seperti kerapu,
tuna, kakap berkeliaran di kawasan perairan Aglabis dan sekitarnya. Di sini
terhampar potensi pariwisata bahari yang menakjubkan berupa keindahan pantai
pasir putih, terumbu karang atau taman laut serta olahraga memancing, menyelam
atau berlayar.
Bersamaan upaya menarik para investor untuk mengelola sumber daya
hayati tersebut di atas, Pemerintah Kota Aglabis juga sedang berupaya untuk
mengembalikan jatidiri kota ini yang pernah jaya di masa lampau, yakni sebagai

06

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

Pusat Perdagangan dan Jasa. Di masa lalu, Kota Aglabis memang dikenal
sebagai daerah yang sangat ramai dikunjungi para pedagang, tidak hanya
para pedagang lokal dari daerah Heca, Named dan sekitarnya, tapi juga dari
mancanegara. Masa keemasan masa lalu itu semakin berkurang sejak dibukanya
jalur jalan Trans-Ratemasu di Pantai Timur yang mengakibatkan lalulintas darat
menjadi alternatif. Kini Pemerintah Kota sudah bertekad untuk mengembalikan
kejayaan masa lalu itu.
Kehadiran situs web ini diharapkan dapat menjadi salah satu "Pintu
Informasi" bagi para calon investor untuk memperoleh berbagai data dan informasi
yang komprehensif tentang berbagai keadaan, potensi serta peluang investasi
di sini.
Diharapkan menjadi semacam panduan informasi bagi para calon
investor, sektor swasta untuk datang dan menemukan 'potensi-potensi' yang
ada di Aglabis.
Selamat Datang!
2) Disamarkan nama satu kota di Indonesia
3) Dikutip dari Situs resmi Pemerintah Kota tersebut

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

07

Audit
Kecurangan
Pengantar

Halaman ini sengaja dikosongkan

08

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

Mencegah
Terjadinya

Bab 2

Fraud

Setelah mempelajari bab ini, diharapkan pembaca dapat:


Menguraikan perilaku pelaku fraud.
Menjelaskan unsur-unsur pemicu atau pendorong seseorang melakukan
fraud.
Menjelaskan upaya pencegahan fraud sebagai bagian utama dalam
memerangi fraud selain deteksi, investigasi dan tindakan hukum.
Menjelaskan bagaimana membangun sistem pengendalian internal
dalam upaya mencegah terjadinya fraud.
Menjelaskan kelemahan-kelemahan yang melekat pada sistem
pengendalian internal.

1. Memahami Perilaku Pelaku Fraud


Setiap orang dapat melakukan fraud. Kadang-kadang sulit dipercaya,
seseorang yang kita pandang jujur, taat beragama, berpendidikan, dari
lingkungan sosial yang dihormati, bahkan dari kalangan berada, ternyata
terlibat dalam kasus fraud. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Dennis Greer
menyebut tiga elemen kunci yang disebut sebagai segitiga fraud (fraud triangle)
yang mendorong seseorang atau sekelompok orang melakukan fraud . Ketiga
elemen tersebut adalah:
1. Adanya tekanan.
2. Adanya kesempatan.
3. Adanya alasan pembenaran.
Elemen pertama dan ketiga lebih melekat pada kondisi kehidupan
dan sikap mental/moral pribadi seseorang, sedangkan elemen kedua terkait
dengan sistem pengendalian internal dalam suatu organisasi atau perusahaan.
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan tekanan (pressure) antara lain:
1. Masalah keuangan, seperti tamak/rakus, hidup melebihi kemampuan,
banyak hutang, biaya kesehatan yang besar, kebutuhan tak terduga.

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

09

Audit
Kecurangan
Pengantar

2. Sifat buruk, seperti penjudi, peminum, pecandu narkoba.


3. Lingkungan pekerjaannya, misalnya sudah bekerja dengan baik tetapi
kurang mendapat perhatian, kondisi kerja yang buruk.
4. Lain-lain seperti tekanan dari lingkungan keluarga.
Adapun faktor-faktor yang dapat meningkatkan adanya peluang atau
kesempatan (opportunity) seseorang berbuat fraud antara lain:
1. Sistem pengendalian internal yang sering juga disebut pengendalian intern,
yang lemah.
2. Tidak mampu menilai kualitas kerja karena tidak punya alat atau kriteria
pengukurannya.
3. Kurang atau tidak adanya akses terhadap informasi sehingga tidak
memahami keadaan yang sebenarnya.
4. Gagal mendisiplinkan atau memberikan sanksi pada pelaku fraud.
5. Lalai, apatis, acuh tak acuh.
6. Kurang atau tidak adanya audit trail (jejak audit), sehingga tidak dapat
dilakukan penelusuran data.
Faktor-faktor yang mendorong seseorang mencari pembenaran
(rationalization) atas tindakannya melakukan fraud, antara lain :
1. Mencontoh atasan atau teman sekerja.
2. Merasa sudah berbuat banyak kepada organisasi/perusahaan.
3. Menganggap bahwa yang diambil tidak seberapa.
4. Dianggap hanya sekadar meminjam, pada waktunya akan dikembalikan.
2. Mencegah Fraud
Menghadapi kemungkinan terjadinya fraud, tindakan yang paling baik
dan murah adalah dengan berusaha menghindari atau mencegahnya. Ada
beberapa upaya komprehensif dalam memerangi fraud, yaitu :
1. Pencegahan.
2. Pendeteksian bila telah ditemukan gejala fraud.
3. Investigasi bila telah diyakini fraud sedang atau telah terjadi.
4. Tindakan hukum.
Tahap selain pencegahan tersebut (pendeteksian, investigasi,
dan tindakan hukum), pada akhirnya juga akan membantu atau memberi
feedback pada pencegahan, namun harus diusahakan fraud jangan sampai
terjadi.

10

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

Dengan bertitik tolak dari tiga elemen dari segitiga fraud (fraud triangle)
mengapa seseorang melakukan fraud, dapat disimpulkan ada dua unsur
yang menentukan terjadinya fraud yaitu manusia dan sistem pengendalian
dalam organisasi. Manusia dengan nilai-nilai (values) hidup yang dianutnya,
menentukan wujud tingkah lakunya dalam pergaulan dan dalam melaksanakan
tugas pekerjaannya. Sedangkan sistem pengendalian internal dibangun untuk
menghalangi atau menghambat kemungkinan terjadinya fraud dan risiko-risiko
lainnya karena sifat lemah yang melekat pada diri manusia.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka pencegahan fraud dapat
dilakukan dengan :
1. Membina, memelihara dan menjaga mental/moral pegawai agar senantiasa
bersikap jujur, disiplin, setia, beretika dan berdedikasi.
2. Membangun mekanisme sistem pengendalian internal (pengendalian intern)
yang efisien dan efektif.
Kedua cara tersebut harus saling melengkapi satu sama lain.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, elemen pertama dan ketiga
dari segitiga fraud lebih banyak terkait dengan kondisi kehidupan dan sikap
mental/moral pegawai yang bersangkutan. Maka untuk mencegahnya, perlu
menghilangkan tekanan dan pikiran pembenarannya dengan melakukan
pembinaan mental seperti membina karyawan untuk bersikap jujur, merasa
memiliki, senantiasa diberi perhatian, mengembangkan keterbukaan, mengembangkan kompetensinya, dan pimpinan menunjukkan keteladanan serta
memberikan bantuan pencerahan kepada pegawai yang membutuhkan. Tidak
kalah penting adalah organisasi agar berusaha memilih karyawan yang jujur
yang dapat dipekerjakan pada organisasi tersebut.
Adapun untuk elemen kedua (kesempatan), karena terkait dengan
sistem pengendalian internal, dapat diminimalkan dengan :
1. Menerapkan pengendalian internal yang baik, lingkungan pengendalian yang
baik (good control environment), sistem akuntansi yang baik (good accounting
system), dan prosedur pengendalian yang baik (good control procedure).
2. Menekan timbulnya kolusi dengan sistem memberi waktu berlibur (vacation),
pindah penugasan atau sistem rotasi (job transfer/tour of duty) atau
pemberian cuti.
3. Mengingatkan pihak luar yang memberi potensi terjadinya fraud seperti
penjual dan kontraktor untuk mewaspadai kickback dan macam-macam
pemberian/gratifikasi, bahwa instansi yang melakukan kegiatan pengadaan
berhak mengaudit ke pemasok.

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

11

Audit
Kecurangan
Pengantar

4. Memantau terus-menerus pelaksaan tugas pegawai.


5. Menciptakan sistem hotline : setiap pegawai atau temannya atau orang
lain dapat mengadukan adanya gejala fraud dengan melaporkannya melalui
komunikasi telepon atau surat. Pengadu atau pelapor biasa disebut Si
Peniup Terompet (Whistle Blower).
6. Memberikan hukuman yang setimpal bagi pelaku.
7. Melaksanakan pemeriksaan kecurangan secara proaktif (proactive fraud
auditing).
3. Membangun Sistem Pengendalian Internal
Untuk menutup atau meminimalkan fraud, membangun sistem
pengendalian internal merupakan cara efektif yang dapat dilakukan oleh
manajemen. Ada beberapa sarana pengendalian konvensional yang dapat
digunakan oleh pimpinan organisasi dalam membangun sistem pengendalian
internalnya, yaitu:
1. Organisasi.
2. Kebijakan.
3. Prosedur.
4. Penganggaran/Perencanaan.
5. Pencatatan/Pembukuan.
6. Pelaporan.
7. Personalia.
Tujuh sarana tersebut biasanya ditambah unsur kedelapan berupa
pemeriksaan (review) internal. Sistem pengendalian internal yang dikembangkan
oleh industri akuntansi dan auditing tersebut di atas banyak mendapat sorotan
masyarakat karena meskipun sudah menerapkan teori pengendalian internal
yang dipersyaratkan, ternyata masih banyak sekali terjadi kecurangan atau
fraud yang terjadi di sektor pemerintahan maupun swasta.
Membangun Sistem Pengendalian Internal menurut COSO
Agar pengendalian internal dengan sarana-sarana pengendaliannya
sebagaimana diuraikan sebelumnya dapat berjalan secara efektif, suatu komisi
yang disponsori oleh beberapa lembaga profesi di Amerika Serikat yaitu
Committee of Sponsoring Organization of The Treadway Commission yang
dikenal dengan singkatan COSO, telah melakukan kajian komprehensif
mengenai sistem pengendalian internal dan menghasilkan lima komponen
Struktur Pengendalian Internal sebagai kerangka pengendalian internal yang
terintegrasi (integrated framework). Dalam lima struktur pengendalian internal

12

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

yang akan diuraikan di bawah ini, terkandung secara jelas adanya sistem
pengendalian yang bersifat keras (hard control) dan yang bersifat lunak
(soft control). Yang bersifat keras adalah kebijakan dan prosedur-prosedur
pengendalian yang bersifat teknis seperti sistem dan prosedur-prosedur,
sedangkan yang bersifat lunak adalah yang menyangkut nilai-nilai (values)
seperti keteladanan pimpinan, kode etik, kedisiplinan, dedikasi dan loyalitas,
kompetensi serta budaya kerja. Kedua model pengendalian ini harus berjalan
bersamaan agar pengendalian berjalan efektif untuk menciptakan lingkungan
yang rendah fraud (low fraud environment).
Lima komponen Struktur Pengendalian Internal tersebut meliputi:
1. Lingkungan pengendalian (control environment).
2. Penilaian risiko (risk assessment).
3. Aktivitas pengendalian (control activities/control procedures).
4. Informasi dan komunikasi (information and communication).
5. Pemantauan (monitoring).
Uraian mengenai kelima komponen Struktur Pengendalian Internal
tersebut tampak berikut ini :
1. Lingkungan Pengendalian
Lingkungan pengendalian dikondisikan untuk menciptakan iklim/suasana
yang sehat di dalam organisasi. Semua orang digugah/diingatkan/disadarkan
untuk menyadari pentingnya pengawasan. Unsur utamanya adalah keteladanan dari pimpinan yang akan menjadi contoh bagi para karyawannya.
Pimpinan harus menjadi model bagi seluruh karyawan.
Nilai-nilai integritas, kejujuran, kesetiaan, kedisiplinan, dedikasi, loyalitas
dan etika ditanamkan kepada seluruh jajaran dari pucuk pimpinan sampai
karyawan lapis terbawah.
Elemen yang penting di sini adalah proses seleksi dalam penerimaan
pegawai. Melalui screening yang ketat, hanya dipilih orang-orang yang
memenuhi kualifikasi, kompeten dan yang bermental jujur. Proses penerimaan
pegawai merupakan pintu pertama yang sangat menentukan dalam upaya
menciptakan sistem pengendalian internal yang efisien dan efektif.
Elemen lain yang diperlukan dalam membangun lingkungan pengendalian
yang positif adalah kejelasan struktur organisasi. Di sini harus jelas siapa
yang diberi tugas dan bertanggung jawab terhadap suatu bidang pekerjaan.

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

13

Audit
Kecurangan
Pengantar

Jika ada penyimpangan akan lebih mudah menetapkan alur penanggung


jawabnya.
Terakhir, adalah peran pengawasan, baik oleh pimpinan dan unit pengawasannya termasuk oleh Inspektorat (pada perusahaan adalah
pengawasan dari Dewan Komisaris dengan Komite Auditnya, maupun oleh
auditor internalnya).
Memperhatikan pentingnya lingkungan pengendalian ini, COSO menempatkannya sebagai pondasi atau landasan dari semua struktur
pengendalian internal lainnya.
2. Penilaian Risiko
Segala upaya pengendalian diadakan karena suatu organisasi selalu
menghadapi berbagai macam risiko yang dapat menghambat pencapaian
tujuan organisasi. Diantara berbagai risiko itu adalah terjadinya perbuatan
curang atau korupsi oleh pegawai atau pimpinan yang tidak bertanggung
jawab.
Upaya pencegahan dilakukan melalui identifikasi bidang-bidang yang
diperkirakan sebagai sumber terjadinya fraud sebagai salah satu risiko
suatu organisasi, misalnya kegiatan bidang pengadaan. Dengan melakukan
penilaian (assessment) atas risiko-risiko tersebut termasuk memahami
sumber potensi risiko, ukuran besarnya risiko, dan keseringan terjadinya
risiko yang dihadapi, diupayakan untuk menutup kesempatan/peluang
seseorang melakukan fraud dengan menerapkan sistem pengendalian
internal yang tepat dan dipandang memadai. Jadi di sini persoalannya
bagaimana mengelola atau mengendalikan risiko agar tidak sampai
terjadi.
3. Aktivitas Pengendalian
Aktivitas pengendalian (control activities) yang disebut juga prosedurprosedur pengendalian (control procedures), merupakan prosedur-prosedur
yang harus dilalui agar peluang melakukan fraud dapat dieliminir. Terdapat
lima prosedur utama yang harus ada, yaitu :
1. Pemisahan tugas.
2. Sistem otorisasi.
3. Pengecekan independen.
4. Pengamanan fisik
5. Dokumentasi dan pencatatan.

14

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

1. Pemisahan Tugas
Prinsip dasar pemisahan tugas (segregation of duties) adalah seseorang
tidak diperbolehkan melakukan satu rangkaian transaksi dari awal
sampai akhir. Rangkaian tugas itu harus dipecah dan dilaksanakan oleh
petugas yang berbeda. Pisahkan, misalnya, pemberi otorisasi, pelaksana,
pencatat dan penyimpan. Dengan pemisahan tugas akan tercipta sistem
internal check dalam organisasi. Bila rangkaian tugas ini dirangkap,
kemungkinan terjadinya fraud sangat besar.
2. Sistem Otorisasi
Perlu ada sistem otorisasi yang tepat untuk membatasi kewenangan
seorang petugas. Hanya mereka yang mempunyai password yang
diperkenankan mengoperasikan komputer dan mengakses database.
Sistem pembatasan (limit) jumlah transaksi tertentu yang dapat dilakukan
seorang pejabat membatasi kewenangan untuk menyetujui atau menolak
menyetujui suatu transaksi. Misalnya transaksi senilai Rp 500 juta ke
atas harus diotorisasi oleh pimpinan, di bawah Rp 500 juta oleh kepala
bagian. Contoh lain: hanya pemegang kunci gudang/brankas yang
diperbolehkan membuka tempat penyimpanan barang atau uang. Dengan
sistem otorisasi semacam ini jelas siapa yang harus bertanggung jawab
jika terjadi penyimpangan.
3. Pengecekan Independen
Dengan independent check, semua pegawai dapat menyadari bahwa
akan selalu ada orang lain yang mengecek dan memantau pekerjaanya.
Sistem ini dapat dilakukan melalui:
1. Pemberian libur secara periodik. Selama libur, orang lain akan
menggantikan pekerjaannya sekaligus mengecek dan mengevaluasi
pelaksanaan tugas sebelumnya.
2. Rotasi atau tour of duty secara periodik. Jangan sampai seorang
pegawai terlalu lama ditempatkan pada pekerjaan yang sama apalagi
pada jabatan-jabatan basah.
3. Pemeriksaan fisik secara rutin. Pemeriksaan kas dilakukan setiap
akhir hari bersamaan dengan penutupan buku, dan pemeriksaan
barang/persediaan dilakukan secara periodik mingguan atau bulanan.
4. Reviu oleh supervisor. Untuk meyakinkan apakah suatu penugasan
telah dilaksanakan sesuai dengan prosedur standar dan memenuhi
kelayakan kualitas yang ditetapkan, reviu oleh supervisor senantiasa
harus dilakukan.

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

15

Audit
Kecurangan
Pengantar

5. Informasi dari sesama pegawai (employee hotline). Suatu hasil kajian


menunjukkan lebih banyak fraud terdeteksi melalui informasi dari
sesama pegawai dari pada yang ditemukan oleh auditor. Semua
pegawai harus merasa disadarkan bahwa teman sekerja atau teman
di luar lingkungan kerjanya ikut mengawasi (others are watching).
Teman sekerjanya diberi kesempatan untuk melaporkan adanya
gejala (symptom) fraud walaupun tanpa harus menyebut namanya
(anonymous). Ingat tentang Whistle Blower. Laporan atau pengaduan
semacam ini merupakan bagian dari tahap deteksi fraud (selanjutnya
dibicarakan di Bab 4 khusus mengenai sumber deteksi melalui
pengaduan atau tips).
6. Pemeriksaan oleh auditor internal maupun eksternal termasuk oleh
Inspektorat. Suatu penugasan yang telah dilaksanakan dan telah
direviu oleh supervisor akan dapat diterima oleh pihak ketiga apabila
dalam pelaksanaan tugas juga diaudit oleh pihak yang independen
yaitu auditor.
4. Pengamanan Fisik
Banyak barang-barang berharga suatu organisasi atau perusahaan
yang harus selalu dijaga keamanannya, lebih-lebih yang disimpan di
ruang terbuka. Penggunaan tempat-tempat penyimpanan dengan
kunci double akan lebih efektif menutup peluang fraud.
5. Dokumentasi dan Pencatatan
Dokumentasi dan pencatatan merupakan siklus dari suatu sistem akuntansi
(accounting system). Semua kejadian atau transaksi harus didokumentasikan dan dicatat serta diproses melaui siklus akuntansi baik secara
manual atau komputer. Dengan proses ini akan tercipta jejak audit (audit
trail) sejak timbulnya transakasi, penggolongan dan penyajiannya dalam
laporan keuangan ataupun laporan kegiatan. Karena unsur fraud terdiri
dari pencurian, penyembunyian dan konversi atau pengalihan bentuk/wujud
barangnya, maka dengan sistem pencatatan/pembukuan dan dokumentasi
yang baik, penyembunyian (concealment) yang banyak dilakukan melalui
pembukuan/akuntansi, akan mudah ditelusuri dan diungkap.
4. Informasi dan Komunikasi
Melalui rekaman pencatatan, semua kegiatan organisasi dilaporkan dan
dikomunikasikan secara tepat waktu. Sebagian informasi seperti laporan
keuangan dapat dipubliksikan untuk pihak-pihak ekstern. Transparansi
memegang peranan penting di sini, sehingga semua pihak yang ber-

16

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

kepentingan dapat mengetahui dan memahami kondisi yang ada dalam


suatu organisasi atau perusahaan.
Komunikasi harus dilakukan secara konsisten dengan berbagai cara seperti
dalam forum-forum pelatihan, diskusi, temu muka dengan karyawan, dan
lain-lain.
5. Pemantauan
Apa yang digariskan atau ditetapkan dalam sistem pengendalian internal
pelaksanaannya harus selalu dipantau baik oleh atasan yang bertanggung
jawab maupun oleh auditor internal yang mempunyai kewajiban untuk selalu
mengevaluasi sistem dan penerapannya. Hasil evaluasi menjadi bahan
masukan untuk perbaikan secara berkelanjutan terhadap sistem yang ada.
4. Kelemahan Sistem Pengendalian Internal dalam Pencegahan Fraud
Dalam uraian sebelumnya dikemukakan bahwa untuk mencegah
terjadinya fraud yang efektif adalah dengan membangun sistem pengendalian
internal. Namun bagaimanapun baiknya sistem yang kita ciptakan akan selalu
ada kekurangannya. Tidak ada sistem yang dapat sempurna untuk mencegah
terjadinya fraud bagaimanapun ia dirancang dan diimplementasikan secara
cermat dan hati-hati. Kelemahan yang melekat pada sistem pengendalian
internal adalah:
1. Sistem yang baik sekalipun tidak dapat berjalan bilamana sekelompok
pegawai berkolusi atau bekerjasama untuk melanggar sistem. Dengan
kolusi, akan terlihat di permukaan seolah-olah sistem dipatuhi tetapi pada
hakekatnya dilanggar, antara lain dengan menggunakan dokumen fiktif dan
prosedur yang direkayasa. Contohnya, prosedur dan proses tender terlihat
benar, tapi sebenarnya direkayasa seperti tender arisan, tender yang
sebenarnya hanya diikuti oleh penawar dari grup atau tender yang diarahkan
untuk dimenangkan rekanan tertentu yang mengarah pada merek tertentu.
2. Sistem yang dirumuskan adalah hasil kompromi antara manfaat (benefit)
dari sistem dan biaya (cost) yang disediakan untuk menyusun dan mengoperasikannya. Pada dasarnya suatu sistem pengendalian internal dibangun
dengan tujuan agar:
a. Informasi yang diperlukan dapat berjalan lancar, tepat waktu, lengkap
dan cermat.
b. Organisasi/perusahaan aman dari penyalah-gunaan dan kecurangan.
c. Biaya pengoperasian tidak mahal.

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

17

Audit
Kecurangan
Pengantar

Ketiga tujuan tersebut tidak dapat dicapai seperti yang diharapkan, bahkan
bisa kontradiktif. Jika dikehendaki informasi berjalan lancar, bisa jadi mengorbankan keamanan; sebaliknya, jika keamanan diperketat, kelancaran
akan terganggu dan biaya penyusunan dan implementasi sistem menjadi
mahal. Akhirnya yang diperoleh adalah hasil kompromi dari kontradiksi ini
berupa suatu bangunan sistem pengendalian yang tidak sepenuhnya
membuat informasi berjalan lancar, tidak sepenuhnya aman dan tidak
terlalu mahal.
3. Kesalahan dan kelalaian pegawai yang menjalankan sistem. Kekurangan
pemahaman atau kelalaian dalam menerapkan sistem dapat terjadi. Kelalaian
dan kesalahan (error) dapat terjadi karena kelemahan yang melekat pada
manusia. Kekurang pahaman dapat diatasi dengan pemberian pengertian
dan sosialisasi secara terus-menerus tentang sistem yang berlaku.
Meskipun tidak ada suatu sistem pengendalian internal yang sempurna,
keberadaanya sangat membantu untuk lebih cepat mendeteksi fraud bila telah
terlanjur terjadi. Adanya celah yang dapat diterobos (Loopholes) dari suatu
sistem yang bersifat teknis mekanis diharapkan dapat ditutup oleh integritas
dan kejujuran dari jajaran seluruh karyawan serta keteladanan dan keterbukaan
pimpinan dalam kerangka bangunan nilai-nilai budaya perusahaan.
5. Membangun Budaya Jujur, Terbuka dan Pemberian Bantuan
Hasil penelitian di belahan benua Amerika Utara menunjukkan bahwa
tidak semua orang itu jujur, yaitu 30% jelas-jelas tidak jujur, 30% jujur sesuai
situasi, dan 40% dinyatakan benar-benar jujur. Ketidakjujuran bilamana
dikombinasikan dengan lingkungan sistem pengendalian yang lemah serta
tekanan kebutuhan yang mendesak akan sangat mempermudah seseorang
melakukan fraud. Karena kejujuran merupakan sikap mental dan karakter
seseorang yang sulit dinilai, dalam membangun sistem semua orang harus
diperlakukan sama untuk diwaspadai. Yang perlu dilakukan adalah mengupayakan agar kejujuran dapat tumbuh subur di lingkungan di mana pegawai
bekerja. Untuk itu perlu dibangun budaya jujur dan terbuka. Ada empat faktor
krusial dalam upaya tersebut, yaitu:
1. Perekrutan pegawai yang jujur.
2. Penciptaan lingkungan/suasana kerja yang positif.
3. Penerapan kode etik dan aturan perilaku.
4. Pemberian program bantuan dan pencerahan bagi pegawai yang mengalami
kesulitan.

18

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

Uraian mengenai keempat faktor tersebut tampak berikut ini.


