BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sinar LASER (Light Amplification by Stimulated Emmission of Radiation)
pertama kali ditemukan oleh ilmuwan fisika Theodore Maiman yang kemudian
dipublikasikan pada akhir tahun 1960. Publikasi tersebut mengilhami para
ilmuwan untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai kegunaan dan efek
Laser dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan (Weber, 2010).
Laser merupakan suatu alat yang memancarkan radiasi elektromagnetik,
biasanya dalam bentuk cahaya yang tidak dapat dilihat maupun dapat lihat dengan
mata normal, melalui proses pancaran terstimulasi. Pancaran laser biasanya
tunggal, memancarkan foton dalam pancaran koheren. Sinar laser terbuat dari
cahaya yang semuanya terdiri dari panjang gelombang yang sama. Sinar laser
bergerak dalam arah yang sama persis, tidak menyebar dan tidak melemah.
Karena sifatnya tersebut, sinar laser banyak dimanfaatkan dalam berbagai bidang,
misalnya pada bidang pelayanan (jasa), industri, astronomi, fotografi, elektronika,
komunikasi dan bidang kedokteran. (Filner, 2006)
Pada bidang kedokteran dikenal ada dua jenis intensitas laser, yaitu laser
berdaya tinggi (high level) dan laser berdaya rendah (low level). Klasifikasi
tersebut didasarkan pada panjang gelombang yang dimiliki sinar tersebut. Secara
umum untuk tujuan rehabilitasi medik digunakan radiasi laser berdaya rendah
(LLLT) dengan panjang gelombang antara 600-1100nm, karena diluar rentang
tersebut absorbsi dikulit sangat besar sehingga penetrasi ke dalam menjadi sangat
kurang (Mariani, 2002).
Berdasarkan systematic review yang dilakukan Moshkovsa dan Mayberry
tahun 2005, tercatat sekitar 2500 tulisan mengenai LLLT telah dipublikasikan
sejak penemuannya tahun 1967. Dari berbagai tulisan tersebut, mereka dapat
menyimpulkan bahwa LLLT cukup aman dan efektif untuk terapi. Review ini juga
mencatat sekitar 85 instansi pendidikan di 37 negara saat ini telah menggunakan
LLLT sebagai modalitas terapi. Kepercayaan publik terhadap LLLT semakin baik
mulai tahun 2002 ketika Food and Drug Association mengeluarkan lisensi
keamanannya untuk terapi pada bidang kedokteran (Wang, 2004).
Hasil positif yang dikemukakan dari berbagai penelitian memunculkan
pertanyaan mengenai mekanisme seluler paparan sinar laser pada jaringan hidup.
Teori yang paling banyak digunakan saat ini adalah sinar laser memiliki efek
langsung pada chromophore di mitokondria yang kemudian mengaktifkan proses
transkripsi di inti sel. Proses transkripsi inilah yang memungkinkan terjadinya
efek perbaikan sirkulasi, perbaikan jaringan, dan anti inflamasi (Hamblin, 2008;
Moshkovska dan Mayberry, 2005; Wang, 2004; Weber, 2010).
Penggunaan LLLT sebagai bagian dari terapi medis mencakup berbagai
bidang kedokteran. Bidang yang cukup banyak menggunakan terapi ini adalah
Rehabilitasi Medik dan Kedokteran Olahraga. Berbagai penelitian menyimpulkan
LLLT memiliki efek analgetik serta anti inflamasi pada otot, sendi, dan saraf
seperti penyakit Carpal Tunnel Syndrom, Low Back Pain, Rheumatoid Arthritis,
Polineuropati, Tension Headache, dan Sport Injury (Filner, 2006). Sebuah laporan
B. Rumusan Masalah
Low Level Laser Therapy (LLLT) dipercaya juga berperan dalam fase
pemulihan karena memiliki efek memperbaiki metabolisme tubuh dengan cara
mengeliminasi sisa metabolisme. Akan tetapi masih sangat sedikit bukti ilmiah
yang mengungkapkan apakah Low Level Laser Therapy (LLLT) mempengaruhi
kadar C Reactive Protein (CRP) pada proses pemulihan setelah Latihan Interval
Intensitas Tinggi
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh Low Level Laser Therapy (LLLT) terhadap
kadar C Reactive Protein (CRP) pada proses pemulihan setelah Latihan
Interval Intensitas Tinggi
2. Tujuan Khusus
a. Mengukur kadar C Reactive Protein (CRP) pada kelompok perlakuan
dan kontrol sebelum melakukan latihan interval intensitas tinggi.
b. Mengukur kadar C Reactive Protein (CRP) pada kelompok perlakuan
dan kontrol 30 menit setelah melakukan latihan interval intensitas
tinggi dengan atau tanpa pemberian Low Level Laser Therapy (LLLT).
c. Mengukur kadar C Reactive Protein (CRP) pada kelompok perlakuan
dan kontrol 24 jam setelah melakukan latihan interval intensitas tinggi
dengan atau tanpa pemberian Low Level Laser Therapy (LLLT).
