Anda di halaman 1dari 59

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sinar LASER (Light Amplification by Stimulated Emmission of Radiation)
pertama kali ditemukan oleh ilmuwan fisika Theodore Maiman yang kemudian
dipublikasikan pada akhir tahun 1960. Publikasi tersebut mengilhami para
ilmuwan untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai kegunaan dan efek
Laser dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan (Weber, 2010).
Laser merupakan suatu alat yang memancarkan radiasi elektromagnetik,
biasanya dalam bentuk cahaya yang tidak dapat dilihat maupun dapat lihat dengan
mata normal, melalui proses pancaran terstimulasi. Pancaran laser biasanya
tunggal, memancarkan foton dalam pancaran koheren. Sinar laser terbuat dari
cahaya yang semuanya terdiri dari panjang gelombang yang sama. Sinar laser
bergerak dalam arah yang sama persis, tidak menyebar dan tidak melemah.
Karena sifatnya tersebut, sinar laser banyak dimanfaatkan dalam berbagai bidang,
misalnya pada bidang pelayanan (jasa), industri, astronomi, fotografi, elektronika,
komunikasi dan bidang kedokteran. (Filner, 2006)
Pada bidang kedokteran dikenal ada dua jenis intensitas laser, yaitu laser
berdaya tinggi (high level) dan laser berdaya rendah (low level). Klasifikasi
tersebut didasarkan pada panjang gelombang yang dimiliki sinar tersebut. Secara
umum untuk tujuan rehabilitasi medik digunakan radiasi laser berdaya rendah
(LLLT) dengan panjang gelombang antara 600-1100nm, karena diluar rentang

tersebut absorbsi dikulit sangat besar sehingga penetrasi ke dalam menjadi sangat
kurang (Mariani, 2002).
Berdasarkan systematic review yang dilakukan Moshkovsa dan Mayberry
tahun 2005, tercatat sekitar 2500 tulisan mengenai LLLT telah dipublikasikan
sejak penemuannya tahun 1967. Dari berbagai tulisan tersebut, mereka dapat
menyimpulkan bahwa LLLT cukup aman dan efektif untuk terapi. Review ini juga
mencatat sekitar 85 instansi pendidikan di 37 negara saat ini telah menggunakan
LLLT sebagai modalitas terapi. Kepercayaan publik terhadap LLLT semakin baik
mulai tahun 2002 ketika Food and Drug Association mengeluarkan lisensi
keamanannya untuk terapi pada bidang kedokteran (Wang, 2004).
Hasil positif yang dikemukakan dari berbagai penelitian memunculkan
pertanyaan mengenai mekanisme seluler paparan sinar laser pada jaringan hidup.
Teori yang paling banyak digunakan saat ini adalah sinar laser memiliki efek
langsung pada chromophore di mitokondria yang kemudian mengaktifkan proses
transkripsi di inti sel. Proses transkripsi inilah yang memungkinkan terjadinya
efek perbaikan sirkulasi, perbaikan jaringan, dan anti inflamasi (Hamblin, 2008;
Moshkovska dan Mayberry, 2005; Wang, 2004; Weber, 2010).
Penggunaan LLLT sebagai bagian dari terapi medis mencakup berbagai
bidang kedokteran. Bidang yang cukup banyak menggunakan terapi ini adalah
Rehabilitasi Medik dan Kedokteran Olahraga. Berbagai penelitian menyimpulkan
LLLT memiliki efek analgetik serta anti inflamasi pada otot, sendi, dan saraf
seperti penyakit Carpal Tunnel Syndrom, Low Back Pain, Rheumatoid Arthritis,
Polineuropati, Tension Headache, dan Sport Injury (Filner, 2006). Sebuah laporan

meta analisis (Bjourdel et al, 2003) dari Jurnal Fisioterapi Australia


menyimpulkan bahwa LLLT dapat mengurangi nyeri pada tingkat yang bermakna
serta meningkatkan status kesehatan secara umum. Penelitian Abrisham et al
(2011) menunjukkan bahwa gabungan LLLT dan latihan fisik lebih efektif
daripada terapi latihan fisik sendiri dalam menghilangkan nyeri dan meningkatkan
ROM bahu pada pasien dengan sindrom subacromial.
Latihan fisik dapat memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek
kehidupan seperti psikologis, sosial, ekonomi, budaya, politik dan fungsi biologis.
Terhadap fungsi biologis latihan fisik merupakan modulator dengan spectrum
pengaruh yang luas dan dapat terjadi pada beberapa tingkat fungsi. Pengaruh
latihan fisik terhadap fungsi biologis dapat berupa pengaruh positif yaitu
memperbaiki maupun pengaruh negatif yaitu menghambat atau merusak
(Harjanto, 2005)
Agar latihan fisik dapat memenuhi sasaran yang diinginkan hendaknya
diprogram berdasarkan pada dosis latihan yang tepat, diantaranya meliputi
intensitas latihan, lama latihan dan frekuensi latihan. Latihan interval merupakan
salah satu bentuk latihan fisik dengan intensitas dan lama latihan tertentu yang
sering diterapkan pada atlet olahraga. Latihan interval adalah latihan berulangulang yang diselingi dengan istirahat, kemudian latihan lagi, sehingga di dalam
satu set latihan terdapat beberapa kali waktu istirahat (Fox, 1998).
Rushall (1990) membagi latihan interval ini menjadi dua intensitas latihan
yaitu high intensity (80-90% Denyut Jantung Maksimal) dan low intensity (7080% Denyut Jantung Maksimal). Latihan interval intensitas tinggi (High Intensity

Interval Training) merupakan latihan selang-seling antara intensitas tinggi dan


rendah, biasanya dilaksanakan aerob dan anaerob dengan rasio perbandingan
antara kerja dan istirahat adalah 1:1 atau 1:2. Dilihat dari sistem penggunaan
energi, latihan interval terutama latihan interval intensitas tinggi lebih dominan
menggunakan metabolisme anaerobik sehingga akan lebih cepat menimbulkan
kelelahan, kerusakan jaringan dan inflamasi (Soekarman, 1991).
Salah satu penanda inflamasi dan kerusakan jaringan yang ditemukan dalam
darah adalah C Reactive Protein (CRP). CRP adalah protein fase akut yang yang
disintesis oleh hati dan kadarnya akan meningkat dalam berbagai kondisi
peradangan seperti infeksi bakteri, virus, jamur, penyakit rematik, penyakit
inflamasi serta pada keganasan dan nekrosis atau cedera jaringan. (Thompson D
et al, 1999)
Selama respon fase akut, kadar CRP meningkat pesat dalam beberapa menit
dari fase akut dan mencapai puncaknya pada 24 sampai 48 jam, lalu CRP
menurun relatif singkat dengan waktu paruh yang konstan sekitar 19 jam dan
ditentukan oleh tingkat produksi dan keparahan pemicunya. (Pepys MB et al,
2003)
Beberapa penelititan telah dilakukan untuk mengetahui efek latihan terhadap
CRP sebagai penanda inflamasi dan kerusakan jaringan. Salah satunya adalah
penelitian Smith et al (1999) yang menyimpulkan bahwa latihan marathon secara
teratur selama 9 bulan dapat menurunkan kadar CRP pada 12 atlet. Penelitian
Stewart et al (2009) menyimpulkan bahwa latihan aerobic selama 12 minggu
dapat menurunkan kadar serum CRP pada orang sehat sehingga menurunkan

resiko penyakit kardiovaskuler. Namun hal yang berbeda ditemukan pada


penelitian Christopher et al (2004) yang menyimpulkan bahwa latihan intensitas
tinggi selama 1 minggu dapat meningkatkan kadar CRP pada laki-laki sehat yang
tidak terlatih, hal ini diperkirakan terjadi karena adanya proses inflamasi akibat
kerusakan jaringan tubuh.
Penelitian mengenai pengaruh LLLT terhadap CRP telah dilakukan untuk
mengetahui efek terapi LLLT pada latihan fisik, salah satunya adalah penelitian
JEC Leal et al (2008) yang menyimpulkan bahwa terapi LLLT sebesar 5 Joule
pada 4 lokasi di otot biceps dapat memperlambat timbulnya kelelahan otot.
Kemudian JEC Leal et al (2010) melanjutkan penelitiannya dan menyimpulkan
juga bahwa pemberian LLLT sebesar 6 Joule pada otot biceps di 2 lokasi sebelum
latihan, dapat meningkatkan daya tahan terhadap repetisi fleksi siku dan
menurunkan kadar laktat darah, creatine kinase, dan C-reactive protein setelah
latihan. Penelitian yang lebih jauh membuktikan bahwa terapi LLLT telah
menunjukkan hasil positif dalam mengurangi kelelahan otot rangka selama latihan
fisik pada wanita lansia (Toma et al, 2013)
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa LLLT memiliki efek
antiinflamasi dan mengurangi tingkat kerusakan jaringan di otot rangka pada fase
recovery. Peneliti terdahulu hanya meneliti pengaruh LLLT sebelum latihan fisik,
namun penulis belum menemukan publikasi mengenai pengaruh LLLT setelah
latihan fisik terhadap kadar CRP. Oleh karena itu, penulis merasa perlu untuk
melakukan penelitian mengenai pengaruh LLLT setelah latihan fisik terhadap
kadar CRP.

B. Rumusan Masalah
Low Level Laser Therapy (LLLT) dipercaya juga berperan dalam fase
pemulihan karena memiliki efek memperbaiki metabolisme tubuh dengan cara
mengeliminasi sisa metabolisme. Akan tetapi masih sangat sedikit bukti ilmiah
yang mengungkapkan apakah Low Level Laser Therapy (LLLT) mempengaruhi
kadar C Reactive Protein (CRP) pada proses pemulihan setelah Latihan Interval
Intensitas Tinggi

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh Low Level Laser Therapy (LLLT) terhadap
kadar C Reactive Protein (CRP) pada proses pemulihan setelah Latihan
Interval Intensitas Tinggi

2. Tujuan Khusus
a. Mengukur kadar C Reactive Protein (CRP) pada kelompok perlakuan
dan kontrol sebelum melakukan latihan interval intensitas tinggi.
b. Mengukur kadar C Reactive Protein (CRP) pada kelompok perlakuan
dan kontrol 30 menit setelah melakukan latihan interval intensitas
tinggi dengan atau tanpa pemberian Low Level Laser Therapy (LLLT).
c. Mengukur kadar C Reactive Protein (CRP) pada kelompok perlakuan
dan kontrol 24 jam setelah melakukan latihan interval intensitas tinggi
dengan atau tanpa pemberian Low Level Laser Therapy (LLLT).