1. Perekrutan Pegawai yang Jujur
Sebagaimana dikemukakan dalam upaya membangun lingkungan pengendalian (control environment) yang positif, penerimaan pegawai
merupakan gerbang pertama masuknya orang-orang terpilih melalui seleksi
yang ketat. Hanya orang-orang yang jujur dan memenuhi syarat saja yang
dapat diterima. Pada awal mereka bertugas harus diberikan orientasi tugas
dan pelatihan mewaspadai fraud. Saat-saat awal mereka bekerja merupakan
masa kritis pembentukan mentalnya, dan mereka harus dilindungi dari
kemungkinan polusi dan pengaruh negatif. Suatu kajian menunjukkan
bahwa 25% dari praktik fraud dilakukan pegawai dalam masa kerja tiga
tahun pertama.
Banyak cara untuk menyeleksi calon pegawai atau pelamar kerja. Sistem
interviu yang mendalam dapat digunakan untuk mengorek latar belakang
(background) yang bersangkutan dengan melakukan konfirmasi kepada
beberapa orang yang memberi rekomendasi tentang diri calon pegawai
tersebut. Bisa juga menggunakan jasa konsultan atau investigator untuk
mengetahui rekam jejak (track record) mereka.
Pelatihan mewaspadai fraud serta kebijakan anti fraud dilakukan dengan
memberikan pemahaman tentang praktik-praktik penyalahgunaan wewenang
dan kepada mereka diberikan saluran komunikasi untuk melaporkan
kejadian-kejadian yang mencurigakan baik secara langsung kepada pucuk
pimpinan instansi, inspektorat atau melalui saluran telepon khusus (hotline
number).
2. Penciptaan Lingkungan/Suasana Kerja yang Positif
Kejujuran sulit ditumbuhkembangkan dalam suasana atau lingkungan kerja
yang tidak kondusif: gaji rendah, tidak ada perhatian pada prestasi karyawan
dan kurangnya komunikasi. Perlu diadakan komunikasi terbuka (open door
policy) sehingga pegawai bisa menyampaikan masalah-masalah atau
keluhan-keluhannya serta harapan-harapan mereka. Para pegawai harus
diberi pemahaman tentang situasi yang dihadapi instansi yang berpengaruh
pada tingkat kesejahteraan mereka. Ciptakan suasana sehingga para
pegawai merasa diperlakukan secara adil serta mereka merasa ikut memiliki
instansi dimana mereka bekerja.

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

19

Audit
Kecurangan
Pengantar

3. Penerapan Aturan Perilaku dan Kode Etik


Membangun budaya jujur, keterbukaan dan memberikan program bantuan
tidak dapat diciptakan tanpa memberlakukan aturan perilaku dan kode
etik yang harus dipatuhi. Harus dirumuskan kriteria apa yang dimaksud
dengan perilaku jujur dan yang tidak jujur, perbuatan yang diperbolehkan
dan yang dilarang. Semua ketentuan ini dibuat secara tertulis, gamblang
dan disosialisasikan ke seluruh karyawan dan harus mereka setujui dengan
membubuhkan tanda tangan mereka.Pelanggaran atas aturan perilaku
dan kode etik harus dikenakan sanksi.
Karena setiap fungsi/bidang kegiatan dalam suatu organisasi atau perusahaan
(kepegawaian, keuangan, perlengkapan, pembukuan, sistem informasi,
pembelian, produksi, pemasaran dan lain-lain) mempunyai ciri-ciri tugas
yang spesifik, aturan perilaku yang diterapkan pada setiap fungsi/bidang
kegiatan bisa berbeda.
4. Pemberian Program Bantuan dan Pencerahan bagi Pegawai yang
Mengalami Kesulitan
Salah satu elemen dari segitiga fraud adalah tekanan (pressure). Bisa
terjadi pada suatu saat tekanan yang menimpa pegawai meningkat seperti
adanya kebutuhan yang mendesak karena keluarga sakit, biaya sekolah
anak-anak atau bahkan terjerat hutang, kecanduan alkohol dan narkoba.
Jika tidak ada bantuan dan pertolongan, sangat mungkin terjadi pegawai
akan bertindak melanggar ketentuan dan melalukan fraud. Suatu program
pemberian bantuan dan pencerahan bagi pegawai yang sedang mengalami
kesulitan harus dapat mengenali mereka yang menghadapi kesulitan dan
menyodorkan bentuk-bentuk penyelesaian yang diperlukan.
6. Penanggung Jawab Upaya Pencegahan Fraud
Tahap pencegahan menjadi tanggung jawab manajemen. Pimpinan
bertanggung jawab membangun sistem dan nilai-nilai budaya yang diperlukan,
dan bersama dengan jajaran pejabat sampai tingkat terbawah bertanggung
jawab memelihara, menjaga dan menerapkannya di lingkungan masing-masing.
Auditor internal senantiasa mengevaluasi efektivitas sistem pengendalian
internal dan memberikan rekomendasi perbaikan jika ditemukan kelemahankelemahan. Namun demikian, sebagai aparat pengawas fungsional, auditor
internal dituntut juga untuk dapat mendeteksi fraud dan melakukan investigasi
bilamana fraud diyakini sedang atau telah terjadi.

20

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

7. Peran Inspektorat dalam Pencegahan Fraud


Inspektorat Provinsi/Kabupaten/Kota mempunyai kesempatan dalam
membantu upaya pencegahan fraud dalam setiap Satuan Kerja Perangkat
Daerah yang diperiksa dengan melakukan evaluasi terhadap efektivitas sistem
pengendalian internalnya dan memberikan saran-saran perbaikan jika dijumpai
adanya kelemahan sistem. Jika terlanjur terjadi kecurangan/fraud harus
berupaya menemukan sebab-sebab terjadinya untuk menjadi dasar pemberian
rekomendasi perbaikan agar kejadian serupa tidak terjadi lagi.

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

21

Audit
Kecurangan
Pengantar

Halaman ini sengaja dikosongkan

22

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

Audit Kecurangan

Bab 3

(Fraud Auditing)
Setelah mempelajari bab ini, diharapkan pembaca dapat:
Menjelaskan definisi kecurangan atau fraud dan kaitannya dengan
pengertian korupsi.
Menyebutkan beberapa jenis fraud.
Menguraikan unsur-unsur fraud dan akibat dari fraud.
Menguraikan peran dan ciri-ciri yang harus dimiliki oleh pemeriksa
kecurangan (fraud auditor).

1. Kecurangan (Fraud) dan Korupsi Serta Jenis dan Akibatnya


Di lingkungan profesi auditor, istilah kecurangan atau fraud sudah
lama dikenal sebagai perbuatan curang yang merugikan organisasi atau
perusahaan. Setiap pencurian dan penggelapan aset/kekayaan organisasi
yang disengaja oleh pegawai adalah perbuatan curang. Dalam perkembangannya, fraud meliputi juga perbuatan curang yang dilakukan manajemen yang
merugikan publik investor/penyandang dana demi keuntungan manajemen
itu sendiri, organisasi atau perusahaan.
Fraud dapat didefinisikan sebagi perbuatan curang yang dilakukan
dengan berbagai cara secara licik dan bersifat menipu serta sering tidak
disadari oleh korban yang dirugikan. Korban yang dirugikan seringkali baru
mengetahui beberapa waktu kemudian. Biasanya unsur-unsur fraud berupa
pencurian (theft), penyembunyian (concealment) dan pengalihan (conversion)
barang curian ke dalam betuk lain. Box 3 merupakan salah satu contoh
kecurangan yang terjadi di Indonesia.

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

23

Audit
Kecurangan
Pengantar

Box : 3
Contoh : Salah satu kasus korupsi yang sedang diproses dalam tahun 2007
adalah kasus impor sapi fiktif dari Australia pada Perum Bulog yang merugikan
negara milyaran rupiah. Hasil dari kecurangan ini dikonversi antara lain dalam
bentuk aset berupa rumah mewah yang kemudian disita oleh aparat kejaksaan.
Pengeluaran fiktif merupakan cara penyembunyian kecurangan yang banyak
dilakukan oleh para pelaku kecurangan. Tidak sedikit, misalnya, pengeluaranpengeluaran yang dilakukan atas dasar bukti fiktif untuk transportasi, biaya rapat,
pembelian alat tulis kantor, perjalanan dinas, biaya pemeliharaan kantor/rumah
dinas/kendaraan, bantuan sosial, bantuan kepada pihak ketiga dll .

Di Indonesia fraud dapat digolongkan sebagai perbuatan korupsi


apabila memenuhi unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, secara melawan
hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi
dengan merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara (UndangUndang No.31 tahun 1999 dan perubahannya dengan Undang-Undang No.
20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
Dari beberapa definisi tentang korupsi, yang paling menonjol adalah
penekanan yang sama pada penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan publik
untuk keuntungan pribadi. Asian Development Bank memberikan definisi yang
lebih menyeluruh sebagai berikut:
Korupsi melibatkan perilaku oleh sebagian pegawai sektor publik dan
swasta, dimana mereka dengan tidak pantas dan melawan hukum memperkaya
diri mereka sendiri dan/atau orang-orang yang dekat dengan mereka, atau
membujuk orang lain untuk melakukan hal-hal tersebut, dengan menyalahgunakan jabatan dimana mereka ditempatkan (ADB: Kebijakan Anti Korupsi).
Korupsi menurut definisi ADB tersebut mencakup juga korupsi yang
dilakukan oleh pihak swasta. Dalam praktik, perbuatan korupsi di Indonesia
lebih banyak dikaitkan dengan tindakan korup para pejabat Negara yang
mengelola keuangan Negara. Kalaupun ada pihak swasta yang terlibat,
umumnya terkait dengan transaksi yang dilakukan pejabat Negara.
Fraud atau kecurangan dalam arti yang sebenarnya meliputi baik yang
dilakukan pejabat publik maupun pihak swata. Ada beberapa jenis fraud,
diantaranya yaitu:

24

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

1. Fraud oleh karyawan, yaitu fraud yang dilakukan pegawai karena jabatan
atau kedudukannya (termasuk yang dilakukan oleh anggota manajemen
yang menyalahgunakan wewenangnya) dalam organisasi. Yang menjadi
korban atau yang dirugikan adalah organisasi atau perusahaan.
2. Fraud oleh manajemen, yaitu fraud yang dilakukan oleh kelompok pucuk
pimpinan organisasi, dengan menyajikan laporan keuangan yang tidak
benar untuk keuntungan pribadi, organisasi atau perusahaan. Untuk menarik
investor/penyandang dana, manajemen merekayasa laporan keuangannya
yang tidak baik menjadi seolah-olah menguntungkan. Yang menjadi korban
di sini adalah publik/investor. Manajemen dalam pengertian ini adalah
suatu kelompok orang pada tingkat pimpinan yang bekerjasama dan sering
melibatkan pimpinan tertinggi dalam suatu organisasi (Direktur Utama
kalau dalam suatu perusahaan).
3. Fraud oleh pemasok, yaitu fraud yang dilakukan oleh perorangan atau
organisasi yang menjual barang atau jasa dengan harga yang terlalu tinggi
dibandingkan dengan kualitasnya, atau barang/jasanya tidak direalisasikan
walaupun pembeli telah membayar. Korbannya adalah pembeli. Jika
pembelinya suatu organisasi atau perusahaan, penjual yang merasa di
untungkan sering memberikan pengembalian illegal (kickback) kepada
petugas pembelian untuk memelihara hubungan baiknya.
4. Fraud oleh pelanggan, yaitu fraud yang dilakukan pembeli/pelanggan.
Pembeli tidak/kurang membayar harga barang/jasa yang diterima, korbannya
adalah penjual.
5. Investasi yang menipu, yaitu fraud yang dilakukan dengan membujuk
investor untuk menanamkan uangnya pada suatu bentuk investasi dengan
janji akan memperoleh hasil investasi yang berlipat dalam waktu cepat.
Untuk meyakinkan investor, pada awal mulai investasi investor diberikan
hasil seperti yang dijanjikan, namun selanjutnya, macet. Contohnya adalah
Kasus Sari Bumi Raya di Sukabumi beberapa waktu yang lalu.
Akibat fraud sangat serius. Tetapi ibarat gunung es di lautan, fraud,
korupsi, KKN, yang tampak atau terungkap hanya sebagian kecil, sedangkan
sebagian besar, 80%, tidak terungkap atau sulit dibuktikan terutama yang
dilakukan oleh para kriminal kerah putih (white collar crime). Di Indonesia
misalnya, berdasarkan analisis Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yaitu
perbandingan pertambahan hasil dengan pertambahan modal yang dikeluarkan,

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

25

Audit
Kecurangan
Pengantar

bila diperbandingkan dengan ICOR dari beberapa Negara tetangga yang


ternyata rationya lebih tinggi dari Indonesia, beberapa pengamat memperkirakan
30% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita menguap
tetapi yang dapat dibuktikan hanya sebagian kecil. Hasil kajian Association
of Certified Fraud Examiners (ACFE) pertengahan tahun 1990-an menghasilkan
perkiraan kerugian sebesar $ 400 milyar per tahun di Amerika Serikat atau
kira-kira 6% dari total pendapatan tahunan perusahaan. Di Indonesia belum
pernah ada riset atau penelitian mengenai besaran korupsi yang dialami baik
pada sektor publik/pemerintahan maupun sektor perusahaan.
Tidak ada pemenang manakala fraud telah terjadi. Korban yang
mengalami kerugian, bilamana telah terbuka citranya terganggu, jika diteruskan
ke pengadilan proses penyelesaiannya sangat melelahkan, bahkan harus
mengeluarkan biaya yang besar. Bagi pelaku fraud, namanya tercoreng,
keluarganya akan menanggung beban psikologis dan pelecehan oleh
masyarakat. Pada management fraud yang merugikan para investornya,
biasanya perusahaan yang bersangkutan jatuh pailit karena sudah tidak
dipercayai lagi oleh investor/masyarakat penyandang dananya.
2. Audit Kecurangan (Fraud Auditing)
Audit kecurangan dapat dikatakan baru mulai berkembang dan
mendapat momentum yang kuat untuk lebih berkembang sejalan dengan
semakin maraknya korupsi dan upaya-upaya pemberantasan korupsi/KKN
yang semakin gencar dilakukan dengan terbentuknya Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) yang dibentuk dengan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002,
Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, serta Instruksi Presiden
No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Para auditor seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal
(Itjen) Departemen, Unit Pengawasan Lembaga Pemerintah Non Departemen,
Inspektorat Provinsi/Kabupaten/Kota dan Auditor Internal suatu organisasi
atau perusahaan mempunyai kesempatan mengembangkan kemampuannya
melakukan pemeriksaan kecurangan. Khusus untuk Pejabat Pengawas
Pemerintah di Inspektorat Daerah, dasar hukum pemeriksaannya tercantum
dalam Peraturan Pemerintah No. 79 tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan
dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah pasal 28 ayat (1)
d, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 23 Tahun 2007 tentang Pedoman

26

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

Tata Cara Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah pasal 12,


dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 25 Tahun 2007 tentang Pedoman
Penanganan Pengaduan Masyarakat di Lingkungan Departemen Dalam Negeri
dan Pemerintah Daerah.
Untuk menjadi auditor kecurangan (Fraud Auditor), memang tidak
mudah, karena seringkali harus terlibat dalam modus operandi yang rumit
dan kadangkala membutuhkan waktu pemeriksaan yang lama, serta intimidasi
dan ancaman dari auditi. Beberapa atribut atau ciri dari Auditor Internal yang
sukses ada 14, yaitu :
1.

Kejujuran dan integritas auditor menjadi dasar pihak lain mempercayai


temuan dan kesimpulannya.

2.

Tulus mengabdi pada kepentingan organisasi.

3.

Rendah hati.

4.

Bersikap professional.

5.

Dapat memahami perasaan orang lain walau belum tentu sepakat.

6.

Konsisten.

7.

Selalu ingin tahu untuk menggali/mendalami kondisi yang dihadapi.

8.

Kritis dalam mengevaluasi kecukupan informasi yang diperlukan.

9.

Waspada terhadap informasi yang tidak benar.

10. Teguh tidak gampang menyerah mencari informasi yang diperlukan.


11. Semangat yang tinggi.
12. Percaya diri.
13. Berani dan tegar menghadapi tekanan dan risiko.
14. Mampu membuat pertimbangan yang sehat menghadapi faktor-faktor
yang saling bertentangan.
Pendek kata pada seorang auditor kecurangan haruslah jujur dan
berintegritas, selalu ingin tahu, kritis, waspada, teguh tidak gampang menyerah,
enerjik, penuh percaya diri, berani namun dibawakan dengan rendah hati dan
sikap empati, dan mampu mengambil pertimbangan professional yang sehat
dengan sikap independen. Menghadapi para pelaku kecurangan yang cerdik
dan berdarah dingin seperti tidak bersalah, memerlukan teknik-teknik pembuktian
dan pengungkapan yang cukup cerdas.

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

27

Audit
Kecurangan
Pengantar

Halaman ini sengaja dikosongkan

28

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

Deteksi dan
Investigasi

Bab 4

Fraud

Setelah mempelajari bab ini, diharapkan pembaca dapat:


Menjelaskan fungsi dan kewenangan Inspektorat Daerah dalam
kaitannya dengan deteksi gejala fraud.
Mengenali beberapa kategori gejala (symptom) dari fraud.
Mengenali beberapa sumber informasi untuk melakukan investigasi
fraud.
Menyebutkan tahapan-tahapan dalam melakukan investigasi fraud.
Membuat Berita Acara Permintaan Keterangan (BAPK) dengan baik.

1.

Deteksi Fraud

1.1. Fungsi dan Kewenangan Inspektorat Provinsi/Kabupaten/Kota


Lembaga-lembaga audit sektor publik (pemerintah) di Indonesia
berlapis-lapis. Kondisi ini diharapkan dapat mencegah secara dini terjadinya
fraud di lingkungan pemerintahan, sehingga kerugian keuangan negara/daerah
yang lebih besar diharapkan dapat ditangkal. Di luar lembaga kepresidenan
terdapat suatu badan pemeriksa keuangan yaitu Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK-RI). Lembaga tersebut merupakan lembaga audit eksternal pemerintah.
Di lingkungan eksekutif (Presiden RI) terdapat beberapa lembaga audit
internal pemerintah. Lembaga audit tersebut terdiri atas Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk tingkat nasional; Inspektorat
Jenderal Departemen untuk tingkat Departemen; Inspektorat Utama/Inspektorat
Lembaga Pemerintah Non Departemen untuk tingkat Lembaga Pemerintah
Non Departemen; Badan Pengawas Provinsi untuk tingkat provinsi; Badan
Pengawas Kabupaten untuk tingkat kabupaten dan Badan Pengawas Kota
untuk tingkat kota. Ketiga badan pengawas terakhir biasa disebut Badan
Pengawas Daerah atau Bawasda. Dalam perkembangannya berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

29

Audit
Kecurangan
Pengantar

Pemerintah Daerah, ketiga badan pengawas tersebut berubah nomenklaturnya


menjadi Inspektorat. Lembaga-lembaga audit intern pemerintahan di atas
dikenal dengan nama Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP).
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 merupakan peraturan
pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, khususnya Pasal 218 ayat (2) yang menyatakan bahwa pengawasan
atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dilaksanakan oleh APIP.
Berdasarkan Pasal 28 Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005,
APIP melakukan pengawasan sesuai dengan fungsi dan kewenangannnya
melalui:
1. Pemeriksaan dalam rangka berakhirnya masa jabatan kepala daerah.
2. Pemeriksaan berkala atau sewaktu-waktu maupun pemeriksaan terpadu.
3. Pengujian terhadap laporan berkala dan atau sewaktu-waktu dari unit/satuan
kerja.
4. Pengusutan atas kebenaran laporan mengenai adanya indikasi terjadinya
penyimpangan, korupsi, kolusi dan nepotisme.
5. Penilaian atas manfaat dan keberhasilan kebijakan, pelaksanaan program
dan kegiatan.
6. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah dan
pemerintahan desa.
Dari keenam fungsi dan kewenangan APIP di atas terdapat satu fungsi
dan kewenangan APIP yang sangat terkait dengan fraud di lingkup kerjanya
masing-masing yaitu pengusutan atas kebenaran laporan mengenai adanya
indikasi terjadinya penyimpangan, korupsi, kolusi dan nepotisme.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme, pengertian korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagai berikut:
1. Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur tindak pidana korupsi.
2. Kolusi adalah pemufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar
Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain
yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara.
3. Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan
hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya
di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

30

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

Ketiga hal di atas dapat diklasifikasikan sebagai sebagian dari bentukbentuk fraud yang sering terjadi di Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa salah satu fungsi
dan kewenangan Inspektorat sebagai bagian dari APIP yang berada di daerah
adalah mendeteksi dan menginvestigasi fraud.
1.2. Deteksi Fraud oleh Inspektorat
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, sebenarnya fraud adalah
suatu kejahatan (crime) yang jarang tampak (terlihat) perbuatannya. Oleh
karena itu, Inspektorat perlu memperhatikan gejala-gejala (symptoms) yang
menunjukkan bahwa fraud mungkin terjadi. Gejala-gejala fraud sering juga
dikenal dengan tanda (red flags). Gejala-gejala fraud tersebut sering berkaitan
dengan motivasi terjadinya fraud yaitu tekanan, kesempatan dan pembenaran
atau elemen dari fraud yaitu pencurian, penyembunyian dan konversi.
Pada saat seseorang mengamati gejala-gejala adanya fraud tidak
berarti bahwa fraud benar-benar telah terjadi. Gejala tersebut dapat disebabkan
oleh beberapa faktor yang lain. Misalnya, seorang pejabat daerah secara
mendadak gaya hidupnya berubah dengan menghambur-hamburkan uang
(boros). Gejala tersebut mungkin bukan fraud karena pejabat daerah tersebut
mendapat warisan dari keluarganya. Contoh lain, saldo piutang kredit suatu
Bank Pemerintah Daerah (BPD) tiba-tiba meningkat secara dramatis. Gejala
tersebut mungkin dapat terjadi karena beberapa nasabah BPD yang bersangkutan jatuh pailit (bangkrut). Perubahan perilaku seorang pejabat/pegawai
biasanya juga mengindikasikan suatu terjadinya fraud, kecuali karena pejabat/
pegawai tersebut mengalami trauma akibat suatu peristiwa, perceraian, atau
kematian keluarganya. Tidak berarti gejala-gejala tersebut pasti bukan fraud
tetapi dapat saja terjadi sebaliknya, karena fraud selalu mungkin terjadi.
Untuk mendeteksi fraud, Kepala Inspektorat beserta jajarannya harus
mempelajari untuk mengenali gejala-gejala fraud dan melacaknya hingga
mendapatkan bukti dalam rangka pembuktian bahwa fraud benar-benar terjadi
atau tidak terjadi fraud. Sayangnya, banyak gejala fraud tidak mendapat
perhatian, atau gejala fraud dikenali tetapi tidak dilacak secara memadai.
Apabila gejala fraud dapat dilacak secara memadai, maka dapat terjadi banyak
fraud dapat dideteksi secara dini.

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

31

Audit
Kecurangan
Pengantar

Menurut Association of Certified Fraud Examiners (CFE), gejala fraud


atau red flags dapat dikelompokan menjadi enam kategori yaitu:
1. Adanya anomali (keganjilan/kejanggalan) akuntansi.
2. Kelemahan-kelemahan pengendalian internal.
3. Anomali analisis.
4. Perubahan gaya hidup.
5. Perilaku tidak lazim.
6. Pengaduan serta pemberian informasi dari pihak ketiga.
Gejala fraud tersebut bila dikaitkan dengan pelaksanaan anggaran
pendapatan dan belanja daerah (APBD) akan menghasilkan beberapa gejala
fraud yang patut dicermati oleh Inspektorat.
Uraian mengenai keenam kategori tersebut tampak berikut ini :
1. Anomali Akuntansi
Catatan-catatan akuntansi/pembukuan termasuk dokumen pendukungnya dalam pelaksanaan APBD sering dimanipulasi atau direkayasa
untuk menyembunyikan fraud. Apabila dokumen pendukung pelaksanaan
anggaran daerah sudah direkayasa, maka angka-angka yang dicatat dalam
Buku Besar Penerimaan (Model B IV) atau Buku Besar Pengeluaran (Model
B V), Buku Kas Daerah (Model B IX) maupun Buku UUDP/Uang-uang Untuk
Dipertanggungjawabkan (Model B II) di tingkat daerah atau pembukuan
Bendaharawan Daerah (model Bend) tidak menyajikan realisasi pelaksanaan
anggaran yang sebenarnya.
Beberapa gejala fraud dalam catatan akuntansi beserta dokumen
pendukung akuntansi dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan
belanja daerah:
1. Pengerjaan buku besar dan register pelaksanaan anggaran daerah tidak
tepat waktu (up to date).
2. Saldo Uang Muka Kerja/uang-uang yang harus dipertanggung-jawabkan
makin membengkak dan tidak ada penyelesaian pertanggung-jawabannya
bahkan melampaui tahun anggaran.
3. Register/buku kontrak pengadaan barang/jasa tidak tertib dan tidak
menggambarkan ketersediaan anggarannya.
4. Dokumen pembayaran terhadap pengeluaran daerah yang seharusnya
menggunakan beban tetap tetapi dilaksanakan dengan beban sementara,
terutama untuk pasal-pasal pengeluaran anggaran daerah untuk anggaran
tak tersangka, bantuan pihak ketiga, bantuan sosial dan bantuan sejenisnya.