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai pengaruh Low
Level Laser Therapy (LLLT) sebagai antiinflamasi dalam mempercepat
F. Kerangka Konsep
10
Stress oksidatif
Kerusakan membran sel
dan jaringan
: dilakukan
: mencegah
: tidak dilakukan
G. Premis
1. Penelitian Stewart et al (2009) menyimpulkan bahwa latihan aerobic
selama 12 minggu dapat menurunkan kadar serum C-reactive protein pada
orang sehat sehingga menurunkan resiko penyakit kardiovaskuler.
2. Penelitian Christopher et al (2004) yang menyimpulkan bahwa latihan
intensitas tinggi selama 3 minggu dapat meningkatkan kadar C-reactive
protein pada laki-laki sehat yang tidak terlatih, hal ini diperkirakan terjadi
karena adanya proses inflamasi dan kerusakan jaringan tubuh.
3. JEC Leal et al (2008) yang menyimpulkan bahwa pemberian LLLT pada 4
lokasi di otot biceps dapat memperlambat timbulnya kelelahan otot pada
atlit.
11
H. Hipotesis
H1:
H0:
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
13
A. Latihan Fisik
Latihan fisik dapat memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan
seperti psikologis, sosial, ekonomi, budaya, politik dan fungsi biologis. Terhadap
fungsi biologis, latihan fisik merupakan modulator dengan spektrum pengaruh
yang luas dan dapat terjadi pada beberapa tingkat fungsi. Pengaruh latihan fisik
terhadap fungsi biologis dapat berupa pengaruh positif yaitu memperbaiki
maupun pengaruh negatif yaitu menghambat atau merusak (Harjanto, 2005)
Latihan fisik adalah pergerakan tubuh yang dilakukan otot dengan terencana
dan berulang yang menyebabkan peningkatan pemakaian energi dengan tujuan
memperbaiki kebugaran fisik (Pedriatics, 1994). Definisi lain, latihan fisik atau
exercise adalah subkelompok aktifitas fisik berupa gerakan tubuh yang terencana,
terstruktur dan repetitive (berulang) untuk memperbaiki atau memulihkan satu
atau lebih komponen kebugaran fisik (Halliwell and Whiteman, 2004).
Latihan fisik berdasarkan sumber tenaganya atau pembentukan ATP melalui
tiga sistem, yaitu 1) Sistem aerobik. 2) Sistem glikolisis anaerobik (Lactic acid
system) dan 3) Sistem ATP Creatinin Phospat (phosphagen system) (Fox, 1993).
Aktivitas aerobik merupakan latihan yang bergantung terhadap ketersediaan
oksigen untuk membantu proses pembakaran sumber energi sehingga juga akan
bergantung pada kerja optimal organ-organ tubuh seperti jantung paru-paru dan
juga pembuluh darah untuk mengangkut oksigen agar proses pembakaran sumber
energi dapat berjalan sempurna. Latihan ini biasanya merupakan latihan olahraga
dengan intensitas rendah-sedang yang dapat dilakukan secara kontinyu dalam
waktu yang cukup lama. (Guyton, 2006)
14
15
latihan fisik dengan intensitas rendah dan intensitas sedang, karena aktifitas fisik
pada tingkat ini mengacu pada program aktifitas fisik yang dirancang untuk
meminimalkan pengeluaran radikal bebas. Sedangkan latihan fisik dengan
intensitas tinggi dapat menimbulkan inflamasi dengan meningkatkan jumlah
leukosit dan neutrofil baik dalam sirkulasi maupun jaringan (Cooper, 2000;.
Nayanatara, 2004)
1. Latihan Interval
Latihan Interval (Interval Training) adalah latihan atau sistem latihan yang
diselingi interval-interval berupa masa istirahat. Jadi dalam pelaksanaannya
adalah
latihan-istirahat-latihan-istirahat-latihan-istirahat
dan
seterusnya.
program
latihan
keseluruhan.
Banyak
pelatih
menganjurkan
16
a. intensitas/beban
latihan:
dapat
diterjemahkan
kedalam
tempo,
17
18
19
1. Sejarah LASER
Laser adalah akronim dari light amplification by stimulated emission of
radiation. Laser pertama kali dipresentasikan ke publik pada akhir 1960an
oleh Theodore Maiman. Penggunaan laser pada bidang medis diawali pada
tahun 1967 oleh ilmuwan Hungaria, Endre Mester, dari Universitas
Semmelweis, Budapest. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui
hubungan radiasi laser dengan kejadian kanker pada tikus. Percobaan tersebut
membagi tikus yang telah dicukur bulu bagian dorsalnya
menjadi dua
20
atau lebih elektron mengalami perubahan orbit dari posisi dalam ke orbit yang
lebih perifer. Atom yang telah menerima energi tersebut dikatakan dalam
kondisi
excited
(Synder
dan
Seitz,
1996;
Hamblin
2008).
Excited
keadaan semula (ground state) dengan cara yang berbeda-beda, dalam waktu
singkat, tanpa stimulasi eksternal lebih jauh. Fenomena ini menghasilkan
emisi sinar spontan (spontaneous emission). Jika dibiarkan, proses ini akna
menghambat level ransfer energi yang dibutuhkan untuk radiasi laser.
Tetapi jika sebuah foton dengan energi yang tepat menumbuk sebuah atom
yang sedang tereksitasi, atom tersebut akan segera terstimulasi untuk
mengemisikan kelebihan energinya dan melakukan transisi ke ground state.