d. Menganalisis perbedaan kadar C Reactive Protein (CRP) pada


kelompok perlakuan sebelum dan 30 menit setelah latihan interval
intensitas tinggi
e. Menganalisis perbedaan kadar C Reactive Protein (CRP) pada
kelompok kontrol sebelum dan 30 menit setelah latihan interval
intensitas tinggi
f. Menganalisis perbedaan kadar C Reactive Protein (CRP) pada
kelompok perlakuan 30 menit dan 24 jam setelah latihan interval
intensitas tinggi.
g. Menganalisis perbedaan kadar C Reactive Protein (CRP) pada
kelompok kontrol 30 menit dan 24 jam setelah latihan interval
intensitas tinggi.
h. Menganalisis perbedaan kadar C Reactive Protein (CRP) antara
kelompok perlakuan dan kontrol 30 menit setelah latihan interval
intensitas tinggi.
i. Menganalisis perbedaan kadar C Reactive Protein (CRP) antara
kelompok perlakuan dan kontrol 24 jam setelah latihan interval
intensitas tinggi.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai pengaruh Low
Level Laser Therapy (LLLT) sebagai antiinflamasi dalam mempercepat

proses pemulihan setelah latihan interval intensitas tinggi, yang dinilai


dengari biomarker CRP sebagai indikator inflamasi.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat menjadi dasar untuk merekomendasikan
penggunaan Low Level Laser Therapy (LLLT) dalam mempercepat proses
pemulihan pada individu dengan aktifitas fisik yang tinggi.
3. Manfaat Subjek
Melalui penelitian ini diharapkan subjek mengetahui dan mendapatkan
manfaat positif Low Level Laser Therapy (LLLT) dalam mempercepat
proses pemulihan setelah aktifitas fisik yang tinggi

F. Kerangka Konsep

Latihan Intensitas Tinggi

Low Level Laser Therapy


(LLLT)
Kompleks IV mitokondria

10

Stress oksidatif
Kerusakan membran sel
dan jaringan

Peningkatan reaksi redoks


Peningkatan transport
elektron

Makrofag mensekresi sitokin


proinflamasi IL-6
C-Reactive Protein
(CRP)
Keterangan:
: menyebabkan

: dilakukan

: mencegah

: tidak dilakukan

Gambar 2. Kerangka Konsep

G. Premis
1. Penelitian Stewart et al (2009) menyimpulkan bahwa latihan aerobic
selama 12 minggu dapat menurunkan kadar serum C-reactive protein pada
orang sehat sehingga menurunkan resiko penyakit kardiovaskuler.
2. Penelitian Christopher et al (2004) yang menyimpulkan bahwa latihan
intensitas tinggi selama 3 minggu dapat meningkatkan kadar C-reactive
protein pada laki-laki sehat yang tidak terlatih, hal ini diperkirakan terjadi
karena adanya proses inflamasi dan kerusakan jaringan tubuh.
3. JEC Leal et al (2008) yang menyimpulkan bahwa pemberian LLLT pada 4
lokasi di otot biceps dapat memperlambat timbulnya kelelahan otot pada
atlit.

11

4. Penelitian JEC Leal et al (2010) menyimpulkan bahwa pemberian LLLT


sebelum latihan, dapat meningkatkan daya tahan terhadap repetisi fleksi
siku dan penurunan kadar laktat darah, creatine kinase, dan C-reactive
protein setelah latihan.
5. Toma et al (2013) menyimpulkan bahwa pemberian LLLT menunjukkan
efek positif dalam mengurangi kelelahan otot rangka selama latihan fisik
pada wanita lansia.
6. Abrisham SM et al (2011) menunjukkan bahwa gabungan LLLT dan
aktifitas fisik lebih efektif daripada terapi latihan sendiri dalam
menghilangkan nyeri dan meningkatkan ROM bahu pada pasien dengan
sindrom subacromial.

H. Hipotesis
H1:

Low Level Laser Therapy (LLLT) mempengaruhi kadar C Reactive


Protein (CRP) 30 menit setelah latihan interval intensitas tinggi
dibanding kontrol .

Low Level Laser Therapy (LLLT) mempengaruhi kadar C Reactive


Protein (CRP) 24 jam setelah latihan interval intensitas tinggi
dibanding kontrol .

H0:

Low Level Laser Therapy (LLLT) tidak mempengaruhi kadar C


Reactive Protein (CRP) 30 menit setelah latihan interval intensitas

12

tinggi dibanding kontrol .

Low Level Laser Therapy (LLLT) tidak mempengaruhi kadar C


Reactive Protein (CRP) 24 jam setelah latihan interval intensitas tinggi
dibanding kontrol .

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

13

A. Latihan Fisik
Latihan fisik dapat memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan
seperti psikologis, sosial, ekonomi, budaya, politik dan fungsi biologis. Terhadap
fungsi biologis, latihan fisik merupakan modulator dengan spektrum pengaruh
yang luas dan dapat terjadi pada beberapa tingkat fungsi. Pengaruh latihan fisik
terhadap fungsi biologis dapat berupa pengaruh positif yaitu memperbaiki
maupun pengaruh negatif yaitu menghambat atau merusak (Harjanto, 2005)
Latihan fisik adalah pergerakan tubuh yang dilakukan otot dengan terencana
dan berulang yang menyebabkan peningkatan pemakaian energi dengan tujuan
memperbaiki kebugaran fisik (Pedriatics, 1994). Definisi lain, latihan fisik atau
exercise adalah subkelompok aktifitas fisik berupa gerakan tubuh yang terencana,
terstruktur dan repetitive (berulang) untuk memperbaiki atau memulihkan satu
atau lebih komponen kebugaran fisik (Halliwell and Whiteman, 2004).
Latihan fisik berdasarkan sumber tenaganya atau pembentukan ATP melalui
tiga sistem, yaitu 1) Sistem aerobik. 2) Sistem glikolisis anaerobik (Lactic acid
system) dan 3) Sistem ATP Creatinin Phospat (phosphagen system) (Fox, 1993).
Aktivitas aerobik merupakan latihan yang bergantung terhadap ketersediaan
oksigen untuk membantu proses pembakaran sumber energi sehingga juga akan
bergantung pada kerja optimal organ-organ tubuh seperti jantung paru-paru dan
juga pembuluh darah untuk mengangkut oksigen agar proses pembakaran sumber
energi dapat berjalan sempurna. Latihan ini biasanya merupakan latihan olahraga
dengan intensitas rendah-sedang yang dapat dilakukan secara kontinyu dalam
waktu yang cukup lama. (Guyton, 2006)

14

Latihan anaerobik merupakan latihan dengan intensitas tinggi yang


membutuhkan energi yang cepat dalam waktu yang singkat namun tidak dapat
dilakukan secara kontinu untuk durasi waktu yang lama. Latihan ini juga biasanya
maksimal akan menyebabkan akumulasi asam laktat dalam otot dan darah
(Bompa, 1990; Fox, 1993).
Pada latihan fisik terjadi peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan ini akan
mencapai maksimal saat penambahan beban kerja tidak mampu meningkatkan
konsumsi oksigen. Hal ini dikenal dengan konsumsi oksigen maksimum (VO2
max). Sesudah VO2 max tercapai, kerja ditingkatkan dan dipertahankan hanya
dalam waktu singkat dengan metabolisme anaerob pada otot yang melakukan
aktifitas. Secara teoritis, VO2 max dibatasi oleh kardiak output, kemampuan
sistem respirasi untuk membawa oksigen darah, dan kemampuan otot yang
bekerja untuk menggunakan oksigen. Faktanya, pada orang normal (kecuali pada
atlet yang sangat terlatih), kardiak output adalah faktor yang menentukan VO2
max (Bompa, 1990).
Pengaruh latihan fisik dapat seketika yang disebut respon akut dan pengaruh
jangka panjang akibat latihan yang teratur dan terprogram yang disebut adaptasi.
Termasuk respon akut adalah bertambahnya frekwensi denyut jantung,
peningkatan frekwensi pernafasan, peningkatan tekanan darah dan peningkatan
suhu badan. Termasuk adaptasi antara lain peningkatan masa otot, bertambahnya
masa tulang, bertambahnya sistem pertahanan antioksidan serta penurunan
frekwensi denyut jantung istirahat (Sutarina dan Tambunan, 2004).
Latihan fisik yang dapat meningkatkan sistem pertahanan antioksidan adalah

15

latihan fisik dengan intensitas rendah dan intensitas sedang, karena aktifitas fisik
pada tingkat ini mengacu pada program aktifitas fisik yang dirancang untuk
meminimalkan pengeluaran radikal bebas. Sedangkan latihan fisik dengan
intensitas tinggi dapat menimbulkan inflamasi dengan meningkatkan jumlah
leukosit dan neutrofil baik dalam sirkulasi maupun jaringan (Cooper, 2000;.
Nayanatara, 2004)

1. Latihan Interval
Latihan Interval (Interval Training) adalah latihan atau sistem latihan yang
diselingi interval-interval berupa masa istirahat. Jadi dalam pelaksanaannya
adalah

latihan-istirahat-latihan-istirahat-latihan-istirahat

dan

seterusnya.

Interval training merupakan cara latihan yang penting untuk dimasukan ke


dalam

program

latihan

keseluruhan.

Banyak

pelatih

menganjurkan

menggunakan interval training untuk melaksanakan latihan karena hasilnya


sangat positif untuk mengembangkan daya tahan keseluruhan maupun
stamina atlet. (Noakes, 1991)
Latihan interval dapat dilakukan dalam semua cabang olahraga yang
membutuhkan daya tahan dan stamina, seperti atletik, bola basket, renang,
voli, sepakbola, bulutangkis dan sebagainya. Bentuk latihan interval dapat
berupa latihan lari (interval running) atau renang (interval swimming) dapat
pula dilakukan dalam program weight training maupun circuit training
disesuaikan dengan kemampuan atlet. (Fox, 1994)
Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam interval training, yaitu;

16

a. intensitas/beban

latihan:

dapat

diterjemahkan

kedalam

tempo,

kecepatan dan beratnya beban.


b. lamanya latihan: dapat dilihat dari jarak tempuh atau waktu
c. repetisi: dapat ditinjau dari ulangan latihan yang harus dilakukan, dan
d. recovery: masa istirahat atau pemulihan diantara latihan-latihan.
(Noakes, 1991)
Ada beberapa hal yang mempengaruhi fase recovery diantaranya usia,
jenis kelamin, lingkungan, tipe serabut otot yang digunakan dalam latihan,
tipe exercise dan sistem energi yang digunakan. (Fox 1984; Noakes 1991).
Metode recovery ada 3 macam yaitu recovery alami dengan istirahat aktif
dan pasif, recovery dengan fisioterapi seperti massage, heat or cold terapi
serta terapi oksigen atau aerotheraphy dan recovery secara psikologis
dengan pemulihan Sistem Syaraf Pusat. (Dragon 1978; Sauberlich, Dowdi
dan Skala 1994)
Akhir-akhir ini beberapa penelitian internasional mengungkapkan
bahwa LLLT juga berperan dalam fase recovery pada atlet karena memiliki
efek memperbaiki metabolisme tubuh dengan cara mengeliminasi sisa
metabolisme. Diantaranya, penelitian

JEC Leal et al (2008) yang

menyimpulkan bahwa pemberian LLLT sebesar 5 Joule pada otot dapat


memperlambat timbulnya kelelahan otot. Penelitian Toma et al (2013),
juga membuktikan bahwa pemberian LLLT telah menunjukkan hasil
positif dalam mengurangi kelelahan otot rangka selama latihan fisik pada
wanita lansia.