32

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

5. Adanya catatan-catatan kecil untuk pengeluaran-pengeluaran daerah oleh


Bendaharawan Daerah atas perintah atasan langsung-nya yang tidak
segera dipertanggungjawabkan.
6. Pembebanan anggaran dicatat tidak sesuai dengan pasal pengeluaran
anggarannya.
7. Pembukuan/catatan akuntansi menunjukkan ketidakakuratan baik jumlah
maupun informasi yang terkandung di dalamnya.
8. Tidak dilakukan rekonsiliasi secara periodik antara saldo kas daerah
dengan saldo bank pemegang kas daerah.
9. Dokumen pembayaran upah pungut atas pendapatan daerah yang tidak
sesuai dengan makna dan tujuan pemberian upah pungut.
10. Kontrak tahun jamak (multi years) pekerjaan pembangunan fasilitas
pemerintah daerah yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Undang-undang Nomor: 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
mensyaratkan bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan
APBN/APBD disusun dan disajikan sesuai dengan standar akuntansi
pemerintahan yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Sebagai tindak
lanjut dari persyaratan tersebut guna mewujudkan transparansi dan akuntabilitas
pengelolaan keuangan negara, maka Pemerintah RI menerbitkan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tersebut
diharapkan penyampaian laporan pertanggungjawaban pemerintah menjadi
tepat waktu dan mengikuti standar akuntansi pemerintahan yang telah diterima
umum.
Anomali terhadap standar akuntansi yang telah diterima secara umum
sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005
dan beberapa permasalahan terkait dengan beberapa dokumen akuntansi
baik berupa jurnal, buku besar, atau laporan keuangan seperti diuraikan di
atas baik dikerjakan secara manual atau secara elektronik merupakan gejala
(symptons) terbaik potensi terjadinya fraud.
2. Kelemahan Pengendalian Intern
Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara
khususnya pasal 58 ayat (1) menyatakan bahwa guna meningkatkan kinerja,
transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, Presiden selaku
Kepala Pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian
intern di lingkungan pemerintahan secara menyeluruh.

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

33

Audit
Kecurangan
Pengantar

Berdasarkan penjelasan pasal 58 ayat (1) tersebut di atas, Presiden


selaku Kepala Pemerintahan akan dibantu oleh para pembantunya baik
di tingkat pusat maupun daerah dalam rangka menyelenggarakan sistem
pengendalian intern tersebut, sehingga terdapat kesamaan persepsi dan
kesamaan konsep pengendalian intern di lingkungan pemerintahan.
Di tingkat Pemerintah Pusat, Presiden akan dibantu oleh Menteri
Keuangan dan Para Menteri serta Pimpinan Lembaga/Kepala Lembaga
Pemerintahan Non Departemen sebagai berikut:

Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara menyelenggarakan


sistem pengendalian intern di bidang perbendaharaan.

Menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang


menyelenggarakan sistem pengendalian intern di bidang pemerintahan
masing-masing.
Di tingkat Pemerintah Daerah, Presiden akan dibantu oleh Gubernur/

Bupati/Walikota sebagai berikut:

Gubernur/Bupati/Walikota mengatur lebih lanjut dan menyelenggarakan


sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintah daerah yang dipimpinnya.
Sebagaimana disebutkan dalam Bab II, elemen pengendalian intern

menurut COSO terdiri atas lingkungan pengendalian, penilaian risiko, aktivitas


pengendalian, informasi dan komunikasi, dan monitoring. Pasal 58 ayat (2)
menetapkan bahwa sistem pengendalian intern sebagaimana dimaksud pada
Pasal 58 ayat (1) ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Rancangan
Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah
(SPIP) dibangun mengacu pada Sistem Pengendalian Intern versi COSO
tersebut, yaitu:
1. Lingkungan pengendalian.
Lingkungan pengendalian merupakan elemen fundamental untuk menangkal
atau sebaliknya memfasilitasi terjadinya fraud. Dalam hal pimpinan eksekutif
(Kepala Daerah) dan legislatif (Ketua dan wakil Ketua DPRD) di tingkat
pemerintahan daerah tidak komit untuk memerangi fraud, maka peluang
terjadinya fraud di lingkungan pemerintahan daerah sangat terbuka. Kondisi
demikian merupakan red flags terbaik atas fraud di lingkungan pemerintahan
daerah yang bersangkutan.
2. Penilaian risiko.
Mendeteksi fraud dengan merujuk undang-undang Nomor 28 Tahun 1999

34

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

dapat dikatakan menjadi tanggungjawab manajemen pemerintahan daerah.


Mengingat Inspektorat merupakan alat dari Gubernur dan Bupati/Walikota
untuk melaksankan pengawasan di wilayah kerjanya, maka mendeteksi
fraud juga menjadi salah satu tanggungjawabnya.
Penilaian risiko merupakan salah satu alat untuk memudahkan mendeteksi
dan menangani fraud. Penilaian risiko merupakan salah satu alat yang
membantu dalam pengambilan keputusan dalam pemilihan berbagai
alternatif dan menetapkan alternatif yang paling menguntungkan. Dalam
mendeteksi fraud, teknik ini sangat membantu untuk mengidentifikasi
proses penyelenggaraan pemerintahan daerah dimana kemungkinan
terjadinya fraud. Ketiadaan identifikasi dan penilaian resiko merupakan
red flags peluang terjadinya fraud.
3. Aktivitas pengendalian.
Salah satu tujuan utama dari prosedur pengendalian intern adalah untuk
melindungi aset-aset pemerintah daerah. Ketiadaan pengendalian atau
terdapat kelemahan dalam pengendalian (control) yang diterapkan, maka
ketiadaan atau kelemahan pengendalian tersebut merupakan red flags
fraud di lingkungan pemerintahan daerah tersebut.
Beberapa gejala fraud atas kelemahan pengendalian intern di lingkungan
pemerintahan daerah, antara lain:
a. Tidak adanya pemisahan fungsi otorisasi, fungsi pencatatan, dan fungsi
penyimpanan.
b. Tidak adanya perlindungan fisik atas aset pemerintah daerah.
c. Tidak adanya fungsi yang menjalankan pengecekan independen.
d. Tidak adanya fungsi otorisasi dalam pelaksanaan anggaran yang
memadai.
e. Tidak adanya catatan-catatan dan dokumen yang memadai.
f. Pengabaian terhadap sistem pengendalian yang dirancang untuk diimplementasikan.
g. Sistem pencatatan/akuntansi tidak memadai.
h. Proses pengadaan barang/jasa di lingkungan pemerintahan daerah
tidak berjalan dan lebih banyak dilakukan penunjukan langsung secara
melawan hukum.
4. Informasi dan komunikasi.
Informasi dan komunikasi bagaikan darah yang mengalir di tubuh suatu
pemerintahan daerah. Dalam hal kebijakan dan prosedur di lingkungan

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

35

Audit
Kecurangan
Pengantar

pemerintahan daerah tidak diinformasikan dan dikomunikasikan secara


memadai, maka berpotensi terjadinya salah urus dan salah penerapan
kebijakan dan prosedur tersebut. Ketiadaan atau kekuranglancaran dalam
penginformasian dan pengkomunikasian kebijakan dan prosedur yang
signifikan merupakan red flags dugaan terjadinya fraud.
5. Monitoring.
Pemantauan atau monitoring atas implementasi elemen-elemen sistem
pengendalian intern yang lain diperlukan untuk memastikan apakah
pengendalian intern yang dirancang dan diimplementasikan mencapai
sasaran yang telah ditetapkan. Ketiadaan atau tidak memadainya kegiatan
monitoring merupakan red flags atas fraud di lingkungan pemerintahahan
daerah yang bersangkutan.

3. Anomali Analisis
Keganjilan/kejanggalan analisis adalah keterkaitan atau saling
hubungan, catatan-catatan, atau tindakan-tindakan yang sangat tidak lazim
atau tidak realistis tingkat keandalannya. Kesemua itu termasuk transaksitransaksi atau kejadian-kejadian yang terjadi pada waktu atau tempat yang
tidak masuk akal, aktivitas yang dilaksanakan oleh atau melibatkan orangorang yang dalam kondisi normal tidak berpartisipasi, misalnya kebijakan dan
prosedur yang tidak masuk akal. Keganjilan/kejanggalan lainnya, yang harus
diteliti secara mendalam termasuk nilai transaksi yang sangat besar atau
sangat kecil, transaksi/kejadian yang sangat sering terjadi atau sangat jarang
terjadi, atau transaksi/kejadian yang mengakibatkan sesuatu berlebihan atau
kekurangan di lingkungan satuan kerja pemerintah daerah.
Beberapa contoh red flags terkait dengan anomali analisis:
1. Kekurangan atau penyesuaian persediaan tidak dapat dijelaskan.
2. Penyimpangan dari spesifikasi.
3. Barang sisa meningkat.
4. Pengadaan barang/jasa yang berlebihan.
5. Terlalu banyak memo debit atau memo kredit.
6. Saldo-saldo perkiraan/buku besar naik atau turun secara signifikan.
7. Pekerjaan fisik tidak normal.
8. Kekurangan kas dikaitkan dengan kas yang ideal.
9. Pembebanan biaya yang sudah terlalu lama.
10.Biaya-biaya atau penggantian pengeluaran yang tidak wajar.

36

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

Beberapa keterkaitan perkiraan/akun laporan keuangan yang tidak masuk


akal atau tidak lazim antara lain adalah sebagai berikut:
1. Pendapatan meningkat dengan persediaan menurun.
2. Pendapatan meningkat dengan piutang menurun.
3. Pendapatan meningkat dengan arus kas menurun.
4. Persediaan meningkat dengan utang menurun.
5. Volume meningkat dengan varian harga pokok naik.
6. Persediaan meningkat dengan biaya gudang menurun.
4. Gejala Fraud Berdasarkan Perubahan Gaya Hidup
Sekali seseorang memenuhi kebutuhan hidupnya termasuk kebutuhan
keuangannya dengan melakukan fraud, maka hal tersebut menjadi pemicu
yang bersangkutan untuk mengulangi perbuatannya. Para pelaku fraud
biasanya secara berulang-ulang mencuri dan kemudian menggunakan uang
tersebut untuk berperilaku lebih (mewah) dari kehidupan yang sebenarnya
berdasarkan kemampuan keuangannya. Para pelaku fraud mungkin membeli
mobil atau keperluan pribadi lain yang eksklusif, berfoya-foya melakukan
perjalanan dalam rangka liburan, merenovasi kembali rumahnya atau membeli
lagi rumah yang lebih mahal, atau membeli pakaian dan perhiasan yang
mahal.
5. Perilaku Tidak Lazim
Ketika orang telah melakukan kejahatan, kebanyakan hati nurani
mereka diliputi rasa bersalah dan rasa takut. Perubahan emosi ini menggambarkan perilaku para pelaku fraud sendiri yang tidak lazim. Orang-orang
yang biasanya ramah (baik hati) menjadi pengintimidasi dan suka ribut dan
mudah tersinggung (bermusuhan), orang-orang yang semula suka bermusuhan
menjadi mudah bekerjasama dan bersahabat.
Riset di bidang psikologi menunjukkan bahwa orang-orang yang
melakukan kejahatan akan diliputi rasa takut dan rasa bersalah sehingga
menimbulkan stres. Perubahan perilaku tidak lazim tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut:

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

37

Audit
Kecurangan
Pengantar

Rasa
Bersalah

Rasa
Takut

Stres

Perubahan
Perilaku

Insomnia (tidak bisa tidur)


Minum alkohol berlebihan
Mudah curiga dan lekas
marah yang tidak lazim
Tidak dapat rileks
Rasa takut ditangkap
Tidak dapat menatap mata
orang
Bertahan tidak terus terang
Mengakui kejahatan kepada
Pimpinan Agama, Psikolog,
atau Profesional yang lain
Merokok meningkat
Berkeringat/Berpeluh
Lebih suka tinggal di kantor
Mudah memaafkan

6. Pengaduan
Orang-orang yang memiliki posisi yang tepat untuk mendeteksi
terjadinya fraud biasanya adalah orang-orang yang dekat dengan para
pelaku fraud yaitu anggota keluarga, teman, teman sekerja, dan para atasan
langsungnya. Individu tersebut sering memberikan pengaduan yang menyatakan
bahwa kemungkinan telah terjadi fraud (ingat Whistle Blower). Namun demikian,
pengaduan tersebut belum tentu penyebab yang hakiki, karena pengaduan
dan pemberian tips dapat dimotivasi oleh suatu niat tertentu seperti karena
frustasi, dendam pribadi, atau penyebab lainnya.
Selain dari enam kategori dari gejala fraud atau red flags menurut
Association of Certified Fraud Examiners (CFE), W. Steve Albrecht dan Chad
O. Albrecht dalam buku mereka Fraud Examination, terdapat dua metode
dalam mendeteksi fraud, yaitu deteksi dengan cara induksi dan deteksi dengan
cara deduksi. Uraian tentang kedua metode tersebut tampak berikut ini.
1. Deteksi dengan Cara Induksi
Salah satu pendekatan yang biasanya dilakukan dalam mendeteksi fraud
yang pembukuan transaksinya sudah menggunakan komputerisasi adalah
menggunakan Commercial Data-Mining Sofware, misalnya ACL (Audit
Command Language) guna melihat ketidaklaziman/kejanggalan transaksi

38

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

yang ada pada data base. Biasanya penelitian dilakukan pada beberapa
area (bidang) yang sering memicu terjadinya fraud. Proses pengadaan
barang/jasa di lingkungan pemerintah daerah merupakan area yang rawan
terjadinya fraud dalam bentuk imbalan (kickbacks) atau gratifikasi dari
kontraktor/penjual kepada pejabat publik. Dalam hal ini Inspektorat perlu
menguji beberapa proses pengadaan barang/jasa yang terdapat beberapa
kecenderungan, misal penyedia barang/jasa (rekanan) yang selalu/sering
memasok ke satuan kerja/lembaga pemerintah daerah yang bersangkutan.
Selain itu, kenaikan harga yang sering terjadi atas beberapa barang/jasa
tertentu oleh penyedia barang/jasa tertentu dan kejanggalan lain sejenisnya.
Contoh kejanggalan di atas merupakan symptoms of fraud yang sering
dapat dibuktikan kebenarannya.
Beberapa hal yang perlu dicermati sebagai gejala fraud dalam proses
pengadaan barang/jasa di lingkungan pemerintah daerah, antara lain:
a. Perencanaan pengadaan barang/jasa.
1) Penggelembungan anggaran (gejala penggelembungan terlihat dari
unit price yang tidak realistis).
2) Rencana pengadaan yang diarahkan (spesifikasi teknis yang mengarah
pada merek tertentu atau pengusaha tertentu).
3) Tidak mengumumkan secara terbuka rencana pengadaan pada awal
pelaksanaan anggaran.
4) Pemaketan pekerjaan yang direkayasa (pekerjaan hanya mampu
dilaksanakan oleh kelompok tertentu saja).
5) Menyatukan atau memusatkan beberapa kegiatan yang tersebar di
beberapa daerah yang menurut sifat pekerjaan dan tingkat efisiensinya
seharusnya dilakukan di daerah masing-masing.
b. Pelaksanaan kontrak/penyerahan barang/jasa.
1) Kuantitas pekerjaan/barang/jasa yang diserahkan tidak sesuai dengan
kontrak.
2) Kualitas pekerjaan yang diserahkan tidak sama dengan ketentuan
dalam spesifikasi teknis/kontrak.
3) Kualitas pekerjaan yang diserahkan lebih rendah dari ketentuan
dalam spesifikasi teknis/kontrak.
4) Keterlambatan penyerahan barang/jasa.
5) Perintah perubahan volume (cotract change order) dalam rangka
korupsi, kolusi dan nepotisme.
6) Kriteria penerimaan barang yang bias.
7) Jaminan pasca jual yang palsu.
8) Data lapangan yang dipalsukan.

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

39

Audit
Kecurangan
Pengantar

c. Pembayaran dan pelaporan.


1) Pembayaran tidak sesuai dengan kemajuan fisik.
2) Tidak dibuat berita acara pada saat pembayaran.
3) Pelaporan tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
4) Kekurangan pungutan dan penyetoran kewajiban kepada negara/
daerah.
5) Pembayaran tidak diikuti prestasi (fiktif).
6) Pelaporan tidak lengkap dan tidak sesuai ketentuan.
d. Pemanfaatan.
1) Kualitas barang/jasa yang diterima tidak sesuai kebutuhan.
2) Kuantitas barang/jasa yang diterima berlebihan.
3) Barang/jasa tidak dapat dimanfaatkan.
4) Penyerahan barang/jasa di lokasi yang tidak tepat.
2. Deteksi dengan cara deduksi.
Metode deteksi ini digunakan untuk mendeteksi fraud pada situasi dan
kondisi tertentu. Menurut metode deteksi deduksi, pada dasarnya ada lima
tahap yang harus dilakukan:
a. Memahami tentang latar belakang dan kegiatan dari satuan kerja/lembaga
pemerintah daerah;
b. Mengumpulkan informasi tentang fraud yang sering terjadi di lingkungan
masing-masing satuan kerja/lembaga pemerintah daerah yang bersangkutan atau yang sejenis di daerah yang lain;
c. Menentukan gejala yang biasanya fraud dapat dilakukan;
d. Menggunakan data base dan sistem informasi manajemen/keuangan
daerah untuk mencari beberapa gejala fraud;
e. Melacak gejala fraud tersebut untuk memastikan bahwa fraud benarbenar terjadi atau mungkin ditemukan faktor-faktor lain yang menyebabkan
terjadinya fraud.
Pemahaman dan analisis lebih dalam terhadap gejala fraud merupakan
langkah awal untuk investigasi atas fraud.
2. Investigasi Fraud
Pertengahan tahun 1998, tepatnya tanggal 21 Mei 1998 merupakan
titik awal dimulainya era reformasi. Pada saat itu, mantan Presiden Soeharto
menyatakan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden RI. Semangat
reformasi tersebut telah mendorong tuntutan rakyat atas penyelenggaraan
negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Tuntutan

40

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

rakyat tersebut direspon oleh wakil-wakil rakyat di Majelis Permusyawaratan


Rakyat (MPR) dengan diterbitkannya Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme. Kondisi dan situasi negara saat itu telah mendorong dan menjadi
genderang perang terhadap korupsi yang merupakan salah satu bentuk fraud.
Era tersebut telah mendorong penggunaan peristilahan di bidang auditing di
Indonesia yang selama ini dikenal dengan pemeriksaan (audit) khusus menjadi
audit investigasi.
Dalam bidang akuntansi dan auditing, terminologi investigative audit,
forensic accounting, forensic audit, investigation audit, dan fraud investigation
adalah terminologi yang saling menggantikan. Meskipun menimbulkan
pertanyaan apakah kesemuanya memiliki makna yang sama, tentunya masih
dapat diperdebatkan. Modul ini menggunakan terminologi investigasi fraud
untuk audit investigasi terhadap fraud.
Pembahasan investigasi fraud dalam modul ini mencakup sumber
informasi investigasi fraud, perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan
investigasi. Uraian mengenai hal-hal tersebut tampak berikut ini.
2.1. Sumber Informasi Investigasi Fraud
Beberapa sumber informasi yang dapat dijadikan informasi awal
dilakukannya investigasi fraud oleh Inspektorat adalah sebagai berikut:
1. Gejala-gejala (symptoms) atau Red Flags Fraud;
2. Pengaduan Masyarakat;
3. Hasil Audit Reguler dan Audit Akhir Jabatan Bupati/walikota;
4. Perintah Gubernur/Bupati/Walikota;
5. Permintaan Instansi Lainnya yang Berwenang.
Uraian mengenai kelima sumber informasi tersebut tampak berikut ini.
1. Gejala-gejala (Symptoms) atau Red Flags Fraud
Pada bagian modul deteksi fraud telah diuraikan berbagai gejala atau
red flags fraud. Inspektorat selaku auditor intern Pemerintah Provinsi/ Kabupaten/
Kota dapat dengan mudah untuk mengumpulkan informasi tambahan atas
gejala fraud tersebut. Dari hasil pengumpulan informasi awal, Inspektorat
harus melakukan penelaahan awal dalam rangka menentukan apakah informasi
awal tersebut dapat dijadikan bukti awal yang cukup untuk dilakukan investigasi
fraud.

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

41

Audit
Kecurangan
Pengantar

2. Pengaduan Masyarakat
Kontrol masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah
tidak dapat dipungkiri lagi. Hal ini sesuai dengan tuntutan mereka akan good
governance (tata kelola yang baik) dalam penyelenggaraan pemerintahan di
daerah. Kontrol masyarakat merupakan salah satu wujud dari pilar partisipatif
dalam good governance. Pengertian masyarakat dapat diartikan sebagai
orang perseorangan atau lembaga swadaya masyarakat. Media yang digunakan
oleh masyarakat orang per-seorangan dalam menyalurkan pengaduan dapat
melalui surat pengaduan tanpa mencantumkan identitas pelapor atau sebaliknya,
sedangkan untuk pengaduan yang disampaikan oleh Lembaga Swadaya
Masyarakat pada umumnya mencantumkan identitas pimpinan lembaga
swadaya tersebut, meskipun tandatangan pimpinan yang bersangkutan belum
tentu dapat diandalkan keasliannya bahkan mungkin palsu. Untuk pengaduan
yang berasal dari orang perseorangan meskipun tanpa nama tidak berarti
tidak dapat diandalkan informasinya, karena biasanya pengaduan tersebut
cenderung dibuat oleh orang-orang di sekitar pelaku fraud. Namun demikian,
Inspektorat beserta jajarannya agar tetap menjunjung tinggi azas praduga
tidak bersalah.
Berdasarkan praktik di lapangan, pengaduan masyarakat cenderung
minim bukti (evidence) yang diadukan, sehingga tambahan data atau informasi
sangat diperlukan sebelum pada keputusan untuk melakukan investigasi
fraud.
3. Hasil Audit Reguler dan Audit Akhir Jabatan Bupati/Walikota
Audit reguler yang dilakukan oleh Inspektorat berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dapat berupa audit atas
pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah provinsi, audit atas pelaksanaan
urusan pemerintahan di daerah kabupaten/kota, dan audit atas pelaksanaan
pemerintahan di desa. Audit akhir jabatan Bupati/Walikota sesuai dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tersebut dilakukan oleh Inspektorat
Provinsi. Dari hasil audit reguler dan audit akhir jabatan Bupati/Walikota dapat
ditemukan beberapa penyimpangan yang berindikasi pada pelanggaran hukum
yang mengakibatkan kerugian keuangan daerah. Dalam hal terdapat temuan
bermuatan pelanggaran hukum yang mengakibatkan kerugian keuangan
daerah, hal ini merupakan bukti awal yang cukup untuk dilakukan investigasi
fraud.

42

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

4. Perintah Gubernur/ Bupati/Walikota


Pasal 25 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 menetapkan bahwa Inspektur Provinsi dalam pelaksanaan tugas pengawasan (termasuk
pemeriksaan/audit) bertanggungjawab kepada Gubernur, Inspektur Kabupaten/
Kota dalam melaksanakan tugas pengawasan (termasuk pemeriksaan/audit)
bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota. Berdasarkan Pasal 25 ayat (1)
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Inspektorat Provinsi merupakan alat
dari Gubernur, sedangkan Inspektorat Kabupaten/Kota merupakan alat dari
Bupati/Walikota dalam penyelenggaraan pengawasan di wilayah kerjanya.
Dengan demikian, Gubernur/Bupati/Walikota dapat memerintahkan Inspektorat
untuk melakukan investigasi fraud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
ayat (1) huruf d yaitu pengusutan atas kebenaran laporan mengenai adanya
indikasi terjadinya penyimpangan, korupsi, kolusi, dan nepotisme.
5. Permintaan Instansi Lainnya yang Berwenang
Investigasi fraud yang dilakukan oleh Inspektorat dapat dilakukan atas
permintaan instansi lainnya yang berwenang, antara lain Inspektorat Jenderal
Departemen Dalam Negeri, Instansi Penyidik baik Kepolisian, Kejaksaan
maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Permintaan bantuan investigasi
tersebut sangat tergantung pada kepercayaan yang diberikan oleh pemberi
tugas, khususnya terkait dengan independensi dan obyektivitas dari Inspektorat
Provinsi dan Inspektorat Kabupaten/Kota. Pada prinsipnya di mungkinkan
Inspektorat melakukan investigasi fraud jika diminta oleh instansi yang
berwenang.
2.2. Perencanaan Investigasi Fraud
Langkah kerja yang perlu dibangun dalam tahap perencanaan mencakup:
1. Penelaahan informasi awal,
2. Pembuatan hipotesis,
3. Penyusunan audit program,
4. Perencanaan sumber daya, dan
5. Penerbitan surat tugas investigasi.
Uraian mengenai kelima sumber informasi tersebut tampak berikut ini.
1. Penelaahan Informasi Awal
Berbeda dengan hasil deteksi terhadap symptoms of fraud baik berupa
anomali akuntansi, kelemahan sistem pengendalian intern di lingkungan
pemerintah daerah, anomali analisis, perubahan gaya hidup, perilaku tidak

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

43

Audit
Kecurangan
Pengantar

lazim, dan pengaduan, hasil audit reguler dan akhir jabatan Bupati/Walikota
yang relatif telah diperoleh bukti awal, untuk pengaduan masyarakat kebanyakan
tidak dilampiri dengan bukti. Kondisi ini disebabkan besarnya risiko yang harus
ditanggung pengadu apabila si pengadu dapat ditemukan. Belum adanya
komisi perlindungan saksi dan korban sangat mempengaruhi keberanian para
pengadu untuk lebih transparan. Kekhawatiran terhadap keselamatan diri
pengadu maupun keluarganya merupakan faktor dominan kebanyakan para
pengadu tidak berani secara terbuka mengungkapkan suatu fraud. Kadangkala
kasus fraud-nya belum diadili tetapi serangan balik sudah ditiup dengan
pengaduan berupa pencemaran nama baik.
Materi pengaduan yang diterima dari pengadu tentang terjadinya fraud
pada umumnya tidak berisi informasi yang lengkap dan spesifik melainkan
sangat umum dan sering kali bersifat tendensius. Inspektorat sebagai unit
yang independen dan profesional harus melihat dan menangani materi
pengaduan tersebut secara objektif dengan melakukan analisis atau penelaahan
terhadap informasi tersebut untuk menentukan kecukupan alasan untuk
dilakukan investigasi. Penelaahan dilakukan dengan menganalisis muatan
fakta dan data yang ada di dalam informasi yang diadukan, apakah faktafakta yang diungkapkan di dalam pengaduan tersebut merupakan fakta-fakta
yang aktual, logis atau hanya merupakan hasil imajinasi si pengadu. Data
atau informasi yang dimuat di dalam pengaduan juga harus dianalisis untuk
menguji apakah data atau informasi tersebut relevan dan logis mendukung
fakta-fakta yang dimuat dalam pengaduan.
Sebagai salah satu kriteria untuk menentukan cukup tidaknya alasan
symptoms of fraud, pengaduan masyarakat, hasil audit reguler dan akhir
jabatan Bupati/Walikota maupun perintah Gubernur/Bupati/Walikota dan
permintaan instansi yang berwenang dilakukan investigasi didasarkan pada
pertimbangan adanya unsur-unsur kerugian keuangan negara/daerah dan/atau
perekonomian negara/daerah serta adanya pelanggaran hukum dalam
pengelolaan keuangan negara/daerah.
2. Membuat Hipotesis
Berdasarkan hasil penelahan informasi awal, auditor Inspektorat akan
melakukan hipotesis. Hipotesis biasanya merupakan suatu skenario worst
case; yaitu setelah menganalisis berbagai kemungkinan berdasarkan data
yang dimiliki, auditor akan memprediksi berbagai kemungkinan penyimpangan
yang dikembangkan berdasarkan informasi yang dihasilkan pada kegiatan
penelaahan awal. Pada tahap hipotesis diidentifikasi bukti/informasi yang

44

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

perlu dikumpulkan, sumber bukti/informasi, teknik/metode pengumpulan


bukti/informasi, dan strategi atau pendekatan pengumpulan bukti.
3. Menyusun Program Investigasi
Berdasarkan hipotesis sebagaimana disebutkan sebelumnya, auditor
menyusun program investigasi. Program tersebut dapat berisi antara lain:
tujuan (pengumpulan bukti/informasi), langkah-langkah investigasi (prosedur),
petugas (auditor), dan prediksi/anggaran waktu yang dibutuhkan melaksanakan
langkah-langkah investigasi yang dirancang.
4. Perencanaan Sumber Daya yang Dibutuhkan
Berdasarkan program investigasi tersebut di atas, disusunlah rencana
kebutuhan sumber daya baik tenaga, pembiayaan, maupun sarana/prasarana
untuk melaksanakan investigasi dimaksud. Sumberdaya ini sangat berpengaruh
pada hasil akhir investigasi.
5. Penugasan
Kegiatan akhir pada tahap perencanaan adalah penerbitan surat tugas
atau perintah untuk melaksanakan investigasi.
2.3.