Proses ini disebut stimulated emission. Foton yang diemisikan merupakan
suatu amplifikasi radiasi yang distimulasi (amplification of stimulating
21
radiation)
(Synder
dan
Seitz,
1996;
Subadi
2000).
Gambar 6. Emisi
Terstimulasi (Synder dan
Seitz, 1996)
Dalam sebuah laser, ketika elektron distimulasi oleh suatu sumber tenaga
eksternal dengan kecepatan tinggi, gabungan foton-foton disearahkan dalam
ruang pantul (reflecting chamber). Ketika menumbuk cermin pantul perak
yang semipermeabel, foton-foton dipantulkan balik ke cermin pantul
(reflecting mirror). Refleksi foton bolak-balik antara kedua cermin melalui
medium laser selanjutnya akan mengaktivasi sinar. Proses tersebut
berlangsung terus dengan semakin banyak foton yang terstimulasi, hingga
ruang tidak mampu menampung level energi tersebut. Akhirnya, foton
dipacarkan melalu cermin semipermeabel dan keluar melalui kabel serat optik
(Synder
dan
Seitz,
1996;
Subadi,
2000;
Mariani
2002)
Gambar
7. Prinsip
Kerja Sinar
Laser (Subadi et al, 2000)
Serat optik adalah filamen serupa benang yang terbuat dari kaca yang
22
1996;
Subadi,
2000;
Mariani
2002).
3. Sifat-Sifat LASER
Ada tiga sifat karakteristik dasar yang membedakan sinar laser dengan
sumber sinar yang lain, yaitu koheren, monokromatis dan pancaran yang
terkolimasi. Sifat koheren berarti semua foton yang diemisi dari tiap-tiap
molekul mempunyai fase panjang gelombang sama. Karena memiliki fase
yang sama, gelombang-gelombang tersebut dikatakan temporary coherent.
Mereka juga berjalan dalam arah yang sama, sehingga disebut spatial
coherent. Karena sifat inilah laser dapat difokuskan dengan lensa menjadi spot
yang
sangat
kecil
(Subadi,
2000;
Mariani
2002).
23
Mariani
2002).
4. Medium LASER
Menurut medium yang digunakan untuk menghasilkan sinar, laser dapat
diklasifikasikan
sebagai
berikut.
dan
laser
dioda
semikonduktor
(Gallium-Arsenide).
nm)
dan
karbondioksida
(10.600
nm).
Medium cair, misalnya dye laser (laser zat warna) yang panjang
gelombangnya
5. Intensitas
dapat
diatur.
LASER
Pada bidang kedokteran dikenal ada dua jenis intensitas laser, yaitu laser
berdaya tinggi (high level) dan laser berdaya rendah (low level). Klasifikasi
tersebut didasarkan pada panjang gelombang yang dimiliki sinar tersebut.
Secara umum untuk tujuan rehabilitasi medik digunakan radiasi laser berdaya
rendah dengan panjang gelombang antara 600-1100nm, karena diluar rentang
tersebut absorbsi dikulit sangat besar sehingga penetrasi ke dalam menjadi
sangat kurang (Mariani, 2002). Untuk terapi jaringan superfisial digunakan
panjang gelombang 600-700nm dan untuk jaringan yang lebih dalam
24
2008).
(kurang
dari
0,5-0,750C
(Subadi
et
al,
2000).
2000;
Hamblin,
1998).
25
GaAs (904 nm), dan GaAlAs (820 dan 830 nm) (Hamblin, 2008).
Secara umum untuk tujuan rehabilitasi medik digunakan sinar dengan
panjang gelombang antara 600-1100nm (Mariani, 2002). Untuk terapi jaringan
superfisial digunakan panjang gelombang 600-700nm dan untuk jaringan yang
lebih dalam digunakan radiasi 780-950nm. Panjang gelombang antara 700770nm tidak digunakan karena tidak terbukti memiliki efektifitas terhadap
jaringan
(Hamblin,
2008).
Densitas daya (power density) adalah output sinar per unit area dari
jaringan target yang diiradiasi, atau dengan kata lain yaitu konsentrasi daya
pada suatu luas tertentu, dengan satuan watt per sentimeter persegi (W/cm2)
atau miliwatt per sentimeter persegi (mW/cm2). Energy density ekuivalen
dengan dosis (atau fluence) dan diukur dengan joule per sentimeter persegi
(J//cm2). Energy density adalah jumlah energi per unit area yang diterima oleh
jaringan yang sedang diiradiasi, yang diukur dengan rumus berikut ini
(Mariani,
Energy
2002).
density
(J/cm2)
power
(watts)
time
(detik)
dapat
menghambat
metabolisme
fibroblas
secara
26
fibroblas
(Mariani,
2000)
2-8
et
al,
2005;
Schindl
et
al,
2003).
Hingga saat ini belum ada standar baku mengenai pemilihan jenis dan
dosis laser untuk kepentingan terapi. Meskipun demikian berbagai penelitian
jelas menyatakan bahwa penentuan panjang gelombang dan dosis sangat
mempengaruhi absorbsi jaringan sehingga sangat berpengaruh terhadap efek
yang
diinginkan.