17

2. Latihan Interval Intensitas Tinggi


Rushall (1990) membagi latihan interval ini menjadi dua intensitas latihan
yaitu high intensity (80-90% Denyut Jantung Maksimal) dan low intensity
(70-80% Denyut Jantung Maksimal). Sedangkan denyut jantung maksimal
yang boleh dicapai pada saat melakukan latihan adalah 220 umur (dalam
tahun). (Kosasih E.1993)
Latihan interval intensitas tinggi (High Intensity Interval Training atau
High Intensity Intermittent Exercise) merupakan latihan selang-seling antara
intensitas tinggi dan perlahan, biasanya dilaksanakan aerob dan anaerob
dengan rasio perbandingan antara kerja dan istirahat adalah 1:1 atau 1:2.
Intensitas latihan dapat berlangsung beberapa detik hingga beberapa menit,
dengan dipisahkan beberapa menit istirahat atau latihan intensitas rendah.
Strategi umum HIT adalah sesi latihan yang menggunakan durasi tetap
berulang pada beban kerja yang relatif tinggi. (Talanian et al, 2007)
Dilihat dari sistem penggunaan energi, latihan interval terutama latihan
interval intensitas tinggi lebih dominan menggunakan metabolisme anaerobik
sehingga akan lebih cepat menimbulkan kelelahan, kerusakan jaringan dan
inflamasi (Soekarman, 1991).

18

Gambar 3. Metode Latihan Interval Intensitas Tinggi (Trapp et al, 2008)

Latihan interval intensitas tinggi merupakan bentuk penyempurnaan


latihan interval, periode perubahan strategi latihan pada latihan anaerobik
intensitas pendek dengan sedikit periode pemulihan. Latihan interval
intensitas tinggi adalah bentuk latihan kardiovasculer dengan sesi yang dapat
bervariasi dari 4-30 menit. Latihan intensitas pendek ini memberikan
peningkatan kondisi dan kemampuan atletik, meningkatkan metabolisme
glukosa dan meningkatkan pembakaran lemak. (Noakes, 1991)
Satu sesi latihan interval intensitas tinggi terdiri dari periode pemanasan, 3
sampai 10 repetisi latihan intensitas tinggi, latihan intensitas sedang untuk
pemulihan (recovery) dan diakhiri periode pendinginan. Latihan intensitas
tinggi harus dilakukan mendekati intensitas maksimum. Latihan menengah
harus sekitar 50% intensitas. Jumlah pengulangan dan panjang masingmasing tergantung pada latihan, tetapi paling sedikit tiga repetisi dengan
hanya 20 detik pemulihan (Fox, 1994)
Tidak ada formula yang spesifik untuk latihan interval intensitas tinggi ini,
tergantung pada tingkat perkembangan kardiovaskular seseorang. Formula
yang umum digunakan adalah rasio latihan 2:1 dengan periode pemulihan,
misalnya 30-40 detik berlari cepat diselingi dengan 15-20 detik berjalan.
(Soekarman, 1991)

B. Low Level Laser Therapy (LLLT)

19

1. Sejarah LASER
Laser adalah akronim dari light amplification by stimulated emission of
radiation. Laser pertama kali dipresentasikan ke publik pada akhir 1960an
oleh Theodore Maiman. Penggunaan laser pada bidang medis diawali pada
tahun 1967 oleh ilmuwan Hungaria, Endre Mester, dari Universitas
Semmelweis, Budapest. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui
hubungan radiasi laser dengan kejadian kanker pada tikus. Percobaan tersebut
membagi tikus yang telah dicukur bulu bagian dorsalnya

menjadi dua

kelompok. Kelompok yang pertama diberikan perawatan dengan LLLT jenis


sinar ruby, sedangkan kelompok yang kedua menjadi kontrol. Hasil penelitian
cukup mengejutkan, karena pada kelompok perlakuan tidak didapati gejala
kanker, justru bulu tikus tumbuh lebih cepat dibanding kontrol. Peristiwa ini
adalah demonstrasi pertama dari laser biostimulasi. Karena hasil temuannya,
Endre Mester disebut sebagai Bapak biostimulasi (Hamblin, 2008).

2. Prinsip Kerja LASER


Prinsip pembangkit laser menggunakan teori dasar atom. Normalnya
semua atom berada pada tingkat energi paling rendah. Keadaaan tersebut
dinamakan ground level. Jika suatu foton atau partikel sinar diarahkan pada
sebuah atom, maka kemungkinan yang terjadi adalah foton tersebut dapat
diabsorbsi, direfleksikan, atau ditransmisikan. Apabila partikel direfleksikan
atau ditransmisikan maka tidak akan terjadi perubahan energi sinar, namun
jika foton diabsorbsi akan terjadi peningkatan energi pada elektron orbit. Satu

20

atau lebih elektron mengalami perubahan orbit dari posisi dalam ke orbit yang
lebih perifer. Atom yang telah menerima energi tersebut dikatakan dalam
kondisi

excited

(Synder

dan

Seitz,

1996;

Hamblin

2008).

Gambar 4. Atom dalam


Kondisi Excited karena
Absorbsi Foton
(Synder dan Seitz, 1996)

Excited

atom bersifat tidak stabil dan akan berusaha kembali pada

keadaan semula (ground state) dengan cara yang berbeda-beda, dalam waktu
singkat, tanpa stimulasi eksternal lebih jauh. Fenomena ini menghasilkan
emisi sinar spontan (spontaneous emission). Jika dibiarkan, proses ini akna
menghambat level ransfer energi yang dibutuhkan untuk radiasi laser.

Gambar 5. Emisi Spontan


Atom yang Tereksitasi (Synder
dan Seitz, 1996)

Tetapi jika sebuah foton dengan energi yang tepat menumbuk sebuah atom
yang sedang tereksitasi, atom tersebut akan segera terstimulasi untuk
mengemisikan kelebihan energinya dan melakukan transisi ke ground state.
Proses ini disebut stimulated emission. Foton yang diemisikan merupakan
suatu amplifikasi radiasi yang distimulasi (amplification of stimulating

21

radiation)

(Synder

dan

Seitz,

1996;

Subadi

2000).

Gambar 6. Emisi
Terstimulasi (Synder dan
Seitz, 1996)
Dalam sebuah laser, ketika elektron distimulasi oleh suatu sumber tenaga
eksternal dengan kecepatan tinggi, gabungan foton-foton disearahkan dalam
ruang pantul (reflecting chamber). Ketika menumbuk cermin pantul perak
yang semipermeabel, foton-foton dipantulkan balik ke cermin pantul
(reflecting mirror). Refleksi foton bolak-balik antara kedua cermin melalui
medium laser selanjutnya akan mengaktivasi sinar. Proses tersebut
berlangsung terus dengan semakin banyak foton yang terstimulasi, hingga
ruang tidak mampu menampung level energi tersebut. Akhirnya, foton
dipacarkan melalu cermin semipermeabel dan keluar melalui kabel serat optik
(Synder

dan

Seitz,

1996;

Subadi,

2000;

Mariani

2002)

Gambar
7. Prinsip
Kerja Sinar
Laser (Subadi et al, 2000)

Serat optik adalah filamen serupa benang yang terbuat dari kaca yang

22

mengarahkan foton yang terstimulasi ke arah permukaan yang diterapi. Ketika


foton melalui jarum silindris, beberapa exited atom dalam reflecting chamber
mulai kembali ke ground state. Proses emisi spotan ini menyebabkan
intensitas foton yang diemisikan ke jaringan berkurang. Tipe lainnya memakai
dioda pada ujung aplikator yang lebih baik daripada serat optik (Synder dan
Seitz,

1996;

Subadi,

2000;

Mariani

2002).

3. Sifat-Sifat LASER
Ada tiga sifat karakteristik dasar yang membedakan sinar laser dengan
sumber sinar yang lain, yaitu koheren, monokromatis dan pancaran yang
terkolimasi. Sifat koheren berarti semua foton yang diemisi dari tiap-tiap
molekul mempunyai fase panjang gelombang sama. Karena memiliki fase
yang sama, gelombang-gelombang tersebut dikatakan temporary coherent.
Mereka juga berjalan dalam arah yang sama, sehingga disebut spatial
coherent. Karena sifat inilah laser dapat difokuskan dengan lensa menjadi spot
yang

sangat

kecil

(Subadi,

2000;

Mariani

2002).

Monokromatis didefinisikan sebagai spesifitas sinar dalam panjang


gelombang tertentu dengan frekwensi yang sama. Sifat ini memberi sifat
murni pada sinar laser yang tidak ditemukan pada sumber sinar lainnya. Jika
spesifitas ini berada dalam spektrum yang dapat dilihat, maka akan tampak
sebagai warna tunggal. Jika sinar ini dilewatkan pada sebuah prisma, maka
akan keluar sinar dengan warna yang sama seperti sinar yang masuk. Sebagai
contoh pada sinar He-Ne (Helium-Neon) akan menghasilkan warna merah.

23

Pancaran laser terkolimasi dengan baik, artinya divergensi atau pemisahan


foton minimal, sehingga sinar berjalan paralel pada jarak tertentu (Subadi,
2000;

Mariani

2002).

4. Medium LASER
Menurut medium yang digunakan untuk menghasilkan sinar, laser dapat
diklasifikasikan

sebagai

berikut.

Medium padat, misalnya laser Ruby (694,3nm), laser Nd-YAG


(1060nm),

dan

laser

dioda

semikonduktor

(Gallium-Arsenide).

Medium gas, misalnya helium-neon (He-Ne) (632,8 nm), argon (476,5514,5

nm)

dan

karbondioksida

(10.600

nm).

Medium cair, misalnya dye laser (laser zat warna) yang panjang
gelombangnya

5. Intensitas

dapat

diatur.

LASER

Pada bidang kedokteran dikenal ada dua jenis intensitas laser, yaitu laser
berdaya tinggi (high level) dan laser berdaya rendah (low level). Klasifikasi
tersebut didasarkan pada panjang gelombang yang dimiliki sinar tersebut.
Secara umum untuk tujuan rehabilitasi medik digunakan radiasi laser berdaya
rendah dengan panjang gelombang antara 600-1100nm, karena diluar rentang
tersebut absorbsi dikulit sangat besar sehingga penetrasi ke dalam menjadi
sangat kurang (Mariani, 2002). Untuk terapi jaringan superfisial digunakan
panjang gelombang 600-700nm dan untuk jaringan yang lebih dalam

24

digunakan radiasi 780-950nm. Panjang gelombang antara 700-770nm tidak


digunakan karena tidak terbukti memiliki efektifitas terhadap jaringan
(Hamblin,

2008).