Pelaksanaan Investigasi Fraud


Berdasarkan gejala-gejala (symptoms) atau red flags fraud, pengaduan

masyarakat, hasil audit reguler dan audit akhir jabatan Bupati/Walikota, perintah
Gubernur/Bupati/Walikota, permintaan instansi lainnya yang berwenang
serta hasil perencanaan investigasi, maka tahap selanjutnya adalah tahap
pelaksanaan investigasi fraud. Inti dari tahap ini adalah pengumpulan dan
evaluasi bukti (evidence) untuk membuktikan bahwa fraud benar-benar terjadi
atau tidak terjadi fraud. Dengan kata lain, untuk membuktikan hipotesis (dugaan
penyimpangan) diperlukan bukti-bukti yang memenuhi persyaratan baik kualitas
maupun kuantitas sesuai dengan sistem hukum yang berlaku. Di Indonesia,
dalam hal beracara tindak pidana, maka berlaku Undang-undang Nomor 8
tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang dikenal dengan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Mengingat pentingnya bukti tersebut
untuk membuat kesimpulan tentang ada-tidaknya fraud, bagian berikut ini
menjelaskan tentang pengumpulan dan evaluasi bukti.
Pengumpulan Bukti
Alat bukti menurut KUHAP diatur dalam Pasal 184 ayat (1) yang
terdiri dari Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk, dan Keterangan

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

45

Audit
Kecurangan
Pengantar

terdakwa. Uraian selanjutnya mengenai alat bukti ini diuraikan dalam Bab 5,
Aspek Hukum dari Fraud (lihat butir 3.2.3. hal. 79).
Sesuai dengan prinsip kehati-hatian profesi, Pasal 183 KUHAP
mensyaratkan kuantitas alat bukti yang harus dikumpulkan atas fraud
yang terjadi. Terkait dengan kualitas bukti yang harus dikumpulkan, maka
bukti tersebut harus relevan, material, dan kompeten. Relevan, maksudnya
berkorelasi dengan fakta utama dan menunjukkan hubungan yang signifikan
serta dapat ditelusuri. Sementara itu material yaitu pengaruh dan akibat
penyimpangan (perkara) yang terjadi sangat signifikan, sedangkan kompeten
adalah dapat diterima secara hukum, diperoleh dengan cara dan dalam bentuk
serta dari sumber yang diperkenankan menurut hukum.
Dalam rangka pembuktian atas fraud, pendekatan investigasi fraud
dapat dilakukan melalui skema pendekatan segi empat pembuktian (the
evidence square approach) yang terdiri dari:
1. Bukti kesaksian (testimonial evidence).
2. Bukti dokumen (documentary evidence).
3. Bukti fisik (physical evidence).
4. Bukti pengamatan (personal observation).
The evidence square approach digambarkan sebagaimana tampak
pada gambar berikut, dengan masing-masing penjelasan sebagai berikut:

46

Bukti Kesaksian

Bukti dokumen

Bukti fisik

Bukti pengamatan

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

1. Bukti kesaksian.
Bukti ini dikumpulkan dari para individu yang melihat, mendengar dan
merasakan pada saat fraud terjadi dan atau diduga terlibat fraud. Teknik
pengumpulkan bukti kesaksian dapat dilakukan melalui berita acara permintaan
keterangan (BAPK) termasuk konfrontasi kepada pihak-pihak yang diduga
terlibat fraud. Metode dan teknik pembuatan BAPK akan disajikan secara
terpisah setelah pembahasan mengenai pendekatan segi empat pembuktian
ini.
Berita Acara Permintaan Keterangan dapat dikembangkan oleh
penyidik untuk menjadi alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184
ayat (1) KUHAP, yaitu keterangan saksi, dan atau keterangan ahli khususnya
untuk ahli di bidang teknis tertentu, serta keterangan terdakwa, apabila ternyata
pemberi keterangan sebagai pelaku fraud.
2. Bukti dokumen.
Bukti ini berasal dari hasil cetak komputer (print), data pada komputer,
dan dokumen tertulis dan tercetak lainnya. Teknik pengujian dalam rangka
pengumpulan bukti dokumen antara lain, adalah pengujian dokumen, penelitian
catatan-catatan yang telah dipublikasikan, pemeriksaan, penelitian data atau
perangkat lunak komputer, penghitungan nilai kekayaan bersih, hasil konfirmasi
yang dilakukan oleh auditor investigasi, dan analisis laporan keuangan.
Dalam pengumpulan bukti dokumen perlu mempertimbangan tingkat
keandalan bukti. Bukti/dokumen ekstern dari pihak ketiga atau di luar instansi
yang sedang diinvestigasi lebih dapat dipercaya tingkat keandalannya dibanding
dengan bukti/dokumen intern instansi tersebut. Hal ini berdasarkan pertimbangan
bahwa bukti/dokumen intern lebih dimungkinkan direkayasa atau dimanipulasi
atau dipalsukan dibanding bukti/dokumen ekstern. Kondisi sebaliknya dapat
terjadi, bila terjadi kolusi antara pihak intern dan ekstern berkolusi.
Bukti dokumen dapat dikembangkan oleh penyidik untuk menjadi alat
bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yaitu surat,
misalnya sertifikat dalam transaksi pengadaan tanah, paspor pelaku fraud,
kartu tanda penduduk dan sejenisnya atau bukti petunjuk, yaitu dokumen
dokumen yang terkait yang dapat menggambarkan peristiwa terjadinya fraud.
3. Bukti fisik.
Bukti ini dikumpulkan dari hasil pengujian fisik yang dilakukan oleh
auditor Inspektorat. Pengujian fisik dilakukan melalui inspeksi atau pengamatan

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

47

Audit
Kecurangan
Pengantar

yang dilakukan auditor atas penghitungan terhadap harta (aset) berwujud


suatu instansi pemerintah daerah. Dalam praktik di lapangan, pengujian fisik
dilakukan dalam rangka kas opname, pemeriksaan fisik persediaan, inventarisasi
barang inventaris, dan pemeriksaan fisik atas pekerjaan pembangunan yang
bermasalah atau berindikasi kuat terjadinya fraud. Dalam melakukan pengujian
fisik, auditor investigasi didampingi oleh penanggungjawab kegiatan termasuk
panitia/pejabat pengadaan barang/jasa, dan disertai ahli teknis di bidang
pekerjaan/barang/jasa yang berindikasi kuat terjadinya fraud. Ahli teknis
dimaksud misalnya: ahli di bidang konstruksi, ahli di bidang teknologi informasi,
ahli di bidang kehutanan, ahli di bidang pertanian, ahli di bidang persenjataan,
ahli di bidang farmasi, ahli di bidang alat kedokteran, dan ahli dibidang lainnya
sesuai dengan pengujian fisik yang akan dilakukan auditor.
Hasil pengujian fisik sebagaimana dimaksud di atas harus didokumentasikan dalam suatu Berita Acara Pemeriksaan Fisik yang ditandatangani oleh
auditor Inspektorat, penanggungjawab kegiatan termasuk panitia/pejabat
pengadaan barang/jasa, dan ahli teknis. Dokumentasi ini sangat penting untuk
membuktikan kebenaran kuantitas dan kualitas barang/jasa yang telah dilakukan
pengujian fisik sebagai bukti fisik. Dalam Berita Acara Pemeriksaan Fisik
biasanya diuraikan tentang jenis barang (termasuk pekerjaan fisik) atau jasa,
kuantitas barang/jasa, nilai pengadaan barang/jasa, nilai barang/jasa yang
tidak benar atau tidak sesuai dengan kontrak/spesifikasi yang ditetapkan,
dan keterangan untuk memberikan penjelasan yang lebih rinci. Berita Acara
Pemeriksaan Fisik harus ditandatangani semua pihak yang melakukan
pengujian fisik baik auditor Inspektorat, penanggungjawab kegiatan termasuk
panitia/pejabat pengadaan barang/jasa, ahli teknis, bahkan penyelidik/penyidik
yang ikut menyaksikan pengujian fisik. Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan
Fisik dapat diketahui secara langsung nilai kerugian keuangan negara/daerah
yang terjadi, apabila terjadi penyimpangan atas kegiatan termasuk pengadaan
barang/jasa. Dalam bukti fisik termasuk juga sidik jari, senjata, hak milik (aset)
yang hilang, identifikasi nomor atau ciri barang (obyek) yang hilang, dan bukti
fisik lainnya yang dapat dihubungkan dengan perbuatan. Pengumpulan bukti
fisik sering melibatkan analis forensik sebagai ahli.
Berita Acara Pemeriksaan Fisik ini dapat dikembangkan oleh penyidik
untuk menjadi alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1)
KUHAP, yaitu keterangan saksi, dan atau keterangan ahli khususnya untuk
auditor Inspektorat dan ahli teknis, serta keterangan terdakwa, apabila ternyata
penanggungjawab kegiatan termasuk panitia/pejabat pengadaan barang/jasa
sebagai pelaku fraud.

48

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

4. Bukti pengamatan.
Bukti ini dikumpulkan berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan
oleh auditor Inspektorat terhadap perbuatan pelaku fraud secara langsung
di lapangan. Dalam melakukan pengamatan, auditor harus memperhatikan
kewenangan yang dimiliki, sehingga tidak terjadi kesalahan prosedur. Hal ini
penting agar hasil pengamatan terhadap pelaku fraud tidak dapat dipatahkan
karena adanya kesalahan prosedur. Bukti pengamatan akan optimal, bila
pengamatan dilakukan bersama-sama aparat penegak hukum atau penyidik,
sehingga pelaku fraud dapat tertangkap basah dengan barang buktinya.
Operasi intelijen dan kegiatan sejenis lainnya merupakan cara yang efektif
untuk mendapatkan bukti pengamatan.
Hasil pengamatan dapat dikembangkan oleh penyidik untuk menjadi
alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yaitu
keterangan terdakwa terutama pengakuan pelaku fraud dalam hal perbuatannya
tertangkap basah, atau bukti petunjuk dalam hal hasil pengamatan menghasilkan
rangkaian dari beberapa keterangan saksi.
Berita Acara Pemberian Keterangan (BAPK)
Sebagaimana telah disinggung pada uraian tentang bukti kesaksian
(testimonial evidence), bukti tersebut dapat dikumpulkan melalui BAPK. Auditor
Inspektorat Provinsi atau Inspektorat Kabupaten/Kota perlu memperoleh
pemahaman tentang Pengertian dan Tujuan Pembuatan BAPK, Pedoman
Melakukan BAPK dan Pembuatan BAPK. Kedua hal ini akan diuraikan pada
bagian berikut ini.
a. Pengertian dan Tujuan Pembuatan Berita Acara Permintaan Keterangan
1) Pengertian Berita Acara Permintaan Keterangan.
Berita Acara Permintaan Keterangan adalah suatu media komunikasi
antara auditor Inspektorat Provinsi atau Inspektorat Kabupaten/Kota
dengan pemberi informasi untuk memperjelas alur penyimpangan yang
terjadi berdasarkan langkah-langkah audit yang telah dilakukan sebelum
permintaan keterangan.
2) Tujuan pembuatan Berita Acara Permintaan Keterangan.

Konfirmasi atas materi temuan hasil investigasi kepada pihakpihak yang diduga bertanggungjawab dan atau terkait atas suatu
penyimpangan.

Salah satu bahan pelengkap dalam penyajian/pengungkapan faktafakta dan proses kejadian (kasus posisi dan modus operandi).

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

49

Audit
Kecurangan
Pengantar

b. Pedoman Melakukan Permintaan Keterangan


Sebelum auditor Inspektorat melakukan permintaan keterangan, terdapat
beberapa pedoman yang perlu diperhatikan agar permintaan keterangan
berjalan lancar mencapai tujuan yang diharapkan. Beberapa pedoman
tersebut sebagai berikut:
1) Pertanyaan pendahuluan.
Pada tahap awal permintaan keterangan, auditor dalam mengajukan
pertanyaan hendaknya berkisar pada masalah yang akan dideteksi
secara global dan masih bersifat obrolan. Pertanyaan yang "to the point"
dapat mengejutkan pemberi keterangan. Begitu pula pertanyaan yang
menusuk dapat mengakibatkan pemberi keterangan menjadi terkejut
dengan sikap menarik diri, melawan atau menolak. Kondisi demikian
harus dihindari, karena dapat merusak suasana dalam permintaan
keterangan.
2) Gaya bicara.
Gaya bicara hendaknya tersusun menurut maksudnya dan jangan
berbelit-belit. Sebagian besar pemberi keterangan akan selalu waspada
terhadap lawan bicara. Selain itu, gaya bicara yang berbelit-belit dapat
mengakibatkan pemberi keterangan untuk berbuat hal yang sama.
Pemberi keterangan akan memberikan jawaban yang berbelit-belit dan
berputar-putar, sehingga akan mengalami kesukaran dalam menangkap
ujung pangkal dari isi keterangan dan dapat kurang dipercaya kebenarannya. Sehubungan dengan itu, auditor Inspektorat/Bawasda agar berbicara
secara jelas dengan kalimat yang sederhana dan mudah dimengerti
oleh pemberi keterangan.
3) Nada dan irama.
Kata-kata yang monoton tidak ada nadanya dapat menimbulkan suasana
yang membosankan dalam permintaan keterangan. Nada berfungsi
agar pemberi keterangan dalam kondisi bangun dan dapat mengisyaratkan pembicaraan yang penting dan meminta perhatian lebih
serius. Selain nada, irama pembicaraan juga tidak kalah pentingnya.
Irama pembicaraan dapat membantu dalam kelancaran permintaan
keterangan. Jangan bicara terlalu lambat atau terlalu cepat. Bicara
terlalu cepat, dapat menimbulkan kesan mendapat pertanyaan bertubitubi. Akibat lebih lanjut pemberi keterangan kurang memiliki kesempatan
untuk menyelesaikan suatu jawaban secara lengkap.

50

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

4) Sikap dalam melakukan permintaan keterangan.


Sikap dalam melakukan permintaan keterangan, idealnya adalah suasana
yang dapat menimbulkan suasana penuh keakraban, suasana yang
bebas dan tidak kaku serta penuh kehangatan. Suasana ini tidak akan
terjadi bilamana:
a) Auditor bersikap sebagai seorang aparat yang mengintrogasi seorang
tertuduh.
b) Auditor bersikap sebagai seorang maha guru yang sedang memberi
ceramah.
c) Auditor bersikap kurang menghargai, kurang percaya atau berulangulang memberikan celaan terhadap jawaban pertanyaan yang kurang
disukai.
5) Membuat paraphrase.
Dalam permintaan keterangan tidak jarang dijumpai pemberi keterangan
mengalami kesukaran untuk merumuskan isi pikirannya secara teratur,
lengkap dan sistematis. Dalam kondisi demikian peranan auditor harus
membantu pemberi keterangan agar dapat merumuskan keterangan
dalam kata-kata yang lebih tepat dan mempunyai arti. Pada posisi ini,
auditor seolah-olah sebagai penterjemah bebas baik terhadap pemberi
keterangan maupun terhadap dirinya sendiri. Namun hal ini harus
dilakukan secara hati-hati, jangan sampai mengubah hitam menjadi
putih atau sebaliknya, karena dengan melakukan paraphrase dapat
menggiring pemberi keterangan kepada suatu kesimpulan yang tidak
ia maksudkan, tanpa pemberi keterangan menyatakan keberatan.
6) Melakukan probing.
Probing adalah penggalian yang lebih dalam permintaan keterangan.
Hal ini dapat dilihat bilamana pemberi keterangan telah memberikan
pernyataan/jawaban yang cukup jelas, akan tetapi auditor ingin mengetahui lebih dalam lagi mengenai jawaban yang telah diberikan.
Dengan probing dapat diperoleh keterangan yang lebih rinci dan lengkap
melalui pertanyaan-pertanyaan yang menjurus ke pokok masalah.
7) Menilai jawaban.
Ketelitian dan keakuratan keterangan yang termuat dalam Berita Acara
Permintaan Keterangan sangat tergantung pada penilaian auditor
terhadap jawaban-jawaban ataupun informasi yang diberikan pemberi
keterangan. Perlu-tidaknya mengadakan probing atau tepat-tidaknya
suatu probing dilakukan bergantung juga kepada baik-buruknya auditor

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

51

Audit
Kecurangan
Pengantar

Inspektorat dalam menilai jawaban. Selain itu, disebabkan juga bahwa


tidak semua auditor atau pemberi keterangan dapat menangkap dengan
tepat isi pembicaraan lawan bicara, maka sudah sewajarnyalah penilaian
jawaban yang tepat merupakan kunci dari suksesnya permintaan
keterangan.
Terdapat dua hal yang penting dalam kaitannya dengan menilai jawaban,
yaitu:
a) Sikap phenomenologik.
Artinya kesediaan untuk menanggalkan semua prasangka dan motifmotif subyektif lainnya.
b) Sikap faktual.
Artinya tidak terkurung oleh jalan berpikirnya sendiri dan tidak
menarik kesimpulan tanpa dasar sesuatu fakta yang objektif. Orang
yang terikat oleh jalan berpikirnya dalam menerima informasi dan
tidak menarik kesimpulan tanpa dasar sesuatu fakta yang objektif
menandakan bahwa ia telah meletakkan kerangka-kerangka berpikir
dan mengharapkan jika ada pernyataan yang begini, tentu alasan
atau kelanjutannya adalah begitu. Sikap seperti itu dapat menimbulkan
kesimpulan penilaian yang salah.
c. Pembuatan Berita Acara Permintaan Keterangan
Dalam merancang pertanyaan dan memasukan jawaban yang akan dimuat
dalam Berita Acara Permintaan Keterangan, terdapat beberapa langkah
investigasi yang perlu diperhatikan. Beberapa langkah investigasi tersebut
sebagai berikut, sedangkan contoh format BAPK tampak pada Lampiran:
1)

Kenali dan identifikasi pihak-pihak yang diduga bertanggungjawab


atau terkait atas penyimpangan yang ditemukan auditor yang akan
dimintai keterangan.

2)

Inventarisir dan klasifikasikan bukti - bukti audit yang diperoleh untuk


mendukung pertanyaan yang akan diajukan auditor kepada pihakpihak yang diduga bertanggungjawab atau terkait atas penyimpangan
yang ditemukan auditor.

3)

Berdasarkan bukti-bukti audit yang diperoleh, auditor Inspektorat


merancang pertanyaan-pertanyaan dalam rangka mengungkap dan
memantapkan fakta-fakta yang diperoleh dan proses kejadian
penyimpangan yang ditemukan.

52

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

4)

Identifikasi dan kenali sebab-sebab terjadinya penyimpangan dan


dampak penyimpangan yang ditimbulkan oleh pihak-pihak yang diduga
bertanggungjawab atas penyimpangan.

5)

Jangan mengajukan pertanyaan yang mungkin dijawab Ya, Tidak,


Mungkin, dan Boleh.
Untuk menghindari jawaban-jawaban seperti tersebut di atas, maka
mulailah pertanyaan dengan kata-kata:
- Bagaimana .
- Apakah .
- Mengapa .
Meskipun demikian, dalam hal-hal tertentu yang sifatnya meminta
penegasan, dapat saja pertanyaan diawali dengan kata-kata, misalnya
benarkah ? Dan seterusnya.

6)

Jangan mengajukan pertanyaan yang sifatnya menuduh. Ingat tugas


auditor Inspektorat mencari fakta yang sebenarnya terjadi.

7)

Jangan mempertentangkan jawaban-jawaban yang diberikan pemberi


keterangan, kecuali terdapat hal yang sebaliknya berdasarkan buktibukti yang diperoleh.

8)

Jangan memotong pembicaraan atau memberi komentar-komentar.


Misalnya: Ya, Hebat, Luar Biasa, dan sebagainya. Meskipun
demikian, dalam hal tertentu dapat dibenarkan, antara lain pembicaraan
berbelit-belit atau menyimpang dari pokok permasalahan yang ditanyakan, maka auditor dapat memotong pembicaraan dengan sopan.

9)

Sebaiknya tidak mengajukan pertanyaan yang banyak mengandung


persoalan. Usahakanlah agar satu pertanyaan hanya mengandung
satu persoalan. Namun demikian ada kemungkinan untuk melakukan
hal tersebut, yaitu jika pertanyaan berkaitan. Misalnya: Mengapa
hal itu terjadi dan bagaimana penanggulangannya?.

10) Kesan sok tahu harus dihilangkan. Hal ini harus dijaga walaupun
seorang auditor memiliki pengetahuan yang cukup tentang masalah
yang diungkapkan.
11) Menguasai terlebih dahulu bahan pertanyaan dan pokok masalah yang
erat kaitannya dengan pokok temuan audit. Dari beberapa bahan

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

53

Audit
Kecurangan
Pengantar

pertanyaan yang telah ada, selanjutnya dapat dibuat bentuk-bentuk


sebagai berikut:
a) Pertanyaan untuk menentukan atau penolakan.
Pertanyaan ini digunakan untuk menyatakan agar pemberi keterangan
melanjutkan penjelasannya, atau menolak agar dikemukakan penjelasan lain. Misalnya: "Saya setuju dengan apa yang telah bapak/
ibu katakan, tetapi mengapa hal itu dapat terjadi?
b) Pertanyaan diajukan sebagai statemen penjelasan untuk menstimulir
perasaan.
Pertanyaan ini lebih merangsang perasaan, pengertian dan pentingnya ucapan-ucapan pemberi keterangan. Pertanyaan ini sebetulnya
lebih bersifat statemen (pernyataan) dari jawaban yang diberikan
oleh pemberi keterangan, dengan maksud untuk menegaskan
kembali ucapan dari pemberi keterangan sehingga keterangan
yang diperoleh dapat diyakini kebenarannya.
c) Pertanyaan-pertanyaan dalam Cross Examination (uji silang).
Bentuk pertanyaan ini dipergunakan dalam rangka mengkonfirmasi
keterangan yang diberikan oleh antar pemberi keterangan.
12) Dalam merancang pertanyaan, auditor sudah harus dapat mengantisipasi
kemungkinan jawaban pemberi keterangan dan alternatif pertanyaan
atau pertanyaan selanjutnya.
13) Untuk pertanyaan-pertanyaan yang memerlukan jawaban dalam bentuk
rincian angka-angka dan gambar teknis tertentu, seyogyanya auditor
menyiapkan kertas untuk mendokumentasikan jawaban tersebut yang
langsung ditulis oleh pemberi keterangan. Dokumen tersebut dapat
dijadikan lampiran Berita Acara Permintaan Keterangan.
14) Apabila Pemberi Keterangan menolak memberikan keterangan atas
sesuatu hal yang ditanyakan auditor, maka yang bersangkutan agar
mengungkapkan alasan penolakannya, bila perlu dapat dibuat Berita
Acara Penolakan Permintaan Keterangan beserta alasannya.
15) Setiap lembar Berita Acara Permintaan Keterangan agar diparaf oleh
Pemberi Keterangan dan pada lembar terakhir Berita Acara Permintaan
Keterangan ditandatangani oleh Auditor dan Pemberi Keterangan.