27
Kelas 1: Laser bebas, laser ini tidak berbahaya untuk tubuh dan tidak
mempunyai efek pada mata dan kulit. Seluruh laser tidak tampak dengan
average power output 1 mW atau kurang termasuk dalam kelompok ini,
termasuk disini adalah laser GaAs.
Kelas 2: Laser berkekuatan rendah, laser ini aman pada kulit dan tidak
merusak mata, kecuali melihat langsung dalam waktu yang lama (lebih dari
1000 detik). Termasuk disini laser tampak yang menghasilkan average power
output 1 mW seperti laser HeNe.
Kelas 3A: Laser resiko sedang. Laser ini tidak menimbulkan bahaya bila
melihat sekejap tanpa perlindungan mata, tetapi dapat menimbulkan bahaya
jika menggunakan optik yang mengumpulkan berkas sinar (power: rendahsedang 5 mW)
Kelas 3B: Dapat menimbulkan bahaya jika dilihat langsung atau
pantulannya, operator dan pasien harus memakai kacamata pelindung (power:
sedang 500mW)
Kelas 4: Laser bertenaga tinggi dan merusak mata dan menyebabkan
cedera kulit serius jika terpapar langsung pada paparan singkat kurang dari
0,25 detik (power 500 mW). (Avadhanulu, 2001)
8.
sebanding dengan jumlah paket foton yang dihasilkan laser dan kualitas
absorbsi jaringan. Absorbsi energi laser lebih besar pada jaringan berpigmen.
28
29
berdaya
Peningkatan
rendah.
peningkatan
transfer
elektron
saraf
Pada
proses
dan
inflamasi,
otot
stimulasi
(Hamblin,
laser
akan
menurunkan
2008).
kadar
CRP
(Hamblin,
2008)
30
Epilepsi
lebih luas dengan total dosis yang besar bisa menyebabkan gejala umum,
seperti fatique, atau mual dan tidak enak badan. Hal ini diyakini karena
perbaikan mikrosirkulasi yang memobilisasi sampah-sampah metabolisme
yang tertimbun dalam jaringan yang diterapi. Peningkatan nyeri secara
temporer atau perasaan seperti mau pingsan mungkin dialami selama terapi,
tetapi hal ini biasanya hilang dengan sendirinya. (Tan JC, 1998)
31
32
protein yang bisa memicu polisakarida C yang berasal dari dinding sel
pneumokokus. Empat puluh tahun kemudian, Volanakis dan Kaplan
mengidentifikasi ligan spesifik CRP pneumokokus sebagai fosfokolin di
polisakarida C, bagian dari asam techoic dari dinding sel pneumokokus.
Meskipun fosfokolin adalah ligan pertama yang ditemukan pada CRP,
sejumlah ligan lain juga telah diidentifikasi. (Lau DC et al, 2005)
33
34
35
36
Fungsi biologis CRP lebih lanjut disediakan oleh ligan dan molekul
efektor yang berinteraksi. Fosfokolin ditemukan di sejumlah spesies bakteri
dan merupakan konstituen dari sphingomyelin dan fosfatidilkolin di membran
eukariotik. Namun, kelompok fosfolipid ini dapat diakses untuk CRP yang
normal di sel, sehingga CRP dapat mengikat molekul-molekul hanya dalam
sel yang rusak dan apoptosis. Selain fosfokolin, CRP dapat mengikat berbagai
ligan lain, termasuk phosphoethanolamine, kromatin, histon, fibronektin,
ribonucleoproteins kecil nuklir, laminin, dan polycations. Ligan - terikat atau
dikumpulkan CRP efisien mengaktifkan komplemen jalur klasik melalui
interaksi langsung dengan C1q. (Lau DC et al, 2005)
CRP juga dapat berinteraksi dengan reseptor imunoglobulin yang dapat
memunculkan sebuah respon dari sel fagosit. Kemampuan untuk mengenali
pathogen dengan mengaktivasi komplemen, serta efek pada sel fagosit penting
sebagai pertahanan host. (Black et al, 2004)
Seperti banyak mediator proses inflamasi, CRP memiliki efek pleiotropic.
sebagai pro-inflamasi dan anti-inflamasi. Selain efek anti inflamasi yang telah
dijelaskan, CRP telah terbukti menginduksi ekspresi interleukin-1 antagonis
reseptor dan meningkatkan pelepasan sitokin anti inflamasi interleukin - 10
sambil menekan sintesis interfero. Namun banyak fungsi lain yang
menganggapnya sebagai pro inflamasi. Sebagai contoh, CRP mengaktifkan
komplemen dan meningkatkan fagositosis. CRP mengatur ekspresi molekul
adhesi dalam sel endotel, menghambat endotel nitrat oksida sintase ekspresi
dalam sel endotel aorta, merangsang pelepasan IL - 8 dari beberapa jenis sel,
37
38
39
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimental kuasi dengan
rancangan randomized pretest postest group dan kontrol dengan single blinded
design.
40
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Februari 2014, bertempat di Unit
terapi LASER RSIA YK Madira Palembang. Pemeriksaan sampel darah dilakukan
di Balai Besar Laboratorium Kesehatan Daerah Sumatera Selatan.