Intensitas laser berpengaruh pada reaksi termal yang dihasilkan terhadap


jaringan. Laser intensitas tinggi memungkinkan terjadinya reaksi termal yang
mengakibatkan peningkatan temperatur jaringan, dehidrasi jaringan, koagulasi
protein dan termolisis (Synder dan Seitz, 1996). Jika kekuatan rata-rata laser
kurang dari kemampuan untuk memanaskan jaringan, maka laser tersebut
memiliki intensitas rendah (low level laser). Laser berdaya rendah mempunyai
output power antara 1 sampai 75mW yang menyebabkan respon termal yang
minimal

(kurang

dari

0,5-0,750C

(Subadi

et

al,

2000).

Laser daya tinggi banyak digunakan dalam bidang bedah, kebidanan,


kulit dan saraf karena memiliki kemampuan untuk mengiris dan membakar
jaringan. Pada laser berdaya rendah tidak didapati efek panas terhadap
jaringan, namun memiliki efek biologis yang dimanfaatkan untuk mempercepat
penyembuhan jaringan dan penatalaksanaan nyeri (Synder dan Seitz, 1996;
Subadi,

2000;

Hamblin,

1998).

6. Satuan Dan Dosis LASER


Efek biologis LLLT tergantung pada tiga parameter utama yaitu panjang
gelombang, dosis, dan power density. Panjang gelombang dari LLLT berbedabeda sesuai unit atau alat yang dipakai, yaitu laser HeNe (632,8 nm), ruby
(694 nm), argon (488 dan 514 nm), kripton (521, 530, 568, dan 647 nm),

25

GaAs (904 nm), dan GaAlAs (820 dan 830 nm) (Hamblin, 2008).
Secara umum untuk tujuan rehabilitasi medik digunakan sinar dengan
panjang gelombang antara 600-1100nm (Mariani, 2002). Untuk terapi jaringan
superfisial digunakan panjang gelombang 600-700nm dan untuk jaringan yang
lebih dalam digunakan radiasi 780-950nm. Panjang gelombang antara 700770nm tidak digunakan karena tidak terbukti memiliki efektifitas terhadap
jaringan

(Hamblin,

2008).

Densitas daya (power density) adalah output sinar per unit area dari
jaringan target yang diiradiasi, atau dengan kata lain yaitu konsentrasi daya
pada suatu luas tertentu, dengan satuan watt per sentimeter persegi (W/cm2)
atau miliwatt per sentimeter persegi (mW/cm2). Energy density ekuivalen
dengan dosis (atau fluence) dan diukur dengan joule per sentimeter persegi
(J//cm2). Energy density adalah jumlah energi per unit area yang diterima oleh
jaringan yang sedang diiradiasi, yang diukur dengan rumus berikut ini
(Mariani,

Energy

2002).

density

(J/cm2)

power

(watts)

time

(detik)

luas area yang diradiasi(cm2)

Hasil penelitian LLLT untuk penyembuhan luka pada tikus percobaan


mendapatkan dosis terapi yang sangat bervariasi. Power density lebih dari 20
mW/cm2 dikatakan

dapat

menghambat

metabolisme

fibroblas

secara

sementara, namun penelitian lain yang menggunakan power density 25

26

mW/cm2 membuktikan terjadi pengurangan inflamasi tanpa hambatan pada


metabolisme

fibroblas

(Mariani,

2000)

Dengan laser HeNe Kana dkk mendapatkan dosis optimal 4 J/cm2,


sedangkan dua penelitian yang lebih baru pada tahun 2006 mendapatkan dosis
optimum 10 J/cm2 dengan frekuensi penyinaran 3x/minggu. Laser dengan
panjang gelombang 810 nm dikatakan lebih baik pada dosis 5 J/cm 2, dan
penelitian lain menyatakan laser 980 nm memberikan hasil yang baik pada
dosis 18 J/cm2 dengan penyinaran tiap 2 hari (Synder dan Seitz, 1996; Subadi,
2000; Hamblin, 1998). Penelitian yang spesifik mengamati stimulasi laser
terhadap proliferasi endothel menyimpulkan panjang gelombang yang optimal
adalah 665nm, 670nm, dan 675nm dengan intensitas 10-65 mW/cm 2 dan dosis
J/cm2(Moore

2-8

et

al,

2005;

Schindl

et

al,

2003).

Hingga saat ini belum ada standar baku mengenai pemilihan jenis dan
dosis laser untuk kepentingan terapi. Meskipun demikian berbagai penelitian
jelas menyatakan bahwa penentuan panjang gelombang dan dosis sangat
mempengaruhi absorbsi jaringan sehingga sangat berpengaruh terhadap efek
yang

diinginkan.

7. Tingkat Keamanan Laser


Laser juga dibedakan berdasarkan tingkat keamanan atau efeknya pada
mata dan kulit. Menurut U.S.FDAs Center for Device and Radiological
Health, laser dikelompokkan dalam 4 kelas:

27

Kelas 1: Laser bebas, laser ini tidak berbahaya untuk tubuh dan tidak
mempunyai efek pada mata dan kulit. Seluruh laser tidak tampak dengan
average power output 1 mW atau kurang termasuk dalam kelompok ini,
termasuk disini adalah laser GaAs.
Kelas 2: Laser berkekuatan rendah, laser ini aman pada kulit dan tidak
merusak mata, kecuali melihat langsung dalam waktu yang lama (lebih dari
1000 detik). Termasuk disini laser tampak yang menghasilkan average power
output 1 mW seperti laser HeNe.
Kelas 3A: Laser resiko sedang. Laser ini tidak menimbulkan bahaya bila
melihat sekejap tanpa perlindungan mata, tetapi dapat menimbulkan bahaya
jika menggunakan optik yang mengumpulkan berkas sinar (power: rendahsedang 5 mW)
Kelas 3B: Dapat menimbulkan bahaya jika dilihat langsung atau
pantulannya, operator dan pasien harus memakai kacamata pelindung (power:
sedang 500mW)
Kelas 4: Laser bertenaga tinggi dan merusak mata dan menyebabkan
cedera kulit serius jika terpapar langsung pada paparan singkat kurang dari
0,25 detik (power 500 mW). (Avadhanulu, 2001)

8.

Low Level Laser Therapy (LLLT) dan Efek Biologisnya


Ketika laser difokuskan pada epidermis, jumlah energi yang diabsorbsi

sebanding dengan jumlah paket foton yang dihasilkan laser dan kualitas
absorbsi jaringan. Absorbsi energi laser lebih besar pada jaringan berpigmen.

28

Karena jaringan tidak homogen, kualitas masing-masing struktur menyebabkan


absorbsi, refleksi dan transmisi energi laser berbeda-beda. Variabilitas
fisiologis efek pada jaringan tergantung pada panjang gelombang, densitas
daya, dan lamanya paparan (Synder dan Seitz, 1996).
Hingga saat ini mekanisme dasar LLLT pada tingkat seluler masih belum
diketahui dengan pasti. Meskipun demikian teori yang banyak digunakan
adalah absorbsi paket energi laser berupa foton oleh komponen rantai transfer
elekton pada mitokondria. Menurut Hamblin (2008), kompleks cytochrome c
oxidase (Cox) pada membran mitokondria merupakan foto akseptor primer
pada sel yang mengabsorbsi cahaya dengan panjang gelombang 630-900nm.
Peningkatan aktifitas pada kompleks cytochrome c oxidase di mitokondria
mengakibatkan peningkatan transfer elektron. Peningkatan transfer elekton
akan memaksimalkan lingkungan redoks yang meningkatkan jumlah ATP serta
pengaktifan faktor-faktor yang sensitif terhadap redoks. Salah satu faktor yang
telah diketahui meningkat jumlahnya dengan aktivasi redoks adalah nuclear
factor kappa B (NF-kB) yang dapat menginisiasi proses transkripsi berbagai
gen (Chen et al, 2009).
Berbagai penelitian pada hewan coba membuktikan bahwa berbagai faktor
pertumbuhan akan meningkat dengan radiasi laser, yakni Vascular Endhotelial
Growth Factor (VEGF), Fibroblast Growth Factor (FGF), Epidermal Growth
Factor (EGF), Platelet Derived Growth Factor (PDGF) dan Transforming
Growth Factor (TGF) (Safafi et al, 2007; Arany et al, 2007; Junior et al,2009;
Ihsan et al, 2005). Peningkatan berbagai faktor tersebut menjadi dasar aktivasi

29

angiogenesis dan perbaikan jaringan dalam penyembuhan luka pada terapi


laser

berdaya

Peningkatan

produksi ATP karena

rendah.
peningkatan

transfer

elektron

mengakibatkan produksi cAMP meningkat yang disertai peningkatkan sekresi


berbagai enzim. Hasil akhirnya adalah peningkatan metabolisme seluler. Efek
lain radiasi laser pada jaringan adalah perubahan gradien proton yang
menyebabkan perubahan aktifitas pompa elektron pada membran sel dan
second messenger. Hal ini lah yang mendasari perbaikan transfer sinyal pada
sel

saraf
Pada

proses

dan
inflamasi,

otot
stimulasi

(Hamblin,
laser

akan

menurunkan

2008).
kadar

prostaglandin E2 sehingga mengurangi edema jaringan (Tandiyo et al, 2012).


Laser juga dapat mengurangi nyeri dengan meningkatkan metabolisme
serotonin yang merupakan prekursor endorfin, meningkatkan ambang nyeri
serta penurunan kecepatan hantaran saraf sensorik perifer (Synder dan Seitz,
1996). Efek antibakterial terapi laser disebabkan oleh peningkatan fagositosis
makrofag dan proliferasi leukosit (Moshkovsa dan Mayberry, 2005). Laser juga
menyebabkan peningkatan produksi ATP yang menghambat pelepasan
berbagai sitokin inflamasi seperti IL-1, IL-2, IL-6, IL-8, IL-9 dan IL-11, TNF-
sehingga dapat menurunkan terjadinya penanda inflamasi fase akut salah
satunya

CRP

(Hamblin,

2008)

9. Bahaya dan Kontradiksi Low Level Laser Therapy (LLLT)

30

Sifat koheren laser memungkinkan terjadi kerusakan mata, karena sinar


terfokus oleh lensa mata ke suatu titik kecil (spot) pada retina, sehingga baik
pemeriksa maupun pasien harus memakai kacamata pelindung. Laser berdaya
rendah mempunyai kontraindikasi yaitu:
-

Pasien hamil terutama trimester pertama atau menstruasi (jika diarahkan


pada abdomen atau punggung bawah)

Pada fontanella yang belum menutup

Dekat dengan lesi keganasan

Dalam 4-6 bulan setelah radioterapi

Langsung pada mata

Daerah dada pasien dengan pacemaker

Pada glandula endokrin

Epilepsi

Febris (Arimuko, 2008)


Biasanya reaksi terapi terjadi secara lokal, tetapi terapi pada daerah yang

lebih luas dengan total dosis yang besar bisa menyebabkan gejala umum,
seperti fatique, atau mual dan tidak enak badan. Hal ini diyakini karena
perbaikan mikrosirkulasi yang memobilisasi sampah-sampah metabolisme
yang tertimbun dalam jaringan yang diterapi. Peningkatan nyeri secara
temporer atau perasaan seperti mau pingsan mungkin dialami selama terapi,
tetapi hal ini biasanya hilang dengan sendirinya. (Tan JC, 1998)