54

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

16) Auditor mempersiapkan formulir Surat Keterangan Tanggungjawab


Mutlak (SKTM) yang berupa kesanggupan pihak yang bertanggungjawab untuk mengembalikan kerugian negara/daerah yang terjadi.
Dalam SKTM ini juga diungkapkan bentuk jaminan pengembalian.
SKTM ditandatangani oleh pihak yang bertanggungjawab dan diketahui
oleh atasan langsungnya.
17) Suasana kondusif dan berpegang prinsip yang benar harus tetap
dipelihara dalam pembuatan Berita Acara Permintaan Keterangan.
Contoh: Format Berita Acara Permintaan Keterangan (BAPK) dapat dilihat
pada lampiran.
Evaluasi Bukti
Setelah dilakukan pengumpulan bukti sebagaimana diuraikan pada
bagian di atas, maka tahap berikutnya adalah melakukan evaluasi terhadap
bukti-bukti yang telah dikumpulkan melalui Pendekatan Segiempat Pembuktian.
Setiap bukti yang diperoleh dilakukan analisis untuk menilai tingkat kesesuaian
bukti dengan hipotesis yang dibangun sebagai dasar menilai kecukupan bukti.
Bila dipandang belum memadai, maka auditor perlu memperluas investigasinya
agar bukti yang mendukung pembuktian ada atau tidak adanya fraud dapat
diperoleh. Hasil analisis bukti diharapkan dapat menguraikan fakta sebenarnya,
sehingga dapat menghasilkan kasus posisi dan modus operandi suatu fraud
yang perlu dituangkan dalam sub bab pelaporan tentang Pengungkapan Fakta
dan Proses Kejadian pada Bab 3 Laporan Investigasi Fraud/LIF. Unsur-unsur
dalam kasus posisi dan modus operandi paling tidak harus memuat APA jenis
fraud yang terjadi (A), SIAPA pelaku fraud tersebut (SI), DIMANA fraud tersebut
terjadi (DI), BILAMANA fraud terjadi (BI), dan BAGAIMANA cara perbuatan
fraud dilakukan (BAG) atau disingkat ASIDIBIBAG yang biasanya dituangkan
dalam bentuk bagan arus (flow chart).
Analisis bukti dapat dilakukan melalui beberapa teknik analisis bukti
sebagai berikut: Find, Read and Intepret Document, Determined Relevance,
Verify the Evidence, Assemble the Evidence, serta Draw Conclusions. Uraian
tentang hal-hal ini tampak sebagai berikut.
Temukan
Pada tahap perencanaan investigasi, auditor Inspektorat telah membuat
hipotesis. Melalui pendekatan pembidangan bukti (evidence square), auditor
berupaya memperoleh bukti sesuai dengan fraud yang akan dibuktikan.

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

55

Audit
Kecurangan
Pengantar

Baca dan Interpretasikan


Setiap bukti yang diperoleh auditor dipelajari dan diinterpretasikan, sehingga
terhindar dari kesalahan dalam pembuktian fraud.
Tentukan Relevansinya
Auditor Inspektorat harus dapat menentukan relevansi bukti dengan fraud
yang sedang ditangani. Bukti yang tidak terkait langsung dengan fraud untuk
sementara diabaikan, karena dapat saja terjadi yang pada mulanya tidak
relevan menjadi relevan sebagai dukungan dalam rangka pembuktian fraud.
Verifikasi Bukti
Setelah menentukan relevansi suatu bukti, maka tahap berikutnya auditor
harus melakukan verifikasi terhadap bukti itu sendiri dalam rangka menilai
kebenaran bukti tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membandingkan
dan menelusuri ke bukti pendukung suatu transaksi yang terkait dengan fraud.
Rangkum Bukti-bukti yang Ada
Teknik ini dilakukan oleh auditor Inspektorat dengan cara memasukan bukti
ke dalam rangkaian bukti yang dapat menggambarkan fakta yang terjadi.
Buat Kesimpulan
Langkah akhir dari setiap analisis bukti yang dilakukan oleh auditor adalah
menyusun simpulan atas setiap bukti yang diterima. Langkah ini akan mempermudah auditor Inspektorat dalam merangkum bukti dalam rangkaian bukti,
sehingga yang bersangkutan cukup melihat simpulan yang dibuat.
2.4. Pelaporan Investigasi Fraud
Langkah terakhir dalam pelaksanaan investigasi fraud adalah menyusun
Laporan Investigasi Fraud (LIF). Beberapa hal yang terkait dengan LIF adalah
sebagai berikut:
1. Tujuan dari LIF.
Tujuan LIF adalah untuk mengkomunikasikan hasil investigasi fraud kepada
pihak-pihak yang berwenang untuk mengambil langkah-langkah tindak lanjut
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Prinsip-prinsip LIF.
Penyajian informasi dalam LIF perlu mempertimbangkan beberapa prinsip
sebagai berikut:

56

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

a. Akurat
Seluruh materi yang dimuat dalam LIF harus didukung dengan bukti
yang cukup, kompeten dan relevan. Keakuratan informasi dalam LIF
menggambarkan due professional care (kecermatan atau kehati-hatian
profesional) dari penyusun LIF.
b. Jelas (Clarity)
LIF harus memuat fakta dan informasi lainnya secara jelas dan kronologis,
sehingga tidak menimbulkan salah tafsir bagi pembaca/pengguna LIF.
Bila terdapat peristilahan teknis yang tidak lazim bagi pembaca/pengguna
LIF agar dijelaskan secukupnya.
c. Tidak Memihak
LIF tidak boleh mengandung informasi yang bias atau terdapat prasangka
yang tidak didukung bukti dari penyusun LIF, sehingga pengguna laporan
dapat mengambil keputusan dengan tepat tanpa memihak.
d. Relevan
LIF hanya memuat informasi yang relevan dengan fraud yang ditangani
Inspektorat Provinsi atau Inspektorat Kabupaten/Kota. Ketidakrelevanan
informasi dapat mengaburkan pesan utama yang seharusnya mendapat
perhatian pembaca/pengguna LIF untuk mengambil tindakan.
e. Tepat Waktu
Inspektorat harus segera menyusun LIF setelah pekerjaan lapangan
selesai. Hal ini untuk menghindari kelambanan tindaklanjut investigasi
baik berupa tindakan represif dan atau tindakan preventif agar fraud
yang sama tidak terulang kembali di kemudian hari, karena informasi
terlambat diterima oleh pengambil keputusan.
3. Bentuk dan susunan LIF.
LIF dapat disusun dalam dua bentuk yaitu bentuk bab dan bentuk surat.
LIF Bentuk Bab disusun dalam hal hasil investigasi fraud membuktikan
bahwa fraud benar terjadi sedangkan LIF bentuk surat digunakan dalam
hal investigasi menghasilkan kesimpulan bahwa fraud tidak terjadi. Namun
demikian, bentuk dan susunan LIF sangat tergantung pada standar operasi
baku (standard operating procedure) yang ditetapkan instansi yang
bersangkutan.
a. Susunan LIF Berbentuk Bab
Bentuk dan susunan LIF berbentuk bab dapat dikelompokkan dalam
tiga bab, yaitu simpulan dan saran hasil investigasi, dasar dan tujuan
investigasi, dan uraian hasil investigasi. Kerangka laporan hasil investigasi
fraud adalah sebagai berikut:

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

57

Audit
Kecurangan
Pengantar

Bab I :

Simpulan dan Rekomendasi Hasil Investigasi


1. Simpulan Hasil Investigasi
2. Rekomendasi

Bab II:

Dasar dan Tujuan Investigasi


1. Dasar Investigasi
2. Tujuan dan Ruang Lingkup Investigasi

Bab III: Uraian Hasil Investigasi


1. Dasar Hukum Objek atau Kegiatan yang Diinvestigasi
2. Materi Temuan Investigasi
a. Jenis Penyimpangan
b. Pengungkapan Fakta dan Proses Kejadian
c. Penyebab dan Akibat Penyimpangan
d. Rekomendasi
e. Pihak-Pihak yang Diduga Terkait /Bertanggungjawab
f. Bukti yang Diperoleh
3. Kesepakatan dan Pelaksanaan Tindak Lanjut dengan Objek
Investigasi/Atasan Objek Investigasi
4. Kesepakatan dan Pelaksanaan Tindak Lanjut dengan Instansi
Penyidik
Lampiran Lampiran yang dipandang perlu.
b. Susunan LIF Berbentuk Surat
Laporan hasil investigasi fraud dalam bentuk surat biasanya tidak lebih
dari delapan halaman. Materi LIF bentuk surat disajikan secara berurutan
mengenai dasar dan tujuan penugasan investigasi, ruang lingkup
investigasi, dan hasil investigasi.

58

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

Aspek Hukum
dari

Bab 5

Fraud

Setelah mempelajari bab ini, diharapkan pembaca dapat:


Menjelaskan perbedaan perbuatan fraud yang bersifat tindak pidana
dan perdata.
Menguraikan proses hukum terhadap pelaku fraud.
Menyebutkan beberapa alat bukti hukum.
Menjelaskan peran auditor sebagai saksi dan ahli di pengadilan

1. Sistem Hukum yang Berlaku di Indonesia


Di dunia dikenal beberapa sistem hukum seperti:
1. Sistem hukum yang berlaku di Inggris (common law).
2. Sistem hukum yang berlaku di daratan Eropa (continental law).
3. Sistem hukum yang berlaku di negara Islam (islamic law).
4. Sistem hukum yang berlaku di Eropa Timur (socialist law).
Dari semua sistem hukum tersebut diatas yang paling luas penggunaannya adalah common law dan continental law. Cammon law, semula hanya
berlaku pada kerajaan Inggris, sekarang seluruh bekas jajahan inggris termasuk
Amerika Serikat memberlakukan common law. Sedangkan continental law
berlaku di negara Eropah Barat, seperti Itali, Perancis, Jerman, Belanda,
Portugal termasuk seluruh negara jajahannya. Di Indonesia sebagai bekas
jajahan Belanda berlaku continental law, ditandai dengan adanya kodifikasi
hukum tertulis seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUH Perdata), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHA
Perdata) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
2. Hukum Pidana dan Hukum Perdata
Hukum dibagi atas hukum publik dan hukum privat. Hukum pidana
merupakan bagian dari hukum publik dan hukum perdata merupakan bagian

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

59

Audit
Kecurangan
Pengantar

dari hukum privat. Perbedaan di antara keduanya dapat dijelaskan dengan


menggunakan tabulasi sebagai berikut :
Perbedaan antara Hukum Pidana dan Hukum Perdata
Hukum Pidana

Hukum Perdata

Hukum pidana adalah hukum yang mengatur


perilaku/perbuatan yang tidak boleh dilakukan, atau yang harus dilakukan. Bagi yang
melanggar dikenakan sanksi pidana.
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur
hubungan hukum antara individu/masyarakat
dengan negara.

Hukum perdata adalah hukum yang mengatur


antara individu dengan individu.

Tujuan hukum pidana menjaga ketertiban,


keamanan.

Tujuan hukum perdata untuk menciptakan


kepastian hukum dan mengembalikan hak-hak
seseorang sebagai semula.

Proses hukum pidana ditentukan oleh


undang-undang dan merupakan kewajiban
negara.

Proses hukum perdata ditentukan oleh masingmasing pihak (apakah melalui pengadilan,
arbitrase, perdamaian).

Hanya negara yang mempunyai hak mendeponir suatu perbuatan pidana.

Kelanjutan daripada proses sepenuhnya ada


pada pihak-pihak yang bersengketa.

Hukum pidana pembuktiannya dilakukan oleh


negara (pihak penuntut).

Pembuktian dalam hukum perdata dilakukan


oleh pihak yang mendalilkan/menggugat (siapa
yang mendalilkan harus membuktikan).

Hukum pidana berlaku asas legalitas.

Hakim tidak boleh menolak untuk memutus


suatu perkara dengan dalih tidak ada hukumnya

2.1.

Hubungan Fraud dengan Hukum Pidana dan Perdata


Fraud adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja oleh orang

di dalam maupun di luar suatu organisasi atau perusahaan, selaku pelaku


fraud yang mengakibatkan kerugian.
Dari definisi di atas unsur-unsur suatu fraud adalah:
1. perbuatan dilakukan dengan sengaja,
2. pelakunya adalah orang dalam (dari organisasi/perusahaan sendiri) atau
orang luar.
3. menimbulkan kerugian bagi orang lain atau perusahaan.
Apabila salah satu unsur di atas tidak terpenuhi, maka perbuatan
tersebut bukan suatu fraud. Manual ACFE (Association of Certified Fraud
Examiners) menyebutkan bahwa neglation (lalai, tidak sengaja) bukan suatu

60

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

fraud. Apabila suatu perbuatan bukan fraud, tetapi menimbulkan kerugian


bagi perusahaan atau orang lain maka dalam hal ini penyelesaiannya melalui
hukum perdata (Civil Law).
Suatu fraud kemungkinan sebagai perbuatan pidana atau kemungkinan
perbuatan perdata. Ada beberapa kemungkinan atas suatu fraud yaitu:

Tindakan yang Dilakukan

Kategori Tindakan

1. Memenuhi unsur-unsur pidana yang telah ditetapkan


oleh undang-undang

pidana

2. Belum diatur dalam undang-undang sebagai tindak


pidana

perdata

3. Tidak ada kesengajaan tetapi ada kerugian

perdata

4. Ada kesengajaan tetapi tidak ada kerugian

administrasi

2.2. Prinsip/Asas dalam Hukum Pidana


>>2.2.1. Asas Legalitas
Pasal 1 ayat 1 KUHP menyebutkan, Tiada suatu perbuatan yang
boleh dihukum, melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam perundangundangan yang telah ada lebih dahulu sebelum perbuatan itu dilakukan. Arti
dari pasal tersebut adalah:
1. Perbuatan pidana tidak berlaku surut.
2. Suatu perbuatan pidana harus diatur dalam undang-undang.
Suatu kecurangan (fraud) baru dapat dikatakan perbuatan pidana
apabila telah memenuhi unsur pidana yang diatur dalam undang-undang.
Perbuatan pidana di Indonesia terdapat di dalam undang-undang dan dibagi
atas dua jenis yaitu:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dimuat dalam UU No
1 tahun 1946. Perbuatan pidana yang diatur dalam KUHP disebut sebagai
perbuatan pidana umum.
2. Diluar KUHP yaitu di dalam beberapa undang-undang khusus terdapat
perbuatan pidana beserta sanksinya. Biasanya disebut perbuatan pidana
khusus.
Contoh:
a. UU No 31 tahun 1999 jo. UU No 20 tahun 2001 tentang tindak pidana
korupsi.

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

61

Audit
Kecurangan
Pengantar

b. UU No 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia jo. UU No 3 tahun 2004


tentang perubahan UU Bank Indonesia.
c. UU No 15 tahun 2002 jo. UU No 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana
Pencucian uang.
d. UU No 8 tahun 1985 tentang Pasar Modal.
Apabila suatu perbuatan pidana diatur baik dalam KUHP dan dalam
UU khusus, maka yang berlaku adalah perbuatan pidana dalam UU khusus
(lex specialis), atau sebaliknya apabila dalam UU khusus tidak mengatur maka
berlaku KUHP. Contoh perbuatan pidana umum yang diatur dalam KUHP
antara lain adalah sebagai berikut:
1. Penipuan
2. Pencurian
3. Pemalsuan Surat
4. Penggelapan
5. Pemerasan dengan pencemaran
6. Penyuapan Terhadap Pegawai Negeri
Uraian singkat mengenai keenam jenis tindak pidana tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Penipuan
Unsur-unsur tindakan yang disebut penipuan adalah:
1. Dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain
dengan melawan hukum.
2. Dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu atau tipu muslihat
maupun rangkaian kebohongan.
3. Membujuk orang supaya memberikan suatu barang atau supaya membuat
utang atau menghapuskan piutang
Maksudnya adalah:
Seseorang dikatakan telah melakukan penipuan apabila orang tersebut
membujuk orang lain supaya memberikan barang atau membuat utang
atau menghapuskan piutang secara melawan hukum dengan menggunakan tipu muslihat, atau rangkaian kebohongan, atau nama palsu,
atau keadaan yang dipalsukan.
2. Pencurian
Unsur-unsur tindakan yang disebut pencurian adalah:
1. Mengambil barang.
2. Yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain.

62

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

3. Dengan maksud untuk memilikinya secara melawan hukum.


Maksudnya adalah:
Seseorang dikatakan telah melakukan pencurian apabila orang tersebut
tanpa berdasarkan atas hak yang sah mengambil barang yang sebagian
ataupun seluruhnya dalam penguasaan dan milik orang lain untuk dimiliki
sendiri.
3. Pemalsuan Surat
Unsur-unsur tindakan yang disebut memalsukan surat adalah:
1. Membuat surat palsu atau memalsukan surat.
2. Dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perutangan, atau dapat membebaskan dari utang atau dapat menjadi bukti atas suatu hal.
3. Dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakainya
seolah-olah asli.
4. Dapat mendatangkan kerugian.
Maksudnya adalah:
Seseorang dikatakan telah melakukan pemalsuan surat/dokumen/akta
apabila orang tersebut sengaja membuat atau memalsukan surat
yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perutangan, atau dapat
membebaskan sendiri atau menyuruh orang lain menggunakannya
sebagaimana surat yang asli, sehingga dapat menimbulkan kerugian.
4. Penggelapan
Unsur-unsur tindakan yang disebut penggelapan adalah:
1. Dengan sengaja melawan hukum.
2. Memiliki barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain.
3. Yang dipercayakan padanya bukan karena kejahatan.
Maksudnya adalah:
Seseorang dikatakan telah melakukan penggelapan apabila orang
tersebut sengaja tanpa berdasarkan atas hak yang sah mengambil untuk
dimiliki sendiri atas suatu barang yang sebagian ataupun seluruhnya
milik orang lain yang berada dalam penguasaannya.
5. Pemerasan dengan Pencemaran
Unsur-unsur tindakan yang disebut pemerasan dengan pencemaran
adalah:
1. Dengan maksud untuk menguntungkan dirinya atau orang lain.
2. Dengan melawan hukum memaksa orang.
3. Akan memeras atau mencemar dengan surat atau dengan ancaman
akan membuka rahasia.

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

63

Audit
Kecurangan
Pengantar

4. Supaya orang memberi kepadanya sesuatu barang yang sebagian atau


seluruhnya milik orang itu atau milik orang lain, atau supaya orang itu
membuat utang atau menghapuskan piutang.
Maksudnya adalah:
Seseorang dikatakan telah melakukan pemerasan dengan pencemaran
apabila orang tersebut sengaja tanpa berdasarkan atas hak yang sah
melakukan tekanan/paksaan pada seseorang dengan ancaman akan
mencemarkan nama baik secara lisan atau tulisan ataupun akan membuka
rahasianya, sehingga orang tersebut terpaksa menuruti keinginan si
pemaksa yaitu agar memberi barang baik milik si terpaksa ataupun milik
orang lain, atau memberi utang atau menghapuskan piutang kepada si
pemaksa.
6. Penyuapan terhadap Pegawai Negeri
Unsur-unsur tindakan yang disebut penyuapan terhadap pegawai negeri
adalah:
1. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Pegawai Negeri.
2. Dengan maksud membujuk supaya pegawai negeri itu berbuat sesuatu
atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya.
3. Berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut
kepentinga umum.
Maksudnya adalah:
Seseorang dikatakan telah melakukan penyuapan apabila orang tersebut
telah memberikan sesuatu barang sebagai hadiah cuma-cuma ataupun
menjanjikan sesuatu hal dengan meminta imbalan agar si pegawai
negeri yang menerima hadiah atau dijanjikan sesuatu tersebut melakukan
sesuatu ataupun melalaikan sesuatu dalam melaksanakan tugasnya
melayani kepentingan umum, dimana hal tersebut bertentangan dengan
apa yang menjadi kewenangan atau kewajiban pegawai negeri tersebut.
Perbuatan suap ini tidak berdiri sendiri tetapi ada pasangannya, yaitu
orang/pegawai negeri yang menerima suap tersebut sehingga terhadap
penerima suap juga dapat dikenakan sanksi pidana.
Sementara itu contoh-contoh perbuatan pidana khusus menurut UU
selain dari KUHP antara lain adalah sebagai berikut:
1. Korupsi/manipulasi.
2. Penyuapan.
3. Gratifikasi.

64

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

Uraian singkat mengenai ketiga jenis tindak pidana khusus tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Korupsi/manipulasi (UU No.31 tahun 1999 dan UU No.20 tahun 2001).
Unsur-unsur tindakan yang disebut korupsi atau manipulasi adalah:
1. Dengan melawan hukum..
2. Memperkaya dirinya atau orang lain atau suatu badan.
3. Secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara.
Maksudnya adalah:
Seseorang dikatakan telah melakukan korupsi apabila orang tersebut
memperoleh kekayaan ataupun keuntungan dengan cara sengaja
melakukan perbuatan yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan
ataupun melanggar norma kepatutan masyarakat, sehingga perbuatannya
tersebut baik secara langsung ataupun tidak langsung mengakibatkan
negara menderita kerugian.
2. Penyuapan
Unsur-unsur tindakan yang disebut penyuapan adalah:
1. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang.
2. Dengan maksud membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak
berbuat sesuatu dalam tugasnya.
3. Berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut
kepentingan umum.
Maksudnya adalah:
Seseorang dikatakan telah melakukan penyuapan apabila orang tersebut
telah memberikan sesuatu barang sebagai hadiah secara cuma-cuma
ataupun menjanjikan sesuatu hal dengan meminta imbalan agar si
orang yang menerima hadiah atau dijanjikan sesuatu tersebut melakukan
sesuatu ataupun melalaikan sesuatu dalam melaksanakan tugasnya
melayani kepentingan umum, dimana hal tersebut bertentangan dengan
apa yang menjadi kewenangan atau kewajiban petugas tersebut.
Demikian juga orang yang menerima suap tersebut juga akan dikenakan
saksi pidana.
3. Gratifikasi (pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001).
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan
yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan
sebagai berikut:

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

65

Audit
Kecurangan
Pengantar

1. Yang nilainya sepuluh juta atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi


tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi.
2. Yang nilainya kurang dari sepuluh juta pembuktian bahwa gratifikasi
tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(Ketentuan tersebut tidak berlaku jika penerima melaporkan gratifikasi
yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi/
KPK. Penyampaian laporan dilakukan oleh penerima gratifikasi paling
lambat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
KPK wajib menetapkan gratifikasi tersebut dapat menjadi milik penerima
atau milik negara: Pasal 12 C)
Unsur-unsur tindakan yang disebut gratifikasi adalah sebagai berikut:
1. Menerima gratifikasi.
2. Pegawai negeri atau penyelenggara Negara.
3. Berhubungan dengan jabatan dengan kewajiban atau tugasnya.
Menurut penjelasan pasal 12 b disebutkan:
Yang dimaksud dengan gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam
arti luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi,
pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan
wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya baik yang diterima di
dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan
sarana elektronik ataupun tanpa sarana elektronik.
Menurut Direktur Gratifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi, gratifikasi
adalah:
Penerimaan hadiah oleh PNS atau pejabat penyelenggara negara, atau
keluarganya, dalam suatu acara pribadi sekedar ucapan terima kasih atau
silaturrahmi, seperti parcel, uang, hadiah ulang tahun, pesta perkawinan,
tiket pesiar, tiket perjalanan, mobil, hadiah perhiasan, biaya main golf, upeti.
Yang dimaksud penyelenggara negara menurut UU No. 28 Tahun 1999
adalah:
1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara.
2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara.
3. Menteri.
4. Gubernur.
5. Hakim.
6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.

66

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan


penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
>> 2.2.2. Tidak Ada Pidana Tanpa Kesalahan
Meskipun unsur-unsur pidana telah terbukti terdakwa harus dibuktikan
kesalahannya, dalam hukum pidana dikenal dengan istilah tidak ada pidana
tanpa kesalahan.
Yang dimaksud dengan tidak ada pidana tanpa kesalahan adalah
meskipun unsur-unsur pidana telah terbukti, tetapi apabila subjek hukum tidak
dapat dipertanggungjawabkan atau tidak bisa disalahkan maka penjatuhan
pidana tidak dapat dilakukan. Untuk dapat dijatuhkannya pidana terhadap
orang yang melakukan perbuatan pidana tersebut terlebih dahulu harus dapat
dibuktikan unsur-unsur pidana, baru kemudian adanya kesalahan pada orang
tersebut. Sekali lagi dalam hukum pidana dikenal dengan adanya asas tiada
pidana tanpa kesalahan yang artinya tidak dapat dijatuhkan pidana terhadap
seseorang yang dituntut telah melakukan suatu tindak pidana jika tidak dapat
dibuktikan adanya kesalahan pada orang yang dituntut tersebut.
Dari uraian-uraian di atas tergambar bahwa untuk dapat dipidananya seseorang,
maka terlebih dahulu harus ada dua syarat yang menjadi satu keadaan, yaitu:
1. Perbuatan yang bersifat melawan hukum, telah dinyatakan sebagai perbuatan
pidana oleh undang-undang dan unsur-unsur pidananya terbukti.
2. Perbuatan tersebut dilakukan secara sengaja ataupun karena suatu kealpaan
yang merupakan unsur kesalahan, sehingga dapat dituntut pertanggung
jawabannya.
Untuk membuktikan adanya kesalahan pada orang yang dituntut telah
melakukan tindak pidana tentunya harus melalui suatu cara atau prosedur
yang diatur dalam undang-undang. Cara tersebut merupakan hukum pidana
formil, yang umumnya disebut dengan Hukum Acara Pidana. Tujuan Hukum
Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya
mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang hakiki selengkaplengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menetapkan ketentuan hukum
acara pidana secara jujur dan tepat untuk mencari siapakah pelaku yang
dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya
meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah
terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang
didakwa itu dapat dipersalahkan. Hal ini dapat divisualisasikan sebagai berikut:

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

67

Audit
Kecurangan
Pengantar

Perbuatan

Pelaku

Unsur
Pidana

Kesalahan
dapat
dipertanggung
jawabkan

Unsur-unsur pidana terbukti + pelaku dapat dipertanggung jawabkan


= Dijatuhi Pidana
Unsur-unsur pidana terbukti + pelaku tidak dapat dipertanggung jawabkan
= bebas
Unsur-unsur pidana dalam gambar di atas adalah bahwa pelakunya:
1. Mampu bertanggung jawab.
2. Mempunyai kesengajaan atau kealpaan.
3. Tidak adanya alasan pemaaf.
Sementara itu orang/subjek hukum dikatakan tidak dapat dipertanggung
jawabkan menurut UU apabila:
1. Orang tersebut sedang mabuk.
2. Orang tersebut sakit jiwa.
3. Pelaku berbuat sesuai UU.
Contoh: polisi menembak penjahat yang melawan, tidak dapat disalahkan
karena polisi melaksanakan undang-undang.
>> 2.2.3. Asas Perbuatan Melawan Hukum
Perbuatan melawan hukum (PMH) adalah perbuatan yang dilarang
atau tidak melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh hukum, UndangUndang, maupun peraturan lainnya. Di dalam ilmu hukum perbuatan melawan
hukum terjadi baik dalam hukum pidana maupun dalam hukum perdata. Dalam
hukum perdata pasal 1365 KUHPerdata diatur perbuatan melawan hukum
sebagai berikut:
Tiap perbuatan melawan hukum yang merugikan pihak lain wajib
mengganti kerugian kepada pihak lain.
Unsur-unsur perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut:
1. Harus ada perbuatan, yang dimaksud dengan perbuatan ini baik yang
bersifat positif maupun yang bersifat negatif, artinya setiap tingkah laku
berbuat atau tidak berbuat.