Populasi
Muhammadiyah
Palembang.
Sampel
D. Besar Sampel
Besar sampel untuk penelitian eksperimental yang digunakan dalam
penelitian
n1
ini
=
n2
dihitung
=
menggunakan
(Z
rumus
+
sebagai
).
x1
S2
S12
=
n1
(n1-1)
+
S22
n2
berikut.
]
x2
(n2-1)
-2
Menurut penelitian Leal (2013), kadar CRP basal kelompok perlakuan: 38,7 +
44,0 mg/dL (n = 5), kadar CRP kelompok control 26,7 + 29,3 mg/dL (n = 4),
41
dengan batas kepercayaan () 95% dan power 80% (=0,2) sehingga besar
sampel:
S2 = [ 44,02 x (5-1) + 29,32 x (4-1)] / (5 + 4 2) = 1474,21
S
n1 = n2 =
38,3
2
/ (38,7 26,7)
= 8,9
Keterangan:
n
S1
S2
standar
standar
batas
jumlah
deviasi
sampel/subjek
kelompok
deviasi
kelompok
standar
kepercayaan
kesalahan
perlakuan
44,0
control
29,3
deviasi
tipe
gabungan
5
%)
1,64
n2
jumlah
sampel
minimal
masing-masing
kelompok
20
orang.
42
Kriteria
inklusi
dalam
penelitian
ini
adalah
sebagai
berikut.
a.
Jenis
kelamin
laki-laki
b.
Usia
18-24
tahun.
c.
Bukan kelompok atlet dan tidak melakukan aktifitas fisik secara rutin
(latihan
fisik
<
jam/minggu)
d.
e.
Bersedia
menjadi
objek
penelitian.
2. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi penelitian ini adalah sebagai berikut.
a.
Memiliki
riwayat
penyakit
b.
Menderita
c.
Perokok.
d.
Olahragawan.
e.
f.
Mengalami
trauma
g.
Menjalani
tindakan
h.
Mengkonsumsi
penyakit
obat
kardiovaskuler.
Diabetes
baik
tajam,
bedah
tumpul
dalam
antiinflamasi
Mellitus.
maupun
termal.
bulan
terakhir
satu
(steroid
dan
non
steroid)
F.
luka
atau
lengkap
sakit
mengikuti
Variabel
dalam
tahap
proses
penelitian.
penelitian.
Penelitian
43
1. Variabel independen :
-
Latihan
interval
Terapi
laser
berdaya
2.
intensitas
Kadar
G.
rendah
Variabel
Latihan
(LLLT)
dependen
Reactive
Definisi
a.
tinggi
Protein
Operasional
Interval
Intensitas
Tinggi
20
menit
b.
Terapi
laser
Definisi:
Penggunaan
sinar
semikonduktor
dengan
dan
pendinginan
berdaya
laser
berdaya
memaparkan
menit.
rendah
rendah
cahaya
ke
dari
(LLLT)
sumber
tempat
dioda
patologis
Cara:
Menggunakan LLLT dengan spesifikasi: jenis sinar infra red dengan panjang
gelombang 810nm, output 5mW, spot size 0,0028 cm2, power density
1,785 W/cm2, energi tiap spot 5 Joule, jumlah spot 8, total energi 40 Joule
44
selama
1000
detik.
kiri.
c.
pelindung
Kadar
laser.
Reactive
Protein
Definisi: Kadar C Reactive Protein pada plasma darah yang merupakan penanda
telah
terjadinya
kerusakan
jaringan
dan
inflamasi.
Cara:
Hasil
Teknik
Ukur
Skala
pemeriksaan
:
Kadar
menggunakan
CRP
Ukur:
dengan
immunoturbidimetry
satuan
mg/dL.
Nominal
45
Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Gambar 9. Low
Level Laser
Therapy (Weber,
2010)
Sumber
sinar
nm (infrared)
Output: 5 mW
Sphyngmomanometer ABN
Stetoskop Littman
Termometer air raksa ABN
Kacamata khusus laser
EKG
Sepeda statis
- Merk: Jaco
- Seri: JC 920
- Tahun Pembuatan: 2010
Metronom merk Wittner metronom pyramidenform
Gambar
10.
46
Tabung oksalat
Kasa alkohol
Plester
I. Cara Kerja
1.
2.
jumlah
sampel
terpenuhi.
Homogenisasi Sampel
Setelah melalui proses pengambilan sampel, sampel menjalani serangkaian
proses homogenisasi dengan berbagai pemeriksaan untuk membuktikan
bahwa seluruh sampel dalam keadaan fisiologis serta untuk menyamakan
kondisi awal. Pemeriksaan tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut.
Anamnesis
o
Riwayat
Riwayat
merokok,
penyakit
terdahulu,
47
Riwayat
trauma
dalam
enam
bulan
Riwayat
konsumsi
obat-obatan
Pemeriksaan
terakhir,
dan
suplemen,
vital
Pemeriksaan
Menghitung
nadi
Menghitung
frekwensi
Mengukur
sign
tekanan
darah,
dalam
nafas
semenit,
dalam
suhu
semenit,
tubuh
axial.
Melakukan
pemeriksaan
jantung
dengan
menggunakan
EKG
sebagai
intensitas
latihan
80%.