C. C-Reactive Protein (CRP)

31

1. Definisi dan Sejarah C-Reactive Protein (CRP)


C Reaktif Protein (CRP) adalah protein plasma filogenetis yang homolog
pada vertebrata dan invertebrata, CRP ikut berperan dalam respon sistemik
terhadap peradangan. Konsentrasi plasma CRP meningkat selama keadaan
inflamasi, dan telah lama digunakan untuk tujuan klinis. CRP adalah pola
pengenalan molekul, yang berikatan dengan konfigurasi molekul tertentu yang
biasanya terpapar selama kematian sel atau ditemukan pada permukaan
patogen. Peningkatan pesat dalam sintesis dalam beberapa jam setelah cedera
jaringan atau infeksi menunjukkan bahwa CRP turut berperan sebagai sistem
pertahanan dan merupakan bagian dari respon imun bawaan. Baru-baru ini
ditemukan hubungan antara peningkatan CRP dengan timbulnya penyakit
kardiovaskular di masa depan telah dibuktikan, sehingga pengukuran CRP
direkomendasikan oleh Pusat Pengendalian Penyakit dan American Heart
Association untuk pasien-pasien dengan risiko penyakit jantung koroner.
(Black et al, 2004; Lau DC et al, 2005)
CRP adalah protein fase akut yang ditemukan dalam darah. CRP
merupakan anggota keluarga protein Pentraxin yang tidak berhubungan
dengan C-peptida atau protein C. C-reactive protein adalah pola pengenal
reseptor yang pertama teridentifikasi. (Mantovani et al, 2008)
CRP ditemukan pada laboratorium Oswald Averys ketika melakukan
penelitian pada pasien dengan infeksi Streptococcus Pneumonia. Serum yang
diperoleh dari pasien selama fase akut penyakit ditemukan mengandung

32

protein yang bisa memicu polisakarida C yang berasal dari dinding sel
pneumokokus. Empat puluh tahun kemudian, Volanakis dan Kaplan
mengidentifikasi ligan spesifik CRP pneumokokus sebagai fosfokolin di
polisakarida C, bagian dari asam techoic dari dinding sel pneumokokus.
Meskipun fosfokolin adalah ligan pertama yang ditemukan pada CRP,
sejumlah ligan lain juga telah diidentifikasi. (Lau DC et al, 2005)

2. Struktur C-Reactive Protein (CRP)


CRP terdiri dari lima ikatan noncovalently identik yang berikatan dengan
protomer-23- kDa yang disusun secara simetris di sekitar pori sentral. Istilah
pentraxins telah digunakan untuk menggambarkan keluarga protein yang
berhubungan dengan struktur ini. Setiap protomer yang telah ditemukan oleh
kristalografi x - ray dapat dilipat menjadi dua antiparalel sheet dengan
topologi jellyroll pipih mirip dengan lektin seperti concanavalin A. Setiap
protomer memiliki pola pengenalan dengan tempat pengikatan fosfokolin
yang terdiri dari dua ion kalsium terkoordinasi berdekatan dengan kantong
hidrofobik. Struktur kristal CRP dengan fosfokolin menunjukkan bahwa Phe66 dan Glu-81 adalah dua kunci residu mediasi pengikatan fosfokolin ke CRP.
Phe-66 menyediakan interaksi hidrofobik dengan kelompok metal fosfokolin
sedangkan Glu-81 ditemukan pada rantai akhir di mana ia berinteraksi dengan
perubahan kolin nitrogen positif. Pentingnya kedua residu telah dikonfirmasi
oleh studi mutagenesis. (Mantovani et al, 2008)
Pentamer sebaliknya adalah efektor, yang dilengkapi ikatan C1q dan

33

berikatan dengan Fc reseptor. Sebuah celah memanjang dari pusat protomer


ke pusat pori pentamer, dan beberapa residu sepanjang batas ini telah terbukti
penting untuk mengikat CRP ke C1q, termasuk Asp-112 dan Tyr-175.
Struktur kristal dari kepala domain globular dari C1q baru-baru ini
dipecahkan, dan merupakan model C1q mengikat CRP di mana bagian atas
didominasi kepala C1q positif, yang berinteraksi dengan dominasi negatif
yang dibebankan pori sentral dari pentamer CRP. (Lau DC et al, 2005)
Model ini menampilkan bentuk yang lengkap, dengan kepala bulat dari
C1q meliputi pori sentral CRP dan berinteraksi dengan dua dari lima
protomers dari pentamer. Persyaratan sterik yang ketat untuk interaksi CRP
dengan C1q dalam model ini menyiratkan bahwa ikatan C1q disertai dengan
sedikit perubahan konformasi struktur CRP. Konformasi ini membawa
perubahan yang tampak berbeda tergantung pada ligan ikatan CRP. (Black et
al, 2004)

34

Gambar 8. Struktur Kristal Kompleks CRP dengan Fosfokolin


(Mantovani et al, 2008)

35

3. Fungsi Biologis C-Reactive Protein (CRP)


CRP adalah suatu tanda sensitif untuk inflamasi sistemik dan dilepaskan
oleh hepar dan sel-sel lemak. Peningkatan konsentrasi CRP dapat dikaitkan
dengan peningkatan dan pelepasan interleukin-6 (IL-6) oleh jaringan lemak.
IL-6 merupakan suatu sitokin pro-inflamasi yang menstimulasi produksi CRP
dalam hepar. (Pepys MB and Gideon MH, 2003) Peran fisiologis CRP adalah
untuk mengikat fosfokolin yang diekspresikan pada permukaan sel-sel
mati/rusak dan beberapa jenis bakteri, untuk meningkatkan fagositosis oleh
makrofag serta mengaktifkan sistem komplemen melalui kompleks C1Q.
(Thompson et al, 1999)
Kadar CRP ini meningkat sebagai respon fase akut dari inflamasi yang
timbul dalam berbagai kondisi peradangan akut dan kronis seperti infeksi
bakteri, virus, jamur, penyakit rematik, penyakit inflamasi serta pada
keganasan, nekrosis dan kerusakan jaringan. Pada penderita obesitas, juga
ditemukan suatu hubungan kuat antara obesitas dengan kadar IL-6 yang
merupakan bahan dasar untuk merangsang pembentukan CRP dan hal ini
menunjukkan bahwa peningkatan CRP adalah akibat dari sekresi IL-6. (Pepys
MB and Gideon MH, 2003)
CRP juga membantu dalam mengikat sel-sel asing dan rusak dan
meningkatkan fagositosis oleh makrofag yang mengekspresikan reseptor
untuk PRK. Hal tersebut diyakini memainkan peran penting dalam imunitas
bawaan, sebagai sistem pertahanan awal terhadap infeksi. (Thompson et al,
1999)

36

Fungsi biologis CRP lebih lanjut disediakan oleh ligan dan molekul
efektor yang berinteraksi. Fosfokolin ditemukan di sejumlah spesies bakteri
dan merupakan konstituen dari sphingomyelin dan fosfatidilkolin di membran
eukariotik. Namun, kelompok fosfolipid ini dapat diakses untuk CRP yang
normal di sel, sehingga CRP dapat mengikat molekul-molekul hanya dalam
sel yang rusak dan apoptosis. Selain fosfokolin, CRP dapat mengikat berbagai
ligan lain, termasuk phosphoethanolamine, kromatin, histon, fibronektin,
ribonucleoproteins kecil nuklir, laminin, dan polycations. Ligan - terikat atau
dikumpulkan CRP efisien mengaktifkan komplemen jalur klasik melalui
interaksi langsung dengan C1q. (Lau DC et al, 2005)
CRP juga dapat berinteraksi dengan reseptor imunoglobulin yang dapat
memunculkan sebuah respon dari sel fagosit. Kemampuan untuk mengenali
pathogen dengan mengaktivasi komplemen, serta efek pada sel fagosit penting
sebagai pertahanan host. (Black et al, 2004)
Seperti banyak mediator proses inflamasi, CRP memiliki efek pleiotropic.
sebagai pro-inflamasi dan anti-inflamasi. Selain efek anti inflamasi yang telah
dijelaskan, CRP telah terbukti menginduksi ekspresi interleukin-1 antagonis
reseptor dan meningkatkan pelepasan sitokin anti inflamasi interleukin - 10
sambil menekan sintesis interfero. Namun banyak fungsi lain yang
menganggapnya sebagai pro inflamasi. Sebagai contoh, CRP mengaktifkan
komplemen dan meningkatkan fagositosis. CRP mengatur ekspresi molekul
adhesi dalam sel endotel, menghambat endotel nitrat oksida sintase ekspresi
dalam sel endotel aorta, merangsang pelepasan IL - 8 dari beberapa jenis sel,

37

meningkatkan aktifitas plasminogen activator inhibitor 1, dan meningkatkan


pelepasan IL - 1 , IL - 6 , IL - 18, dan tumor necrosis factor. (Black et al, 2004)
Sistem komplemen yang terdiri dari sekitar 30 protein, memainkan peran
penting dalam mekanisme pertahanan host terhadap agen infeksi dan
merespon inflamasi. Tiga jalur komplemen yang dapat diaktifkan saat ini
yaitu: klasik, alternatif dan jalur lektin mannose -binding. C1 - C9 adalah
komponen utama dari aktivasi klasik cascade, paling sering dimulai dengan
mengikat kompleks imun ke C1q. Tahap awal aktivasi menghasilkan
pembelahan produk dari C3 dan C4, yang bertindak sebagai opsonins. Tahap
selanjutnya aktivasi komplemen klasik yang bersifat inflamasi, menghasilkan
peptida chemotactic kuat dan membentuk serangan kompleks membran, yang
dapat mengakibatkan lisis bakteri atau sel. (Lau DC et al, 2005)
Kompleks ligan terikat CRP ke C1q menyebabkan pembentukan C3
convertase, yang dibentuk dengan cara yang sama dengan yang diinisiasi oleh
kompleks antigen-antibodi. Namun, pemeriksaan komponen pelengkap
individual menunjukkan bahwa komplemen aktivasi CRP dimediasi terbatas
pada awal tahap aktivasi komplemen yang melibatkan C1 - C4, dengan sedikit
aktivasi protein komplemen C5 - C9. Hal ini berbeda dengan jalur komplemen
yang diatur oleh kompleks antigen antibodi, dimana komponen fase akhir
yang diaktivasi. (Black et al, 2004)
Seperti dibahas sebelumnya, aktivasi jalur komplemen klasik dapat
menyebabkan peningkatan fagositosis leukosit, walaupun tanpa adanya
komplemen. CRP juga telah dilaporkan untuk meningkatkan fagositosis

38

leukosit dari beberapa spesies patogen, termasuk Staphylococcus aureus,


Escherichia coli, dan Klebsiella aerogenes. (Black et al, 2004)