68

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

2. Perbuatan itu bertentangan/menyimpang dari peraturan perundangundangan.


3. Ada kerugian.
4. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan
kerugian.
5. Ada kesalahan
Dalam hukum pidana sifat melawan hukum terdapat pada semua
perbuatan pidana dan dikenakan sanksi bagi yang terbukti melanggar. Semua
perbuatan pidana adalah melawan hukum. Dalam berapa pasal, pidana
perbuatan melawan hukum dinyatakan secara tegas dalam bunyi pasalnya.
Suatu fraud (kecurangan) dapat merupakan perbuatan melawan hukum pidana
atau perbuatan melawan hukum perdata. Dalam kasus perdata, perbuatan
melawan hukum agar dapat diproses di pengadilan maka di samping unsur
melawan hukum harus disertai terjadi kerugian pada pihak lain.
Contoh kasus perbuatan melawan hukum misalnya:
1. Prosedur tender yang menyimpang.
2. Mark up harga pada penjualan barang dan jasa.
3. Berita acara penyelesaian fiktif untuk menghindari sisa anggaran akhir
tahun agar tidak hangus.
4. Penggunaan anggaran tidak sesuai dengan tujuan.
5. Penerimaan negara/daerah yang tidak disetor tetapi digunakan langsung.
6. Penyerahan barang hasil penjualan yang tidak sesuai dengan kualitas
dalam kontrak.
7. Adanya penyimpangan penunjukan langsung.
8. Adanya kebijakan untuk mengesahkan pemenang dalam tender kepada
perusahaan tertentu.
3. Proses Hukum Pidana dan Perdata
3.1. Proses Hukum Pidana/Hukum Acara Pidana
Proses hukum pidana yang merupakan tata cara atau prosedur atau
tahap-tahap yang harus dilalui untuk menetapkan seseorang bersalah atau
tidak disebut hukum acara pidana, dan hal ini diatur dalam UU No.8 tahun
1981.
Apabila kita cermati sistematika Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981), maka tahapan hukum acara pidana
sebagai suatu sistem adalah sebagai berikut:

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

69

Audit
Kecurangan
Pengantar

1. Penyelidikan.
2. Penyidikan.
3. Penuntutan.
4. Pemeriksaan di sidang Pengadilan.
5. Putusan Pengadilan.
6. Upaya Hukum.
7. Pelaksanaan Putusan Pengadilan.
8. Pengawasan Terhadap Pelaksanaan Putusan Pengadilan.
Tahapan penyelidikan sampai dengan upaya hukum merupakan
tahapan pemeriksaan, yang oleh karenanya terkait erat dengan masalah
pembuktian, sebagaimana kita perhatikan di bawah ini. Proses hukum pidana
ini disebut Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau hukum pidana formil.
>> 3.1.1. Penyelidikan dan Pembuktian
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan
dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam
Undang-Undang. Penyelidikan bukanlah merupakan fungsi yang berdiri sendiri
terpecah dari fungsi penyidikan, melainkan hanya merupakan suatu cara atau
metode atau sub fungsi penyidikan, yang mendahului tindakan lain yaitu
tindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan
yang merupakan fungsi penyidikan. Oleh sebab itu tidak semua peristiwa
yang diduga sebagai tindak pidana pengungkapannya harus selalu didahului
dengan penyelidikan. Apabila sudah jelas merupakan suatu tindak pidana
karena telah diperoleh bukti permulaan, umpamanya tertangkap tangan, atau
Laporan Hasil Audit Investigasi (LHAI) Auditor BPK atau BPKP/Inspektorat
telah lengkap, maka dapat langsung dilakukan penyidikan.
Wewenang penyelidik baru dalam tahap pengumpulan informasi dalam
rangka memperoleh alat bukti, belum mempunyai kekuatan daya paksa.
Artinya seseorang yang dipanggil untuk dimintai informasi, apabila tidak hadir,
penyelidik belum mempunyai daya paksa.
Dalam rangka mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga
sebagai suatu tindak pidana, penyelidik karena kewajibannya diberi wewenang:
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak
pidana.
2. Menetapkan apakah suatu peristiwa merupakan tindak pidana atau masalah
perdata.

70

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

3. Mencari keterangan dan barang bukti.


4. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa
tanda pengenal diri.
Aparat penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
1. Menangkap, melarang untuk meninggalkan tempat, menggeledah dan
menyita.
2. Memeriksa dan menyita surat.
3. Membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik.
Wewenang penyelidik tersebut di atas seperti mencari keterangan dan
barang bukti sudah memasuki ruang lingkup pembuktian, oleh karena keterangan
yang diperoleh dari beberapa orang yang saling bersesuaian satu sama lain
dan apalagi kalau ada hubungannya dengan barang bukti yang ditemukan,
maka dari persesuaian satu dengan yang lain itu penyelidik dapat menduga
telah terjadi suatu tindak pidana untuk selanjutnya dapat dilakukan penyidikan.
Apabila penyelidikan dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
dan dari hasil penyelidikan tidak ditemukan sekurang-kurangnya dua bukti,
termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim,
diterima atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik, maka
penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk dihentikan
penyelidikan. Sedangkan kalau Kejaksaan dan Kepolisian yang melakukan
penyelidikan tidak mengenal penghentian penyelidikan. Dalam hal penyelidik
berpendapat peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana maka
penyelidikan tidak dilanjutkan/tidak proses atau layanan dikembalikan.
>> 3.1.2. Investigasi dan Pembuktian
Di atas telah dibahas dengan melalui pendekatan undang-undang, dan
disimpulkan bahwa pembuktian merupakan titik sentral hukum acara pidana.
Karena itu Laporan Hasil Audit Investigasi (LHAI) atau Laporan Investigasi
Fraud (LIF) mempunyai dua kemungkinan:
1. Merupakan informasi awal yang diterima oleh penyelidik untuk dikembangkan.
2. Merupakan bukti surat apabila audit investigasi diminta oleh penyelidik dan
atas permintaan penyelidik sehingga LHAI/LIF menjadi bukti surat.
Komisi Pemberantasan Korupsi bertugas melakukan koordinasi dengan
BPK dan BPKP yang merupakan instansi yang berwenang turut melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam melakukan tugasnya, auditor
BPK dan BPKP atas permintaan penyidik melakukan audit investigasi yang

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

71

Audit
Kecurangan
Pengantar

dalam melakukan tugasnya ber-wenang melakukan pemeriksaan untuk mencari


dan memperoleh bukti audit.
Laporan Hasil Audit Investigasi (LHAI) oleh penyidik dijadikan bukti
awal dalam rangka melakukan penyidikan sehingga seyogyanya LHAI telah
diarahkan penyusunannya untuk kebutuhan penyidikan sedemikian rupa
sehingga bukti audit mudah dikembangkan menjadi alat bukti hukum, dan
yang pada akhirnya menjadi alat bukti di pengadilan.
Contoh:
Bukti Audit

Berkembang menjadi

Bukti Audit

Alat Bukti Hukum

Alat Bukti Hukum

1 Pengujian fisik
Penghitungan aset oleh Auditor
dan auditan

1 a. Auditor menjadi saksi


b. Auditan menjadi tersangka

2 Konfirmasi
Keterangan pihak ketiga
terkait dengan auditan

3 Dokumen
Semua bentuk surat yang
mengandung informasi audit

3 a. Surat resmi menjadi bukti surat


b. Surat lainnya menjadi petunjuk
(di pengadilan)

Pihak ketiga menjadi saksi

>> 3.1.3. Penyidikan dan Pembuktian


Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana
yang terjadi guna menemukan tersangkanya.
Dalam tahap penyidikan, sudah ada daya paksa dan proses dalam
tahap penyidikan, misalnya Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang sudah
merupakan pro judicia (kekuatan hukum).
Bagaimana penyidik mencari dan memperoleh bukti, undang- undang
memberi wewenang kepada penyidik untuk:
1. Melakukan penggeledahan dan penyitaan surat dan barang bukti.
2. Memanggil dan memeriksa saksi, yang keterangannya dituangkan dalam
berita acara pemeriksaan saksi.
3. Memanggil dan memeriksa tersangka, yang keterangannya dituangkan
dalam berita acara pemeriksaan tersangka.

72

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

4. Mendatangkan ahli, untuk memperoleh keterangan ahli yang bisa juga


diberikan dalam bentuk laporan ahli.
5. Dalam hal tersangka dikuatirkan akan melarikan diri, menghilangkan barang
bukti atau mengulangi melakukan tindak pidana, penyidik dapat melakukan
penahanan terhadap tersangka.
Demikian wewenang dan teknik pengumpulan bukti (bukan alat bukti)
yang dilakukan penyidik dalam rangka melaksanakan tugas penyidikan.
Apabila dari bukti-bukti yang terkumpul diperoleh persesuaian antara satu
dengan yang lain dan dari persesuaian bukti-bukti itu diyakini bahwa benar
telah terjadi tindak pidana dan tersangkalah yang melakukannya, maka penyidik
menyerahkan hasil penyidikan dalam bentuk berkas perkara yang di dalamnya
terdapat bukti-bukti kepada penuntut umum untuk seterusnya ke pengadilan
dengan disertai surat dakwaan guna diperiksa dan diputus pengadilan mengenai
bersalah tidaknya terdakwa.
Dalam hal penyidik berpendapat bahwa dari bukti-bukti yang telah
terkumpul secara maksimal ternyata tidak cukup, maka penyidik menghentikan
penyidikan perkara tersebut dengan mengeluarkan Surat Penghentian
Penyidikan Perkara (SP3). Dalam hal penyidikan dilakukan oleh penyidik pada
Komisi Pemberantasan Korupsi, maka pemeriksaan dilakukan tanpa ada
kewajiban memperoleh izin bagi tersangka pejabat negara tertentu untuk
dapat dilakukan pemeriksaan. Demikian juga dalam hal dilakukan penggeledahan dan penyitaan surat atau benda-benda tertentu. Penyidik dapat
melakukan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri setempat. Hal demikian tidak
berlaku apabila yang melakukan penyidikan adalah Kejaksaan atau Kepolisian.
Akan tetapi sebaliknya apabila Kejaksaan atau Kepolisian yang
melakukan penyidikan dan tidak terdapat cukup bukti atau terbukti tapi bukan
merupakan tindak pidana (korupsi), maka mereka berwenang menghentikan
penyidikan. Sementara KPK tidak dibenarkan menghentikan penyidikan,
karena kewenangannya hanya ada pada penghentian penyelidikan.
Wewenang yang dimiliki oleh penyidik adalah sebagai berikut:
1. Mempunyai daya paksa (tindakannya sudah merupakan tindakan hukum/pro
justicia).
2. Menangkap, menahan, menyita, menggeledah.
Orang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh hukum diberikan
dan hak-haknya tetap terlindungi, seperti:

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

73

Audit
Kecurangan
Pengantar

1. Hak untuk didampingi oleh Penasehat Hukum.


2. Hak Tersangka/Terdakwa untuk memberikan keterangan secara bebas
dihadapan penyidik atau hakim.
3. Hak Tersangka/Terdakwa yang dikenakan penahanan.
4. Tersangka/Terdakwa yang berkebangsaan asing yang dikenakan penahanan
berhak untuk menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya.
5. Tersangka/Terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi
dan menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan.
6. Tersangka/Terdakwa yang dikenakan penahanan berhak diberitahukan
kepada keluarganya.
7. Tersangka/Terdakwa berhak mengirim surat kepada penasehat hukumnya.
8. Terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk
umum.
9. Tersangka/Terdakwa berhak mengajukan saksi.
10. Terdakwa berhak untuk meminta banding.
11. Tersangka/Terdakwa berhak untuk menuntut ganti rugi, rehabilitasi karena
ditangkap, ditahan tanpa alasan.
>> 3.1.4. Prapenuntutan dan Pembuktian
Prapenuntutan adalah tindakan jaksa (penuntut umum) untuk memantau
perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya
penyidikan dari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara
hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjuk guna
dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas perkara
tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.
Penuntut umum tidak akan menerima berkas perkara hasil penyidikan
yang buktinya tidak lengkap untuk kelak dijadikan alat bukti di sidang pengadilan
untuk membuktikan tindak pidana yang didakwakan. Dengan demikian di
tingkat prapenuntutan masalah pembuktian merupakan fokus dalam melakukan
penelitian berkas perkara hasil penyidikan.
>>3.1.5. Penuntutan dan Pembuktian
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan
perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam hukum acara pidana dengan permintaan supaya diperiksa
dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil
penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas

74

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat dilimpahkan ke pengadilan


atau tidak. Apabila penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan
tidak dapat dilakukan penuntutan karena tidak cukup bukti, maka penuntut
umum dengan surat ketetapan menghentikan penuntutan (SP3).
Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa berkas perkara hasil
penyidikan terdapat cukup bukti maka ia segera membuat surat dakwaan dan
bersama dengan berkas perkara, surat dakwaan dilimpahkan ke pengadilan
untuk selanjutnya dijadikan dasar pemeriksaan di sidang pengadilan.
Nyata bahwa pada tahap penuntutan masalah pembuktian merupakan
tolok ukur dapat tidaknya hasil penyidikan dilimpahkan ke pengadilan negeri.
>> 3.1.6. Pemeriksaan di Pengadilan dan Pembuktian
Pembuktian adalah proses untuk membuktikan, sedangkan bukti adalah
sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa yang merupakan tanda
telah terjadi kejadian/pelanggaran.
Sistem pembuktian ada empat :
1. Berdasar keyakinan Hakim semata-mata
2. Berdasar keyakinan Hakim dengan alasan yang logis
3. Berdasar alat bukti tanpa keyakinan Hakim
4. Berdasar alat bukti disertai keyakinan Hakim
Hukum Acara Pidana Indonesia menganut sistem pembuktian no. 4,
artinya hakim di dalam memutus suatu perkara berdasarkan alat bukti yang
sah dan ia berkeyakinan atas alat bukti tersebut (pasal 183 jo. Pasal 184
ayat 1 KUHAP). Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Dua alat bukti + Keyakinan hakim = Terpidana
Dua alat bukti + Tidak yakin = Bebas
Tanpa alat bukti + Yakin = Bebas
Acara pemeriksaan di sidang pengadilan tidak ada yang lain kecuali
masalah pembuktian. Bukti-bukti yang diperoleh di tingkat penyidikan diperiksa
kembali di sidang pengadilan untuk dijadikan alat bukti. Saksi-saksi yang telah
diperiksa oleh penyidik dipanggil kembali ke sidang pengadilan untuk
memperoleh alat bukti keterangan saksi. Tersangka yang sudah diperiksa di
penyidikan, diperiksa kembali di sidang pengadilan, untuk mendapat alat bukti
keterangan terdakwa. Ahli yang telah memberikan keterangan di penyidikan
atau yang telah membuat laporan ahli, dipanggil lagi untuk didengar pendapatnya

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

75

Audit
Kecurangan
Pengantar

atau laporannya dibacakan di sidang pengadilan agar diperoleh alat bukti


keterangan ahli. Surat dan barang bukti yang telah disita oleh penyidik diajukan
ke sidang pengadilan untuk dijadikan alat bukti surat dan petunjuk.
Inilah cara dan teknik memperoleh alat bukti di sidang pengadilan.
Karena hanya dengan alat bukti yang sah yang diperoleh di sidang pengadilan
yang dapat meyakinkan hakim tentang kesalahan terdakwa. Adapun alat bukti
sah berdasarkan KUHAP Pasal 184 adalah:
1. Keterangan saksi.
2. Keterangan ahli.
3. Surat.
4. Keterangan terdakwa.
5. Petunjuk.
Alat tersebut di atas adalah alat bukti yang harus dicari dan digunakan
untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Hanya alat bukti tersebut yang bisa
digunakan.
Dengan demikian pemeriksaan di sidang pengadilan tujuannya hanya
satu, yaitu mencari alat bukti yang dengan alat bukti itu digunakan untuk
membentuk keyakinan tentang bersalah tidaknya terdakwa.
>> 3.1.7. Putusan Pengadilan dan Pembuktian
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya. Jadi kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana
ditentukan oleh keyakinan hakim, namun keyakinan tersebut harus didasarkan
atas sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.
Dari sekurang-kurangnya dua alat bukti tadi harus ada persesuaian
antara alat bukti yang satu dengan yang lain, barulah keyakinan hakim terbentuk.
Berdasarkan alat bukti yang diperoleh di sidang pengadilan, hakim akhirnya
menjatuhkan putusan:
1. Putusan pemidanaan, dijatuhkan apabila pengadilan berpendapat bahwa
terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya.
2. Putusan bebas, dijatuhkan apabila pengadilan berpendapat bahwa dari
hasil pemeriksaan di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang
didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.

76

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

3. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum apabila pengadilan berpendapat


bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti tetapi
perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana atau terbukti akan tetapi
terdakwa tidak dapat dipertanggung jawabkan terhadap perbuatannya.
Bagaimana hakim mengambil putusan tentang bersalah tidaknya
terdakwa dan jenis putusan apa yang dijatuhkan, semuanya terpulang pada
alat bukti yang terungkap di sidang pengadilan.
>> 3.1.8 Upaya Hukum dan Pembuktian
Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk
tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding
atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan, peninjauan
kembali, atau Jaksa Agung untuk mengajukan kasasi demi kepentingan hukum
menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Upaya hukum ada dua
macam, yaitu:
1. Upaya hukum biasa yang terdiri dari:
a. pemeriksaan tingkat banding, dan
b. pemeriksaan untuk kasasi
2. Upaya hukum luar biasa, yang terdiri dari:
a. pemeriksaan kasasi demi kepentingan hukum, dan
b. peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap.
Permintaan banding ke pengadilan tinggi dilakukan terhadap putusan
pemidanaan yang berarti bahwa terdakwa atau penuntut umum tidak menerima
putusan pengadilan negeri karena pada umumnya menyangkut masalah
pembuktian yang pengadilan tinggi berhak untuk menilai.
Permintaan kasasi dapat diajukan oleh terdakwa atau penuntut umum
untuk diperiksa oleh Mahkanah Agung terhadap semua putusan selain putusan
Mahkamah Agung, kecuali putusan bebas murni dengan alasan antara lain
apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undangundang dalam arti hukum acara pembuktian tidak dilaksanakan.
Permintaan peninjauan kembali diajukan oleh terpidana untuk diperiksa
Mahkamah Agung terhadap semua putusan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, kecuali putusan bebas, atau lepas dari segala tuntutan hukum
atas dasar novum, yaitu bukti baru yang ditemukan setelah putusan pengadilan
mempunyai kekuatan hukum tetap.

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

77

Audit
Kecurangan
Pengantar

Dengan demikian masalah pembuktian merupakan dasar alasan


mengajukan upaya hukum baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum
luar biasa.
3.2. Bukti, Barang Bukti dan Alat Bukti dalam Proses Pidana
>> 3.2.1. Bukti
KUHAP tidak menjelaskan apa itu bukti; menurut Kamus Umum Bahasa
Indonesia, bukti ialah suatu hal atau peristiwa yang cukup untuk memperlihatkan
kebenaran suatu hal atau peristiwa.
>> 3.2.2. Barang Bukti
Barang bukti ialah benda baik yang bergerak atau tidak bergerak yang
berwujud maupun yang tidak berwujud yang mempunyai hubungan dengan
tindak pidana yang terjadi.
Agar dapat dijadikan sebagai bukti maka benda-benda ini harus
dikenakan penyitaan terlebih dahulu oleh penyidik dengan surat izin ketua
pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya benda yang dikenakan
penyitaan berada kecuali penyitaan yang dilakukan oleh penyidik pada Komisi
Pemberantasan Korupsi tidak perlu ada izin Ketua Pengadilan Negeri setempat.
Adapun benda-benda yang dapat dikenakan penyitaan adalah:
1. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruhnya atau sebagian
diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagian hasil dari tindak pidana.
2. Benda yang telah digunakan secara langsung untuk melakukan tindak
pidana atau untuk mempersiapkannya.
3. Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana.
4. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan untuk melakukan tindak
pidana.
5. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana
yang dilakukan.
Benda yang disita oleh penyidik, di tingkat penyidikan mempunyai
nilai sebagai BUKTI bukan alat bukti.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bukti yang diperoleh di
tingkat penyidikan adalah untuk menentukan atau membuat terang suatu
tindak pidana yang terjadi dan guna menentukan siapa tersangkanya. Oleh
sebab itu tampak adanya kekeliruan cetak pada Pasal 44 ayat (2) dan
penjelasan Pasal 12 huruf g Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang

78

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

mengatur kewenangan penyelidikan dan penyidik Komisi Pemberantasan


Korupsi yang menyebutkan kata-kata alat bukti harusnya dibaca bukti.
>> 3.2.3. Alat Bukti Menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP
KUHAP juga tidak memberikan pengertian mengenai apa itu alat bukti.
Akan tetapi pada Pasal 184 KUHAP disebutkan sebagai berikut:
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya.
Rumusan pasal ini memberikan garis hukum, bahwa:
1. Alat bukti yang digunakan hakim dasar memutus diperoleh dari hasil
pemeriksaan di sidang pengadilan.
2. Hakim mengambil putusan berdasarkan keyakinannya.
3. Keyakinan hakim diperoleh dari minimal dua alat bukti yang sah.
Alat bukti menurut hukum acara pidana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP
yang terdiri dari:
1. Keterangan saksi.
2. Keterangan ahli.
3. Surat .
4. Petunjuk.
5. Keterangan terdakwa.
Apabila dicermati jenis alat bukti yang sah, ternyata bukti yang diperoleh
penyidik merupakan cikal bakal alat bukti yang diperoleh di sidang pengadilan.
Saksi, ahli dan tersangka yang telah diperiksa di tingkat penyidikan yang
dituangkan dalam BAP, dipanggil dan diperiksa di sidang pengadilan untuk
mendapatkan alat bukti.
Jadi yang bernilai alat bukti adalah keterangan saksi dan keterangan
terdakwa yang diberikan di sidang pengadilan dan bukan keterangan yang
diberikan dalam BAP di penyidikan.
Surat yang disita penyidik kembali diajukan di sidang pengadilan untuk
digunakan sebagai alat bukti surat. Sedangkan barang bukti yang telah disita
secara sah oleh penyidik juga diajukan ke sidang pengadilan untuk digunakan
sebagai alat bukti petunjuk. Demikianlah proses bukti dan barang bukti menjadi
alat bukti.

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

79

Audit
Kecurangan
Pengantar

>>> 3.2.3.1. Keterangan Saksi


Keterangan saksi sebagai alat bukti sah apabila saksi memberikan
keterangan di sidang pengadilan di bawah sumpah/janji tentang apa yang ia
lihat sendiri, dengar sendiri atau alami sendiri dengan menyebutkan alasan
pengetahuannya itu. Oleh sebab itu keterangan saksi yang diperoleh dari
pengetahuan orang lain atau testimonium de auditu bukan alat bukti. Demikian
juga keterangan saksi yang tidak disumpah/berjanji bukan merupakan alat
bukti akan tetapi keterangan saksi yang tidak disumpah bersesuaian dengan
keterangan dari saksi yang disumpah dapat digunakan sebagai alat bukti
petunjuk.
Saksi yang tidak hadir memberikan keterangan di sidang maka
keterangan dalam BAP dibacakan. Keterangan saksi dalam BAP baru mempunyai
nilai sama dengan keterangan saksi apabila bersesuaian dengan keterangan
saksi yang diberikan di bawah sumpah yang diucapkan di sidang. Keterangan
saksi dalam BAP yang tidak diberikan dalam sumpah yang dibacakan di sidang
bukan merupakan alat bukti tetapi dapat dipertimbangkan hakim untuk
memperkuat keyakinannya apabila bersesuaian dengan keterangan saksi atau
alat bukti sah yang lain. Jadi tegasnya bukan alat bukti sekalipun sekadar
petunjuk.
Ketentuan Pasal 1 butir 26 KUHAP menyebutkan sebagai berikut:
saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia
dengar sendiri, lihat sendiri, dan ia alami sendiri.
Saksi bukanlah alat bukti tetapi keterangan dari saksilah yang
merupakan alat bukti. Ketentuan mengenai keterangan saksi diatur dalam
pasal 1 butir 27 KUHAP yang menyebutkan:
keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang
berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengetahuannya itu.
Mengenai isi dari keterangan saksi selain diatur dalam Pasal 1 butir 27
KUHAP juga diatur dalam pasal-pasal lain, yaitu Pasal 185 Ayat (5) KUHAP
yang menyebutkan bahwa baik pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari
hasil pemikiran saja bukan merupakan keterangan saksi. Penjelasan Pasal
185 Ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa dalam keterangan saksi tidak
termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu.