Perlakuan Sampel
a. Setelah menjalani proses homogenisasi sampel kemudian dibagi menjadi
dua kelompok, yakni kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.
b. Semua sampel menjalani proses pengambilan darah untuk pemeriksaan
kadar CRP basal. Pengambilan darah dilakukan di fossa cubiti lengan
48
kanan
sebanyak
cc
menit.
d. Segera setelah latihan, kelompok perlakuan diberi terapi laser yang diaplikasikan
secara kontak langsung tegak lurus pada 8 tempat di kedua tungkai,
masing-masing 2 titik pada m. gastrocnemius kanan dan kiri dan 2 titik
pada m. rectus femoralis kanan dan kiri selama 1000 detik
e. Pada kelompok kontrol tidak diberikan terapi laser, tetapi untuk
mendapatkan efek single blinded sampel diinstruksikan untuk berbaring
dan menggunakan kacamata pelindung laser. Kemudian probe laser
ditempelkan seperti halnya pada kelompok perlakuan, namun untuk
kelompok kontrol sumber laser tidak dihidupkan. Kelompok kontrol juga
menjalani
proses
ini
selama
1000
detik.
f. Semua sampel baik yang diberi LLLT maupun tidak, akan menjalani
proses
pengambilan
darah
30
menit
setelah
latihan
obat
anti
inflamasi.
49
merek
Terumo
sebanyak
3cc.
i. Semua sampel darah yang telah diambil segera dimasukkan kedalam tabung oksalat dan
dikirim ke laboratorium Besar Daerah Sumatera Selatan untuk pemeriksaan kadar
C
J.
Reactive
Pengolahan
1.
dan
Protein.
Analisis
Data
Pengolahan
Data
menggunakan
2.
software
Analisis
a.
SPSS
versi
20.0
Data
b.
c.
K.
Alur
Penelitian
50
Populasi
Matching
Sampel (n= 20)
)
Homogenisasi
Perlakuan (n = 10)
Kontrol (n = 10)
Latihan Interval
Intensitas Tinggi
Latihan Interval
Intensitas Tinggi
Tidak diberi
LLLT
51
BAB IV
JUSTIFIKASI ETIK
52
kelompok perlakuan akan diberi terapi laser 810nm, 40J, selama 1000 detik
pada delapan lokasi di otot rectus femoralis dan gastrocnemius kedua tungkai.
Kelompok kontrol hanya menerima plasebo dengan menempelkan probe pada
tempat yang sama tanpa menghidupkan laser. Kadar CRP kembali diukur 30
menit dan 24 jam setelah latihan. Pengambilan darah dilakukan pada tempat
yang sama dengan pengambilan darah pertama. Kadar CRP akan diperiksa
menggunakan alat imunoturbidimetri.
53
intensitas tinggi.
Berdasarkan azas manfaat perkembangan ilmu pengetahuan, maka peneliti
dan subjek penelitian akan mempersiapkan penelitian ini dengan sebaik
baiknya. Peneliti akan melakukan persiapan sesuai prosedur mencakup subjek
penelitian, alat dan bahan serta mempertimbangkan semua kemungkinan yang
terjadi di lapangan beserta solusi yang harus disiapkan agar tidak terjadi hal
hal yang tidak diinginkan dan mungkin berbahaya bagi subjek penelitian.
Segala beban dan resiko yang wajar akan dipikul sepenuhnya oleh peneliti.
Subjek akan diperlakukan dengan jujur dan adil dalam kerahasiaan dan semua
tindakan dilakukan atas persetujuan subjek yang bersangkutan.
C. Informed Consent
Subjek pada penelitian ini adalah mahasiswa pada Fakultas Kedokteran
Universitas Muhamadiyah Palembang. Sebelum melaksanakan penelitian,
peneliti akan memberikan penjelasan kepada subjek mengenai tujuan,
manfaat, prosedur dan resiko yang mungkin muncul selama penelitian.
Seluruh subjek penelitian menandatangani formulir persetujuan informed
consent setelah mendapatkan penjelasan. Peneliti akan menjunjung tinggi
kerahasiaan data diri subjek penelitian.
Selama proses penelitian, subjek akan diperlakukan dengan baik, dengan
memandang harkat dan martabat yang bersangkutan. Proses pengambilan
darah dilaksanakan oleh petugas terlatih dari Laboratorium Klinis YK Madira
dengan mengacu pada standar prosedur pelaksanaan pengambilan darah.
54
D. Pernyataan Akhir
Penelitian ini disusun berdasarkan kajian dari berbagai pustaka dan
penelitian sebelumnya yang telah memiliki landasan teori yang kuat.
Penggunaan manusia sebagai subjek dalam penelitian ini memenuhi kaidah
kerahasiaan dan menjunjung tinggi harkat dan martabat subjek. Peneliti yakin
bahwa penelitian ini dapat dilaksanakan dengan baik dan dapat memberikan
manfaat yang besar bagi kemajuan ilmu kedokteran.
E. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini
mempunyai landasan ilmiah yang kuat, bermanfaat, dilaksanakan dengan cara
yang baik, tidak membahayakan serta menjunjung tinggi kerahasiaan dan
kehormatan subjek. Peneliti mempunyai keyakinan bahwa penelitian ini layak
etik untuk dilaksanakan.