4. Kadar C-Reactive Protein (CRP)


Pengukuran kadar CRP merupakan salah satu deteksi adanya suatu
penyakit menular dan inflamasi. Peningkatan CRP dengan cepat terjadi pada
peradangan, infeksi, trauma, jaringan nekrosis, keganasan dan gangguan
autoimun. Ada sejumlah besar kondisi berbeda yang dapat meningkatkan
produksi CRP, namun peningkatan CRP ini tidak dapat mendiagnosa penyakit
tertentu, tetapi dapat memberikan dukungan adanya penyakit inflamasi.
(Pepys MB and Gideon MH, 2003)
Konsentrasi CRP normal dalam serum manusia yang sehat biasanya lebih
rendah dari 10 mg / L (kurang dari 1,0 mg/dL) dan sedikit meningkat dengan
penuaan. Kadar yang lebih tinggi ditemukan pada wanita hamil, peradangan
ringan dan infeksi virus (10-40 mg / L), peradangan aktif, infeksi bakteri (40200 mg/L), infeksi bakteri yang berat dan luka bakar (> 200 mg / L). Bahkan
kadar CRP akan naik sampai 50.000 kali lipat pada peradangan akut seperti
infeksi berat (Clyne B et al, 1999)
Selama respon fase akut, kadar CRP meningkat pesat dalam waktu
beberapa menit dari fase akut, mencapai puncaknya pada 24-48 jam. Dengan
resolusi dari respon fase akut, CRP menurun relatif singkat dengan waktu
paruh yang konstan sekitar 19 jam pada semua kondisi, dipengaruhi oleh
tingkat produksi dan tingkat keparahannya pemicunya. (Pepys MB and

39

Gideon MH, 2003)


CRP lebih sensitif dan akurat untuk respon fase akut daripada ESR
(eritrosit sedimentation rate). Dalam 24 jam pertama, ESR mungkin normal
dan CRP meningkat. Namun, CRP kembali normal lebih cepat daripada ESR
dalam respon terhadap terapi. (Liu S et al, 2013)

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimental kuasi dengan
rancangan randomized pretest postest group dan kontrol dengan single blinded
design.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

40

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Februari 2014, bertempat di Unit
terapi LASER RSIA YK Madira Palembang. Pemeriksaan sampel darah dilakukan
di Balai Besar Laboratorium Kesehatan Daerah Sumatera Selatan.

C. Populasi dan Sampel


1.

Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa Fakultas Kedokteran


Universitas
2.

Muhammadiyah

Palembang.

Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa Fakultas Kedokteran


Universitas Muhammadiyah Palembang yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi.

D. Besar Sampel
Besar sampel untuk penelitian eksperimental yang digunakan dalam
penelitian
n1

ini
=

n2

dihitung
=

menggunakan

(Z

rumus
+

sebagai

).

x1
S2

S12

=
n1

(n1-1)
+

S22
n2

berikut.
]

x2
(n2-1)
-2

Menurut penelitian Leal (2013), kadar CRP basal kelompok perlakuan: 38,7 +
44,0 mg/dL (n = 5), kadar CRP kelompok control 26,7 + 29,3 mg/dL (n = 4),

41

dengan batas kepercayaan () 95% dan power 80% (=0,2) sehingga besar
sampel:
S2 = [ 44,02 x (5-1) + 29,32 x (4-1)] / (5 + 4 2) = 1474,21
S

n1 = n2 =

38,3
2

[ (1,64 + 0,84) x 38,3 ]

/ (38,7 26,7)

= 8,9

Keterangan:
n

S1

S2

standar
standar

batas

jumlah
deviasi

sampel/subjek

kelompok

deviasi

kelompok

standar
kepercayaan

kesalahan

perlakuan

44,0

control

29,3

deviasi
tipe

gabungan
5

%)

1,64

Z = batas kepercayaan kesalahan tipe II ( 20 %) / power 80% = 0.84


x1-x2 = selisih nilai rata-rata kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
n1

n2

jumlah

sampel

minimal

masing-masing

kelompok

Jumlah sampel minimal masing-masing kelompok adalah 9 orang. Untuk


mengantisipasi terjadinya drop out pada penelitian, maka jumlah sampel perlu
ditambah 10% sehingga jumlah sampel masing-masing kelompok adalah 10
orang. Total jumlah sampel keseluruhan yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah

E. Kriteria Inklusi dan Eksklusi


1. Kriteria Inklusi

20

orang.

42

Kriteria

inklusi

dalam

penelitian

ini

adalah

sebagai

berikut.

a.

Jenis

kelamin

laki-laki

b.

Usia

18-24

tahun.

c.

Bukan kelompok atlet dan tidak melakukan aktifitas fisik secara rutin
(latihan

fisik

<

jam/minggu)

d.

Indeks Massa Tubuh normal yaitu 18,5-24,99 (WHO, 2006)

e.

Bersedia

menjadi

objek

penelitian.

2. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi penelitian ini adalah sebagai berikut.
a.

Memiliki

riwayat

penyakit

b.

Menderita

c.

Perokok.

d.

Olahragawan.

e.

Melakukan aktifitas fisik berat dalam satu minggu terakhir.

f.

Mengalami

trauma

g.

Menjalani

tindakan

h.

Mengkonsumsi

penyakit

obat

kardiovaskuler.

Diabetes

baik

tajam,

bedah

tumpul

dalam

antiinflamasi

Mellitus.

maupun

termal.

bulan

terakhir

satu

(steroid

dan

non

steroid)

3. Kriteria Drop Out


Sampel dianggap drop out dari penelitian apabila terjadi hal berikut.
a. Mengalami
b. Tidak

F.

luka

atau

lengkap

sakit
mengikuti

Variabel

dalam

tahap

proses

penelitian.
penelitian.

Penelitian

43

1. Variabel independen :
-

Latihan

interval

Terapi

laser

berdaya
2.

intensitas

Kadar

G.

rendah

Variabel

Latihan

(LLLT)

dependen

Reactive

Definisi

a.

tinggi

Protein

Operasional

Interval

Intensitas

Tinggi

Definisi: Latihan selang-seling antara intensitas tinggi (80% denyut jantung


maksimal) dan rendah (50% denyut jantung maksimal), dengan rasio
perbandingan 1:2 yang terdiri dari beberapa sesi latihan dengan waktu bervariasi
Cara:

Sampel menjalani proses latihan fisik dangan mengayuh sepeda statis

Latihan dilakukan selama 30 menit mulai dari pemanasan 5 menit, latihan


inti

20

menit

b.

Terapi

laser

Definisi:

Penggunaan

sinar

semikonduktor

dengan

dan

pendinginan

berdaya
laser

berdaya

memaparkan

menit.

rendah
rendah

cahaya

ke

dari

(LLLT)
sumber

tempat

dioda

patologis

Cara:

Menggunakan LLLT dengan spesifikasi: jenis sinar infra red dengan panjang
gelombang 810nm, output 5mW, spot size 0,0028 cm2, power density
1,785 W/cm2, energi tiap spot 5 Joule, jumlah spot 8, total energi 40 Joule

44

selama

1000

detik.

LLLT menggunakan probe yang diaplikasikan secara kontak langsung


tegak lurus pada 8 tempat di kedua tungkai, masing-masing 2 titik pada m.
gastrocnemius kanan dan kiri dan 2 titik pada m. rectus femoralis kanan
dan

kiri.

Selama proses terapi laser pasien dibaringkan dan menggunakan kacamata


khusus

c.

pelindung

Kadar

laser.

Reactive

Protein

Definisi: Kadar C Reactive Protein pada plasma darah yang merupakan penanda
telah

terjadinya

kerusakan

jaringan

dan

inflamasi.

Cara:

Pengambilan darah untuk pemeriksaan kadar CRP dilakukan di fossa


cubiti lengan kanan (vena basilica/vena sefalika/vena median cubiti) sebanyak 3
kali masing-masing 3 cc diambil sebelum latihan fisik, 30 menit dan 24
jam setelah latihan interval intensitas tinggi dengan atau tanpa pemberian
LLLT.

Hasil

Teknik
Ukur

Skala

H. Alat dan Bahan


1. Alat

pemeriksaan
:

Kadar

menggunakan
CRP
Ukur:

dengan

immunoturbidimetry
satuan

mg/dL.
Nominal

45

Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Gambar 9. Low
Level Laser
Therapy (Weber,
2010)

Sumber

sinar

laser berdaya rendah (LLLT) dengan spesifikasi:


Merek: Weber
Seri: Art-Nr. 1055
Produksi: Jerman
Sumber: Diode Semi Konduktor
Keamanan: 3B
Panjang gelombang: 405 nm (blue), 532 nm (green), 635 nm (red) dan 810

nm (infrared)
Output: 5 mW
Sphyngmomanometer ABN
Stetoskop Littman
Termometer air raksa ABN
Kacamata khusus laser
EKG
Sepeda statis
- Merk: Jaco
- Seri: JC 920
- Tahun Pembuatan: 2010
Metronom merk Wittner metronom pyramidenform
Gambar
10.

46

Metronom (Wittner, 2009)


Timbangan berat badan digital
Pengukur tinggi badan
2. Bahan
Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Spuit ukuran 5cc merk Terumo

Tabung oksalat

Kasa alkohol

Plester

I. Cara Kerja
1.

Proses Pengambilan Sampel


Sampel diambil secara acak berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.
Setiap sampel yang memenuhi kriteria akan disertakan dalam penelitian
sampai

2.

jumlah

sampel

terpenuhi.

Homogenisasi Sampel
Setelah melalui proses pengambilan sampel, sampel menjalani serangkaian
proses homogenisasi dengan berbagai pemeriksaan untuk membuktikan
bahwa seluruh sampel dalam keadaan fisiologis serta untuk menyamakan
kondisi awal. Pemeriksaan tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut.

Anamnesis
o

Riwayat

Riwayat

merokok,
penyakit

terdahulu,

47

Riwayat

trauma

dalam

enam

bulan

Riwayat

konsumsi

Riwayat olah raga dan aktifitas fisik dalam 3 bulan terakhir.

obat-obatan

Pemeriksaan

terakhir,

dan

suplemen,

vital

Pemeriksaan

Menghitung

nadi

Menghitung

frekwensi

Mengukur

sign

tekanan

darah,
dalam

nafas

semenit,

dalam

suhu

semenit,

tubuh

axial.

Melakukan

Dilakukan studi pendahuluan, yakni latihan fisik dengan menggunakan

pemeriksaan

jantung

dengan

menggunakan

EKG

sepeda statis yang telah disiapkan untuk menentukan intensitas maksimal


latihan. Sampel diminta untuk mengayuh sepeda dengan kecepatan
tertentu sesuai dengan metronome sambil dihitung denyut jantung.
Intensitas kecepatan metronome dinaikkan hingga tercapai 80% denyut
jantung maksimum. Denyut jantung maksimum adalah 220 umur.
Kecepatan kayuh dengan metronome pada denyut jantung maksimum
dicatat
3.

sebagai

intensitas

latihan

80%.