80

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

Untuk menjamin kebenaran keterangan saksi, Pasal 160 Ayat (3)


KUHAP mewajibkan saksi untuk mengangkat sumpah menurut agamanya
sebelum memberikan keterangannya.
Menjadi saksi dalam perkara pidana adalah merupakan kewajiban
bagi setiap orang (WN). Oleh karena itu orang yang menolak memberikan
keterangannya sebagai saksi dalam suatu perkara pidana dapat diajukan ke
depan sidang pengadilan.
Untuk menjadi saksi maka seseorang harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
1. Saksi adalah orang yang mendengar sendiri, lihat sendiri, dan mengalami
sendiri suatu peristiwa pidana (Pasal 1butir 26 KUHAP).
2. Tidak terkena ketentuan Pasal 168 dan Pasal 170 Ayat (1) KUHAP. Pasal
168 KUHAP menyebutkan:
kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar
keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi.
a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke
bawah sampai derajat ketiga dari Terdakwa atau yang bersama-sama
sebagai Terdakwa.
b. Saudara tiri dari Terdakwa atau yang bersama-sama sebagai Terdakwa,
saudara ibu atau saudara bapak juga mereka yang mempunyai hubungan
karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat
ketiga.
c. Suami atau isteri Terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersamasama sebagai Terdakwa.
Pasal 170 Ayat (1) KUHAP menyebutkan:
mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan
menyimpan rahasia dapat diminta dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan
keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.
Keterangan saksi agar dapat dipakai sebagai alat bukti yang sah harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Keterangan saksi harus merupakan keterangan yang menjelaskan peristiwa
pidana yang saksi dengar sendiri, lihat sendiri, alami sendiri dengan
menyebutkan alasan pengetahuannya tersebut (Pasal 1 butir 27 KUHAP).
2. Keterangan saksi harus diberikan di bawah sumpah (Pasal 160 Ayat (3)
KUHAP).
3. Keterangan saksi harus sesuai dengan ketentuan Pasal 185 KUHAP ayat:

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

81

Audit
Kecurangan
Pengantar

(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di
sidang pengadilan.
(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa
Terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) tidak berlaku apabila
disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
(4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu
kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah
apabila Keterangan Saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain
sedemikian rupa sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian
atau keadaan tertentu.
(5) Baik pendapat atau rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja
bukan merupakan keterangan saksi.
(6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus
dengan sungguh-sungguh memperhatikan:
Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain.
Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain.
Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi
keterangan tertentu.
Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada
umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu
dipercaya.
(7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu
dengan yang lain tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan
itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat digunakan
sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.
(8) Keterangan saksi harus diperoleh dengan cara yang sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang misalnya Pasal 166 KUHAP yang melarang
diajukannya pertanyaan yang bersifat menjerat.
Ketentuan mengenai sanksi terhadap saksi adalah sebagai berikut:
1. Dalam hal saksi tidak mau hadir meskipun telah dipanggil secara sah dan
hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi
itu tidak akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan
supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan (Pasal 159 Ayat (2) KUHAP).
2. Apabila seseorang dipanggil sebagai saksi dan ia dengan sengaja tidak
memenuhi panggilan tersebut maka ia diancam dengan pidana berdasarkan
ketentuan Pasal 224 KUHAP yang menyebutkan:
barang siapa yang dipanggil menurut undang-undang akan menjadi saksi,

82

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

ahli atau juru bahasa dengan sengaja tidak memenuhi sesuatu kewajiban
yang sepanjang undang undang harus dipenuhi dalam jabatan tersebut,
dihukum:
a. Dalam perkara pidana dengan hukuman penjara selama-lamanya
sembilan bulan.
b. Dalam perkara lain dengan hukuman penjara selama-lamanya enam
bulan.
3. Saksi yang tanpa alasan yang sah menolak bersumpah atau berjanji di depan
sidang sebelum memberikan kesaksian atau keterangan dapat disandera di
RUTAN untuk paling lama 14 (empat belas) hari (Pasal 161 Ayat (1) KUHAP).
4. Saksi yang memberikan keterangan tidak benar (palsu) didepan persidangan
diancam pidana berdasarkan Pasal 174 KUHAP yang menyebutkan:
a. Apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang
memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman
pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan
keterangan palsu.
b. Apabila saksi tetap pada keterangannya itu hakim ketua sidang karena
jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat
memberikan perintah supaya saksi ditahan untuk selanjutnya dituntut
perkara dengan dakwaan sumpah palsu.
c. Dalam hal yang demikian oleh panitera segera dibuat berita acara
pemeriksaan sidang yang memuat keterangan saksi itu adalah palsu
dan berita acara tersebut ditanda tangani oleh hakim ketua sidang serta
panitera dan diserahkan kepada penuntut umum untuk diselesaikan
menurut undang-undang ini.
d. Jika perlu hakim ketua sidang menangguhkan sidang dalam perkara
semula sampai pemeriksaan perkara pidana terhadap saksi itu selesai.
Saksi yang memberikan keterangan palsu di depan persidangan dapat
diancam pidana berdasarkan ketentuan Pasal 242 Ayat (1) dan Ayat (2)
KUHAP yang menyebutkan:
1. Barang siapa sebagai saksi dalam keadaan di mana undang-undang
menentukan supaya memberikan keterangan di atas sumpah atau kesaksiannya membawa akibat hukum bagi terdakwa, dengan sengaja
memberikan keterangan palsu di atas sumpah baik dengan lisan atau
tulisan secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk
itu diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

83

Audit
Kecurangan
Pengantar

2. Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan
merugikan terdakwa atau tersangka yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.
Di dalam aspek pidana fraud, auditor dengan teknik investigasi melakukan
pemeriksaan terhadap orang-orang yang diduga terlibat dalam penyimpangan
yang terjadi yang hasilnya dituangkan dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan
Keterangan (BAPK) akan dapat menemukan orang-orang yang dapat dijadikan
sebagai saksi sesuai dengan ketentuan mengenai saksi. Ini akan membantu
penyidik untuk menetapkan siapa yang tepat untuk dijadikan sebagai saksi.
Perlindungan Saksi dan Korban
Menurut Undang-Undang No.13 Tahun 2006 Pasal 5 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, seorang saksi atau korban mempunyai hak sebagai
berikut:
1. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta
bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian
yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
2. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan
dan dukungan keamanan.
3. Memberikan keterangan tanpa tekanan.
4. Bebas dari pertanyaan yang menjerat.
5. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus.
6. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan.
7. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan.
8. Mendapatkan identitas baru.
9. Mendapatkan tempat kediaman baru.
10. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan.
Di samping hak dalam pasal 5, dalam pasal 6 juga diatur seorang
saksi dan korban berhak mendapat bantuan medis dan bantuan rehabilitasi/
psiko. Perlindungan kepada saksi dan korban diberikan sejak penyelidikan
sampai dengan selesai diperlukan. Saksi berhak tidak hadir atas persetujuan
hakim, apabila merasa dirinya terancam. Kesaksiannya boleh diganti dengan
tertulis atau kesaksian lewat alat elektronik. Seorang saksi atau korban yang
merasa terancam keselamatannya dapat menghubungi Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK) untuk mendapat perlindungan. Kemudian apabila
LPSK menganggap saksi perlu dilindungi maka LPSK mengadakan kerja
sama dengan instansi terkait dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh saksi
agar perlindungan terjamin.

84

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

>>> 3.2.3.2. Keterangan Ahli


Ada tiga cara untuk memperoleh alat bukti keterangan ahli yang sah,
yaitu:
1. Ahli memberikan keterangan di depan penyidik yang dituangkan dalam bentuk
BAP. Sebelum memberikan keterangan ia wajib bersumpah/berjanji di hadapan
penyidik bahwa ia akan memberikan keterangan menurut pengetahuannya
yang sebaik-baiknya. Keterangan ahli dalam bentuk BAP biasanya dalam
bentuk pernyataan ahli yang diberikan atas pertanyaan penyidik.
2. Ahli memberikan keterangan dalam bentuk laporan yang diminta secara
resmi oleh penyidik, yang disebut laporan ahli yang dibuat dengan mengingat
sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Laporan ahli ini
kemudian disebut juga alat bukti surat sebagaimana akan dibicarakan di
bawah nanti.
3. Ahli memberikan keterangan di sidang pengadilan berdasarkan penetapan
hakim dan keterangannya dicatat dalam berita acara sidang oleh panitera.
Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji
di hadapan hakim.
Keterangan ahli baik dalam bentuk BAP maupun dalam bentuk laporan
yang diberikan atas permintaan penyidik sepanjang sudah dibacakan di sidang
mempunyai nilai pembuktian sebagai keterangan ahli karena sebelumnya
sudah diberikan di bawah sumpah. Demikian juga halnya dengan keterangan
ahli yang diberikan di sidang pengadilan.
Ahli yang telah memberikan keterangan atas permintaan penyidik
dapat tidak hadir di sidang, cukup keterangan yang telah diberikan di bawah
sumpah di bacakan. Akan tetapi dalam hal hakim menganggap perlu untuk
menjernihkan duduk persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua
sidang dapat minta agar ahli yang bersangkutan hadir memberikan keterangan
di sidang dan membawa bahan baru yang di perlukan.
Perkembangan kualitas dan metode kejahatan yang semakin kompleks
oleh pembentuk undang-undang telah diantisipasi dengan memasukkan
keterangan ahli sebagai alat bukti. Keterangan ahli diperlukan untuk membuat
terang suatu perkara.
Pasal 1 butir 28 KUHAP menyebutkan sebagai berikut:
keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang
suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

85

Audit
Kecurangan
Pengantar

Dalam California Evidence Code ahli didefinisikan sebagai orang yang


mempunyai pengetahuan, keahlian, pengalaman, pelatihan atau pendidikan
khusus yang memadai untuk memenuhi syarat sebagai seorang ahli tentang
hal yang berkaitan dengan keterangannya.
Untuk dapat menjadi ahli seseorang harus memiliki keahlian khusus
atau mempunyai pengetahuan tentang hal yang diperlukan untuk membuat
terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (Pasal 1 butir
28 jo. Pasal 120 Ayat (1) KUHAP). Selain itu, yang bersangkutan juga tidak
terkena ketentuan Pasal 168 dan Pasal 170 Ayat (1) KUHAP.
Keterangan ahli agar dapat dipakai sebagai alat bukti yang sah harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Keterangan ahli harus diberikan oleh seorang ahli.
2. Keterangan yang diberikan menurut pengetahuan yang sebaik-baiknya
atau menurut disiplin ilmu.
3. Keterangan ahli harus diberikan di bawah sumpah (Pasal 120 Ayat (2),
Pasal 160 Ayat (3) dan Ayat (4) serta Pasal 161 Ayat (1) KUHAP).
4. Keterangan ahli harus diberikan di depan persidangan (Pasal 186 KUHAP).
Keterangan ini dapat disimpangi dengan mengacu kepada ketentuan
Pasal 120 Ayat (1) jo. Pasal 7 Ayat (1) huruf f KUHAP yang memungkinkan
pemberian keterangan ahli di luar sidang pengadilan karena di dalam pasal
tersebut disebutkan bahwa: Dalam hal penyidik menggangap perlu, ia dapat
minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.
Dalam kaitannya dengan sanksi terhadap ahli, ketentuan Pasal 179
Ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa:
semua ketentuan mengenai saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan
keterangan ahli.
Dengan demikian sanksi terhadap saksi berlaku juga bagi ahli.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan mengenai perbedaan antara saksi
dengan ahli adalah sebagai berikut:
1. Sumpah saksi: akan mengatakan yang benar tidak lain dari yang benar.
2. Sumpah ahli: akan mengatakan sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman
yang dimiliki.
3. Saksi tidak dapat diganti dengan orang lain.
4. Ahli dapat diganti.
5. Keterangan yang diberikan:

86

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

a. Saksi mengemukakan fakta apa yang dilihat, didengar, dialami serta


alasannya.
b. Ahli memberikan pendapat bukan fakta agar perkara menjadi terang.
>>>3.2.3.3. Surat
Surat yang mempunyai nilai pembuktian sebagai alat bukti surat harus
dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, misalnya :
1. Surat yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat
dihadapannya yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan
yang didengar dilihat atau dialaminya sendiri disertai alasan tentang
keterangannya itu (contoh: Akta notaris, Akta pejabat PPAT, Berita Acara
Lelang Negara).
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, BAP saksi dan BAP tersangka
sama sekali bukan alat bukti surat.
2. Surat yang dibuat menurut peraturan perundang-undangan atau surat yang
dibuat pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi
tanggung jawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian suatu hal atau
keadaan (Contoh: SIM, Paspor, KTP, Ijasah, Surat Perintah Perjalanan Dinas).
3. Surat yang dibuat oleh ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya
mengenai suatu peristiwa atau keadaan yang diminta secara resmi
daripadanya termasuk laporan ahli (Contoh: Visum et repertum, Laporan
Hasil Ahli Dokter Kehakiman (LHAK).
Adapun surat yang tidak termasuk salah satu dari tiga jenis surat di
atas bukan alat bukti surat karena dibuat tidak berdasarkan sumpah jabatan
oleh pejabat atau ahli yang kompeten.
Akan tetapi apabila isi surat lainnya ini ada hubungannya atau
persesuaiannya dengan alat bukti sah yang lain maka dapat mempunyai
pembuktian sebagai alat bukti petunjuk (contoh: surat kuitansi, surat perjanjian
di bawah tangan).
Pasal 187 KUHAP menyebutkan:
surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 Ayat (1) huruf c dibuat atas
sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah:
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat
umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya yang memuat
keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau yang
dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang
keterangannya itu.

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

87

Audit
Kecurangan
Pengantar

b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau


surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata
laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi
pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan.
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara
resmi daripadanya.
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari
alat pembuktian yang lain.
Dari pasal di atas maka alat bukti surat terdiri dari:
1. Surat sebagaimana tersebut pada huruf a, jenis surat pada butir ini agar
dapat diterima sebagai alat bukti surat harus memenuhi syarat:

Dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah.

Bentuknya berita acara atau surat dalam bentuk resmi.

Dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau dibuat di hadapannya.

Isinya memuat keterangan tentang kejadian/keadaan yang didengar


sendiri, dilihat sendiri, atau dialaminya sendiri.

Menyebutkan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya.


Contoh surat jenis ini adalah: akta otentik, berita acara lelang, akta jual
beli oleh PPAT. Surat jenis ini dikenal dengan akta otentik.

2. Surat sebagaimana tersebut pada huruf b boleh dikatakan hampir meliputi


segala jenis surat yang dibuat oleh aparat pengelola administrasi
dan kebijaksanaan eksekutif, mulai dari IMB, Surat izin ekspor impor,
paspor, SIM, KTP, Akta kelahiran, Surat Keputusan Pengangkatan atau
Pemberhentian Pegawai, Surat Keputusan Kenaikan Pangkat, Mutasi dan
Surat Keputusan lainnya. Semua surat ini dapat bernilai sebagai alat bukti
surat.
3. Surat sebagaimana tersebut pada huruf c, laporan ahli seperti halnya visum
et repertum di samping sebagai alat bukti keterangan ahli dapat juga
disebut sebagai alat bukti surat. Hal ini yang disebut oleh M. Yahya Harahap
sebagai sifat dualisme alat bukti keterangan ahli.
4. Surat sebagaimana tersebut pada huruf d, surat lain di sini dapat berupa
segala tulisan yang isinya berkaitan dengan alat bukti yang lain. Surat
dalam hal ini lebih bersifat pribadi, misalnya korespondensi, surat ancaman,
surat pernyataan, surat petisi, pengumuman, surat cinta, dan sebagainya.
Surat-surat ini tidak dengan sendirinya merupakan alat bukti yang sah,
baru mempunyai nilai sebagai alat bukti apabila isi surat tersebut mempunyai
hubungan dengan alat pembuktian yang lain. Misalnya, kuitansi pembayaran
yang dibenarkan isinya oleh saksi atau oleh terdakwa.

88

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

Menurut bunyi Pasal 187 KUHAP di atas maka surat sebagai alat
bukti harus memenuhi syarat dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan
dengan sumpah. Surat selain dari itu bukan merupakan alat bukti.
Alat bukti surat mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas, artinya
hakim bebas untuk menerima atau menolak bukti surat sebagai alat bukti
yang dapat membentuk keyakinannya atas kesalahan terdakwa.
>>> 3.2.3.4. Keterangan Terdakwa
Keterangan terdakwa sebagai alat bukti ialah apa yang terdakwa
nyatakan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang
ia ketahui atau yang ia alami sendiri. Dalam hal terdakwa menyangkal di
sidang, maka keterangannya dalam BAP di penyidikan dapat menjadi alat
bukti petunjuk asalkan keterangan dalam BAP tersebut didukung oleh suatu
bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Menurut
putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor: 229/K/Kr/1953, pengakuan terdakwa
di luar sidang yang ditarik tanpa alasan adalah merupakan suatu petunjuk
tentang adanya kesalahan terdakwa tersebut.
Dalam hal terdakwa mengakui perbuatan yang didakwakan akan tetapi
pengakuannya itu tidak didukung alat bukti sah yang lain maka pengakuan
saja tidak cukup untuk membuktikan ia bersalah melakukan tindak pidana
yang didakwakan kepadanya.
Keterangan terdakwa diatur dalam Pasal 189 KUHAP yang menyebutkan:
1. Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang
perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
2. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk
membantu menemukan bukti di sidang pengadilan asalkan keterangan itu
didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang
didakwakan kepadanya.
3. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
4. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia
bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya melainkan
harus disertai dengan alat bukti yang lain.
Maksud dari kalimat yang menyebutkan bahwa keterangan terdakwa
adalah apa yang ia nyatakan di sidang pengadilan tertang perbuatan apa
yang dilakukannya disertai dengan keterangan dari keadaan tertentu adalah
agar keterangan terdakwa di depan sidang pengadilan harus disertai caracara bagaimanakah ia melakukan perbuatannya.

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

89

Audit
Kecurangan
Pengantar

Jadi berdasarkan pasal tersebut di atas seluruh keterangan terdakwa


di depan hakim untuk menjadi bukti yang sempurna harus disertai dengan
keterangan yang jelas tentang keadaan saat tindak pidana diperbuat, dan
karena keterangan terdakwa tersebut harus cocok dengan keterangan si
korban atau dengan lain-lain bukti. Syarat ini sangat penting karena ada
kemungkinan suatu keterangan terdakwa bertentangan dengan kebenaran
materiil, sehingga ada kemungkinan terdakwa memberikan keterangan palsu.
>>>3.2.3.5. Petunjuk
Yang bisa bernilai sebagai alat bukti petunjuk ialah perbuatan
atau kejadian ataupun keadaan yang bersesuaian satu sama lain ataupun
bersesuaian dengan tindak pidana itu, dan dari persesuaiannya membenarkan
adanya suatu kejadian tertentu. Perbuatan, kejadian atau keadaan selain ada
persesuaian antara satu dengan lain baru merupakan alat bukti petunjuk
apabila diperoleh dari alat bukti sah yang sudah ada lebih dahulu. Oleh sebab
itu petunjuk sebagai alat bukti tidak diperoleh di tingkat penyidikan dan bukan
merupakan alat bukti yang berdiri sendiri akan tetapi melalui suatu proses di
sidang pengadilan yang bersumber dari keterangan saksi, keterangan ahli,
keterangan terdakwa atau dari alat bukti surat.
Contoh:
1. Ada saksi memberikan keterangan di sidang tidak disumpah, maka
keterangannya bukan alat bukti keterangan saksi akan tetapi dapat
merupakan alat bukti petunjuk apabila bersesuaian dengan keterangan
dari saksi yang disumpah.
2. Visum et repertum yang dibuat oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman
bukan alat bukti keterangan ahli akan tetapi apabila isi visum et repertum
tadi bersesuaian dengan alat bukti sah yang lain, dapat dijadikan sebagai
alat bukti petunjuk.
3. Surat perjanjian di bawah tangan bukan alat bukti surat akan tetapi apabila
isi surat itu ada hubungannya dengan tindak pidana yang terjadi dapat
dijadikan sebagai alat bukti petunjuk.
4. Keterangan terdakwa dalam BAP atau yang diberikan di luar sidang
merupakan alat bukti petunjuk asalkan keterangan dalam BAP tersebut
justru bersesuaian dengan alat bukti sah yang lain.
5. Barang bukti berupa golok yang berlumuran darah yang identik dengan
darah korban yang ditemukan di TKP, maka diperoleh petunjuk bahwa
golok itulah yang digunakan membacok korban.
6. Dalam tindak pidana korupsi melalui Pasal 26A Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 demikian juga dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun

90

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

2002 pada Pasal 44 Ayat (2) memperluas sumber petunjuk sedemikian


rupa sehingga meliputi informasi, dokumen, atau data yang dapat dilihat,
dibaca, diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa
maupun secara elektronik atau optic termasuk dan tidak terbatas pada
yang tertuang di atas kertas maupun selain kertas.
Di dalam Pasal 188 Ayat (1) KUHAP disebutkan:
petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya
baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri,
menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
Kata menandakan digunakan karena kepastian bahwa terdakwa benarbenar telah bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak
mungkin dapat diperoleh. Dengan demikian mengenai perbuatan-perbuatan
yang dianggap sebagai petunjuk tidak dapat disyaratkan lebih banyak selain
adanya kesesuaian perbuatan, kejadian atau keadaan yang dapat menunjukkan
adanya kesalahan terdakwa.
Pasal 188 Ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa petunjuk sebagaimana
dimaksud dalam Ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:
1. Keterangan saksi.
2. Surat.
3. Keterangan terdakwa.
Pasal 188 Ayat (3) KUHAP menyebutkan bahwa penilaian atas kekuatan
pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh
hakim dengan arif dan bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan
penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Ketentuan Pasal 26A Undang-Undang 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, menyebutkan:
Alat bukti petunjuk juga dapat diperoleh dari:
a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima,
atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan
itu, dan
b. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat,
dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa
bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun
selain kertas maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan,
suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau perforasi
yang memiliki makna.

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

91

Audit
Kecurangan
Pengantar

Maksud dari penyimpanan secara elektronik adalah data yang disimpan


dalam bentuk mikro film, Compact Disk Read Only Memory (CD-ROM), atau
Write Once Read Many (WORM). Sedangkan yang dimaksud dengan alat
optic atau yang serupa dengan itu adalah tidak terbatas pada data penghubung
elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram,
teleks, dan faksimili.
3.3. Proses Hukum Acara Perdata
Prinsip/asas dalam proses perdata penyelesaian perkaranya sangat
tergantung kepada para pihak yang bersengketa yaitu para pihak bebas
apakah akan memilih penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi)
atau penyelesaian diluar pengadilan (non litigasi). Apabila para pihak memilih
proses pengadilan (litigasi) maka persyaratannya adalah antara pihak-pihak
harus ada hubungan hukum dan ada kepentingan hukum yang dirugikan.
Contoh hubungan hukum misalnya:
1. Gugatan wan prestasi, maka harus ada hubungan hukum berupa perjanjian
antara para pihak.
2. Gugatan perceraian, harus ada pernikahan sebagai dasar hubungan hukum.
Contoh kepentingan yang dirugikan misalnya:
1. Penggugat mengajukan gugatan karena tergugat tidak menyelesaikan
pekerjaan, sehingga penggugat merasa dirugikan.
2. Sebaliknya apabila tergugat selaku kontraktor perjanjiannya dibatalkan
secara sepihak oleh pemilik pekerjaan, pihak tergugat merasa kepentingannya dirugikan.
Asas lain dalam sengketa perdata adalah hakim selalu memberikan
kesempatan kepada para pihak untuk berdamai. Dengan demikian dalam
proses perdata para pihak yang lebih aktif dari pada hakim, sedangkan dalam
kasus pidana hakim yang aktif mencari kebenaran materiil. Proses ini dapat
divisualisasikan dengan menggunakan langkah-langkah sebagaimana tampak
pada halaman berikut ini.

92

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

Proses hukum acara perdata di pengadilan (Litigasi).


Penggugat

Tergugat

1. Penggugat mengajukan gugatan kepada


Ketua Pengadilan Negeri di daerah hukum
tegugat.
Kemudian gugatan disampaikan oleh hakim
kepada tergugat disertai panggilan untuk
menyampaikan jawaban.

1. Tergugat membuat jawaban atas gugatan,


dan disampaikan kepada Hakim pada hari
yang ditentukan dalam surat panggilan.
Apabila memungkinkan, karena tergugat
merasa ada kepentingan hukumnya yang
dirugikan penggugat, tergugat dalam
jawabannya dapat mengajukan gugatan
balik.

2. Penggugat menyerahkan replik (jawaban


atas jawaban tergugat) disampaikan kepada
pengadilan.
3. Penggugat mengajukan bukti-bukti seperti:
- bukti surat ;
- keterangan saksi;
- pengaduan dll.
untuk mendukung gugatannya.
Apa yang dibuktikan dan tidak disangkal
oleh tergugat adalah benar.Begitu pula apa
yang disampaikan dan tidak dibantah berarti
benar.

2. Tergugat membuat duplik (jawaban atas


replik penggugat).
3. Tergugat mengajukan bukti-bukti untuk
menyangkal bukti-bukti penggugat seperti:
- bukti surat ;
- keterangan saksi;
- keterangan lain.
4. Kesimpulan sidang dari tergugat.