55
DAFTAR PUSTAKA
Abrisham, S.M., Kermani A., Ghahramani R., Jomeh J., Zare M. 2011.
Additive effects of low-level laser therapy with exercise on syndrome. J
Clin
Rheumatol
2011:30(10).
1346-1
Arimuko, A. 2008. Fisika Dasar Laser dalam Kursus Dasar Kedokteran laser
dan
Aplikasi
Laser
Bidang
Kedokteran.
Jakarta
Avadhanulu, M.N. 2001. An Introduction to Lasers theory and applications.
New
Delhi;
S.
Chand
&
Company
ltd.
Bjourdel, J., Christian, C., Roberta, T. C., Jan, T., et al. 2003. A Systematic
Review of Low Level Laser Therapy with Location-Spesific Doses for
Pain from Chronic Join Disorder. Australian Journal of Physiotherapy 49:
107-116.
Black, S., Kushner I. and David S. 2004. Minireviews: C-Reactive Protein.
J.Biol.Chem.
2004,
279:
48487-90.
Boutcher, S.H. 2010. Review Article: High Intensity Intermittent Exercise and
Fat
Loss.
Journal
of
Obesity
2011:1-10.
Breen, J. E. C., Wagner, H., Tseng, H. M., et al. 1996. Angiogenic Growth
Factor mRNA Responses in Muscle to a Single Bout of Exercise. J Appl
Physiol. 81(1):355-61, (http//www.jap.physiology.org, diakses 10 April
2013,
pukul
10.25
WIB).
Chen, C. H., Arany, P. H., Huang, Y. Y., Tomkinson, E. M., et al. 2009. Low
Level Laser Therapy AcEivates NF-kB via Generation of Reactive
Oxygen
Species
in
Mouse
embryonic
Fibroblast,
(http//www.spie.org.pdf, diakses 12 April 2013, pukul 11.25 WIB).
Christopher, H., Hopkins J.T., Todedd A., Jeff G., David B.,. 2004. Low level
Laser Therapy Facilitates Superficial Wound Healing in Humans. J Athl
Train,
2004.
39(3):223-9
Colman, W. R., Victor, J. M. Alexander, W. C., James, N. G., et al. 2006.
Hemostasis and Trombosis: Basic Principles and Clinical Practice. 5 th
Edition. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, USA.
56
Dragon, John E., Gibala. 1998. High Intensity Interval Training in Athlete. J
App
Physiol
119(8):
886-95
Filner, E. F. 2006. Low Level Laser Therapy-Clinicians View. Practical Pain
Management, (http://myml830.com/bernard-filner-laser-therapy, diakses 11
April
2012,
pukul
12.00)
Fox, Bompa J. and Mathews. 1998. Intensitas dan Volume dalam Latihan
Olahraga. Aplikasi Klinis. Jurnal Kedokteran UNY 5(2),
(http://majour.maranatha.edu/index.php/jurnalkedokteran/article/view/140,
diakses
1
Desember
2013,
pukul
13.00).
Frisca, Caroline, T. S., Ferry, S. 2009. Angiogenesis: Patofisiologi dan
Aplikasi
Klinis.
Jurnal
Kedokteran
Maranatha
8(2),
(http://majour.maranatha.edu/index.php/jurnalkedokteran/article/view/140,
diaksess
11
April
2012,
pukul
13.00).
Gasparyan, L., Grigory, H., Anu, M. 2004. Activation of Angiogenesis Under
Influence
of
Red
Low
Level
Laser
Radiation.
(http://www.emred.fi/pdfs/lf_2004_activation_of_angiogenesis.pdf, diakses 12
April
2013,
pukul
11.25
WIB).
Gavin, P. T., Rebecca, S. R., John, A. C., Kevin, A. Z. et al. 2007. No
Difference in the Skletal Muscle Angiogenic Response to Aerobic
Exercise Training between Young and Aged Men. Journal of Physiology
585
(1):
231-9.
Guyton dan Hall. 2013. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi Keduabelas.
Jakarta:
Elsevier.
Hamblin, R. H.
2008. Mechanisms of Low Level Light Therapy,
(http//www.photobiology.info/Hamblin.html,
diakses 9 April 2013,
pukul
11.25
WIB).
Hafstad, A. D., Boardman, N.T., Lund, J, et al. 2011. High Intensity Interval
Training Alters Substrate Utilization and Reduces Oxygen Consumption
in
the
Heart.
J
App
Physiol
111(5):1235-41.
Huang, Y. Y., Michael, H. Aaron, C. H. 2009. Low Level Laser Theraphy: an
Emerging Clinical Paradigm. Paul Scherrer Institut Newsroom,
(http//www.spie.org, diakses 20 April 2013, pukul 14.00)
Ihsan, M. 2005. Low Level Laser Theraphy Accelerates Collateral Circulation
and Enhances Microcirculation. J. Photomedicine and Laser Surgery
23(3):
289-94.
57
Junior, A. M., Beatriz, J. V., Luis, C. F., Fernando, M. A. 2009. Low Level
Laser Theraphy Increases Transforming Growth Factor-B2 Expression
and Induces Apoptosis of Ephitelial Cells During The Tissue Repair
Process.