Perlakuan Sampel
a. Setelah menjalani proses homogenisasi sampel kemudian dibagi menjadi
dua kelompok, yakni kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.
b. Semua sampel menjalani proses pengambilan darah untuk pemeriksaan
kadar CRP basal. Pengambilan darah dilakukan di fossa cubiti lengan

48

kanan

sebanyak

cc

c. Setelah pengambilan darah, semua sampel diminta menjalani proses


latihan fisik (pukul 07.00) dimulai dari pemanasan selama 5 menit, latihan
inti dengan mengayuh sepeda dengan intensitas 80% selama 1 menit,
diikuti dengan intensitas 50% selama 2 menit, pola ini dilakukan sebanyak
6 sesi dengan total 20 menit dan kemudian dilanjutkan pendinginan selama
5

menit.

d. Segera setelah latihan, kelompok perlakuan diberi terapi laser yang diaplikasikan
secara kontak langsung tegak lurus pada 8 tempat di kedua tungkai,
masing-masing 2 titik pada m. gastrocnemius kanan dan kiri dan 2 titik
pada m. rectus femoralis kanan dan kiri selama 1000 detik
e. Pada kelompok kontrol tidak diberikan terapi laser, tetapi untuk
mendapatkan efek single blinded sampel diinstruksikan untuk berbaring
dan menggunakan kacamata pelindung laser. Kemudian probe laser
ditempelkan seperti halnya pada kelompok perlakuan, namun untuk
kelompok kontrol sumber laser tidak dihidupkan. Kelompok kontrol juga
menjalani

proses

ini

selama

1000

detik.

f. Semua sampel baik yang diberi LLLT maupun tidak, akan menjalani
proses

pengambilan

darah

30

menit

setelah

latihan

g. Setelah perlakuan di atas, masing-masing kelompok diminta istirahat


selama 24 jam dengan nasihat tidak diperkenankan melakukan aktifitas
fisik berat, melakukan recovery dengan pijat atau mandi air hangat, serta
minum

obat

anti

inflamasi.

49

h. Setelah 24 jam (pukul 07.00 pada hari berikutnya), setiap kelompok


kembali diambil sampel darah pada tempat yang sama dengan
pengambilan darah pertama. Pungsi vena menggunakan disposable spuit
5cc

merek

Terumo

sebanyak

3cc.

i. Semua sampel darah yang telah diambil segera dimasukkan kedalam tabung oksalat dan
dikirim ke laboratorium Besar Daerah Sumatera Selatan untuk pemeriksaan kadar
C

J.

Reactive

Pengolahan

1.

dan

Protein.

Analisis

Data

Pengolahan

Data

Seluruh data dicatat pada formulir penelitian, kemudian dimasukkan ke dalam


komputer

menggunakan

2.

software
Analisis

a.

SPSS

versi

20.0
Data

Nilai rata-rata kadar C Reactive Protein dianalisis normalisasi dengan uji


Kolmogorov-Smirnov

b.

Untuk menilai perbedaan kadar C Reactive Protein sebelum dan setelah


intervensi pada masing-masing kelompok akan menggunakan uji Wilcoxon
rank

c.

Untuk menilai perbedaan kadar C Reactive Protein antara kelompok


perlakuan dan kontrol sebelum intervensi dan setelah intervensi akan
menggunakan uji Mann Whitney dengan derajat kemaknaan p 0,05.

K.

Alur

Penelitian

50

Populasi
Matching
Sampel (n= 20)
)

Homogenisasi

Latihan pendahuluan untuk


menentukan intensitas maksimal

Perlakuan (n = 10)

Kontrol (n = 10)

Ukur CRP pretest

Ukur CRP pretest

Latihan Interval
Intensitas Tinggi

Latihan Interval
Intensitas Tinggi

Pemberian Terapi Laser


Daya Rendah (LLLT)

Tidak diberi
LLLT

Ukur CRP 30 menit


setelah Latihan

Ukur CRP 30 menit


setelah latihan
Istirahat

Ukur CRP 24 jam


setelah latihan
Gambar 11. Alur Penelitian

Ukur CRP 24 jam


setelah latihan

51

BAB IV
JUSTIFIKASI ETIK

A. Landasan Scientifik Penelitian


Penelitian ini adalah jenis penelitian eksperimental kuasi dengan desain
pre dan post test dengan kontrol dan single blinded. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui pengaruh Low Level Laser Therapy (LLLT) terhadap kadar
C-Reactive Protein (CRP) setelah latihan interval intensitas tinggi.
Penelitian ini akan memberikan manfaat teoritis mengenai mekanisme
biologis LLLT pada tingkat seluler, terutama pada proses pencegahan
kerusakan jaringan akibat latihan interval intensitas tinggi.
Populasi pada penelitian ini adalah mahasiswa laki-laki Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang usia 18-24 tahun. Sampel
dipilih secara acak yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memiliki kriteria
eksklusi. Sampel secara matching akan dibagi menjadi dua kelompok,
perlakuan dan control, yang akan menjalani proses homogenisasi untuk
menyamakan kondisi awal dan mengurangi bias penelitian. Seluruh sampel
akan menjalani pengambilan darah sebelum latihan fisik untuk mendapatkan
kadar awal CRP. Kemudian sampel akan diberi latihan fisik berupa mengayuh
sepeda statis dengan intensitas 80% HR selama satu menit dan 50% HR
selama dua menit berselang-seling sebanyak enam sesi. Setelah itu, sampel

52

kelompok perlakuan akan diberi terapi laser 810nm, 40J, selama 1000 detik
pada delapan lokasi di otot rectus femoralis dan gastrocnemius kedua tungkai.
Kelompok kontrol hanya menerima plasebo dengan menempelkan probe pada
tempat yang sama tanpa menghidupkan laser. Kadar CRP kembali diukur 30
menit dan 24 jam setelah latihan. Pengambilan darah dilakukan pada tempat
yang sama dengan pengambilan darah pertama. Kadar CRP akan diperiksa
menggunakan alat imunoturbidimetri.

B. Analisis dan Pernyataaan Peneliti


Dengan mengacu pada landasan teoritis yang pernah ada, terapi laser
berdaya rendah telah digunakan sejak 40 tahun yang lalu. Berdasarkan
berbagai sistematik review dapat disimpulkan bahwa LLLT cukup aman dan
efektif untuk terapi. Saaat ini tercatat sekitar 85 instansi pendidikan di 37
negara telah menggunakan LLLT sebagai modalitas terapi. Kepercayaan
publik terhadap LLLT semakin baik mulai tahun 2002 ketika Food and Drug
Association mengeluarkan lisensi keamanannya untuk terapi pada bidang
kedokteran.
Berdasarkan berbagai penelitian yang telah dipublikasikan, manfaat utama
LLLT adalah sebagai antiinflamasi, analgetik dan perbaikan jaringan.
Meskipun demikian, pengaruh LLLT dalam mengurangi kerusakan jaringan
pada proses pemulihan setelah latihan fisik belum banyak diketahui. Oleh
karena itu, penulis merasa perlu meneliti pengaruh paparan laser berdaya
rendah terhadap kadar CRP pada proses pemulihan setelah latihan interval

53

intensitas tinggi.
Berdasarkan azas manfaat perkembangan ilmu pengetahuan, maka peneliti
dan subjek penelitian akan mempersiapkan penelitian ini dengan sebaik
baiknya. Peneliti akan melakukan persiapan sesuai prosedur mencakup subjek
penelitian, alat dan bahan serta mempertimbangkan semua kemungkinan yang
terjadi di lapangan beserta solusi yang harus disiapkan agar tidak terjadi hal
hal yang tidak diinginkan dan mungkin berbahaya bagi subjek penelitian.
Segala beban dan resiko yang wajar akan dipikul sepenuhnya oleh peneliti.
Subjek akan diperlakukan dengan jujur dan adil dalam kerahasiaan dan semua
tindakan dilakukan atas persetujuan subjek yang bersangkutan.

C. Informed Consent
Subjek pada penelitian ini adalah mahasiswa pada Fakultas Kedokteran
Universitas Muhamadiyah Palembang. Sebelum melaksanakan penelitian,
peneliti akan memberikan penjelasan kepada subjek mengenai tujuan,
manfaat, prosedur dan resiko yang mungkin muncul selama penelitian.
Seluruh subjek penelitian menandatangani formulir persetujuan informed
consent setelah mendapatkan penjelasan. Peneliti akan menjunjung tinggi
kerahasiaan data diri subjek penelitian.
Selama proses penelitian, subjek akan diperlakukan dengan baik, dengan
memandang harkat dan martabat yang bersangkutan. Proses pengambilan
darah dilaksanakan oleh petugas terlatih dari Laboratorium Klinis YK Madira
dengan mengacu pada standar prosedur pelaksanaan pengambilan darah.

54

Selama menjalankan prosedur petugas akan menggunakan handscoen steril


dan masker. Daerah fosa cubiti akan dibersihkan dulu dengan alkohol 70 %
dan povidone iodine 10 % sebagai langkah aseptik antiseptik. Spuit steril yang
akan digunakan dipastikan berada dalam kemasan yang utuh. Setelah proses
pengambilan darah selesai maka bekas luka akan ditutup menggunakan kassa
steril dan plester. Subjek diberikan edukasi mengenai tandatanda infeksi pada
bekas luka dan apabila hal tersebut terjadi, subjek dapat menghubungi dokter
jaga UGD RS YK Madira

D. Pernyataan Akhir
Penelitian ini disusun berdasarkan kajian dari berbagai pustaka dan
penelitian sebelumnya yang telah memiliki landasan teori yang kuat.
Penggunaan manusia sebagai subjek dalam penelitian ini memenuhi kaidah
kerahasiaan dan menjunjung tinggi harkat dan martabat subjek. Peneliti yakin
bahwa penelitian ini dapat dilaksanakan dengan baik dan dapat memberikan
manfaat yang besar bagi kemajuan ilmu kedokteran.

E. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini
mempunyai landasan ilmiah yang kuat, bermanfaat, dilaksanakan dengan cara
yang baik, tidak membahayakan serta menjunjung tinggi kerahasiaan dan
kehormatan subjek. Peneliti mempunyai keyakinan bahwa penelitian ini layak
etik untuk dilaksanakan.