4. Kesimpulan sidang dari penggugat.


5. Keputusan
6. Upaya hukum
- banding
- kasasi

Sementara itu dalam Hukum Acara Perdata yang prosesnya dilakukan di luar
pengadilan maka berdasarkan kesepakatan, para pihak dapat menyelesaikan
sengketa di luar pengadilan (non litigasi) melalui musyawarah, mediasi dan
terakhir melalui arbitase.
Keuntungan dilakukannya proses non litigasi adalah sebagai berikut:
1. penyelesaiannya bisa menjadi lebih cepat,
2. ditangani oleh para ahli,
3. penyelesaian tertutup, dan
4. para pihak tetap bersahabat.
Apabila para pihak akan menetapkan non litigasi dalam penyelesaian
sengketa, pengadilan tidak berwenang untuk mengadili sengketa tersebut.
Dasar hukum penyelesaian di luar pengadilan (non litigasi) adalah UU No.30
Tahun 1999 tentang Arbitase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

93

Audit
Kecurangan
Pengantar

4. Peran Auditor sebagai Saksi dan Ahli di Persidangan


Walaupun bukan merupakan unsur kompetensi yang akan diakui hakim,
fraud auditor sangat perlu memahami (dalam batas-batas tertentu) ketentuan
hukum yang berkaitan dengan kasus yang sedang ditangani, khususnya
ketentuan hukum yang berkaitan dengan alat bukti keterangan saksi dan
keterangan ahli sebagaimana diuraikan dalam butir 3.2.3.1 dan 3.2.3.2 :
Beberapa hal yang perlu diperhatikan apabila auditor diminta untuk
menjadi saksi dan ahli di persidangan dalam kasus fraud tampak pada bagianbagian berikut ini.
4.1. Persiapan
Secara umum dapat dikatakan bahwa untuk menjadi seorang fraud
auditor (dan juga pemberi keterangan ahli) dibutuhkan keterampilan (skills)
dan pengetahuan di bidang accounting, auditing dan investigasi, serta masalah
hukum dan kriminologi hingga batas-batas tertentu. Pengetahuan mengenai
risiko juga membantu fraud auditor di dalam memberikan pendapat atas
kecurangan yang terjadi. Fraud auditor juga membutuhkan kemampuan
menjaga ketenangan ketika bertindak sebagai ahli, dan tidak sensitif terhadap
kritikan atau serangan atas kredibilitas profesional pribadinya.
Agar pelaksanaan pemberi keterangan lebih efektif, surat permintaan
dari instansi Penyidik atau Pengadilan sebaiknya ditujukan kepada instansi,
tanpa menunjuk nama tertentu. Hal ini dimaksudkan agar instansi dimaksud
dapat menunjuk petugas/pejabatnya yang pengetahuannya memadai.
Sebelum memberikan keterangan kepada penyidik, auditor perlu
mengingat bahwa keterangan yang akan diberikan adalah keterangan yang
berkaitan dengan keahlian profesi auditornya, bukan sebagai ahli profesi
lainnya. Sasaran pemberian keterangan ahli adalah memberikan pendapat
berdasarkan keahlian profesi auditor dalam suatu kasus yang menurut pihak
penyidik telah memenuhi unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi dan/atau Perdata
untuk membuat terang suatu peristiwa bagi penyidik dan/atau hakim.
Permintaan keterangan kepada auditor yang terjadi selama ini biasanya
dimaksudkan untuk memberi keterangan ahli. Namun demikian juga dimungkinkan seorang auditor diminta untuk memberikan keterangan saksi. Walaupun
auditor tidak melihat, mendengar dan mengalami peristiwa pidana yang terjadi,

94

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

keterangan sebagai auditor yang melakukan audit dapat dianggap sebagai


keterangan saksi mengingat pasal 185 ayat (4) seperti disebutkan di atas.
4.2. Pelaksanaan Pemberian Keterangan
Apabila suatu instansi pemeriksa telah melakukan audit investigatif
ataupun perhitungan kerugian negara, maka dalam proses selanjutnya
kecurangan yang berindikasi tindak pidana yang laporan auditnya disampaikan
kepada penyidik untuk ditindaklanjuti akan melibatkan auditor yang bersangkutan.
Keterlibatan tersebut dapat terjadi dalam tahap penyelidikan, penyidikan maupun
dalam tahap penuntutan. Keterlibatan auditor dalam tahap penyidikan maupun
penuntutan adalah dalam peran sebagai saksi maupun sebagai pemberi
keterangan ahli. Tetapi untuk keterlibatan sebagai pemberi keterangan ahli,
hal ini tidak harus oleh auditor yang melakukan audit. Laporan audit investigatif
atas kejadian yang bersifat perdata yang ditindaklanjuti dengan gugatan perdata
di pengadilan, juga dapat melibatkan auditor dalam peran sebagai saksi.
Dalam pelaksanaan pemberi keterangan ahli, petugas yang ditunjuk
harus melaksanakan tugasnya dengan memperhatikan ruang lingkup keahliannya, yaitu semata-mata hanya untuk menjelaskan suatu keadaan dari
sudut pandang ilmu auditing atau akuntansi atau dari hasil perhitungan kerugian
negara yang telah dilakukannya. Apabila dalam penyidikan dan/atau sidang
pengadilan petugas yang ditunjuk dimintakan keterangan yang tidak ada
kaitannya dengan lingkup keahliannya, maka petugas yang ditunjuk wajib
mengingatkan kepada pihak yang meminta keterangan bahwa keterangan
yang diminta di luar lingkup keahliannya atau memberikan jawaban tidak
tahu. Petugas yang ditunjuk dilarang memberikan keterangan yang tidak ada
kaitannya dengan lingkup keahliannya atau yang tidak ia ketahui dengan pasti
jawabannya atau jawaban yang masih ragu-ragu.
Pelaksanaan peran sebagai saksi maupun sebagai pemberi keterangan
ahli dapat menjadi pengalaman yang tidak menyenangkan bagi auditor, tetapi
dapat juga sebaliknya, apabila yang bersangkutan dapat memberikan
pendapatnya secara jelas dan dapat diterima oleh para pihak sesuai dengan
fakta yang terjadi.
Dalam kenyataannya, pertanyaan dan jawaban yang mungkin muncul
di persidangan adalah sangat tergantung dari kasus yang diperiksa, suasana
sidang dan fakta-fakta yang terungkap sebelumnya. Oleh karena itu hampir
tidak mungkin untuk membuat pola bagaimana suatu pertanyaan harus dijawab.

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

95

Audit
Kecurangan
Pengantar

Namun demikian, agar keterangan yang diberikan di pengadilan mencapai


tujuannya, yakni membuat terang perkara dan dipandang meyakinkan, auditor
harus memperhatikan hal-hal berikut:
1.

Berbicara dengan jelas dan dapat didengar.

2.

Hindari penggunaan istilah jargon-jargon profesional.

3.

Gunakanlah istilah yang sederhana dalam menjelaskan temuan dan pendapat.

4.

Fokuskan jawaban pada pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh hakim,


jaksa dan penasehat hukum. Jangan memberi jawaban di luar konteks
pertanyaan.

5.

Hindari perdebatan dan pertengkaran dengan hakim, penuntut umum


atau penasehat hukum tersangka.

6.

Jaga sikap profesional dan bersikap tenang dalam menjawab pertanyaan.

7.

Berpakaian konservatif dan berpenampilan menarik.

8.

Apabila dapat dilakukan, hindari membaca catatan. Pemberi keterangan


ahli dapat membaca catatan pada saat memberikan keterangannya, namun
demikian akan lebih elegan apabila pendapat atau keterangan itu diberikan
dengan menggunakan kalimat sendiri secara jelas.

9.

Susun dokumen yang perlu ditunjukkan dengan baik, sehingga apabila


diperlukan dapat ditemukan dengan mudah.

10. Minta pertanyaan diulang bila tidak jelas.


11. Dalam pengujian silang, jangan memberikan jawaban terburu-buru untuk
memberikan kesempatan kepada pihak lainnya yang akan mengajukan
keberatan atas pertanyaan tersebut.
12. Arahkan pandangan ke hakim, jaksa atau penasehat hukum pada saat
mereka mengajukan pertanyaan.
13. Jangan memandangi lantai atau langit-langit terus menerus.
14. Bersikaplah bersahabat terhadap semua pihak.
15. Bila tidak bisa menjawab katakan demikian, jangan menebak.
16. Jangan meninggikan nada bicara dalam amarah apabila ada pihak yang
mencoba memancing dengan tuduhan-tuduhan.
17. Jujur, jangan membesar-besarkan atau sebaliknya, jangan menghindari
pertanyaan.
Tujuan yang harus dicapai oleh auditor dalam perannya sebagai saksi
maupun sebagai pemberi keterangan ahli adalah membuat terang perkara
yang sedang disidangkan dengan cara memberikan pemahaman atas temuan
audit investigatif atau kerugian keuangan negara kepada hakim, jaksa maupun
penasehat hukum. Fakta-fakta maupun pendapat diungkapkan secara sederhana
dan jelas, sehingga setiap orang yang mendengarkan dapat memahaminya
dan perdebatan istilah-istilah akuntansi maupun audit dapat dihindari.

96

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

4.3. Hambatan dalam Memberikan Keterangan Saksi dan Ahli


Hambatan dalam pemberian keterangan dapat berasal dari intern
maupun dari ekstern. Kendala intern berasal dari pihak si pemberi keterangan
sendiri, antara lain yaitu:
1. Kurang persiapan.
2. Kurang menguasai hal-hal yang berkaitan dengan kasus yang dipermasalahkan.
3. Tidak percaya diri.
4. Lupa. Hal ini terutama kendala untuk pemberi keterangan saksi, dimana
dia harus mengingat apa yang dilihat, didengar dan dialami atas suatu
kasus.
5. Bias. Walaupun pada dasarnya seorang auditor harus menaati kode etik
profesinya, namun sikap tidak obyektif seorang pemberi keterangan ahli
ataupun saksi dapat muncul apabila dari awal yang bersangkutan mempunyai
sikap ingin memenangkan salah satu pihak yang berperkara. Misalnya
yang seharusnya dia tahu/paham, karena dia sadar kalau dia menjawab
akan memberatkan atau melemahkan suatu dakwaan.
Sementara itu kendala-kendala ekstern yang dapat mempengaruhi
proses pemberian keterangan, antara lain adalah:
1. Keterlambatan pengiriman surat panggilan sidang.
2. Tidak jelasnya jadwal waktu (jam) sidang.
3. Nada pertanyaan yang bersifat provokatif.
4. Perbedaan persepsi diantara sesama auditor.
5. Bias. Kalau sikap bias sebelumnya berasal dari pemberi keterangan ahli,
sikap bias ini dapat juga muncul dari pihak jaksa, pengacara maupun hakim
dan hal ini tentu akan mempengaruhi proses pemberian keterangan.
6. Suasana ruang sidang yang tidak kondusif.
4.4. Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu
Pasal 242 KUHP antara lain menyatakan bahwa barang siapa dengan
sengaja memberikan keterangan palsu di atas sumpah, diancam dengan
pidana penjara paling lama tujuh tahun. Dan jika keterangan palsu tersebut
diberikan dalam perkara pidana dan merugikan tersangka atau terdakwa,
yang bersalah diancam dengan pidana paling lama sembilan tahun. Belajar
dari ketentuan hukum tersebut, maka sudah seharusnya seorang auditor harus
mempertahankan sikap independensi dan obyektivitasnya dalam setiap
kegiatan termasuk dalam memberikan keterangan di sidang pengadilan.

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

97

Audit
Kecurangan
Pengantar

4.5. Peningkatan Keahlian


Agar pemberian keterangan dari auditor dalam rangka proses hukum
terhadap kasus-kasus pidana maupun perdata dapat mencapai hasil yang
maksimal, maka perlu:
1. Meningkatkan kepatuhan auditor terhadap kode etik profesi, termasuk
memenuhi kewajiban pendidikan profesi berkelanjutan (CPE Continuing
Professional Education).
2. Mengadakan forum diskusi yang menunjang penyamaan persepsi atas
hal-hal yang menjadi kompetensi suatu profesi pendukung pembuktian
tindak pidana (akunting, auditing, hukum, appraisal, dll.).
3. Meningkatkan dukungan instansi auditor terhadap auditor yang ditugaskan
untuk memberikan keterangan di sidang pengadilan.

98

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

Lampiran
INSPEKTORAT PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
.
BERITA ACARA PERMINTAAN KETERANGAN
-----------Pada hari ini,tanggal......... jam s/d
Waktu Indonesia bagian ........bertempat dikami :
1. Nama

NIP

Pangkat :
Jabatan :
2. Nama

NIP

Pangkat :
Jabatan :
Pada Inspektorat Provinsi/Kabupaten/Kota.....................................................
berdasarkan Surat Tugas Nomor:.............tanggal:.
telah meminta keterangan kepada :
Nama Lengkap

: ......

Jenis Kelamin

:......

Tempat Lahir

: .....

Tanggal lahir/umur

: .............

Kewarganegaraan

:...

Agama

: ..

Pekerjaan/jabatan

:......

Nama Instansi

: Telp .........

Alamat Instansi

: ....Telp ......

----------Ia diminta keterangannya dalam masalah...................................................


............................ .................................
Atas pertanyaan kami yang bersangkutan memberikan jawaban/ keterangan
sebagai berikut:

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

99

Audit
Kecurangan
Pengantar

1.

Apakah Saudara mengerti mengapa hari ini diminta keterangan oleh auditor
Inspektorat Provinsi/Kabupaten/Kota ?
jawaban.....................

2.

Apakah Saudara pada saat ini dalam keadaan sehat jasmani dan rohani,
serta bersediakah Saudara memberikan keterangan sehubungan dengan
kasus
Jawaban............

3.

Harap jelaskan riwayat hidup singkat Saudara !


Jawaban : ........

4.

Apakah Saudara kenal dengan Saudara........... , bila kenal dalam hubungan


apa Saudara kenal, kapan mulai kenal dan dimana ?
Jawaban : .

5.

Pernahkah Saudara mengucapkan sumpah/Janji pegawai Negeri Sipil


pada waktu Saudara diangkat sebagai Pegawai Negeri ?
Jawaban :

6.

Pernahkah Saudara mengucapkan Sumpah Jabatan pegawai Negeri Sipil


pada waktu Saudara diangkat dalam suatu jabatan tertentu ?
Jawaban : .....

7.

Pernahkan Saudara membaca Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil


tentang kewajiban dan larangan serta sanksinya sebagaimana diatur
dalam PP No. 30 Tahun 1980 ?
Jawaban : ............

8.

Harap Saaudara Jelaskan tentang tugas pekerjaan yang dibebankan dan


menjadi tanggung jawab Saudara !
Jawaban : ............

9.

Dimana Saudara melaksanakan tugas pekerjaan tersebut dalam Jawaban


No 8 ?
Jawaban : ............

10. Sejak kapan Saudara mulai melakukan tugas pekerjaan seperti jawaban
No 8 ?
Jawaban : ...............

100

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

11. Apakah yang dijadikan dasar sehingga Saudara melaksanakan tugas


pekerjaan tersebut dalam No. 8 ?
Jawaban : ............
12. Siapakah yang berwenang dan berhak memerintahkan Saudara untuk
melakukan tugas pekerjaan tersebut dalam jawaban no. 8 ?
Jawaban : ............
13. Siapa-siapa saja yang berhubungan secara langsung atau tidak langsung
baik atasan/bawahan dengan tugas pekerjaan seperti tersebut dalam
jawaban no.8?
Jawaban : ...........
14. Bagaimana mekanisme pelaksanaan tugas pekerjaan tersebut dalam
jawaban no 8 ?
Jawaban : ............
15. Harap Saudara ceritakan segala masalah yang Saudara ketahui mengenai
kasus ................(lihat hal .1), jalan ceritanya (modus operandi) siapa saja
pelakunya, siapa saja yang bisa memberikan keterangan/mengetahui tentang
kasus tersebut dan apakah ada yang menyangkut harta/kekayaan negara?
Jawaban : ............
(pertanyaan untuk pengungkapan kasus ini dapat dikembangkan guna
menuntun pengungkapan permasalahan oleh pemberi keterangan sampai
kepada kemungkinan diperolehnya bukti pendukung guna memperkuat
keterangan yang diberikan).
16. Dapatkah Saudara memberikan bukti-bukti atau data yang dapat memperkuat
keterangan Saudara diatas ?
Jawaban : ............
17. Apakah perbuatan yang Saudara lakukan tersebut dapat diklasifikasikan
sebagai perbuatan yang mengutamakan kepentingan negara di atas
kepentingan Golongan atau Diri sendiri ?
Jawaban : ............
18. Apakah perbuatan Saudara tersebut dapat diklasifikasikan sebagai
menjunjung tinggi kehormatan dan martabat Negara, Pemerintah dan
Pegawai Negeri Sipil ?
Jawaban : .............

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

101

Audit
Kecurangan
Pengantar

19. Apakah Saudara sebagai Pegawai Negeri Sipil telah mentaati sumpah/janji
Pegawai Negeri Sipil dan Sumpah/janji Jabatan Saudara ?
Jawaban : ............
20. Apakah Saudara telah bekerja dengan jujur, tertib dan cermat untuk
kepentingan negara?
Jawaban : ............
21. Apakah dalam tugas kedinasan, Saudara telah melaksanakan tugas
dengan penuh pengabdian dan tanggung jawab ?
Jawaban : ............
22. Apakah Saudara telah melaporkan kepada Atasan dengan segera pada
waktu Saudara mengetahui ada hal yang membahayakan/merugikan
negara dalam Bidang keuangan material, dan keamanan ?
Jawaban : .............
23. Apakah Saudara telah mentaati ketentuan jam kerja ?
Jawaban : .............
24. Apakah dalam tugas sehari-hari Saudara telah menggunakan dan
memelihara barang-barang milik negara dengan sebaik-baiknya ?
Jawaban : ............
25. Apakah perbuatan Saudara tersebut dapat menurunkan kehormatan dan
martabat Negara, Pemerintah atau kehormatan Pegawai Negeri Sipil ?
Jawaban : .............
26. Apakah perbuatan Saudara dapat diklasifikasikan menyalahgunakan
wewenang ?
Jawaban : .............
27. Apakah perbuatan Saudara tersebut merupakan menyalahgunakan barang,
uang atau Surat Berharga milik negara ?
Jawaban : .............
28. Apakah perbuatan Saudara dapat diklasifikasikan sebagai memiliki, menjual,
membeli, menggadaikan, menyewakan atau meminjamkan barang-barang,
dokumen atau surat-surat berharga milik negara secara tidak sah ?
Jawaban : .................................................................................................

102

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

29. Apakah Saudara telah melakukan perbuatan yang dilarang yaitu melakukan
kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan atau orang
lain di dalam maupun di luar lingkungan kerja Saudara dengan tujuan
untuk kepentingan pribadi, golongan, maupun pihak lain yang secara
langsung atau tidak langsung merugikan negara ?
Jawaban : .............
30. Bukankah Saudara telah melakukan perbuatan yang dilarang yaitu
menerima hadiah atau sesuatu pemberian di mana pemberian tersebut
ada hubungannya dengan jabatan atau pekerjaan Saudara?
Jawaban : .............
31. Pernahkah Saudara melakukan perbuatan yang dilarang yaitu melakukan
pungutan/pengeluaran tidak sah dan perbuatan penyimpangan lainnya
dalam melaksanakan tugas untuk kepentingan pribadi atau pihak lain?
Jawaban : ..............
32. Dimana Saudara melakukan perbuatan/perbuatan-perbuatan seperti
tersebut dalam pertanyaan dan jawaban no. 31 ?
Jawaban : .............
33. Kapan atau sejak kapan Saudara melakukan perbuatan/perbuatanperbuatan seperti tersebut dalam pertanyaan dan jawaban no. 31 ?
Jawaban : .............
34. Mengapa Sdr. melakukan perbuatan tersebut dan apakah yang dijadikan
dasar sehingga Sdr. telah melakukan perbuatan/perbuatan-perbuatan
seperti tersebut dalam pertanyaan dan jawaban no. 31 ?
Jawaban : ..............
35. Siapakah yang memerintahkan Saudara untuk melakukan perbuatan/
perbuatan-perbuatan seperti tersebut dalam pertanyaan dan jawaban
no. 31?
Jawaban : ............
36. Dalam melakukan perbuatan seperti dalam jawaban no. 31, sadarkah
Saudara bahwa telah melanggar larangan/tidak melaksanakan kewajiban
sebagai seorang Pegawai Negeri/Aparatur Negara ?
Jawaban : .............

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

103

Audit
Kecurangan
Pengantar

37. Kalau sadar, mengapa melakukannya dan apa tujuan yang ingin Saudara
capai dalam melakukan pelanggaran tersebut ?
Jawaban : .............
38. Sadarkah Saudara bahwa dengan melakukan pelanggaran tersebut
berakibat merugikan Negara/orang lain, menciderai citra/kewibawaan
Aparatur Pemerintah/Negara dan menghambat pembangunan ?
Jawaban : ............
39. Apakah Saudara merasa bersalah dan bagaimana sikap Saudara
selanjutnya atas perbuatan melakukan pelanggaran tersebut di atas ?
Jawaban : .............
40. Apakah ada hal-hal lain yang perlu Saudara sampaikan kepada peminta
keterangan dalam kesempatan ini ?
Jawaban : ..............
41. Apakah jawaban-jawaban di atas adalah benar dan bukan karena
paksaan/tekanan atau pengaruh dari peminta keterangan. Untuk itu
bersediakah Saudara mengangkat sumpah/janji bilamana diperlukan?
Jawaban : ..............

104

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

Sampai di sini permintaan keterangan kami hentikan, dan Berita Acara


Permintaan Keterangan ini dilihat dan dibaca sendiri oleh yang bersangkutan,
dan telah membenarkan semua keterangannya, kemudian menandatangani
di bawah ini dan membubuhkan parafnya pada halaman-halaman di muka.

Yang memberikan keterangan

( .)
Demikian Berita Acara Permintaan Keterangan ini kami/saya buat dengan
sebenarnya, dengan mengingat sumpah jabatan kami/saya sekarang ini,
kemudian ditutup serta ditandatangani pada hari dan tanggal seperti tersebut
di atas.
Yang meminta keterangan

1. .

2. .

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

105

Audit
Kecurangan
Pengantar

Halaman ini sengaja dikosongkan

106

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

Daftar

Pustaka

Albrecht, W. Steve, Chad O. Albrecht : Fraud Examination, Thomson-South


Western, 2002.
Arens, Alvin A and James K. Loebbecke, Auditing An Integrated Approach,
Internasional Edition-Hall International, Inc, Seventh Edition, 1997.
Arief, Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum & Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, cet. Ke 1, 2001, hal. 149.
Asian Development Bank, Kebijakan Anti Korupsi 1988
Biro Hukum Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Himpunan
Peraturan Perundang-undangan, Jakarta, 2000.
Bologna, Jack G, Corporate Fraud : The Basic of Prevention and Detection,
Buston : Butter Worth Publishers, 1984.
Bologna, Jack G., Robert F lindquist, Fraud Auditing and Forensic Accounting
New Tool and Techniques, New York : John Wiley & Sons Inc., 1987.
CIA Review Course, Part III: Management Control And Information Technology
Departemen Dalam Negeri, Himpunan Peraturan Berkenaan dengan Otonomi
Daerah, 1999-2001 Good Governance and Clean Government, Jakarta,
2001.
Departemen Dalam Negeri, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 23 Tahun
2007 tentang Pedoman Tata Cara Pengawasan Atas Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah.
Departemen Dalam Negeri, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 25 Tahun
2007 tentang Pedoman Penanganan Pengaduan Masyarakat Di Lingkungan
Departemen Dalam Negeri Dan Pemerintah Daerah.

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

107

Audit
Kecurangan
Pengantar

Effendy, Marwan, S.H., Dr., Peran Auditor dalam Pemberantasan Tindak


Pidana Korupsi
Effendy, Marwan, Penerapan Perluasan Ajaran Melawan Hukum dalam
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Goldberg, Laura and Ralph Bivins, Enrons Former Chief Financial Officer
Surfaces, Wall Street City, Dec. 13, 2001.
Gray, W. Cheryl, Corruption and World Bank, Finance & Development, 1998.
Hamid, Harmat dan Harun M. Hussein, Pembahasan Permasalahan KUHAP
Bidang Penyidikan (Dalam Bentuk Tanya Jawab), Sinar Grafika, Jakarta, 1997.
Hamzah, Andi, S.H., Prof., DR., Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985.
Harahap, M. Yahya, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan
Penyelesaian Sengketa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.
Lamintang, P.A.F., Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan
Pembahasan secara Yuridis menurut Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan
Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, 1984.
Moeller, Robert, Herbert N. Witt, Brinks Modern Internal Auditing , New
York: John Wiley & Sons Inc., Fifth Edition, 1999
Mulyadi, Lilik, Hukum Acara Perdata menurut Teori dan Praktek Peradilan
Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1999.
Nusantara, Abdul Hakim Garuda S.H., LLM dan Luhut M.P. Pangaribuan,
S.H., dan Mas Achmad Santosa, S.H., Kitab UndangUndang Hukum Acara
Pidana Dan Peraturan-Peraturan Pelaksana, Djambatan, Jakarta, 1986
OECD/ADB, Knowledge Commitment Action Against Corruption In Asia and
The Pacific, 2005
Paslyadja, Adnan, Pembuktian Tindak Pidana Korupsi
Paslyadja, Adnan, Hukum Pembuktian

108

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Audit
Kecurangan
Pengantar

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi


Pemerintahan.
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan
dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Pickett, K.H Spencer, The Internal Auditing Handbook, John Wiley & Sons
Inc., 2004
Soehandjono, Peranan Auditor Internal Dalam Tindak Pidana
Soerodibroto, R. Soenarto, SH, KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi
Mahkamah Agung dan Hoge Raad, PT Raja Grafindo Persada, Edisi Kelima,
2003.
Soepardi, Eddy Mulyadi, DR., Peran Auditor Dalam Proses Hukum Kasus
TPK Dan Perdata.
Soesilo R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentarnya Lengkap
Pasal Demi Pasal, Poeliteia, Bogor, 1990.
Soesilo, R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1986.
Subekti, S.H., Prof., DR., R., Pokok-Pokok Hukum Perdata, Alumni, Bandung,
1987
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, Cetakan keempat 1996.
Mertokusumo, Sudikno, S.H., Prof., DR., Hukum Acara Perdata Indonesia,
Liberty, Yogyakarta, 1998.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Koulsi, dan Nepotisme.

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

109

Audit
Kecurangan
Pengantar

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif


Penyelesaian Sengketa.
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

110

Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik

Anda mungkin juga menyukai