Journal
of
Laser
Dentistry
17(3),
(http//www.laserdentistry.org.pdf, diakses 10 April 2013, pukul 10.15
WIB).
Kraus, R. M., Howard, W. S., Robert, C. V., Timothy, P. G. 2003. Circulating
Plasma VEGF Response to Exercise in Sendentary and EnduranceTrained
Man.
J.
Applied
Physiology
96:
1445-50.
Leal, J. E. C., Rodrigo A., Lucio F., Thiago D.M., Rafael P., Vanessa D.G.
2010. Effects of Low Level Laser Theraphy (LLLT) in the Development
of Exercise-Induced Skeletal Muscle Fatigue and Changes in
Biochemical Markers Related to Post Exercise Recovery. J. Orthopaedic
and Sport Physical Theraphy. (http//www.jospt.org.pdf. diakses 2
November
2013,
pukul
15.00)
Lau D.C., Cheing G..L. 2009. Managing Postmastectomy Lymphedema with
Low Level Laser Therapy. J Photomed Laser Surg 2009 oct:27(5): 7639.
Mariani, S. E. 2002. Perbandingan Efek Terapi Laser Berdaya Rendah Dengan
Diatermi Gelombang Pendek Dalam Pengurangan Nyeri dan Perbaikan
Fungsional Pada Nyeri Punggung Bawah Mekanik. Tesis Program Studi
Rehabilitasi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Martha, C. T, Guy, L., Linda, F. K., Jamie, B. P., et al. 2005. Greater Free
Plasma VEGF and Lower Soluble VEGF Receptor in Acute Mountain
Sickness.
J.
Applied
Physiology
98:
1626-29.
McKay, B.R., Peterson, D.H. and Kowalchuk, J.M. 2009. Effect of Short Term
High Intensity Interval Training vs. Continuous Training on Oxygen
Uptake Kinetics, Muscle Deoxygenation and Exercise Performance. J
App
Physiol
107(1):128-38
Moshkova, T. and Mayberry, J. 2005. Systematic Review: Its Time to Test
Low Level Laser Theraphy in Great Britain. Postgraduate Med J 81; 43641.
58
Pepys M.B. and Gideon M.H. 2003. C-Reactive Protein: a critical update. J.
Clin. Invest. 111:18051812. (http//www.jci.org.pdf, diakses 12
November
2013,
pukul
14.00).
Safavi, S. M., Bahram, K., Mostafa, E., Alireza, F., et al. 2008. Effect of Low
Level He-Ne Laser Irradiation on the Gene Expression of IL-1, TNF,
IFN, TGF, FGF, and PDGF in Rats Gingiva. Lasers Medical Sci Journal
23(3):
331-335.
Samadi, H. P. 2008. Struktur dan Reseptor Human Vascular Endhotelial
Growth
Factor
(VEGF),
(http://www.indocancer.com/update/article.detail.asp?cat=&id=9, diakses 10
April
2013,
pukul
10.15
WIB).
Saracino, S., Marco, M., Germana, M., Renato, Pol., et al. 2009. Superpulsed
Laser Iradiation Increases Osteoblast Activity via Modulation of Bone
Morphogenic Factors. Lasers Surgery Med J 41(4): 298-304).
Schindl, A., Merwald, H., Schindl, L., Kaun, C., et al. 2003. Direct
Stimulatory Effect of Low-Intensity 670 nm Laser Irradiation on Human
Endothelial Cell Proliferation. British J Dermatology 148(2): 334-6.
Silva, T. C., Thais, M. O, Vivien, T. S., Thiago, J. D., et al. 2009. In vivo
Effects on the Expression of Vascular Endhothelial Growth Factor-A 165
Messenger RNA of an Infrared Diode Laser Associated or not with
Visible Red Dioda Laser. (http//www.laserdentistry.org.pdf, diakses 10
April
2013,
pukul
10.15
WIB)
Smith, Paul B.L., and David G.J. 1999. Review Article: The Scientific Basis
for High Intensity Interval Training. Sports Med 2002; 32(1) 53-73
Soekarman. 1991. Latihan Interval dan Penerapannya pada Atlet. Skripsi:
Pendidikan
Olahraga
Universitas
Negeri
Malang
Stewart L.K., Michael G. F., Wayne W., Bruce A. C., Paul R., Kyte L., Erin T.
2009. The Influence of Exercise Training on Inflammatory Cytokines and
C-Reactive Protein. Journal of the American Collage of Sport Medicine.
(http//www.acsm-msse.org.pdf. diakses 2 November 2013, pukul 20.00)
Subadi dan Mei, W. 2000. Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Medik
Menghadapi Tantangan Masa Depan. Mukernas PERDOSRI, Surabaya.
Synder, M. L., and Seitz, L. 1996. Therapeutic Uses of Light in Rehabilitation.
2nd
edition.
FA
Davis
Co.,
Philadelphia.
Tandiyo, D. K., Fathur, R., Patricia, M. K., Bakti, S., Irwan, K. 2012.
Perbedaan hasil terapi Low Level Laser Therapy Dosis 2 J/cm 2 dan 4
59