55

DAFTAR PUSTAKA

Abrisham, S.M., Kermani A., Ghahramani R., Jomeh J., Zare M. 2011.
Additive effects of low-level laser therapy with exercise on syndrome. J
Clin
Rheumatol
2011:30(10).
1346-1
Arimuko, A. 2008. Fisika Dasar Laser dalam Kursus Dasar Kedokteran laser
dan
Aplikasi
Laser
Bidang
Kedokteran.
Jakarta
Avadhanulu, M.N. 2001. An Introduction to Lasers theory and applications.
New
Delhi;
S.
Chand
&
Company
ltd.
Bjourdel, J., Christian, C., Roberta, T. C., Jan, T., et al. 2003. A Systematic
Review of Low Level Laser Therapy with Location-Spesific Doses for
Pain from Chronic Join Disorder. Australian Journal of Physiotherapy 49:
107-116.
Black, S., Kushner I. and David S. 2004. Minireviews: C-Reactive Protein.
J.Biol.Chem.
2004,
279:
48487-90.
Boutcher, S.H. 2010. Review Article: High Intensity Intermittent Exercise and
Fat
Loss.
Journal
of
Obesity
2011:1-10.
Breen, J. E. C., Wagner, H., Tseng, H. M., et al. 1996. Angiogenic Growth
Factor mRNA Responses in Muscle to a Single Bout of Exercise. J Appl
Physiol. 81(1):355-61, (http//www.jap.physiology.org, diakses 10 April
2013,
pukul
10.25
WIB).
Chen, C. H., Arany, P. H., Huang, Y. Y., Tomkinson, E. M., et al. 2009. Low
Level Laser Therapy AcEivates NF-kB via Generation of Reactive
Oxygen
Species
in
Mouse
embryonic
Fibroblast,
(http//www.spie.org.pdf, diakses 12 April 2013, pukul 11.25 WIB).
Christopher, H., Hopkins J.T., Todedd A., Jeff G., David B.,. 2004. Low level
Laser Therapy Facilitates Superficial Wound Healing in Humans. J Athl
Train,
2004.
39(3):223-9
Colman, W. R., Victor, J. M. Alexander, W. C., James, N. G., et al. 2006.
Hemostasis and Trombosis: Basic Principles and Clinical Practice. 5 th
Edition. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, USA.

56

Dragon, John E., Gibala. 1998. High Intensity Interval Training in Athlete. J
App
Physiol
119(8):
886-95
Filner, E. F. 2006. Low Level Laser Therapy-Clinicians View. Practical Pain
Management, (http://myml830.com/bernard-filner-laser-therapy, diakses 11
April
2012,
pukul
12.00)
Fox, Bompa J. and Mathews. 1998. Intensitas dan Volume dalam Latihan
Olahraga. Aplikasi Klinis. Jurnal Kedokteran UNY 5(2),
(http://majour.maranatha.edu/index.php/jurnalkedokteran/article/view/140,
diakses
1
Desember
2013,
pukul
13.00).
Frisca, Caroline, T. S., Ferry, S. 2009. Angiogenesis: Patofisiologi dan
Aplikasi
Klinis.
Jurnal
Kedokteran
Maranatha
8(2),
(http://majour.maranatha.edu/index.php/jurnalkedokteran/article/view/140,
diaksess
11
April
2012,
pukul
13.00).
Gasparyan, L., Grigory, H., Anu, M. 2004. Activation of Angiogenesis Under
Influence
of
Red
Low
Level
Laser
Radiation.
(http://www.emred.fi/pdfs/lf_2004_activation_of_angiogenesis.pdf, diakses 12
April
2013,
pukul
11.25
WIB).
Gavin, P. T., Rebecca, S. R., John, A. C., Kevin, A. Z. et al. 2007. No
Difference in the Skletal Muscle Angiogenic Response to Aerobic
Exercise Training between Young and Aged Men. Journal of Physiology
585
(1):
231-9.
Guyton dan Hall. 2013. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi Keduabelas.
Jakarta:
Elsevier.
Hamblin, R. H.
2008. Mechanisms of Low Level Light Therapy,
(http//www.photobiology.info/Hamblin.html,
diakses 9 April 2013,
pukul
11.25
WIB).
Hafstad, A. D., Boardman, N.T., Lund, J, et al. 2011. High Intensity Interval
Training Alters Substrate Utilization and Reduces Oxygen Consumption
in
the
Heart.
J
App
Physiol
111(5):1235-41.
Huang, Y. Y., Michael, H. Aaron, C. H. 2009. Low Level Laser Theraphy: an
Emerging Clinical Paradigm. Paul Scherrer Institut Newsroom,
(http//www.spie.org, diakses 20 April 2013, pukul 14.00)
Ihsan, M. 2005. Low Level Laser Theraphy Accelerates Collateral Circulation
and Enhances Microcirculation. J. Photomedicine and Laser Surgery
23(3):
289-94.

57

Junior, A. M., Beatriz, J. V., Luis, C. F., Fernando, M. A. 2009. Low Level
Laser Theraphy Increases Transforming Growth Factor-B2 Expression
and Induces Apoptosis of Ephitelial Cells During The Tissue Repair
Process.
Journal
of
Laser
Dentistry
17(3),
(http//www.laserdentistry.org.pdf, diakses 10 April 2013, pukul 10.15
WIB).
Kraus, R. M., Howard, W. S., Robert, C. V., Timothy, P. G. 2003. Circulating
Plasma VEGF Response to Exercise in Sendentary and EnduranceTrained
Man.
J.
Applied
Physiology
96:
1445-50.
Leal, J. E. C., Rodrigo A., Lucio F., Thiago D.M., Rafael P., Vanessa D.G.
2010. Effects of Low Level Laser Theraphy (LLLT) in the Development
of Exercise-Induced Skeletal Muscle Fatigue and Changes in
Biochemical Markers Related to Post Exercise Recovery. J. Orthopaedic
and Sport Physical Theraphy. (http//www.jospt.org.pdf. diakses 2
November
2013,
pukul
15.00)
Lau D.C., Cheing G..L. 2009. Managing Postmastectomy Lymphedema with
Low Level Laser Therapy. J Photomed Laser Surg 2009 oct:27(5): 7639.
Mariani, S. E. 2002. Perbandingan Efek Terapi Laser Berdaya Rendah Dengan
Diatermi Gelombang Pendek Dalam Pengurangan Nyeri dan Perbaikan
Fungsional Pada Nyeri Punggung Bawah Mekanik. Tesis Program Studi
Rehabilitasi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Martha, C. T, Guy, L., Linda, F. K., Jamie, B. P., et al. 2005. Greater Free
Plasma VEGF and Lower Soluble VEGF Receptor in Acute Mountain
Sickness.
J.
Applied
Physiology
98:
1626-29.
McKay, B.R., Peterson, D.H. and Kowalchuk, J.M. 2009. Effect of Short Term
High Intensity Interval Training vs. Continuous Training on Oxygen
Uptake Kinetics, Muscle Deoxygenation and Exercise Performance. J
App
Physiol
107(1):128-38
Moshkova, T. and Mayberry, J. 2005. Systematic Review: Its Time to Test
Low Level Laser Theraphy in Great Britain. Postgraduate Med J 81; 43641.

Nicoletti, J. N. 2008. Protective Efect of Vascular Endhotelial Growth Factor


in a Rat Model of Status Epilepticus. A Dissertation for the Doctor of
Philosophy Psychology Faculty The City University of New York,
(http//www.books.google.co.id, diakses 12 April 2013, pukul 14.00).

58

Pepys M.B. and Gideon M.H. 2003. C-Reactive Protein: a critical update. J.
Clin. Invest. 111:18051812. (http//www.jci.org.pdf, diakses 12
November
2013,
pukul
14.00).
Safavi, S. M., Bahram, K., Mostafa, E., Alireza, F., et al. 2008. Effect of Low
Level He-Ne Laser Irradiation on the Gene Expression of IL-1, TNF,
IFN, TGF, FGF, and PDGF in Rats Gingiva. Lasers Medical Sci Journal
23(3):
331-335.
Samadi, H. P. 2008. Struktur dan Reseptor Human Vascular Endhotelial
Growth
Factor
(VEGF),
(http://www.indocancer.com/update/article.detail.asp?cat=&id=9, diakses 10
April
2013,
pukul
10.15
WIB).
Saracino, S., Marco, M., Germana, M., Renato, Pol., et al. 2009. Superpulsed
Laser Iradiation Increases Osteoblast Activity via Modulation of Bone
Morphogenic Factors. Lasers Surgery Med J 41(4): 298-304).
Schindl, A., Merwald, H., Schindl, L., Kaun, C., et al. 2003. Direct
Stimulatory Effect of Low-Intensity 670 nm Laser Irradiation on Human
Endothelial Cell Proliferation. British J Dermatology 148(2): 334-6.
Silva, T. C., Thais, M. O, Vivien, T. S., Thiago, J. D., et al. 2009. In vivo
Effects on the Expression of Vascular Endhothelial Growth Factor-A 165
Messenger RNA of an Infrared Diode Laser Associated or not with
Visible Red Dioda Laser. (http//www.laserdentistry.org.pdf, diakses 10
April
2013,
pukul
10.15
WIB)
Smith, Paul B.L., and David G.J. 1999. Review Article: The Scientific Basis
for High Intensity Interval Training. Sports Med 2002; 32(1) 53-73
Soekarman. 1991. Latihan Interval dan Penerapannya pada Atlet. Skripsi:
Pendidikan
Olahraga
Universitas
Negeri
Malang
Stewart L.K., Michael G. F., Wayne W., Bruce A. C., Paul R., Kyte L., Erin T.
2009. The Influence of Exercise Training on Inflammatory Cytokines and
C-Reactive Protein. Journal of the American Collage of Sport Medicine.
(http//www.acsm-msse.org.pdf. diakses 2 November 2013, pukul 20.00)
Subadi dan Mei, W. 2000. Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Medik
Menghadapi Tantangan Masa Depan. Mukernas PERDOSRI, Surabaya.
Synder, M. L., and Seitz, L. 1996. Therapeutic Uses of Light in Rehabilitation.
2nd
edition.
FA
Davis
Co.,
Philadelphia.
Tandiyo, D. K., Fathur, R., Patricia, M. K., Bakti, S., Irwan, K. 2012.
Perbedaan hasil terapi Low Level Laser Therapy Dosis 2 J/cm 2 dan 4

59

J/cm2 pada Penderita Sinusitis Maksilaris Akut Rinogen. Majalah Cermin


Dunia
Kedokteran
39(9):
656-59.
Tarigan, R. N., dan Yuniardini, S. W. 2010. Low Level Laser Therapy for
Treatment of Oral Mucositis. Journal of Dentistry Indonesia 17(3): 93100.
Thompson, D.L., Ceaser T.G., Fitzhugh E.C., Basset D.R. 2004. Association
of Physical Activity, Fitness and Race: NHANES 1999-2004. Med Sci
Sports
Exerc.
2013
Feb;45(2):286-93
Toma, R.L., Tucci H., Antunes H., Pedroni C., Oliveira A., Buck, Ferreira.
2013. Effect of 808 nm Low Level Laser Therapy in Exercise Induced
Skeletal Muscle Fatigue in Elderly Women. Laser Med Sci. 2013:
28(5):1375-82.
Trapp, E.G., Chisholm, D.J., Freund, J. and Boutcher, S.H. 2008. The effect of
High Intensity Intermittent Exercise Training on Fat Loss and Fasting
Insulin
of
Young
Woman.
Int
J
Obes
32(4):684-91.
Wang, Grace. 2004. Low Level Laser Theraphy: technology Assessment,
(http://www.lni.wa.gov/claimsins/files/omd/lllttechassessmay032004.pdf,
diakses
2
April
2013,
pukul
20.00)
Weber, M. H. 2010. Basic Principles and Clinical Aplication of Laserneedle
Acupuncture
and
Intravascular
Laser
Blood
Irradiation.
(http//www.webermedical.com, diakses 10 April 2013, pukul 13.00)

Anda mungkin juga menyukai